9 BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
A. Reviu Penelitian Terdahulu
Perencanaan pajak sebagai upaya untuk meminimalkan beban pajak. Hal ini umumnya mengacu pada proses merekayasa bisnis dan transaksi wajib pajak supaya utang pajak berada dalam jumlah yang minimal tetapi masih dalam lingkup peraturan perpajakan yang berlaku, sehingga perencanaan pajak merupakan tindakan yang legal selama dalam ruang lingkup hukum perpajakan yang berlaku di Indonesia (Kanji, 2019). Penelitian yang dilakukan oleh Negara &
Dharma (2017) yang menguji pengaruh perencanaan pajak terhadap manajemen laba menunjukkan bahwa perencanaan pajak memiliki pengaruh positif terhadap variabel manajemen laba, dimana semakin tinggi perencanaan pajak maka peluang perusahaan melakukan manajemen laba pada perusahaan manufaktur semakin besar.
Hasil penelitian tersebut tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Achyani & Susi (2019) yang menunjukkan bahwa perencanaan pajak tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Dimana pemilik perusahaan menginginkan deviden yang tinggi dengan mengeluarkan biaya-biaya seminimal mungkin, sehingga ada tidaknya perencanaan pajak tidak memengaruhi manajemen dalam melakukan manajemen laba. Pada perusahaan manufaktur terdapat beberapa divisi atau departemen dengan masing-masing manajemen. Hal ini akan membuat kecenderungan bahwa manajemen akan mementingkan
kepentingannya masing-masing dalam hal untuk memperoleh bonus atau reward apabila menunjukkan kinerja yang baik. Sehingga manajemen laba yang dilakukan cenderung terjadi karena self interest manajemen bukan karena perencanaan pajak yang menjadi kepentingan principal (pemilik perusahaan) (Wardani & Desifa, 2018).
Kepemilikan manajerial dianggap sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi manajemen laba yang dilakukan oleh manajer. Manajer yang memiliki kepemilikan saham dapat bertindak sesuai dengan kepentingan pemegang saham. Selain itu dalam perusahaan terdapat kepemilikan institusional yang memiliki kemampuan untuk mengendalikan pihak manajemen melalui proses monitoring secara efektif sehingga pihak investor institusional dapat membatasi perilaku para manajer. Adanya dewan komisaris dan komite audit pada perusahaan berkaitan dengan pengawasan kualitas informasi yang terdapat dalam laporan keuangan. Peranan dewan komisaris diharapkan dapat meningkatkan kualitas laba dengan membatasi tingkat manajemen laba melalui fungsi monitoring atas pelaporan keuangan dengan komite audit yang membantu dewan komisaris dalam pelaksanaan tugasnya (Kristiani, Emi dkk., 2014).
Penelitian yang dilakukan oleh Mangkusuryo & Ahmad (2017) yang menguji mengenai pengaruh mekanisme good corporate governance terhadap manajemen laba yang diproksikan dengan discretionary accruals (DTA) dengan sampel sebanyak 11 perusahaan yang terdaftar di CGPI tahun 2013-2015.
Hasilnya menunjukkan bahwa variabel kepemilikan manajerial berpengaruh signifikan positif terhadap manajemen laba yang diproksikan dengan
discretionary accruals. Meningkatnya kepemilikan manajerial menyebabkan ikut
meningkatnya earning management, dan sebaliknya penurunan kepemikan manajerial cenderung akan menyebakan menurunnya earning management.
Sedangkan pada variabel kepemilikan institusional, dewan komisaris independen dan komite audit tidak berpengaruh signifikan terhadap besar kecilnya discretionary accruals (manajemen laba) di suatu perusahaan.
Penelitian Erawati & Nurma (2019) yang menguji mengenai pengaruh perencanaan pajak, kualitas audit dan kepemilikan institusional terhadap manajemen laba dengan sampel sebanyak 48 perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2013-2017. Hasilnya menunjukkan bahwa variabel perencanaan pajak berpengaruh positif terhadap manajemen laba. Perusahaan yang sering melakukan tax planning berarti perusahaan tersebut sering melakukan manajemen laba agar dapat menghindari pembayaran pajak yang berlebihan. Pada variabel kepemilikan institusional berpengaruh negatif terhadap manajemen laba, yang berarti bahwa semakin besar persentase kepemilikan saham institusional semakin rendah tingkat manajemen laba yang dilakukan oleh manajer perusahaan.
