Tanah Hak Barat (Kajian Hukum Pertanahan)
Diterbitkan Oleh R.A.De.Rozarie
(Anggota Ikatan Penerbit Indonesia)
Jl. Ikan Lumba-Lumba Nomor 40 Surabaya, 60177
Jawa Timur – Negara Kesatuan Republik Indonesia
www.derozarie.co.id – [email protected]
Tanah Hak Barat (Kajian Hukum Pertanahan)
© Desember 2019 Eklektikus: Dr. Karyoto, S.H., M.H.
Editor: Suyut
Master Desain Tata Letak: Frega Anggaraya Purba
Angka Standar Buku Internasional: 978-602-1176-68-9 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
Katalog Dalam Terbitan
Sebagian atau seluruh isi buku ini dilarang digunakan atau direproduksi dengan tujuan komersial dalam bentuk apapun
tanpa izin tertulis dari R.A.De.Rozarie kecuali dalam hal penukilan untuk keperluan artikel atau karangan ilmiah dengan
menyebutkan judul dan penerbit buku ini secara lengkap sebagai sumber referensi.
Terima kasih
PENERBIT PERTAMA DENGAN KODE BATANG UNIK
PRAKATA
Buku Tanah Hak Barat (Kajian Hukum Pertanahan) ini merupakan diskursus pemikiran akan eksistensi tanah. Tanah selalu terkait dnegan subjek hukum yaitu manusia karena sebagai anggota masyarakat sejak lahir hingga meninggal maka entitas manusia tidak bisa lepas dari tanah.
Atas landasaan filosofis itulah, buku yang berfokus pada hak barat menelusuri segela seuatu seperti sengketa tanah, cara perolehan hingga cara pegalihan. Dengan bersandar pada kebebasan akademik, saya berharap buku ini memiliki kebaruan dalam ilmu khususnya ilmu hukum.
Desember 2019
Penulis
DAFTAR ISI
Prakata i
Daftar Isi ii
BAB 1
Awal Pemikiran 1
BAB 2
Kepastian Hukum Penguasaan Negara
Atas Tanah Bekas Milik Warga Asing Cina 7 BAB 3
Permohonan Sertifikat Hak Atas Tanah
Bekas Milik Asing Cina 23
BAB 4
Permohonan Sertifikat Tanah
Menjadi Hak Milik Rakyat 34
BAB 5
Penguasaan Negara Atas Tanah 37
BAB 6
Tafsiran Tanah Negara 41
BAB 7
Politik Tanah Dalam Orde Baru 50
BAB 8
Status Tanah Bekas Milik Warga Asing Cina 55 BAB 9
Tanah Bekas Milik Warga Asing Belanda 77 BAB 10
Kadaster Atau Pendaftaran Tanah 91
BAB 11
Akhir Pemikiran 107
Daftar Pustaka 110
BAB 1
AWAL PEMIKIRAN
Tanah memiliki arti yang sangat penting bagi setiap orang, baik dalam kedudukanya sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat, sejak lahir, hidup, bahkan sampai meninggal duniapun tanah tidak dapat dilepaskan dari kehidupan seseorang. Tanah merupakan faktor pendukung utama dalam penyelenggaraan kehidupan dan kesejahteraan seseorang. Kebutuhan akan tanah tidak hanya terbatas untuk kebutuhan tempat tinggal, tetapi juga tempat tumbuh kembangnya seseorang di dalam lingkungan sosialnya, politik, ekonomi dan budaya bagi seseorang dan komunitas masyarakatnya.
Tanah juga memiliki nilai ekonomis yang sangat berarti bagi kehidupan seseorang baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat, bahkan di dalam masyarakat tertentu, seperti di Bali, Minangkabau, dan lain-lain, tanah juga memiliki nilai religius magis yang sangat kuat dan tanah selalu diperjuangkan sampai titik darah penghabisan, dalam pepatah Jawa dikatakan “sadumuk batuk sanyari bumi, den tohi pati”, yang artinya berapapun luas tanah akan diperjuangkan sampai mati. Pepatah ini menggambarkan tentang bagaimana berharganya tanah bagi masayarakat jawa, dan begitu eratnya hubungan antara tanah dengan masyarakat Jawa, baik secara individual maupun dalam kedudukanya sebagai anggota masyarakat.
Arti pentingnya tanah bagi kehidupan seseorang ini didasarkan oleh kenyataan, bahwa tanah memiliki arti yang strategis bagi kehidupan seseorang, mengingat kebutuhan akan tanah yang terus meningkat, sedangkan pada sisi lain ketersediaan tanah semakin terbatas. Sehubungan dengan hal ini Michael G. Kitay menyatakan “land is unique and limited; it is therefore valuable. And whoever controls and the land controls a potential profitable asset”.1 Pendapat senada juga dikemukakan oleh Lawson dan Rudden yang mengatakan bahwa “Land is unique it is permanent, almost
1 Michael G. Kitay, Land Acquistion in Deeveloping Countries, Policies and Procedures of the Public Sector, A Linclon Institute of Land Policy Book, 1983, hlm. 2.
indestructible, has income value and is capable of almost infinite division and sub division”.2
Sehubungan dengan arti pentingnya tanah bagi kehidupan seseorang, tanah sering menjadi objek sengketa, baik tanah negara yang dikuasai oleh pemerintah maupun tanah negara yang dikuasai rakyat. Permasalahan tanah yang mengakibatkan terjadinya sengketa tanah, memiliki karakter yang berbeda-beda di masing-masing wilayah, dan perbedaan itu disebabkan oleh perbedaan faktor-faktor yang menyertainya. Sengketa tanah pada umumnya menyangkut penguasaan, pendudukan, pengelolaan, dan membutuhkan perlin- dungan hukum atas pemilik hak atas tanah. Pada umumnya terja- dinya permasalahan hukum ini disebabkan oleh tidak adanya landasan hukum yang jelas yang mendasari hak penguasaan, dan pengelolaan hak atas tanah.
Dalam hubungan dengan terjadinya sengketa tanah, pada umumnya disebabkan beberapa faktor, baik yang berkaitan dengan faktor hukum, maupun faktor lain di luar faktor hukum, diantaranya:
a. sebagian besar penduduk masih menggantungkan hidupnya seba- gai petani, dimana ketersediaan lahan tanah merupakan modal pokok yang diharapkan.
b. kepadatan penduduk khususnya di Pulau Jawa setiap tahun semakin meningkat, tidak diimbangi dengan usaha pemerataan penyebaran penduduk antar pulau dan penyediaan lapangan kerja.
c. lemahnya kebijakan pemerintah dibidang pertanahan, dengan sulitnya pemahaman peraturan perundang-undangan pertanahan, seperti belum ada undang-undang hak milik dan masih banyak bidang tanah absente yang terlantar tidak sesuai dengan fungsinya, sehingga saling berebut penguasaan dan kepentingan antara pemerintah dengan rakyat untuk permohonan hak, Kebijakan peruntukan tanah oleh Pemerintah, untuk kepentingan umum atau kepentingan bisnis sering dihadapkan pada masalah legalitas hak, antara masyarakat yang telah terlebih dahulu menguasai dan menggunakan tanah dengan pelaku pembangu- nan yang muncul kemudian. Demikian pula manakala pembe- basan dilakukan, masalah penetapan batas tanah, proses
2 Dianne Chappellle, Land Law, Pitman Publishing, London, 1997, hlm. 6.
pembebasan dan besarnya ganti rugi sering kali menyimpang dari aturan ataupun kesepakatan yang telah dicapai.3.
Dikeluarkanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria, yang selanjutnya disebut UUPA, pemerintah berusaha untuk melakukan unifikasi dan kodivikasi hukum pertanahan, dengan harapan dapat mewujudkan keadilan dan kepastian hukum, setidak-setidaknya dengan unifikasi dan kodifikasi ini dapat mengurangi permasalahan tanah, bahkan sampai saat ini permasalahan tanah juga belum kunjung selesai, bahkan semakin meningkat intensitasnya seiring dengan era reformasi yang memberikan kesempatan kepada setiap orang mempertanyakan hak- haknya kepada negara, termasuk haknya untuk memperoleh hak atas tanah. UUPA No. 5 Tahun 1960 yang merupakan hukum tanah Nasional, sesungguhnya merupakan bentuk penjabaran lebih lanjut dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. UUPA berisi peraturan dasar yang memuat kebijakan politik hukum tanah nasional, khususnya yang mengatur mengenai hubungan antara manusia dengan tanah, dan sekaligus memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk mengatur penggunaan, peruntukan, serta pemanfaatan tanah bagi kepentingan masyarakat. Selanjutnya mengenai beberapa ketentuan pokok di dalam UUPA terkait dengan pengaturan penggunaan dan pemanfaatan tanah tersebut diantaranya sebagai berikut:
a. pernyataan, bahwa bumi, air, dan ruang angkasa dalam wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia (Pasal 1 ayat (1). hubungan yang tercipta adalah bersifat abadi (Pasal 1 ayat (3)
b. pernyataan, Bahwa bumi, air, dan ruang angkasa yang demikian itu sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan kekayaan Nasional (Pasal 1 ayat (2)
c. pernyataan, bahwa bumi, air, dan ruang angkasa pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (Pasal 2 ayat (1)
3 Erman Rajagukguk, Hukum dan Masyarakat, Cetakan pertama, PT. Bina Aksara, Jakarta 1986 hlm 26 dan Hukum Agraria hlm. 35.
d. perintah, bahwa negara agar:
1) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa.
