• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penilaian Cepat Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Penilaian Cepat Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA)"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Penilaian Cepat Program

Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA)

(3)

Sosial, Dr. Edi Suharto, dan stafnya. Kami juga berterima kasih atas kerja sama yang intensif dan kontribusi yang sangat berharga dari Lauren Rumble dan Astrid Gonzaga Dionisio (UNICEF Indonesia). Selanjutnya, kajian ini juga memperoleh manfaat dari komentar-komentar atas draf yang disampaikan oleh Ibu Yosi Dianitresna (BAPPENAS), Ibu Patricia Bachtiar (komentar DFAT) dan Bapak Marco Schaefer (GIZ). Akhirnya kami berterima kasih kepada anak-anak, orangtua, guru, perwakilan badan-badan internasional, kantor-kantor dinas sosial dan BAPPEDA di tingkat provinsi dan kabupaten, serta lembaga-lembaga pengasuhan anak yang dengan penuh kesabaran telah berbagi pengetahuan selama wawancara dan diskusi kelompok terarah (FGD). Kendati demikian, para penulis bertanggung jawab atas isi dari kajian ini.

(4)

KATA SAMBUTAN

Banyak anak-anak di Indonesia yang beresiko mengalami kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah dan penelantaran. Perlindungan dari risiko-risiko tersebut dan menjamin kepentingan terbaik bagi anak merupakan dasar pekerjaan yang dilakukan di Kementrian Sosial. Laporan ini, “Penilaian Cepat Program Kesejahteraan Sosial Anak” bertujuan untuk memberikan penilaian terbaru dan independen pada Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) di Indonesia dan juga untuk memberikan informasi untuk merevisi pedoman internal dalam pelaksanaan program.

PKSA telah dirancang untuk membantu memenuhi hak-hak termasuk Perlindungan anak dan kebutuhan anak-anak termiskin dan paling rentan melalui penyediaan bantuan tunai bersyarat dan pelayanan kesejahteraan sosial yang menyertainya. Sejak tahun 2010 hingga 2015, PKSA sudah menjangkau 173.611 anak-anak yang paling rentan di seluruh Indonesia. Program ini telah mendorong aksesibilitas yang lebih baik pada pendidikan, gizi, akta kelahiran dan inklusi keuangan untuk penerima manfaat.

Penemuan-penemuan kunci dari penilaian ini adalah kebutuhan untuk meningkatkan kualitas dan cakupan layanan kesejahteraan sosial di seluruh Indonesia sehingga banyak anak yang berisiko dan mengalami kekerasan, perlakuan salah, penelantaran dan eksploitasi dapat mengakses bantuan kapanpun dan di manapun mereka membutuhkannya dan untuk memastikan bahwa program ini lebih efisien dalam hal biaya dan terkait dengan layanan pemerintah dan program lainnya. Penilaian ini juga menggarisbawahi perlunya mengurangi atau menghilangkan secara keseluruhan kebutuhan untuk mencantumkan “syarat” mengingat ukuran bantuan tunai yang terbatas dan kesulitan yang berhubungan dengan pelaksanaan program. Kementerian Sosial berkomitmen untuk menindaklanjuti rekomendasi ini, termasuk melalui program yang direvisi yang dapat memberikan bantuan langsung kepada anak-anak yang rentan dengan bantuan layanan perawatan di dalam keluarga dan komunitas. Ini berarti program tidak hanya berpusat pada anak, tetapi juga berpusat pada keluarga.

Di dalam Konvensi Hak Anak (KHA) Perserikatan Bangsa - Bangsa yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia, kita semua diingatkan bahwa setiap anak memiliki hak untuk dilindungi dan untuk hidup di dalam lingkungan keluarga. Jika dapat diterapkan, semua tindakan harus dilakukan untuk kepentingan terbaik bagi anak dan untuk menjaga

(5)

penting untuk kesejahteraan dan perkembangan anak-anak di Indonesia. Untuk itu, para pekerja sosial memerlukan pedoman yang relevan dan mekanisme kerja lintas sektor.

Investasi pada penilaian PKSA merupakan investasi pada anak-anak bangsa kita yang paling rentan dan kami selaku pembuat kebijakan akan terus berusaha untuk membuat layanan unggul bekerjasama dengan kementerian dan mitra lainnya.

Saya ingin mengucapkan terima kasih untuk UNICEF Indonesia, BAPPENAS, DFAT, GIZ dan yang lainnya atas kontribusi mereka untuk evaluasi ini. Yang terakhir, saya juga ingin memberikan penghargaan kepada pekerja sosial dan pakar terkait lainnya yang melakukan tugas sehari-hari yang menuntut banyak energi mereka agar dapat melayani anak-anak yang kurang mampu sehingga mereka bisa menjadi yang terbaik.

Dalam upaya kita ke depan untuk memperkuat kesejahteraan sosial di Indonesia, saya berharap penilaian ini dapat menjadi referensi untuk peningkatan kualitas PKSA.

Jakarta, Januari 2015

Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial

Kementerian Sosial Republik Indonesia

Drs. H. Samsudi, M.M.

(6)

UCAPAN TERIMA KASIH KATA SAMBUTAN

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL DAN GAMBAR ... ii

AKRONIM/SINGKATAN ... iii

RINGKASAN ... 1

Latar Belakang dan Tujuan Kajian ... 1

Peranan, Tugas dan Pendekatan PKSA ... 2

Ringkasan Hasil-Hasil Penilaian ... 3

Rekomendasi ... 6

1. TUJUAN DAN METODOLOGI KAJIAN ... 7

Tujuan Penelitian ... 7

Perangkat Penelitian dan Pengumpulan Data ... 8

Analisis Data ... 9

Batasan Kajian ... 10

2. ISU-ISU KESEJAHTERAAN ANAK DAN PERLINDUNGAN ANAK DI INDONESIA ... 11

2.1 Kerentanan Anak di Indonesia ... 11

2.2 Intervensi Kesejahteraan Anak dan Perlindungan Anak di Indonesia . 13 2.3 Angin Perubahan – Inisiatif yang Sedang Berjalan dan yang Direncanakan Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Sosial dan Perlindungan yang Sensitif Anak ... 15

3. PERANAN DAN ORGANISASI PKSA ... 17

4. PENILAIAN EFEKTIVITAS, KINERJA IMPLEMENTASI, EFISIENSI, RELEVANSI, DAN KEBERLANJUTAN PKSA ... 20

4.1 Efektivitas – Apakah PKSA Telah Mencapai Tujuannya? ... 20

4.2 Kinerja – Seberapa Baik PKSA Mengimplementasikan Kegiatan-Kegiatan Program Utama ... 40

4.3 Efisiensi – Apakah PKSA Menghasilkan Sesuatu yang Sebanding dengan Nilai Uang yang Diberikan? ... 50

4.5 Keberlanjutan – Apakah PKSA Dalam Bentuknya yang Sekarang Ini Bisa Terus Berlanjut? ... 55

5. REKOMENDASI ... 56

5.1 Meningkatkan Pelaksanaan PKSA Dalam Batasan Lingkungan Institusi Saat Ini ... 56

5.2 Reformasi Institusi – Mendefinisikan Kembali Peranan dan Program . 67 5.3 Mendasarkan Reformasi Kesejahteraan Sosial dan Perlindungan Anak Pada Bukti ... 68

REFERENSI ... 73

DAFTAR ISI

(7)

Tabel 1 Jumlah Anak yang Dibantu oleh PKSA di Tahun 2012 dan 2013

Menurut Sub-Program ... 17

Tabel 2 Rencana Cakupan PKSA Pemerintah Pusat dan Anggaran 2010-2020 ... 19

Tabel 3 Daftar Anggaran Tahunan PKSA Untuk Tahun 2012 dan 2013 ... 50

Tabel 4 Cakupan Populasi Target yang Dicapai oleh PKSA di Tahun 2012 dan 2013 ... 54

Gambar 1 Peta Area Kerja Lapangan ... 8

Gambar 2 Roadmap PKSA (2009 – 2019) ... 18

Gambar 3 Sistem Tujuan PKSA ... 21

(8)

ABH Anak Berkonflik dengan Hukum ABT Anak Balita Terlantar

ADK Anak Dengan Kecacatan

AMPK Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus Antar Anak Terlantar

APBD Anggaran Pendapatan Belanja Daerah APBN Anggaran Pendapatan Belanja Negara Bappeda Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Bappenas Badan Perencanaan Pembangunan Nasional BOL Bantuan Operasional Lembaga

BOP Bantuan Operasional Pendampingan BPS Badan Pusat Statistik

BSM Bantuan Siswa Miskin

CCT Conditional Cash Transfer (BantuanTunai Bersyarat) Dekon De-concentration budget (Anggaran Dekonsentrasi) DinSos Dinas Sosial

FDS Family Development Session (Sesi Pengembangan Keluarga) FGDs Focused-Group Discussions (Diskusi Kelompok Terarah) HAM Hak Asasi Manusia

IDR Indonesian Rupiah (Rupiah Indonesia) (USD 1 = IDR 12,000) ILO International Labour Organization (Organisasi Buruh Internasional) IRS Integrated Referral System (Sistem Rujukan Terpadu)

JKN Jaminan Kesehatan Nasional JSLU Jaminan Sosial Lanjut Usia

JSPACA Jaminan Sosial Penyandang Cacat Kejar Paket Kelompok Belajar Paket

Kemensos Kementerian Sosial

LKSA Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak LSM Lembaga swadaya masyarakat

AKRONIM/SINGKATAN

(9)

MOU Memorandum of Understanding (Memorandum Kesepahaman)

MP3KI Master Plan Percepatan dan Perluasan Pengurangan Kemiskinan di Indonesia

Panti Lembaga Penitipan Anak/ Panti Asuhan Perda Peraturan Daerah

PKH Program Keluarga Harapan

PKSA Program Kesejahteraan Sosial Anak PPLS Pendataan Program Perlindungan Sosial RasKin Beras Miskin

RPJMD Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah RPJMN Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional RPSA Rumah Perlindungan Sosial Anak

Sakti PekSos Pekerja sosial Sekda Sekretaris Daerah

Susenas Survei Sosial Ekonomi Nasional

TKSK Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan

TNP2K Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (National Team for the Acceleration of Poverty Reduction)

TOR Terms of Reference (Kerangka Acuan) UDB Unified Data Base (Database terpadu)

UPTPK Unit Pelayanan Terpadu Penanggulangan Kemiskinan

(10)

RINGKASAN

Latar Belakang dan Tujuan Kajian

PKSA, singkatan dari Program Kesejahteraan Sosial Anak, merupakan program bantuan langsung tunai bersyarat bagi anak-anak yang kurang beruntung yang dilaksanakan oleh Direktorat Kesejahteraan Anak di Kementerian Sosial. Pada tahun 2013, PKSA telah mencakup 173.611 anak dan merupakan salah satu dari empat bantuan langsung tunai yang dilaksanakan oleh Kementerian Sosial. Keempat program tersebut adalah: Program Keluarga Harapan (PKH), Jaminan Sosial bagi Lanjut Usia (JSLU), Jaminan Sosial Penyadang Kecatatan (JSPACA) dan PKSA.

