• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKNA AL-JAHL DALAM AL-QUR AN (Pembacaan melalui Metodologi Semantik Toshihiko Izutsu)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "MAKNA AL-JAHL DALAM AL-QUR AN (Pembacaan melalui Metodologi Semantik Toshihiko Izutsu)"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

MAKNA AL-JAHL DALAM AL-QUR’AN

(Pembacaan melalui Metodologi Semantik Toshihiko Izutsu)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam

Universitas Islam Negeri Sunan KalijagaYogyakarta Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar

Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:

Muhammad Ahyat Ajdal Umam NIM. 15530058

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA

2019

(2)

ii

(3)

iii

(4)

iv

(5)

v

Motto:

ُميِكَحْلا ُميِلَعْلا َتْنَأ َكانِإ ۖ اَنَتْمالَع اَم الَِّإ اَنَل َمْلِع َلَّ َكَناَحْبُس اوُلاَق

"Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada satupun ilmu yang kami miliki selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui

lagi Maha Bijaksana".

(QS. Al-Baqarah: 32)

(6)

vi

P e r s e m b a h a n

Teruntuk kedua orang tua, guru-guru, teman-teman dan siapapun yang telah berjasa dalam hidupku

HALAMAN PERSEMBAHAN

(7)

vii

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Pedoman Transliterasi Arab-Latin ini merujuk pada SKB Menteri Agama dan dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, tertanggal 22 Januari 1988 No:

158/1987 dan 0543b/U/1987.

I. Konsonan Tunggal

Huruf

Arab Nama Huruf Latin Keterangan

ا

Alif tidak dilambangkan tidak dilambangkan

ة

Ba B Be

ث

Ta T T

ث

ṡa ṡ es titik di atas

ج

Jim J Je

ح

ḥa ḥ ha titik di bawah

خ

Kha Kh ka dan ha

د

Dal D De

ذ

Zal Ż zet titik di atas

ر

Ra R Er

ز

Zai Z Zet

ش

Sin S Es

ش

Syin Sy es dan ye

ص

ṣad ṣ es titik di bawah

ض

ḍad ḍ de titik di bawah

ط

ṭa ṭ te titik di bawah

(8)

viii

ظ

ẓa ẓ zet titik dibawah

ع

Ain ...„... koma terbalik (di atas)

غ

Gain G Ge

ف

Fa F Ef

ق

Qaf Q Qi

ك

Kaf K Ka

ل

Lam L El

و

Mim M Em

ٌ

Nun N N

و

Wawu W We

ِ

Ha H Ha

ء

Hamzah ...‟... Apostrof

ي

Ya Y Ye

II. Konsonan Rangkap karena Syaddah Ditulis Rangkap

ٍيدّقعتي ةّدع

Ditulis Ditulis

Muta`aqqidīn

`iddah

III. Ta Marbutah di akhir kata 1. Bila dimatikan ditulis h

تبْ

تيسج

Ditulis Ditulis

Hibbah Jizyah

(ketentuan ini tidak diperlakukan terhadap kata-kata Arab yang sudah terserap ke dalam bahasa Indonesia, seperti shalat, zakat, dan sebagainya, kecuali bila dikehendaki lafal aslinya).

(9)

ix

Bila diikuti dengan kata sandang "al" serta bacaan kedua itu terpisah, maka ditulis dengan h.

ءبينولأا ّيارك Ditulis karāmah al-auliyā

2. Bila ta marbutah hidup atau dengan harkat, fathah, kasrah, dan dammah ditulis t.

رطفناةبكز Ditulis zakātul fiṭri

IV. Vokal Pendek

kasrah fathah dammah

Ditulis ditulis ditulis

I a u

V. Vokal Panjang fathah + alif

تيهْبج fathah + ya mati

ىعسي kasrah + ya mati

ىيرك

dammah + wawu mati ضورف

Ditulis ditulis ditulis ditulis ditulis ditulis ditulis ditulis

A jāhiliyyah

a yas'ā

i karīm

u furūḍ

VI. Vokal Rangkap fathah + ya' mati

ىكُيب

fathah + wawu mati لوق

Ditulis ditulis ditulis ditulis

Ai bainakum

au qaul

VII. Vokal Pendek yang Berurutan dalam Satu Kata Dipisahkan dengan Apostrof

(10)

x ىتَأأ

ثدعأ ىتركش ٍئن

Ditulis ditulis ditulis

a'antum u'iddat la'in syakartum VIII. Kata Sandang Alif + Lam

a. Bila diikuti huruf Qamariyah

ٌأرقنا شبيقنا

Ditulis Ditulis

al-Qur'ān al-Qiyās

b. Bila diikuti huruf Syamsiyah ditulis dengan menggandakan huruf Syamsiyah yang mengikutinya, serta menghilangkan huruf (el)-nya.

ءبًسنا صًشنا

Ditulis Ditulis

as-samā asy-syams

IX. Penulisan Kata-Kata dalam Rangkaian Kalimat ضورفنا يوذ

تُسنا مْأ

Ditulis Ditulis

żawi al-furūḍ ahl as-sunnah

(11)

xi

KATA PENGANTAR

Bismilālh, Alhamdulillāhi rabbil‘ālamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua, lebih khusus kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini berkat-Nya.

S}alawat dan salam senantiasa tercurah kepada Baginda Rasulullah SAW yang mengantarkan manusia dari zaman kegelapan ke zaman yang terang benderang ini.

Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi sebagian syarat- syarat guna mencapai gelar Sarjana Agama di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan judul: “KONSEP AL-JAHL DALAM AL-QUR‟AN (ANALISIS SEMANTIK TOSHIHIKO IZUTSU.” Selain itu, penulis juga memiliki tujuan untuk memberikan sumbangsih dalam dunia penafsiran.

Selama penulisan skripsi ini, tentunya penulis mendapat banyak bantuan dari berbagai pihak yang telah membimbing, memberikan semangat, mendukung moril dan materil kepada penulis. asih yang tulus serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Prof. Drs. KH. Yudian Wahyudi, M.A., Ph.D. selaku Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sekaligus narasumber penulis yang rela meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk kelancaran penulisan tugas akhir ini.

2. Dr. Alim Ruswantoro, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam.

(12)

xii

3. Dr. H. Abdul Mustaqim, S.Ag.,M.Ag. selaku Kepala Program Studi Ilmu al-Qur„an dan Tafsir sekaligus sebagai Dosen Pembimbing Akademik.

4. Dr. Mahfudz Masduki, M.A. sebagai pembimbing Skripsi penulis yang senantiasa sabar meluangkan waktu, memberi masukan serta arahan kepada penulis.

5. Bapak saya Sahibul Rahman, Ibu saya Apong Hasanah, Mas Arief Rahman, Mas Imron Syafi‟i, Adik saya M. Nur Fuad Kamal Ramadhan dan Husnul Amaliyah, serta seluruh keluarga besar penulis, terima kasih atas curahan kasih sayang, dorongan doa, nasihat, motivasi, dan juga pengorbanan materilnya selama penulis menempuh studi di Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

6. Bapak K.H. Nilzam Yahya, KH. Zaky Muhammad, KH. Hilmy Muhammad dan lain-lain selaku guru yang telah memberikan inspirasi kepada penulis di Pondok Pesantren Krapyak Yayasan Ali Maksum.

7. Seluruh dosen-dosen di jurusan Ilmu al-Qur‟andan Tafsir tanpa terkecuali.

Terimakasih atas segala ilmunya, semoga dapat bermanfaat dan berkah ilmunya.

8. Seluruh Staff TU Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, yang telah membantu dan memudahkan proses mahasiswa melaksanakan tugas akhir.

9. Seluruh guru-guru, baik di sekolah formal, maupun di pondok pesantren, hormat ta‘z}im untuk beliau semua.

(13)

xiii

10. Teman berbincang, teman diskusi, segenap dewan pembimbing MTs. Ali Maksum, dan teman-teman sejawat lainmnya yang senantiasa menginspirasi penulis dalam penulisan tugas akhir ini, dan Semua teman yang turut menyumbangkan waktu, tenaga dan pikiran demi kelancaran tugas akhir ini, terima kasih adalah sesuatu yang pantas untuk diberikan kepada seluruhnya, serta teman-teman lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah memberikan motivasi, dan sumbangsih dalam penulisan tugas akhir ini, baik secara disengaja maupun tidak.

11. Teman-teman IAT angkatan 2015 yang telah membantu penulis dalam melewati proses selama masa perkuliahan. Terima kasih atas kebersamaan, suka-duka, canda dan tawa ktia. kalian adalah keluarga tanpa ikatan nasab.

Terutama kepada Richa Zaharah, Abidiyah Kamila, Imroatul Auliya, Ruqayyah Atsna Rofi‟ah, Rafflessia Yasin, Haris Fatwa Dinal Maula, M.