2) menentukan dan mengatur hubungan hubungan hukum antara orang orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa bumi, air, dan ruang angkasa.
3) menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang orang dan perbuatan perbuatan hukum mengenai bumi, air, dan ruang angkasa (Pasal 2 ayat (2)
e. perintah, bahwa negara agar wewenang yang bersumber dari hak menguasai negara tersebut digunakan untuk mencapai sebesar besar kemakmuran rakyat.
f. perintah, bahwa negara melalui pemerintah agar:
1) mengatur hubungan hubungan hukum antara orang, masya- rakat dan negara (Pasal 11 ayat (1).
2) membuat aturan untuk mengusahakan tanah secara bersama berdasar kerjasama dan untuk kepentingan bersama (Pasal 12).
3) membuat aturan yang bertujuan dapat meningkatkan kemak- muran rakyat serta menjamin bagi setiap warga negara Indonesia derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia baik bagi dirinya maupun keluarganya (Pasal 13 ayat (1).
g. membuat peraturan yang melarang penggunaan tanah melampaui batas, mencegah adanya unsur pemerasan, mencegah adanya unsur monopoli serta aturan mengenai fungsi sosial dalam penggunaan tanah serta kewajiban untuk mengusahakan sendiri penggunaan tanah dan mencegah kerusakan (Pasal (15).
h. keharusan, bahwa pemerintah juga diharuskan untuk membuat rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggu- naan tanah untuk kepentingan negara, kepentingan peribadatan dan keperluan suci lainnya, serta untuk kepentingan pusat pusat kehidupan masyarakat, sosial, budaya dan lain lain kesejahteraan, untuk produksi pertanian, perikanan dan peternakan termasuk jaminan sosial perburuhan dengan memperhatikan golongan ekonomi lemah serta perkembangan industri, transmigrasi dan pertambangan (Pasal 13 dan 14 ayat (1).
i. koordinasi, bahwa pemerintah secara koordinasi dan berjenjang harus bekerja sama untuk menjabarkan tugas dan fungsi
kewenangan yang diembannya berdasarkan asas taat asas (Pasal 14 ayat (2) dan (3). 4
Bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, kalimat dikuasai negara dalam Pasal 33 ayat (3) UUD l945 tersebut, hendaknya tidak diartikan negara sebagai pemilik sumber daya agraria atas tanah, melainkan hanya memberikan wewenang kepada negara untuk mengatur 3 (tiga) hal sebagaimana disebutkan di dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) UUPA, mengenai:
a. hubungan hukum antara negara dengan tanah b. masyarakat hukum adat dengan tanah ulayatnya
c. hubungan hukum perorangan dengan tanah, tiga hal negara untuk mengatur tersebut, merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan merupakan hubungan yang bersifat “tritunggal”.5 Hubungan antara tanah dengan subjek hukum hak atas tanah di Indonesia sejak lama berlangsung bahkan sudah sejak ratusan tahun yang lalu. Hal ini dapat dipahami dari perspektis sejarah, bahwa sejak jaman penjajahan Belanda sudah banyak tanah-tanah yang dikuasai oleh orang-orang Belanda maupun oleh badan-badan hu- kum Belanda. Penguasaan tanah tersebut dimanfaatkan untuk ber- bagai kepentingan, baik yang bersifat pribadi seperti untuk rumah, maupun untuk kepentingan ekonomi, seperti perkebunan, pertanian, dan juga untuk kepentingan ekonomi yang lain, seperti pendirian usaha-usaha industri, serta kepentingan yang lain.
Permasalahan tanah di Indonesia muncul pada saat Indonesia menyatakan diri kemerdekaanya pada tanggal 17 Agustus l945, dan dengan kemerdekaan itu Indonesia resmi menjadi Negara yang berdaulat. Sebagai konsekuensi dari negara berdaulat, maka negara memiliki kekuasaan atau yurisdiksi atas segala sesuatu yang terdapat di dalam wilayah negara Indonesia. Negara Indonesia memiliki kewenangan untuk mengatur segala sesuatunya terkait dengan wilayah, rakyat, serta kekayaan alam yang ada di dalamnya,
4 Harsono Boedi, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan Pera- turan Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta, 2000.
5 Harsono Boedi, Undang-Undang Pokok Agraria Sejarah Pennyusunan Isi dan Pelaksanaannya Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1968.
termasuk tanah, baik yang menyangkut hak, status, dan peruntukannya.
Setelah menyatakan kemerdekaannya, pemerintah melakukan konsolidasi dalam berbagai bidang, termasuk inventarisasi di bidang pertanahan. Berdasarkan hasil inventarisasi diketahui terdapat banyak sekali tanah-tanah bangsa Indonesia yang dulu dikuasai oleh Belanda, maupun oleh bangsa lain, khususnya China, baik secara perseorangan maupun oleh badan hukum yang pada saat kemerdekaan Indonesia ditinggal oleh pemiliknya. Sehubungan dengan hal itu, maka banyak tanah-tanah tak bertuan, dan tidak terurus, serta tidak jelas status dan kepemilikanya. Tanah-tanah yang ditinggalkan oleh pemiliknya atau penguasanya ini kemudian dikenal dengan istilah “tanah bekas hak barat”, dulu dikuasai oleh bangsa Belanda, dan “tanah bekas warga asing Cina”, yang dulu dikuasai oleh warga negara asing Belanda.
Negara Indonesia sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia yang memiliki kekuasaan tertinggi atas tanah tentunya memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu terhadap tanah-tanah yang dulu pernah dikuasai oleh Belanda, dan warga negara asing lainnya, khususnya bangsa Cina tersebut. Pemerintah dengan mendasarkan pada hak menguasai negara atas tanah harus secepatnya melakukan langkah-langkah konkrit untuk sesegera mungkin permasalahan tanah tersebut diselesaikan. Hal ini harus dilakukan dengan alasan bahwa tanah memiliki nilai strategis bagi bangsa dan negara, yang semakin lama semakin memiliki arti yang sangat penting. Di samping itu, seiring dengan perkembangan jumlah penduduk Indonesia, perkembangan kemajuan ekonomi bangsa, menyebabkan kebutuhan tanah terus meningkat, yang berakibat tanah menjadi sumber permasalahan dan sumber konflik, baik secara horisontal sesama anggota masyarakat, maupun konflik vertikal antara pemerintah dengan masyarakat, baik secara perorangan maupun secara kelompok.
BAB 2
KEPASTIAN HUKUM PENGUASAAN NEGARA ATAS TANAH BEKAS MILIK WARGA ASING CINA
Hukum Pertanahan yang berlaku di Indonesia adalah ketentuan hukum yang tersebar berjiwa, berbentuk, berisi, budaya dan subjek sasaran pengenaannya masih terpengaruh oleh peninggalan penjajah kolonial Belanda, karena semua lembaga Negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan ketentuan undang-undang dasar dan belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini 6. Selain itu alasan yang digunakan pemerintah pada waktu itu belum terbentuknya UUPA, karena ketidakmampuan Pemerintah untuk serta merta mengadakan peraturan baru di bidang pertanahan.
Usaha untuk menyusun rancangan UUPA mulai dilakukan pada tahun 1948 berdasarkan Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 tanggal 21 Mei 1948. Dalam rangka menyusun undang-undang yang bercorak nasional dan bulat menyeluruh guna menggantikan Undang-Undang Agraria peninggalan kolonial Belanda, maka sejak awal kemerdekaan telah dibentuk komisi atau panitia yang diberi tugas menyusun dasar-dasar hukum agraria yang baru.
Panitia tersebut diantaranya adalah Panitia Agraria Yogya, Panitia Agraria Jakarta, Panitia Soewahjo dan Rancangan Undang- Undang Soenarjo. Panitia Agraria Yogya, dibentuk pada tahun 1948 di Ibukota Republik Indonesia Yogyakarta, menghasilkan 12 butir saran yang disampaikan kepada DPR pada bulan Juli 1948 yaitu:
1) penyatuan undang-undang agraria untuk menghapus dualisme;
2) adanya sistem yang dapat memberikan sebidang tanah kepada masing-masing petani agar dapat hidup secara layak;
3) pengembalian tanah perkebunan yang beroperasi kepada Negara, baik secara lisensi maupun sewa jangka panjang dan lahan berukuran kecil yang disewa untuk jangka panjang kemudian dibagi kembali;
4) penghapusan perkebunan swasta yang berstatus hak milik;
5) pemberian kredit murah dan mudah untuk petani;
6 Lihat UUD 1945 Aturan Peralihan Pasal II.
6) pembentukan koperasi untuk memusarkan hasil;
7) program pembebasan orang desa dari beban yang diwariskan s- sistem feodalisme;
8) perlindungan terhadap petani kecil yang menyewa lahan dengan memakai peraturan khusus yang mengatur pembelian hasil panen;
9) penggiatan industri desa yang berskala kecil dan perpindahan dari Jawa ke pulau-pulau luar Jawa;
10) Intensifikasi pertanian melalui peningkatan mutu benih dan perluasan sistem pengairan;
11) perencanaan yang memungkinkan petani memperoleh bagian dari keuntungan pabrik yang menerima hasil mereka untuk diolah;
12) koordinasi Negara dan pelaksanaan usaha pengairan maupun keikutsertaan negara dalam pembagian air 7.