Sampai taraf tertentu, PKSA kadang tumpang tindih dengan program bantuan langsung tunai lain yang disebut Program Keluarga Harapan (PKH) yang juga dikelola oleh Kementerian Sosial. PKH menargetkan keluarga sangat miskin yang memiliki anak dan/atau perempuan hamil dan saat ini meliputi 3.2 juta keluarga. Dua program lainnya, yaitu JSLU dan JSPACA, menargetkan orangtua dan orang cacat parah dan masing-masing memiliki kurang dari 20.000 penerima manfaat.

Keempat program bantuan tunai yang dilaksanakan oleh Kementerian Sosial saling melengkapi dan sebagian tumpang tindih dengan antara 150 sampai 250 program bantuan sosial dan bantuan tunai lain yang dilaksanakan oleh kementerian lain dan badan-badan pemerintah daerah. Tidak ada yang tahu jumlah pastinya. Pendek kata, sistem kesejahteraan sosial di Indonesia, di mana PKSA menjadi salah satu komponen kecil dan sangat terfragmentasi.

Setelah menggambarkan tujuan dan metodologi dari kajian ini, laporan ini diawali dengan sebuah review tentang kerentanan anak, ringkasan tentang kesejahteraan anak dan sistem perlindungan anak di Indonesia dan peranan dan organisasi PKSA. Laporan ini memberikan sebuah penilaian tentang efektivitas, kinerja implementasi, efisiensi, relevansi dan keberlanjutan dari PKSA. Berdasarkan penilaian tersebut, kajian ini juga memberikan rekomendasi tentang bagaimana meningkatkan kualitas pelaksanaan PKSA.

(11)

Peranan, Tugas dan Pendekatan PKSA

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Sosial No. 15A/HUK/2010 , tujuan dari PKSA dijabarkan sebagai berikut: Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) adalah untuk menjamin terpenuhinya hak-hak dasar anak dan perlindungan anak dari penelantaran, eksploitasi, dan diskriminasi sehingga pembangunan anak, kelangsungan hidup dan partisipasi mereka bisa dicapai.

PKSA diluncurkan karena Indonesia memiliki banyak anak-anak yang dalam krisis dan anak-anak yang berisiko yang kebanyakan tinggal di rumah tangga miskin dan tidak terjangkau oleh PKH atau program lain atau membutuhkan layanan yang tidak diberikan oleh program lain.

Jumlah anak terlantar, anak jalanan, anak yang berhadapan dengan hukum, anak penyandang disabilitas, dan anak yang membutuhkan perlindungan khusus untuk mendapatkan akses pada layanan sosial dasar diperkirakan oleh Kementerian Sosial berjumlah sekitar 4.3 juta jiwa1.

PKSA bertujuan untuk menjangkau anak-anak ini dengan bantuan tunai sebesar Rp.1,5 juta per anak per tahun (di tahun 2014 dikurangi menjadi Rp.1 juta) yang digabungkan dengan bimbingan dan pengasuhan yang diberikan kepada anak-anak dan keluarga mereka oleh pekerja sosial dan/

atau lembaga-lembaga pengasuhan anak yang menghubungkan anak- anak dan keluarga mereka dengan layanan sosial dasar. Pendekatan ini, yakni integrasi bantuan tunai, pengasuhan, dan layanan sosial, dibuat untuk menghasilkan perubahan yang positif dalam perilaku anak dan pengasuh yang mengarah pada peningkatan pengasuhan dan penurunan persentase anak yang memiliki masalah-masalah sosial.

Untuk mencapai layanan ini, PKSA menggunakan 686 orang pekerja sosial dan bekerja sama dengan 5.563 lembaga pengasuhan anak.

Mengingat anak-anak yang kurang beruntung tersebut merupakan kelompok yang heterogen, PKSA telah menjabarkan panduan yang spesifik, menggunakan pekerja sosial khusus dan bekerja sama dengan lembaga-lembaga pengasuhan anak khusus untuk lima kategori anak- anak kurang beruntung di atas. Beberapa kategori anak-anak dalam krisis seperti anak-anak dalam situasi darurat, korban perdagangan anak, dan korban kekerasan fisik dan/atau kekerasan mental membutuhkan pengasuhan institusional sementara. Namun demikian, salah satu tujuan dari PKSA adalah menggunakan pengasuhan institusional hanya bila perlu dan untuk mempromosikan pengasuhan berbasis keluarga bilamana mungkin.

1 Sumber: Bagian pendahuluan Panduan PKSA (Kementerian Sosial , 2011)

(12)

Ringkasan Hasil-Hasil Penilaian

Sesuai dengan Kerangka Acuan (TOR), kajian ini telah menilai efektivitas, kinerja implementasi, efisiensi, relevansi, dan keberlanjutan PKSA.

Dalam hal efektivitas, PKSA telah menunjukkan bahwa pendekatan dasarnya, yaitu kombinasi bantuan uang tunai dengan panduan intensif dan pengasuhan melalui pekerja sosial dan lembaga-lembaga pengasuhan anak, yang memfasilitasi akses pada layanan sosial dan mempromosikan pengasuhan berbasis keluarga, cukup baik. Bila pendekatan ini telah diimplementasikan sesuai dengan panduan dan secara profesional, maka hal ini akan membuahkan hasil yang positif. Pendekatan ini meningkatkan pemanfaatan layanan sosial dasar, meningkatkan perilaku anak dan pengasuh dan berkontribusi pada kesejahteraan anak dalam hal kesehatan, nutrisi, dan pendidikan.

Tetapi PKSA hanya memiliki 686 pekerja sosial untuk 5.563 Lembaga Kesejahteraan Sosial anak (LKSA) yang mengimplementasikan PKSA.

LKSA memiliki sejumlah pekerja sosial sementara kebanyakan tidak memiliki latar belakang pekerja sosial. Ini berarti bahwa kurang dari 10 persen penerima manfaat PKSA yang bisa dijangkau oleh pendekatan PKSA secara utuh yaitu – integrasi uang tunai, pekerja sosial, dan akses pada layanan sosial.

Anak-anak yang menjadi penerima bantuan tunai tanpa dukungan kesejahteraan sosial yang memadai telah kehilangan layanan rehabilitatif yang diberikan untuk memfasilitasi keluarga dan anak untuk mendapatkan kembali kemampuan untuk berfungsi – elemen utama dari rancangan program.

Kenyataan bahwa jumlah anak yang tidak terlayani oleh pekerja sosial relatif besar dibandingkan dengan kelompok yang menerima dukungan penuh dari PKSA menimbulkan pertanyaan serius tentang efektivitas program.

Tujuan utama PKSA, yaitu penurunan persentase anak yang memiliki masalah sosial (Kementerian Sosial, 2011), masih belum tercapai. PKSA hanya mencakup 3 persen dari kelompok targetnya yang sebesar 4,3 juta anak kurang beruntung (informasi selanjutnya tentang kelompok target PKSA dan sumber data kelompok target, lihat Tabel 4). Berdasarkan asumsi bahwa jumlah anak yang berisiko dan anak dalam krisis telah meningkat lebih dari 3 persen sejak tahun 2010 (populasi meningkat sebesar 8 persen), kita dapat menyimpulkan bahwa persentase anak yang memiliki masalah sosial justru meningkat, bukannya menurun. Hal ini ditambah lagi dengan kenyataan bahwa 3 persen anak-anak yang terjangkau oleh PKSA bukanlah anak yang betul-betul membutuhkan perlindungan sosial.

Rendahnya cakupan dan kekeliruan dalam menetapkan target sebagian

RINGKASAN

(13)

disebabkan oleh tidak tercapainya tujuan lain dari PKSA, yaitu Meningkatnya jumlah pemerintah daerah (provinsi/kabupaten/kota) yang mensinergikan PKSA dengan program-program kesejahteraan yang ada dan perlindungan untuk anak yang didanai oleh APBD (Kementerian Sosial, 2011). Alih-alih mengintegrasikan struktur Pemerintah Daerah, sumber daya manusia, dan data ke dalam proses penargetan, PKSA sangat bergantung kepada sejumlah lembaga-lembaga pengasuhan anak (LKSA) yang tidak dibekali dengan baik untuk tugas ini.

Kinerja implementasi PKSA memiliki beberapa kekuatan dan kelemahan. LKSA dan pekerja sosial pada umumnya memberikan layanan yang berharga pada para penerima manfaat. Mereka adalah tulang punggung PKSA. Berdasarkan kekuatan ini, Kementerian Sosial harus lebih banyak berbuat untuk meningkatkan kapasitas LKSA dan memperbaiki kondisi kerja pekerja sosial.

Sosialisasi dan penetapan target adalah titik lemah program ini. Meskipun PKSA di tahun 2012 telah menghabiskan Rp. 7.949 juta untuk sosialisasi dan rapat-rapat koordinasi, struktur Pemerintah Daerah dan pemangku kepentingan lokal lainnya merasa tidak diberi tahu dan diabaikan. Ini adalah salah satu alasan mengapa PKSA tidak bisa mensinergikan dan membangun kemitraan yang efektif dengan pemerintah daerah.