Zia Al-Ayyubi, Haibat Hanafi Ramadhani dan nama-nama lain yang tidak sempat disebutkan satu-persatu. Semoga kita pertemuan ini adalah awal dari pertemuan hebat lainnya di masa yang akan datang.

12. Teman-teman KKN di dusun Sarigono, Pagerharjo, Samigaluh.

Terimakasih atas waktunya yang telah kita tempuh Bersama dan begitu mengesankan. Terima kasih kawan, semoga KKN bukan akhir dari kedekatan kita.

Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, rasa hormat dan terimakasih bagi semua pihak atas segala dukungan dan doanya semoga Allah

(14)

xiv

SWT membalas segala kebaikan yang telah mereka berikan kepada penulis.

Amin.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna dikarenakan keterbataan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari berbagai pihak. Semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi para pembaca dan semua pihak, khususnya dalam bidang ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir.

Yogyakarta, 12 Juli 2019 Penulis

Muhammad Ahyat Ajdal Umam NIM. 15530058

(15)

xv ABSTRAK

Term jahl ini telah banyak disinggung bahkan sejak para mufassir di era klasik hingga saat ini. Berdasarkan pada kajian-kajian mufassir terdahulu itu dapat pula diambil kesimpulan dan dikelompokkan menjadi dua macam pandangan besar; yakni pandangan sebagian mufassir yang meletakkan jahl sebagai lawan dari ‘ilm dan sebagian lainnya yang menjadikan ḥilm sebagai lawan dari jahl itu sendiri. Tentu dari kedua pandangan tersebut sangat jarang sekali yang diperoleh melalui pendekatan semantik al-Qur‟an, terkhusus dengan metode semantik yang diusung oleh Izutsu, padahal sebagian orang berpendapat bahwa metode semantik al-Qur‟an yang disusun oleh Izutsu tersebut merupakan sebuah pendekatan yang dapat meminimalisir terjadinya bias ideologis. Dan juga dengan pertimbangan bahwa jahl merupakan salah satu kosakata yang memainkan peranan penting dalam al-Qur‟an maka kajian ini diharapkan dapat meminimalisir bias ideologis tersebut dan dapat menghasilkan sesuatu yang bisa lebih diterima oleh setiap kalangan.

Berdasarkan pada pemaparan di atas, penelitian ini akan mencoba menitikberatkan pada konseptual term jahl yang ada di dalam al-Qur‟an dengan menggunakan pendekatan semantik Toshihiko Izutsu. Pendekatan ini setidaknya terfokus pada tiga kajian, yaitu (1) makna dasar dan makna relasional (2) sinkronik dan diakronik dengan telaah pada tiap-tiap periodenya (3) weltanschauung yang mengarah pada pandangan dunia pengguna bahasa tersebut.

Adapun sumber primer yang digunakan adalah al-Qur‟an itu sendiri beserta kitab- kitab tafsir, kamus-kamus, skripsi dan hal-hal lain yang dapat dijadikan sebagai sumber sekunder guna menunjang kelengkapan penelitian berbasis pustaka (library reseach) ini.

Penelitian ini memperoleh kesimpulan bahwa makna dasar kata jahl yaitu

„tidak tahu‟ yang berarti bahwa jahl merupakan lawan sepadan dari kata ‘ilm.

Sedangkan makna relasional kata jahl bisa sedikit bergeser ke makna majazi, itu artinya jahl bisa juga berarti „pura-pura tidak tahu atau seolah-oleh tidak tahu‟.

Sudah barang tentu juga bahwa kata jahl tidak melulu bersifat tercela, disebabkan adanya beberapa konteks yang justru menampilkan sisi „baik‟ dari kata jahl itu sendiri. Sedangkan secara sinkronik dan diakronik, kata jahl dapat ditemukan di beberapa syair-syair era pra-Quranik dan memang di antara syair tersebut menyebutkan kata jahl sebagai lawan dari ‘ilm dan juga ḥilm. Akan tetapi, kita tidak dapat menemukan kembali kata jahl dipasangkan dengan kata ḥilm di dalam ayat-ayat al-Qur‟an. Hal ini tentu dapat dijadikan alasan yang kuat untuk lebih memilih jahl sebagai lawan dari ‘ilm dan bukan ḥilm. Dan di antara keunikan fase Quranik lainnya adalah perubahan bentuk kata jahl menjadi jāhiliyyah, di mana kata tersebut dinilai belum pernah ditemukan secara khusus di masa pra-Quranik, terlebih dengan disandingkannya kata jāhiliyyah dengan Ūla yang memeberikan isyarat ke masa pasca-Quranik bahwa akan ada jāhiliyyah ṡāniyah, ṡāliṡah dan seterusnya yang menunjukkan bahwa jāhiliyyah akan terus dapat ditemukan bahkan hingga saat ini.

Kata Kunci: Al-Jahl, Al-Qur’an, Semantik Izutsu.

(16)

xvi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN NOTA DINAS ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

HALAMAN TRANSLITERASI ... vii

HALAMAN KATA PENGANTAR ... xi

HALAMAN ABSTRAK ... xv

HALAMAN DAFTAR ISI ... xvi

BAB I: PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

D. Telaah Pustaka ... 8

E. Kerangka Teori ... 14

F. Metode Penelitian ... 17

G. Sistematika Pembahasan ... 19

BAB II: DESKRIPSI AYAT-AYAT TENTANG AL-JAHL ... 21

A. Ayat-ayat tentang al-Jahl ... 21

B. Ayat-ayat tentang al-Jahl Berdasarkan Makki dan Madani ... 24

C. Asbāb al-Nuzūl Ayat-ayat tentang al-Jahl ... 26

(17)

xvii

BAB III: MAKNA DASAR DAN MAKNA RELASIONAL AYAT-AYAT

TENTANG AL-JAHL ... 48

A. Makna Dasar ... 48

B. Makna Relasional ... 50

1. Sintagmatik ... 51

2. Paradigmatik ... 80

3. Medan Semantik ... 89

BAB IV: MAKNA SINKRONIK DAN DIAKRONIK KATA AL-JAHL ... 90

A. Periode Pra Qur‟anik ... 90

B. Periode Qur‟anik ... 94

C. Periode Pasca Qur‟anik ... 98

D. Weltanschauung ... 105

BAB V: PENUTUP ... 108

A. Kesimpulan ... 108

B. Saran-saran ... 111

DAFTAR PUSTAKA ... 113 LAMPIRAN ...

CURRICULUM VITAE ...

(18)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-jahl adalah sesuatu yang bertentangan dengan al-ʻIlm,1 yang bisa berarti tidak tahu, kasar tabiatnya, tidak ramah, dungu, tolol atau bodoh, dan sebagainya.2 Term Jahl juga telah diserap dan masuk ke dalam Kamus Bahasa Indonesia menjadi kata “Jahil” yang memiliki makna bodoh atau tidak tahu (terutama dalam masalah agama).3 Dari pengertian di atas akan tampak bahwa al-jahl dan al-ʻIlm adalah sesuatu yang bertentangan.

Imam al-Māwardi dalam kitab Ādāb al-Dunyā wa al-Din juga pernah secara implisit mengklasifikasikan jenis manusia berdasarkan kedua term (al-Jahl dan al- ʻIlm) tersebut.4 Namun, pengklasifikasian tersebut hanya sebatas sampai pada titik seseorang menyadari atau tidak menyadari akan melekatnya salah satu dari kedua term (jahl dan ʻIlm) itu pada diri seseorang. Di sisi lain, Pendapat Imam al- Māwardi ini juga mengisyaratkan bahwa seseorang yang melekat pada dirinya kata al-ʻIlm bisa juga sekaligus melekat kata al-jahl pada diri seseorang tersebut.

1 Ibnu Manẓūr, Lisān al-ʻArāb, (Kairo: Dār al-Maʻārif, 1981), hlm. 713.

2 Lihat Luthviyah Romziana, “Pandangan AL-Qur‟ān tentang Makna Jāhiyah Perspektif Semantik”, Mutawātir, Volume 4, Nomor 1, Juni 2014, hlm. 122. Diambil dari Louis Ma‟luf, al- Munjid fi al-lugah wa al-Aʻlam, (Beirut: Dār al-Masyriq, 2007), hlm. 108.

3 Dendy Sugono (dkk.), Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hlm.

607.

4 Al-Māwardi mengklasifikasikan manusia menjadi 4 tipe: (1) seseorang yang paham dan sadar bahwa dirinya paham, (2) seseorang yang paham tapi tidak menyadari bahwa dirinya paham, (3) seseorang yang tidak paham dan sadar bahwa dirinya paham dan (4) seseorang yang tidak paham dan tidak sadar bahwa dirinya tidak paham. Lihat di Abu al-Husain Ali bin Muhammad al- Māwardi, Ādāb al-Dunyā wa al-Din, (Beirut: Dār al-Fikr, 1992), hlm. 54.