Selanjutnya mengenai hasil dari Panitia Agraria Yogya ini pada intinya dapat dikemukakan antara lain sebagai berikut:
1. dilepaskannya asas domein dan penyaluran hak rakyat;
2. pengadaan peraturan yang memungkinkan adanya hak perseo- rangan yang kuat, yaitu hak milik yang dapat dibebani hak tanggungan;
3. pelaksanaan studi banding ke Negara lain untuk mengetahui apakah orang asing dapat mempunyai hak milik atas tanah;
4. perlunya penetapan luas minimum tanah untuk petani;
5. perlunya penetapan luas maksimum tanah untuk petani;
6. penerimaan skema tentang hak-hak atas tanah yang diusulkan oleh Sarimin Reksodiharjo (ada hak milik, hak atas tanah kosong serta hak-hak atas tanah orang lain yang disebut magersari).
7. pelaksanaan registrasi tanah milik dan hak-hak menumpang yang penting.
Pada tanggal 19 Maret 1951 panitia Agraria Yogyakarta dibubarkan dan digantikan dengan panitia baru yakni Panitia Agraria Jakarta yang diketuai oleh Sarimin Reksodiharjo dengan wakil ketua Sudjarwo, berikutnya Sarimin digantikan oleh Singgih Praptodi-
7 Penetapan Presiden Nomor 16 Tahun 1948 tentang Pembentukan Panitia Agraria Yogjakarta.
hardjo sehubungan dengan pengangkatannya sebagai gubernur Nusa Tenggara.
Tugas dan hasil rapat dari panitia agraria Jakarta adalah sama dengan tugas panitia agraria Yogya dengan penajaman pada pengaturan bidang-bidang tertentu seperti persamaan warga negara.
Dengan keputusan presiden Nomor 55 tertanggal 29 Maret 1955, dibentuklah kementrian negara Agraria yang pertama kali, salah satu tugasnya adalah mempersiapkan perundang-undangan agraria Nasional.
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 1 tanggal 9 Maret 1956 dibentuklah Panitia negara Urusan Agraria yang menggantikan Panitia Agraria Jakarta. Panitia ini diketahui oleh Soewahjo Soemodilogo, Panitia ini diberi tugas dalam waktu 1 tahun untuk mempersiapkan Perancangan Undang-Undang Pokok Agraria.
Pada tahun 1957 panitia ini selesai menyusun naskah Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria yang pada pokoknya memuat hal-hal sebagai berikut:
a. penghapusan asas domein dan pengakuan hak rakyat yang harus ditundukkan dibawah kepentingan umum;
b. penggantian asas domein dengan ‘hak menguasai dari negara’
sesuai dengan ketentuan Pasal 38 Ayat (3) UUDS 1950;
c. penghapusan dualisme houum agraria;
d. hak-hak atas tanah meliputi hak milik sebagai hak terkuat, yang dilekati fungsi sosial, hak usaha, hak bangunan dan hak pakai;
e. hak milik hanya dapat dipunyai oleh warga negara Indonesia;
f. perlunya penetapan batas maksimum dan minimum luas tanah yang boleh dimiliki;
g. pengerjaan dan penguasaan sendiri tanah pertanian oleh pemi- liknya sebagai asas;
h. pelaksanaan pendaftaran tanah dan perencanaan penggunanaan tanah 8.
Sudjarwo sebagai Menteri Agraria yang baru terus mengusa- hakan terciptanya hukum Agraria Nasional yang baru. Sebuah rancangan undang-undang baru yang disesuaikan dengan UUD 1945 dan manifesto politik, diajukan kepada DPR-GR oleh Pemerintah
8 Keputusan Presiden Nomor 1 tanggal 9 Maret 1956 tentang Panitia Negara Urusan Agraria menggantikan Panitia Agraria Jakarta.
dengan sebuah amanat Presiden tanggal 1 Agustus 1960. Seksi Agraria UGM banyak memberikan andil dalam RUU ini, sebab sebelum pengajuannya kepada DPR-GR telah dilakukan pembicaraan-pembicaraan intensif berkenaan dengan RUU tersebut antara kementrian Agraria dan seksi agraria dari UGM. RUU Agraria yang diajukan kepada DPR-GR oleh Menteri Agraria Sudjarwo dibahas dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama dimana dalam pembahasannya mengalami beberapa kesukaran.
Kesulitan-kesulitan tersebut menyangkut perbedaan antara golongan komunis dan golongan islam. Sasaran hukum UUPA adalah meletakkan dasar bagi terciptanya struktur hukum agraria yang dapat diterima secara Nasional, guna menyederhanakan hukum serta pedoman penentuan hak rakyat atas tanah. Dengan melalui sejarah pembentukan Rancangan UUPA yang panjang sejak tahun 1948 sampai dengan tahun 1960, maka pada tanggal 24 September 1960 UUPA No. 5 Tahun 1960 disahkan di Jakarta oleh Presiden Republik Indonesia Soekarno 9.
1. Sejarah Peraturan Tanah Bekas Milik Asing Cina
Secara historis risalah terbitnya peraturan tanah aset bekas milik asing/Cina disingkat ABMA/C, didasari dengan keluarnya Peraturan Penguasa Perang Pusat Nomor Prp/032/PEPERPU/1958 Jo. Kpts /Peperpu/0439/1958 Jo. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 1960, Penetapan Presiden Nomor 2 tahun 1962, Petapan Presiden Nomor 4 Tahun 1962 Jo. Keputusan Presiden /Panglima Tertinggi ABRI /Pemimpin Besar Revolusi Nomor T-0403/G-5/5/66.
Proses terbitnya peraturan bekas milik asing cina secara singkat diawali dari masing masing Daerah Tingkat II dan Daerah Tingkat I di seluruh Indonesia, seperti dikeluarkanya Surat Wali Kota Kepala Daerah Tingkat II Kediri Nomor 425.1/248/441.16/1984 tanggal 8 Mei 1984 yang dialamatkan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur Up. Unit Kadit Sospol di Surabaya tentang Penelitian Dan Penyelesaian Masalah Gedung Dan Tanah Tanah Bekas Sekolah Asing Cina.
Mendasarkan pada Surat Wali Kota Kepala Daerah Tingkat II Kediri tersebut diatas, Tim pusat dan Daerah Tingkat II rapat
9 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar pokok-pokok Agraria (LN. Tahun 1960 No. 104).
koordinasi di ruang Kantor Pemda Kodya Dati II Kediri, untuk membahas tentang rumah/tanah bekas sekolah asing Cina, dari hasil rapat tersebut pada hari yang lain, diteruskan pengecekan ke lokasi bidang tanah dan gedung yang dianggap masuk katagori tanah- tanah bekas sekolah asing Cina, berikutnya hasil rapat dan pengecekan dikirim ke Gubernur Kepala daerah Tingkat I Jawa Timur, berisi tentang Daftar bangunan-bangunan dan tanah-tanah bekas sekolah asing/Cina yang telah diteliti secara fisik, untuk diteruskan ke tingkat Pusat sampai Menteri Keuangan, dalam waktu kurang lebih 5 tahun, pada tanggal 12 April 1989 terbit surat Menteri Keuangan Nomor S 394/MK.03/1989 tentang Petunjuk Penyelesaian Masalah Aset Bekas Milik Asing/Cina.
Sesuai dengan perihal surat dari Wali Kota Kepala Daerah Tingkat II Kediri tersebut diatas, bahwa yang diteliti adalah gedung dan tanah-tanah bekas sekolah asing Cina, tetapi yang dimasukkan daftar dan telah dikirim pada tahun 1984 ke Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur, terdapat sebagian tanah dan bangunan milik Cina perseorangan yang Sertifikat hak Guna bangunannya sudah berakhir haknya.10
Selama kurun waktu 19 tahun sejak dikeluarkannya Surat Menteri Keuangan Nomor S 394/MK.03/1989 tentang petunjuk penyelesaian masalah aset bekas milik asing/Cina tahun 1989, pada tahun 2008 tanggal 20 November 2008 pemerintah melalui Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 188/PMK .06/2008 tentang Penyelesaian aset Bekas milik asing/Cina dan berikutnya pada tanggal 19 September 2011 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 188/PMK.06/2008 telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.06/2011 tentang perubahan atas peraturan Menteri Keuangan Nomor 188/PMK.06/2008 tentang Penyelesaian aset bekas milik asing/Cina, yang sebagian dilandasi dengan Undang-Undang Negara dalam keadaan darurat seperti tersebut dibawah ini:
1) Undang-Undang Nomor 23 Prp Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.
