• Tidak ada hasil yang ditemukan

PANDEMI COVID-19 DAN KEADAAN MEMAKSA (FORCE MAJEURE)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PANDEMI COVID-19 DAN KEADAAN MEMAKSA (FORCE MAJEURE)"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

MEMORANDUM INI SEMATA-MATA DISUSUN SEBAGAI REFERENSI UMUM DAN TIDAK DALAM HAL APA PUN DITAFSIRKAN SEBAGAI SUATU OPINI HUKUM BERDASARKAN YURISDIKSI MANA PUN. PEMBACA DIMINTA AGAR MEMPERHATIKAN PERNYATAAN SANGGAHAN YANG TERCANTUM PADA SITUS KAMI: WWW.MAGNAAR.COM.

Jakarta, 08 Mei 2020

Nomor: 006 / MM-IND / V / 20 Halaman: 5

MEMO

PANDEMI COVID-19 DAN KEADAAN MEMAKSA (FORCE MAJEURE)

A. LATARBELAKANG

Saat ini Indonesia dan hampir seluruh negara di dunia sedang menghadapi wabah penyakit menular yang berjangkit serempak meliputi dan melintas batas wilayah geografis antara beberapa dan banyak negara Corona Virus Disease 2019 (“Pandemi Covid-19”). Presiden Republik Indonesia telah menetapkan Pandemi Covid-19 sebagai bencana nasional non-alam melalui Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional. Guna memutus mata rantai Pandemi Covid-19, pemerintah baik pusat maupun daerah mengeluarkan berbagai kebijakan yang membatasi pergerakan orang dan membatasi kegiatan usaha di Indonesia guna memutus mata rantai penyebaran Covid-19.1Kondisi tersebut secara langsung maupun tidak langsung berdampak terhadap berbagai sektor ekonomi dan bisnis khususnya terhadap pelaksanaan perjanjian atau kontrak. Tidak sedikit pelaku usaha atau pihak yang memiliki kewajiban kontraktual (prestasi) menjadi terhalang untuk melaksanakan kewajibannya akibat Pandemi Covid-19. Memorandum ini akan membahas lebih lanjut mengenai Pandemi Covid-19 dikaitkan dengan keadaan memaksa (force majeure) dalam kontrak.

B. PENGERTIAN KEADAAN MEMAKSA (FORCE MAJEURE) 1. Klausul Keadaan Memaksa Dalam Kontrak

Klausul keadaan memaksa dalam kontrak dapat digunakan oleh pihak yang wajib melaksanakan suatu prestasi namun terhalang akibat keadaan memaksa atau debitur (“Debitur”) guna menghindarkan dari tuntutan kegagalan/ kelalaian (wanprestasi) dari pihak yang berhak menerima pemenuhan prestasi atau kreditur (“Kreditur”). Asas kebebasan kontrak yang terkandung dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(“KUHPerdata”), memberikan kebebasan bagi para pihak untuk menentukan sendiri pengaturan mengenai keadaan memaksa dalam sebuah kontrak. Ruang lingkup keadaan memaksa yang lazimnya diatur dalam kontrak di antaranya: peristiwa-peristiwa di luar kekuasaan manusia (act of God), gunung meletus, gempa bumi, kebakaran, perang, pemogokan, epidemi, huru-hara, atau oleh suatu sebab yang berada di luar kekuasaan pihak yang mengalami keadaan memaksa tersebut.

(2)

Jika kontrak telah mengatur secara tegas dan lengkap mengenai keadaan memaksa, maka para pihak wajib untuk menaati dan melaksanakan ketentuan sesuai dengan klausul keadaan memaksa tersebut, terutama apabila ada ketentuan mengenai pemberitahuan dan kewajiban mitigasi (upaya meminimalisir) dampak keadaan memaksa. Apabila pemberitahuan dan kewajiban mitigasi ini tidak dilaksanakan, padahal telah diatur secara tegas dalam kontrak, maka dapat dianggap ternyata tidak ada keadaan memaksa. Di sisi lain, apabila ketentuan keadaan memaksa tidak diatur atau hanya sebagian diatur dalam kontrak, maka para pihak harus merujuk kepada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai keadaan memaksa.