(19)

2

Pendapat lain diungkapkan oleh al-Aṣfahāni bahwa jahl dapat juga diartikan menjadi tiga makna, yakni: pertama, berlandaskan pada makna asalnya yaitu kekosongan ilmu pada jiwa atau pribadi seseorang. Makna tersebut pada titik tertentu digunakan sebagai acuan para “ahli kalam” sehingga menemukan definisi jahl sebagai “segala perbuatan yang keluar dari sebuah disiplin ilmu atau sistem atau norma (niẓām) tertentu”. Kedua, jahl berarti sebuah keyakinan yang menyelisihi hakikatnya. Ketiga, melakukan perbuatan yang salah meskipun dirinya meyakini bahwa yang dilakukannya adalah benar.5

Dari definisi tersebut, pandangan al-Aṣfahāni menjelaskan bahwa ada takaran lain untuk menentukan seseorang disebut jāhil atau ʻaIim, yaitu dengan takaran perilaku atau pekerjaan yang ia lakukan dan bukan sekedar pada pengetahuan yang dimilikinya. Artinya baik jahil atau ʻaIim kedua-duanya terikat pada perilakunya juga, karena tidak jarang orang yang berilmu melakukan tindakan bodoh dan begitu juga sebaliknya. Namun, tetap saja kedua pendapat di atas menurut penulis masih bersifat umum atau belum spesifik pada tindakan seperti apa yang dimaksudkan.

Dari beberapa pandangan dan definisi jahl yang telah dipaparkan di atas, pada dasarnya justru menimbulkan pertanyaan besar mengenai eksistensi yang sebenarnya atas term jahl dan maknanya, terutama dalam konteks al-Qur‟an.

apakah ia berarti bodoh yang akan berkaitan dengan kapasitas keilmuan? Atau justru berarti tabiat buruk yang akan bersinggungan dengan perilaku?

5 Al-Rāgib al-Aṣfahāni, Mufradāt Alfaẓ al-Qur’ān, (Damaskus: Dār al-Qalam, 2009), hlm. 209.

(20)

3

Dari permasalahan tersebut muncul juga permasalahan lain. permasalahan ini merupakan sebuah realitas yang dihadapi saat ini, yakni sejak dari terbukanya kembali pintu ijtihad yang menuai sisi positif sekaligus negatif. Dalam tatanan nilai positifnya tentu dapat dirasakan betapa pemikiran begitu berkembang dan tidak mengalami kejumudan, tetapi di sisi sebaliknya setiap orang bisa berbicara dan berpendapat semaunya, khususnya dalam kajian yang berkenaan dengan al- Qurʻān. Dari sana timbul pula fenomena di mana setiap orang memiliki peluang untuk menilai orang lain ʻālim atau justru mengolok-olok dan menisbatkan kata jāhil kepada orang lain. Hal ini merupakan masalah baru lagi yang ditimbulkan di mana perilaku mengolok-olok orang lain dengan sebutan jāhil secara implisit telah bertentangan dengan etika atau ideal moral yang disampaikan al-Qur‟ān pada surah Yūsuf di penghujung ayat ke 76:

...











6

Pada ayat tersebut sedikit banyak mengisyaratkan agar makhluk-Nya tidak memposisikan diri seolah-olah sebagai orang yang paling tahu segalanya.

Mungkin memang seseorang lebih tahu dalam satu hal dibandingkan dengan orang lain, tetapi kenyataan bahwa setiap orang memiliiki sisi bodohnya masing- masing juga tidak dapat terelakkan. Sehingga ketika seseorang benar-benar menyadari hal tersebut, tentu ia akan lebih berhati-hati dalam memberikan penilaian “jahil” (baca: bodoh) kepada orang lain, terlebih jika orang yang dinilai

“jahil” tersebut sebenarnya adalah orang yang lebih mendalam keilmuannya dibandingkan dengan dirinya.

6 QS. Yūsuf: 76.

(21)

4

Di samping itu, sedikit banyak al-Qur‟ān juga telah menunjukkan titik-titik kejahilan lain yang ada pada diri manusia, antara lain sebagaimana disampaikan di dalam QS. Al-Baqarah: 67:







































 

 





 











7

Kata Huzuw

)وزه

(pada ayat di atas sangat mempengaruhi makna Jahl yang terletak di akhir ayat tersebut. Imam al-Saʻdiy dalam menafsirkan ayat tersebut berpendapat bahwa yang dimaksud al-Jāhilin adalah orang yang gemar berbicara sesuatu yang tidak memiliki faedah di dalamnya, dalam konteks ini al-Saʻdiy menjelaskan bahwa di antara contoh ucapan yang tidak berfaedah adalah ucapan yang menghina atau mengolok-olok atau meremehkan orang lain.8 Dengan demikian sikap menghina dan menilai orang lain dengan sebutan bodoh adalah suatu kebodohan tersendiri yang bisa saja sering kita lakukan, sekalipun bila kenyataannya kita memang lebih ʻālim daripada orang tersebut. Pendapat ini selaras dengan etika yang digagas Imam al-Nawawi.9

Terlepas dari definisi dan permasalahan di atas, menurut penulis problem utama yang harus dijawab adalah mengenai makna jahl yang sebenarnya tercantum di dalam al-Qur‟an. Dengan demikian kajian ini akan lebih banyak

7 QS. Al-Baqarah: 67.

8 ʻAbdurrahman bin Nāṣir al-Saʻdiy, Tafsir al-Saʻdiy, (Riyaḍ: Dār al-Salām, 2002), hlm.

46.

9 Imam al-Nawawi mengingatkan kepada kita untuk waspada atas berbagai macam penyakit hati yang sampai pada sifat meremehkan orang lain sekalipun mereka lebih rendah derajatnya. Lihat Yahyā bin Syaraf al-Nawawi, al-Majmuʻ: Syarah al-Muhadzdzab terj.

Abdurrahim Ahmad, (Jakarta: Pustaka Azzam,2009), hlm. 95.

(22)

5

membahas, memperhatikan dan mengkaji makna dari term jahl berlandaskan pada apa yang diungkapkan di dalam al-Qur‟ān dan segala yang mengitarinya secara lebih mendetail. Meskipun sebenarnya Izutsu telah menyinggung tentang konsep jahl ini, namun pembahasan tentang jahl tersebut bukanlah sebuah fokus kajian yang dibahas Izutsu. Artinya, kajian tentang jahl oleh Izutsu hanyalah bagian kecil dalam tema besar kajiannya tentang relasi Tuhan dan manusia10 sehingga sangat memungkinkan untuk mengembangkan kajian Izutsu tersebut.

Jahl sendiri di dalam al-Qur‟ān diulang sebanyak 24 kali dengan ragam bentuk derivasinya.11 Keberagaman bentuk derivasi kata jahl dalam al-Qur‟an tersebut bisa saja memiliki makna atau maksud yang berlainan antara satu dengan yang lainnya. Sebagaimana diungkapkan al-Aṣfahāni dalam menjelaskan kata al- Jahil dalam surah al-Baqarah: 273 bahwa al-Jahil dalam konteks tertentu bisa saja tidak lagi diartikan tercela.12 Dengan demikian term jahl layak untuk dikaji, terkhusus pada apa yang disebutkan di dalam al-Qur‟ān.

Pada dasarnya penelitian ini merupakan jenis penelitian tematik.

Sebagaimana pengertian umum tentang tematik yaitu sebuah metode yang mengerucutkan pada tema tertentu,13 dalam konteks ini adalah berdasarkan pada tema yang disebutkan di dalam al-Qurʻan. Namun penelitian ini lebih spesifik

10 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik dalam al-Qurʻān terj. Agus Fahri Husein (dkk.), (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2003), hlm. 240-244.

11 Muhammad Fuād ʻAbdul Bāqi, al-Muʻjam al-Mufahras li Alfaẓ al-Qur’ān al-Karim, (Kairo: Maṭbaʻah Dār al-Kutub al-Miṣriyyah, 1945), hlm. 184.

12 Al-Rāgib al-Aṣfahāni, Mufradāt Alfaẓ al-Qur’ān, hlm. 209.

13 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami al-Qurʻān, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), hlm. 385.