10 Hasil wawancara dengan salah satu Staf Pemerintah Daerah Kota Kediri bulan Mei 2003.
2) Undang-Undang Nomor 50 Prp. Tahun 1960 tentang Larangan Organisasi-Organisasi Dan Pengawasan Terhadap Perusahaan Perusahaan Orang Asing Tertentu.
3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
5) Peraturan Penguasa Perang Pusat Nomor Prt/032/PEPERPU- /1958 tentang Larangan Adanya Organisasi Yang Didirikan Oleh Dan/Atau Untuk Orang Orang Warga Negara Dari Negara Asing Yang Tidak Mempunyai Hubungan Diplomatik Dengan Negara Republik Indonesia.
6) Keputusan Penguasa Perang Pusat Nomor Kpts/Peperpu /0439/1958 tentang Penempatan Semua Sekolah/Kursus Yang Sebagian Atau Seluruhnya Milik Dan/Atau Diusahakan Oleh Organisasi Yang Didirikan Dan/Atau Orang Orang Tionghoa Perantauan Yang Bukan Warga Negara Dari Negara Asing Yang Telah Mempunyai Hubungan Diplomatik Dengan Ri Dan/Atau Telah Memperoleh Pengakuan Dari Negara RI Dibawah Pengawasan Pemerintah RI.
7) Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1962 tentang Larangan Ada- nya Organisasi Yang Tidak Sesuai Dengan Kepribadian Indonesia, menghambat penyelesaian revolusi atau bertentangan dengan cita cita sosialisme Indonesia.
8) Keputusan Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata RI/Komando Operasi Tertinggi/Komando Tertinggi Operasi Ekonomi Nomor 52/KOTI/1964.
9) Keputusan Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Komando operasi Tertinggi Nomor 89/KOTI/1965.
10) Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia.
Proses perolehan tanah dan bangunan untuk dijadikan aset kekayaan negara semacam ini bertentangan dengan UUPA No. 5 Tahun 1960, khususnya Pasal 41 ayat (3) yang menentukan bahwa, pemberian hak pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur unsur pemerasan, peralihan tanah dan bangunan
pada sertifikat hak guna bangunan, yang sudah berakhir haknya atas nama bekas pemegang hak milik rakyat, yang masih dilekati hak prioritas dan rakyat masih mempunyai hak atas bangunan di atasnya. Hal ini disinyalir merupakan tindakan yang termasuk mengandung unsur pemerasan, karena dapat digolongkan peram- pasan hak rakyat.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka dalam penyelesaian masalah tanah bangunan bekas milik asing Cina melibatkaan Tim pusat yang terdiri dari:
a. departemen keuangan
b. departemen hukum dan hak asasi manusia c. departeman pertahanan
d. departemen pendidikan nasional e. badan Intelijen negara
f. badan pertanahan nasional g. kejaksaan agung
h. kepolisian RI. 11
2. Tanah Bekas Peninggalan Milik Warga Asing Cina
Mengenai tanah-tanah bekas peninggalan warga asing Cina diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 188/PMK .6/2008 tanggal 20 November 2008 tentang Penyelesaian Aset Bekas milik Asing/Cina, diantaranya mengatur tanah yang Sertifikat hak guna bangunannya sudah berakhir haknya, untuk dijadikan aset negara.
Tanah-tanah bekas peninggalan warga asing Cina yang dapat dijadikan aset negara adalah tanah yang didapat dari:
a. tanah bekas milik perkumpulan perkumpulan Cina yang dinyata- kan terlarang dan dibubarkan dengan peraturan penguasa perang pusat
b. tanah bekas perkumpulan/aliran kepercayaan asing yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia
c. tanah bekas perkumpulan perkumpulan yang menjadi sasaran aksi massa/kesatuan kesatuan aksi tahun 1965/1966 sebagai aki- bat keterlibatan Republik Rakyat Tjina (RRT) dalam pembe- rontakan G.30.S/PKI yang diterbitkan dan dikuasai oleh penguasa pelaksana Dwikora Daerah
11 Peraturan Menteri Keuangan Nomor188/PMK .06/2008 Pasal 15 tentang Penyelesaian Aset Bekas Milik Asing Cina.
d. tanah bekas Organisasi yang didirikan oleh dan/atau untuk orang Tionghoa perantauan (Hoa Kiauw) yang bukan warga negara asing, yang telah mempunyai hubungan diplomatik dengan negara RI dan/atau memperoleh pengakuan dari negara RI beserta cabang cabang dan bagian bagiannya.
Perolehan dan penguasaan negara atas tanah bekas milik asing Cina tersebut di atas, mendasar pada beberapa peraturan tersebut diba- wah ini:
a. Peraturan Penguasa Perang Pusat No. Prt/032/PEPERPU/1958 Jo.
Keputusan Penguasa Perang Pusat No. Kpts/Peperpu/0439/1958 Jo. Undang-Undang Nomor 50 Prp tahun 1960.
b. Penetapan Presiden Nomor 2 tahun 1962.
c. Penetepan Presiden Nomor 4 tahun 1962 Jo. Keputusan Presiden Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi Nomor 52/KOTI/1964.
d. Instruksi Radiogram Kaskogam Nomor T-0403/G.5/5/1966.
Secara yuridis, penguasaan negara atas tanah yang ada di Indonesia pada dasarnya dapat dikatakan bersifat mutlak, untuk mencapai kesejahteraan rakyat adil dan makmur, penguasaan tanah oleh negara mustahil akan tercapai masyarakat adil dan makmur, manakala pejabat negara yang berwenang tidak menciptakan kepastian hukum pertanahan. Memang negara dapat menggunakan tanah dari bekas milik warga aset asing Cina yang SHGB-nya sudah berakhir, dengan memberikan ganti rugi kepada bekas pemegang hak, karena negara tidak boleh terlepas dari maksud dan tujuan dibentuknya negara, yakni untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Hal ini yang seharusnya terjabarkan dalam setiap Peraturan, Keputusan, Penetapan, Kebijakan setiap penyelenggara negara. Dalam kenyataannya setiap peraturan dan kebijakan penyelenggara negara belum sepenuhnya mencerminkan tujuan tersebut. Hal ini nampak di dalam undang-undang dan peraturan sebagaimana tersebut dibawah ini:
a. UUPA No. 5 Tahun 1960, masih bersifat dasar atas pokok pokok ketentuan penggunaan tanah bagi kepentingan bangsa, belum menjelaskan syarat syarat penguasaan fisik, tanah negara yang bagaimana yang dapat dimohon oleh negara, dan syarat syarat penguasaan fisik tanah negara yang seperti apa, yang dapat dimohon oleh rakyat, karena pada dasarnya semua tanah yang
ada di Indonesia, penguasaan administrasi ada pada negara, ini yang menjadi pejabat negara dalam mencari aset negara lebih dominan, sehingga rakyat akan menilai tanah negara untuk kesejahteraan rakyat, apabila rakyat mengajukan permohonan hak, disamping mentaati Peraturan Peundang–undangan yang berlaku, juga harus mentaati norma etika kebiasaan pejabat negara yang berwenang, agar mendapatkan sertifikat hak atas tanah.
b. Undang-Undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan. Undang-undang ini memberikan pengertian dan makna hak menguasai negara yang berbeda dengan UUPA, penjelasan umum Undang-Undang Pertambangan tersebut menegaskan bahwa, negara menguasai semua bahan galian dengan sepenuh penuhnya untuk kepentingan negara serta kemakmuran rakyat, karena bahan bahan galian tersebut merupakan kekayaan Nasional. menurut keterangan diatas nampak bahwa, negara dipisahkan dari kepentingan rakyat ,ini dilihat dari kata kata‘ negara menguasai sepenuhnya’ menimbul- kan penafsiran negara’ memiliki ‘ 12
c. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 188/PMK .6/2008 tanggal 20 November 2008 tentang Penyelesaian Aset Bekas milik Asing/Cina, belum memberikan hak prioritas kepada bekas pemegang hak warga negara Indonesia, bagi rakyat yang mempunyai sertifikat HGB yang sudah berakhir, pemerintah tidak memberi kesempatan kepada bekas pemegang hak terbukti tanahnya telah terdaftar dalam daftar lampiran Peraturan Menteri Keuangan Peraturan Nomor 188/PMK.6/2008 tersebut diatas, dalam arti negara tidak mempertimbangkan hak milik rakyat yang masih melekat diatas tanah negara tersebut.