Sehingga menjadikan tingkat kepemilikan saham institusional akan sangat mempengaruhi terjadinya manajemen laba pada perusahaan.
Aryanti, Inne dkk. (2017) menggunakan metode analisis regresi data panel untuk menguji pengaruh kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial dan kualitas audit terhadap manajemen laba dengan sampel sebanyak 32 perusahaan sub sektor batubara tahun 2012-2015. Hasil penelitian menunjukan kepemilikan institusional tidak berpengaruh secara signifikan terhadap manajemen laba,
sedangkan kepemilikan manajerial berpengaruh secara signifikan dengan arah negatif dan kualitas audit berpengaruh signifikan dengan arah positif terhadap manajemen laba sehingga investor dalam berinvestasi sebaiknya memilih perusahaan dengan kepemilikan manajerial yang besar dan memperhatikan jasa KAP yang menjadi auditor independen suatu perusahaan agar tidak mengambil keputusan investasi yang keliru.
B. Tinjauan Pustaka 1. Teori Agensi
Jensen & Meckling (1976) menjelaskan hubungan keagenan merupakan suatu kontrak dimana satu atau lebih orang (prinsipal) memerintah orang lain (agen) untuk melakukan suatu jasa atas nama prinsipal serta memberi wewenang kepada agen membuat keputusan yang terbaik bagi prinsipal. Jika kedua belah pihak tersebut mempunyai tujuan yang sama untuk memaksimumkan nilai perusahaan, maka diyakini agen akan bertindak dengan cara yang sesuai dengan kepentingan prinsipal. Hubungan antara manajemen dan pemilik dalam perusahaan menyebabkan adanya dua kepentingan yang berbeda. Manajemen memiliki lebih banyak informasi daripada pemilik, sehingga manajer memiliki peluang untuk melakukan manajemen laba.
Konflik kepentingan antara manajer (agent) dan stakeholder (principal) menyebabkan adanya masalah keagenan, manajemen tidak selalu bertindak untuk kepentingan stakeholder tetapi lebih untuk kepentingan manajemen itu sendiri tanpa memperhatikan dampak yang diakibatkan kepada stakeholder (Asitalia &
Ita, 2017). Teori keagenan mengimplikasikan adanya asimetri informasi antara
manajer dan pemilik. Munculnya asimetri informasi karena manajer yang lebih mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan pemegang saham dan stakeholder.
Kondisi tersebut memberikan kesempatan kepada pihak manajemen dalam menggunakan informasi yang di ketahui untuk memanipulasi keuangan perusahaan guna memaksimalkan kemakmurannya. Semakin banyak informasi perusahaan yang dimiliki oleh manajer daripada pemegang saham maka manajer akan lebih banyak mempunyai kesempatan untuk melakukan manajemen laba (Mahawyahrti & Gusti, 2016).
2. Manajemen Laba
Menurut Kodriyah & Anisah (2017) manajemen laba merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh manajer dengan cara memanipulasi laporan keuangan dengan tujuan untuk menguntungkan dirinya sendiri maupun keuntungan perusahaan.
Dapat dikatakan juga sebagai upaya manajer untuk mengintervensi atau mempengaruhi informasi dalam laporan keuangan dengan tujuan untuk mengecoh stakeholder yang ingin mengetahui kinerja dan kondisi perusahaan. Intervensi dilakukan manajer perusahaan dalam konteks standar akuntansi, yaitu masih menggunakan metode atau prosedur akuntansi yang diterima dan diakui secara umum.
Manajemen melakukan manajemen laba agar laporan keuangan perusahaan terlihat lebih baik. Hal ini dikarenakan kecenderungan investor untuk melihat laporan keuangan dalam menilai suatu perusahaan. Pada umumnya investor lebih tertarik pada kinerja keuangan perusahaan di masa datang dan akan menggunakan laba yang dilaporkan pada saat ini untuk meninjau kembali
kemungkinan apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Pemilihan metode akuntansi dalam melakukan manajemen laba harus dilakukan dengan penuh kecermatan oleh manajer agar tidak diketahui oleh pemakai laporan keuangan.