LKSA menangani hampir semua aktivitas penetapan target, yang memilih penerima manfaat berdasarkan data yang tidak tepat. Hal ini menyebabkan hasil penetapan target yang berkualitas sangat rendah.LKSA tidak bisa dan sebagian tidak mau untuk secara sistematis memilih anak-anak yang paling membutuhkan. PKSA mendukung LKSA dari klaster anak-anak terlantar yang menerima jumlah anak yang besar, yang orangtuanya tinggal di provinsi lain dan hanya menginginkan pendidikan yang baik bagi anak-anak mereka. Ini tidak konsisten dengan prinsip yang umumnya diterima untuk mempromosikan pengasuhan berbasis keluarga dan untuk menggunakan pengasuhan institusional sebagai langkah terakhir.

Kementerian Sosial tidak memonitor hasil dan dampak dari PKSA dan tidak memiliki prosedur pengaduan. Tidak adanya mekanisme umpan balik mungkin menjadi salah satu alasan mengapa ada kesenjangan antara tujuan dan regulasi sebagaimana disampaikan dalam panduan PKSA dan realitas di lapangan.

Memberikan persyaratan, memberikan sanksi jika tidak mematuhi, dan melaksanakan strategi kelulusan merupakan isu-isu yang saling terkait yang perlu ditelaah. Sanksi apabila tidak mematuhi persyaratan dapat berakibat buruk bagi sebagian besar anak- anak rentan. Kriteria lulusan mungkin bisa dibatasi pada pencapaian batas usia dan bisa dilengkapi dengan strategi tindak lanjut.

(14)

Mengenai efisiensi, biaya operasional PKSA mencapai 20 persen dari biaya keseluruhan.

Biaya ini tidak berlebihan, tetapi jika dibandingkan dengan program bantuan tunai lainnya yang dilaksanakan oleh Kementerian Sosial, PKSA memiliki biaya operasional yang paling tinggi.

Relevansi kontribusi PKSA terhadap kesejahteraan dan perlindungan anak harus dinilai dari dua perspektif. Dari perspektif konseptual, pendekatan PKSA, yaitu integrasi bantuan tunai dengan akses pada layanan sosial dan pengasuhan anak oleh LKSA dan panduan dan mentoring oleh pekerja sosial, merupakan respons yang relevan dengan kebutuhan anak yang berisiko dan anak yang dalam situasi krisis. Namun demikian, karena organisasinya yang tidak tepat sebagai sebuah program pemerintah pusat yang terisolasi, karena beberapa isu implementasi dan karena cakupan yang sangat rendah, hasil dan dampak dari PKSA tidaklah begitu signifikan dilihat dari perspektif makro.

Agar bisa berkelanjutan secara finansial, program ini memerlukan dukungan dari kekuatan politik yang berpengaruh. Anggaran PKSA telah stagnan sejak tahun 2012.

Anggaran tahun 2014 telah dipotong meskipun pada kenyataannya perlindungan anak merupakan salah satu prioritas pemerintah, sementara anggaran PKH terus meningkat.

Ini menunjukkan tidak adanya dukungan politis dan menimbulkan pertanyaan tentang

RINGKASAN

(15)

bagaimana PKSA bisa mendapatkan dukungan politik yang diperlukan agar bisa berkelanjutan secara finansial. Mengintegrasikan PKSA dan PKH (sebagai program yang lebih besar dan lebih mapan secara politis) bisa menjadi salah satu opsi untuk menjaga keberlanjutan PKSA. Mendapatkan dukungan yang berkomitmen dan pembiayaan dari Pemerintah Daerah bisa menjadi strategi lain. Dengan tetap berada di dalam isolasi, keberlangsungan PKSA tidak dapat terjamin.

Rekomendasi

Laporan ini mengajukan tiga rekomendasi:

1. Bagaimana meningkatkan pelaksanaan PKSA dalam batasan lingkup institusional sekarang

Rekomendasi di bawah judul ini fokus pada bagaimana mencapai cakupan geografis yang sistematis, bagaimana mensinergikan dengan struktur Pemerintah Daerah dan program, memikirkan kembali peranan LKSA dalam konsep PKSA, bagaimana meningkatkan kondisi kerja, kualifikasi, supervisi dan motivasi pekerja sosial, bagaimana memastikan bahwa panduan PKSA bisa digunakan dan akan digunakan, bagaimana mendasarkan penetapan target dan verifikasi pada bukti yang bisadipercaya, bagaimana meningkatkan manajemen kasus, monitoring (termasuk persyaratan) dan manajemen data, dan bagaimana mengimplementasikan sebuah strategi penyelesaian dan tindak lanjutyang jelas dan realistis.

2. Reformasi institusional – mendefinisikan kembali peranan dan program

Rekomendasi di bawah judul ini mencakup fokus pada desentralisasi yang konsisten, implementasi konsep PKSA melalui Dinas Sosial tingkat kabupaten yang kuat, kerja sama atau integrasi yang erat dengan PKH untuk memastikan bahwa kemiskinan keluarga (pendorong utama kerentanan anak) dapat berkurang dan tentang mendefinisikan kembali peranan Kementerian Sosial..

3. Mendasari kesejahteraan sosial dan perlindungan anak pada bukti

Bagian ini menantang sejumlah asumsi yang mendasari sistem perlindungan sosial dan kesejahteraan di Indonesia seperti kecenderungan untuk mengaitkan bantuan dengan persyaratan, prevalensi penetapan target menurut kategori daripada penetapan target berbasis keluarga yang inklusif, dan kecenderungan untuk memusatkan program-program perlindungan sosial yang bisa diimplementasikan secara lebih efektif oleh Pemerintah Daerah. Pada akhirnya ini menimbulkan pertanyaan apakah rendahnya cakupan dari program bantuan sosial yang memberikan aluran dana dengan tingkatyang begitu rendah dapat mengurangi kemiskinan dan kerentanan yang diakibatkan oleh kemiskinan.

(16)

1. TUJUAN DAN METODOLOGI KAJIAN

Tujuan Penelitian

Penilaian cepat atas Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) telah dirancang untuk memberikan Kementerian Sosial dan UNICEF informasi tentang kinerja program dan beberapa rekomendasi untuk implementasi di masa mendatang.

Menurut TOR, kajian ini memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut:

1. Menilai apakah model program PKSA yang sekarang ini efektif dan efisien dalam mencapai hasil dan dampak perlindungan anak yang relevan dan berkelanjutan. Selain itu, juga dilihat apakah program PKSA memainkan peranan yang memadai dalam sistem kesejahteraan sosial dan perlindungan anak di Indonesia.

2. Untuk memberikan rekomendasi-rekomendasi untuk memperkuat efektivitas dan efisiensi PKSA dengan meningkatkan(apabila diperlukan) prosedur PKSA seperti penetapan target, verifikasi, penyampaian bantuan, menghubungkan penerima manfaat dengan layanan sosial dasar, menetapkan dan memonitor persyaratan, mengimplementasikan strategi penyelesaian dan memberikan tindak lanjut kepada penerima manfaat dalam konteks yang lebih luas dari peningkatan sistem perlindungan anak di Indonesia, dan menyelaraskan dengan layanan kesejahteraan sosial yang terintegrasi di tiga provinsi pilot.

3. Merevisi panduan PKSA sesuai dengan rekomendasi yang diberikan.

Hasil-hasil yang terkait dengan dua tujuan pertama di atas didokumentasikan di dalam laporan ini. Rekomendasi untuk merevisi panduan PKSA akan diberikan dalam laporan yang terpisah.

(17)

Gambar 1. Peta Area Kerja Lapangan

Perangkat Penelitian dan Pengumpulan Data

Data yang diperlukan untuk menghasilkan luaran yang disebutkan di atas telah dikumpulkan melalui desk review dan melalui kerja lapangan di tiga provinsi. Desk review mencakup publikasi tentang perlindungan sosial dan perlindungan anak di Indonesia dengan fokus pada PKSA dan program bantuan tunai (lihat referensi). Ini juga mencakup seluruh evaluasi yang ada, dokumen-dokumen kebijakan, panduan, statistik, dan dokumen-dokumen anggaran. Catatan-catatan kasus yang dikumpulkan oleh pekerja sosial, kartu monitoring pertumbuhan anak, laporan kehadiran siswa, dan laporan pekerja sosial dipilih secara acak dan ditelaah.

Kerja lapangan dilakukan dalam tiga minggu berturut-turut pada bulan Oktober dan November 2014 oleh sebuah tim peneliti yang terdiri dari seorang pemimpin tim dari Team Consult dan tiga orang peneliti dari Universitas Padjadjaran. Kerja lapangan mencakup 6 kabupaten/kota, yaitu Jakarta Timur dan Jakarta Barat (Provinsi DKI Jakarta), Kota Surakarta dan Kota Magelang (Provinsi Jawa Tengah), serta Kota Makassar dan Kabupaten Gowa (Provinsi Sulawesi Selatan). Daerah ini dipilih setelah berkonsultasi dengan UNICEF. Ini meliputi kabupaten-kota, di mana kebanyakan sub-program PKSA diimplementasikan sejak tahun 2009 dan di mana 3 program pilot Kementerian Sosial dan UNICEF yang berbasis daerah terletak untuk menjalankan intervensi kesejahteraan sosial dan perlindungan sosial yang terpadu untuk perlindungan anak di Indonesia.