Negara Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum, tidak berdasarkan atas kekuasaan, demikian sebagaimana di tegaskan Undang-Undang Dasar 1945, yang berarti bahwa negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang mana tindakan-tindakan pemerintah maupun lembaga-lembaga lain termasuk warga masyarakat harus berdasarkan hukum. Dengan demikian hukum adalah ketentuan tata tertib yang berlaku dalam
12 Abrar, Hak Menguasai Negara Atas Pertambangan Berdasarkan UUD 1945, Disertasi, Program Pasca Sarjana Universitas Pajajaran, 1999.
masyarakat, dimana hukum tersebut dalam pelaksanaannya dapat dipaksakan dan bertujuan mendapatkan keadilan dan kepastian hukum.13
3. Penyelesaian Tanah Bekas Milik Warga Asing Cina
Pemerintah melalui Menteri Keuangan dalam menyelesaikan masalah tanah/bangunan bekas milik warga asing Cina dilakukan dengan cara:
a. disertifikatkan atas nama Pemerintah Republik Indonesia b. disertifikatkan atas nama pemerintah Daerah
c. dilepas penguasaanya dari negara kepada pihak ketiga dengan cara pembayaran kompensasi kepada pemerintah dengan menye- torkannya ke Kas Negara
d. dipertukarkan dengan aset yang dimiliki oleh pihak ketiga dihibahkan
e. dikembalikan kepada pemilik perorangan yang sah, atau f. dikeluarkan dari daftar aset bekas milik asing/Cina.14
Menyikapi cara penyelesaian tanah bekas milik asing/Cina tersebut diatas, Menteri Keuangan tidak berwenang untuk mengatur pembe- rian hak atas tanah, peralihan hak, perpanjangan hak, pembaharuan hak dan peningkatan hak, meskipun Menteri Keuangan dibolehkan untuk bekerja sama dengan Badan Pertanahan Nasional, sebatas dalam bidang penyiapan administrasi atas tanah, yang dikuasai dan/atau milik negara/daerah.15
Tanah dikuasai negara dalam arti digunakan terus menerus dengan etikat baik oleh negara, bukan negara mengatur tanah negara yang masih dilekati hak milik rakyat, dan pada akhirnya negara melakukan perampasan bangunan milik rakyat untuk dijadikan aset negara berdasarkan pada Peraturan Menteri Keuangan No.
188/PMK.08/2008 tentang penyelesaian aset bekas milik asing/Cina.
Dalam perspektif penguasaan Aset Bekas Milik Asing/Cina adalah sebuah realita tentang kompleksnya permasalahan legalisasi dari sebuah status penguasaan yuridis dan fisisk yang tidak akan
13 Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.
14 Lihat Pasal 8 Peraturan Menteri Keuangan No. 188/PMK.06/2008 tentang penyelesaian aset bekas milik asing/Cina.
15 Lihat Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional.
secara mudah untuk dapat terselesaikan, di dalamnya terdapat benang-benang kusut yang harus diuraikan satu-persatu, baik berupa rekam jejak data historis sampai dengan gugatan hokum untuk menentukan pemegang hak yang sebenarnya.
Kerumitan penyelesaiannya terbukti bahwa Peraturan Menteri Keuangan No. 188/PMK.08/2008 tentang penyelesaian aset bekas milik asing/Cina selama 3 tahun, tanggal 19 September 2011 diadakan perubahan menjadi Peraturan Menteri Keuangan No.
154/PMK.06/2011 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan No. 188/PMK.06/2008 tentang penyelesaian aset bekas milik asing/Cina, Pasal 8 ayat (1) menyatakan bahwa, penyelesain status kepemilikan aset bekas milik asing Cina dilakukan dengan cara:
a. dimantapkan status hukumnya menjadi barang milik negara.
b. dimantapkan status hukumnya menjadi barang milik daerah.
c. dilepaskan penguasaannya dari negara kepada pihak ketiga de- ngan cara pembayaran kompensasi kepada pemerintah dengan menyetorkannya ke kas negara.
d. dikembalikan kepada pemilik perorangan yang sah, e. dikeluarkan dari daftar aset bekas milik asing/cina.
Pasal 10 ayat (1) menentukan, penyelesaian sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf c pelaksanaannya diatur sebagai berikut:
a. bagi aset yang selama ini dipergunakan oleh swasta untuk kegiatan komersial dan rumah tinggal, besarnya kompensasi ditetapkan sebesar 100% dari nilai aset.
b. bagi aset yang selama ini dipergunakan oleh swasta untuk kegiatan pendidikan dan/atau kegiatan sosial, besarnya kompen- sasi ditetapkan dengan keringanan 50% dari nilai aset.
c. bagi aset yang selama ini digunakan oleh pegawai negeri sipil/anggota TNI dan Polri, baik yang masih aktif, telah pensiun/purna tugas maupun oleh janda/duda PNS angota TNI Polri untuk rumah tinggal yang didasarkan pada suatu keputusan yang diterbitkan oleh Instansi yang berwenang, besarnya kompen- sasi ditetapkan dengan keringanan 50% dari nilai aset.
d. bagi aset yang selama ini digunakan untuk kegiatan peribadatan yang diakui pemerintah, besarnya kompensasi ditetapkan 0% dari nilai aset.
Pasal 10 A menyatakan bahwa:
Penyelesaian status kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam pasal ayat (1) huruf d dilaksanakan dalam hal telah terdapat putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan/atau pihak ketiga dapat membuktikan secara benar dan sah bahwa aset bersangkutan merupakan miliknya.
Pasal 13 menentukan bahwa:
Pembayaran kompensasi kepada pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf c dapat dilakukan secara tunai atau bertahap dengan jangka waktu pelunasan 24 bulan mulai tanggal diterbitkannya surat Direktur Jendral atas nama Menteri mengenai persetujuan kompensasi kepada pemerintah.
Pasal 13 ayat ( 5) menentukan bahwa:
Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) merupakan penerimaan negara bukan pajak yang harus disetor langsung oleh pihak ketiga ke Kas negara
Berikutnya kasus tanah dan bangunan bekas milik Cina perseorangan yang berwarga negara Indonesia, dan mempunyai Sertifikat Hak Guna bangunan yang sudah berakhir haknya, tetapi tidak dapat mengajukan pembaharuan hak, karena tanahnya terdaftar dalam daftar lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor 188/PMK.06/2008, yaitu tanah dan bangunan yang terletak di Jalan Mongonsidi Nomor 24 Kediri, luas tanah 1.012 M2, status tanah: tanah negara bekas HGB Nomor, 01 atas konversi dari RvE Verp. Nomor 225 atas nama pemegang hak terdahulu Lian Hwa Nio, petunjuk penyelesaian tertulis, disertifikatkan atas nama Pemerintah RI (Departemen Pertahanan).
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian bahwa SHGB Nomor 01 tanggal 13 Maret 1965, luas tanah 1.567 M2 atas nama pemegang hak ahli waris Tan Lien Ing Nio janda Liem Hauw Tjoo yaitu Tan Lian Hwa Nio janda Oei Liong Tjoe, berakhir haknya tanggal 23 September 1980, pada tanggal 27 juli 1984 Tan Lian Hwa Nio janda Oei liong Tjoe meninggal dunia, meninggalkan seorang ahli waris nama Oei Hwat Liem/Willy Wijaya, pada tanggal 27 April 1995 Oei Hwat Liem/Willy Wijaya berdasarkan akta perjanjian hibah bangunan Nomor 115, Notaris Paulus Bingadipuro di Kediri, tanah dan bangunan oleh Oei Hwat Liem/Willy Wijaya dihibahkan kepada
Victor Dewantara Gunawan, sampai sekarang Victor Dewantara Gunawan belum bisa mengajukan perpanjangan Sertifikat HGB.
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1973 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Permohonan Dan Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak Hak Barat.
Pasal 1 menyatakan bahwa:
Tanah hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai asal konversi hak barat yang menurut ketentuan Undang- Undang Nomor 5 tahun 1960 berakhir masa berlakunya pada tanggal 24 September 1980, pada saat berakhirnya hak yang bersangkutan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara dan diselesaikan menurut ketentuan ketentuan dalam Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1979 dan peraturan ini.
Pasal 12 ayat (1) huruf e menyatakan bahwa, diatasnya berdiri suatu bangunan milik bekas pemegang hak, yang didiami/digunakan oleh suatu pihak lain dengan persetujuan pemilik bangunan/bekas pemegang hak.
Surat dan Peraturan yang dikeluarkan Pemerintah dalam menangani masalah aset asing/ cina diantaranya sebagai berikut:
1. Surat Menteri Keuangan Jakarta Nomor S-394/MK.03/1989 tanggal 12 April 1989 tentang Petunjuk Penyelesaian masalah aset Bekas milik asing Cina.
2. Surat Departemen Keuangan Jakarta Nomor S-928/A/51/0397 tanggal 4 Maret 1997 perihal Ralat lampiran I Surat Menteri Keuangan Nomor S-394/MK.03/1989 tanggal 12 April 1989 tentang Petunjuk Penyelesaian Masalah Aset Bekas Milik Asing/Cina, ditujukan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertahanan Keaamanan, Menteri Kehakiman, Menteri Agraria/Kepala BPN dan Kepala Bakorstanah, tercantum, yang semula tertulis, Mengusahakan Penetapan Pengadilan Negeri setempat tentang ketidakhadiran subyek hak terdahul, diralat menjadi, Tidak perlu mengusahakan Penetapan Pengadilan Negeri setempat tentang ketidak hadiran subyek terdahulu.