Oleh karena itu manajer harus memiliki strategi agar manajemen laba yang dilakukan tidak diketahui pihak luar (Astutik & Titik, 2016).
Scott (2003) mengidentifikasi adanya empat pola atau strategi yang dilakukan oleh pihak manajemen untuk melakukan manajemen laba yaitu; (1) Taking a bath dilakukan ketika terjadi keadaan buruk yang tidak menguntungkan
dan tidak dapat dihindari, yaitu dengan cara mengakui biaya-biaya pada periode yang akan datang dan kerugian periode berjalan. (2) Income minimization dilakukan saat perusahaan memperoleh profitabilitas yang tinggi dengan tujuan agar tidak mendapat perhatian politis. (3) Income maximization dilakukan dengan memaksimalkan laba agar memperoleh bonus yang lebih besar. Dari positif accounting theory, para manajer dapat terlibat dalam maksimilasi laba bersih yang
dilaporkan untuk tujuan bonus. (4) Income smoothing dilakukan dengan menaikkan atau menurunkan laba untuk mengurangi fluktuasi laba yang dilaporkan sehingga perusahaan terlihat stabil dan tidak beresiko tinggi.
3. Perencanaan Pajak
Perencanaan pajak dapat didefinisikan sebagai upaya mengurangi atau meminimalkan beban pajak yang harus dibayarkan kepada negara sehingga pajak yang dibayar tidak melebihi jumlah yang sebenarnya. Menurut Zain (2007) perencanaan pajak merupakan tindakan struktural yang terkait dengan kondisi konsekuensi potensi pajak yang ditekankan kepada pengendalian untuk setiap
transaksi yang ada konsekuensi pajaknya, tujuannya yaitu supaya pengendalian tersebut dapat mengefisienkan jumlah pajak yang akan di transfer ke pemerintah, melalui yang disebut dengan penghindaran pajak (tax avoidance) yang merupakan perbuatan legal yang masih dalam ruang lingkup peraturan perundang-undangan pajak dan bukan penyelundupan pajak. Perencanaan pajak dalam perusahaan juga dapat dilakukan melalui tax saving, yaitu upaya efisiensi beban pajak melalui pemilihan alternatif pengenaan pajak dengan tarif yang lebih rendah. Selain itu dapat juga dilakukan dengan mengoptimalkan kredit pajak yang diperkenankan, kebanyakan wajib pajak badan kurang mengetahui bahwa mereka dapat mengkreditkan pajak yang sudah dipotong asalkan tidak menyimpang dari peraturan.
Peran perencanaan pajak dalam praktik manajemen laba secara konseptual dapat dijelaskan dengan teori keagenan dan teori akuntansi positif. Pada teori keagenan, dalam hal ini pemerintah (fiskus) sebagai pihak principal dan manajemen sebagai pihak agent masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda dalam hal pembayaran
pajak. Perusahaan (agent) berusaha membayar pajak sekecil mungkin karena dengan membayar pajak berarti mengurangi kemampuan ekonomis perusahaan. Di lain pihak, pemerintah (principal) memerlukan dana dari penerimaan pajak untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Dengan demikian, terjadi konflik kepentingan antara perusahaan dengan pemerintah, sehingga memotivasi agent meminimalkan beban pajak yang harus dibayar kepada pemerintah (Astutik & Titik, 2016).
Pada teori akuntansi positif dalam hipotesis ketiga yaitu The Political Cost Hypothesis (Scott, 2003) menjelaskan bahwa perusahaan yang berhadapan dengan
biaya politik, cenderung melakukan rekayasa penurunan laba dengan tujuan meminimalkan biaya politik yang harus mereka tanggung misal: melakukan pergeseran pajak, dengan mentransfer beban pajak dari subjek pajak kepada pihak lain, dengan demikian orang atau badan yang dikenakan pajak mungkin sekali tidak menanggungnya, melakukan kapitalisasi, dengan melakukan pengurangan harga objek pajak sama dengan jumlah pajak yang akan dibayarkan kemudian oleh pembeli.