(18)

Sources Size Tools

Anak-anak 40 Diskusi Kelompok Terarah (FGD)/

Wawancara

Orangtua / Pengasuh 45 Diskusi Kelompok Terarah (FGD) Pekerja sosial / TKSK 42 Diskusi Kelompok Terarah (FGD),

Telaah catatan kasus

Badan-Badan Pelaksana 12 Wawancara

Guru, Terapis, Petugas Kesehatan 8 Wawancara, Catatan Kehadiran di Sekolah, Catatan Monitoring Kasus/

Pertumbuhan Pemerintah: Kementerian Sosial ,

BAPPENAS, DINSOS, BAPPEDA 33 Wawancara Badan-badan Internasional 6 Wawancara

Sumber informasi, jumlah responden dan perangkat / instrumen penelitian

Responden untuk wawancara dan untuk FGD telah dipilih guna mendapatkan representasi yang seimbang dari berbagai perspektif, lokasi dan fungsi dalam bidang perlindungan anak. LKSA dipilih dari catatan yang diberikan oleh Direktorat Kesejahteraan Anak di Kementerian Sosial. Anak-anak dan orangtua dipilih oleh pekerja sosial dan LKSA. Etika yang jelas dan protokol perlindungan anak yang merujuk pada Ethical Research Involving Children (UNICEF, 2013) memandu komponen penelitian dan proses pengumpulan data, yang menangani isu-isu terkait dengan pencegahan dampak buruk, izin, kerahasiaan, dan kompensasi atas partisipasi.

Analisis Data

Efektivitas PKSA telah dinilai dengan membandingkan luaran, hasil dan dampak yang dicapai dengan tujuan PKSA sebagaimana disampaikan dalam keputusan Menteri Sosial di mana PKSA didasarkan. Kinerja dianalisa dengan menilai kualitas dari aktivitas yang dilakukan oleh PKSA untuk mencapai tujuannya. Efisiensi PKSA ditentukan dengan menghitung rasio biaya operasional dengan biaya program secara keseluruhan.

Relevansi PKSA telah dinilai dalam hal sejauh mana program memenuhi kebutuhan kelompok target dan apakah itu berkontribusi secara signifikan bagi kesejahteraan dan perlindungan anak di Indonesia. Keberlanjutan program telah dinilai dengan membandingkan rencana jangka menengah dan rencana jangka panjang menyangkut cakupan PKSA dan anggarannya dengan perkembangan cakupan yang sesungguhnya dan anggaran dari tahun 2010 sampai 2014 dan dengan menganalisa alasan-alasan mengapa cakupan dan anggaran itu stagnan.

1. TUJUAN DAN METODOLOGI KAJIAN

(19)

Berdasarkan temuan dari penilaian cepat dan analisis biaya, tim telah menyampaikan rekomendasi tentang bagaimana memastikan bahwa PKSA yang telah meningkat memainkan peranan yang efektif sebagai sebuah komponen dari sebuah sistem perlindungan sosial dan perlindungan anak yang terintegrasi.

Rekomendasi-rekomendasi tersebut dikembangkan dengan bekerja sama dengan Kementerian Sosial dan UNICEF dan telah disampaikan dan dibicarakan dalam sebuah lokakarya nasional yang diadakan di Jakarta pada tanggal 3 Desember 2014. Begitu sebuah konsensus tentang hasil-hasil penilaian dan tentang implikasi pada PKSA telah dicapai, tim akan merevisi panduan PKSA bekerja sama dengan Direktorat Kesejahteraan Anak di Kementerian Sosial.

Batasan Kajian

Meskipun beberapa literatur yang dikutip merujuk ke seluruh Indonesia, kerja lapangan yang dilakukan untuk kajian ini dibatasi pada 6 kabupaten di 3provinsi.

Seluruh LKSA yang dikunjungi oleh tim peneliti memiliki pekerja sosial. Dengan memusatkan perhatian pada LKSA yang memiliki pekerja sosial, tim peneliti bisa mengamati hasil apa yang telah dicapai ketika pendekatan PKSA diterapkan secara penuh, yaitu integrasi bantuan tunai, pekerja sosial, dan hubungan dengan layanan sosial. Tapi kajian ini belum menilai hasil dan dampak PKSA dalam LKSA yang tidak memiliki pekerja sosial.

Responden tidak dipilih secara acak. Pemangku kepentingan yang diwawancarai atau yang berpartisipasi dalam FGD dipilih oleh LKSA dan oleh pekerja sosial dan oleh sebab itu tidak representatif.

Kementerian Sosial tidak bisa memberikan hasil monitoring menyangkut perubahan perilaku atau perubahan dalam kesejahteraan yang dicapai oleh anak- anak dan orangtua yang berpartisipasi di PKSA. Tidak ada survei baseline dan/

atau survei lanjutan menyangkut hasil dan dampak PKSA.

Kajian ini tidak mencakup risiko fidusia (fiduciary risk) yang terkait dengan pendelegasian manajemen bantuan tunai ke LKSA dan kontrol finansial dan mekanisme audit yang telah dibuat untuk memastikan transparansi manajemen dana publik melalui badan-badan swasta.

(20)

2. ISU-ISU KESEJAHTERAAN ANAK DAN PERLINDUNGAN ANAK DI INDONESIA

2.1 Kerentanan Anak di Indonesia

Sepertiga dari populasi Indonesia sebesar 237,6 juta terdiri dari anak-anak di bawah usia 18 tahun (BPS, 2011). Secara keseluruhan, kesejahteraan dan kualitas kehidupan dari populasi tersebut terus meningkat. Antara tahun 1980 dan 2012, Indeks Pembangunan Manusia meningkat sebesar 49 persen. Selama periode ini harapan hidup saat lahir telah meningkat lebih dari 12 tahun, rata-rata sekolah hampir 3 tahun, dan pendapatan nasional bruto (GNI) per kapita sebesar 225 persen. Meskipun ada pencapaian, banyak anak Indonesia masih hidup dengan kerentanan yang menghalangi kesejahteraan dan perkembangannya.

Indonesia masih belum menunjukkan kinerja yang baik dalam menjamin hak atas pencatatan kelahiran. Pencatatan kelahiran memberikan pengakuan resmi tentang identitas dan eksistensi seorang anak. Hal bisa memberikan perlindungan dari pengucilan dan eksploitasi anak termasuk perkawinan ilegal, perkawinan anak adopsi ilegal, dan perdagangan anak. Data dari Survei Ekonomi Sosial Nasional (Susenas) tahun 2011 menunjukkan bahwa 40% anak usia 0-4 tahun tidak memiliki akta kelahiran (Badan Statistik Nasional, 2012). Proporsinya diasumsikan akan lebih tinggi jika anak yang usianya lebih tua tanpa akta kelahiran dimasukkan. Pemerintah, melalui amandemen Undang-undang Administrasi Kependudukan di tahun 2013 menghapuskan biaya yang berkaitan untuk mendapatkan dokumen-dokumen sipil termasuk akta kelahiran. Walaupun begitu, dalam prakteknya orangtua masih dihadapkan dengan prosedur yang rumit, biaya pendaftaran dan kurangnya akses (Ramdhani, 2014).

Kemiskinan merupakan penyebab utama kerentanan anak di Indonesia.

Kemiskinan menghalangi pemenuhan kebutuhan dasar anak terhadap kesehatan, nutrisi, dan pendidikan yang baik. Stres yang berkaitan dengan kemiskinan, pengangguran, dan akses yang terbatas pada sumber daya menambah risiko penelantaran anak. Data dari PPLS menunjukkan bahwa di tahun 2011, 23,4 juta anak usia di bawah 16 tahun hidup dalam kemiskinan dan 3,4 juta anak usia antara 10-17 tahun bekerja sebagai pekerja keluarga yang tidak dibayar. Mayoritas dari mereka hanya tamat sekolah dasar, yang berarti bahwa mereka telah dikeluarkan dari sekolah pada usia dini dan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dan kehidupan yang lebih baik.

Untuk memastikan keberlanjutan pendidikan anak-anak mereka, banyak orangtua yang mengirim anak-anak mereka ke salah satu dari 5000-8000 lembaga pengasuhan anak yang disebut Panti yang kebanyakan adalah lembaga swasta.

(21)

Meskipun Panti bisa memenuhi kebutuhan anak akan pendidikan, pangan, dan tempat tinggal, tapi kebanyakan dari lembaga itu tidak banyak memberikan pengasuhan yang yang memadai pada anak (Kementerian Sosial , Save the Children, UNICEF, 2007).

Kerentanan sebagian anak Indonesia disebabkan oleh kurangnya pengasuhan yang memadai dari orangtua atau pengasuh mereka. Sekitar 19,6 persen anak balita menderita gizi buruk, yang meningkatkan risiko mereka untuk mengalami masalah kesehatan dan masalah kognitif (Riskesdas, 2013). Di tahun 2011, dua puluh persen dari anak- anak dibawah 5 tahun kurang berat badannya dan lebih dari 17 persen bayi dilahirkan tanpa bantuan tenaga kesehatan yang profesional. Sebagian dari hal-hal tersebut terjadi karena ketidakmampuan mereka untuk membiayai layanan kesehatan. Di tahun 2011, ada sekitar 1,2 juta anak balita dan 3,1 juta anak di atas 5 tahun yang dikategorikan sebagai anak terlantar (BPS, 2011).

Di Indonesia, anak-anak penyandang disabilitas menghadapi risiko lebih besar untuk mengalami diskriminasi, penelantaran, dan perlakuan buruk dibandingkan saudaranya yang ‘mampu’

karena stigma yang melekat pada kondisi mereka, kurangnya sumber daya dan fasilitas, masalah akses dan kebijakan perlindungan yang lemah. Di tahun 2009, Direktorat Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas di Kementerian Sosial mencatat bahwa sebanyak 199.163 anak di 24 provinsi menyandang disabilitas – 78.412 anak dengan disabilitas ‘ringan’, 74.603 anak dengan disabilitas ‘sedang’ dan 46.148 anak dengan disabilitas ‘parah’.

Angka ini meningkat menjadi 367.520

anak di tahun 2013. Sebagian besar dari mereka tinggal di keluarga-keluarga miskin (Kementerian Sosial, 2014).

Banyak anak yang dibiarkan tanpa pengasuhan dan perlindungan yang memadai dan terpaksa menjadi anak jalanan. Anak jalanan terpapar pada risiko yang meliputi masalah kesehatan, eksploitasi dan kekerasan, putus sekolah, dan terlibat dalam aksi kejahatan.

Anak jalanan yang diidentifikasi oleh Kementerian Sosial pada tahun 2007 adalah sebanyak 230.000 anak, sementara CBS dan ILO memperkirakan bahwa ada 320.000 anak jalanan di tahun 2009.