3. Surat kejaksaan Agung Jakarta Nomor R – 067 /D/Do/01/1997 tanggal 28 Januari 1997 tentang Penanganan Organisasi Eklusif Rasial, ditujukan kepada Distribusi ‘W’ Kejaksaan di Seluruh Indonesia, tercantum, Organisasi yang bersifat eksklusif rasial
adalah perkumpulan, yayasan dan/atau organisasi lain yang memenuhi unsur didirikan dari oleh dan untuk warga negara keturunan asing, lima puluh persen atau lebih pengurus dan atau anggotanya terdiri dari warga negara Indonesia keturunan asing dan pelayanan sosial yang dijalankan hanya terbatas untuk warga negara Indonesia keturunan asing. 16
4. Surat Badan Pertanahan Nasional Jakarta Nomor X. 500 – 87 tanggal 14 Januari 1997 tentang Masalah aset bekas milik asing/Cina, ditujukan kepada Kepala Kanwil BPN dan Kepala Kantor BPN Kab./Kota diseluruh Indonesia. Akhir akhir ini muncul berbagai usaha untuk menghidupkan kembali organisasi esklusif rasial dalam berbagai bentuk serta dengan menggunakan berbagai kegiatan, bahkan menggugat Instansi pemerintah untuk memperoleh kembali bekas asetnya, yang telah dikuasai negara yang jelas bertentangan dengan keputusan Presiden Nomor 240 tahun 1967 tentang kebijaksanaan pokok yang menyangkut warga negara Indonesia keturunan asing, dan oleh karena itu harus dicegah.
5. Surat Edaran Departemen Keuangan Jakarta Nomor SE - 25/A/51/0397 tanggal 4 Maret 1997, ditujukan kepada Kepala Kanwil Ditjen Anggaran dan Kepala KPKN Ibu Kota Propinsi, tercantum.
6. Surat Departemen Sosial Direktorat Jendral Bina Bantuan Sosial Jakarta Nomor 55/Bos/BBS II/97 tanggal 28 Pebruari 1997 tentang Organisasi Esklusif Rasial, Ditujukan Kepada Kepala Kanwil Depsos Propinsi, tercantum, Keberadaan eksklusif rasial dalam berbagai bentuk bentuk tersebut sudah jelas bertentangan dengan Keputusan Presiden RI Nomor 240 tahun 1967 dan oleh karena itu harus dicegah.
7. Surat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan Jakarta Nomor 2841/F1.4/E’96 tanggal 18 Desember 1996 tentang Organisasi Eksklusif Rasial, ditujukan kepada Kepala Bidang Kebudayaan Seluruh Indonesia, tercantum, Keberadaan organisasi eksklusif rasial dalam berbagai bentuk tersebut sudah jelas bertentangan dengan Keputusan Presiden Nomor 240 tahun
16 Surat Kejaksaan Agung No. R – 067 /D/Do/01/1997 tanggal 28 Januari 1997 tentang Penanganan Organisasi Eksklusif Rasial.
1967 tentang Kebijaksanaan Pokok Yang Menyangkut WNI Keturunan Asing, sehingga perlu dicegah perkembangannya.
8. Surat Edaran Departemen Agama Direktorat Jendral Jakarta Nomor H/BA.01.1/203/I/1997 tanggal 31 januari 1997 tentang Pembinaan Organisasi, Yayasan dan Lembaga Sosial Keagamaan, ditujukan kepada Pembimas Budha Kanwil Dep. Agama di seluruh Indonesia, tercantum, keberadaan organisasi eksklusif rasial dalam berbagai bentuk tersebut sudah jelas bertentangan, antara lain dengan Keputusan Presiden Nomor 240 tahun 1967 dan oleh karenanya itu harus dicegah.
9. Surat Departemen Kehakiman Direktorat Jendral Jakarta Nomor C2.UM.01.10-9 tanggal 6 Maret 1997 perihal Persyaratan Pokok Akta Anggaran Dasar Perkumpulan, ditujukan kepada Notaris dan Wakil Notaris di seluruh Indonesia, tercantum, Keputusan Presiden RI Nomor 240 tahun 1967 tanggal 6 Desember 1967 pada prinsipnya menentukan perlunya pelaksanaan asimilasi guna mencegah terjadinya kehidupan eksklusif rasial.
10. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 188/PMK .06/2008 tanggal 20 November 2008 tentang Penyelesaian Aset Bekas Milik Asing/Cina. Peraturan Menteri Keuangan dimaksud diatas sebagai tindak lanjut dari UU Nomor 23 Prp tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya dan Peraturan Penguasa Perang Pusat Nomor Prt/032/Peperpu/1958 tentang Larangan adanya Organisasi yang didirikan oleh dan/atau untuk orang orang warga negara dari negara asing yang tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan negara Republik Indonesia.
11. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.06/2011 tanggal 19 September 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 188/PMK.06/2008 tentang Penyelesaian Aset Bekas Milik Asing/Cina.
Memang negara dapat menciptakan hukum dan melakukan hubungan hukum mengenai hak atas tanah milik perseorangan dengan negara, tetapi negara tidak dibenarkan untuk memiliki tanah.
Hubungan hukum negara dengan tanah masuk kategori benda atau tanah yang dipergunakan bagi umum. Apabila negara dapat memiliki tanah tentu ada beberapa alasan yang dikemukakan diantaranya:
a. adanya hubungan hukum khusus antara negara dengan tanah – tanah yang masuk kategori res publicae in publico usu, yang merupakan penyimpangan dari res publicae in patrimonio benda- benda yang menjadi kekayaan masyarakat umum.
b. kekuasaan hukum yang dijalankan negara terhadap tanah khususnya yang dipergunakan oleh umum, mempunyai isi yang sama dengan kekuasaan yang dilakukan negara terhadap tanah- tanah lain yang digunakan secara tidak terbatas. Isi kekuasaan ini memiliki karakter yang sama dengan kekuasaan dalam milik perseorangan di dalam hukum perdata.
c. tanah yang dipergunakan untuk kepentingan dinas umum seperti bangunan perkantoran pemerintah, termasuk res publicae in publico usu sehingga menjadi milik negara.17
17 Harsono Boedi, Hukum Agraria Indonesia, sejarah penyusunan, Isi dan pelaksanaanya, Djambaran, Jakarta 1975, hlm. 36.
BAB 3
PERMOHONAN SERTIFIKAT
HAK ATAS TANAH BEKAS MILIK ASING CINA
Tanah bekas milik perkumpulan warga asing Cina dapat dijadikan aset negara, apabila perkumpulan tersebut pengurusnya khusus keturunan warga asing Cina, dan atau perkumpulan- perkumpulan Cina terlarang eklusif rasial yang tidak mendukung Program Pemerintah dalam menstabilkan keamanan negara pada saat meletusnya G.30.S PKI tahun 1965. Negara dapat memiliki tanah dengan dikeluarkannya sertifikat hak pakai atas nama Pemerintah RI Cq Departemen/Kementerian yang ditunjuk.
Pengertian Sertifikat sebagai surat berharga adalah Salinan buku tanah dan surat ukur setelah dijilid menjadi satu bersama-sama dengan suatu kertas sampul yang bentuknya ditetapkan oleh menteri agraria. 18 Fungsi sertifikat hak atas tanah, untuk mempermudah bagi seseorang atau badan hukum untuk membuktikan keadaan dari tanahnya, seperti luas tanah, bangunan yang ada, jenis hak dan sebagainya.
Pemerintah dalam menyelamatkan aset negara tentang tanah, saat ini terfokus pada peningkatan hak, bagi tanah tanah aset negara yang belum bersertifikat, hal ini untuk menghindari penyerobotan tanah yang dilakukan oleh masyarakat atau oknum pejabat negara, dalam penerbitan sertifikat hak atas tanah, dan untuk aset inventarisasi negara/kekayaan negara diterbitkan dengan Sertifikat hak pakai, dengan pemilikan Sertifikat hak pakai atas nama Pemerintah RI Cq Departemen yang menguasai/menggunakan tanah tersebut, pejabat Pemerintah memberikan nama tanah milik negara atau aset milik negara, sebagai bahan laporan Presiden pada saat sidang paripurna untuk pertanggungjawaban Presiden tentang semua aset negara didepan DPR RI.
Sertifikat Hak Pakai adalah, hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang
18 Pasal 13 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaf- taran Tanah.
berwenang memberikan atas dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang ini. 19
Makna hak pakai dapat diartikan berbagai hak-hak untuk menggunakan dan memungut hasil dari tanah yang bukan kepunyaan sendiri. Sedangkan tanah bersangkutan adalah tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau menjadi milik orang lain dan yang dapat mempunyai hak pakai adalah:
a. warga negara Indonesia.
b. orang asing yang berkedudukan di Indonesia.
c. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
d. badan-badan hukum asing, yang mempunyai perwakilan di Indonesia.20
Negara dalam memperoleh tanah untuk dijadikan aset inventarisasi kekayaan negara melalui Departemen yang memerlukan tanah atau jajaran bawahan yang dipimpinnya, harus mengajukan permohonan kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat untuk diajukan Sertifikat hak pakai atas nama pemegang hak Pemerintah RI Cq Departemen yang memerlukan tanah. Proses pengajuan permohonan Sertifkat Hak Pakai atas nama Pemerintah RI Cq Departemen yang ditunjuk diantaranya sebagai berikut:
1) pimpinan/Kepala Instansi yang lebih tinggi menguasakan proses pengurusan Sertifikat hak pakai kepada pimpinan/kepala bawahannya yang mewilayahi tanah yang akan dimohon, atau pimpinan/kepala Instansi bawahannya yang menempati tanah mengajukan permohonan sendiri.