(23)

6

dibandingkan dengan tematik secara umum, yakni dengan menggunakan pendekatan teori semantik yang dalam langkah kerjanya juga memuat sebuah makna sinkronik dan diakronik yang meliputi tiga periode, yaitu Pra Qurʻānik, Qurʻānik dan Pasca Qurʻānik.14

Penelitian ini dikupas dengan pendekatan semantik yang dirumuskan oleh Toshihiko Izutsu. Secara garis besar bila teori semantik ini digunakan sebagai pendekatan untuk mengolah pesan al-Qurʻān, maka kajian ini digunakan untuk menganalisis visi Qur‟ani tentang alam semesta.15 Melalui pencarian terhadap kosakata atau istilah-istilah yang ada di dalam al-Qurʻān16 teori ini juga dinilai sebagai usaha atau analisis dengan “membiarkan al-Qurʻān berbicara tentang dirinya sendiri”, artinya meminimalisir pandangan-pandangan yang berasal dari luar al-Qurʻān yang dapat mempengaruhi objektivitas hasil kajian. Dengan demikian tidak heran bila Fazlurrahman mengecualikan karya-karya Izutsu sebagai karya yang memiliki bias kepentingan.17

B. Rumusan Masalah

Berlandaskan pada apa yang telah diuraikan di dalam latar belakang, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

14 Akhmad Fajarus Shadiq, “Konsep Ummah dalam al-Qur‟an (Sebuah Analisis Semantik Toshihiko Izutsu)”, Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2016, hlm. 5.

15 Akhmad Fajarus Shadiq, “Konsep Ummah dalam al-Qur‟an (Sebuah Analisis Semantik Toshihiko Izutsu)”, hlm. 4.

16 Nailur Rahman, “Konsep Salam dalam al-Qur‟an: Dengan Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu”, Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2014, hlm. 4.

17 A. Luthfi Hamidi, “Pemikiran Toshihiko Izutsu tentang Semantik al-Qurʻān”, Disertasi Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2009, hlm. 10.

(24)

7

1. Apa makna dasar dan makna relasional kata jahl dalam al-Qur‟ān?

2. Bagaimana konsep kata jahl di dalam al-Qur‟ān ditinjau dari sisi diakronik dan sinkronik?

3. Bagaimana weltanschauung kata Jahl di dalam al-Qur‟ān?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Aspek-aspek yang hendak dituju dalam penelitian ini sebagaimana dirumuskan dalam rumusan masalah, yaitu:

a. Menguak makna dasar dan makna relasional kata jahl di dalam al- Qur‟ān.

b. Mengkonseptualisasikan makna jahl melalui analisis makna sinkronik dan diakronik.

c. Memperoleh weltanschauung kata Jahl di dalam al-Qur‟ān.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun beberapa hal yang dapat berguna dalam peneltian ini antara lain:

a. Memberikan sumbangsih pengetahuan terkait konsep jahl yang diungkapkan di dalam al-Qur‟ān melalui analisis makna dasar dan makna relasional serta aspek kajian sinkronik dan diakronik.

b. Secara praktis penelitian ini dapat digunakan sebagai instropeksi diri guna melihat sisi-sisi kebodohan masing-masing dari kita.

(25)

8

c. Menambah khazanah keilmuan dan gagasan atau pemikiran khususnya bagi Jurusan Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir dan untuk UIN Sunan Kalijaga secara umum.

D. Telaah Pustaka

Terkait dengan apa yang akan dituliskan di dalam penelitian ini tentu tidak terlepas dari penelitian-penelitian yang sudah ada. Baik berupa Disertasi, Skripsi, Jurnal atau buku-buku yang telah ditulis. Penelitian-penelitian tersebut tentu memiliki kesamaan dan perbedaan dengan penelitian ini, antara lain:

Pertama, Skripsi dari Akhmad Fajarus Shadiq dengan judul Konsep Ummah dalam al-Qur’an (Sebuah Analisis Semantik Toshihiko Izutsu) dan dari Nailur Rahman yang berjudul Konsep Salam dalam al-Qur’an: Dengan Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu.18 Kedua Skripsi tersebut sangatlah mirip dalam hal metodologis dan pendekatan serta langkah-langkah semantik yang digunakan.

Perbedaan antara keduanya dan penelitian ini ada pada fokus kata kunci atau kosakata yang digunakan.

Kedua, jurnal dengan judul Pandangan al-Qurʻān tentang Makna Jahiliyah Perspektif Semantik karya Luthviyah Romziana yang diterbitkan di dalam jurnal Mutawātir.19 Jurnal ini sedikit banyak telah membahas makna Jahiliyah dengan pendekatan semantik yang tidak terkhususkan pada teori semantik Toshihiko Izutsu. Namun, secara garis besar langkah kerjanya meliputi analisis makna dasar,

18 Lihat Akhmad Fajarus Shadiq, “Konsep Ummah dalam al-Qur‟an (Sebuah Analisis Semantik Toshihiko Izutsu)”. Dan lihat Nailur Rahman, “Konsep Salam dalam al-Qur‟an: Dengan Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu”.

19 Lihat Luthviyah Romziana, “Pandangan AL-Qur‟ān tentang Makna Jāhiliyah Perspektif Semantik”, Mutawātir, Volume 4, Nomor 1, Juni 2014.

(26)

9

makna relasional, struktur batin dan medan semantik. Menurut penulis apa yang telah di tuliskan di dalam jurnal ini cukup membantu, meski terlihat ada keterbatasan dalam memaparkan analisisnya, terutama pada bagian sebab turunnya ayat terkait jahl yang belum dibahas secara detail dan menurut penulis, Lutviyah Romziana sedikit tidak tepat dalam membedakan kata jahl dengan jahiliyyah, sehingga menjadi kesimpulan yang kurang tepat juga ketika mengatakan bahwa kata jahiliyyah sudah dikenal sebelum Islam atau pra Quranic.

Sisi lainnya yang bisa disebut sebagai kekurangan dari karya ini terletak pada pemaparan makna dasar. Luthviyah Romziana menyebutkan bahwa makna dasar adalah arti yang selalu dibawa bersama kata dimanapun kata berada, dan dalam pemaparannya juga ia menyebutkan bahwa makna dasar kata jahl adalah lawan dari kata ‘ilm, tetapi pada bagian lainnya ia justru mengutip dari Izutsu bahwa jahl yang menjadi lawan ‘ilm tidaklah memainkan peranan penting.

Ketiga, karya Abdul Sattar yang dimuat di dalam jurnal Theologia dengan judul Respons Nabi terhadap Tradisi Jahiliyyah: Studi Reportase Hadis Nabi.20 Tulisan ini sedikit banyak lebih mengarah kepada bagaimana Nabi mendialogkan antara tradisi yang sudah ada (Jahiliyyah) dengan ajaran yang dibawanya. Namun, Abdul Sattar membatasi makna jahiliyyah pada aspek penyimpangan saja, baik secara moral atau etika, watak, hukum, maupun teologis.

Keempat, buku yang dituliskan dan disusun oleh Toshihiko Izutsu sendiri yang telah diterjemahkan oleh Agus Fahri Husein dan lain-lain dengan judul Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap al-Qurʻān. Di dalam

20 Abdul Sattar, “Respons Nabi Terhadap Tradisi Jahiliyyah: Studi Reportase Hadis Nabi”, Theologia, Volume 28, Nomor 1, Juni 2017.

(27)

10

buku ini Izutsu sekilas membahas konsep jahl dalam al-Qurʻān, akan tetapi penelitian itu tidak berangkat dari konsep jahl itu sendiri sebagai fokus kajian, melainkan hanya menyebut sebagai lawan dari kata ḥilm yang merupakan salah satu kata kunci penting di dalam al-Qurʻān. Berangkat dari fokus yang berbeda tentu akan berbeda hasil kajiannya, sebab bila fokus awalnya adalah kata ḥilm tentu kata tersebut memiliki kata lain selain jahl yang menjadi antonim dari ḥilm.

Karenanya Izutsu tidak banyak memberikan penjelasan lain tentang jahl kecuali ketika bersinggungan dengan kata ḥilm.21

Penulis pada titik tertentu juga tidak sependapat dengan kajian hubungan antarkonsep jahl dan ḥilm yang diusung oleh Izutsu. Bagi penulis jahl dalam konteks al-Qurʻān bukanlah sesuatu yang selalu bernada negatif (tercela) sebagaimana pemaparan Izutsu. Bila pernyataannya adalah salah satu makna relasional jahl akan menjadi antonim dari ḥilm mungkin itu benar. Tetapi, bila digunakan sebagai lawan yang sepadan dengan kata jahl, akan ada beberapa ayat yang terabaikan maknanya, baik secara historis maupun kesusastraannya.

Adapun keberatan lainnya adalah al-Qurʻān sendiri dalam suatu ayat yang sama menyebutkan kata jahl dengan antonimnya ʻilm secara bersamaan, justru tidak ada satupun kata jahl yang bergandengan dengan kata ḥilm. Sehingga kurang tepat bila mengatakan bahwa hubungan jahl dan ʻilm dianggap tidaklah memainkan peranan penting dalam al-Qurʻān. Dikarenakan tujuan akhir dari al- Qurʻān menyebut kata jahl adalah pada tindakan yang dilakukan setelahnya, mungkin benar bahwa ḥilm yang menitik beratkan pada keadaan jiwa sangat

21 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik dalam al-Qurʻān terj. Agus Fahri Husein (dkk.), hlm. 240-244.

