• Tidak ada hasil yang ditemukan

NEGOSIASI KONTRAK KARENA FORCE MAJEURE AKIBAT PANDEMI COVID-19 DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Carissa Dianputri

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "NEGOSIASI KONTRAK KARENA FORCE MAJEURE AKIBAT PANDEMI COVID-19 DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Carissa Dianputri"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

1469 NEGOSIASI KONTRAK KARENA FORCE MAJEURE AKIBAT PANDEMI

COVID-19 DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

Carissa Dianputri

(Mahasiswa Program S1 Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara) (E-mail: carissadianputri@gmail.com)

Dr. Tundjung Herning Sitabuana, S.H., CN., M.Hum.

(Corresponding Author)

(Dosen Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara. Meraih Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Magister Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Doktor (Dr.)

pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro) (E-mail: tundjung@fh.untar.ac.id)

Abstract

An agreement is an event in which a party tends to carry out another party on what was agreed upon (performance). In the agreement there is a possibility that the debtor will not be able to carry out his performance. (non-performance of contract). In terms of performing (non-performance of contract), the debtor is obliged to reimburse costs, losses and interest as regulated in Article 1245 of the Code Civil. However, if the debtor's can prove the default is caused by force majeure, the debtor is not obliged to pay any fees. It is not known that the covid-19 pandemic throughout the world Indonesian companies are experiencing financial difficulties so that it is difficult to meet their achievements. In connection with this case, the authors conducted research to find out whether this pandemic was categorized as force majeure, and whether the Covid-19 Pandemic could contract negotiations by parties who were unable to meet their achievements. This type of research is normative legal research, which is descriptive (analysis). Secondary data collected through literature study and interviews. This research is using an analytical qualitative method. The results showed that: 1) The covid-19 pandemic can be categorized as a relative force majeure, it means that the covid-19 pandemic has ended, the debtor is obliged to pay any fees and; 2) with the pandemic 19, contract negotiations can be carried out by parties who are unable to meet their achievements in order to obtain an agreement to suspend debt payments from the other party.

(2)

1470

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam kegiatan perekonomian selalu terjadi perjanjian di antara pelaku ekonomi. Dengan demikian, masalah perjanjian tidak dapat dilepaskan dari kegiatan perekonomian. Dalam Hukum Perjanjian Indonesia dikenal istilah “Perikatan” dan “Perjanjian”. Perikatan yaitu suatu hubungan hukum antara dua pihak yang saling mengikat dan saling berjanji kepada dirinya untuk membuat suatu perjanjian, di mana pihak yang satu mempunyai hak untuk menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, sedangkan pihak yang lain mempunyai kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.1 Perikatan lahir karena adanya suatu persetujuan atau perjanjian (kontrak), dan karena undang-undang,2 dan perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.3

Perikatan adalah suatu pengertian yang abstrak sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang konkret atau suatu peristiwa.4 Perjanjian yaitu suatu peristiwa di mana satu pihak berjanji kepada pihak lain untuk melaksanakan suatu hal yang diperjanjikan.5 Perjanjian adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh satu orang atau lebih yang mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.6 Dalam hukum perjanjian, setiap pihak mempunyai kebebasan untuk mengadakan perjanjian apa saja tetapi perjanjian tersebut tidak melanggar peraturan perundang-undang yang ada.7 Menurut Schwartz & Scott, sebuah perjanjian yang dilakukan dan dibuat secara lisan maupun tertulis seharusnya

1 Yuokuy Surinda Blog: Pengetahuan Hukum, Tips dan Info Bermanfaat, “Penjelasan tentang Hukum Perikatan/Perjanjian Dalam Sistem Hukum Di Indonesia”, https://yuokuysurinda.wordpress.com/2015/07/30/penjelasan-tentang-hukum-perikatan-perjanjian-dalam-sistem-hukum-di-indonesia, diakses tanggal 1 November 2020.

2 Pasal 1233 KUH Perdata. 3

Pasal 1234 KUH Perdata.

4 Yuokuy Surinda Blog, op.cit., hal. 1.

5 Subekti, Hukum Perjanjian, Cet-21, (Jakarta: Intermasa, 2005), hal. 1. 6 Pasal 1313 KUH Perdata.

7

(3)

1471 dapat mengekspresikan kehendak para pihak yang bersifat umum menjadi perbuatan yang lebih nyata guna mewujudkan tujuan dibuatnya perjanjian yang telah disepakati sebelumnya.8

Seluruh perjanjian yang dibuat sesuai dengan undang-undang: (1) berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuat perjanjian tersebut;9 (2) tidak dapat ditarik kembali kecuali karena ada kesepakatan kedua belah pihak, atau karena adanya alasan yang ditentukan dalam undang-undang;10 dan (3) harus dilaksanakan dengan itikad baik.11

Dalam hubungan perjanjian, ada hubungan antara kreditur dan debitur. Pihak yang mempunyai hak atau bisa menuntut sesuatu yaitu kreditur, sedangkan pihak yang mempunyai kewajiban untuk memenuhi tuntutan itu adalah debitur.12

