• Tidak ada hasil yang ditemukan

Denying reality, Going Against the Constitution

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Denying reality, Going Against the Constitution"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

Newsletter

of the basic human rights, the right owned by every

R

human being as God's creation. Right to religious freedom is the right that cannot be taken away nor eliminated by any one. The state has guaranteed this freedom of religion in the Constitution (UUD) 1945. Thus, all sorts of treatments directed to force, intimidate, or act violently against others to convert to other faiths or treat o t h e r s w i t h o t h e r f a i t h s discriminatively can not be justified.

S u c h d i s c r i m i n a t i v e treatment could be done by whomever with no profound awareness on human rights. Discriminating cases against certain religions can be done by bureaucrats of the state despite the fact that the state and the Constitution have guaranteed freedom of the citizens to embrace and practice their own religions and faiths. This religious freedom is not totally i m p l e m e n t e d b y s t a t e administrators. To date, the state has just recognized 6 religions (Islam, Catholic, Protestant, Hindhuism, Buddhism, and Confucianism). This limited recognition by the state makes it more difficult for people having religions or faiths other than the 6 e b e b a s a n b e r a g a m a

merupakan bagian dari hak asasi manusia, hak

K

yang dimiliki oleh setiap orang sebagai makhluk Tuhan. Hak kebebasan beragama adalah hak yang tidak dapat diambil dan dihilangkan oleh siapapun. Negara telah menjamin hak kebebasan beragama ini di dalam UUD 45. Oleh karena itu tidak dapat dibenarkan segala perlakuan yang b e r u s a h a u n t u k m e m a k s a , mengintimidasi, melakukan tindak kekerasan terhadap orang lain untuk melepaskan keyakinannya atau pun asasi manusia. Kasus-kasus diskriminasi terhadap para pemeluk agama tertentu dapat dilakukan oleh para birokrat Negara walaupun UUD 45 telah menjamin kebebasan warga negara untuk memeluk serta m e n j a l a n k a n a g a m a d a n kepercayaan masing-masing. Kebebasan beragama ini tidak diimplementasikan secara total oleh Penyelenggara Negara. Disini Negara baru mengakui 6 agama saja (Islam, Katholik, Protestan, Hindhu, Budha, dan Konghucu). Pengakuan Negara y a n g t e r b a t a s t e r s e b u t mempersulit penganut agama

(2)

Fokus

selain 6 agama tersebut dalam memperoleh hak-hak sipil. Kesulitan mereka dalam pengurusan KTP, akta kelahiran, pencatatan pernikahan di kantor Catatan Sipil adalah kasus-kasus diskriminasi yang sering terjadi.

Perlakuan diskriminatif juga dapat dilakukan oleh elit agama dan kelompok massa tertentu. Kasus

tindak kekerasan terhadap pemeluk aliran agama

tertentu adalah bukti masih mengentalnya diskriminasi dalam masyarakat kita. Diskriminasi timbul karena adanya superioritas dalam pemahaman keberagamaan, bahwa pemahaman kelompoknya sendiri yang benar sedang pemahaman kelompok lain adalah sesat dan menyesatkan sehingga harus dihentikan dan dimatikan. Inilah wujud nyata arogansi dalam beragama.

Mengingat masalah kebebasan beragama dan diskriminasi dalam kehidupan beragama masih menjadi PR besar untuk semua elemen masyarakat maka permasalahan tersebut akan menjadi fokus utama dalam newsletter edisi ini. Dalam edisi ini juga akan ditampilkan tentang Jemaah Ahmadiyah Qadiyan yang menjadi korban diskriminasi dan kekerasan oleh elit agama dan sekelompok massa di beberapa daerah. Kemudian kita juga dapat belajar

dari sharing pengalaman seorang aktifis HAM

dalam penanganan konflik dalam rubrik 'fitur'. Newsletter ini juga berisikan informasi tentang kegiatan-kegiatan yang pernah dilakukan oleh Interfidei serta agenda kegiatan ke depan. Semoga bermanfaat. [ ]

Menyangkal Realitas, Menentang

Konstitusi

Elga Sarapung*

Belajar dari Pengalaman

anggal 29 dan 30 Mei 1994, saya pernah diinterogasi di kantor polisi DIY, selama 8

erkaitan dengan seminar

T

jam setiap hari, b

tentang “Konfusianisme di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Interfidei sehari sebelumnya. Saat itu persoalan Konghucu masih sangat “alergi” bagi

1

Negara, karena factor sejarah masa lampau . Sebab itu

religions in gaining civil rights. Their experience

of problems in administration of IDs, birth certificate, marriage recording at civil registry are just some of discriminating cases often take place.

Discriminative treatment could also be conducted by certain religious elites or mass groups. Violent cases against certain religious embracers serve as proofs of strong existence of discrimination in midst of our community. Discrimination emerges as a result of a sense of superiority in understanding diversity: that his/her groups' understanding is the correct one, while other groups are heretic, and thus, must be put into a stop. This is the real form of arrogance in embracing a religion.

Taking into consideration the issue of religious freedom and discrimination in religious life is indeed a difficult homework for all the elements of community. Therefore, the problem will be the main focus in this edition's newsletter. In this edition, there is one article on Ahmadiyah Qadiyan Community who sadly became victims of discrimination and violence by religious elites and groups of mass in a number of regions. We could learn as well from sharing of experience from a human right activist in managing conflicts in our 'Feature' column. This newsletter also provides for you information on activities carried out by Interfidei and its agenda for future activities. We hope you find it all of use. [ ]

Denying reality, Going

Against the

Constitution

Elga Sarapung

Learning from experiences

n 29 and 30 May 1994, I was interrogated

at the office of DIY police for 8 hours

O

e a c h d a y r e t h e s e m i n a r o n “Confucianism in Indonesia” Interfidei held one day before. That time, the state still regarded Confucianism as an “allergy” due to this country's history. Thus, Confucianism did not

*. Direktur Interfidei

(3)

Edisi Juni 2006

3

Focus

gain recognition as one of the religions existing in Indonesia.

There were some 100 or more people who attended the seminar. MAKIN (Majelis Agama Konghucu di Indonesia / the Indonesian Council of Confucian religion ) in the level of province /city / district from all over Indonesia, in addition to MATAKIN (Indonesian High Council of Confucian religion) and other invitations.

A police with an old type machine and numerous carbon sheets interrogated me. I can not remember how many questions he asked, but I think there were some 50 questions.

I doubt it if he understood what he did, so during the break I asked him if he knew anything about Confucianism and why he did the interrogation. He briefly replied, “Sorry, Ma'am I'm just doing what I was asked to do, as it is said that Confucianism is forbidden in Indonesia”. Then I asked him again, “Where is your superior? I would like to meet him.” He answered, “He is not here”.

After the interrogation, I was asked to sign the interrogation file. Before I signed it, I read the whole document, just to make sure if there were no mistakes made in the report. And as I suspected,

there were some mistyped words andphrases which

therefore provided its readers with fatal different meanings. I put my signature on every word I corrected. When it was done, before I signed the document, I asked the police to give me one copy of it, based on the reason that I have the right to get one copy of the document. The police had an objection as he thought that a person who is interrogated does not have the right to get a copy of the police interrogation report. I told him that I would not sign it if it was the case,. Thus, the interrogation report was not signed and I did not get the copy.

A year later, all the materials of that seminar were published by Interfidei with the title: “Confucianism in Indonesia, a Struggle to find One's Self”. Since then, every time and wherever Interfidei has an activity, friends from Confucianism are always involved, it has lasted up to the present time.

One thing serving as our reason not be reluctant to do so is the awareness we have of the answer to the question, “What is the right of the state or the authority to forbid Confucianism to live and develop in Indonesia as a religion?” There were so m a n y I n d o n e s i a n p e o p l e w h o e m b r a c e Konghucu tidak diakui sebagai salah satu agama di

Indonesia.

Kira-kira ada 100 atau bahkan lebih peserta yang hadir. MAKIN (Majelis Agama Konghucu) di tingkat propinsi/kota/kabupaten dari seluruh Indonesia, ditambah dengan MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Konghucu) dan undangan lainnya.

Seorang polisi lengkap dengan mesin ketik tua dan kertas dengan beberapa lapis karbon sibuk lakukan? Ketika istirahat saya tanya, apakah Bapak mengerti tentang Konghucu dan mengapa Bapak melakukan interogasi ini? Sang polisi menjawab singkat, “maaf, Bu-saya hanya menjalankan perintah atasan, katanya Konghucu dilarang di Indonesia”. Kemudian saya tanya, “atasan Bapak di mana, saya mau ketemu?” Jawabnya, “tidak berada di tempat”.