(28)

11

menentukan perilaku apa yang akan diambil oleh seseorang agar terbebas dari perilaku jahl dalam arti negatif, tetapi pada kenyataannya seseorang yang dalam keadaan jiwa yang baik sekalipun jika pada saat yang sama kekurangan ʻilm

“informasi dan pengetahuan”, tentu akan mempengaruhi tindakan atau perilakunya juga, sebab kebijaksanaan menurut penulis dapat diperoleh dan tentu dipengaruhi oleh sejauh apa ia memiliki informasi.

Kelima, karya dari Sulhani Hermawan yang dimuat di Jurnal Ilmiah Peuradeun dengan judul Hukum Islam dan Transformasi Sosial Masyarakat Jahiliyyah: Studi Historis tentang Egaliter Hukum Islam.22 Jurnal ini sangat membantu penulisan ini, terutama pada bagian historis hukum Jahiliyyah atau hukum yang sudah ada bahkan melatar belakangi munculnya hukum Islam. Tidak menutup kemungkinan di dalam karya ini juga menyebutkan bagaimana posisi Nabi Muhammad ketika membawa hukum Islam dengan segala bentuk penolakan yang dilakukan oleh masyarakat penegak hukum Jahiliyyah.

Keenam, buku hasil karangan Muhammmad Quṭub yang berjudul Jāhiliyyah al-Qarn al-ʻisyrin. Buku ini kemudian diterjemahkan oleh Afif Mohammad dan berubah judulnya menjadi Jahiliyyah Masa Kini.23 Mohammad Quṭub memiliki pandangan yang sedikit berbeda dalam mengartikan sebuah masa Jahiliyyah.

Umumnya, ada dua kelompok yang berbeda dalam memberikan pendapat mengenai Jahiliyyah, satu kelompok mengatakan masa Jahiliyyah ditandai dengan

22 Sulhani Hermawan, “Hukum Islam dan Transformasi Sosial Masyarakat Jahiliyyah:

Studi Historis tentang Karakter Egaliter Hukum Islam”, Jurnal Ilmiah Peuradeun, Volume 2, Nomor 3, September 2014.

23 Mohammad Quṭub, Jahiliyyah Masa Kini terj. Afif Mohammad, (Bandung: Pustaka, 1994).

(29)

12

rusaknya moral dan kelompok lainnya mengatakan bahwa masa Jahiliyyah ditandai dengan pengetahuan atau keilmuan yang minim. Sedangkan Mohammad Quṭub berpandangan bahwa masa Jahiliyyah adalah masa yang disebabkan oleh sesuatu unsur yang lebih mendasar dari kedua pandagan tersebut. Baginya, hal yang paling mendasar ketika al-Qur‟an menyebut kata Jahiliyyah adalah disebabkan oleh sikap seseorang atau sekelompok orang yang menolak bahkan menentang petunjuk Allah dan dari hal itu lah segala bentuk kerusakan dalam tiap aspek kehidupan berlaku.

Berdasarkan pada pandangan tersebut, penulis memiliki dua asumsi sebagai tanggapan. Asumsi pertama dapat penulis sampaikan bahwa gagasan tersebut mengandung ide yang baik, karena dari hal tersebut dapat diasumsikan juga bahwa kerusakan moral pada masa tertentu bisa saja disebabkan oleh kesalahpahaman seseorang dalam merespon atau menyikapi petunjuk Allah, tidak terkecuali hal ini juga bisa terjadi pada beberapa orang atau kelompok umat Muslim. Namun, Asumsi kedua dari penulis bahwa gagasan Mohammad Quṭub terkesan sangat apologetik dengan mengikrarkan bahwa hanya Islam satu-satunya solusi untuk keluar dari masa Jahiliyyah. Sekiranya benar, itu artinya secara otomatis Mohammad Quṭub telah menyimpulkan bahwa rusaknya setiap aspek dalam kehidupan ini disebabkan oleh orang-orang yang tidak memilih Islam sebagai agama mereka. Dengan demikian, penulis merasa perlu untuk menuliskan sebuah kesimpulan yang berbeda dengan Mohammad Quṭub.

Ketujuh, buku dengan judul Jahiliyyah Kontemporer dan Hegemoni Nalar Kekerasan: Merajut Islam Indonesia Membangun Peradaban Dunia karya dari

(30)

13

Abd A‟la.24 Buku ini meski terlihat membahas tentang Jahiliyyah tetapi sebenarnya hanya mengambil unsur yang paling dominan dari peristiwa yang terjadi di Masa Jahiliyyah pra-Islam. Unsur tersebut ialah berupa kekerasan hingga tindakan saling membunuh yang ditimbulkan sebab perbedaan-perbedaan yang terjadi di antara mereka. Kejadian inilah yang bisa mewakili masa Jahiliyyah hingga dapat disimbolkan sebagai lunturnya nilai moral. Dengan demikian Abd A‟la menganggap bahwa ada kesamaan peristiwa yang terjadi saat ini dengan kejahilan yang terjadi pada masa pra-Islam, khususnya pada perilaku saling membunuh antarmanusia. Pandangan Abd A‟la ini lebih banyak merujuk kepada kelompok yang mengkambing hitamkan agama sebagai landasan perilaku buruknya ketika membunuh atau ketika melakukan aksi teror. Kelompok ini biasa disebut teroris atau kelompok yang memegang paham terorisme.

Kedelapan, Skripsi karya Imarotul Ulya dengan judul Penafsiran Kata Jahālah dan Berbagai Macam Bentuknya dalam Al-Qur’an Menurut Al-Maragi, Sayyid Quthb dan Quraish Shihab. Penulis selayaknya harus banyak mengucapkan terima kasih kepada saudari Imarotul Ulya atas karyanya ini yang sangat membantu penelitian penulis. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa ada perbedaan antara penulis dengan Imarotul Ulya dalam memberikan kesimpulan terkait penafsiran kata jahālah yang menjadi salah satu bagian dari derivasi kata al-jahl. Dalam kesimpulannya, Imarotul Ulya memberikan penjelasan bahwa jahālah menurut tiga mufassir di atas diartikan sebagai perbuatan dosa. Penulis merasa bahwa hal tersebut perlu dikaji ulang dengan lebih teliti, terutama pada

24 Abd A‟la, Jahiliyyah Kontemporer dan Hegemoni Nalar Kekerasan: Merajut Islam Indonesia Membangun Peradaban Dunia, (Yogyakarta: LkiS, 2014).

(31)

14

penafsiran surah al-Baqarah ayat 273. Di samping itu, karya Imarotul Ulya ini hanya terfokus pada tiga mufassir di mana ketiganya cenderung masuk dalam kategori tokoh mufassir periode modern-kontemporer. Hal tersebut sangat membantu penulis, meskipun penulis merasa masih memiliki peluang untuk menlengkapi penelitian tersebut dengan penafsiran kata al-jahl dimulai dari periode pra Qur‟anik, Qur‟anik dan Pasca Qur‟anik.25

Berdasarkan pada apa yang telah dipaparkan di bagian telaah pustaka ini dan sejauh pencarian penulis dapat disimpulkan bahwa belum ditemukan penelitian yang secara spesisifik sama dengan penelitian yang membahas konsep al-Jahl dalam al-Qurʻān dengan menggunakan pisau analisis teori semantik Toshihiko Izutsu, meskipun jurnal dengan judul Pandangan al-Qurʻān tentang Makna Jahiliyah Perspektif Semantik karya Luthviyah Romziana sangat berdekatan, tetapi masih banyak kekurangan karya tersebut yang harus dilengkapi, baik berupa ketidaklengkapan, ketidakkonsistenan karya Luthviyah Romziana maupun kritik-kritik lain yang perlu untuk disampaikan sebagai bentuk usaha untuk melengkapi kajian yang telah ada.

E. Kerangka Teori

1. Mengumpulkan ayat-ayat yang menunjukkan makna jahl dan derivasinya dengan disertai data Asbāb al-Nuzūl yang ada dan mengelompokkan ayat- ayat tersebut ke dalam jenis ayat Makki dan Madani.

25 Lihat Imarotul Ulya, “Penafsiran Kata Jahālah dan Berbagai Macam Bentuknya dalam Al-Qur’an Menurut Al-Maragi, Sayyid Quthb dan Quraish Shihab”, Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2011.

