STATUS TANAH BEKAS MILIK WARGA ASING CINA
7. Masa Orde Lama dan Orde Baru
Orde baru mewarisi situasi nasional dalam keadaan perekonomian negara yang dinilai sebagai penyimpangan dasar dari Sila-sila Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Langkah utama dan pertama orde baru dalam usaha menyelamatkan bangsa dan negara dalam bidang ekonomi adalah dengan mengubah kebijakan pembangunan nasional.
Pada zaman orde lama yang diutamakan adalah pemba-ngunan bidang pertanian, dengan berusaha memberdayakan rakyat petani. Berbeda dengan orde lama, orde baru mengutamakan pertumbuhan melalui pembangunan industri pengolahan bahan-bahan baku yang berasal dari impor. Pertumbuhan dan pemba-ngunan industri tersebut memerlukan jumlah modal yang besar, yang hanya dipunyai oleh golongan ekonomi kuat nasional dan asing. Dalam strategi yang demikian pemerintah harus memikirkan cara untuk memberi jaminan agar modal (asing) tersebut selamat sehingga mendapat kepercayaan dari negara-negara penanam modal, cara menjamin keselamatan itu adalah mementapkan stabilitas nasional.
Orde baru telah menggeser sistem politik Indonesia dari titik ekstrim otoriter pada zaman demokrasi terpimpin ke sistem demo-krasi liberal. Dalam kenyataannya liberalian tidak berlangsung lama, sebab disamping merupakan reaksi terhadap sistem otoriter yang hidup sebelumnya, sistem ini hanya ditolerir selama pemerintah mencari format baru politik Indonesia. Segera setelah format baru
66 AP. Parlindungan, Beberapa Masalah Dalam UUPA (Undang-Undang Po-kok Agraria), Mandar Maju, Bandung, 1993, hlm. 43.
67 Siryooti Kanrikoosya adalah sebuah instansi yang menguasai tanah-tanah partikelir dibentuk berdasarkan Undang-Undang bala Tentara Jepang nomor 17 tahun 1942 tanggal 1 Juni 1942. Sejak undang-undang tersebut berlaku, semua tanah partikelir dinyatakan sebagai milik pemerintah Jepang tetapi tanah-tanah yang dimiliki oleh bangsa Indonesia untuk sementara waktu tetap seperti biasa.
68 Departemen Dalam Negeri Direktorat Jenderal Agraria, Buku Tuntutan Bagi Pejabat Pembuat Akte Tanah, Yayasan Budaya Bina Sejahtera, Jakarta, 1981, hlm. 673.
terbentuk, sistem liberal bergeser lagi ke sistem otoriter. Realita orde baru telah memperlihatkan tradisi dan budaya politik Jawa yang berkarakter patrimonial dimana jabatan dan seluruh susunan birokrasi didasarkan pada hubungan personal atau patron client, dalam karakter patrimonial, pemegang kekuasaan dan segala kekuasaannya dilihat sebagai satu kesatuan.
Pengaruh dimensi kelas pada politik terlalu lemah untuk mendobrak hubungan-hubungan patron client. Orde baru cenderung menjadi negara hegemonik-birokratis dan korporatis karena adanya kesadaran dikalangan elit politik mengenai kenyataan ekonomi politik (seperti keterbelakangan dan ketergantungan pada sistem internasional dan bosan dengan kericuhan-kericuhan politik domestik) sehingga elit politik tidak sabar. Elit penguasa pada waktu itu yakin, bahwa ketertiban politik adalah kunci utama dalam mengejar berbagai ketertinggalan Indonesia dari negara-negara lain terutama untuk memulai pembangunan ekonomi dengan cepat. Para era orde baru lembaga perwakilan berada di posisi yang lemah sehingga hampir semua produk legalisasi yang disahkan lembaga perwakilan berasal dari usul pemerintah. Pada umumnya lembaga perwakilan hanya melakukan perbaikan semantik (tidak prinsip) atas rancangan-rancangan yang disampaikan oleh pemerintah. Dalam proses pembuatan keputusan legilasi tampak dengan jelas betapa dominasi pemerintah bukan hanya dalam pengelolaan eksekutif, tetapi juga dalam kegiatan legislatif. Pemerintah orde baru tidak lagi bertugas menghadapi tuntutan untuk membuat hukum agraria nasional, sebab tugas tersebut sudah selesai ketika UUPA telah diundangkan pada 24 September 1960. Pada era orde baru sampai dengan 1992, telah dilahirkan produk hukum dalam bentuk undang-undang dalam bidang pemilu dan pemerintahan daerah, tetapi tidak dalam bidang hukum agraria. Setelah diundangkannya UUPA tidak ada lagi produk hukum agraria nasional baru yang komprehensif sebab UUPA sudah menumpang gagasan unifikasi yang mempunyai jangkauan untuk jangka panjang, pada masa orde baru produk hukum agraria lebih banyak berupa produk yang lebih bersifat parsial dalam rangka melaksanakan UUPANo. 5 tahun 1960. Prinsip yang dituntut oleh pemerintah orde baru adalah bagaimana merealisasikan tuntutan yuridis yang berkaitan dengan berlakunya UUPA. Tuntutan tersebut apabila dibulatkan dan dikaitkan dengan
keharusan pemerintah untuk membuat peraturan-peraturan lanjutan yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam ruang lingkup UUPA No. 5 tahun 1960. Bahkan sampai saat ini UUPA dinilai masih memiliki jiwa dan semangat yang tetap relevan dengan tuntutan perkembangan zaman, sebab masih relevan dan dapat menyele-saikan berbagai masalah yang muncul.
