HUBUNGAN ANTARA DIMENSI WORKPLACE SPIRITUALITY DAN EMPLOYEE ENGAGEMENT
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun oleh : Elita Kirana
119114027
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2015
iv
Your plan B is God’s plan A
Sometimes I just look up, smile, and say :
“I know that was you, GOD!”
v
For I know the plans I have for you,” declares the L
ORD, “plans to prosperyou and not to harm you, plans to give you hope and a future.
Jeremiah 29 : 11
Dedicated for…
my Heavenly Father
and my father in heaven
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dari daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 18 Mei 2015 Penulis,
Elita Kirana
vii
HUBUNGAN ANTARA DIMENSI WORKPLACE SPIRITUALITY DAN EMPLOYEE ENGAGEMENT
Elita Kirana ABSTRAK
Penelitian ini membahas mengenai hubungan antara workplace spirituality dan employee engagement. Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah employee engagement, sedangkan variabel bebasnya adalah workplace spirituality yang terdiri dari 3 dimensi, yaitu meaningful work, sense of community, dan alignment with organizational value. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 85 orang. Subjek dipilih dengan metode purposive sampling, yaitu karyawan dari perusahaan yang memiliki karakteristik organisasi spiritual. Metode pengumpulan data dengan penyebaran skala yang dikembangkan oleh peneliti. Total aitem skala workplace spirituality adalah 33 aitem dengan masing-masing dimensi 11 aitem. Reliabilitas skala dimensi meaningful work adalah α = 0,993, sense of community α = 0,863, alignment with organizational value α = 0,895. Sementara itu, reliabilitas skala employee engagement sebesar α = 0,949 dengan jumlah 36 aitem. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik korelasi Spearman karena sebaran data tidak normal. Koefisien korelasi employee engagement (n=36; mean=104,08; SD=10,33) dan dimensi meaningful work (n=11; mean=32,13; SD=4,073) r = 0,995, p = 0,000, sedangkan employee engagement (n=36; mean=104,08; SD=10,33) dan dimensi sense of community (n=11;
mean=34,71; SD=3,011) r = 0,986, p = 0,000, serta employee engagement (n=36; mean=104,08;
SD=10,33) dan alignment with organizational values (n=11; mean=30,53; SD=4,078) r = 0,992, p
= 0,000. Artinya, terdapat hubungan positif dan sangat kuat antara dimensi workplace spirituality dan employee engagement. Maka, semakin tinggi dimensi workplace spirituality, semakin tinggi pula employee engagement. Sebaliknya, semakin rendah dimensi workplace spirituality, semakin rendah pula employee engagement.
Kata kunci : workplace spirituality, dimensi workplace spirituality, meaningful work, sense of community, alignment with organizational value, employee engagement
viii
THE CORRELATION BETWEEN DIMENSIONS OF WORKPLACE SPIRITUALITY AND EMPLOYEE ENGAGEMENT
Elita Kirana ABSTRACT
This research discussed about the correlation between workplace spirituality and employee engagement. Dependent variable in this research was employee engagement, while the independent variable was workplace spirituality which is contains from 3 dimensions, such as meaningful work, sense of community, and alignment with organizational value. Subject of this research were 85 people. Subject were chosen by purposive sampling method, which is employee from a company who has the characteristic of spiritual organization. Data gained using psychological scale which developed by researcher. The total item in workplace spirituality scale were 33 items, with each dimension contains 11 items. Reliability for meaningful work was α = 0,993, sense of community α =0,863, and alignment with organizational value α =0,895.
Reliability for employee engagement scale was α =0,949 with 36 items. Analytical data in this research used Spearman correlation because the abnormal on data distribution. The coefficient correlation of employee engagement (n=36; mean=104,08; SD=10,33) and meaningful work (n=11; mean=32,13; SD=4,073) r = 0,995, p = 0,000, employee engagement (n=36;
mean=104,08; SD=10,33) and sense of community (n=11; mean=34,71; SD=3,011) r = 0,986, p
= 0,000, then employee (n=36; mean=104,08; SD=10,33) engagement and alignment with organizational values (n=11; mean=30,53; SD=4,078) r = 0,992, p = 0,000. It means there was a positive and very strong correlation between dimensions of workplace spirituality and employee engagement. Then, higher dimension of workplace spirituality will also have higher employee engagement too. On the other way, lower dimension of workplace spirituality, will have lower employee engagement will be.
Key words : workplace spirituality, dimensions of workplace spirituality, meaningful work, sense of community, alignment with organizational value, employee engagement
ix
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma Nama : Elita Kirana
NIM : 119114027
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
HUBUNGAN ANTARA DIMENSI WORKPLACE SPIRITUALITY DAN EMPLOYEE ENGAGEMENT
Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencamtumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal : 18 Mei 2015 Yang menyatakan,
Elita Kirana
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang bertahta di Kerajaan Surga atas segala kasih, pertolongan, dan penyertaanNya yang nyata sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan tepat waktu. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan banyak pihak. Oleh karena itu, penulis hendak mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. T. Priyo W., M.Si., selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.
2. Ibu Ratri Sunar A. M.Si., selaku Kepala Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.
3. Bapak Prof. A. Supratiknya, selaku Dosen Pembimbing Akademik selama penulis menempuh studi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.
4. Ibu Dewi Soerna Anggraeni M. Psi., selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah membimbing dan mengarahkan penulis hingga terwujudlah skripsi ini dan selesai tepat waktu.
5. Bu Etta dan Pak Tius selaku dosen penguji skripsi, sehingga ujian skripsi saya tidak menyeramkan yang saya bayangkan.
6. Segenap dosen Fakultas Psikologi atas segala ilmu dan pengetahuan yang telah dibagikan selama penulis menempuh pendidikan di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.
xi
7. Segenap karyawan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, Mas Muji dan Mas Doni di lab beserta Bu Nanik dan Mas Gandung di sekre yang telah banyak membantu dan melayani demi kelancaran studi penulis.
8. DIKTI dan (Almh) Ibu Christina Siwi yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menerima Beasiswa Unggulan dalam menempuh studi dan penulis dapat mempertanggungjawabkannya.
9. Bpk. Gideon Hartono dan Ibu Inge Santosa, selaku pimpinan PT. K-24 Indonesia yang telah mengijinkan dan memberi kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian, dan kepada Mbak Lina beserta karyawan PT.K-24 Indonesia yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu penulis dalam penelitian ini.
10. (Alm.) Papa, Mama, Emak, Iik, Aldo, yang menjadikan saya kaya dan memiliki arah karena memiliki keluarga.
11. A. Deddy Kurniawan, my growing up partner and soon become my growing old partner, terima kasih atas dorongan, daya, dukungan, bahkan dana yang telah diberikan, Tidak lupa beserta keluarga yang selalu membawa proses dan kelancaran skripsi saya dalam pokok doa.