Di dalam suatu perjanjian atau kontrak, terjadi juga adanya negosiasi. Negosiasi bisa terjadi karena adanya subjek hukum, baik dalam perorangan maupun badan hukum. Negosiasi merupakan suatu bentuk tawar menawar untuk mencapai suatu persetujuan yang menguntungkan bagi para pihak. Negosiasi dalam kontrak merupakan suatu proses tawar menawar dan kompromi di antara masing-masing pihaknya di mana salah satu pihak itu menerima penawaran, sedangkan pihak lainnya melakukan penawaran tersebut.13

Dalam hubungan perjanjian ada kemungkinan debitur tidak bisa melaksanakan prestasinya (wanprestasi). Yang dimaksud dengan wanprestasi adalah suatu keadaan di mana tidak dipenuhinya suatu prestasi atau kewajiban

8 Ery Agus Priyono, “Aspek Keadilan dalam Kontrak Bisnis di Indonesia (Kajian pada Perjanjian Waralaba)”, Jurnal Law Reform, Volume 14, Nomor 1, Tahun 2018, hal. 16.

9 Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. 10

Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata. 11 Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata. 12 Subekti, Op.Cit., hal. 1.

13 Salim HS et al, Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding (MoU), (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 9.

(4)

1472 yang telah disahkan oleh masing-masing pihak tertentu di mana masing-masing pihak tersebut ada di dalam suatu perikatan, baik perikatan yang lahir melalui suatu perjanjian ataupun perikatan yang lahir atau timbul karena undang-undang”.14

Wanprestasi menimbulkan akibat hukum terhadap pihak yang melakukannya, dan membawa konsekuensi berupa timbulnya hak bagi pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk mengganti kerugian, serta membayar ganti rugi dan bunga, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut.15 Kewajiban debitur untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga tersebut diatur dalam Pasal 1244 KUH Perdata. Namun apabila debitur dapat membuktikan bahwa wanprestasi itu disebabkan oleh suatu keadaan memaksa (force majeure atau overmacht) atau karena hal yang terjadi secara kebetulan sehingga debitur terhalang untuk melaksanakan prestasi (kewajiban) - nya maka debitur tidak diwajibkan mengganti biaya, kerugian, dan bunga.16

Sebagaimana diketahui bahwa saat ini dunia dikejutkan dengan munculnya virus baru yaitu coronavirus disease (Covid-19). Virus ini pertama kali muncul di Wuhan, China dan kemudian merebak di seluruh dunia sehingga oleh World Health Organization (WHO) diberi nama Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus-2 (SARS-CoV-2) dan dinyatakan sebagai pandemi. Sejak awal tahun 2020, Covid-19 juga muncul di Indonesia, dan menimbulkan banyak korban. Data terakhir pada hari Kamis, tanggal 10 Desember 2020, terdapat penambahan kasus baru berjumlah 6.033. Penambahan kasus tersebut menyebabkan jumlah masyarakat di Indonesia yang mengalami Covid-19 berjumlah 598.933 orang sejak dilaporkannya pasien pertama kali pada tanggal

14

DPP FERARI (Federasi Advokat Republik Indonesia), “Pengertian, Bentuk, Penyebab dan Hukum Wanprestasi”, www.dppferari.org/pengertian-bentuk-penyebab-wanprestasi/, diakses tanggal 23 September 2020.

15 Loc.Cit. 16

(5)

1473 2 Maret 2020.17 Korban yang sembuh berjumlah 491.975 orang, sedangkan korban yang meninggal dunia berjumlah 18.336. Pemerintah telah menetapkan bencana non alam Covid-19 sebagai bencana nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional.

Covid-19 sangat mempengaruhi perekonomian di Indonesia. Banyak perusahaan yang mengalami kerugian. Sebagai contoh adalah emiten Konstruksi PT. Surya Semesta Internusa Tbk. Akibat pandemi Covid-19 kinerja keuangannya mengalami penurunan 9,9 persen menjadi Rp. 1,375 Triliun dari posisi Rp. 1,52 Triliun tahun lalu. Manajemen perseroan telah melakukan penghematan biaya seperti pengurangan jumlah gaji dan upah melalui cuti yang dibayar, dan cuti yang tidak dibayarkan untuk sebagian besar karyawannya, dan negosiasi ulang kontrak outsourcing melalui diskon atau perpanjangan kontrak. Perseroan juga telah bernegosiasi dengan pemberi pinjaman pengurangan suku bunga dan perpanjangan pembayaran pokok menjadi satu tahun ini.18

Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan tanggal 7 April 2020, terdapat 39.977 perusahaan formal yang memilih merumahkan karyawan-karyawannya dan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap pekerjanya, totalnya yaitu 1.010.579 pekerja. Lalu perusahaan dan tenaga kerja di sektor informal berjumlah 34.453 perusahaan dan 189.452 orang pekerja dikarenakan terhambatnya aktivitas ekonomi sehingga terpaksa melakukan PHK untuk menekan kerugian.19 Menteri Keuangan, Sri Mulyani juga mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi di Indonesia mengalami penurunan

17

Kompas.com, “UPDATE: Bertambah 6.033, Kini Ada 598.933 Kasus Covid-19 di Indonesia”, https://nasional.kompas.com/read/2020/12/10/16370721/update-bertambah-6033-kini-ada-598933-kasus-covid-19-di-indonesia, diakses tanggal 10 Desember 2020.