2) surat kuasa sebagaimana tersebut huruf (a) tersebut diatas dilampiri Surat keputusan jabatan, yang berisi bahwa pimpinan tersebut betul betul sebagai Pimpinan/Kepala Kantor.
3) pimpinan Kepala Kantor sebagaimana tersebut pada huruf ( b) memerintahkan kepada staf pegawai bawahan yang membidangi, dibekali dengan surat perintah untuk pengurusan Sertifikat hak pakai.
19 Lihat Pasal 41 ayat (1) UUPA No. 5 Tahun 1960.
20 Lihat Pasal 42 UUPA No. 5 Tahun 1960.
4) staf yang ditugaskan oleh Pimpinan/Kepala untuk pengurusan Sertifikat hak pakai, datang ke Kantor BPN setempat untuk membeli blanko permohonan hak pakai atas nama Instansi Pemerintah.
5) blanko permohonan hak pakai dibawa ke Kantor untuk ditunjuk- kan kepada Pimpinan/Kepala yang memberi tugas perintah, apabila pimpinan/kepala setuju, selanjutnya blanko diketik atau ditulis tangan untuk ditanda tangani oleh pimpinan/kepala yang memerintah dan distempel dinas dan sebagian ada yang bermaterai tetap dibubuhi stempel dinas apabila menggunakan nama jabatan.
6) blanko permohonan sertifikat hak pakai sudah ditandatangani oleh pimpinan/Kepala, berikutnya staf yang diperintahkan untuk pengurusan sertifikat hak pakai, melengkapi lampiran permo- honan diantaranya berisi:
a. dokumen data yang dimilki oleh Instansi yang mengajukan permohonan tersebut, seperti gambar situasi tanah, IMB, pajak PBB, bukti berdirinya bangunan gedung dan lain lain dilegalisir untuk memperkuat, bahwa tanah yang dimohon instansi tersebut betul-betul digunakan untuk kepentingan dinas sebagai penyelenggara negara dibidang pemerintahan.
b. surat keterangan dari camat atau kepala desa/kelurahan se- tempat, yang menerangkan bahwa, tanah tidak dalam keadaan sengketa, tidak terdaftar dalam buku letter C desa/kelurahan dan keterangan lain yang dapat memperkuat terkabulnya permohonan.
c. foto copy KTP Pimpinan/Kepala yang memberikan surat pe- rintah kepada staf/bawahan, yang telah dilegalisir oleh camat atau kepala Desa/Lurah dimana kartu tanda penduduk (KTP) dikeluarkan.
d. foto copy Peraturan/Surat keputusan atau Keputusan Penga- dilan yang mempunyai kekutan hukum tetap yang telah dilegalisir oleh instansi yang berwenang, yang berhubungan dengan tanah yang dimohon.
7) blanko permohonan dibawa ke BPN untuk diteliti oleh pejabat BPN setempat bagian penerbitan Sertifikat hak pakai atas nama Instansi Pemerintah.
8) berkas permohonan sudah dianggap lengkap oleh pejabat peneliti berkas, berikutnya pemohon membayar biaya pengukuran ke kas negara atas bidang tanah dan dapat juga bersamaan membayar biaya Tim peneliti tanah.
9) BPN setempat melalui pejabat bagian sertifikat hak pakai atau bagian pengukuran dalam waktu beberapa hari, memberitahukan kepada pemohon bahwa bidang tanah yang dimohon akan diadakan pengukuran.
10) BPN setempat melalui pejabat Tim peneliti tanah dalam waktu beberapa hari setelah diadakan pengukuran dan gambar Situasi tanah/Surat Keterangan Pendaftaran tanah (SKPT) sudah selesai, memberitahukan kepada pemohon bahwa dalam waktu hari tidak terlalu lama, Tim Peneliti tanah akan datang ke lokasi tanah yang dimohon, untuk diterbitkan berita acara.
11) BPN dalam waktu hari yang tidak terlalu lama, apabila tidak ada sanggahan/keberatan dari pihak lain, menerbitkan Surat Keputusan pemberian hak pakai kepada Instansi/Kantor yang memohon hak atas tanah.
12) Pemohon setelah menerima Surat keputusan dari BPN tentang pemberian hak pakai atas tanah, untuk diatas namakan Peme- rintah RI Cq Deparrtmen yang mengajukan permohonan, selan- jutnya pemohon mendaftarkan permohonan ke BPN setempat, dilampiri Surat keputusan pemeberian hak dari BPN tersebut, untuk mendapatkan Sertifikat.
13) Dalam waktu tidak terlalu lama, BPN menerbitkan Sertifikat hak pakai atas nama Pemerintah RI Cq Departemen yang mengaju- kan permohonan. 21
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu, dalam Pasal 5 huruf (f) menyatakan bahwa, Kepala Kantor Per-tanahan memberi keputusan mengenai, semua pemberian hak pakai aset Pemerintah (Pusat dan Daerah), kecuali hak pengeloaan
21 Data Permohonan dan wawancara diperoleh dari Staf hak Pakai (HAT) atas nama Instansi Pemerintah pada Kantor BPN Kota Madiun bulan November 2009.
(HPL), aset BUMN dan tanah kedutaan/perwakilan diplomatik negara lain.
Pemerintah melalui Kepala Badan Pertanahan Nasional telah menerbitkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2012 tersebut diatas, sebagai langkah yang tepat pemerintah untuk mempermudah pensertifikatan hak pakai atas nama pemegang hak Pemerintah Cq Kementerian yang mengajukan, hal ini sebagai bentuk penyelamatan atas tanah-tanah aset negara yang sering menimbulkan permasalahan antara rakyat dengan pejabat peme- rintah.
Terjadinya permasalahan aset negara, disebabkan pejabat negara dari masing-masing Departemen melaporkan data aset kepada Menteri Keuangan Cq Kepala Kantor DJKN tingkat Propinsi, karena data laporan tidak sesuai dengan data fisik bidang tanah, sehingga Menteri Keunagan menduga, ada sebagian aset negara yang hilang dikarenakan ada penyerobotan yang dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab baik, dari rakyat, maupun dari oknum pejabat negara, untuk kepentingan pribadi, memperkaya diri sendiri atau orang lain, perbuatan masyarakat dan oknum pejabat inilah yang sering menjadi sengketa tanah aset bekas milik asing Cina yang sebetulnya adalah tanah bekas peninggalan hak-hak barat, karena tanah bekas aset asing Cina dikenal sejak tahun 1989, dengan diterbitkannya Surat Menteri Keuangan No. S. 394/MK.03/1989 tentang petunjuk penyelesaian masalah Aset Bekas Milik Asing/Cina.
Menurut teori kepastian hukum tanah bekas milik asing Cina yang menjadi sebab sumber terjadinya sengketa harus diluruskan, karena masyarakat memerlukan tatanan hukum berupa peraturan perundang-undangan untuk keadilan, ketertiban masyarakat pada umumnya, bukan pejabat negara yang ada di Departemen masing- masing bersama Menteri Keuangan dan jajaranya, melakukan tuduhan kepada oknum pejabat negara bersama dengan masyarakat, melakukan tindakan kejahatan penyerobotan tanah bekas aset asing Cina, yang mengakibatkan hilangnya aset Negara, hal ini terjadi karena tidak adanya kepastian hukum.
Penegakan supremasi hukum merupakan harapan dari seluruh komponen bangsa, negara, dan masyarakat yang sejak awal terbentuknya negara Indonesia, bangsa Indonesia telah sepakat
untuk menempatkan hukum sebagai Panglima Tertinggi, sehingga menempatkan negara Indonesia sebagai negara hukum seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945, dari hasil berubahan keempat pada Pasal 1 ayat (3) menyatkan bahwa, Negara Indonesia adalah Negara hukum.