Setelah interogasi selesai, saya diminta menandatangani BAP. Sebelumnya saya minta supaya saya baca dulu semuanya, kalau-kalau ada yang perlu diperbaiki. Benar, ada beberapa kata dan kalimat yang salah ketik dan memberi arti lain yang fatal. Setiap hasil koreksi tersebut saya paraf. Ketika selesai, juga sebelum saya tandatangan, saya katakan kepadanya supaya saya dapat satu copy, dengan alasan saya punya hak untuk mendapatkan satu copy BAP tersebut. Tetapi sang polisi keberatan karena tidak selayaknya orang seperti saya dengan status sebagai yang diinterogasi mendapatkan copy BAP seperti itu. Saya katakan bahwa saya tidak akan tandatangan. Demikian yang terjadi, BAP tersebut tidak saya tandatangani dan saya tidak mendapat copynya.

Setahun kemudian, seluruh bahan dari Seminar tersebut diterbitkan oleh Interfidei dengan judul buku: “Konfusianisme di Indonesia, Pergulatan Mencari Jati Diri”. Sejak itu, setiap kali ada kegiatan Interfidei di mana pun juga selalu melibatkan teman-teman dari Konghucu, sampai sekarang.

Satu hal yang membuat kami tidak enggan melakukannya adalah, kesadaran di sekitar pertanyaan, “apa hak negara atau aparat untuk melarang Konghucu hidup dan berkembang di Indonesia sebagai agama?” Begitu banyak jumlah warga masyarakat Indonesia yang beragama

(4)

Fokus

Konghucu, mengapa harus dilarang? Apa mereka sebagai warga negara - tidak punya hak hidup dan berkembang di Indonesia? Apakah dengan alasan “peristiwa 1965”, cukup fair bagi negara untuk melakukan pelarangan seperti itu?

Langkah baru yang ambivalen

Dua belas tahun kemudian baru agama Konghucu diakui secara resmi oleh negara. Hal itu disampaikan oleh Presiden Yudoyono dalam pidatonya, Sabtu, 14 February 2006 di hadapan ribuan warga Konghucu dalam perayaan imlek di Jakarta. Langkah yang sudah dibukakan “jalan” oleh Gus Dur dan Megawati semasa menjadi

2

Presiden.

“…Kita tidak ingin lagi bersikap diskriminatif, kita telah berubah…” (TEMPO, 2 April 2006, hal 66).

“….Umat Konghucu akan dilayani sebagai penganut agama. Perkawinan Konghucu dinyatakan sah dan dapat dicatat di kantor catatan sipil…” (Gatra, 4 Maret 2006, hal. 22)

Pernyataan Presiden ini diikuti dengan surat perintah MENDAGRI, Muhammad Ma'ruf, nomor 470/336/SJ kepada seluruh gubernur, bupati dan walikota se-Indonesia untuk memberikan pelayanan administrasi kependudukan kepada penganut agama Konghucu dengan menambah keterangan agama Konghucu pada dokumen kependudukan yang

digunakan selama ini”. (TEMPO, ibid).

Ada dua pertanyaan di sini. Pertama, soal implementasi pernyataan Presiden dan surat perintah Mendagri. Apakah sudah jalan? Apakah

tidak ada lagi warga masyarakat yang beragama

Konghucu mengalami kesulitan dalam soal-soal administratif kewarganegaraan? Kedua, soal pernyataan Presiden bahwa tidak ada diskriminasi lagi, kita telah berubah. Pertanyaannya, apakah benar kita telah berubah dan tidak ada diskriminasi lagi? Bagaimana dengan agama-agama, seperti Sikh, Baha'I, Yahudi, juga agama-agama lokal, seperti Parmalim di Sumatera Utara, Kaharingan di Kalimantan, Marapu di Sumba, Tolotang dan Bisu di Sulawesi Selatan, serta aliran-aliran dalam masing-masing agama, seperti Ahmadiyah dalam agama Islam, dan lain sebagainya? Bukankah para pengikutnya adalah warga negara yang memiliki hak yang sama untuk hidup dan menjalani kehidupan keagamaannya di

Confucianism as their religion. Why should it be forbidden? Don't they as citizens have the right to live and develop in Indonesia? Is it fair that the state banned Confucianism based only on what happened in 1965?

An Ambivalent New Step

It was not until twelve years later that Confucianism was finally officially recognized by the state as a religion. The recognition was stated by President Yudhoyono in his speech, on Saturday, 14 February 2006 in front of thousands of adherents of Confucianism during a celebration of Chinese new year in Jakarta. It is a step pioneered by Gus Dur and Megawati while they served as presidents of Indonesia.

“…We don't want to be discriminative anymore, we have changed …” (TEMPO, 2 April 2006, page 66).

“….Confucianists will be served as adherents of a religion. Confucianism-based marriage is recognized formally and could be registered at the civil registry…” (Gatra, 4 March 2006, page. 22)

This President's statement was followed by Instruction of the Minister of Home Affairs, Muhammad Ma'ruf, no. 470/336/SJ to all Governors, Heads of District and Mayors in Indonesia to provide administrative services to all adherents of Confucianism by adding one more religion, Confucianism, to the ID document form of which has been used until the present time”. (TEMPO, ibid).

There are two questions here, the first is on

implementation of the President's statement and

instructions of Minister of Home Affairs. Has it actually been implemented? Is there no more adherent of Confucianism who experiences difficulties in citizenship administration? The second one is about the statement of the President that there is no more discrimination; that we have changed. The question is, have we really changed and is there no more discrimination? What about other religions such as Sikh, Baha'i, Judaism, or indigenous religions, such as Parmalim in North Sumatera, Kaharingan in Kalimantan, Marapu in Sumba, Tolotang and Bisu in South Sulawesi, or denominations in each religion, like Ahmadiyah in Islam, etc? Aren't the adherents of those religions also citizens who have equal rights to live and have

(5)

Edisi Juni 2006

5

Focus

Indonesia? Bukankah mereka juga memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dan pelayanan dari negara?

Dalam kaitan dengan itu, perlu disimak soal “agama-agama yang diakui oleh negara”. Dalam surat Edaran Menteri Dalam Negeri nomor 470/1978, mengatakan bahwa pemerintah hanya mengakui lima agama : Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha (TEMPO, 2 April 2006, hal 69). Surat Edaran ini sudah dicabut pada tanggal 31 Maret 2000 (GATRA, 4 Maret 2006, hal 24). Jauh sebelumnya sudah ada Penjelasan PNPS 1965 yang mengatakan bahwa ada enam agama yang dianut oleh penduduk Indonesia (termasuk Konghucu). Menurut Menteri Agama, Maftuh Basyuni, ketika dihubungi GATRA sesudah perayaan Imlek, yang mempertanyakan soal “agama yang diakui negara”, menjelaskan bahwa “Negara kita tidak pernah menetapkan ini agama resmi atau itu tidak. Penjelasan PNPS 1965 memang menyatakan ada enam agama yang dianut penduduk Indonesia. Tapi tidak berarti hanya enam. Masih ada agama lain.”

Soal “agama-agama yang diakui oleh negara” ini kembali ditegaskan oleh Presiden dalam rangkaian sambutannya pada perayaan Imlek yang sama.

“…Di negeri kita tidak dianut istilah agama yang diakui atau tidak diakui negara. Tugas negara memberikan perlindungan, pelayanan, serta membantu pembangunan dan pemelihataan sarana peribadatan”. (Gatra, 4 Maret 2006, hal. 22).

P er n y a t a a n y a n g s a m a p e r n a h disampaikan oleh Atho Mudhzar dari LITBANG DEPAG, dalam diskusi draft akhir hasil laporan penelitian Komnas HAM dan ICRP tentang eksistensi Departemen Agama, di Yogyakarta bulan Januari yang lalu. Juga oleh Din Syamsuddin, Ketua Majelis Ulama Indonesia dan Ketua PP Muhammadiyah dalam sebuah pertemuan di KBRI Belanda, bulan Februari lalu. Pernyataan-pernyataan semacam itulah, antara lain yang menjadi persoalan. Apakah benar pernyataan itu benar, berwujud konkrit dalam realitas kehidupan sehari-hari? Bukankah yang terjadi adalah kenyataan yang bertolakbelakang?

Bila memang negara Indonesia tidak membeda-bedakan agama yang satu dengan yang lain dan mengakui semua agama (tidak terbatas pada 6 agama), melindungi serta melayani warga masyarakat dengan kebebasan beragama dan berkepercayaannya, mengapa hanya 6 agama yang mendapat fasilitas serta pelayanan administrative

their religion live in Indonesia? Don't they also have the right to obtain protection and service from the state?

In relation to the afore-mentioned issue, we need to see more the “religions officially recognized by the state”. The Letter of Minister of Home Affairs no. 470/1978 states that the government only recognizes five religions: Islam, Protestant, Catholic, Hinduism and Buddhism (TEMPO, 2 April 2006, page 69). The letter had actually been denounced since March 31 2000 (GATRA, 4 March 2006, page 24). Far before that, there had been an elaboration on the Presidential Decree in 1965 stating that there were six religions to be embraced by the people Indonesia (comprising Confucianism). The Minister of Religious Affairs, Maftuh Basyuni, when interviewed by GATRA after celebration of Imlek on “the religions officially recognized by the state”, explained that “The state never determines whether this particular religion is official and that one is not. The elaboration of the Presidential Decree 1965 indeed stated that there were six religions adhered by Indonesian population. Nevertheless, it does not mean there were merely six religions. There were others too.”