18 Kompas.com, “Hadapi Covid-19, Emiten Properti Pangkas Gaji hingga Negosiasi Pinjaman”, https://money.kompas.com/read/2020/05/20/212854526/hadapi-covid-19-emiten-properti-pangkas-gaji-hingga-negosiasi-pinjaman, diakses tanggal 5 Desember 2020.

19 Kompas.com, “Pandemi Covid-19, Apa Saja Dampak pada Sektor Ketenagakerjaan Indonesia?”, https://www.kompas.com/tren/read/2020/08/11/102500165/pandemi-covid-19-apa-saja-dampak-pada-sektor-ketenagakerjaan-indonesia-?page=all, diakses tanggal 5 Desember 2020.

(6)

1474 yang cukup drastis karena pandemi Covid-19. Penurunan ekonomi di Indonesia, sehubungan dengan perusahaan yang mengalami kerugian tidak bisa memenuhi prestasi turun menjadi 5,06 persen. Penurunan ekonomi tersebut merupakan penurunan yang paling rendah dalam waktu 10 tahun terakhir.20

Sebagaimana diketahui bahwa tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang ditentukan dalam Alinea IV Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 antara lain adalah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Berkaitan dengan itu maka dengan munculnya Covid-19, Pemerintah telah menerbitkan kebijakan-kebijakan sebagai berikut: (1) Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Coronavirus Disease (Covid-19); (2) Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional; (3) Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19); (4) Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2020 tentang Komite Penanganan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional; dan (5) Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Coronavirus Disease 2019 (Covid-19).

Berkaitan dengan munculnya Covid-19 yang sangat merugikan perekonomian Indonesia dan mengakibatkan banyak perusahaan mengalami kerugian karena adanya pembatasan aktivitas bisnis sehingga tidak dapat melaksanakan prestasi (kewajiban) – nya (wanprestasi), muncul pertanyaan apakah pandemi Covid-19 dapat dikategorikan sebagai terjadinya force majeure, dan apakah dengan terjadinya Pandemi Covid-19 dapat dilakukan

20 Tempo.co, “Pertumbuhan Ekonomi DKI Melorot Akibat Pandemi Covid-19, Ini Kata Sri Mulyani.”, https://metro.tempo.co/read/1369857/pertumbuhan-ekonomi-dki-melorot-akibat-pandemi-covid-19-ini-kata-sri-mulyani, diakses tanggal 16 Oktober 2020.

(7)

1475 negosiasi kontrak oleh pihak yang tidak mampu memenuhi prestasinya. Dalam rangka menemukan solusi dan menjawab pertanyaan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Negosiasi Kontrak karena Force Majeure Akibat Pandemi Covid-19 ditinjau dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata”, dan kemudian menuangkannya dalam bentuk skripsi.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan diteliti dalam skripsi ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah Pandemi Covid-19 dapat dikategorikan sebagai terjadinya force majeure ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata?

2. Apakah dengan terjadinya Pandemi Covid-19 dapat dilakukan negosiasi kontrak oleh pihak yang tidak mampu memenuhi prestasinya?

C. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan yaitu penelitian hukum normatif. Menurut Soerjono, penelitian hukum normatif adalah “penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.”21 Sifat penelitiannya yaitu deskriptif, dan data yang dikumpulkan melalui studi pustaka dan wawancara.

II. PEMBAHASAN

A. Kemungkinan Dapat Dikategorikannya Pandemi Covid-19 sebagai Telah Terjadinya Force Majeure ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Dalam kehidupan sehari-hari terjadi perikatan terutama dalam kegiatan ekonomi di antara pelaku ekonomi, oleh karena itu perjanjian tidak bisa dihilangkan dalam kegiatan perekonomian.

21 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Depok: PT. RajaGrafindo Persada, 2019), hal. 13.

(8)

1476 Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang yang saling mengikat satu sama lain untuk membuat suatu perjanjian di mana satu orang itu mendapatkan haknya sedangkan orang yang lainnya melaksanakan suatu kewajibannya. Perjanjian lahir karena adanya perikatan. Perjanjian terdapat dalam Pasal 1313 KUH Perdata bahwa suatu perbuatan yang di lakukan dua orang yang saling mengikatkan dirinya. Dalam Pasal 1320 KUH Perdata terdapat syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu, “adanya sepakat para pihak dan saling terikat, adanya kecakapan dalam membuat suatu perikatan atau perjanjian, terdapat suatu hal yang diperjanjikan dan yang terakhir yaitu suatu hal yang tidak dilarang.”

Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata mengatakan bahwa semua kontrak atau perjanjian berlaku secara sah berlaku secara undang-undang bagi pihak yang membuatnya. Artinya bahwa setiap pihak yang ingin melakukan perikatan atau membuat suatu perjanjian bebas membuat isi perjanjian atau kontraknya tetapi tidak dapat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum.

Tidak dapat menutup kemungkinan bahwa seorang debitur tidak bisa melakukan prestasinya atau kewajibannya, jika debitur tidak bisa melakukan prestasinya maka ia dapat disebut wanprestasi. Wanprestasi adalah suatu akibat hukum yang dikarenakan seorang debitur yang tidak mentaati isi dari suatu perjanjian atau kontrak yang telah disepakati masing-masing pihak yang membuat perjanjian tersebut. Wanprestasi memunculkan suatu akibat hukum terhadap pihak yang melakukannya dan membawa konsekuensi berupa timbulnya hak bagi pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk mengganti kerugian, serta membayar ganti rugi dan bunga, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut.22 Namun jika debitur bisa menunjukkan

22

(9)

1477 bahwa wanprestasi itu terjadi karena keadaan memaksa (overmacht) maka debitur tersebut bisa tidak di wajibkan membayar ganti rugi dan bunga di bebaskan dari ganti rugi dan hutang sama sekali.