2. Keadaan Memaksa Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Dalam hal sebuah kontrak tidak mengatur klausul keadaan memaksa, maka ketentuan mengenai keadaan memaksa harus mengacu pada KUHPerdata. Rumusan keadaan memaksa tidak ditemui secara khusus dalam KUHPerdata, tetapi Pasal 1244 dan Pasal 1245 banyak dijadikan referensi utama bagi keadaan memaksa.2 Berdasarkan kedua Pasal tersebut, Debitur dapat dibebaskan dari hukuman untuk mengganti biaya, rugi, dan bunga apabila dapat

dibuktikan bahwa adanya suatu keadaan memaksa yang menghalangi Debitur melaksanakan kewajibannya secara tepat waktu atau menyebabkan Debitur melaksanakan perbuatan yang terlarang. Keadaan memaksa tersebut haruslah tidak terduga, keadaan yang tidak disengaja, tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada Debitur, dan tidak itikad buruk pada Debitur. Perlu diperhatikan bahwa pengaturan keadaan memaksa ini adalah dalam konteks pembuktian dalam proses penyelesaian sengketa (di pengadilan atau lembaga penyelesaian sengketa).

Pembuktian keadaan memaksa ini dilakukan untuk menentukan apakah akan dilakukan penghukuman penggantian biaya, kerugian, dan bunga.

Selain dua pasal tersebut, Pasal 1444 KUHPerdata dan Pasal 1445 KUHPerdata juga mengatur mengenai keadaan memaksa dalam hal barang yang menjadi pokok perjanjian musnah atau hilang di luar kesalahan debitur. Musnah atau hilangnya barang tersebut menyebabkan hapusnya perikatan. Selain itu, terdapat ketentuan lain mengenai keadaan memaksa dalam Pasal 1510 KUHPerdata mengenai jual beli barang yang musnah akibat cacat tersembunyi, Pasal 1553 KUHPerdata tentang musnahnya objek sewa menyewa dalam hal terjadi keadaan memaksa dan Pasal 1602 d KUHPerdata mengenai ketenagakerjaan terkait dengan hak atas upah buruh dalam hal tidak melakukan pekerjaan akibat halangan yang tidak disengaja.

3. Keadaan Memaksa Berdasarkan Yurisprudensi

Selain mengacu kepada undang-undang, definisi keadaan memaksa juga dapat dipahami berdasarkan yurisprudensi. Putusan Mahkamah Agung Nomor 409 K/Sip/1983berisi penjelasan bahwa suatu keadaan memaksa harus memenuhi unsur: a) tidak terduga; b) tidak dapat dicegah oleh pihak yang harus memenuhi kewajiban atau melaksanakan perjanjian; dan c) di luar kesalahan dari pihak tersebut. Berdasarkan yurisprudensi tersebut, jika dapat dibuktikan bahwa terjadi keadaan memaksa maka perjanjian dapat dibatalkan dan Debitur tidak dapat dibebankan penggantian kerugian.

4. Teori Hukum Keadaan Memaksa

(3)

Teori hukum atau doktrin keadaan memaksa banyak dikembangkan oleh para ahli. Tidak jarang teori tersebut digunakan oleh hakim dalam memberikan putusan. Para ahli

menggolongkan keadaan memaksa ke dalam beberapa jenis, di antaranya sebagai berikut:

1) Dilihat dari sudut yang terkena sasaran keadaan memaksa, dibedakan menjadi:

a. Keadaan memaksa objektif, yakni prestasi sama sekali secara objektif tidak dapat dipenuhi (physical impossibility). Misalnya musnahnya objek.

b. Keadaan memaksa subjektif, yakni keadaan memaksa yang terjadi tidak berhubungan dengan objek, melainkan dengan subjek kontrak atau dengan perbuatan atau kemampuan debitur.3 Dalam keadaan memaksa subjektif, apabila pemenuhan prestasi menimbulkan kesulitan pelaksanaan bagi debitur tertentu.

Dalam hal ini, debitur masih mungkin memenuhi prestasi, tetapi dengan

pengorbanan yang besar yang tidak seimbang, atau menimbulkan bahaya kerugian yang besar sekali bagi debitur. Hal ini di dalam sistem Anglo American disebut hardship yang menimbulkan hak untuk renegosiasi.4

2) Dilihat dari kemungkinan pelaksanaan prestasi dalam kontrak, dibedakan menjadi:

a. Keadaan memaksa yang absolut (tetap, permanen), yakni keadaan memaksa yang membuat prestasi menjadi tidak mungkin dilakukan.

b. Keadaan memaksa yang relatif (tidak tetap, temporer), yakni keadaan memaksa yang mengakibatkan pelaksanaan prestasi secara normal tidak mungkin dilakukan atau untuk sementara waktu ditangguhkan sampai dimungkinkannya pemenuhan prestasi kembali.5

Selain teori keadaan memaksa, negara dengan sistem hukum common law juga mengenal prinsip yang serupa yaitu doktrin frustration of contract. Doktrin ini membebaskan Debitur atas kontrak akibat terjadinya frustrating event yaitu peristiwa yang terjadi di luar kendali para pihak yang bukan merupakan kesalahan salah satu pihak, secara signifikan mengubah sifat atas hak dan/ atau kewajiban kontrak dan membuat menjadi tidak adil untuk memaksa para pihak tetap terikat dalam kontrak tersebut. Doktrin ini tidak berlaku jika peristiwa tersebut hanya sekedar membuat biaya pelaksanaan kontrak menjadi lebih mahal, memberatkan, atau menjadi tidak praktis, atau jika tersedianya alternatif untuk melaksanakan kontrak.6