The “religions recognized by the state ” was reemphasized by the President in his remarks in the same occassion of welcoming Imlek.

“…In our country, there is no such thing as religions recognized or not recognized by the state. The state is obliged to provide protection, service, and assistance for building and maintenance of prayer facilities of all religions ”. (Gatra, 4 March 2006, page 22).

The same remark was also delivered by Atho

Mudhzar of the Research and Development division of Department of Religious Affairs in a discussion on the final draft of report of a research carried out by the National Commission of Human Rights and ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace) on the existence of Department of Religious Affairs in Yogyakarta last January, as by Din Syamsuddin, Chair person of the Indonesian Ulemas Council and Head of PP Muhammadiyah in a meeting in Indonesian Embassy in the Netherlands last February. Such statements are actually parts of the problem. Are those remarks really true, and concretely realized in our daily life? Isn't the reality just the opposite ?

(6)

Fokus

hak hidup bermasyarakat? Apakah mereka yang beragama Sikh, Baha'I, Yahudi bisa melangsungkan pernikahan mereka tanpa kesulitan? Apakah di KTP, mereka bisa dengan bebas mencantumkan agama

mereka? Apakah komunitas Ahmadiyah, Lia Eden

bisa dengan bebas melakukan kegiatan mereka tanpa dihasut, diganggu dan diperlakukan dengan tidak beradab dan kekerasan oleh siapa pun juga? Mungkinkah kelompok perguruan silat seperti Mahdi di Sulawesi Tengah, Mahesa Kurung di Jawa Barat menjalankan kegiatan mereka tanpa dituding sebagai aliran sesat? Apakah komunitas agama-agama local, seperti Kaharingan, Marapu, Parmalim, Tolotang, Bisu dapat dengan bebas menyelenggarakan upacara kepercayaan mereka tanpa harus dianggap sebagai “bukan agama”, karena itu harus “diagamakan”?

Hal ini membuktikan betapa pembohongan publik serta ambivalensi negara dan lembaga keagamaan seperti itu berbahaya. Barangkali sudah menjadi sebuah “tradisi” bagi kebanyakan elit pemerintahan dan lembaga keagamaan. Hal yang bertentangan dengan Konstitusi, sekaligus wujud penyangkalan terhadap realitas. “Tradisi”, yang kalau tidak dicermati atau tidak dikiritisi akan menjebak masyarakat masuk ke dalam perpecahan.

Sampai kapan pembohongan publik kepada

masyarakat luas seperti ini akan berlangsung? Dimana konsistensi pemerintah atau negara atau lembaga-lembaga keagamaan dalam hal “kebebasan beragama dan berkepercayaan?”

Perlu berubah-tanpa kekerasan

Memang ada persoalan teologi atau aqidah di sana. Persoalan yang dianggap tidak bisa disentuh, karena sedemikian sensitive, dianggap sebagai sebuah “harga mati”, seakan-akan tidak bisa dikritisi dan didiskusikan lagi. Padahal menyangkut dinamika hubungan antara keimanan dan kehidupan itu sendiri. Kehidupan dinamis, yang selalu mengalami interaksi dengan segala bentuk realitas kehidupan sehari-hari. Karena itu, teologi atau aqidah adalah sebuah refleksi atas pengalaman riil, dinamika antara keimanan dan realitas. Dalam Islam misalnya kita mengenal ada aqidah Ahlusunnah waljamaah, aqidah Asy’ariah, aqidah Syiah. Dalam Kristen, misalnya ada teologi Calvinis; Lutheran; atau evangelical, ekumenis, dan lain sebagainya.

Dalam beberapa kasus di masyarakat saat ini, teologi atau aqidah dianggap dan dijadikan sebuah “titik” penghabisan yang normative, statis dan sifatnya doktriner, seakan-akan “kehidupan”

and develop in the society ? Are people of Sikh, Baha'I, and Judaism religions able to get married without any constraints, especially from the state? Their ID cards, can they freely put their religions ? Could the communities of Ahmadiyah or Lia Eden freely do their activities without being disrupted, annoyed, or treated uncivilizedly and violently by others ? Could silat (Indonesian martial arts) schools such as Mahdi's in Central Sulawesi , Mahesa Kurung in West Java, do their activities without being accused as practicing false teachings ? Could indigenous

religious communities, such as Kaharingan, Marapu,

Parmalim, Tolotang, Bisu freely carry out their religious ceremonies without being considered as “non- religion community”, and therefore have to be “religionized”?

It only proves one point: that such public lie and ambivalence nature of the state and religious institutions are dangerous. Perhaps it has been a “tradition” for most government and religious institutions' elites to do something against Constitution, while at the same time also a form of denying against reality . A “tradition”, which if not Scrutenized well or criticized, will entrap the communities into a form of schism.

The question now is until when such public lie is carried on. Where is the consistency of the government or the state or religious institutions in the issue of “freedom of religious & faith expression?”

A Change is Required-without violence

Indeed, there is lay a theological issue. It is an issue considered as untouchable, as it is of a very sensitive nature, and is regarded as a “fixed price”, as if it cannot be criticized and discussed anymore. On the other side, we talk about the dynamic of relations between faith and life itself; it is a dynamic life that always experiences interactions with all forms of daily life. Therefore, theology or aqidah is a reflection of a real experience, the dynamic between faith and reality. In Islam for example, we are familiar with Ahlusunnah waljamaah aqidah, Asy'ariah aqidah, and Syiah aqidah.In Christianity, we know Calvinist, Lutheran, Evangelical, Ecumenic theologies, etc.

(7)

Edisi Juni 2006

7

Focus

manusia dan realitas, bahkan keimanan /aqidah manusia sudah berhenti pada titik itu dan tidak mengalami dinamika lagi. Padahal, semakin manusia mampu bersentuhan dengan dinamika realitas sehari-hari justru keimanan atau aqidahnya akan semakin dewasa yang kemudian akan memampukannya untuk menghargai realitas itu tanpa melemahkan keimanan atau aqidahnya sama sekali, melainkan memperteguh. Di sini pentingnya melakukan reinterpretasi, pemikiran ulang terhadap teologi atau aqidah, bahkan ajaran-ajaran agama yang ada selama ini. Perlu memikirkan kembali bagaimana menjalani hidup beragama? Tanpa maksud mengubah dasar-dasar serta prinsip dan “identitas” yang paling hakiki dari masing-masing agama. Karena teologi atau aqidah bukanlah sebagai “ukuran” dan atau “patokan” untuk memberhentikan dinamika kehidupan, tetapi kehidupan yang dinamis itulah merupakan dasar teologi atau aqidah, sekaligus dasar untuk berteologi dan beraqidah.

Hal lain yang perlu dicermati adalah,

pentingnya kejujuran, kritik diri, ketulusan dan keterbukaan yang sungguh-sungguh serta arif dari semua pihak, masyarakat, komunitas agama dan kepercayaan, negara, lembaga-lembaga keagamaan, institusi serta individu yang ada di dalamnya dalam menghadapi perkembangan dan dinamika pluralitas di masyarakat. Dalam hal ini pluralitas agama dan kepercayaan. Itu berarti akan menyentuh aspek-aspek institusional juga non-institusional, seperti

pemahaman-pemahaman terhadap agama,

keagamaan, hidup beragama, dan lain sebagainya. Bila kita mau realistis dengan realitas kehidupan yang terjadi di Indonesia, maka eksistensi kepelbagaian apa pun, termasuk agama dan kepercayaan yang ada dan hidup di Indonesia tidak akan pernah dapat dihentikan atau dilarang oleh lembaga apa pun, termasuk negara, lembaga-lembaga keagamaan atau oleh komunitas agama tertentu dengan alasan apapun. Penghentian, pelarangan dalam bentuk apa pun, apalagi dalam bentuk kekerasan hanya akan melahirkan “kekuatan baru” yang lebih jujur, terbuka dan realistis di masyarakat, dari masyarakat, oleh masyarakat, untuk masyarakat. Kekuatan inilah yang akan mengatakan kepada negara, kepada lembaga-lembaga keagamaan atau kepada kelompok-kelompok tertentu dalam agama tertentu, kepada individu-individu yang senang dengan larangan-larangan, peraturan-peraturan yang menghambat kehidupan saling menghargai

aqidah of human beings has stopped at that point and will no longer experience any dynamics. Whereas the mature people keep in touch with the dynamics of daily reality, the more mature their faith or aqidah will be. In turn, it will make them more possible to appreciate this reality without weakening their faith or aqidah at all. Instead, it will strengthen it. There lies the important point to reinterpretatie, rethinking of theology or aqidah, and religious teachings. We need to rethink of how we practice our religion in life, without changing the basics, principles, and the most essential “identities” of each religion. This is due to the fact that theology or aqidah is not a “measurement” and or “standard” to stop the dynamics of life. Instead, this dynamic nature of life is the basic of theology or aqidah, as well as the basic of practicing theology and aqidah.