Force majeure merupakan suatu keadaan memaksa di luar manusia di mana suatu keadaan tersebut tidak bisa dikendalikan dan diatur oleh manusia dan menghalangi debitur untuk melaksanakan prestasinya, sehingga debitur tersebut di bebaskan dalam mengganti rugi. Force majeure di bagi menjadi 2 (dua) teori, yaitu:

1. Teori Absolut

Di KUH Perdata, teori absolut terdapat dalam Pasal 1444 KUH Perdata yang mengatakan bahwa, “jika barang tertentu yang menjadi bahan persetujuan musnah, tidak lagi dapat diperdagangkan atau hilang, sedemikian hingga sama sekali tidak diketahui apakah barang itu masih ada maka hapuslah perikatannya.”

2. Teori Relatif

Teori relatif yaitu debitur yang masih memungkinkan untuk melaksanakan prestasinya tetapi debitur tersebut harus melakukan perbuatan yang sangat besar.

Pandemi Covid-19 merupakan pandemi yang berasal dari virus baru yang bernama Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus-2 (SARS-CoV-2) dan pertama kalinya muncul di Wuhan, China. menyebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia. Akibat dari pandemi tersebut, tidak hanya kesehatan saja yang terdampak, tetapi perekonomiannya juga terdampak karena adanya pandemi ini termasuk aktivitas-aktivitas bisnis. Akibat Pandemi Covid-19 melanda di seluruh dunia termasuk di Indonesia maka tidak hanya kesehatan saja yang berdampak, tetapi perekonomianpun mengalami dampak yang sangat besar dan pemerintah sudah menetapkan bahwa Pandemi Covid-19 ini sebagai bencana nasional yang ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun

(10)

1478 2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional.

Berdasarkan data yang terdapat dalam Bab III, Susanti Adi Nugroho mengatakan bahwa force majeure merupakan keadaan terpaksa yang di mana ada ketentuannya tersendiri, seperti contoh terdapat para pihak membuat suatu perjanjian, kemudian perjanjian tersebut tidak bisa dilaksanakan karena terjadinya gempa bumi, atau suatu keadaan yang memaksa sehingga tidak dapat melaksanakan kontrak tersebut karena timbul suatu keadaan yang tidak bisa menanggulangi, tergantung bentuk dan jenis kontrak tersebut, misalnya pihak yang satu sedang membangun rumah sedangkan pihak yang lain sebagai proyektornya, bangunan rumah tersebut sudah jadi setengah tetapi tidak bisa dilanjutkan karena rumah tersebut runtuh akibat gempa bumi tersebut.

Pada saat ini force majeure tidak berupa bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, dan sebagainya tetapi dalam keadaan Pandemi Covid-19 yang merupakan bencana nonalam seperti pada kebijakan pemerintah yaitu Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional, mempunyai peluang bahwa pandemi tersebut merupakan dapat dikategorikan sebagai force majeure. Pandemi Covid-19 ini dapat dinyatakan atau dapat dikategorikan sebagai force majeure karena di Indonesia, pemerintah mengeluarkan atau menerbitkan kebijakan yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Coronavirus Disease (Covid-19) atau dapat disebutkan secara singkat PSBB yang menghambat aktivitas bisnis dan perusahaan-perusahaanpun mengalami kerugian. Dalam Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ini tergantung pada bentuk atau jenis proyeknya tersebut, contoh proyek yang tidak bisa berjalan yaitu membuat jalanan atau membuat gedung. Pegawai-pegawai dalam jumlah yang cukup banyak berpotensi melakukan penularan virus Covid-19 tersebut, oleh karena itu suatu perusahaan harus

(11)

1479 mengurangi jumlah pegawai-pegawainya. Akibat dari pandemi ini menyebabkan suatu proyek yang di mana semestinya sudah harus selesai setengah tahun tetapi tidak selesai karena pegawai-pegawai tersebut sebagian dirumahkan dan sebagian masih dipekerjakan.

Perusahaan-perusahaan yang terpaksa tutup tersebut harus melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karyawan-karyawannya, misalnya perusahaan tersebut tidak ada biaya untuk membayar pesangon, atau membayar gaji pegawai dari 10 (sepuluh) pegawai dan hanya di bayar 5 (lima) pegawai saja, atau dengan cara lain dapat membayar gaji setengah dari pegawai misalnya 1 (satu) pegawai dengan gajinya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) maka terpaksa harus membayar setengah bulan gaji kepada 10 (sepuluh) orang pegawai sejumlah Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah), terpaksa dijadikan 5 (lima) dan tidak bisa membayar semua. Boleh saja pegawai masuk kerja tetapi masuk 2 (dua) hari sekali dan gaji hanya di bayar setengahnya saja.