Selain doktrin Frustation of Contract, keadaan memaksa memiliki kemiripan dengan doktrin hardship atau keadaan sulit yang dikenal dalam praktik hukum perdagangan

internasional, tetapi tidak dikenal dalam KUHPerdata. Unsur-unsur dari hardship dapat ditemui dalam Article 6.2.1. UNIDROIT Principles for International Commercial Contracts yang

mencakup: a) perubahan keseimbangan kontrak secara fundamental; b) meningkatnya ongkos pelaksanaan kontrak; c) menurunnya nilai pelaksanaan kontrak yang harus diterima oleh satu di antara dua pihak yang membuat kontrak.

Berdasarkan unsur-unsur tersebut, hardship memiliki kesamaan dengan keadaan memaksa. Perbedaan dari segi akibat hukumnya ialah jika terbukti adanya hardship, maka kontrak tidak berakhir namun dapat di renegosiasi oleh para pihak. Jika renegosiasi gagal, maka sengketa dapat diajukan ke pengadilan dan hakim dapat memutuskan kontrak atau merevisi

(4)

kontrak untuk mengembalikan keseimbangan secara proporsional. Dalam hal keadaan

memaksa, jika terbukti objek kontrak musnah atau hilang, maka kontrak berakhir (kecuali untuk keadaan memaksa sebagian, ada kewajiban untuk melanjutkan sebagian yang tersisa) dan debitur tidak lagi bertanggung jawab atas risiko yang timbul.7

C. PANDEMI COVID-19 SEBAGAI KEADAAN MEMAKSA

Pandemi Covid-19 berdampak pada terhambatnya pasokan logistik, penurunan produksi manufaktur, hingga penurunan penjualan akibat pembatasan kegiatan masyarakat, namun tidak bisa ditetapkan secara serta merta sebagai keadaan memaksa. Penetapan Pandemi Covid-19 sebagai keadaan memaksa harus melihat klausul keadaan memaksa (force majeure) dalam kontrak. Kondisi Debitur yang mengakibatkan terhalangnya pelaksanaan kontrak akibat Pandemi Covid-19 harus sesuai dengan klasifikasi atau memenuhi unsur-unsur keadaan memaksa

berdasarkan kontrak, atau KUHPerdata dan yurisprudensi apabila tidak diatur secara tegas dalam kontrak.

Dalam kondisi saat ini, para pihak harus lebih cermat dalam membaca kontrak dan menganalisis keadaan yang dialami oleh Debitur. Selain klausul keadaan memaksa, kesulitan atau kondisi yang dialami oleh Debitur yang menghalangi pelaksanaan kontrak akibat Pandemi Covid-19 bisa jadi lebih relevan dengan klausul lainnya seperti klausul perubahan aturan hukum (Change in Law Clause) atau klausul perubahan keadaan secara material yang merugikan (Material Adverse Change) apabila terdapat pengaturan demikian dalam kontrak tersebut.

Klausul keadaan memaksa merupakan opsi terakhir dalam menyelesaikan permasalahan Debitur, yaitu apabila pelaksanaan prestasi tersebut secara absolut atau tetap tidak mungkin dilaksanakan oleh Debitur.

Idealnya, apabila pelaksanaan kontrak tersebut masih dimungkinkan untuk ditunda atau dilaksanakan dikemudian hari, renegosiasi kontrak yang dikenal dalam doktrin hardship dapat diterapkan guna menyelesaikan permasalahan dan menghindari sengketa. Hal ini

mempertimbangkan pembuktian keadaan memaksa yang rumit dan penetapannya harus dilakukan melalui pengadilan. Meskipun doktrin hardship tidak dikenal dalam KUHPerdata, renegosiasi kontrak dapat didasari pada klausul amandemen atau adendum dalam kontrak dan dilandasi oleh itikad baik para pihak. Apabila tidak secara tegas diatur dalam kontrak,

renegosiasi kontrak tetap dapat dilakukan berdasarkan asas kebebasan berkontrak dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Dengan renegosiasi kontrak, para pihak dapat mencapai win-win solution yaitu menyelesaikan permasalahan secara ideal untuk kepentingan bersama para pihak.