Another point worth to take a note of is the honesty, self-criticism, sincerity, and openness from all stakeholders, the community, religious congregations, the state, religious institutions, as well as individuals involved in facing development and dynamics of plurality in the community; in this case the plurality of religions and faiths. It means it will also touch institutional as well as non-institutional aspects, e.g. understandings toward religions, religiosity, religious practices, etc.

If we are to be realistic, the existence of any diversity, comprising religions and faiths living and developing in Indonesia will never be able to be put into halt or banned by any institution, whether the state, religious institutions, or any religious communities under whatever reasons. Any attempt to stop or ban it in any form, moreover in form of violence, will only give birth to a more honest, open, and realistic “new power”in the community; from the community, by the community, and for the community. It is this power that will loudly pronounce to the state religious institutions, to certain groups in certain religions, or to individuals who find banning or regulations constraining life based on mutual appreciation and respect amusing; all those with violent “tradition”, that “life” is the basic right of every human being ; “having one or no religion” and “having one or no faith” is the basic right of each human being, every citizen. It

(8)

Opini

dan menghormati, yang memiliki “tradisi” kekerasan, bahwa “kehidupan” adalah hak hidup semua orang; “beragama atau tidak beragama” dan “berkepercayaan atau tidak berkepercayaan” adalah hak hidup setiap orang, setiap warga negara. Tidak perlu diatur oleh negara, apalagi menentukan bahwa “harus beragama” dan “harus memilih salah satu dari 6 agama”. Tidak perlu diatur apalagi diancam oleh kelompok tertentu yang menganggap diri

memiliki otoritas untuk melarang, mengusir,

menutup dan memperlakukan kelompok lain secara tidak beradab. Kemampuan masyarakat dalam memahami realitas dan hak hidup mereka tidak serendah itu lagi. Masyarakat tidak sesederhana untuk

dengan sewenang-wenang diperlakukan secara tidak manusiawi dengan kekerasan.

Keadaan seperti ini sangat mungkin terjadi disebabkan oleh sikap yang ambivalen negara. Sikap yang membuat masyarakat terpecah belah dan hidup dalam ketidakpastian serta merasa tidak aman. Sikap yang memberi legitimasi kepada kelompok tertentu untuk melakukan intimidasi dan tindak kekerasan terhadap kelompok lain?

Ambivalensi ini membuktikan bahwa ada persoalan dalam negara yang perlu diperjelas, dikritisi dan diperbaiki. Relasi antara agama dan negara perlu dilihat kembali. Pelbagai kebijakan dan perundangan yang hadir dalam kerangka berpikir hegemonic negara terhadap agama perlu ditinjau kembali. Fungsi, makna substansial dan cara-cara hegemonistik dari perangkat-perangkat lembaga kenegaraan yang berhubungan dengan agama, yakni Departemen Agama, juga lembaga-lembaga keagamaan seperti MUI, PGI, KWI, WALUBI, PHDI dan MATAKIN bahkan lembaga-lembaga hukum sert kepolisian perlu ditinjau kembali, dibongkar dan dikembalikan kepada manusia sebagai warga negara dengan seluruh hak-hak dasarnya.[]

Terjebak Nalar Kolonial

*

Syamsurijal (Ijhal Thamaona)

iapa yang tidak kenal MUI? Rasanya sulit menemukannya. Sayangnya ketenaran

S

lembaga Islam ini bukan karena

gagasan-is something that does not require any interference from the state, moreover in regulating that one must “have a religion” and “have to choose one of the 6 religions”. We do not need any interference, moreover threat from certain groups considering themselves have the authority to ban, get rid of, disperse, or treat other groups or communities uncivilizedly. The capability of the community in understanding reality and their basic rights is not that weak anyymore. They are not that naive to accept inhuman, violent treatment anymore.

Such a situation is very possibly caused by the ambivalent nature of the state: the attitude that divides the community and causes them to live in uncertainty and feeling of unsecurity; one that legitimizes certain groups to do intimidation and violent actions to other communities or groups.

This ambivalence clearly shows that there is an issue in the state that needs to be clarifies, criticized, and improved. the relations between religons and the state need to be reviewed. Various policies and legislations present in the hegemonic frame of mind of the state towards religions need to be reviewed . The function, substantial meanings, and hegemonic means of religion-related state institutions, i.e. Ministry of Religious Affairs, as well as religious institutions such as MUI, PGI, KWI, WALUBI, PHDI and MATAKIN, even legal institutions and the police dept. need to be analyzed, dissected, and returned to human beings as citizens with all their basic rights.[]

Trapped in a Colonial Frame of Mind

*

Syamsurijal (Ijhal Thamaona)

ho does not know MUI? It will be difficult to find one that does not.

W

Unfortunately, the fame of this Islamic

institution is not gained through its constructive ideas, but through its fatwa or teachings regarding

*

(9)

9

Edisi Juni 2006

Opinion

gagasannya yang konstruktif melainkan karena fatwa-fatwanya yang menganggap beberapa praktek keber-agama-an masyarakat

sesat dan menyesatkan. Salah satunya adalah kasus Yusman Roy, seorang pimpinan pesantren I'tiqaf Ngadi Lelaku Malang, Jawa Timur. Yusman Roy d i a n g g a p s e s a t k a r e n a d a l a m mempraktekkan shalat tidak hanya berbahasa Arab tetapi diartikan ke dalam bahasa Indonesia. Inilah problemnya, karena menurut ketua komisi fatwa MUI di Jakarta, Ma'ruf Amin, “tidak ada shalat yang seperti itu, shalat harus mengikuti Rasulullah”.

Setelah Yusman Roy, giliran Ahmadiyah Qadiyan yang mendapatkan nasib serupa, dituduh sesat dan menyempal dari Agama Islam. Bagi kalangan Ahmadiyah, fatwa sesat dari MUI ini ibarat pepatah sudah jatuh tertimpa tangga pula. Ahmadiyah yang diserang oleh sejumlah kalangan masyarakat yang mengatasnamakan Umat Islam malah difatwa sesat oleh MUI.

Di Sulawesi Barat, ada juga kelompok yang dianggap sesat karena shalatnya dilakukan sambil bersiul. Kabarnya setelah mereka ini difatwa sesat, masih ada beberapa kelompok Islam lainnya yang juga akan difatwa sesat.

Apakah ini fenomena baru di Negara Indonesia ini? Sama sekali bukan, ini adalah problem lama dari Negara Indonesia yang menerapkan sistem kontrol yang begitu kuat terhadap keber-agama-an

masyarakat.

Kenyataan ini menunjukkan adanya ambiguitas dalam kebijakan negara kita. Salah satu sisi seakan-akan mengakui kebebasan beragama dari rakyatnya seperti yang tertuang dalam pasal 29 UUD 45, tetapi bersamaan dengan itu memperketat pengawasan dalam menjalankan agama yang justru rentan menimbulkan diskriminasi dalam kehidupan beragama.

Ambiguitas kebijakan ini sangat dipengaruhi oleh faktor politik kekuasaan yang dijalankan oleh pemerintah dibandingkan soal menjaga kemurnian dari agama itu sendiri. Memang dalam hal ini pemerintah m e m i n j a m t a n g a n p a r a a g a m a w a n u n t u k mempermudah proses kontrol terhadap warga negaranya. Suara kalangan agamawan menjadi semacam Panopticon (Menara Pengawas) ala Jeremy Bentam (Michael Foucault; Dicipline and Punish,

1977). Dimana seorang tawanan merasa terus diawasi

meskipun sesungguhnya di menara sudah tidak ada siapa-siapa. Pengawasan semacam ini lebih

numerous religious teachings existing in the community as false and misleading. One of these cases is that of Yusman Roy, a leader of I'tiqaf Ngadi Lelaku Malang Islamic boarding school in East Java. Yusman Roy is regarded a blasphemy since he practices Islamic prayers not only in Arabic, but also in Indonesian. There lies the problem, as according to the Head of MUI fatwa Commission in Jakarta, Ma'ruf Amin, “there is no such shalat / Islamic prayer. All shalat have to follow the example of Rasulullah”.

After Yusman Roy, now it is Ahmadiyah Qadiyan's turn to have the same fate, accused of being a blasphemer and not in line with Islam. For Ahmadiyah followers, the fatwa claiming that they are practicing false religion from MUI is like a saying lightning does strike twice. Ahmadiyah that had been attacked by some circles in the community on behalf of Moslems was regarded having false teaching by MUI.