Pandemi Covid-19 ini dapat dikategorikan sebagai force majeure asalkan suatu perjanjian atau kontrak ini yang berkaitan dengan force majeure, tidak semua bisnis dianggap sebagai force majeure, seperti contoh perusahaan atau bisnis dalam bentuk e-commerce yang di mana perusahaan tersebut justru lebih maju pada saat Pandemi Covid-19 ini dan jika bisnis e-commerce tersebut tidak ingin menyelesaikan perjanjiannya tetap tidak bisa, suatu perusahaan atau debitur yang dapat dikategorikan sebagai force majeure itu yang akan berakibat atau akibatnya dengan pandemi ini, misalnya perusahaan terpaksa harus melakukan PHK karyawannya karena dalam pandemi ini perekonomian sulit untuk berjalan.

Dengan dikaitkannya hasil wawancara Susanti Adi Nugroho dengan teori force majeure mutlak maupun relatif, Pandemi Covid-19 ini dapat dikategorikan sebagai force majeure mutlak, yaitu memang suatu keadaan yang tidak bisa dihindarkan, tetapi tergantung proyek, bisnis, perjanjian atau kontraknya tersebut.

(12)

1480 Rahayu Ningsih Hoed, Senior Partner dari Makarim & Taira lawfirm, mengatakan bahwa Pandemi Covid-19 merupakan suatu keadaan di mana keadaan tersebut tidak bisa dihindari atau di luar kemampuan manusia dan tergantung dari 2 (dua) definisi keadaan memaksa, yang pertama keadaan memaksa di mana suatu pihak dapat mengklaim force majeure apabila kondisi tersebut dapat berlakunya force majeure dan yang kedua adalah keadaan memaksa yang di mana terbatas hanya disebutkan di dalam perjanjian. Pandemi Covid-19 ini menimbulkan dampak bagi pelaku usaha bisnis, kreditur maupun debitur.23

Jika dikaitkan dengan teori force majeure terhadap pendapat Rahayu Ningsih Hoed, yaitu:

a. Teori Absolut

Teori absolut terdapat dalam Pasal 1444 KUH Perdata yang mengatakan bahwa, “jika barang tertentu yang menjadi bahan persetujuan musnah, tidak lagi dapat diperdagangkan atau hilang, sedemikian hingga sama sekali tidak diketahui apakah barang itu masih ada maka hapuslah perikatannya.”

Menurut Rahayu Ningsih Hoed bahwa Pandemi Covid-19 merupakan suatu keadaan di mana keadaan tersebut tergolong tidak bisa dihindari atau di luar kemampuan manusia.

b. Teori Relatif

Sedangkan teori relatif yaitu suatu debitur yang masih mampu memenuhi prestasinya tetapi seorang debitur tersebut tetap harus melakukan perbuatan yang sangat besar. Menurut Rahayu Ningsih Hoed, Pandemi Covid-19 ini merupakan suatu keadaan memaksa, bisa dikategorikan sebagai teori force majeure absolut tetapi tergantung

23 Artikel DJKN, “Bencana Nasional Penyebaran COVID-19 sebagai Alasan Force Majeure, Apakah Bisa?”, https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/13037/Bencana-Nasional-Penyebaran-COVID-19-sebagai-Alasan-Force-Majeure-Apakah-Bisa.html, diakses tanggal 21 Desember 2020.

(13)

1481 dari 2 (dua) macam keadaan memaksa, yang pertama keadaan memaksa di mana suatu pihak dapat mengklaim force majeure apabila kondisi tersebut dapat berlakunya force majeure dan yang kedua adalah keadaan memaksa yang di mana terbatas hanya di sebutkan di dalam perjanjian.

Ricardo Simanjuntak mengatakan bahwa Pandemi Covid-19 merupakan unsur-unsur yang sudah memenuhi kategori force majeure karena: a) Pandemi tersebut masyarakat tidak mampu atau tidak dapat memprediksi bahwa kapan pandemi itu terjadi; b) Masyarakat tidak mempunyai contributory effect atas terjadinya penyebaran wabah virus ini; dan c) Pandemi ini merupakan suatu halangan atau hambatan yang tidak bisa dikesampingkan.24Kesimpulan teori force majeure menurut Abdulkadir Muhammad jika dikaitkan dengan unsur-unsur force majeure yang dikemukakan oleh Ricardo Simanjuntak yaitu termasuk ke dalam teori force majeure mutlak karena pandemi tersebut murni karena peristiwa atau kejadian yang sangat mendadak sehingga masyarakat tidak dapat memprediksi atau tidak dapat mengetahui kapan bencana ini terjadi.

Dengan dikaitkannya faktor-faktor yang mempengaruhi force majeure menurut KUH Perdata ada 3 (tiga) kepada unsur-unsur pandemi Covid-19 menurut Ricardo Simanjuntak adalah sebagai berikut:

a. Tidak memenuhi prestasi25, Ricardo Simanjuntak mengatakan bahwa Pandemi Covid-19 ini merupakan suatu halangan yang tidak dapat dikesampingkan sehingga debitur tidak dapat memenuhi prestasinya b. Ada suatu hal yang di mana hal tersebut tidak dibuat atau dilakukan

atau tidak dapat disalahkan oleh debitur26, Ricardo Simanjuntak tegas

24

Hukumonline.com, Hukumonline.com, “Masalah Hukum Penundaan Kontrak Akibat Penyebaran Covid-19.”, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e70df2e855cf/masalah-hukum-penundaan-kontrak-akibat-penyebaran-covid-19/, diakses tanggal 11 Desember 2020.