Tanah bekas milik asing Cina diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No.188/PMK .06/2008 tentang Penyelesaian Aset Bekas Milik Asing Cina, tetapi peraturan ini banyak menimbulkan konplik sengketa tanah dalam penerapannya, menurut promovendus tanah bekas milik asing Cina dapat diselesaikan dengan:
a. Terhadap tanah yang sertifikat hak guna bangunannya sudah berakhir haknya atas nama pemegang hak Warga Negara Indonesia keturunan Cina atau Cina yang Sudah Warga Negara Indonesia dan berdomisili di Indonesai, harus dikembalikan kepada bekas pemegang hak dengan cara, bekas pemegang hak mengajukan permohonan pembaharuan/perpanjangan hak kepada Kepala Kantor BPN setempat, yang dulu pernah menerbitkan Sertifikat hak guna bangunan tersebut. Berikutnya Kepala Kantor BPN setempat membuat berita acara untuk dikirim kepada Kepala Kantor Direktur Jendral Kekayaan Negara (DJKN) di tingkat Propinsi, yang menyatakan bahwa tanah bekas milik warga asing Cina yang dimohon oleh bekas pemegang hak tersebut diatas benar-benar berasal dari, milik Warga Negara Indonesia keturunan Cina atau Cina yang sudah Warga Negara Indonesia dan berdomisili di Indonesia. Selanjutnya Kepala Kantor Direktur Jendral Kekayaan Negara mengeluarkan rekomendasi persetujuan bahwa tanah bekas milik warga asing cina tersebut dikeluarkan dari daftar lampiran Peraturan Menteri Keuangan No.188/PMK .06/2008, untuk berikutnya Kepala Kantor DJKN mengirim berkas berita acara yang didapat dari Kepala Kantor BPN setempat tersebut kepada Menteri Keuangan Jakarta, dengan tidak terlalu lama Menteri Keuangan mencoret/menghapus dari daftar lampiran Peraturan Menteri Keuangan No.188/PMK .06/2008.
b. Terhadap tanah yang sertifikat hak guna bangunannya sudah berakhir haknya atas nama pemegang hak Warga Negara Indonesia keturunan Cina atau Cina yang Sudah Warga Negara Indonesia dan berdomisili di Indonesia, tetapi ditempati oleh
masyarakat, aset tersebut harus tetap dikembalikan kepada bekas pemegang hak dengan cara, bekas pemegang hak memberikan ganti rugi pemindahan kepada masyarakat yang menempati, apabila pemberian ganti rugi pengosongan pemindahan tanah dan bangunan sudah disepakati antara masyarakat dengan bekas pemegang hak, untuk selanjutnya bekas pemegang hak mengajukan permohonan pembaharuan hak, kepada Kepala Kantor BPN setempat, yang dulu pernah menerbitkan Sertifikat hak guna bangunan tersebut, karena tanah dan bangunan milik bekas pemegang hak terdaftar dalam lampiran Peraturan Menteri Keuangan No.188/PMK .06/2008. Berikut Kepala Kantor BPN setempat membuat berita acara untuk dikirim kepada Kepala Kantor Direktur Jendral Kekayaan Negara (DJKN) di tingkat Propinsi, yang menyatakan bahwa tanah bekas milik warga asing Cina yang dimohon oleh bekas pemegang hak tersebut diatas, benar-benar milik Warga Negara Indonesia keturunan Cina atau Cina yang Sudah Warga Negara Indonesia dan berdomisili di Indonesai. Selanjutnya Kepala Kantor Direktur Jendral Kekayaan Negara ( DJKN) mengeluarkan rekomendasi persetujuan bahwa tanah bekas milik warga asing Cina tersebut dikeluarkan dari daftar lampiran Peraturan Menteri Keuangan No.
188/PMK.06/2008, untuk berikutnya Kepala Kantor DJKN mengirim berkas berita acara yang didapat dari Kepala Kantor BPN setempat tersebut, untuk diteruskan kepada Menteri Keuangan Jakarta, dengan tidak terlalu lama Menteri Keuangan mencoret/menghapus dari daftar lampiran Peraturan Menteri Keuangan No.188/PMK.06/2008, setelah semua syarat syarat dan proses terpenuhi, Kepala BPN setempat menerbitkan pembaharuan penerbitan sertifikat hak guna bangunan atau dapat ditingkatkan menjadi sertifikat hak milik. Terhadap tanah bekas aset asing Cina yang telah terbit sertifikat hak milik atas nama pembeli, berasal dari pembelian tanah Sertifikat hak guna bangunan yang sudah berakhir haknya atas nama pemegang hak terdahulu, yaitu Warga Negara Indonesia keturunan Cina atau Cina yang sudah Warga Negara Indonesia dan berdomisili di Indonesai, tetapi tanahnya terdaftar dalam lampiran Peraturan Menteri Keuangan No.188/PMK.06/2008 tentang penyelesaian aset bekas milik asing Cina. Kepemilikan atas tanah tersebut dapat
dipertahankan, karena hak milik adalah hak turun temurun terkuat terpenuhi dan tanah hak milik dapat diperjual belikan kepada pihak lain atau diwariskan kepada ahli waris.
Permasalahan timbul setelah pemilik tanah dan bangunan rumah meninggal dunia, ahli waris tidak dapat mengadakan pembagian waris, karena tanahnya terdaftar dalam lampiran Peraturan Menteri Keuangan No.188/PMK.06/2008 tentang penyelesaian aset bekas milik asing Cina. Menurut Promovendus dapat diselesaikan dengan cara, Ahli waris dari almarhum pemegang Sertifikat hak milik mengajukan permohonan penghapusan dari daftar lampiran Peraturan Menteri Keuangan No.
188/PMK.06/2008 melalui Kepala Kantor BPN setempat yang menerbitkan Sertifikat hak milik tersebut. Selanjutnya Kepala Kantor BPN setempat, membuat berita acara yang dilampiri foto copy sertifikat hak milik dan surat keterangan waris yang menyatakan bahwa, tanah dan bangunan yang terdaftar dalam lampiran Peraturan Menteri Keuangan No. 188/PMK.06/2008 telah terbit Sertifikat hak milik, berikutnya berita acara dikirimkan kepada Kepala Kantor Direktur Jendral Kekayaan Negara (DJKN) di tingkat Propinsi, untuk diteruskan kepada Menteri Keuangan, dalam waktu tidak terlalu lama Menteri Keuangan harus mencoret/menghapus dari daftar lampiran Peraturan Menteri Keuangan No.188/PMK .06/2008, setelah mendapat jawaban pencoretan dari Menteri Keuangan Kepala BPN setempat harus mengabulkan pemecahan Sertifikat hak milik, untuk diatas namakan masing-masing ahli waris.
c. Terhadap tanah bekas milik warga asing Cina yang sertifikat hak guna bangunannya atas nama pemegang hak yayasan/perkumpulan organisasi sosial Cina yang pelayanannya mencakup semua warga Indonesia yang beraskan Pancasila dan UUD 1945, tetapi tanahnya terdaftar dalam lampiran Peraturan Menteri Keuangan No. 188/PMK .06/2008, Menteri Keuangan harus mengembalikan kepada bekas pemegang hak dengan cara, Ketua Yayasan/Perkumpulan mengirim Surat Permohonan kepada Menteri Keuangan perihal Penghapusan dari daftar lampiran Peraturan Menteri Keuangan No. 188/PMK .06/2008 tentang Penyelesaian aset bekas Milik asing/Cina, untuk berikutnya Menteri Keuangan membentuk Tim Panitia
penyelesaian bekas tanah aset asing Cina yang terdiri dari, Kepala BPN Propinsi, Menteri Hukum Ham yang dapat dilimpahkan kewenangannya kepada Hukum Ham Propinsi, Kepala Kantor PBB Propinsi, Kejaksaan setempat, Kepolisian setempat, Kehakiman setempat dan Pemerintah Daerah /Kota setempat.
d. Terhadap tanah bekas milik warga asing Cina yang sertifikat hak guna bangunan atas nama pemegang hak Yayasan/Perkumpulan Organisasi eksklusif rasial, yang didirikan oleh dan untuk keturunan asing, lima puluh persen lebih atau pengurusnya terdiri dari warga Indonesia keturunan Asing dan pelayanan sosial yang dijalankan hanya terbatas untuk warga Negara Indonesia keturunan asing, tetapi tanahnya terdaftar dalam lampiran Peraturan Menteri Keuangan No. 188/PMK .06/2008. Tanah bekas aset asing Cina eksklusif rasial tersebut diatas dapat dijadikan aset negara, untuk dan atas nama Instansi departemen yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, dengan ketentuan Instansi Departemen yang bersangkutan benar-benar menempati tanah bangunan secara terus menerus selama kurang lebih 20 tahun, 22 tanah dapat diproses menjadi sertifikat hak pakai atas nama Instansi departemen yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan penjelasan sebagai berikut, Tanah bekas perkum- pulan/organisasi Cina terlarang eksklusif rasial yang telah terdaftar dalam lampiran Peraturan Menteri Keuangan No.
188/PMK .06/2008, tidak serta merta langsung didaftarkan ke Kepala Kantor BPN setempat, untuk diterbitkan Sertifikat hak pakai atas nama Instansi Departemen yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, karena Menteri Keuangan tidak mempunyai kewe- nangan mengambil alih aset milik pihak lain atau tidak berwenang mengatur perolehan aset untuk diberikan pihak lain, dan Menteri Keuangan bukan Pengadilan yang berwenang untuk memutuskan atau memberikan aset yang bukan miliknya kepada pihak lain. Tanah yang terdaftar dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 188/PMK .06/2008, dan dimantapkan status hukumnya untuk dan atas nama Instansi Departemen yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, yang tepat adalah, hanya digunakan sebagai alat bukti Pemerintah Cq Departemen yang
22 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.