(32)

15

2. Mengulas makna-makna jahl yang ada di dalam al-Qur‟ān dengan melalui pendekatan Semantik yang digagaskan oleh Toshihiko Izutsu. Secara rinci langkah-langkah yang digagaskan Toshihiko Izutsu sebagai berikut:

a. Makna Dasar dan Makna Relasional

Makna dasar adalah makna umum yang mempertahankan makna fundamentalnya. Adapun makna relasional adalah adanya unsur-unsur baru yang dapat mempengaruhi bahkan mengubah makna dasar suatu kosakata.26 Untuk mendapatkan makna dasar dan makna relasional diperlukan sebuah langkah-langkah analisis:27

1) Analisis Sintagmatik

Secara ringkas analisis ini memfokuskan pada hubungan kata dengan kata yang mengitarinya, baik di depan maupun di belakang sebuah kata yang dibahas.28

2) Analisis Paradigmatik

Adapun analisis paradigmatik cara kerjanya lebih kepada menghubungkan relasi sebuah kata yang dibahas dengan kata-kata lain yang memiliki kesamaan (sinonim) ataupun perbedaan (antonim).29

26 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik dalam al-Qurʻān terj. Agus Fahri Husein (dkk.), hlm. 11.

27 Lihat Siti Fatimah Fajrin, “Konsep al-Nār dalam al-Qurʻān: Analisis Semantik Toshihiko Izutsu”, Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2017, hlm. 17-20.

28 Lihat Siti Fatimah Fajrin, “Konsep al-Nār dalam al-Qurʻān: Analisis Semantik Toshihiko Izutsu”, hlm. 17.

29 Siti Fatimah Fajrin, “Konsep al-Nār dalam al-Qurʻān: Analisis Semantik Toshihiko Izutsu”, hlm. 18.

(33)

16

b. Sinkronik dan Diakronik

Sinkronik adalah aspek yang bersifat statis pada suatu makna kata, artinya kata tersebut tidak berubah. Sedangkan diakronik lebih menitik beratkan pada unsur waktu dari sekumpulan kata yang pada tingkatan masing-masing tumbuh dan berubah secara bebas dengan kekhasannya sendiri. pada tiap-tiap kelompok kata tersebut bisa saja tidak lagi digunakan oleh penggunanya dalam waktu tertentu dan yang lainnya bisa saja terus digunakan. Dan dalam hal ini kata dasar lah yang dapat terus digunakan dalam periode yang diusung oleh Izutsu yaitu pra Qurʻānik, Qurʻānik dan pasca Qurʻānik.30 Khusus pada bagian periode pra Qurʻānik, untuk memperoleh data yang dapat mewakili pengertian jahl dalam konteks fase sebelum Qurʻān, biasanya diwakili oleh syair-syair yang diduga telah digunakan oleh pengguna bahasa sebelum fase Qurʻān diturunkan. Adapun data ini bisa diambil melalui kitab-kitab tafsir yang berbasis atau bercorak bahasa, bisa juga diambil melalui kitab-kitab lugah secara umum, seperti kitab al-Taṭawwur al-Dalāil baina Lugah al-Syiʻr al- Jāhili wa Lugah al-Qurʻān al-Karim.

c. Weltanschauung

Weltanschauung adalah pandangan dunia masyarakat yang menggunakan bahasa, tidak hanya digunakan sebagai alat bicara dan berfikir, tetapi yang lebih penting lagi sebagai pengkonsepan dan

30 Siti Fatimah Fajrin, “Konsep al-Nār dalam al-Qurʻān: Analisis Semantik Toshihiko Izutsu”, hlm. 18-19. Diambil dari Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik dalam al-Qurʻān, terj. Agus Fahri Husein (dkk.), hlm. 31-35.

(34)

17

penafsiran dunia yang melingkupinya. Kajian ini bisa tercapai dengan telaah analisis dan metodologis terhadap konsep-konsep yang tampaknya memainkan peran menentukan pembentukan visi Qurʻāni terhadap alam semesta.31

F. Metode Penelitian

Metode dapat diartikan sebagai cara untuk mengerjakan sesuatu.32 Adapun metode penelitian secara garis besar merupakan langkah untuk memperoleh hasil peneltian yang dapat dipertanggungjawabkan yang juga dapat digunakan sebagai alur penelitian, sehingga dapat diperoleh hasil yang maksimal.33

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini tergolong penelitian kepustakaan (library reseach). Penelitian jenis ini terfokus menggunakan data-data dan informasi dari berbagai literatur yang terdapat di perpusatakaan, seperti buku, jurnal, kamus, naskah dan lain-lain.34

2. Sumber Data

31 Toshihiko Izutsu, terj. Agus Fahri Husein (dkk.), Relasi Tuhan dan Manusia:

Pendekatan Semantik dalam al-Qurʻān terj. Agus Fahri Husein (dkk.), hlm. 3.

32 Abdul Mustaqim, Metodologi Penelitian al-Qurʻān dan Tafsir, (Yogyakarta: Idea Press, 2015), hlm. 17.

33 Lihat Siti Fatimah Fajrin, Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2017, hlm. 20. Diambil dari Anton Bakker dan Ahmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 10.

34 Lihat Zunaidi Nur, “Konsep al-Jannah dalam al-Qurʻān: Aplikasi Semantik Toshihiko Izutsu”, Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2018, hlm. 9-10. Diambil dari Kartini, Metodologi Riset Sosial, (Bandung: Mandar Maju, 1996), hlm. 33.

(35)

18

Sebagai sebuah teknik pengumpulan data, salah satu yang harus disiapkan adalah sumber rujukan.35 Dalam hal ini sumber yang digunakan sebagai penyokong penelitian ini terdiri dari ayat-ayat al-Qurʻān, Hadis, buku-buku terkait kajian semantik, kitab-kitab tafsir, kamus dan lain-lain.

secara garis besar sumber tersebut dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu:

a. Sumber Data Primer

Terkait penelitian ini penulis menggunakan al-Qurʻān dan terjemahannya sebagai seumber data primer. Adapun yang lainnya adalah buku teori semantik Toshihiko Izutsu yang berjudul Relasi Tuhan dan Manusia: Semantik al-Qurʻān.

b. Sumber Data Sekunder

Adapun kitab tafsir, kitab hadis, kamus, jurnal, buku-buku, artikel dan sejenisnya dapat dijadikan sebagai sebuah sumber data sekunder yang tentunya dapat dipertanggungjawabkan kevaliditasannya.

3. Pengolahan Data

Data-data yang didapatkan diolah menjadi dua langkah berikut:

a. Deskripsi

Langkah ini adalah sebuah cara untuk menuangkan tulisan dengan pembahasan yang logis dan sistematis.36 Dalam hal ini dilakukan dengan mengumpulkan dan mengelompokkan ayat-ayat terkait Jahl. Kemudian

35 Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian Skripsi, Tesis, Disertasi dan Karya Ilmiah, (Jakarta: Prenada Media Group, 2011), hlm. 145.

36 Muzairi (dkk.), Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Fa Press, 2014), hlm. 30.

(36)

19

menguraikan ragam makna kata jahl yang ditemukan di dalam al-Qurʻān tersebut hingga pada tahap menemukan weltanschauung.

b. Analisis

Analisis ialah mengupas kajian ini secara lebih mendalam dan dalam penelitian ini digunakanlah teori semantik dengan langkah- langkah kerja mencari makna dasar dan relasional, pencarian makna yang ditinjau dari aspek sinkronik dan diakronik dan menjelaskan weltanschauung dari kata jahl.

G. Sistematika Pembahasan

Dalam rangka mewujudkan sebuah penulisan berbasis penelitian tentu dibutuhkan sebuah sistematika yang mampu membuat berbagai jenis permasalahan tersebut dibahas secara teratur dan tidak keluar dari batasan masalah. Dengan demikian penulis menyusun sistematika penulisan ini sebagaimana berikut:

Bab pertama, berisikan sebuah latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan signifikansi atau kegunaan penelitian, telaah pustaka, kerangka teori, metode penelitian serta sistematika pembahasan. Secara garis besar tujuan dari bab ini adalah untuk mengetahui arah, batasan dan langkah-langkah dari peneltian untuk menjawab problem akademik yang telah dirumuskan.

Bab kedua, pembahasan mengenai deskripsi ayat-ayat tentang jahl yang terbagi ke dalam tiga sub bab. Tiga sub bab tersebut terkait ayat-ayat seputar kosakata jahl dalam al-Qurʻān, sebab turunnya ayat serta pengelompokkan ayat secara Makki dan Madani.

(37)

20

Bab ketiga, seputar pembahasan terkait semantik makna dasar dan makna relasional kata jahl yang terbagi menjadi dua sub bab yaitu makna dasar dan makna relasional. Adapun makna relasional tersebut juga terbagi lagi menjadi yang berupa analisis sintagmatik dan paradigmatik.