12. Keluarga besar KaMbing (Kakak Pembimbing) Komisi Pra Remaja GKI Ngupasan : Momski, Mbok Sus, Mbok Nik, Kak Sin, Ooh, Emon, Wellia, Evan, Ega, Meglin, Ani, Obed, Nanda, dan Tepong beserta Krucil-krucil kesayangan atas canda, tawa, dukungan dan doanya.
13. Sahabat saya (urut NIM ya) : Anka (panggil saja Bebek), Ribka (panggil saja Awek), Elia (panggil saja Pobo), dan Lyvi di kampus lain - teman-
xii
teman yang ada bersama dan akan selalu ada dalam cerita terbaik di hidup saya (ps : another holiday and photoshoot?. Tidak lupa pada Mas Mesach, Jojon, Andik, dan Dek Dika yang turut mendukung dan meramaikan ujian pendadaran saya sekaligus family gathering.
14. Team Parampampa – Tim Minggu ke-2 Ibadah Sabtu GKI Ngupasan : Om Surya, Om Aan, Om Paul, Om Lingga, Banu, C Kitty, C Inez, Vanni, dan Ucu atas segala doa dan dukungan dibalik keceriaan dan jadwal rutin makan B2 bersama. Semoga Parampampa semakin keren aja!
15. Nathan dan Pika, yang mau saya repotkan dan membantu saya berusaha memperbaiki flashdisk berisi file skripsi yang error mendadak di H-1 pengumpulan :’)
16. Ko Engger, yang mau membantu dengan suka rela ketika saya repotkan akan kekurangpahaman saya atas regresi.
17. Meta, teman sejak kanak-kanak hingga saat ini, yang walaupun terpisah tapi tidak pernah lupa memberikan dorongan dan semangat dalam proses pengerjaan skripsi, serta sharing mengenai masa depan
18. Teman-teman, kakak angkatan maupun adik angkatan di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang tidak bisa disebutkan satu per satu karena tentunya akan menghabiskan banyak halaman, kita dipertemukan bukan tanpa alasan, namun untuk sebuah alasan yang mungkin saat ini belum kita ketahui. See you when I see you!
19. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
xiii
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan masih terdapat banyak kekurangan dalam penelitian ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran dari pembaca untuk memperbaiki karya penulis ini. Selain itu, penulis berharap bahwa skripsi ini bermanfaat bagi pembaca. Terima kasih.
Yogyakarta, 18 Mei 2015 Penulis
Elita Kirana
xiv DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ii
HALAMAN PENGESAHAN iii
HALAMAN MOTTO iv
HALAMAN PERSEMBAHAN v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA vi
ABSTRAK vii
ABSTRACT viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ix
KATA PENGANTAR x
DAFTAR ISI xiv
DAFTAR SKEMA .xviii
DAFTAR TABEL xix
DAFTAR GAMBAR xx
DAFTAR LAMPIRAN xxi
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 10
C. Tujuan Penelitian 10
D. Manfaat Penelitian 11
1. Manfaat Teoritis 11
2. Manfaat Praktis 11
xv
BAB II LANDASAN TEORI 12
A. Workplace Spirituality 12
1. Spiritualitas 12
2. Definisi Workplace Spirituality 13
3. Dimensi Workplace Spirituality 14
a. Meaningful work 14
b. Sense of community 14
c. Alignment with organizational values 15 4. Definisi dan Karakteristik Organisasi Spiritual 16
5. Dampak Workplace Spirituality 17
B. Employee Engagement 19
1. Definisi Employee Engagement 19
2. Aspek Employee Engagement 20
3. Faktor Yang Mempengaruhi Terbentuknya Employee
Engagement 21
4. Kategori Employee Engagement 23
5. Perbedaan Employee Engagement dengan Konstruk
Psikologi Lain 24
C. Dinamika Hubungan Antara Workplace Spirituality
dan Employee Engagement 25
D. Kerangka Penelitian 30
E. Hipotesis 33
BAB III METODE PENELITIAN 34
xvi
A. Jenis Penelitian 34
B. Identifikasi Variabel Penelitian 34
1. Variabel Bebas 34
2. Variabel Tergantung 34
C. Definisi Operasional 34
1. Workplace Spirituality 34
2. Employee Engagement 35
D. Subjek Penelitian 36
E. Metode dan Alat Pengumpulan Data 37
F. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur 40
1. Validitas 40
2. Seleksi Item 41
a. Skala Workplace Spirituality 42
b. Skala Employee Engagement 44
3. Reliabilitas 45
G. Metode Analisis Data 46
1. Uji Asumsi 46
a. Uji Normalitas 47
b. Uji Linearitas 47
2. Uji Hipotesis 47
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 49
A. Pelaksanaan Penelitian 49
B. Deskripsi Subjek Penelitian 51
xvii
C. Deskripsi Data Penelitian 52
D. Hasil Analisis Data 56
1. Uji Asumsi Penelitian 56
a. Uji Normalitas 56
b. Uji Linearitas 59
1) Employee engagement dan meaningful work 60 2) Employee engagement dan Sense of community 61 3) Employee engagement dan Alignment with
organizational values 62
E. Uji Hipotesis 63
F. Pembahasan 66
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 71
A. Kesimpulam 71
B. Saran 71
1. Bagi Subjek 72
2. Bagi Perusahaan 72
3. Bagi Penelitian Selanjutnya 73
DAFTAR PUSTAKA 74
LAMPIRAN 78
xviii
DAFTAR SKEMA
Skema 1 Hubungan Dimensi Meaningful Work dan Employee
Engagement 30
Skema 2 Hubungan Dimensi Sense of Community dan Employee
Engagement 31
Skema 3 Hubungan Dimensi Alignment with Organizational Value dan
Employee Engagement 32
xix
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Tabel pemberian skor pada skala 37
Tabel 2 Blue Print Skala Workplace Spirituality 39 Tabel 3 Blue Print Skala Employee Engagement 39 Tabel 4 Blue Print Skala Workplace Spirituality Setelah Uji Coba 44 Tabel 5 Blue Print Skala Employee Engagement Setelah Uji Coba 45 Tabel 6 Hasil Uji Reliabilitas Skala Uji Coba Dimensi Workplace
Spirituality 46
Tabel 7 Kategorisasi nilai korelasi 48
Tabel8 Subjek berdasar jenis kelamin 52
Tabel 8 Subjek berdasar masa kerja 52
Tabel 9 Subjek berdasar usia 52
Tabel 10 Hasil Pengukuran Deskriptif Variabel 53 Tabel 11 Hasil Uji T Dimensi Meaningful work 54 Tabel 12 Hasil Uji T Dimensi Sense of community 54 Tabel 13 Hasil Uji T Dimensi Alignment with organizational value 55
Tabel 14 Hasil Uji T Employee Engagement 55
Tabel 15 Hasil Uji Normalitas 56
Tabel 16 Hasil Uji Linearitas Employee Engagement dan
Meaningful work 60
Tabel 17 Hasil Uji Linearitas Employee Engagement dan
Sense of community 61
Tabel 18 Hasil Uji Linearitas Employee Engagement dan
Alignment with organizational value 62
Tabel 19 Hasil Uji Hipotesis 63
xx
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Kurva Meaningful work 57
Gambar 2 Kurva Sense of community 58
Gambar 3 Kurva Alignment with organizational values 58
Gambar 4 Kurva Employee Engagement 59
Gambar 5 Scatter Plot Meaningful work dan Employee Engagement 60 Gambar 6 Scatter Plot Sense of community dan Employee
Engagement 61
Gambar 7 Scatter Plot Alignment with organizational values
dan Employee Engagement 62
xxi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Skala Uji Coba 79
Lampiran 2 Hasil Reliabitas dan Seleksi Item 90
Lampiran 3 Skala Final 97
Lampiran 4 Statistik Deskriptif 106
Lampiran 5 Hasil Uji Beda Mean (Uji T) 107
Lampiran 6 Hasil Uji Normalitas 109
Lampiran 7 Hasil Uji Linearitas 110
Lampiran 8 Hasil Uji Hipotesis 112
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bendell (dalam Cawe, 2005) menyatakan “In the business world, expected outcomes are quite specific, viz: you compete to remain profitable in order to survive and grow” atau dengan kata lain bahwa dalam dunia bisnis, hasil yang diharapkan adalah hal yang penting karena perusahaan harus berkompetisi mengejar keuntungan untuk tetap bertahan dan berkembang. Kunci keberhasilan organisasi atau perusahaan bertahan adalah sumber daya manusia (Kreitner & Kinicki, 2005). Sulit bagi perusahaan untuk beroperasi secara lancar dan mencapai sasarannya jika sumber daya manusia atau karyawannya tidak mampu bekerja dengan baik (Robbins & Judge, 2015).