Kelompok anak rentan lainnya adalah mereka yang berhadapan dengan hukum dan membutuhkan perlindungan khusus. Data dari Kementerian Hukum menunjukkan bahwa 54.712 anak melakukan pelanggaran hukum dan ditahan pada tahun 2011 (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak, 2012). Susenas melaporkan bahwa 285.500 anak telah menjadi korban kejahatan. Menyangkut eksploitasi seksual (misalnya prostitusi dan pornografi anak), data sulit diperoleh karena kasus seperti itu tidak dilaporkan. Kendati demikian, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2012) mencatat bahwa 30% dari 30.000 – 70.000 pekerja seks di Indonesia masih tergolong anak-anak. Data dari Kepolisian Indonesia (dikutip oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2012) menyebutkan bahwa sebanyak 344 anak, kebanyakan perempuan, telah menjadi korban perdagangan anak selama periode 2007 sampai 2011.

(22)

2.2 Intervensi Kesejahteraan Anak dan Perlindungan Anak di Indonesia

Indonesia telah menunjukkan komitmennya terhadap perlindungan anak dengan mengadopsi kebijakan-kebijakan dan memperkuat kerangka hukum yang menjamin perlindungan hak-hak anak. Di tahun 1990 Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Konvensi ini mewajibkan pemerintah untuk mengembangkan kebijakan-kebijakan dan menjalankan aksi- aksi untuk kepentingan terbaik anak, untuk menghargai hak-hak anak di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan sipil dan domain politik dan untuk melindungi anak dari perlakuan salah, eksploitasi, diskriminasi, dan kekerasan. Di tingkat nasional, pemerintah telah memberlakukan berbagai undang-undang yang sejalan dengan konvensi tersebut termasuk Undang-undang No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Undang-undang No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI, Undang- undang No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang- undang No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Undang-undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan sejumlah rencana aksi lain untuk mengurangi pekerja anak dan eksploitasi

2. ISU-ISU KESEJAHTERAAN ANAK DAN PERLINDUNGAN ANAK DI INDONESIA

(23)

anak. Perlindungan anak juga merupakan sebuah prioritas antar sektor di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010-2014.

Meskipun sudah ada kerangka hukum yang sudah demikian komprehensif, namun intervensi pengasuhan anak dan perlindungan anak masih belum terintegrasi dengan baik dan konsisten dengan promosi kepentingan terbaik untuk anak.

Tanggung jawab untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan tersebar di berbagai program dari berbagai kementerian pusat dan di berbagai direktorat dalam lembaga pemerintahan yang sama.

Hal yang sama juga terjadi di lembaga- lembaga pemerintah di bawahnya.

Program-program perlindungan anak terfragmentasi dan tidak terkoordinasi.

Ini menyebabkan terjadinya tumpang tindih layanan serta kesenjangan dalam cakupan dan menimbulkan dampak yang terbatas.

Praktek yang dominan dalam menangani anak-anak rentan telah lama dilakukan dalam pengasuhan institusional.

Implementasi Undang-undang No. 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak yang mengatur intervensi rehabilitasi anak telah lama dikritik karena tidak responsif dalam melindungi hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum. Pengasuhan terhadap anak yatim dan anak terlantar kebanyakan dilakukan oleh lembaga- lembaga swasta di seluruh negeri.

Sayangnya, pemerintah dengan suatu cara mendukung praktek pengasuhan residensial itu dengan memberikan bantuan biaya operasional untuk anak- anak yang diasuh oleh lembaga-lembaga /panti (Martin, 2013).

Di tahun 2000, Indonesia mulai mengatur pengasuhan kelembagaan dan menyadari perlunya pergeseran dari pengasuhan kelembagaan atau panti ke pengasuhan berbasis keluarga dalam pengasuhan dan perlindungan anak. Pergeseran ini sebagian didasarkan pada temuan dari penelitian tentang pengasuhan institusional yang dilakukan beberapa panti. Penelitian itu menunjukkan bahwa hanya 6% dari anak yang ada di panti- panti itu yang anak yatim. Kebanyakan dari anak-anak dikirim ke panti oleh keluarga mereka untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik dan kebanyakan anak yang tinggal di lembaga-lembaga ini tidak mendapatkan pengasuhan dan perlindungan yang memadai (Florence &

Sudrajat, 2007). Di tahun 2011, Standar Nasional Pengasuhan Anak dalam institusi disahkan dan kebijakan ini mendukung anak untuk hidup bersama keluarga atau dalam lingkungan keluarga sementara pengasuhan institusional dianggap sebagai langkah atau upaya terakhir.

Perubahan paradigma untuk mempromosikan pengasuhan berbasis hak

dan berbasis keluarga telah diterjemahkan ke dalam beberapa program termasuk inisiatif pengentasan kemiskinan dan perlindungan anak. Ini mengikuti Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 2010 tentang Akselerasi Implementasi Prioritas Pembangunan Nasional untuk tahun 2010 dan Instruksi Presiden Nomor 3 tahun 2010 tentang Pembangunan Berkeadilan.

Bantuan tunai Program Keluarga Harapan (PKH) dimulai pada tahun 2007. Program ini memberikan bantuan tunai kepada keluarga miskin yang memiliki ibu hamil atau menyusui, bayi, dan anak usia sekolah. Di tahun 2004, 3,2 juta keluarga miskin menerima bantuan tunai dari PKH.

(24)

PKSA diperkenalkan di tahun 2009 sebagai intervensi perlindungan anak tingkat sekunder dan tersier. Program ini menggabungkan bantuan tunai dan layanan sosial untuk membantu anak yang berisiko atau anak dalam krisis (lebih lanjut lihat Bab 3). Sebuah undang-undang baru tentang Sistem Peradilan Pidana Anak di tahun 2012 menekankan orientasi ke arah peradilan restoratif. Undang-undang ini mempromosikan sistem peradilan pidana diluar pengadilan dan rehabilitasi pelaku kejahatan remaja melalui layanan berbasis masyarakat.

Sejak beberapa tahun terakhir ini Indonesia telah mulai mengembangkan sebuah sistem perlindungan anak yang komprehensif dan terintegrasi yang difokuskan pada pengasuhan berbasis keluarga dan pengasuhan berbasis masyarakat. Model tersebut mengintegrasikan layanan sosial, kesehatan, pendidikan, dan keadilan, mengurangi duplikasi, inefisiensi, dan fragmentasi layanan dan bertujuan untuk meningkatkan akses pada layanan.

2.3 Angin Perubahan – Inisiatif yang Sedang Berjalan dan yang Direncanakan Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Sosial dan Perlindungan yang Sensitif Anak

Kementerian Sosial, TN2PK, Bappenas, berbagai mitra internasional mereka, dan beberapa pemerintah daerah telah memulai dan/atau merencanakan sejumlah intervensi untuk menyebarluaskan dan mencoba cara-cara baru untuk meningkatkan perlindungan sosial. Tujuannya adalah untuk mengurangi fragmentasi ekstrem program sosial, mengintegrasikan bantuan tunai dan layanan sosial dan menguji tempat rujukan satu pintu (one-stop referral) dan model-model layanan. Subsidi BBM telah dikurangi untuk mendapatkan dana untuk pengentasan kemiskinan yang lebih efektif. Ada seruan yang meminta agar seluruh aktivitas bantuan sosial dipusatkan di dalam program bantuan tunai yang harmonis. Beberapa inisiatif tersebut adalah:

• Kementerian Sosial bekerja sama dengan UNICEF merencanakan program- program pilot berbasis daerah yang akan menguji sebuah pendekatan yang terintegrasi dengan kesejahteraan dan perlindungan anak berbasis keluarga di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan (Griffith University, 2014).

• TNP2K dan Bappenas bekerja sama dengan Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT) Australia sudah memulai 11 proyek pilot untuk meningkatkan data nasional terpadu (national unified data-base atau UDB) dengan memperkenalkan sistem rujukan terpadu atau Integrated Referral System (IRS), yang memberikan solusi teknologi untuk menghapuskan fragmentasi program perlindungan sosial dan untuk meningkatkan koordinasi dan integrasi layanan perlindungan sosial di tingkat nasional dan daerah.

2. ISU-ISU KESEJAHTERAAN ANAK DAN PERLINDUNGAN ANAK DI INDONESIA

(25)

• “Model Sragen” adalah inisiatif pemerintah daerah yang disebut UPTK yang langsung melapor kepada Sekretaris Daerah (Sekda). Ini ditujukan untuk koordinasi tingkat daerah untuk perlindungan sosial melalui sebuah sistem pencatatan online yang terintegrasi. Model ini mengalihkan implementasi perlindungan sosial dari Kementerian Sosial ke pemimpin daerah. Model ini merupakan respons terhadap fakta bahwa sistem penetapan target nasional (UDB) memiliki kesalahan inklusi dan eksklusi yang tinggi. Namun demikian, UPTK dalam bentuknya yang sekarang ini tidak cocok untuk mengidentifikasi anak-anak yang sangat rentan yang tidak punya akte kelahiran atau bentuk identifikasi lainnya

• Surakarta memiliki database sendiri tentang keluarga miskin dan sedang melakukan uji coba pencatatan sipil online yang menghubungkan catatan rumah sakit dengan data pencatatan sipil sehingga pengguna bisa dengan mudah menentukan pencatatan sipil dan status kesehatan dari rumah tangga tertentu.

Keempat inisiatif di atas fokus untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan dari sistem perlindungan anak dan sistem kesejahteraan yang ada sekarang. Menggabungkan inisiatif-inisiatif ini bisa menghasilkan sinergi yang signifikan dan akan menghindar fragmentasi inisiatif yang bertujuan untuk mengurangi fragmentasi

(26)

3. PERANAN DAN ORGANISASI PKSA

Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) adalah program bantuan tunai perlindungan anak bersyarat, yang dirancang sebagai sebuah model untuk merespon masalah-masalah anak yang menghadapi krisis yang tinggal di keluarga miskin. PKSA menggabungkan elemen-elemen bantuan tunai dengan bantuan pekerja sosial dan akses pada layanan sosial dasar untuk menghasilkan keuntungan rehabilitatif agar keluarga bisa berfungsi.