In West Sulawesi, there is also an Islamic community regarded as heretic since their prayer is carried out while whistling. After they are considered as a false group, there are still numerous other Islamic groups that will also be regarded as having false teachings.

Is this a new phenomenon in Indonesia? Not at all, it is an old problem from Indonesia that applies strong control system to religiosity of the

community.

This reality shows existence of ambiguity in our state's policy. On one side, it is as if the state recognizes religious freedom as written in Article 29 of (Constitution) 1945, but at the same time also strengthens supervision in practicing religion which will instead initiate discrimination in religious life.

This ambiguity of policy is more greatly affected by political power factor run by the government than by efforts of keeping the purity of religion itself. Indeed, in this context, the government borrows the hands of religionists to make the process of control to its citizens easier. The voice of religionists has become a sort of

Panopticon (Watch Tower) a la Jeremy Bentam (Michael Fuchoult; Dicipline and Punish, 1977), where prisoners feel they are being watched even though there is no one in the tower. Such a watch is more of cognitive and intuitive nature than physical

(10)

Opini

mengarahkan pada kognisi dan sanubari, dibanding pada fisik, namun efek kontrolnya jauh lebih efektif.

Karena itu sejak dulu beberapa kalangan yang dianggap menyempal dari Islam harus menerima resiko, dianggap sesat dan bisa dibubarkan bahkan ditangkap dan dipenjarakan atau rela diatur oleh Negara dengan pakem-pakem yang

telah ditetapkannya. Kasus Tolotang yang harus rela

menerima Hindu sebagai agamanya, yang ditetapkan dengan keputusan menteri No. 6 tahun 1966. Demikian halnya Komunitas Tanah Toa Kajang yang diatur kepercayaannya sebagai Agama Islam adalah contoh-contoh komunitas yang (terpaksa) rela diatur

untuk mempertahankan eksistensinya.

Sistem kontrol Negara ini biasanya

dilanggengkan lewat sistem statistik Negara.

Menurut Ben Anderson (Bennedict Anderson;

Imagined Communities: 2001) dalam sistem logika seperti ini, menjadi bagian dari (masyarakat) Indonesia berarti harus dapat dicatat dalam sistem catatan negara (statistik); siapapun nama anda, anda harus mengisi kotak agama (itu pun tidak boleh keluar dari agama dan aliran resmi yang diakui Negara), jenjang pendidikan, jenis kelamin (harus laki-laki atau perempuan), dan beberapa kotak tambahan lain, seperti sudah/ belum menikah, dan seterusnya. Inti dari sistem berpikir seperti ini adalah kebakuan, dan keajegan (statik). Dalam sisitem seperti ini, kita akan kesulitan memperlakukan agama sebagai bagian dari dinamika hidup yang berliku-liku. Kalau kita memilih salah satu agama sebagai keyakinan kita, maka dalam logika statistik agama pilihan kita itu tidak boleh berubah. Kalau pada hari ini misalnya kita memilih Islam sebagai agama kita tetapi dikemudian hari karena pertimbangan tertentu kita ingin pindah ke agama Budha atau malah tidak mempercayai agama resmi, logika statistik tidak akan bisa menerimanya. Demikian halnya logika statistik tidak akan bisa menyerap cara kita beragama yang keluar dari

mainstreem. Kasus Ahmadiyah, Yusman Roy ataupun komunitas Tanah Toa Kajang adalah contoh-contohnya. Kelompok-kelompok agama yang seperti ini karena tidak bisa terserap oleh logika statistik maka dikelompokkan sebagai murtad, anemisme, sesat ataupun kafir. Soalnya sederhana, kotak telah dan telanjur disediakan sedemikian rupa untuk mengidentifikasi “siapa kita”

Bila dilacak, sejarah pengawasan dan kontrol dalam beragama ini muncul pada masa

Kolonial dengan munculnya Stassblad No. 44 tahun

1941 oleh Snouck Hurgronje. Ini direproduksi kembali oleh Presiden Soekarno dengan Penetapan Presiden No. 1 tahun 1965 tentang pencegahan

.

one, but the control effect is much more effective. Thus, numerous circles considered deviating from Islam have to take their risks, regarded as heretic and could be dispersed or even contained in prisons, or have to be willing to be managed by the state with all its regulations. In Tolotang case, they have to be willing to accept Hinduism as their religion, as determined by Minister's Decree No. 6 in 1966. The same case occurs with Tanah Toa Kajang community whose faith has been determined as Islam. Those were the cases of communities (forced toaccept) managed by the state to maintain their existence.

The control al system of the state is

commonly preserved through State statistic system.

According to Ben Anderson (Bennedict Anderson;

Imagined Communities, 2001) in such logic system, being a part of Indonesian (community) means that we have to be recorded in the state's recording system (statistics); whoever your name is, you have to fill out religion column provided in the form (and the religion should be one officially recognized by the state), level of education, sex (has to be male or female), and other additional columns, such as single / married, etc. The essence of this system is standard ization and static nature. In such a system, we will find difficulties in treating religions as a part of winding life dynamics. If we are to choose one religion as our faith, in the logic of statistic, our opted religion cannot be changed. If today for example we opt for Islam as our religion, but then in the future, due to some considerations, we want to convert to Buddhism or we do not believe in any official religions, the logic of statistics cannot accept it. Similar case takes place if our ways of practicing religions is out of the mainstream. The cases of Ahmadiyah, Yusman Roy or Tanah Toa Kajang community are just few of the samples. Such religious communities, since they cannot be engrossed by the logic of statistic, are categorized as apostates, followers of animism, heresies, or infidels. The problem is simple, the columns are already available and are provided to identify distinctly “who we are”

If traced back, the history of supervision and control in religions emerged in colonial time with the emerging of Staasblad No. 44 year 1941 by Snouck Hurgronje. It was then reproduced by President Soekarno with Presidential Decree No. 1 / 1965 on prevention on Desecration and Abuse of Religions. In the New Order era, the decree was made UU (Law) No. 5 / 1969. It is interesting to note

(11)

Edisi Juni 2006

11

Chronicle

penodaan dan penyalahgunaan agama. Pada masa ORBA Pepres ini ditetapkan menjadi UU No. 5 tahun 1969. Menarik diperhatikan karena pada masa

ORBA produk hukum dari era ORLA dan kolonial ini

justru ditetapkan menjadi UU. Mestinya produk aturan semacam ini hilang sebab kemunculan ORBA salah satunya adalah mengkoreksi keberadaan ORLA. Kemunculan UU ini pada masa ORBA berimplikasi pada penunggalan lembaga yang berwenang dalam agama yang kemudian melahirkan MUI. MUI-lah kemudian bersama Kejaksaan yang punya wewenang untuk melihat soal-soal penodaan agama ini. Yang lebih mengherankan lagi di era Reformasi ini posisi dari MUI yang merupakan implementasi kebijakan ORBA masih begitu kuat bahkan dominan.

Pertanyaannya kemudian, kalau aturan pengawasan dan pengendalian agama berasal dari Belanda (penjajah), mengapa negara kita masih t e r u s m e l a n g g e n g k a n n y a b a h k a n mereproduksinya?.

Inilah problem negara yang pernah dikoloni.

Dalam banyak hal apa yang dijalankannya masih terjebak dalam konstruksi kolonial. Ini dimungkinkan karena nalar semacam ini sudah terbangun menjadi pengetahuan dan kebenaran, sehingga ia dijalankan

dibawah kesadaran kita.

K a r e n a i t u m e n g a t a s i p r o b l e m "keterjebakan nalar kolonial" ini, mau tak mau kita harus melakukan kritik terhadap berbagai hal dalam tatanan bernegara dan bermasyarakat kita saat ini yang sudah dianggap mapan, mulai dari soal hukum, nilai bahkan kebudayaan kita. Tentu saja ini adalah proyek panjang dan melelahkan, tapi tanpa melakukan ini, perjuangan kita menuju nalar kesetaraan dan keadilan bisa menemui jalan buntu. Soalnya kita sendiri belum sadar diri dari belenggu kolonial yang memang menginginkan ketidaksetaraan (non equality) dan ketidakadilan.[]

1. Lesehan Bersama Pastor Jong*

emajemukan agama masyarakat Indonesia

ternyata sangat kurang diakomodir oleh sistem pendidikan di Indonesia, terutama pendidikan

K

agama. Fenomena tersebut kemudian mendorong para pemerhati pendidikan berupaya untuk mengusahakan materi dan metode pendidikan agama yang kreatif serta pluralis. Hal tersebut yang antara lain dibicarakan dalam lesehan pendidikan tanggal 6 Februari 2006, di DIAN/Interfidei dengan menghadirkan pembicara Pastor Jong, pemerhati Pendidikan dari Sulawesi

that in the New Order era, the regulations from the Old Order and colonial era were instead elevated to a Law/ such regulation should have been dismissed since the emergence of the New Order should correct the existence of the Old Order. The passing of this particular Law in the New Order era implies on concentration of power on one religious institution which then gives birth to MUI. Then, it is MUI and the Attorney General office that have the authority to oversee these religious desecrations issuer. More surprisingly, in the reformation era, the position of MUI, which serves as implementation of New Order policies, is still very strong and even dominant.