Setiap sumber daya manusia adalah unik dan berbeda satu sama lain, sehingga perilakunya juga akan unik (Sopiah, 2008). Oleh karena itu, perusahaan perlu memahami hal ini dengan baik agar mampu menggerakkan karyawan dengan lebih arif dan bijak yang berujung pada pencapaian tujuan organisasi secara efektif dan efisien (Sopiah, 2008). Para ahli pun mulai melakukan penelitian dengan perhatian yang lebih besar pada faktor manusia, terutama hubungan antar manusia dan memperbaiki kondisi kerja (Kreitner &
Kinicki, 2005).
Mengelola sumber daya manusia atau karyawan dengan baik pada kondisi yang baik sama beratnya dengan mengelola karyawan pada kondisi sulit
(Robbins & Judge, 2015). Pada kondisi baik, perusahaan harus memprioritaskan bagaimana memberi penghargaan, memuaskan dan mempertahankan karyawan (Robbins & Judge, 2015). Mempertahankan karyawan atau mencegah berhentinya karyawan dari pekerjaan penting untuk mendapat perhatian perusahaan karena karyawan yang berhenti mengganggu kelangsungan organisasi dan juga menghabiskan biaya (Kreitner & Kinicki, 2005).
Hasil riset menunjukkan adanya hubungan negatif antara kepuasan kerja dengan berhentinya karyawan, sehingga perusahaan disarankan untuk meningkatkan kepuasan kerja karyawan (Kreitner & Kinicki, 2005). Hasil riset lain menunjukkan bahwa pekerja yang puas cenderung lebih efektif dalam produktivitas (Robbins & Judge, 2015). Pada faktanya, karyawan yang merasa puas dengan pekerjaannya dan berkomitmen, terlibat dalam pekerjaan bahkan memiliki Organizational Citizenship Behavior yang tinggi tidak menjamin bahwa karyawan akan tinggal dalam organisasi dengan memberikan kinerja terbaiknya bagi perusahaan (Santosa, 2012). Perusahaan membutuhkan lebih dari itu, yaitu karyawan yang memiliki employee engagement terhadap perusahaan (Santosa, 2012).
Pada tahun 2013, Saks menyatakan bahwa employee engagement masih berupa konsep baru dengan hanya ada sedikit penelitian akademik mengenai topik ini (dalam Agyemang & Ofei, 2013). Employee engagement adalah sebuah konsep baru yang dikembangkan dari konsep komitmen karyawan dan kepuasan kerja karyawan (Rachmawati,2013). Pembahasan mengenai
employee engagement lebih banyak ditemukan dalam jurnal umum yang hanya memiliki dasar praktikal, dibanding teori dan riset (Margaretha &
Saragih, 2013).
Artikel Crabtree (2013) membahas mengenai hasil penelitian Gallup mengenai tingkat engagement lebih dari 6,5 juta karyawan di 170 negara dan membaginya dalam 3 kategori utama, yaitu karyawan “terikat”, “tidak terikat”
dan “aktif terlepas”. Hasil penelitian Gallup menyatakan bahwa terdapat 63%
karyawan berada dalam fase “tidak terikat”. Karyawan pada fase “tidak terlibat” adalah karyawan yang tidak memiliki motivasi dan memiliki kemungkinan lebih kecil untuk ikut terlibat dalam tujuan maupun hasil organisasi. 24% karyawan berada pada kategori “aktif terlepas”, yaitu karyawan yang merasa tidak bahagia, tidak produktif dan kemungkinan besar menyebarkan hal-hal negatif, seperti berusaha mengganggu pekerja lain.
Sementara itu, hanya 13% karyawan di seluruh dunia yang berada pada kategori “terikat” dengan perusahaannya. Hal ini berarti hanya 13% karyawan di seluruh dunia yang berkomitmen secara psikologis terhadap pekerjaannya dan kemungkinan memberikan kontribusi positif bagi perusahaan. Survei Gallup tahun 2011-2012 untuk Indonesia menunjukkan hasil yang tidak berbeda jauh, yaitu 77%+3 (estimasi margin error 3%) tidak terikat, 15%+2 (estimasi margin error 2%) aktif terlepas, dan hanya 8%±3 (estimasi margin error 3%) karyawan yang terikat.
Crabtree (2013) menyatakan banyak hasil penelitian menunjukkan karyawan yang terikat adalah karyawan yang lebih produktif, fokus pada
konsumen, dan bertahan dari godaan meninggalkan perusahaan. Hal inilah yang dipahami banyak perusahaan terbaik dunia bahwa dengan mengembangkan employee engagement akan membantu perusahaan dalam mencapai keberhasilan perusahaan. Hasil penelitian ini memperkuat pernyataan Yadnyawati (2012) bahwa faktor penting bagi kesuksesan perusahaan adalah employee engagement.
Schultz dan Schultz (2010) mendefinisikan employee engagement sebagai kegembiraan kerja yang sebenarnya yang dikarakteristikkan dengan tingginya skor energi, keterlibatan dan efikasi. Lockwood (dalam Yadnyawati, 2012) mendefiniskan employee engagement sebagai sejauh mana karyawan memiliki komitmen terhadap sesuatu atau seseorang dalam perusahaan. Employee engagement didefinisikan pula sebagai motivasi afeksi, pemenuhan karyawan yang berhubungan dengan giat (vigor), dedikasi (dedication) dan penyerapan (absorption) (Schaufeli & Baker, 2004).