Persyaratan fokus pada perubahan perilaku yang meliputi perubahan perilaku yang positif dan peningkatan fungsi sosial dari anak-anak dan keluarga, serta meningkatkan pemanfaatan layanan sosial dasar. Sebuah pendekatan manajemen kasus dan serangkaian sesi pembangunan keluarga diaplikasikan untuk mencapai perubahan perilaku, untuk memastikan rehabilitasi sosial dan untuk memfasilitasi akses pada layanan sosial.

Sesuai dengan kategori situasi krisis yang dialami oleh anak-anak, PKSA diatur dalam enam sub-program, masing-masing dengan profil kelompok target sendiri (lihat Tabel 1).

Tabel 1: Jumlah Anak yang Dibantu oleh PKSA di Tahun 2012 dan 2013 Menurut Sub-Program

Sub-Program Jumlah Anak Terjangkau

2012 2013

1 PKSA untuk Anak Balita Terlantar 7.540 15.000

2 PKSA untuk Anak Terlantar (5- 18 tahun) 137.242 110.000

3 PKSA untuk Anak Jalanan 8.415 9.315

4 PKSA untuk Anak-Anak yang Berhadapan

dengan Hukum dan Remaja Rentan 1.040 7.840

5 PKSA untuk Anak Penyandang Disabilitas 1.750 8.600 6 PKSA untuk Anak yang Membutuhkan

Perlindungan Khusus *) 1.210 8.146

Total 157.197 158.901

Sumber : Lampiran “Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA)”

*) mencakup anak korban berbagai macam kekerasan/perlakuan salah dan eksploitasi seperti perdagangan anak, perlakuan salah seksual dan eksploitasi, dan pekerja anak, anak yang hidup dengan HIV/AIDS, dan anak dari masyarakat adat terpencil

Kementerian Sosial telah merencanakan untuk secara perlahan mentransformasikan 5 sub-program ke dalam sebuah model yang terintegrasi, satu PKSA untuk semua (lihat Gambar 1). Untuk periode 2010 sampai 2011, PKSA telah merencanakan untuk

(27)

mengelola sub-sub program secara terpusat. Pada saat yang sama, sebagian dari dana pusat dikirimkan ke pemerintah daerah(yang dikenal dengan istilah dana dekonsentrasi) agar daerahmemulai program-program kesejahteraan anak sendiri yang mirip dengan PKSA. Sebagai langkah selanjutnya yang dimulai di tahun 2011, direncanakan untuk memulai proses pengintegrasian PKSA pusat dan program kesejahteraan anak daerah.

Untuk periode 2014 sampai 2019 direncanakan untuk meningkatkan peranan dan kontribusi Pemerintah Daerah. Pada tahun 2020, pemerintah daerah diharapkan bisa melaksanakan sebagian besar intervensi PKSA sementara pemerintah pusat memainkan peranan pendukung.

Gambar 2. Roadmap PKSA (2009-2019)

Sumber: Presentasi Powerpoint dari Dr. Ir. R. Harry Hikmat: Best Practice PKSA 2009-2011, Kementerian Sosial RI, 2012

Sebagai sebuah model untuk respons yang efektif terhadap kebutuhan perlindungan anak dan kesejahteraan secara nasional, PKSA seharusnya dipakai sebagai referensi untuk otoritas dan masyarakat provinsiatau kabupaten untuk memberikan pengasuhan dan perlindungan untuk anak-anak (Kementerian Sosial, 2010). Oleh sebab itu, rancangan PKSA mencakup pemerintah provinsidan kabupaten sebagai bagian dari struktur pelaksana, bersamaan dengan deskripsi peranan yang khusus dari setiap level. Panduan PKSA bahkan menyebutkan bahwa Dinas Sosial di seluruh level harus membentuk unit pelaksana PKSA di kantor mereka masing-masing. Pendek kata, diperkirakan sejak awal bahwa pada tahun 2019 pemerintah daerah akan memiliki kapasitas untuk mengelola PKSA secara independen menggunakan sumber daya mereka sendiri.

(28)

Tabel 2: Rencana Cakupan PKSA Pemerintah Pusat dan Anggaran 2010-2020

Tahun 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 Jumlah

Anak 138.000 158.000 172.000 222.000 322.000 522.000 822.000 822.000 822.000 822.000 822.000 Anggaran 271 M 287 M 313 M 400 M 580 M 940 M 1,500 M 1,500 M 1,500 M 1,500 M 1,500 M

Sumber: Presentasif Dr. Ir. R. Harry Hikmat: Best Practice PKSA2009-2011, Kementerian Sosial RI, 2012

Tabel 2 menunjukkan rencana jangka panjang. PKSA bertujuan untuk meliputi 522.000 anak di tahun 2015 dan 822.000 anak pada periode 2016-2020 dari anggaran pusat.

Jumlah ini adalah 20 persen dari total populasi target dari anak yang membutuhkan.

Untuk secara perlahan mengurangi kesenjangan antara jumlah anak yang membutuhkan dan jumlah anak yang sudah terjangkau program, diasumsikan bahwa 80% lainnya dari kelompok target akan dicakup oleh sumber daya provinsidan kabupaten. Untuk memastikan bahwa pemerintah daerah akan mengalokasikan tambahan dana untuk implementasi program kesejahteraan anak, Kementerian Sosial harus mendapatkan komitmen dan dukungan penuh dari pemerintah daerah. Oleh sebab itu, salah satu tujuan utama PKSA adalah untuk mensinergiskan, bekerja sama dengan erat dan berbagi sumber daya dengan pemerintah daerah.

3. PERANAN DAN ORGANISASI PKSA

(29)

KEBERLANJUTAN PKSA

4.1 Efektivitas – Apakah PKSA Telah Mencapai Tujuannya?

Keputusan Menteri Sosial No. 15A/HUK/2010 menyatakan bahwa tujuan dari PKSA adalah sebagai berikut (Kementerian Sosial , 2010).

Tujuan Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) adalah terwujudnya pemenuhan hak dasar anak dan perlindungan terhadap anak dari penelantaran,eksploitasi, dan diskriminasi sehingga tumbuh kembang, kelangsungan hidup dan partisipasi anak dapat terwujud.

Keputusan yang sama memberikan tujuan-tujuan berikut untuk dicapai dalam periode 2010 sampai 2014:

1. meningkatnya persentase anak dan balita terlantar, anak jalanan, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dengan kecacatan dan anak yang membutuhkan perlindungan khusus untuk memperoleh akses pelayanan sosial dasar;

2. meningkatnya persentase orangtua / keluarga yang bertanggung jawab dalam pengasuhan dan perlindungan anak;

3. menurunnya persentase anak yang mengalami masalah sosial;

4. meningkatnya lembaga kesejahteraan sosial yang menangani anak;

5. meningkatnya Pekerja Sosial Profesional, Tenaga Kesejahteraan Sosial dan relawan sosial di bidang pelayanan kesejahteraan sosial anak yang terlatih;

6. meningkatnya pemerintah daerah (kabupaten/kota) yang bermitra dan berkontribusi melalui APBD dalam pelaksanaan PKSA; dan

7. meningkatnya produk hukum perlindungan hak anak yang diperlukan untuk landasan hukum PKSA

Diringkas dan diurutkan dengan urutan luaran - hasil - dampak, tugas PKSA adalah untuk menghasilkan empat luaran berikut ini: :

• Meningkatkan jumlah lembaga-lembaga kesejahteraan sosial yang memberikan layanan perlindungan untuk anak-anak (tujuan 4)

• Meningkatkan jumlah pekerja sosial terlatih yang profesional (tujuan 5).

• Mensinergiskan PKSA dengan program-program kesejahteraan dari pemerintah daerah (tujuan 6)

• Meningkatkan kerangka hukum sebagai landasan hukum untuk PKSA (tujuan 7)

(30)

Sebagai akibat dari empat luaran itu, PKSA diharapkan untuk mencapai dua luaran:

• Meningkatnya persentase anak dan balita terlantar, anak jalanan, anak yang berkonflik dengan hukum, anak penyandang disabilitas, dan anak yang membutuhkan perlindungan khusus untuk mendapatkan akses pada layanan sosial dasar (tujuan 1).

• Meningkatnya persentase orangtua/keluarga yang akan bertanggung jawab atas pengasuhan anak dan perlindungan (tujuan 2).

Luaran ini akan menghasilkan dampak berikut ini:

• Berkurangnya persentase anak yang memiliki masalah-masalah sosial (tujuan 3)

Gambar 3. Sistem Tujuan PKSA

Berdasarkan tinjauan pustaka dan observasi yang dilakukan selama kerja lapangan, sub-sub bab berikut ini menganalisa sampai sejauh mana PKSA telah mencapai luaran, hasil dan dampaknya.

4.1.1 Meningkatnya Jumlah Lembaga-Lembaga Kesejahteraan Sosial yang Memberikan Layanan Perlindungan Kepada Anak

Menjaga hak-hak anak dan melindungi anak adalah tanggung jawab dari unsur-unsur pemerintah dan non-pemerintah. Jumlah dan kualitas pemberi layanan menentukan sejauh mana dan seberapa baik layanan perlindungan anak. Implementasi PKSA tergantung dari kolaborasi dengan Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) untuk memberikan layanan kesejahteraan dan perlindungan anak di tingkat masyarakat.

4. PENILAIAN EFEKTIVITAS, KINERJA IMPLEMENTASI, EFISIENSI, RELEVANSI, DAN KEBERLANJUTAN PKSA

(31)

Panduan PKSA mengatur kriteria pemilihan LKSA, tanggung jawab, dan hak. Kriteria pemilihannya adalah:

Disetujui oleh Dinas Sosial setempat, memiliki pengalaman yang cukup dalam menangani isu-isu anak, memiliki sumber daya manusia dan sumber daya finansial serta memiliki infrastruktur yang memadai untuk melaksanakan programnya. LKSA yang terpilih diberikan tugas untuk mengidentifikasi dan memverifikasi anak-anak yang berhak, membuka rekening bank untuk setiap anak, mentransfer bantuan tunai ke rekening anak, menghubungkan penerima manfaat dengan layanan sosial, memfasilitasi informasi dan sesi informasi untuk orangtua, dan memonitor kepatuhan pada persyaratan.