25 Daryl John Rasuh, “Kajian Hukum Keadaan Memaksa (Force Majeure) Menurut Pasal 1244 dan Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”, Lex Privatum, Vol. IV, No. 2, Feb 2016.

(14)

1482 mengatakan bahwa Pandemi Covid-19 ini, masyarakat tidak terlibat atau tidak mempunyai contributory effects atas wabah itu.

c. Faktor penyebab itu tidak dapat diduga sebelumnya dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur.27 Ricardo Simanjuntak jelas juga mengatakan bahwa masyarakat tidak dapat mengetahui atau tidak dapat memprediksi kapan pandemi itu terjadi.

Dengan analisis yang terdapat dalam bab III ini, Pandemi Covid-19 dapat dikategorikan sebagai force majeure karena pandemi tersebut merupakan suatu keadaan secara tiba-tiba mendadak terjadi dan tidak dapat dihindari oleh manusia. Pandemi tersebut termasuk dalam keadaan memaksa yang relatif karena keadaan tersebut dapat pulih kembali dan debitur tetap harus melaksanakan kewajibannya kembali. Pandemi Covid-19 termasuk ke dalam 3 (tiga) faktor yang mempengaruhi force majeure seperti yang telah di sebutkan di atas karena yang pertama, pandemi ini tidak ada seorang pun yang tahu kapan ini terjadi, yang kedua yaitu masyarakat yang tidak mempunyai contributory effect atas penyebaran ini dan yang ketiga adalah pandemi ini memang suatu halangan yang tidak bisa masyarakat hindari.

Terdapat pendapat juga bahwa Pandemi Covid-19 ini tidak di kategorikan sebagai force majeure karena pandemi tersebut bukanlah suatu keadaan yang tiba-tiba seperti gempa bumi, tsunami, dan sebagainya. Pandemi tersebut tidak datang secara tiba-tiba dan tidak bersifat menghancurkan tiba-tiba seperti tsunami dan gempa bumi, pandemi ini bisa di antisipasi dan melakukan proteksi terlebih dahulu.

Debitur dapat membuktikan bahwa pandemi ini bisa dikategorikan sebagai force majeure, harus dilihat isi dari kontraknya tersebut apakah kontrak tersebut mengatur mengenai force majeure ini, jika tidak ada maka Keppres Nomor 12 Tahun 2020 dapat dijadikan alasan kontrak tersebut dapat

26 Daryl John Rasuh, Loc.Cit. 27

(15)

1483 dikategorikan sebagai force majeure, salah satu contohnya debitur bisa mengajukan force majeure melalui kebijakan pemerintah yang diadakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dilakukan di DKI Jakarta yang membuat aktivitas bisnispun menjadi terhambat sehingga para pihaknya pun tidak bisa melaksanakan kewajibannya.

B. Kemungkinan Negosiasi Kontrak oleh Pihak yang Tidak Mampu Memenuhi Prestasi Karena Terjadinya Pandemi Covid-19

Pada dasarnya perjanjian yaitu suatu peristiwa yang dilaksanakan paling sedikit oleh dua pihak dan masing-masing pihaknya tersbut saling terikat dalam pembuatan suatu perikatan atau perjanjian. Dalam Pasal 1320 KUH Perdata terdapat syarat-syarat sahnya suatu perjanjian yaitu adanya kesepakatan para pihak. Jika subjek dan objek tersebut sudah terpenuhi maka para pihak harus mentaati perjanjian yang disepakati bersama, oleh karena itu negosiasi merupakan hal yang sangat penting bagi para pihak.

Negosiasi merupakan proses tawar menawar antarpihak untuk mencapai suatu kesepakatan yang menguntungkan bagi para pihak. Dalam Pasal 1340 KUH Perdata mengatakan bahwa suatu perjanjian hanya berlaku bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Di dalam KUH Perdata, negosiasi juga merupakan dasar di dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yaitu termasuk asas kebebasan berkontrak yang di mana masing-masing pihak bebas untuk menentukan isi perjanjian tersebut dengan bernegosiasi atau dengan proses tawar menawar sehingga mencapai apa yang diinginkan oleh para pihak dan tidak bertentangan dengan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Dalam data yang terdapat dalam Bab III, menurut Susanti Adi Nugroho mengatakan bahwa Pada Pandemi Covid-19 ini, dapat dilakukan negosiasi kontrak oleh para pihak yang tidak mampu memenuhi prestasinya dan semua pihak yang tergolong force majeure atau karena keadaan yang terpaksa, jika perusahaannya tersebut dapat digolongkan sebagai force majeure, maka

(16)

1484 perusahaan yang di mana terdampak perekonomiannya karena Pandemi ini tidak perlu melakukan negosiasi kontrak, seperti contoh langsung dilakukannya PHK karyawan oleh perusahaan.

Berdasarkan data yang terdapat dalam Bab III, Hanafi Tanawijaya mengatakan bahwa pandemi Covid-19 ini dapat dan boleh dilakukannya negosiasi kontrak oleh para pihak yang tidak mampu memenuhi prestasinya, tergantung para pihak sepakat atau tidak kalau sepakat bisa dilakukannya negosiasi kontrak, dilakukannya restrukturisasi, melakukan penundaan pembayaran kewajiban hutang.