Karyawan yang memiliki engagement, akan memiliki level energi yang tinggi, antusias terhadap pekerjaannya, seringkali tenggelam dalam pekerjaannya hingga lupa waktu dan memiliki nilai yang sama dengan organisasi (Schaufeli & Baker, 2004). Schultz dan Schultz (2010) menyatakan bahwa seorang karyawan yang penuh semangat dalam bekerja, resilien, bersedia berkomitmen penuh terhadap pekerjaan, jarang merasa lelah dan gigih menghadapi kesulitan adalah karyawan yang memiliki employee engagement. Seseorang dengan skor employee engagement tinggi juga antusias dan bangga akan pekerjaannya (Schultz & Schultz, 2010). Selain itu,
bagi seseorang dengan skor employee engagement tinggi menjadikan pekerjaan sebagai pusat dan fokus hidup mereka, serta mereka tidak mau dan tidak mampu melepaskan diri dari pekerjaannya. Bagi seseorang dengan skor employee engagement tinggi, bekerja adalah sumber dari kepuasan, tantangan dan pemenuhan diri (Schultz & Schultz, 2010).
Employee engagement dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain komunikasi dalam perusahaan, gaya kepemimpinan, reputasi perusahaan, dan budaya organisasi (Yadnyawati, 2012). Yadnyawati (2012) menyatakan bahwa budaya organisasi yang kuat dapat menghasilkan employee engagement. Budaya organisasi yang kuat berdampak lebih besar pada perilaku karyawan dan lebih terkait langsung dengan menurunnya perputaran karyawan (Robbins & Judge, 20108). Budaya organisasi berfungsi untuk menciptakan pembeda yang jelas antar organisasi, memberi rasa identitas pada anggota organisasi, mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu, meningkatkan kemantapan sosial dan mekanisme pembuat makna yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku karyawan (Robbins, 2006).
Budaya organisasi juga berfungsi untuk mendefinisikan ikatan, perasaan identitas, dan membantu pembentukan komitmen organisasi, membentuk stabilitas, sistem sosial dan petunjuk perilaku serta sikap bagi karyawan (Cropley, 2005).
Robbins (2006) mendefinisikan budaya organisasi sebagai sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu dari organisasi lainnya. Ivancevich, Konopaske, dan Matteson (2006)
mendefiniskan budaya organisasi sebagai apa yang dipersepsikan karyawan dan cara persepsi tersebut menciptakan suatu pola keyakinan, nilai dan ekspektasi. Kreitner dan Kinicki (2000) menyatakan dasar dari budaya organisasi adalah nilai organisasi.
Rokeach (1979) mendeskripsikan nilai organisasi memiliki komponen kognitif, afektif dan tingkah laku yang berinteraksi secara terus menerus dan muncul pada setiap aksi dan tingkah laku organisasi. Kreitner dan Kinicki (2000) menyatakan nilai terdiri dari komponen konsep kepercayaan, mengenai perilaku yang dikehendaki, keadaan yang amat penting, pedoman menyeleksi atau mengevaluasi kejadian dan perilaku serta urut dari yang relatif terpenting.
Nilai menjelaskan bagaimana organisasi akan mencapai visi dan misinya (Nelson & Gardent, 2011). Nilai juga menggambarkan prinsip utama dalam budaya organisasi, dimana seluruh karyawan akan menyadari, menerima dan mengintegrasikan nilai organisasi dalam setiap perilaku dan keputusan mereka (Nelson & Gardent, 2011).
Konsep mengenai nilai organisasi kemudian berkembang menjadi sebuah konsep baru yaitu workplace spirituality (Robbins & Judge, 2008). Robbins dan Judge (2008) mendefinisikan workplace spirituality sebagai kesadaran bahwa orang memiliki kehidupan batin yang tumbuh dan ditumbuhkan oleh pekerjaan yang bermakna dan berlangsung dalam konteks komunitas.
Sementara itu, Giacalone & Jurkiewicz (dalam Nurtjahjanti, 2010) mendefinisikannya sebagai kerangka kerja dari nilai budaya organisasi yang mendorong pengalaman penting karyawan dalam bekerja, memfasilitasi
perasaan terhubung dengan orang lain sekaligus memberikan perasaan lengkap dan bahagia.
Workplace spirituality sama sekali tidak terkait dengan hal religius tentang Tuhan atau teologi (Robbins & Judge, 2008). Hal ini karena spiritualitas adalah kapasitas bawaan otak manusia, yaitu spiritualitas berdasarkan struktur- struktur dalam otak yang memberi kita kemampuan dasar untuk membentuk makna, nilai, dan keyakinan (Amalia & Yunizar, 2007). Spiritualitas memberi nilai-nilai yang dapat dipahami dan dipegang bersama, misalnya saja kejujuran dan integritas, namun pelaksanaannya sesuai dengan individu masing-masing (Amalia & Yunizar, 2007).
Nilai spiritual harus berada di posisi utama dan menjadi roh bagi keberlangsungan organisasi (Arief Yahya, dalam Yuswohady, 2013). Lebih lanjut, Arief Yahya menyatakan jika karyawan memiliki karakter mulia yang bersumber dari nilai universal spiritualitas, maka hal ini akan mewujudkan kinerja organisasi yang luar biasa.
Pada masa kini, Pfeffer (dalam Jurkiewicz & Giacalone, 2004) menyatakan bahwa terdapat 4 aspek utama yang dicari seseorang di tempat kerja. Pertama, seorang karyawan mencari pekerjaan yang menarik dan memberi kesempatan untuk belajar, berkembang, maupun berkompetisi.
Kedua, seseorang juga akan mencari pekerjaan yang bermakna dan memberi perasaan kesadaran akan tujuan. Ketiga, seseorang juga menginginkan adanya perasaan terhubung dan hubungan positif dengan rekan kerja. Keempat, seorang karyawan akan mencari kesempatan untuk dapat memiliki kehidupan
yang terintegrasi antara peran kerjanya dengan peran lainnya. Hal ini konsisten dengan kerangka nilai yang terdapat dalam workplace spirituality, yaitu kebajikan, humanisme, integritas, keadilan, mutualisme, penerimaan, penghormatan, tanggung jawab, dan kejujuran (Jurkiewicz & Giacalone, 2004).
Milliman, Czaplewski dan Ferguson (2003) memfokuskan penelitian mengenai workplace spirituality hanya pada 3 dimensi utama dari workplace spirituality yaitu dimensi meaningful work, sense of community dan alignment with organizational values. Hal ini dilakukan karena ketiga dimensi tersebut menggambarkan keterlibatan individu yang mewakili level individu, kelompok, dan organisasi,
Dimensi meaningful work menggambarkan bagaimana karyawan berinteraksi dengan pekerjaan mereka dari hari ke hari di level individu.