Sebaliknya, Kementerian Sosial memberikan pelatihan untuk personil LKSA dan bantuan finansial yang disebut Bantuan Operasional Pendampingan (BOP) dan Bantuan Operasional Lembaga (BOL). BOP adalah pendukung biaya operasional, misalnya, untuk pendampingan dan seleksi, untuk kunjungan rumah, manajemen kasus dan transportasi untuk pekerja sosial.

BOL adalah untuk mendukung biaya administrasi, seperti makanan untuk rapat-rapat koordinasi, gaji pegawai LKSA dan infrastruktur kantor. Di antara tahun 2009 sampai 2013, setiap LKSA menerima sebanyak Rp. 300.000 untuk BOP dan BOL per satu penerima manfaat. Namun demikian, di tahun

2014, merespon kepada instruksi presiden tentang pengurangan anggaran negara, PKSA menghapuskan BOP dan BOL.

Alih-alih, setiap LKSA diberikan bantuan finansial yang bervariasi antara Rp. 10 juta sampai Rp. 15 juta sebagai lumsum (berapa pun jumlah anak yang mereka layani).

Kajian ini menemukan bahwa PKSA telah berhasil meningkatkan jumlah LKSA yang dapat bekerja sama, tapi tidak bisa meningkatkan kualitas mereka untuk memberikan layanan perlindungan anak.

Di tahun 2010, ada 5400 LKSA. Angka itusedikit meningkat menjadi 5712 di tahun 2011 dan menurun menjadi 4596 di tahun 2013. Pada tahun2014 jumlah LKSA telah mencapai 5563. Karena PKSA hanya mempekerjakan 686 pekerja sosial, mayoritas LKSA beroperasi tanpa pekerja sosial. Karena pekerja sosial memainkan peranan penting dalam pendekatan PKSA, sebuah LKSA yang tidak memiliki pekerja sosial mungkin tidak akan bisa mengimplementasikan konsep PKSA secara efektif (lihat Bab 4.1.2)

Kerja lapangan menemukan beragam bukti yang berhubungan dengan kualitas LKSA.

Kebanyakan LKSA yang disurvei telah beroperasi sebelum PKSA dibentuk, yang mengindikasikan bahwa mereka telah memiliki pengalaman yang memadai dalam membantu anak-anak. Banyak dari mereka yang memberikan pengasuhan berbasis masyarakat/keluarga, yang sejalan dengan tujuan PKSA untuk mempromosikan pengasuhan yang bukan berbasis institusi.

(32)

Namun kekhawatiran atas kapasitas mereka untuk mengimplementasikan PKSA cukup besar. Beberapa LKSA ditemukan tidak memiliki infrastruktur dan fasilitas dasar yang memadai untuk memberikan layanan dan pengasuhan yang memadai untuk anak, meskipun mereka telah lama terlibat dalam PKSA. Beberapa dari mereka juga beroperasi tanpa transparansi dan akuntabilitas. Misalnya, beberapa LKSA tidak pernah memperlihatkan buku tabungan kepada penerima manfaat atau memberi tahu mereka tentang jumlah uang yang tersisa (saldo), sementara panduan PKSA menyebutkan:

“Tabungan PKSA adalah komponen dari proses bantuan sosial untuk mendidik anak belajar menabung dan mengetahui bagaimana sistem perbankan” (Kementerian Sosial , 2010)

Di Makassar, beberapa pekerja sosial mengeluh bahwa mereka tidak pernah dilibatkan oleh LKSA dalam mendistribusikan dan memonitor bantuan tunai. Di samping itu, ada indikasi malpraktek yang sudah lama ada di beberapa lembaga pengasuhan berbasis lembaga untuk anak-anak terlantar (panti) yang juga telah diamati dalam kajian sebelumnya (Kementerian Sosial , Save the Children, UNICEF, 2013; 2008). Beberapa peserta di Sulawesi Selatan yakin bahwa mengambil keuntungan merupakan motif yang dominan bagi beberapa panti yang terlibat dalam PKSA. Panti-panti secara reguler merekrut anak dari kabupaten atau provinsi lain. Banyak anak-anak yang direkrut itu masih memiliki orangtua dan keluarga yang masih mampu mengasuh mereka. Bekerja dengan LKSA semacam itu jelas tidak konsisten dengan tujuan mempromosikan pengasuhan berbasis keluarga.

4. PENILAIAN EFEKTIVITAS, KINERJA IMPLEMENTASI, EFISIENSI, RELEVANSI, DAN KEBERLANJUTAN PKSA

(33)

Isu-isu lain yang terkait dengan penetapan target dan layanan, aktivitas penetapan target yang dilakukan oleh LKSA tidak bermuara pada pemilihan anak yang sangat miskin dan anak yang betul-betul membutuhkan (lihat Bab 4.2.2). Di samping itu, meskipun banyak LKSA yang disurvei menyatakan bahwa mereka tidak terpengaruh secara signifikan dengan pengurangan bantuan operasional, kajian ini menunjukkan hal sebaliknya. Beberapa LKSA telah mengurangi frekuensi dan keteraturan pendampingan dan aktivitas dengan orangtua/anak karena ada kendala finansial.

Banyak isu-isu yang diamati seharusnya bisa dideteksi dan dikurangi melalui kriteria pemilihan yang tepat untuk LKSA, penilaian yang tepat, monitoring dan evaluasi. Sesungguhnya, baik PKSA maupun pemerintah daerah tidak secara hati memilih badan-badan pelaksana atau mengontrol kinerja mereka dan/atau meningkatkan kapasitas dan akuntabilitas mereka.

Menurut responden, pendaftaran LKSA sangat arbitrer dan monitoring serta inspeksi yang dilakukan secara reguler. Apabila itu terjadi, hal itu tidak dilakukan secara menyeluruh dan sistematis.

4.1.2 Meningkatnya Jumlah Pekerja Sosial Terlatih yang Profesional, Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan Relawan Sosial di Bidang Kesejahteraan Anak dan Perlindungan Anak.

Pekerja sosial adalah komponen utama dalam program ini. Jumlah dan kualitas mereka menentukan efektivitas intervensi-intervensi PKSA.

Pekerja sosial yang bekerja untuk PKSA, yang juga dikenal dengan sebutan Sakti Peksos, memberikan layanan kepada anak-anak dan pengasuh, menghubungkan mereka dengan organisasi layanan sosial dan mempromosikan perubahan perilaku di tingkat keluarga dan masyarakat.

Peranan dan kompetensi pekerja sosial menjadi sangat penting dalam platform PKSA yang baru karena program itu akan memberikan lebih banyak prioritas untuk layanan rehabilitasi dan tidak akan banyak fokus pada bantuan tunai. Panduannya mengatur bahwa setiap pekerja sosial harus memiliki kompetensi profesional, pribadi, dan sosial yang tepat.

Meskipun jumlah pekerja sosial yang dipekerjakan oleh PKSA senantiasa bertambah, tapi peningkatan ini tidak sesuai dengan peningkatan LKSA yang melaksanakan kegiatan. Di tahun 2010 dan 2011, Kementerian Sosial mempekerjakan 46 dan 140 pekerja sosial profesional. Di tahun

(34)

2012/2013 jumlahnya meningkat jadi 623 dan akhirnya mencapai 686 di tahun 2014. Pada umumnya pekerja sosial melihat pekerjaan mereka itu penting dan juga menyenangkan secara emosional. Badan-badan pelaksana dan penerima manfaat sangat menghargai kegigihan dan dedikasi dari para pekerja sosial (lihat bab 4.2.4).

Tapi karena PKSA memiliki 5.563 LKSA, kebanyakan LKSA melaksanakan program tanpa pekerja sosial (lihat bab 4.1.1). Ini berarti bahwa kurang dari 10 persen penerima manfaat dijangkau oleh pendekatan PKSA secara penuh, yaitu integrasi bantuan tunai, pekerja sosial, dan akses pada layanan sosial. Anak-anak penerima bantuan tunai tanpa dukungan kesejahteraan sosial yang tepat telah kehilangan layanan rehabilitatif yang diberikan oleh pekerja sosial untuk memfasilitasi bahwa keluarga dan anak-anak mendapatkan kembali kemampuan mereka untuk berfungsi, sebuah elemen penting dari rancangan program ini. Kenyataan bahwa jumlah anak yang tidak dilayani oleh pekerja sosial relatif besar dibandingkan dengan kelompok yang menerima dukungan PKSA secara penuh menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas program.

Di beberapa LKSA yang tidak memiliki pekerja sosial, rasio antara anak per pekerja sosial cukup problematis. Rasio yang sangat timpang adalah pada klaster anak terlantar, dimana dalam rata- rata seorang pekerja sosial harus menangani antara 915 anak (tahun 2013) sampai lebih dari 1000 anak (2012). Rasio rata-rata malah lebih buruk pada klaster balita terlantar (1:47 di tahun 2012 dan 1:93 di tahun 2013) dan di klaster anak yang membutuhkan perlindungan sosial (1:17 di tahun 2012 dan 1:78 di tahun 2013). Pekerja sosial dengan rasio yang tinggi dan bidang pekerjaan yang luas mengakui bahwa mereka merasa kesulitan untuk melakukan kunjungan rumah secara reguler atau memberikan layanan yang tepat untuk memperkuat pengetahuan dan kapasitas orangtua.

Banyak pekerja sosial yang tidak puas dengan kondisi pekerjaan mereka karena tidak adanya asuransi kesehatan, tidak adanya keamanan pekerjaan, pengembangan karier yang terbatas, dan tidak adanya pengakuan profesionalisme dari profesi lain. Beberapa dari masalah- masalah ini telah dilaporkan dana kajian-kajian terdahulu (World Bank, 2011, Lahiri, 2013).