4. Good Corporate Governance
Menurut Asitalia & Ita (2017) good corporate governance atau tata kelola perusahaan merupakan rangkaian proses atau kebijakan yang mempengaruhi pengelolaan suatu perusahaan yang mencakup hubungan dengan pemangku kepentingan (stakeholder), seperti dewan direksi, pemegang saham, manajemen, karyawan, kreditur dan sebagainya untuk tujuan pengelolaan perusahaan.
Corporate Goveranance sebagai sistem yang dibangun untuk mengarahkan dan
mengendalikan perusahaan sehingga tercipta tata kelola yang baik untuk perusahaan, juga untuk mengatasi ketidakselarasan kepentingan antara manajer dan pemegang saham berdasarkan teori keagenan (Sari & Nur, 2013).
Prinsip-prinsip good corporate governance tercantum dalam Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER-01/MBU/2011 Tentang Penerapan Good Corporate Goveranance Pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) meliputi: (1) Transparasi (transparency), yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengungkap informasi material dan relevan mengenai perusahaan. (2) Akuntabilitas (accountability), yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan dan
pertanggungjawaban organ sehingga pengelolahan perusahaan terlaksana secara efektif. (3) Pertanggungjawaban (responsibility), yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan dan prinsip korporasi yang sehat. (4) Kemandirian (independency), yaitu keadaan di mana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh atau tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang- undangan dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. (5) Kewajaran (fairness), yaitu keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak pemangku kepentingan (stakeholders) yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang- undangan.
5. Kepemilikan Manajerial
Menurut Marpaung & Made (2014) kepemilikan manajerial merupakan saham yang dimiliki manajemen dengan harapan manajer akan berlaku sesuai keinginan pemilik guna memotivasi kinerja manajer. Kepemilikan manajerial sebagai tingkat kepemilikan saham pihak manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan perusahaan (direktur dan komisaris). Adanya kepemilikan oleh manajemen yang besar akan efektif dalam memonitoring aktivitas perusahaan, juga dapat ikut andil dalam menentukan kebijakan dan pengambilan keputusan. Dalam hal ini manajer memiliki peranan penting karena sebagai pelaksanaan perencanaan, pengendalian dan pengambilan keputusan. Manajer juga berperan sebagai manajemen sumber daya manusia, komunikasi dan networking, yaitu untuk memotivasi, mendisiplinkan, pertukaran informasi rutin, bersosialisasi juga berinteraksi dengan pihak luar.
Dengan tingginya tingkat kepemilikan manajerial akan mendorong manajemen perusahaan dalam meningkatkan kinerjanya untuk mendapatkan laba, bukan dengan melakukan praktik manajemen laba karena sebagai pemegang saham manajemen pun menginginkan laba yang nyata atas kinerja perusahaan (Asitalia & Ita, 2017). Adanya kepemilikan manajerial akan membuat posisi manajemen sama dengan pemilik perusahaan yang dapat menyelaraskan atau menyatukan kepentingan manajemen dengan pemegang saham sehingga manajemen akan bertindak sama seperti investor pada umumnya dan tidak akan melakukan manajemen laba agar dapat mengetahui keadaan perusahaan yang sesungguhnya (Aryanti, Inne dkk., 2017).
6. Kepemilikan Institusional
Menurut Suriyani, Putri dkk. (2015) kepemilikan institusional merupakan kepemilikan saham yang dimiliki oleh pihak institusi. Pihak Institusi dalam hal ini adalah perusahaan asuransi, bank, LSM dan perusahaan swasta. Sebagian besar kepemilikan saham dalam perusahaan dimiliki oleh investor institusional dikarenakan memiliki sumber daya yang lebih besar daripada pemegang saham lainnya sehingga dianggap mampu melaksanakan mekanisme pangawasan dengan baik. Kepemilikan institusional memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan kepemilikan individu yaitu mempunyai sumber daya yang lebih dalam mendapatkan informasi, lebih profesional dalam menganalisis informasi, mempunyai jaringan yang luas dan mempunyai dorongan yang kuat dalam memonitor kegiatan perusahaan. Kepemilikan institusional bertujuan untuk
memonitor aktivitas manajemen pada perusahaan agar lebih optimal. Pengawasan yang optimal dapat menjamin peningkatan kesejahteraan pemegang saham.