Dimensi ini dipahami sebagai menciptakan makna dan tujuan dari pekerjaan yang mendalam (Milliman, Czaplewski & Ferguson, 2003). Hal ini dibutuhkan karena karyawan pada masa ini mengharapkan pekerjaan yang memberi makna bagi hidup mereka (Ashmos & Duchon, 2000). Saat workplace spirituality dapat memberikan makna dan tujuan pada karyawan yang mendalam, produktivitas dan perfomansi karyawan akan meningkat (Ajala, 2013).
Dimensi sense of community dipahami sebagi hubungan yang dalam dengan orang lain dan berfokus pada perilaku individu di tingkat kelompok dan fokus pada interaksi pekerja dengan rekan kerjanya (Milliman,
Czaplewski & Ferguson, 2003). Hal ini dibutuhkan karena manusia sebagai makhluk hidup terhubung dengan manusia lain, sehingga individu juga merasa ingin terhubung satu sama lain di tempat kerja (Ashmos & Duchon, 2000).
Saat workplace spirituality dapat menciptakan keterhubungan dengan rekan kerja, karyawan akan memiliki tingkat kelekatan, loyalitas, dan kepemilikan yang lebih tinggi (Ajala, 2013).
Alignment with organizational values dipahami sebagai individu mengalami perasaan kesamaan yang kuat antara nilai individu dengan misi dan tujuan organisasi (Milliman, Czaplewski & Ferguson, 2003). Dimensi ini penting karena karyawan memiliki keinginan untuk bekerja di perusahaan yang memiliki tujuan bukan hanya menjadi perusahaan yang baik, namun juga perusahaan yang berusaha untuk memiliki integritas yang tinggi dan memberi kontribusi lebih besar pada kesejahteraan karyawan, konsumen, dan masyarakat sekitar (Milliman, Czaplewski & Ferguson, 2003). Saat penerapan workplace spirituality menjadikan perusahaan berhasil memiliki keselarasan nilai dengan karyawan, karyawan akan memiliki tingkat komitmen yang lebih tinggi dari karyawan, kosnsumen dan masyarakat (Milliman, Czaplewski &
Ferguson, 2003).
Kajian perusahaan konsultan terkemuka menemukan bahwa perusahaan yang menerapkan workplace spirituality berdampak pada meningkatnya produktivitas dan secara signifikan menurunkan perputaran karyawan serta lebih berprestasi dibanding perusahaan yang tidak menerapkannya (Robbins dan Judge, 2005). Hasil penelitian Amalia dan Yunizar (2007) juga
menunjukkan bahwa workplace spirituality memiliki hubungan positif yang kuat dengan employee work attitudes, yaitu intention to quit, organizational commitment, intrinsic job satisfaction, job involvement, dan organization- based self esteem (OBSE).
Sementara itu, hasil penelitian Kolodinsky (dalam Saks, 2011) menemukan bahwa workplace spirituality berhubungan positif dengan job involvement, yang memiliki beberapa persamaan dengan employee engagement. Mirvis (dalam Saks, 2011) menyatakan bahwa untuk menciptakan keterikatan karyawan pada pekerjaan, maka diperlukan maemperhatikan kehidupan spiritual seseorang. Saks (2011) meyakini bahwa workplace spirituality adalah anteseden penting dalam menentukan employee engagement. Saks (2011) pun menyarankan adanya penelitian mengenai hubungan antara kedua variabel tersebut. Untuk itulah, peneliti ingin meneliti mengenai hubungan antara dimensi workplace spirituality dan employee engagement.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan antara dimensi workplace spirituality dan employee engagement?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara dimensi workplace spirituality dan employee engagement.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya ilmu sekaligus digunakan sebagai referensi untuk penelitian lain, terutama di bidang Psikolog Industri dan Organisasi, khususnya dalam hal workplace spirituality dan employee engagement.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi subjek penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat membantu karyawan untuk lebih mengenali peran workplace spirituality yang ada dalam dirinya dan employee engagement yang dimilikinya.
b. Bagi perusahaan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber data untuk melakukan intervensi pada karyawan lama maupun baru dalam rangka membentuk dan meningkatkan workplace spirituality dan employee engagement.
12
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Workplace Spirituality 1. Spiritualitas
Spiritualitas merupakan hal yang pribadi dan personal, memiliki elemen banyak agama, dan mengarah pada pencarian diri seseorang (Ivancevich, Konopaske, & Matteson, 2006). Robby Chandra (dalam Abdurahman dan Agustini, 2011) mendefiniskan spiritualitas sebagai kemauan dan kemampuan untuk menggali makna dari kenyataan hidup.
Sementara itu, Fernando dan Jackson (dalam Inkai & Kistyanto, 2013) menyatakan bahwa spiritualitas adalah mengenai perasaan akan tujuan, makna dan perasaan terhubung dengan orang lain. Dalam konteks ini adalah spiritualitas yang berhubungan dengan komunitas di lingkungan pekerjaan.
Selain itu, Inkai dan Kistyanto (2013) menyatakan spiritualitas adalah kapasitas bawaan otak manusia yang memampukan manusia untuk untuk membentuk makna, nilai, dan keyakinan. Spiritualitas juga didefinisikan sebagai pengalaman pribadi individu yang dapat dilihat dari perilakunya (McCormick, dalam Moore, 2008). Berdasarkan definisi yang ada, peneliti menyimpulkan spiritualitas adalah kemampuan setiap manusia untuk mencari makna dari pengalaman hidup pribadinya.
2. Definisi Workplace Spirituality
Workplace spirituality adalah kesadaran bahwa orang memiliki kehidupan batin yang tumbuh dan ditumbuhkan oleh pekerjaan yang bermakna dan berlangsung dalam konteks komunitas (Robbins & Judge, 2008). Menurut Giacalone & Jurkiewicz (dalam Miller & Ewest, 2011), workplace spirituality adalah kerangka dari nilai organisasi yang dibuktikan dengan adanya budaya organisasi yang mendorong pengalaman transenden karyawan melalui proses pekerjaan dan perasaan terhubung dengan orang lain yang menghasilkan perasaan lengkap dan bahagia.
Ashmos dan Duchon (2000) menyatakan bahwa workplace spirituality adalah pengakuan bahwa karyawan memiliki pusat kehidupan yang memelihara dan dipelihara dengan pekerjaan bermakna yang mengambil tempat dalam konteks komunitas. Sementara itu, workplace spirituality juga diartikan bahwa karyawan memiliki kehidupan personal yang berkembang dan dikembangkan dengan melakukan pekerjaan yang relevan, berarti dan menantang (Ivancevich, Konopaske, & Matteson, 2006).