The question then is, if the supervision and control of religions originate from the Dutch (colonials), why is it that our state maintains and even reproduces it?

It is the problem of a an ever-colonized state. In many factors, what they do is still trapped in colonial thinking construction. It is feasible as such frame of mind has been formed as knowledge and truth, and it is established already in our unconscious mind.

Therefore, to overcome this problem of "colonial mindset entrapment", whether we like it or not we need to do criticism towards numerous subjects in the order of our state and community that has been considered established, starting from legal issues, values, and even our culture. Of course it is a long and tiring project, but if we don't do it, our struggle to equality and justice could meet a dead end. The problem, still, is that we are not aware of the colonial shackle that really wants non-equality and injustice.[]

1. Lesehan With Father Jong

he pluralism of Indonesian community is not sufficiently accommodated by the education

T

system, in specific religion education. This

phenomenon then encourages observers of education to work on the material and method of creative and pluralist religion education. It was among the agenda discussed in an education

lesehan on February 6 2006, in DIAN/Interfidei. The speaker of the program was Pastor Jong, an observer of education from North Sulawesi.

(12)

Kronik

Utara.

L e s e h a n pendidikan yang diikuti oleh guru-guru agama yang tergabung dalam Forum Guru Agama, berlangsung sangat inspiratif dan menjadi

support bagi guruguru agama lainnya untuk berpikir ulang tentang

metode dan kurikulum

pendidikan agama yang s e l a m a i n i m e r e k a

bawakan. Sebelum diskusi lesehan dimulai, semua peserta diskusi bersama dengan Asrham Gandhi

melakukan agnihotra.*

2. Advokasi Rumah Ibadah Hindu

nstitut DIAN/ Interfidei bekerjasama dengan beberapa elemen masyarakat seperti mahasiswa

I

UIN Sunan Kalijaga, LKiS, Seminari Tinggi,

Ashram Narayan Smerti dan pribadi-pribadi yang pempunyai perhatian pada masalah hubungan antar kelompok keagamaan melakukan advokasi terhadap permasalahan sengketa tempat ibadah Hindu di dua tempat, yaitu di Pantai Ngobaran desa Kanigoro kecamatan Saptosari kabupaten Gunung Kidul dan di pantai Patehan Samas Bantul berkaitan dengan rencana pembangunan Pura Segara. Pertama-tama yang ingin dilakukan adalah menjembatani kembali komunikasi antar beberapa institusi agama dan juga bagian KUB kanwil Depag DIY.

Untuk kasus di Gunungkidul, pada tanggal 24 Februari 2006 rombongan dari Interfidei mengadakan survei ke Pantai Ngobaran desa Kanigoro kecamatan Saptosari. Diharapkan dari survei ini memberi informasi yang lebih lengkap tentang situasi di pantai Ngobaran.

Kemudian berkaitan dengan rencana pembangunan Pura Segara di pantai Patehan Samas Bantul, sebidang tanah Sultan Ground yang didapat Parisadha Hindu Darma DIY pada tahun 1995, sebenarnya ijin prinsip dari pemerintah kabupaten Bantul sudah diperoleh. Sambil menunggu surat Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) turun, tanah sudah

T h i s

e d u ca t i o n l e s e h a n

followed by teacherr who join in Religion Teachers Forum went on very inspirationally and became a support for other religion teachers to rethink the method and curriculum of religious education they have so far taught. Before t h e d i s c u s s i o n c o m m e n c e d , a l l p a r t i c i p a n t s o f t h e discussion and Asrham Gandhi members carried out agnihotra.*

2. Advocacy of Hindu House of Prayers

nstitut DIAN/ Interfidei collaborated with a number of elements in the community such as

I

students of UIN Sunan Kalijaga, LKiS,

Seminari Tinggi, Ashram Narayan Smerti, and individuals with concerns to inter-religious community relations carried out an advocacy for dispute over Hindu house of prayers in two places, i.e. Pantai Ngobaran, Kanigoro village, Saptosari sub-district, Gunung Kidul district, and Patehan Samas beach in Bantul in relation to the building of Pura Segara. The first and main action to be carried out would be re-bridging the communication among numerous religious institutions and the Ministry of Religious Affairs in the provincial level in Yogyakarta.

For Gunungkidul case, on 24 February 2006, a group from Interfidei conducted a survey to Ngobaran beach, Kanigoro village, Saptosari sub-district. It is expected that this survey would provide us with more complete information on situation at Ngobaran beach.

Regarding the plan of Pura Segara development at Patehan Samas beach in Bantul, a piece of land owned by Sultan Ground obtained by Parisadha Hindu Darma DIY in 1995, the principal license from Bantul district government has actually been obtained. While waiting for the Building Construction Permit (IMB), the land had been

Fo to : a c a ra d iskusi d i DIAN/ Inte rfid e i

(13)

Edisi Juni 2006

13

Chronicle

dibersihkan dan upacara memohon restu dari Tuhan pun dilaksanakan. Namun

kemudian ada demonstrasi dari kalangan masyarakat yang mengatasnamakan

umat Islam di DPRD

Bantul. Belum diketahui pasti daerah asal para demonstran, tetapi aktifitas mereka ditafsirkan oleh aparat terkait sebagai bentuk keberatan warga. Padahal sesungguhnya pihak yang berwenang bisa m e m e r i k s a u l a n g p e r s y a r a t a n u n t u k mendapatkan ijin prinsip yang tentu saja sudah

mendapatkan persetujuan dari warga sekitar hingga tingkat kecamatan.

Umat Hindu dengan dikoordinir oleh Parisadha telah menghadap Sultan untuk mendapat dukungan Sultan kembali. Sri Sultan kala itu menyerahkan proses pada masyarakat dan menyarankan agar mencari tanah Sultan Ground yang bisa digunakan di lain tempat. Tetapi tentu saja tidak mudah untuk mendapatkan lahan kosong. Sepuluh tahun sudah berlalu dan tahun 2006 ini Parisadha Hindu Dharma DIY mengharap dukungan dari berbagai kalangan baik perguruan Tinggi, Institusi-institusi Agama, Lembaga Swadaya Masyarakat dan Organsiasi Masyarakat yang peduli dengan upaya-upaya melestarikan kerukunan antar umat beragama di Jogjakarta. [ ]

3. SEMILOKA SORONG TAHAP II

nterfidei kembali ke tanah Papua untuk menggelar acara seminar dan lokakarya tahap

I

II sebagai kelanjutan dari semiloka tahap I

tanggal 15-18 Juni 2005. Acara ini terselenggara pada tanggal 23-25 Februari 2006 di Hotel Pilihan Sorong atas kerjasama Interfidei dengan Yayasan Oyo Papua dan Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Manokwari Sorong. Acara ini dibuka oleh Ibu Elga Sarapung, Direktur Dian Interfidei, yang sekaligus

menyampaikan maksud dan tujuansemiloka tahap

II. Semiloka tahap II mengambil tema “Kerjasama Antar Umat Beriman Menghadapi Pluralisme, Konflik dan Mengusahakan Perdamaian di era

cleared and the religious ceremony to ask for God's blessing has also been carried out. However, there was then a rally f r o m a c i r c l e o f community on behalf of Islam congregation at DPRD Bantul. The protesters' origin is not identified yet, but their activity was interpreted by related authorities as a form of people's objection. In reality, the authority could have r e c h e c k e d t h e prerequisites to gain the principal license that naturally have been agreed by the neighbors in the sub-district level.

The Hindu congregation, coordinated by Parisadha, then asked for audition with the Sultan to regain his support. Sri Sultan at that time submit the process back to the community and suggested that they looked for Sultan Ground land they could use in another location. However, of course it is not easy to gain an empty land. Ten years have passed by and in 2006, Parisadha Hindu Dharma DIY is awaiting for the support from various circles, whether from universities, religious institutions, NGOs, or CBOs with concerns to efforts of maintaining harmonious life among religious communities in Jogjakarta. [ ]

3. SORONG WORKSHOP AND SEMINAR II

nterfidei returned to Papua so it to hold seminar

I

and workshop program for the second phase as a

follow-up of the first stageworkshop on June 15-18

2005. The program was carried out on 23-25

February 2006 at Pilihan Hotel in Sorong as a collaboration between Interfidei and Yayasan Oyo Papua and Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP / Secretariat of Justice and Peace), the Diocese of Manokwari Sorong.

The program commenced with an opening remark by Ms. Elga Sarapung, Director of Dian Interfidei, who conveyed as well the objectives of this second stage workshop. The theme of the workshop is “Inter-religious Community

(14)

Kronik

Otonomi Khusus Papua”. Acara ini menghadirkan 4 pembicara, yaitu Drs.