Besarnya kepemilikan saham oleh pihak institusional membuatnya dapat memiliki kekuasaan untuk melakukan intervensi terhadap jalannya perusahaan dan mengatur proses penyusunan laporan keuangan, akibatnya manajemen terpaksa melakukan praktik manajemen laba untuk memenuhi keinginan investor (Asitalia & Ita, 2017). Menurut Aygun, Mehmet dkk. (2014) investor institusional memiliki kemampuan dan sumber daya untuk mengawasi manajer lebih efektif dibandingkan dengan investor individu, seperti memiliki sistem akuntansi yang lebih baik dibandingkan perusahaan lainnya.
7. Dewan Komisaris
Menurut Asitalia & Ita (2017) dewan komisaris merupakan sekelompok orang yang ditunjuk oleh anggota (pemegang saham dan sebagainya) untuk mengawasi seluruh kegiatan perusahaan. Terutama seperti kebijakan dan pengelolaan dari suatu perusahaan. Dewan komisaris dipilih oleh pemegang saham dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang mewakili kepentingan para pemegang saham tersebut. Peran komisaris sangat penting dan cukup menentukan bagi keberhasilan implementasi good corporate governance.
Diperlukan komitmen penuh dari komisaris agar implementasi good corporate governace dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan harapan (Sari & Nur,
2013).
Sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor:
PER01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good
Coprorate Governance) pada Badan Usaha Milik Negara, dalam komposisi dewan
komisaris paling sedikit 20% (dua puluh persen) merupakan anggota dewan komisaris independen yang ditetapkan dalam keputusan pengangkatannya. Tugas dan tanggung jawab dewan komisaris yaitu memberikan perintah kepada perusahaan dengan menerapkan berbagai kebijakan dan tujuan yang luas dari perusahaan atau organisasi, memiliki hak untuk mendukung, memilih, mengangkat bahkan memberikan penilaian pada kinerja direksi perusahaan, bertugas untuk memastikan bahwa sumber keuangan pada perusahaan tersebut cukup, melakukan pengesahan pada anggaran tahunan serta bertanggung jawab atas kinerja perusahaan kepada para pemilik saham.
8. Komite Audit
Komite audit merupakan komite yang dibentuk oleh dewan komisaris untuk membantu melakukan pemeriksaan terhadap pelaksanaan fungsi direksi dalam mengelola perusahaan. Dibentuknya komite audit untuk membantu dewan komisaris dalam melaksanakan fungsi pengawasan dan menjadi salah satu pilar utama dalam penerapan good corporate governance dalam perusahaan. Komite audit memiliki peran dalam upaya untuk menjamin kualitas dari pelaporan keuangan perusahaan juga untuk meningkatkan efektivitas fungsi audit, karena berhubungan dengan laporan keuangan agar informasi yang disajikan dapat diandalkan bagi pihak-pihak yang berkepentingan untuk pengambilan keputusan ekonomi (Asitalia & Ita, 2017).
Keanggotaan komite audit sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER-05/MBU/2006 Tentang Komite Audit bagi
Badan Usaha Milik Negara yang menjelaskan bahwa anggota komite audit harus memenuhi persyaratan antara lain: (a) memiliki integritas yang baik dan pengetahuan serta pengalaman kerja yang cukup di bidang pengawasan atau pemeriksaan, (b) tidak memiliki kepentingan atau keterkaitan pribadi yang dapat menimbulkan dampak negatif dan konflik kepentingan terhadap BUMN yang bersangkutan, dan (c) mampu berkomunikasi secara efektif. Tugas komite audit yaitu untuk membantu dewan komisaris dalam memastikan bahwa laporan keuangan disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum, struktur pengendalian internal perusahaan dilaksanakan dengan baik dan pelaksanaan audit internal maupun eksternal dilaksanakan sesuai dengan standar audit yang berlaku.