Berdasarkan uraian yang ada, peneliti menggunakan definisi workplace spirituality menurut Giacalone & Jurkiewicz (dalam Miller &
Ewest, 2011), yaitu kerangka dari nilai organisasi yang dibuktikan dengan adanya budaya organisasi yang mendorong pengalaman transenden karyawan melalui proses pekerjaan dan perasaan terhubung dengan orang lain yang menghasilkan perasaan lengkap dan bahagia.
3. Dimensi Workplace Spirituality
Milliman, Czaplewski dan Ferguson (2003) menyatakan 3 dimensi utama dari workplace spirituality, yaitu :
a) Meaningful work
Aspek fundamental dari workplace spirituality adalah adanya makna dan tujuan mendalam dari pekerjaan (Milliman, Czaplewski &
Ferguson, 2003). Dimensi ini menggambarkan bagaimana karyawan berinteraksi dengan pekerjaan mereka dari hari ke hari di level individu (Milliman, Czaplewski & Ferguson, 2003). Spiritualitas melihat pekerjaan tidak hanya sebagai suatu hal yang menarik dan menantang, namun juga mencari makna dan tujuan yang mendalam, menghidupkan mimpi seseorang dan menggambarkan kebutuhan hidup seseorang dengan mencari makna kerja dan berkontribusi terhadap orang lain (Ashmos & Duchon, 2000). Meaningful work dapat dikarakteristikkan pada level individu bahwa karyawan menikmati pekerjaan, merasa hidup karena pekerjaan, serta mendapat makna dan tujuan personal (Milliman, Czaplewski & Ferguson, 2003).
b) Sense of community
Dimensi penting dari workplace spirituality adalah memiliki hubungan yang dalam dengan orang lain (Ashmos & Duchon, 2000). Dimensi ini berfokus pada perilaku individu di tingkat kelompok dan fokus pada interaksi pekerja dengan rekan kerjanya. Menurut Neal dan Bennet (dalam Milliman, Czaplewski & Ferguson, 2003), sense of community
melibatkan hubungan mental, emosi dan spiritual antara karyawan dalam organisasi. Hal ini membentuk dalamnya perasaan terhubung antar individu, adanya dukungan, kebebasan berekspresi dan penyayoman. Sense of community dikarakteristikkan dengan adanya perasaan terhubung dengan rekan kerja, karyawan mendukung satu sama lain, dan terhubung dengan tujuan bersama (Milliman, Czaplewski & Ferguson, 2003).
c) Alignment with organizational values
Aspek ketiga dalam workplace spirituality adalah alignment with organizational values yang mewakili level organisasi, dimana individu mengalami perasaan kesamaan yang kuat antara nilai individu dengan misi dan tujuan organisasi (Milliman, Czaplewski & Ferguson, 2003).
Alignment with organizational values mencakup konsep bahwa karyawan berkeinginan utnuk bekerja di organisasi dengan tujuan yang tidak hanya menjadi perusahaan yang baik, namun menjadi organisasi yang memiliki etika atau integritas dan berkontribusi lebih besar daripada perusahaan biasa, yaitu kesejahteraan karyawan, pelanggan dan masyarakat. Alignment with organizational values dikarakteristikkan dengan adanya perasaan terhubung dengan tujuan organisasi, mengidentifikasi diri dengan misi dan nilai organisasi, dan adanya perhatian organisasi terhadap karyawan (Milliman, Czaplewski
&Ferguson, 2003).
4. Definisi dan Karakteristik Organisasi Spiritual
Robbins dan Judge (2005) menyatakan bahwa organisasi yang mendukung spiritualitas di tempat kerja disebut dengan organisasi spiritual. Robbins dan Judge (2005) mengidentifikasi karakteristik kultur yang ada dalam organisasi spiritual, yaitu:
a. Kesadaran akan tujuan yang kuat
Organisasi spiritual akan mendasarkan budaya organisasi pada tujuan yang bermakna. Keuntungan organisasi bukanlah nilai utama, namun terilhami oleh tujuan yang diyakini penting dan bermakna.
b. Fokus terhadap pengembangan individu
Organisasi spiritual menyadari makna dan nilai pada setiap manusia.
Hal ini menjadikan organisasi tidak hanya sekedar menyediakan pekerjaan, namun mencoba menciptakan budaya dimana karyawan dapat belajar dan bertumbuh.
c. Kepercayaan dan respek
Ciri organisasi spiritual adalah adanya sikap saling percaya, jujur, dan terbuka. Hal ini dapat menjadikan karyawan tidak takut untuk mengakui kesalahan mereka.
d. Praktik kerja yang manusiawi
Organisasi spiritual menerapkan jadwal kerja fleksibel, imbalan berbasis kelompok dan organisasi, penyempitan kesenjangan gaji dan status, jaminan hak pekerja, pemberdayaan karyawan, dan keamanan kerja.
e. Toleransi bagi ekspresi karyawan
Organisasi berbasis spiritual tidak akan menekan sisi emosional karyawan. Organisasi memberi ruang bagi karyawan untuk menjadi diri sendiri dalam mengutarakan suasana hati dan perasaan.
5. Dampak Workplace Spirituality
Krishnakumar dan Neck (2002) menyatakan bahwa penerapan workplace spirituality memberi dampak positif pada kreativitas, kejujuran dan kepercayaan, pemenuhan personal, dan komitmen. Lebih lanjut, hal ini juga akan berpengaruh terhadap meningkatnya performansi organisasi.
a. Kreativitas
Menurut Freshman (dalam Krishnakumar & Neck, 2002), spiritualitas dapat menimbulkan kesadaran, kesadaran menimbulkan intuisi, dan intiuisi menimbulkan kreativitas. Turner (dalam Krishnakumar &
Neck, 2002) menyatakan bahwa spiritualitas menimbulkan kegembiraan dan kepuasaan sehingga karyawan dapat lebih kreatif.
Lebih lanjut, hal ini dapat meningkatkan performansi organisasi dan kesuksesan finansial.
b. Kejujuran dan kepercayaan
Kriger dan Hanson (dalam Krishnakumar & Neck, 2002) menyatakan bahwa kejujuran dan kepercayaan tidak dapat diragukan ada di seluruh transaksi bisnis. Kepercayaan antara organisasi dan karyawan memegang peran vital dalam performansi perusahaan. Burack (dalam
Krishnakumar & Neck, 2002) menyatakan bahwa ketidakpercayaan dapat menimbulkan masalah dan berdampak serius pada organisasi.