D. KESIMPULAN

Secara umum, keadaan memaksa dapat dipahami sebagai keadaan yang tidak terduga, tidak dapat dicegah oleh pihak yang harus memenuhi kewajiban atau melaksanakan perjanjian dan di luar kesalahan dari pihak tersebut. Salah satu jenis keadaan memaksa yang digolongkan oleh ahli, yaitu keadaan memaksa subjektif memiliki kemiripan dengan doktrin hardship yang dikenal dalam sistem hukum common law. Perbedaannya terletak akibat hukumnya, yakni hardship menyebabkan renegosiasi kontrak oleh para pihak, sementara keadaan memaksa menyebabkan pelepasan tanggung jawab Debitur dari hukuman penggantian biaya, rugi, dan bunga.

(5)

Pandemi Covid-19 tidak secara serta merta menjadi dasar untuk menentukan keadaan memaksa. Penentuan keadaan memaksa harus sesuai dengan klasifikasi atau memenuhi unsur- unsur keadaan memaksa berdasarkan kontrak, atau KUHPerdata dan yurisprudensi apabila tidak ada klausul keadaan memaksa yang mengatur secara tegas dalam kontrak. Keadaan memaksa merupakan opsi terakhir dalam menyelesaikan permasalahan Debitur karena pembuktiannya yang rumit melalui proses di pengadilan atau lembaga penyelesaian sengketa.

Apabila pelaksanaan kontrak tersebut masih dimungkinkan untuk ditunda atau dilaksanakan dikemudian hari, renegosiasi kontrak lebih tepat untuk dilakukan guna menyelesaikan permasalahan.

Apabila ada pertanyaan atau membutuhkan klarifikasi lebih lanjut, dapat menghubungi tim kami:

Sahid Ramadian

[email protected]

Naila Syifa Arnita

[email protected]

1 Lihat:

▪ Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2020 Tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19);

▪ Peraturan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 33 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta;

▪ Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Mudik Idul Fitri Tahun 1441 Hijriah dalam Rangka Pencegahan Penyebaran COVID-19.

2 Pasal 1244 KUHPerdata: “Jika ada alasan untuk itu si berhutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga, bila ia tidak membuktikan, bahwa hal tidak dilaksanakan atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perjanjian itu, disebabkan karena suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidak ada pada pihaknya.”

Pasal 1245 KUHPerdata: “Tidaklah biaya, rugi dan bunga harus digantinya, apabila karena keadaan memaksa atau karena suatu keadaan yang tidak disengaja, si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.”

3 F.X. Suhardana dalam Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak Memahami Kontrak dalam Prespektif Filsafat, Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum, Bandung, Mandar Maju, 2012, hlm. 353.

4 Rahmat S.S. Soemadipradja, Penjelasan Hukum Tentang Keadaan Memaksa, Jakarta, PT Gramedia, 2010, hlm 9.

5 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Jakarta, Prenada Media Group, 2010, hlm 273.

6 Baker McKeznie, “Force Majeure and the Doctrine of Frustration: An Australian Perspective”

https://www.bakermckenzie.com/en/insight/publications/2020/03/force-majeure-doctrine-of-frustration diakses pada tanggal 30 April 2020 pukul 11.15 WIB.

7 Agus Yudha Hernoko, Op. Cit. 364.

Referensi

Dokumen terkait

17 Keadaan memaksa atau force majeur dapat diartikan sebagai keadaan dimana seorang debitur terhalang untuk melaksanakan untuk melaksanakan prestasinya karena adanya

Berdasarkan data yang terdapat dalam Bab III, Susanti Adi Nugroho mengatakan bahwa force majeure merupakan keadaan terpaksa yang di mana ada ketentuannya

Penulisan skripsi ini dilatar belakangi oleh permasalahan hukum terkait dengan ketenagalistrikan yaitu mengenai padamnya listrik diakibatkan karena keadaan memaksa

Rumusan klausa force majeure dalam KUH Perdata dapat dijelaskan sebagai berikut, bahwa force majeure tidak terduga oleh para pihak atau tidak termasuk dalam asumsi dasar

Keadaan memaksa atau force majeur dapat diartikan sebagaikeadaan dimana seorang debitur terhalang untuk melaksanakan untuk melaksanakan prestasinya karena adanya

i PANDEMI COVID-19 SEBAGAI ALASAN FORCE MAJEURE DALAM PERJANJIAN HAJI DAN UMRAH DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Studi Pada PT Zulian Kamsaindo Tour & Travel

236-246 DOI : 10.37274/rais.v6i2.607 Diserahkan: 21-07-2022 Disetujui: 17-08-2022 Dipublikasikan: 28-10-2022 E – ISSN : 2686 – 2018 Penyelesaian Kasus-Kasus Wanprestasi Studi

PANDEMI COVID-19 SEBAGAI ALASAN FORCE MAJEURE DALAM MELAKUKAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA PHK DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN SKRIPSI Diajukan