Bab keempat, meliputi pembahasan secara mendalam terkait makna kata jahl ditinjau dari makna sinkronik dan diakronik yang pada titik tertentu dapat diurai menjadi periode pra Qur‟anik, Qur‟anik dan pasca Qur‟anik. Tidak lupa juga pada bagian ini ditutup dengan pembahasan weltanschauung.

Bab kelima, adalah bab yang biasa digunakan sebagai sebuah penutup yang berisikan sebuah kesimpulan dari hasil kajian. Selain itu juga berisikan tentang beberapa saran guna menunjukkan kekurangan dari penelitian ini, dengan harapan agar peneliti selanjutnya dapat melengkapi dan membenahi kekurangan tersebut.

(38)

108 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Berdasarkan apa yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya penulis dapat menyimpulkan bahwa:

1. Makna Dasar dan Relasional Kata al-Jahl

Telah dijelaskan secara lebih rinci pada bab-bab sebelumnya, penulis telah memposisikan makna dasar dari kata al-jahl sebagai lawan sepadan dari kata al-„ilm, hal ini tentu berlandaskan pertimbangan bahwa dengan dipasangkannya kata al-jahl dan al-„ilm maka akan tampak bahwa kosakata al-jahl memiliki makna yang lebih fleksibel, yakni dalam arti bisa bersinggungan dengan sebuah perilaku baik dan bisa juga buruk. Dengan demikian al-jahl secara mendasar dapat diartikan sebagai sebuah tindakan yang dilandasi atas dasar ketidaktahuan. Sedangkan pada dataran makna relasional, secara sintagmatik makna dari kata al-jahl ini bergantung pada konteks di mana kata tersebut diletakkan, terkadang ia diletakkan sebagai pembanding antara seseorang yang telah melakukan hal baik dengan yang lebih baik lagi, namun tidak jarang juga al-Qur‟an menyandingkan kata al- jahl dengan segala perbuatan buruk, seperti; kesyirikan, sikap menentang terhadap ajaran Nabi, buruk sangka (ẓann), kelaliman atau aniaya (ẓulm), syahwah, berlebihan dalam berhias (tabarruj), ḥamiyyah, dan sebagainya.

Sehingga bisa juga dikatakan bahwa dalam beberapa kesempatan makna al- jahl berarti „tidak tahu‟ dan di kesempatan lain tidak lagi diartikan sebagai

(39)

109

„tidak tahu‟ secara haqiqi, melainkan lebih diarahkan kepada makna majazi, yakni diserupakan dengan seseorang yang melakukan suatu perbuatan, tetapi seolah-olah ia tidak mengetahui apakah perbuatan tersebut baik atau buruk. Di samping itu, dapat pula ditemukan secara paradigmatik bahwa al- jahl memiliki sisi kemiripan dengan kosakata lain, antara lain dengan kosakata; al-safh, al-isrāf, al-gilaẓ, al-faḥsyāʼ, al-kibr, dan lain-lain.

Adapun di antara kosakata lain yang berseberangan dengan kata al-jahl, yakni; al-„ilm, al-ḥilm, al-maʻrūf, al-islām, al-„adl dan lain sebagainya.

2. Sinkronik Diakronik Kata al-Jahl

Kata al-jahl secara sinkronik dapat diartikan sebagai „tidak tahu‟, baik dalam arti hakiki maupun majazi. Namun, jika kita pertimbangkan secara diakronik terutama pada fase Qur‟anik, maka kita akan menemukan bahwa al-Qur‟an tidak lagi menggunakan kata al-jahl sebagai lawan dari al- ḥilm, setidaknya tidak digunakan secara eksplisit sebagaimana ditemukan di dalam syair-syair yang dianggap telah ada sebelum masa Qur‟anik. Pada fase Qur‟anik, al-Qur‟an juga menyebut bentuk yang khas dari derivasi kata al-jahl yaitu al-jāhiliyyah yang menurut beberapa referensi bentuk ini belum ditemukan secara khusus telah digunakan sebelum al-Qur‟an diturunkan.

Selain itu, ada sisi keunikan lain yang ada di dalam salah satu ayat al- Qur‟an ketika menyebut kata al-jāhiliyyah, yakni ketika disandingkan dengan kata al-ūla di mana penyandingan tersebut sedikit banyak telah mempengaruhi penafsiran para mufassir setelah fase Qur‟anik (Pasca Qur‟anik). Di masa Qur‟anik juga kata al-jahl kemudian memberikan

(40)

110

gambaran baru di mana al-jahl bukan selalu diartikan sebagai sebuah keburukan, melainkan digambarkan sebagai bentuk sebuah kebaikan, meskipun tetap saja masih ada kebaikan lagi yang lebih unggul di atasnya sebab kebaikan tersebut dilakukan dan disokong oleh pengetahuan. Tentu ini merupakan bentuk baru di samping al-Qur‟an yang menarasikan sisi religiusnya dalam menampilkan kata al-jahl.

3. Weltanschauung

Al-Qur‟an dalam menampilkan kata al-jahl beserta derivasinya tentu memiliki visi yang cukup unik di mana ia membahasakan al-jahl sebagai bentuk „ketidaktahuan‟ seseorang dalam melakukan suatu perbuatan. Sebut saja bahwa makna tersebut adalah makna paling dasar dari kata al-jahl.

Akan tetapi al-Qur‟an juga tidak terbatas pada makna itu saja, dalam kasus tertentu al-Qur‟an mengaitkannya dengan konteks tertentu yang mengharuskan untuk memaknainya secara majazi, yakni sebagai sikap seseorang yang mengetahui hakikat sesuatu tetapi apa yang ia lakukan atau perbuatannya justru menyelisihi pengetahuannya itu sendiri. Dalam beberapa kesempatan makna tersebutlah dapat disebut sebagai sebuah kelaliman, kesyirikan dan lain sebagainya yang berhubungan dengan ciri khas al-Qur‟an dalam menampilkan sisi religiusnya. Al-Qur‟an juga tidak selalu menyebut kata al-jahl sebagai sesuatu yang buruk, dalam QS. al- Baqarah: 273 al-Qur‟an justru hanya menjelaskan tentang keadaan seseorang yang tidak tahu tentang hakikat suatu keadaan dan poin pentingnya al-Qur‟an tidak menyebutnya sebagai orang yang tercela,

(41)

111

meskipun tidak dapat dipungkiri juga bahwa banyak ayat lainnya yang berkonotasi buruk dalam menyebutkan kata al-jahl ini. Selain itu, dengan pertimbangan disebutkannya kata al-jahiliyyah al-ūla dalam salah satu ayat al-Qur‟an sesungguhnya telah memberikan isyarat yang kuat bahwa al-jahl sebagai sebuah kemampuan, sifat maupun kelakukan yang khas tersebut tetap akan berlangsung dan tidak terhenti pada masa ketika al-Qur‟an diturunkan saja.

Berdasarkan pada penjelasan sebelumnya juga sedikit banyak al- Qur‟an memberikan saran kepada tiap-tiap generasi, temasuk generasi milenial, untuk menambah seluas-luasnya pengetahuan dan memperbaiki setiap perilaku. Al-Qur‟an mengisyaratkan agar kita mampu berpikir jernih dan berpikir panjang bahkan sebelum melakukan sesuatu, seperti tindakan menyaring terlebih dahulu sebelum menerima berita, terutama jika itu berkaitan dengan nama baik orang lain, dan apabila perbuatan jahl terlanjur dilakukan, yakni perbuatan yang dilandasi atas ketidaktahuan atau perbuatan buruk yang memang sengaja melanggar pengetahuannya sendiri, maka konsekuensinya adalah harus bertaubat dalam arti menyesali dan mengubah perilaku kita menjadi lebih baik sesuai dengan ketentuan al-Qur‟an.

B. Saran-saran

Penulis merasa bahwa ungkapan „syukur al-ḥamdulillah‟ merupakan hal yang paling layak untuk penulis ucapkan atas terselesaikannya skripsi ini, meskipun sudah barang tentu karya ini tidak dapat dipisahkan dari kekurangan dan kesalahan. Dengan demikian penulis akan merasa tersanjung apabila karya ini

(42)

112

dapat diteliti lebih detail dan lebih lanjut, mengingat setidak-tidaknya keterbatasan dan kekurangan yang paling mencolok dari kajian ini adalah sebagai berikut;

pertama, kajian ini ditulis oleh seseorang yang bisa dikatakan belum berkompeten dalam hal memahami dan menafsirkan al-Qur‟an. Kedua, dengan minimnya syair- syair pra-Quranik yang dapat penulis temui sesungguhnya hal ini merupakan peluang besar bagi peneliti sesudahnya untuk mencari makna penggunaan kata al- jahl melalui syair-syair lainnya. Ketiga, kajian ini hanya terbatas pada satu kosakata dan hanya berusaha dikaji dengan metode semantik yang dirumuskan oleh Izutsu saja, tentu ada peluang besar bagi peneliti sesudah ini untuk mengkaji dengan menggunakan metode yang lain.