C. Pengembangan Hipotesis
1. Pengaruh Perencanaan Pajak Terhadap Manajemen Laba
Praktik manajemen laba di dalam perusahaan menurut teori agensi terjadi karena perbedaan kepentingan antara pihak yang terkait (pemilik perusahaan, manajemen dan pemerintah). Perencanaan pajak sebagai salah satu faktor yang dapat mempengaruhi manajemen laba, munculnya perencanaan pajak karena adanya perbedaan kepentingan antara perusahaan dengan pemerintah. Pihak manajemen menginginkan untuk menekan dan membuat beban pajak sekecil mungkin, sehingga pihak manajemen cenderung menggunakan cara dengan meminimalkan pembayaran pajak. Perencanaan pajak dilakukan dengan merekayasa usaha dan transaksi wajib pajak supaya utang pajak berada dalam jumlah yang minimal tetapi masih dalam bingkai peraturan perpajakan yang berlaku.
Achyani & Susi (2019) menyatakan bahwa perencanaan pajak sebagai langkah awal pada perusahaan sebelum melakukan pembayaran pajak yang merupakan biaya bagi perusahaan. Perusahaan selalu menginginkan jumlah biaya yang menjadi tanggungannya kecil agar perusahaan bisa memperoleh laba usaha yang tinggi. Laba usaha yang tinggi akan menguntungkan pemilik perusahaan.
Manajer sebagai pihak yang bertanggungjawab mengupayakan laba yang tinggi untuk mendapatkan berbagai bonus yang ditawarkan pemilik perusahaan jika manajer mampu mencapai target yang diharapkan. Sehingga cara manajer dalam meminimalkan pembayaran pajak yaitu dengan melakukan tindakan manajemen laba.
Penelitian Astutik & Titik (2016) menunjukkan bahwa perencanaan pajak mempunyai pengaruh signifikan dan positif terhadap manajemen laba. Hasil ini mengindikasikan bahwa semakin baik perusahaan dalam melakukan perencanaan pajak maka manajemen laba yang diterapkan dalam perusahaan juga semakin baik. Manajemen pajak sebagai sarana untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar, tetapi jumlah pajak yang dibayarkan dapat ditekan seminimal mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan.
: Perencanaan pajak berpengaruh terhadap manajemen laba
2. Pengaruh Kepemilikan Manajerial Terhadap Manajemen Laba
Pemisahan manajemen dan kepemilikan dalam perusahan menyebabkan adanya masalah keagenan yang dapat mengurangi nilai perusahaan. Hal ini juga menunjukkan jika manajer tidak memiliki tingkat saham yang tinggi diperusahaan maka mereka mungkin tidak bertindak atas nama pemegang saham. Tingkat kepemilikan manajerial yang lebih tinggi dianggap sebagai salah satu alternatif
penting untuk memotivasi manajer. Sehingga manajer yang memiliki tingkat kepemilikan yang besar dapat memanipulasi manajemen laba untuk memaksimalkan tujuan pribadi mereka sendiri.
Penelitian Mangkusuryo & Ahmad (2017) menunjukkan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh positif dan signifikan terhadap manajemen laba yang berarti meningkatnya kepemilikan manajerial dalam perusahaan menyebabkan meningkatnya manajemen laba, dan sebaliknya penurunan kepemilikan manajerial akan menyebabkan menurunnya manajemen laba. Dalam praktik manajemen laba juga didorong oleh motivasi for bonus purpose (motivasi bonus), dengan kepemilikan manajerial yang tinggi manajemen akan lebih giat melakukan manajemen laba untuk mendapatkan bonus yang tinggi dari perusahaan (Asitalia & Ita, 2017).
: Kepemilikan manajerial berpengaruh terhadap manajemen laba
3. Pengaruh Kepemilikan Institusional Terhadap Manajemen Laba
Pada teori agensi terdapat pemisahan antara pihak agen dan prinsipal yang mengakibatkan munculnya konflik yang dapat mempengaruhi kualitas laba yang dilaporkan. Kepemilikan institusional sebagai salah satu penerapan dari good corporate governance memiliki kemampuan untuk mengendalikan pihak manajemen
melalui proses monitoring secara efektif sehingga mengurangi tindakan manajemen melakukan kualitas laba. Kepemilikan institusional sebagai investor yang memiliki kemampuan dan sumber daya untuk memantau manajer secara efektif dibandingan dengan investor individu, sehingga dapat menurunkan kemampuan manajer dalam mengelola laba perusahaan. Kepemilikan saham yang besar oleh pihak institusi akan membuat manajemen merasa terikat unuk memenuhi target laba dan cenderung
melakukan manajemen laba karena pihak institusional lebih memfokuskan pada current earning (Asitalia & Ita, 2017).