Lambang Trijono, MA (dosen Fisipol UGM), Dr. Noakh Nawipa (Ketua STT W a l t e r P o s Jayapura), Drs. Yan P i e t e r R u m b i a k (birokrat dan penulis buku) dan Norbertus Yu m t e ( D i r e k t u r S K P - K e u s k u p a n Manokwari Sorong) serta dimoderatori oleh Ferry Taa.

Pembicara pertama adalah Drs. Lambang

Trijono, MA yang membahas tentang kebijakan

militer dan politik Pemerintah Pusat terhadap Papua serta implementasi Otonomi Khusus Papua. Kemudian Dr. Noakh Nawipa selaku pembicara kedua menegaskan tentang pentingnya peran umat beriman dalam menghadapi realitas pluralisme, konflik dan mengusahakanperdamaian di Papua. Pembicara ketiga adalah Drs. Yan Pieter Rumbiak yang membahas tentang implementasi UUNo. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua serta pengaruhnya terhadap konflik Papua. Lalu Norbertus Yumte selaku pembicara terakhir membahas tentang pemetaan potensi konflik dan usaha perdamaian di tanah Papua.

Acara seminar dimulai pada pukul 09.00 WIT sampai 13.30 WIT, kemudian dilanjutkan dengan sesi pendalaman materi seminar yang kegiatannya terdiri dari diskusi kelompok, role play, sharing pengalaman dan pemutaran film. Semiloka ini dihadiri oleh 84 peserta yang terdiri dari tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh perempuan, mahasiswa dan elit birokrat. Para peserta semiloka tahap II ini adalah peserta semiloka tahap I. Seluruh rangkaian acara diakhiri dengan malam persaudaraan pada tanggal 25 Februari 2006. Para peserta berjanji untuk tetap menghidupkan

Cooperation in Facing Pluralism, Conflicts, and Conducting Efforts in Realizing Peace in the era of Special Autonomy of Papua”. There were 4 speakers in the program, i.e. Drs. Lambang Trijono, MA (lecturer of Faculty of Social and Political Science, UGM), Dr. Noakh Nawipa (Head of STT Walter Pos Jayapura), Drs. Yan Pieter Rumbiak (a bureaucrat and book author) and Norbertus Yumte (Director of SKP Diocese of Manokwari Sorong), moderated by Ferry Taa.

The first speaker, Drs. Lambang Trijono, MA, discussed military and political policies of the Central government re Papua and implementation of Special Autonomy of Papua. On the other hand, Dr. Noakh Nawipa as second speaker emphasized on the significance of the role of religious people in facing the reality of pluralism and conflict and in conducting efforts for peace in Papua. The third speaker was Drs. Yan Pieter Rumbiak who discussed the implementation of Law No. 21/2001 on the Special Autonomy of Papua and its influence on Papua conflicts. Norbertus Yumte which acted as the last speaker presented mapping of conflict potentials and efforts for peace in the land of Papua.

The seminar commenced at 09.00 WIT and

ended at 13.30 WIT, which was then continued with a

further discussion on the seminar's material which activities comprise of group discussion, role play, sharing of experience, and watching of a movie. The program was attended by 84 participants consisting of community figures, religious leaders, women figures, university students, and bureaucrate elites. The participants for this second phase program were ones attended the first stage of the workshop and seminar. The whole series of activities ended with a cultural evening program on February 25, 2006. Participants agreed to maintain their togetherness in one institute called Plukopers (Pluralisme,Konflik dan Perdamaian

Fo to : Se m ilo ka d i So ro ng

(15)

Edisi Juni 2006

15

Chronicle

kebersamaan mereka dalam wadah Plukopers (Pluralisme, Konflik dan Perdamaian untuk Sorong).[ ]

4. Refleksi Budaya Goenawan Mohamad

“Refleksi Budaya:

Agama dalam Masyarakat Modern yang Paradoksial”

ejala menguatnya “fundamentalisme” agama pada satu sisi, dan “liberalisme”

G

agama di sisi lain semakin menampakkan

wajah agama yang paradoks. Wajah agama yang seperti ini ternyata bukan sesuatu yang berdiri sendiri, namun berpaut erat dengan konstruksi nalar modernitas yang ditandai oleh k u a t n y a p e r a n r a s i o n a l i s m e . M e s k i p u n m o d e r n i s m e membuktikan dirinya mampu mendorong umat manusia untuk m e m p u n y a i k e s a n g g u p a n

mengevaluasi sejarah yang telah

dibangunnya. Namun, kerusakan alam

yang akut, jaring-jaring ketidakadilan sistemik yang melahirkan kemiskinan dan peperangan dari skala yang kecil, hingga besar menjadi sisi-sisi yang tidak bisa dipungkiri banyak ”menempel” pada modernitas. Dan agama, sebagaimana acapkali ditampilkan oleh para elitnya, sering tidak bisa melampaui nalar modern dan menjadi jalan keluar dari permasalahan yang ada.

Karena itu, Interfidei yang selama ini

berusaha mendialogkan berbagai keperbedaan agama serta kehidupan kemasyarakatan, mengajak berbagai kelompok sosial, terutama kaum muda, untuk merefleksikan kembali visi agama dalam praktik hidup masyarakat modern. Refleksi yang diselenggarakan di kantor Interfidei ini diberi judul ”Mempertanyakan Makna Agama dalam Masyarakat Modern yang Paradoksial.” Secara khusus budayawan Goenawan Mohamad datang untuk refleksi ini yang dimoderatori oleh Suhadi, staf Interfidei. Kegiatan yang diselenggarakan secaralesehan pada 6 Pebruari 2006 tersebut dihadiri tidak kurang dari 75 peserta, sebagian besar anak muda dari berbagai latar agama, lokus kajian serta gerakan. Refleksi ini mengajukan pertanyaan bagaimana membangun cara pandang baru terhadap agama-agama yang mendorong keterbukaan, kejujuran dan sekaligus memelihara

untuk Sorong / Pluralism, Conflict, and Peace for Sorong).[ ]

4. Goenawan Mohamad's Cultural Reflection

“Cultural Reflection:

Religions in a Paradoxical Modern Community”

ymptoms of the intensification of religious “fundamentalism” on one side and religious

S

“liberalism” on the other side highlight the

paradoxical face of religions. Such religion's face is not one independent facet, instead it is closely related to the construction of modernity mindset marked by the intense role of rationalism. Despite the proofs made by modernism showing that it is capable to encourage the capacity human beings have to evaluate the history they make, acute environmental damage, systemic unjust webs giving birth to poverty, and warfare from small to large scales become the sides undeniably ”attached to” modernity. And religions, as often presented by their elites, often cannot go beyond modern frame work and serve as a solution of existing problems.

Therefore, Interfidei that so far has made efforts in creating a dialog of religious diversity and life in the community, asks numerous social groups, in partikular the youths, to reflect back the vision of religions in the practices of the life of modern community. The reflection carried out at the office of Interfidei is given the theme ”Asking the Meaning of Religion in a Paradoxical Modern Community.” Goenawan Mohammad, a cultural observer, specifically came to this reflection program moderated by Suhadi, a staff of Interfidei. The program carried out in “lesehan”-manner (by sitting on the floor) on February 6, 2006 was attended by more and less 75 participants, most of whom were youths from various religious backgrounds, study focuses, and movements. This reflection asked a question as to how to develop a new point of view to religions encouraging openness and honesty while also maintain the traditional wisdom brought by religions in the present life. Further, we also need to

(16)

Kronik

kearifan tradisional yang dibawa oleh agama-agama dalam kehidupan saat ini. Lebih lanjut bagaimana menterjemahkan kode-kode kebudayaan dalam 'bahasa-budaya' saat ini agar makna dari hidup beragama menjadi sesuatu yang mendorong upaya mempertinggi harkat dan martabat kehidupan manusia dan lingkungannya.

Salah satu usul kunci dari Goenawan, sebagaimana ia kutip dari Gianni Vattimo, adalah

mendudukkan dulu kenyataan bahwa agama itu adalah

tafsir. Karena tafsir, maka baru memungkinkan kita melakukan rekonstruksi visioner keagamaan kita, dari kebekuan dan carut marut tafsir-tafsir sebelumnya. Vatimmo bersama Richard Rorty dan Santiago Zabala menuliskan pemikiran dan diskusi mereka dalam buku kecil berjudul the Future of Religion (Masa Depan Agama). Di bagian terakhir buku ini, mereka mengajak kita mempertanyakan what is religion's future after methaphysics? (apa masa depan agama setelah metafisika?). Dengan pertanyaan ini mereka ingin mengajak kita melampaui persoalan-persoalan metafisik, untuk melaju ke problem-problem historis dan ”kongkrit”. Sebab, eksistensi kita tidak lagi diukur oleh kondisi generik dan metafisik, tapi oleh kondisi historis dan ”kongkrit”. Sebuah klaim metafisik, seperti ungkapan nur noch ein Gott kann un retten (hanya

Tuhan yang bisa menyelamatkan kita), menjadi

tanpa makna dalam kehidupan post-modern kita dimana Tuhan telah ”dibunuh” oleh Nietzsche.