Hal semacam inilah yang kemudian sering menimbulkan masalah sosial yang bisa diidentifikasi sebagai masalah tanah.
Persoalan yang dihadapi oleh pemerintah pada masa orde baru bukanlah bagaimana mengubah UUPA, tetapi bagaimana melaksana-kan UUPA agar dapat mengakomodasimelaksana-kan masalah-masalah yang kini muncul. Hal inilah yang kemudian sering menimbulkan masalah sosial yang dapat diidentifikasikan sebagai masalah tanah. Kebijakan tersebut memang berhasil meningkatkan kemakmuran sebagian rakyat Indonesia. Kenaikan kemakmuran bagi segolongan rakyat yang menikmati hasil bangunan, menumbuhkan kegiatan-kegiatan dan fasilitas-fasilitas jasa dalam memenuhi kebutuhan rakyat yang bersangkutan.
Proyek-proyek industri, perumahan, jasa dan perkebunan kesemuanya memerlukan tanah tersebut, pemerintah orde baru mengeluarkan serangkaian peraturan perundangan yang menye-diakan berbagai fasilitas dan sarana untuk memudahkan perolehan, penguasaan dan penggunaan tanah-tanah yang diperlukan. Tanah-tanah tersebut umumnya merupakan Tanah-tanah-Tanah-tanah yang dimiliki oleh rakyat kecil yang bekerja sebagai petani serta tanah hak ulayat yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat yang berupa hutan. Pertum-buhan yang memerlukan keikutsertaan para pemilik modal, dalam perolehan tanah tanah yang dibutuhkan untuk itu umumnya kepen-tingan para pemilik tanah kurang diperhatikan.
Pada masa orde baru tuntutan pembangunan nasional semakin memperbesar kapasitas tuntutan atas tanah dan volume pengembalian tanah dari masyarakat. Hal ini menjadi masalah karena kriteria kepentingan umum sebagai alasan pencabutan hak belum diatur dalam peraturan perundang-undangan yang propor-sional. Sehubungan dengan hal ini, maka pada tahun 1973, Presiden mengeluarkan Inpres Nomor 9 Tahun 1973 yang berisi pedoman jenis-jenis kegiatan yang dapat dikategorikan kepentingan umum, secara material Inpres tersebut dapat dipakai tetapi secara formal
tidak harus pakai keseluruhan, seharusnya materi yang begitu penting tidak hanya diatur dalam sebuah inpres yang biasanya hanya bersifat teknis.
Secara teoritis, materi Inpres tersebut seharusnya diatur dengan undang-undang, karena menyangkut hak rakyat banyak.
Pemberian bentuk inpres atas kriteria “kepentingan umum” lebih merupakan tindakan progmatis pemerintah dalam melancarkan program-programnya. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa produk-produk parsial dalam lapangan hukum agraria pada era orde baru ditandai oleh dua hal, pertama, lambannya pembuatan terhadap materi-materi yang seharusnya disesuaikan dengan keadaan; kedua, adanya kecenderungan pragmatisme untuk melancarkan program-program pemerintah, sehingga dibuat produk peraturan yang sebenarnya tidak proporsional karena seharusnya dibuat oleh lembaga yang lebih mempunyai kewenangan.
Kecenderungan pragmatisme ini merupakan konsekuensi logis dari paradigma pembangunan ekonomi yang dianut peme-rintah orde baru. Menurut Nurhasan Ismail, hukum pertanahan pada periode orde baru sampai dengan sekarang cenderung menciptakan keadilan distributif artinya hukum pertanahan menekankan pem-berian tanah kepada siapapun yang mampu memberikan konstribusi dari kenyataan itu terhadap pengembangan kegiatan usaha dan peningkatan produksi.
Menurut Moh. Mahfud MD, pada era orde baru tidak ada lagi produk baru hukum agraria nasional karena produk periode sebelumnya yang memiliki karakter responsif masih terus diberla-kukan. Apabila pemberian kualifikasi harus diberikan terhadap pro-duk agraria pada periode ini dapat dilakukan terhadap propro-duk hu-kum secara parsial. Ada kecenderungan untuk keperluan pragmatis pada era orde baru ini dibuat beberapa peraturan perundangan agraria secara parsial dengan watak yang konservatif.69 Kecende-rungan ini terlihat, misalnya dengan adanya Peraturan Menteri
69 Produk hukum yang konservatif lebih didominasi oleh lembaga-lembaga negara terutama pihak eksekutif (sentralistis) dan lebih mencerminkan ke-hendak atau memberikan justifikasi bagi pokok-pokok dan ambigu sehingga memberi peluang luas bagi pemerintah untuk membuat penafsiran secara sepihak melalui berbagai peraturan pelaksana (interpretatif). Lihat juga Moh. Mahfud MD, dalam pergulatan politik era orde baru.
Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 dan Inpres Nomor 9 Tahun 1973, kedua peraturan perundang-undangan ini apabila dilihat dari materinya lebih proporsional untuk dituangkan dalam bentuk undang-undang, akan tetapi tuntutan pragmatis telah membawa pemerintah untuk melahirkannya hanya dalam bentuk peraturan menteri dan intruksi presiden.
BAB 9