Negosiasi bukan hanya mengenai isi suatu kontrak tetapi para pihaknya juga harus cakap hukum yang terdapat dalam Pasal 1330 KUH Perdata bahwa para pihak jika ingin membuat suatu perjanjian harus cakap hukum, orang yang bukan merupakan cakap hukum yaitu orang belum dewasa dan orang yang masih di bawah pengampuan.

Negosiasi juga termasuk ke dalam Asas Konsensualisme yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang artinya bahwa suatu perjanjian sah jika ada kesepakatan dari masing-masing pihak, karena negosiasi merupakan proses tawar menawar yang akan menghasilkan keuntungan untuk masing-masing pihaknya.

Dalam asas perjanjian juga terdapat Asas Pacta Sunt Servanda atau Asas Kepastian Hukum yang terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang mengatakan bahwa “suatu perjanjian yang telah sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.” Setelah negosiasi sudah dibuat dan di tuang ke dalam perjanjian atau kontrak baru maka perjanjian atau kontrak tersebut berlaku sebagai undang-undang bagi masing-masing pihak.

Karena Covid-19 ini berdampak bagi aktivitas bisnis, maka para pihak dapat melakukan negosiasi ulang bagi pihak yang tidak mampu memenuhi prestasinya, tergantung dari para pihaknya apakah setuju untuk melakukan negosiasi kontrak, jika para pihak setuju maka dilakukannya restrukturisasi,

(17)

1485 penundaan kewajiban pembayaran hutang. Dapat dilakukan dengan cara lain yaitu mengatur ulang hal-hal apa saja yang akan di ubah dan di sesuaikan dengan keadaan yang saat ini terjadi.

Dengan dibuatnya negosiasi ulang maka dibuat kembali kontrak baru yang bersifat mengikat para pihak dan tentunya harus dilaksanakan dengan itikad baik. Itikad baik termasuk juga di dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang mengatakan bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Dengan dikaitkannya 4 teori perjanjian yang ada pada Bab II yaitu: Teori Pernyataan mengatakan bahwa teori tersebut perjanjian sudah ada, sudah timbul dan sudah ada jawaban penerimaan, sedangkan dalam negosiasi, sudah ada perjanjian lama, karena terjadinya force majeure maka dibuatnyalah negosiasi ulang, belum ada atau belum terbentuk jawabannya, yang artinya bahwa pihak yang satu belum menyetujui, karena suatu perjanjian itu harus sah sesuai dengan kesepakatan para pihak.

1. Teori Pengiriman mengatakan bahwa perjanjian itu lahir jika pada saat pengiriman akseptasi, yang di mana setiap orang mempunyai gambaran relatif dalam perjanjian itu, sedangkan data yang di ambil di Bab III, negosiasi itu tetap harus menggunakan kesepakatan para pihak, walaupun terjadinya negosiasi ulang karena force majeure, lalu dibuatlah kontrak yang baru dan saling mengikat para pihak dengan berdasarkan itikad baik

2. Teori Pengetahuan mengatakan bahwa belum lahirnya suatu perjanjian itu hingga pada saat adanya akseptasi atau jawaban penerimaan, jika dikaitkan dengan data yang di dapat dalam Bab III, cukup terikat karena pada dasarnya negosiasi merupakan kesepakatan para pihak yang artinya para pihak harus saling menyetujui negosiasi tersebut.

(18)

1486 3. Teori Penerimaan mengatakan bahwa jika sudah jawaban diterima

maka disitulah lahirnya kesepakatan, jika negosiasi itu sudah disepakati oleh para pihak dan sudah disetujui maka hasil negosiasi dalam perjanjian itu sudah lahir.

III. PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Kemungkinan Dapat Dikategorikannya Pandemi Covid-19 sebagai Telah Terjadinya Force Majeure ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Perikatan merupakan hubungan hukum antara dua orang yang saling mengikatkan dirinya untuk membuat suatu perjanjian di mana orang yang satu mendapatkan haknya sedangkan orang yang lainnya melaksanakan kewajiban itu.

Force majeure merupakan suatu keadaan di mana keadaan tersebut terjadi di luar kemampuan dan tanggung jawab manusia sehingga debitur terpaksa tidak dapat melaksanakan prestasinya dan debitur dapat di bebaskan dari kewajibannya.

Pandemi Covid-19 dapat dikategorikan sebagai force majeure dan merupakan force majeure yang relatif karena pandemi tersebut merupakan keadaan yang dapat berubah sewaktu-waktu dan ketika pandemi ini sudah berakhir maka debitur wajib mengganti biaya, ganti rugi, dan bunga.

2. Kemungkinan Negosiasi Kontrak oleh Pihak yang Tidak Mampu Memenuhi Prestasi Karena Terjadinya Pandemi Covid-19

Pada Pandemi Covid-19 ini dapat dilakukannya negosiasi kontrak oleh pihak yang tidak dapat memenuhi prestasinya, tergantung dari para pihak apakah sepakat atau tidak, bila sepakat maka di lakukannya negosiasi kontrak berupa kesepakatan penundaan kewajiban pembayaran hutang dari pihak yang satunya.

(19)

1487 Pada Pandemi Covid-19 ini dapat dilakukannya negosiasi kontrak oleh pihak yang tidak dapat memenuhi prestasinya, tergantung dari para pihak apakah sepakat atau tidak, bila sepakat maka dilakukannya negosiasi kontrak berupa kesepakatan penundaan kewajiban pembayaran hutang dari pihak yang satunya.