5. Diskusi tentang Ahmadiyah

engetahuan tentang suatu komunitas

m e r u p a k a n s a l a h s a t u u p a y a u n t u k mengklarifikasi kesalahpahaman, yang

P

kerapkali berujung pada kekerasan seperti yang dialami oleh Jemaat Ahmadiyah di beberapa tempat di Indonesia. Berkenaan dengan hal tersebut, Institut DIAN / Interfidei, bekerjasama dengan Jemaat Ahmadiyah mengadakan diskusi lesehan dengan tema: “Aqidah dan Sejarah Jemaat Ahmadiyah di Indonesia”. Diskusi yang diadakan pada Jumat, 21 April 2006 di Kantor DIAN/Interfidei ini menghadirkan Mirajudin Sahid, Sy, Mubaligh Markazi Jemaat Ahmadiyah Wilayah Yogyakarta dan Nur Sugianto, S.Ag, Sekretaris Tabligh Jemaat Ahmadiyah Yogyakarta.

M i r a j u d i n m e n j e l a s k a n b a h w a sesungguhnya tidak ada perbedaan aqidah antara Jemaat Ahmadiyah dengan umat Islam lainnya. Bentuk kekerasan yang dialami Jemaat Ahmadiyah kemungkinan besar disebabkan salah paham

question how to interpret cultural codes in the 'language-culture' at present so that the meaning of religious life becomes something that encourages efforts to enhance dignity and pride of human life and his/her environment.

One of key suggestion from Goenawan, as he quoted from Gianni Vattimo, is to position first the reality that religions are interpretations. Because they are interpretations, it is possible for us to do our religiosity's visionary reconstruction out of the rigidity and unruliness of the previous interpretations. Vatimmo with Richard Rorty and Santiago Zabala wrote their thinking and discussion in a small book titled The Future of Religion. In the end of the book, they ask us to

question What is religion's future after

metaphysics? With this one question, they want to ask us to see beyond metaphysical problems, to look at historical and “concrete” problems, as our existence is no longer measured by generic and metaphysical conditions, instead by historical and ”concrete” one. A claim of metaphysic, just like a

saying nur noch ein Gott kann un retten (Only God

can save us), is meaningless in our post-modern life where God has been ”murdered” by Nietzsche.

5. Discussion on Ahmadiyah

nowledge on a community could serve as an effort to clarify misunderstandings, which

K

at times ends in violence as what is

experienced by Ahmadiyah followers in numerous locations in Indonesia. Re the issue, Institut DIAN / Interfidei, in collaboration with Ahmadiyah congregation held a discussion with the theme: “Aqidah and the History of Ahmadiyah Congregation in Indonesia”. The discussion held on Friday, 21 April 2006 at the office of DIAN/Interfidei presented Mirajudin Sahid, Sy, Mubaligh Markazi Ahmadiyah Congregation in Yogyakarta region and Nur Sugianto, S.Ag, Tabligh Secretary of Ahmadiyah Congregation in Yogyakarta.

(17)

Edisi Juni 2006

17

Snapshoot

terhadap perbedaan tafsir berkaitan dengan Nabi

Muhamad sebagai khatamul anbiya. Kata ini oleh

Jemaat Ahmadiyah tidak ditafsirkan sebagai penutup para nabi melainkan pengikat (cincin) para nabi. Nabi sendiri oleh Jemaat Ahmadiyah dipahami dalam dua pengertian, yaitu nabi yang membawa syariat dan nabi yang tidak membawa syariat. Mirza Ghulam Ahmad, dalam hal ini dianggap sebagai nabi yang tidak membawa syariat.

Penjelasan Mirajudin dilanjutkan dengan penjelasan sejarah Ahmadiyah di Indonesia oleh Nur Sugianto. Dalam catatan Nur Sugianto, Jemaat Ahmadiyah telah diakui

keberadaannya sejak tahun 1953. Sejarah Indonesia bahkan mencatat peranan anggota jemaat Ahmadiyah d a l a m p e r j u a n g a n kemerdekaan, antara lain Arif Rahman Hakim yang diberi gelar Pahlawan AMPERA; Wage Rudolf Supratman, pencipta Lagu Indonesia Raya, serta salah satu pengibar bendera m e r a h p u t i h p e r t a m a .

Uraian Nur Sugianto berkaitan dengan sejarah Ahmadiyah di Indonesia dan penjelasan Mirajudin tentang Aqidah menggambarkan hal yang sebaliknya dari yang selama ini dipahami oleh sebagian besar pelaku kekerasan pada Jemaat Ahmadiyah. Oleh karena itu usulan beberapa pihak agar Jemaat Ahmadiyah kembali ke Islam yang benar, termasuk usulan Menteri Agama untuk mendirikan agama baru, mencerminkan ketidakpahaman terhadap apa yang dihayati, dipercayai oleh Jemaat Ahmadiyah. Hal ini selanjutnya

menimbulkan pertanyaan kritis dari beberapa

peserta diskusi mengenai mengapa kekerasan tersebut dialami oleh Jemaat Ahmadiyah baru baru ini saja.

Mengapa dan bagaimana kesalahpahaman ini dipelihara bahkan disebarluaskan direncanakan menjadi topik diskusi lesehan berikutnya dengan menggunakan kajian sosiologi, ekonomi, politik (Lian Gogali)[]

JEMAAT AHMADIYAH QADIYAN

relation to Prophet Mohammad as khatamul anbiya.

This word is interpreted by the followers of Ahmadiyah not as the last of the prophets, instead as tie (ring) of the prophets. The word 'Prophet' itself is interpreted into two understandings, i.e. the prophets carrying syariat (Islamic law) and ones not carrying syariat (Islamic Law). Mirza Ghulam Ahmad in this context is regarded as a prophet not carrying Islamic Law.

Mirajudin's presentation is continued with a brief introduction on the history of Ahmadiyah in Indonesia by Nur Sugianto. In Nur Sugianto's record, Ahmadiyah congregation's existence had been recognized since 1953. The history of Indonesia even recorded the significant role played by Ahmadiyah congregation in the Independence war, e.g. Arif Rahman Hakim, who was given title AMPERA hero; Wage Rudolf S u p r a t m a n , c o m p o s e r o f Indonesia Raya (Indonesian anthem), and one of the first Red-and-white flag wavers. Nur Sugianto's description on the h i s t o r y o f A h m a d i y a h i n Indonesia and Mirajudin's explanation on Aqidah depicted the opposite of what have been understood by most perpetrators of violence to the congregation. Thus, the propositions of numerous parties for Ahmadiyah congregation to return to the true Islam, comprising proposition of the Minister of Religious affairs to establish a new religion, pretty much reflect misapprehension on what is believed and hoped by the congregation of Ahmadiyah. It then raises a number of critical questions from numerous participants of discussion as to why violence has just been experienced by Ahmadiyah congregation recently.

Why and how this misunderstanding is maintained and even spread is planned to be made the next topic of discussion from the perception of sociological, economic, and political studies (Lian Gogali)[]

JEMAAT AHMADIYAH QADIYAN

Referensi

Dokumen terkait

Website adopsi dan sponsorship anak panti asuhan ini bertujuan memfasilitasi pihak orang tua asuh maupun Panti Asuhan dalam mendata seluruh tahapan yang

menghargai Aki Balangantrang sebagai suaminya. Selain itu, hal ini pun menunjukkan kesetaraan yang dimiliki oleh keduanya. Nini Anteh memelihara kucing, karena dia

Sebagai contoh apabila pada departemen yang memiliki data penting yang tidak memiliki IP privat, ia mengakses internet dan tanpa diduga terdapat virus saat dia mengakses internet

Long (1980) menemukan tanda tegang lebih hadir di pelajar penutur asli di percakapan dalam percakapan antara pembicara asli-bukti keprihatinan dengan "sekarang". Namun,

Dari hasil penemuan penelitian adalah Pembangunan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Lapangan Syech Yusuf Pemerintah Daerah membagi beberapa bagian atau Zona agar supaya dalam

Sedangkan permasalahan yang terjadi pada bagian gudang barang jadi adalah entry data terlambat sehingga berpengaruh terhadap ketepatan tutup buku, pengiriman produk tidak..

Pada bagian traps (bagian tali) biasanya berbahan kulit, sementara buckle (bagian kepala/pengunci) biasanya terbuat dari besi metal, Sistem pendukung keputusan atau

Data itu menunjukkan bahwa terjadi peningkatan yang signifikan terkait pemahaman teks berbahasa arab bagi mahasiswa kelas B Program Studi Pendidikan Agama Islam