Sementara itu, kepercayaan dapat menimbulkan performansi organisasi yang lebih baik, memperlancar pengambilan keputusan, komunikasi yag lebih baik, fokus pada pelanggan dan inovasi yang lebih baik (Kriger dan Hanson, dalam Krishnakumar & Neck, 2002).
c. Pemenuhan personal
Penerapan spiritualitas akan menuntun karyawan merasa lengkap saat mereka dating ke tem[at kerja. Hal ini akan menghasilkan derajat pemenuhan personal yang tinggi dan meningkatkan moral. Lebih lanjut, hal ini dapat meningkatkan performansi organisasi dan kesuksesan finansial. (Turner, dalam Krishnakumar & Neck, 2002) d. Komitmen
Burack (dalam Krishnakumar & Neck, 2002) menyatakan bahwa spiritualitas meningkatkan komitmen dengan menciptakan iklim penuh kepercayaan di tempat kerja. Komitmen ini tampak dalam bentuk komitmen afektif, yaitu karyawan mampu mengidentifikasi diri dengan tujuan organisasi dan karyawan mau membantu organisasi mencapai tujuan tersebut (Ketchand & Strawser, dalam Krishnakumar & Neck, 2002).
e. Performansi organisasi
Performansi organisasi dan kesuksesan finansial dapat meningkat seiring penerapan workplace spirituality. Hal ini disebabkan organisasi
yang menerapkan spiritualitas secara nyata mendorong karyawan untuk membawa diri secara keseluruhan ke pekerjaan. (Neck &
Milliman, dalam Krishnakumar & Neck, 2002).
B. Employee Engagement
1. Definisi Employee Engagement
Robbins dan Judge (2008) mendefinisikan employee engagement sebagai keterlibatan seorang individu, kepuasan, dan antusiasme terhadap pekerjaan yang dilakukannya. Sementara itu, Schultz dan Schultz (2010) menyatakan bahwa employee engagement adalah kegembiraan kerja yang sebenarnya yang dikarakteristikkan dengan tingginya skor energi, keterlibatan dan efikasi. Schaufeli dan Baker (2004) menyatakan employee engagement sebagai kondisi positif dan pemenuhan karyawan yang berhubungan dengan pekerjaan, dikarakteristikkan oleh adanya giat (vigor), dedikasi (dedication) dan penyerapan (absorption).
Lebih lanjut, Perrin’s Global Workforce Study (dalam Rachmawati, 2013) mendefinisikan employee engagement adalah kesediaan karyawan dan kemampuannya untuk berkontribusi dalam kesuksesan perusahaan secara terus menerus. Hewitt (dalam Cawe, 2006) menyatakan bahwa employee engagement adalah pengukuran komitmen emosional dan intelektual karyawan terhadap organisasi dan pencapaiannya. Selain itu, employee engagement juga diartikan sebagai keterlibatan, kepuasan, dan antusiasme seseorang untuk bekerja (Kreitner & Kinicki, 2005).
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan definisi employee engagement dari Schaufeli dan Baker (2004) yang menyatakan employee engagement sebagai kondisi positif dan pemenuhan karyawan yang berhubungan dengan pekerjaan, dikarakteristikkan oleh adanya giat (vigor), dedikasi (dedication) dan penyerapan (absorption).
2. Aspek Employee Engagement
Schaufeli dan Baker (2004) memiliki pandangan mengenai 3 aspek employee engagement, yaitu :
a. Giat (vigor)
Giat dikarakteristikkan dengan tingginya level energi dan resiliensi mental saat bekerja, kemauan untuk memberi upaya dalam bekerja dan ketekunan dalam menghadapi kesulitan
b. Dedikasi (dedication)
Dedikasi dikarakteristikkan dengan adanya perasaan signifikan, antusiasme, insprirasi, kebanggaan dan tantangan.
c. Penyerapan (absorption)
Penyerapan dikarakteristikkan dengan konsentrasi penuh dan kesenangan bekerja dalam bekerja, dimana waktu berjalan cepat dan individu sulit melepas diri dari pekerjaannya.
3. Faktor Yang Mempengaruhi Terbentuknya Employee Engagement Molinaro dan Weiss (2005) menyatakan beberapa faktor yang mempengaruhi terbentuknya employee engagement, antara lain :
a. Menjadi bagian dari organisasi yang baik
Karyawan mengetahui bahwa mereka menjadi bagian dari sebuah organisasi yang baik. Hal ini dapat berarti organisasi sukses secara finansial, menjadi pemimpin dalam bidangnya, atau organisasi yang memiliki visi ambisius, tujuan utama dan strategi bisnis yang yang baik.
b. Bekerja untuk pemimpin yang dikagumi
Organisasi yang memiliki hubungan kuat dengan pemimpin yang dikagumi akan membentuk kondisi engagement yang tinggi.
c. Memiliki hubungan kerja positif dengan rekan kerja
Karyawan yang memiliki hubungan positif dengan dengan rekan kerjanya akan bersemangat dalam bekerja.
d. Mengerjakan pekerjaan bermakna
Pekerjaan bermakna sering diartikan sebagai bekerja yang menghasilkan perbedaan atau dampak pada organisasi. Karyawan sering ingin melihat bagaimana pekerjaannya berdampak pada visi dan strategi organisasi. Karyawan juga ingin mengetahui apakah klien organisasi merasa tersentuh dengan pekerjaan mereka.
e. Pengakuan dan apresiasi
Pengakuan adalah salah satu pendorong utama employee engagement.
Pengakuan dapat berupa hadiah uang atau kompensasi, namun dapat juga berupa apresoasi dan timbal balik langsung dari atasan.
f. Menjalani kehidupan yang seimbang
Organisasi yang memiliki budaya keseimbangan nilai dan membantu karyawan mencapai keseimbangan hidup akan menghasilkan employee engagement. Keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan tidak berarti bahwa karyawan tidak loyal, namun hal ini berarti karyawan menjalani kehidupan secara menyeluruh, tidak hanya berpusat pada pekerjaan.
Sementara itu, Rich, Lepine, dan Crawford (2010) menyatakan beberapa faktor yang mempengaruhi terbentuknya employee engagement, antara lain :
a. Kesesuaian nilai
Nilai organisasi di komunikasikan kepada anggota organisasi dan berisi perilaku yang diharapkan dari karyawan dalam peran pekerjaan.
Sementara, nilai personal menggambarkan standar perilaku dan hasrat gambaran diri seseorang. Individu yang memiliki kesesuaian antara nilai personal dan nilai organisasi tempat bekerja merasa bahwa peran pekerjaannya sesuai dengan gambaran dirinya. Hal ini menjadikan karyawan akan memiliki keterikatan yang lebih tinggi dengan organisasi.
b. Dukungan organisasi
Karyawan yang merasakan dukungan oganisasi tinggi memiliki ekspektasi positif dan aman terhadap organisasi, serta lebih sedikit alasan untuk cemas mengenai status dan karir. Sementara, karyawan yang merasa dukungan organisasi rendah akan merasa tidak yakin akan ekspektasinya, takut untuk mengikat diri dan memilih untuk membentengi diri dengan menarik diri dari perannya.
c. Evaluasi diri inti
Evaluasi diri inti adalah penilaian individu atas efektivitas, kemampuan, dan kelayakan dirinya. Karyawan dengan evaluasi diri inti yang tinggi akan positif, percaya diri, memiliki efikasi diri, dan percaya pada dirinya. Mereka juga menilai tuntutan dengan lebih positif, memiliki kemampuan lebih untuk menghadapi tuntutan, dan tersedia sumber daya yang lebih untuk peran performansi kerja.