IV. DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Badrulzaman, Mariam Darus. Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001.

HS, Salim et al. Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding (MoU). Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perikatan. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat. Depok: PT. Raja Grafindo Persada, 2019.

Soekanto, Soerjono. Hukum Perjanjian. Cet-21. Jakarta: Intermasa, 2005.

B. Artikel Jurnal Online

Priyono, Ery Agus. “Aspek Keadilan dalam Kontrak Bisnis di Indonesia (Kajian pada Perjanjian Waralaba)”. Jurnal Law Reform. Vol. 14 No. 1 Tahun 2018.

Rasuh, Daryl John. “Kajian Hukum Keadaan Memaksa (Force Majeure) Menurut Pasal 1244 DAN Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”. Lex Privatum. Vol. IV. No. 2. Feb 2016.

C. Website

Artikel DJKN. “Bencana Nasional Penyebaran COVID-19 sebagai Alasan Force

Majeure,Apakah Bisa?”.

https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/13037/Bencana-Nasional Penyebaran-COVID-19-sebagai-Alasan-Force-Majeure-Apakah-Bisa.html. Diakses tanggal 21 Desember 2020.

(20)

1488 DPP FERARI (Federasi Advokat Republik Indonesia). “Pengertian, Bentuk,

Penyebab dan Hukum Wanprestasi”.

www.dppferari.org/pengertianbentukpenyebab-wanprestasi/. Diakses tanggal 23 September 2020.

Hukumonline.com. “Masalah Hukum Penundaan Kontrak Akibat Penyebaran Covid-19.”. https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e70df2e855cf/masalah-hukum-penundaan-kontrak-akibat-penyebaran-covid-19/. Diakses tanggal 11 Desember 2020.

Kompas.com. “UPDATE: Bertambah 6.033, Kini Ada 598.933 Kasus Covid-19 di Indonesia”.https://nasional.kompas.com/read/2020/12/10/16370721/update bertambah-6033-kini-ada-598933-kasus-covid-19-di-indonesia. Diakses tanggal 10 Desember 2020.

___________. “Hadapi Covid-19, Emiten Properti Pangkas Gaji hingga Negosiasi Pinjaman”.https://money.kompas.com/read/2020/05/20/212854526/hadapico vid-19-emiten-properti-pangkas-gaji-hingga-negosiasi-pinjaman, 5 Desember 2020.

___________. “Pandemi Covid-19, Apa Saja Dampak pada Sektor Ketenagakerjaan Indonesia?”

https://www.kompas.com/tren/read/2020/08/11/102500165/pandemi-covid19-apa-saja-dampak-pada-sektor-ketenagakerjaan-indonesia-?page=all. Diakses tanggal 5 Desember 2020.

Tempo.co. “Pertumbuhan Ekonomi DKI Melorot Akibat Pandemi Covid-19, Ini Kata Sri Mulyani.” https://metro.tempo.co/read/1369857/pertumbuhan-ekonomi- dki-melorot-akibat-pandemi-covid-19-ini-kata-sri-mulyani. Diakses tanggal 16 Oktober 2020.

Yuokuy Surinda Blog: Pengetahuan Hukum, Tips dan Info Bermanfaat. “Penjelasan tentang Hukum Perikatan/Perjanjian Dalam Sistem Hukum Di Indonesia”.

https://yuokuysurinda.wordpress.com/2015/07/30/penjelasan-tentang-hukumperikatan-perjanjian-dalam-sistem-hukum-di-indonesia. Diakses tanggal 1 November 2020.

Referensi

Dokumen terkait

Didalam Putusan Hakim atas perkara grant sultan dengan nomor register : 96/PDT/2012/PN-MDN telah sesuai hukum, ini dapat dilihat karena hakim tersebut memutuskan menurut Pasal

Data yang diperoleh adalah data primer berupa data hasil wawancara dengan pemilik usaha wingko Putra Agung dan data produksi, berupa data kualitas daging buah kelapa berdasarkan

Pasal ini mengenai pembayaran ganti kerugian, juga terkait dengan masalah beban pembuktian, yaitu apabila terjadi wanprestasi, debitur dihukum membayar ganti

Selain teori keadaan memaksa, negara dengan sistem hukum common law juga mengenal prinsip yang serupa yaitu doktrin frustration of contract. Doktrin ini membebaskan Debitur

PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA KAITANNYA DENGAN WANPRESTASI YANG DILAKUKAN OLEH PERUSAHAAN TERHADAP PEKERJA AKIBAT FORCE MAJEURE COVID-19.. Penulisan Hukum

Dari hasil dalam Tabel 6 dan Tabel 7, terlihat bahwa aplikasi ini dapat menghasilkan peningkatan deteksi kanker ganas lebih baik dibandingkan model hasil uji data

Sehingga untuk mengembalikan pola data ke bentuk sinyal diskrit (digital) perlu dilakukan penentun level sinyal, apkah sebagai sinyal data biner bit “1” atau bit “0”,

penyakit menular yang disebabkan oleh sindrom pernapasan akut coronavirus 2 (SARS-CoV-2.. besar terhadap seluruh sektor kehidupan masyarakat yang menyebabkan perekonomian