4. PENILAIAN EFEKTIVITAS, KINERJA IMPLEMENTASI, EFISIENSI, RELEVANSI, DAN KEBERLANJUTAN PKSA

(35)

PKSA juga belum bekerja dengan baik untuk meningkatkan kompetensi profesional pekerja sosial. Pelatihan kerja yang ada sekarang dianggap terlalu singkat (10 hari untuk gelombang pertama dan 3 hari untuk gelombang berikutnya), terlalu umum dan tidak dibuat secara khusus untuk kompetensi yang dibutuhkan dalam setiap klaster. Pelatihan itu terlalu terfokus pada pengetahuan, alih-alih pengembangan keterampilan.

Banyak yang merasa bahwa tanggung jawab untuk membagikan dan memonitor bantuan telah mendorong mereka untuk melakukan tugas sebagai “teller bank” atau “petugas administrasi” dan bukan pekerjaan sosial yang sesungguhnya. Kecemasan akan kompetensi kerja terutama disuarakan oleh mereka dalam klaster anak penyandang disabilitas, anak yang berhadapan dengan hukum dan anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus, karena kadang mereka harus menangani kasus- kasus yang rumit yang membutuhkan keterampilan yang lebih khusus dan kompetensi yang lebih besar.

Seorang pekerja sosial dari anak yang membutuhkan perlindungan khusus merangkum tantangan kompetensi yang telah ia hadapi sebagai berikut:

“Kadang saya meragukan apakah saya melakukan tugas dengan benar atau telah membuat perubahan yang positif untuk anak-anak. Ketika saya harus menangani korban yang seringkali berada dalam kondisi traumatis, saya seringkali tidak tahu apa yang harus saya lakukan … Saya tidak mengerti metode apa yang harus saya gunakan untuk terlibat dalam percakapan atau aktivitas apa yang bisa saya lakukan dengan mereka.

Saya tidak pernah mendapatkan pelatihan bagaimana menangani anak yang traumatis dan saya juga tidak pernah mendapatkan pelatihan tentang teknik komunikasi dengan anak. Untuk mengatasi keterbatasan ini, saya kadang-kadang berkonsultasi dengan pekerja sosial lain tapi kami semua tidak tahu pasti apakah pendekatan kami sudah benar.”

Sejak pertengahan September 2014, Kementerian Sosial telah merespon masalah mengenai kurangnya supervisi melalui pemberian supervisor pekerja sosial. Beberapa orang dari supervisor yang baru diangkat itu mengeluh bahwa panduan dan indikator yang tidak jelas untuk melalukan tugas, tidak adanya pelatihan, dinamika kekuasaan dan beban kerja yang begitu berat menimbulkan kesulitan untuk melakukan tugas secara efektif.

Kesimpulannya, bisa dikatakan bahwa PKSA belum mampu untuk mencapai tujuannya untuk meningkatkan jumlah pekerja sosial profesional untuk program ini. Pekerja sosial tidak terdistribusi secara merata dan kurang dari 10 persen dari seluruh LKSA yang memiliki pekerja sosial. Perhatian kurang diberikan kepada peningkatan kondisi kerja dan kompetensi.

(36)

4.1.3 Mensinergiskan PKSA dengan Program Kesejahteraan Pemerintah Daerah Sinergi merujuk pada interaksi atau kerja sama antara dua organisasi atau lebih untuk menciptakan efek gabungan yang lebih besar dari jumlah efek terpisah. Sinergi bisa terjadi dalam tahap perencanaan, implementasi dan/

atau monitoring/evaluasi. Beberapa organisasi bisa bersinergi dalam satu atau lebih aspek seperti kebijakan dan program, berbagi sumber daya finansial dan sumber daya manusia, dan dalam manajemen data dan informasi. Komunikasi dan koordinasi yang baik adalah prasyarat untuk memastikan bahwa tujuan, peranan dan tanggung jawab dibagi dan dipahami secara bersama.

Sinergi dalam program pengasuhan dan perlindungan anak adalah penting untuk menangani penyebab-penyebab yang kompleks dan konsekuensi dari kerentanan anak. Ia memerlukan sebuah pendekatan yang holistik, melibatkan berbagai pemangku kepentingan, dan menuntut adanya sumber daya yang substansial. Mengingat PKSA adalah program pemerintah pusat, ia harus mencari cara untuk menyelaraskan dirinya dengan struktur dan program kesejahteraan pemerintah daerah agar bisa memberikan pengasuhan dan perlindungan yang efektif.

Kajian ini menemukan bahwa tujuan untuk meningkatkan sinergi antara PKSA dan program-program kesejahteraan Pemerintah Daerah masih belum tercapai. Tidak ada pemerintah kabupaten yang dikunjungi yang berkomitmen untuk mengalokasikan dana dari anggaran daerah untuk mendukung PKSA. Banyak badan Pemerintah Daerah yang diwawancarai dalam kajian ini tidak begitu tahu tentang PKSA, termasuk mereka yang sebenarnya bertanggung jawab atas kesejahteraan anak dan keluarga.

PKSA dianggap sebagai program Pemerintah Pusat, yang tidak begitu banyak melibatkan Pemerintah Daerah. Banyak keputusan dibuat di Jakarta tanpa melibatkan masukan dan kepentingan Pemerintah Daerah. Dengan demikian Pemerintah Daerah tidak merasa berkomitmen dengan PKSA.

Bahkan dalam mekanisme dekonsentrasi PKSA, Dinas Sosial provinsi hanya memainkan peranan yang terbatas. Tidak adanya keterlibatan yang signifikan dari Pemerintah Daerah mengurangi efektivitas PKSA dan menyebabkan tidak adanya komitmen dari Pemerintah Daerah untuk mendukung keberlanjutan PKSA.

Secara ringkas, tujuan untuk mensinergiskan PKSA dengan program- program kesejahteraan Pemerintah Daerah belum tercapai. PKSA tetap dianggap sebagai sebuah program dari pusat yang melangkahi lembaga- lembaga setempat. Kementerian Sosial perlu mengembangkan sebuah strategi yang jelas untuk mensinergiskan PKSA dengan struktur pemerintah daerah dan program-program kesejahteraan dan perlindungan anak.

4. PENILAIAN EFEKTIVITAS, KINERJA IMPLEMENTASI, EFISIENSI, RELEVANSI, DAN KEBERLANJUTAN PKSA

(37)

4.1.4 Meningkatkan Kerangka Hukum Sebagai Landasan Hukum Untuk PKSA Tidak ada bukti yang mendukung bahwa PKSA turut memperkuat kerangka hukum yang melandasinya.Panduan program tidak menjelaskan jenis-jenis kerangka hukum yang akan ditingkatkan oleh PKSA dan bagaimana itu akan dicapai.

Di tingkat nasional, keberlanjutan PKSA sebagai program nasional diatur oleh peraturan menteri yang berasal dari Undang-undang Kesejahteraan Sosial tahun 2009. Peraturan-peraturan tersebut menjelaskan bagaimana program harus dikelola dan diatur dari tingkat pusat sampai ke tingkat kabupaten dan tingkat masyarakat. Namun aturan itu tidak mencakup jaminan bahwa PKSA akan didanai secara memadai. Panduan PKSA adalah kerangka hukum untuk menjaga konsistensi layanan dan manajemen program. Sayangnya, panduan yang ada sekarang tidak sepenuhnya dipakai sebagai rujukan untuk memandu implementasi PKSA di berbagai tingkat. Di tingkat lokal belum ada kerangka hukum untuk intervensi PKSA yang dibuat (lihat bab 4.1.3).

Perkembangan terkini dengan diberlakukannya dua regulasi baru yaitu Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Keputusan Presiden tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak dalam Situasi Konflik tahun 2014 memberikan kesempatan bagi PKSA untuk memperkuat signifikansinya dan mendapatkan dukungan politik yang lebih banyak. Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak mempromosikan implementasi pengasuhan berbasis masyarakat sebagai model utama untuk merehabilitasi anak yang menjadi pelaku kejahatan. Pendekatan ini telah diperkenalkan dan diimplementasikan oleh PKSA dalam klaster anak yang berkonflik dengan hukum. Di bawah undang-undang yang baru, anak yang dituntut hukum penjara kurang dari 7 tahun harus direhabilitasi dalam pelayanan berbasis masyarakat. Keputusan Presiden terbaru menekankan perlunya layanan yang tepat untuk membantu anak yang berada dalam situasi konflik. Sejalan dengan keputusan itu PKSA telah membuat klaster untuk membantu anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus, termasuk anak yang menjadi korban bencana alam atau konflik sosial.

PKSA perlu mengembangkan struktur dan kapasitas untuk memenuhi tugas dan tanggung jawab yang dibuat oleh keputusan yang disebutkan di atas. Menyangkut anak-anak yang berkonflik dengan hukum, penting sekali untuk mengklarifikasi dan memperkuat mandat pekerja sosial melalui pengembangan regulasi-regulasi baru dan MoU dengan kementerian terkait. Banyak pekerja sosial dalam klaster ini

Referensi

Dokumen terkait

Cukup bervariasi dan kami bertanya pada José-Maria Clotet tentang divisi yang terakhir: “Sejak semula PROMAX mengajari para instalatir dan insinyur tentang

Adapun informasi bidang kesehatan yang tersebar di internet jika tidak memiliki penulis dan status penulis yang jelas maka informasi tidak bisa dipertanggungjawabkan,

Manjusri, yang sudah mencerahkan sang putri, mengakui pencapaian Kesadaran Buddha dari Putri Raja Naga, akan tetapi bagi orang lain yang berkumpul di sana, adalah suatu

tasi mandibula searah jarum jam menyebabkan perubahan sudut bidang mandibula dan posisi anteroposterior titik pogonion 22. Perawatan maloklusi kelas III dengan teknik

Dalam prespektif lain dengan di keluarkanya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 84 Tahun 2019 tentang Ketentuan Impor Limbah Nonbahan Berbahaya Dan Beracun Sebagai

Proses PR dalam melakukan aksi dan komunikasi Manajemen Public Relations PT.Pertamina untuk mempertahankan citra melalui Corporate Brand. Proses PR dalam Evaluasi

Kedua : Uraian secara rinci mengenai persyaratan kompetensi petugas kesehatan Puskesmas Pemurus Dalam sebagaimana yang dimaksud pada DIKTUM PERTAMA dimuat