Hasil penelitian Erawati & Nurma (2019) menunjukkan bahwa Kepemilikan institusional berpengaruh negatif terhadap manajemen laba. Dalam penelitian tersebut yang berarti, jika kepemilikan instutusional perusahaan besar maka semakin tinggi tingkat pengawasan dan control yang dilakukan oleh pihak institusional sehingga menghambat para manajer dalam melakukan tindakan manajemen laba karena tingkat pengawasan yang tinggi oleh para pihak institusional. Juga pihak instutusional akan mendorong para manajer untuk meningkatkan kinerja keuangan agar lebih baik dan efektif.
: Kepemilikan institusional berpengaruh terhadap manajemen laba
4. Pengaruh Dewan Komisaris Terhadap Manajemen Laba
Peran dewan komisaris sangat penting dan cukup menentukan bagi keberhasilan implementasi good corporate governance. Peran dewan komisaris diharapkan dapat meningkatkan kualitas laba dengan membatasi manajemen laba melalui fungsi monitoring atas pelaporan keuangan. Ukuran dewan pengurus yang besar terutama dewan komisaris dapat membuat pengawasan terhadap kinerja manajemen menjadi lebih optimal sesuai dengan fungsinya sehingga dapat menurunkan praktik manajemen laba di perusahaan (Asitalia & Ita, 2017).
Hasil penelitian Utami, Amalia dkk. (2021) menunjukkan bahwa dewan komisaris berpengaruh positif terhadap manajemen laba. Artinya apabila jumlah anggota dewan komisaris semakin besar maka manajemen laba akan meningkat.
Dan apabila jumlah anggota dewan komisaris semakin kecil maka nilai
manajemen laba akan menurun. Ukuran dewan komisaris yang kecil lebih efektif dalam melakukan tindakan pengawasan dibandingkan dewan komisaris yang berukuran besar. Hal ini disebabkan ukuran dewan komisaris yang besar dianggap kurang efektif dalam menjalankan fungsinya sebagai alat monitoring kegiatan manajemen karena sulit dalam komunikasi, koordinasi serta pembuatan keputusan.
: Dewan komisaris berpengaruh terhadap manajemen laba
5. Pengaruh Komite Audit Terhadap Manajemen Laba
Ukuran komite audit sebagai pendukung fungsi pengawasan terhadap manajemen (agen) agar tidak merugikan pemilik perusahaan (prinsipal). Karena semakin besar ukuran komite audit dapat meningkatkan fungsi monitoring terhadap pihak manajemen sehingga kualitas pelaporan oleh manajemen terjamin.
Tugas komite berhubungan dengan kualitas laporan keuangan, karena komite audit diharapkan dapat membantu dewan komisaris dalam pelaksanaan tugas yaitu mengawasi proses pelaporan keuangan oleh manajemen. Komite audit mempunyai tanggung jawab utama untuk membantu dewan komisaris dalam menjalankan tanggung jawabnya terutama dengan masalah yang berhubungan dengan kebijakan akuntansi perusahaan, pengawasan internal, dan sistem pelaporan keuangan (Suriyani, Putri dkk., 2015).
Penelitian Sari & Nur (2013) menunjukkan bahwa komite audit berpengaruh positif terhadap manajemen laba. Hal ini dikarenakan semakin banyak jumlah komite audit maka komite audit mampu melaksanakan tanggungjawabnya dengan baik sehingga dapat memenuhi kinerja perusahaan
dengan baik. Dengan demikian apabila kinerja perusahaan baik maka harapannya laba yang dihasilkan perusahaan akan semakin meningkat.
: Komite audit berpengaruh terhadap manajemen laba
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Perencanaan
Pajak
Kepemilikan Manajerial
Kepemilikan Institusional
Dewan Komisaris
Komite Audit
Manajemen Laba