(43)

113

DAFTAR PUSTAKA

ʻAbdul Bāqi, Muhammad Fuād. al-Muʻjam al-Mufahras li Alfaẓ al-Qur‟ān al- Karim. Kairo: Maṭbaʻah Dār al-Kutub al-Miṣriyyah. 1945.

Abdul Gani, ʻAbdul Fattāh. Asbāb al-Nuzūl ʻan al-Ṣaḥābah wa al-Mufassirin.

Kairo: Dār al-Salām, 2012.

Abi al-Faḍl al-ʻAsqallāni, Syihāb al-Din. al-ʻUjāb fi Bayān al-Asbāb. Beirut: Dār Ibnu Hazm, 2002.

Abu „Ūdah, „Ūdah Khalil. al-Taṭawwur al-dalāli bayna lugah al-Syiʻri al-Jāhili wa lugah al-Qur‟an al-Karim. Zarqā‟: Maktabah al-Manār, 1985.

Al-Abyari, Ibrahim. Mausūʼāt al-Qur‟āniyyah. Kairo: Mu‟assasah Sijjil al-„Arab, 1984.

A‟la, Abd. Jahiliyyah Kontemporer dan Hegemoni Nalar Kekerasan: Merajut Islam Indonesia Membangun Peradaban Dunia, Yogyakarta: LkiS, 2014.

Amal, Taufik Adnan. Rekonstruksi Sejarah al-Qur‟ān. Jakarta: Divisi Muslim Demokratis Yayasan Abad Demokrasi, 2011.

Amrullah, Abdul Malik Karim. Tafsir al-Azhar. Jakarta: Panji Masyarakat, 1965.

Al-Andalusi, Muhammad Yūsuf Abu Ḥayyān. al-Baḥr al-Muhiṭ. Beirut: Dār al- Kutub al-„Ilmiyyah, 1993.

Al-Aṣfahāni, Al-Rāgib. Mufradāt Alfaẓ al-Qur‟ān. Damaskus: Dār al-Qalam, 2009.

Azima, Fauzan “Semantik al-Qurʻān: Sebuah Metode Penafsiran”, Tajdid, Volume 1, Nomor 1, April 2017.

(44)

114

Al-Bagāwi, Abi Muhammad Ḥusain. Maʻālim al-Tanzil. Riyaḍ: Dar al-Ṭayyibah, 1989.

Bakri, Syamsul. “Asbāb al-Nuzūl: Dialog antara Teks dan Realitas Kesejarahan”, al-Tibyan, Volume 1, Nomor 1, Januari-Juni 2016.

Busyro, Muhtarom. Shorf Praktis “Metode Krapyak”. Yogyakarta: Menara Kudus, 2012.

Dahlan H. A. A., dan Alfarisi, M. Zaka. Asbāb al-Nuzūl: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat al-Qur‟ān. Bandung: Diponegoro, 2000.

Fajrin, Siti Fatimah. Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam: “Konsep al-Nār dalam al-Qurʻān: Analisis Semantik Toshihiko Izutsu”.

Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2017.

Hamidi, A. Luthfi. Disertasi Pascasarjana: “Pemikiran Toshihiko Izutsu tentang Semantik al-Qurʻān”. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2009.

Hermawan, Sulhani. “Hukum Islam dan Transformasi Sosial Masyarakat Jahiliyyah: Studi Historis tentang Karakter Egaliter Hukum Islam”, Jurnal Ilmiah Peuradeun, Volume 2, Nomor 3, September 2014.

Hatta, Ahmad (dkk.). Tafsir Qur‟an Per Kata; Dilengkapi dengan Asbabun Nuzul

& Terjemah. Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2009.

Ibn „Abbās, „Abdullah. Tanwir al-Miqbās min Tafsir Ibn „Abbās. Beirut: Dār al- Kutub al-„Ilmiyyah, 2004.

Ibnu Kaṡir, Abi al-Fida‟ Ismaʻil. Tafsir Qur‟ān al-„Aẓim. Kairo: Mu‟assasah Qurṭubiyyah, 2000.

(45)

115

Izutsu, Toshihiko. Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik dalam al- Qurʻān terj. Agus Fahri Husein (dkk.). Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2003.

Manẓūr, Ibnu. Lisān al-ʻArāb. Kairo: Dār al-Maʻārif, 1981.

Al-Marāgi, Ahmad Muṣṭafā. Tafsir al-Marāgi. Kairo: al-Bābi al-Ḥalabi, 1946.

Al-Māwardi, Abu al-Husain Ali. Ādāb al-Dunyā wa al-Din. Beirut: Dār al-Fikr, 1992.

Al-Mubarakfuri, Ṣafiyyurrahman. al-Raḥiq al-Makhtūm, terj. Agus Suwandi, Jakarta: Ummul Qura, 2014.

Munawir, M. Fajrul. “Relevansi Pemikiran Sayyid Qutb tentang Tafsir Jahiliyah bagi Dakwah dan Perkembangan Masyarakat Islam Kontemporer”, Dakwah, Volume 11, Nomor 1, 2011.

Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. Surabaya:

Pustaka Progressif, 1997.

Mustaqim, Abdul. Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur‟an: Studi Aliran-aliran Tafsir dari Periode Klasik, Pertengahan, hingga Modern-kontemporer.

Yogyakarta: Adab Press, 2014.

---. Metodologi Penelitian al-Qurʻān dan Tafsir. Yogyakarta: Idea Press, 2015.

Muzairi (dkk.). Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Fa Press, 2014.

Al-Nawawi, Yahyā. al-Majmuʻ: Syarah al-Muhadzdzab terj. Abdurrahim Ahmad.

Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.

(46)

116

Noor, Juliansyah. Metodologi Penelitian Skripsi, Tesis, Disertasi dan Karya Ilmiah. Jakarta: Prenada Media Group, 2011.

Nur, Zunaidi. ”Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam: “konsep al- Jannah dalam al-Qurʻān: Aplikasi Semantik Toshihiko Izutsu”.

Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2018.

Rahman, Nailur. Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam: “Konsep Salam dalam al-Qur‟an: Dengan Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu”. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2014.

Al-Rāzi, Fakhruddin. Mafātih al-Gaib. Beirut: Dār al-Fikr, 1981.

Romziana, Luthviyah. “Pandangan AL-Qur‟ān tentang Makna Jāhiliyah Perspektif Semantik”, Mutawātir, Volume 4, Nomor 1, Juni 2014.

Al-Saʻdiy, ʻAbdurrahman. Tafsir al-Saʻdiy. Riyaḍ: Dār al-Salām, 2002.

Sattar, Abdul. “Respons Nabi Terhadap Tradisi Jahiliyyah: Studi Reportase Hadis Nabi”, Theologia, Volume 28, Nomor 1, Juni 2017.

Shadiq, Akhmad Fajarus. Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam:

“Konsep Ummah dalam al-Qur‟an (Sebuah Analisis Semantik Toshihiko Izutsu)”. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2016.

Shihab, M. Quraish. Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami al-Qurʻān. Tangerang: Lentera Hati, 2013.

---.. Tafsir al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an. Jakarta:

Lentera Hati, 2002.

Referensi

Dokumen terkait

Semantik al-Qur’an menurut Toshihiko Izutsu berusaha menyingkap pandangan dunia al-Qur’ān (Weltanschauung) melalui analisis semantik terhadap kosakata atau istilah-istilah

Untuk mengetahui konsep syura dengan menggunakan metode semantik Toshihiko Izutsu, diperlukan beberapa hal diantaranya adalah makna dasar, makna relasional, analisis

Formula sosis ikan layang terpilih yaitu pada perlakuan perbandingan ikan layang 70% dan tepung sagu 30% dengan karakteristik organoleptik mutu hedonik kenampakan yaitu

Secara teoritis, karya ini diharapkan dapat menambah wawasan tentang waqf al-mu‟ânaqah dalam kepustakaan ilmu Al-Qur‟an dan Tafsîr Al-Qur‟an melalui studi

Makna jahl yang terdapat dalam ayat 138 dari surah al-A’raf berhubungan erat dengan bani Israil, kebodohan mereka ditafsirkan dengan: “Kebodohan dari orang-orang

Penelitian ini yaitu studi kepustakaan (Library Reseach), merupakan sebuah kegiatan riset yang dilakukan dengan mencari data dari koleksi kepustakaan. Metode yang

Pembatasan kajian pada penelitian ini adalah mengaplikasikan kata ifk dan buhtân yang terdapat di berbagai ayat dalam al-Qur’an dengan menggunakan metode semantik

Analisis kata dhikir dan derivasinya dalam Alquran melalui metode pendekatan teori semantik Toshihiko Izutsu ini memuat mengenai apa makna dasar, makna relasional, makna