4. Kategori Employee Engagement
Crabtee (2013) melalui hasil riset Gallup memperkenalkan kategori engagement pada karyawan, yaitu :
a. Engaged atau“terikat”
Karyawan pada fase ini akan bekerja dengan sepenuh hati dan merasa terikat dengan perusahaan. Mereka bekerja dengan menghadirkan inovasi dan memajukan perusahaan.
b. Not Engaged atau “tidak terikat”
Karyawan yang sebenarnya berada di luar. Mereka seperti orang-orang yang tertidur dalam pekerjaannya karena hanya sekedar menghabiskan waktu, tanpa adanya energi dan setengah hati pada pekerjaan mereka.
c. Actively Disengaged atau “aktif terlepas”
Karyawan yang tidak gembira dalam bekerja. Karyawan ini sibuk untuk menunjukkan ketidakgembiraan mereka dan berusaha untuk mengganggu pekerja lain.
5. Perbedaan Employee Engagement dengan Konstruk Psikologi Lain Definisi dan pengertian dari employee engagement seringkali tampak serupa dan tumpang tindih dengan beberapa konstruk psikologis lain.
Beberapa diantaranya adalah :
a. Employee Engagement dengan kepuasan kerja
Abhishek Mittal (2011) menyatakan mengenai perbedaan antara employee engagement dengan kepuasan kerja. Kepuasan kerja hanya berbicara satu arah, yaitu “Apa yang bisa perusahaan lakukan bagi karyawan?” sementara employee engagement berbicara 2 arah, yaitu
“Apa yang bisa kita lakukan sebagai rekan kerja?”. Lebih lanjut, engagement adalah kontrak 2 arah, dimana melibatkan lebih banyak konstruk dan berdampak lebih besar terhadap hasil perusahaan.
b. Employee Engagement dengan komitmen organisasi
Margaretha dan Saragih (2013) membedakan antara employee engagement dengan komitmen organisasi. Komitmen organisasi
menunjuk pada sikap dan mengikat seorang karyawan terhadap organisasi mereka. Sementara itu, engagement bukan sikap karena engagement memberi kadar dimana karyawan memiliki perhatian dan keterikatan pada pekerjaan dan perannya.
c. Employee Engagement dengan Organizational Citizenship Behavior (OCB)
Margaretha dan Saragih (2013) juga menyatakan perbedaan antara employee engagement dengan OCB. OCB melibatkan perilaku sukarela dan informal dengan tujuan membantu rekan kerja dan organisasi. Sementara itu, engagement fokus pada peran kinerja formal seorang karyawan yang melebihi peran kerjanya dan perilaku suka rela.
d. Employee Engagement dengan Job Involvement
Santosa (2012) menyatakan bahwa employee engagement juga berbeda dengan job involvement. Job involvement merupakan hasil keputusan kognitif, sementara engagement juga melibatkan emosi dan perilaku aktif untuk mencapai kinerja dalam perusahaan.
C. Dinamika Hubungan Antara Workplace Spirituality dan Employee Engagement
Workplace spirituality adalah kerangka dari nilai organisasi yang dibuktikan dengan adanya budaya organisasi yang mendorong pengalaman transenden karyawan melalui proses pekerjaan dan perasaan terhubung dengan
orang lain yang menghasilkan perasaan lengkap dan bahagia (Giacalone &
Jurkiewicz, dalam Miller & Ewest, 2011). Organisasi yang menerapkan workplace spirituality mengakui bahwa manusia memiliki pikiran dan jiwa, berusaha mencari makna dan tujuan dalam pekerjaan mereka, memiliki hasrat untuk berhubungan dengan orang lain serta menjadi bagian dari sebuah komunitas (Robbins & Judge, 2008). Robbins (2006) menyatakan bahwa penerapan workplace spirituality dalam organisasi menjadikan sebuah organisasi tersebut lebih unggul dan lebih maju dibanding organisasi yang lain. Krishnakumar dan Neck (2002) menyatakan bahwa penelitian mengenai penerapan workplace spirituality memberi dampak yang positif pada kreativitas, kejujuran dan kepercayaan, pemenuhan personal, performansi organisasi dan komitmen. Hal ini menyebabkan banyak organisasi tertarik menerapkan workplace spirituality untuk mengikat hati dan pikiran karyawan (Pfeffer, dalam Saks, 2011).
Dalam penelitian ini, hal yang akan diteliti adalah hubungan antara dimensi workplace spirituality dengan employee engagement, yaitu 1) meaningful work dengan employee engagement, 2) sense of community dengan employee engagement, dan 3) alignment with organizational values dengan employee engagement.
Meaningful work dipahami sebagai adanya makna dan tujuan mendalam dari pekerjaan (Milliman, Czaplewski & Ferguson, 2003). Dimensi ini fokus pada interaksi karyawan dengan pekerjaan mereka dari hari ke hari di level individu (Milliman, Czaplewski & Ferguson, 2003). Karyawan dengan
meaningful work yang tinggi dapat dikarakteristikkan dengan karyawan menikmati pekerjaan, merasa hidup karena pekerjaan, serta mendapat makna dan tujuan personal (Milliman, Czaplewski & Ferguson, 2003). Karyawan dengan meaningful work tinggi akan mengalami bagaimana pekerjaannya berdampak pada visi dan strategi organisasi serta klien. Hal ini menjadikan karyawan akan terikat dengan pekerjaannya. Sementara itu, karyawan dengan meaningful work yang rendah tidak menikmati pekerjaannya, kurang bersemangat dengan pekerjaan dan tidak mendapat makna serta tujuan personalnya. Karyawan tidak mengalami bagaimana pekerjaan mereka memiliki dampak pada visi dan strategi organisasi serta klien, sehingga karyawan cenderung tidak terikat.
Sense of community dipahami sebagai karyawan yang memiliki hubungan mendalam dengan orang lain (Ashmos & Duchon, 2000). Dimensi ini fokus pada perilaku individu di tingkat kelompok dan fokus pada interaksi karyawan dengan rekan kerjanya. Karyawan dengan sense of community yang tinggi memiliki perasaan terhubung dengan rekan kerja, perasaan saling mendukung satu sama lain, dan terhubung dengan tujuan bersama (Milliman, Czaplewski & Ferguson, 2003). Karyawan yang mengalami hal ini akan memiliki hubungan yang positif dengan rekan kerjanya dan lebih menikmati pekerjaannya, sehingga karyawan akan terikat (engaged) dengan pekerjaannya. Sementara itu, karyawan dengan sense of community yang rendah tidak memiliki perasaan terhubung dengan rekan kerja, tidak merasakan adanya dukungan satu sama lain dan terlepas dari tujuan bersama.
Karyawan yang mengalami hal ini akan memiliki hubungan yang negatif dengan rekan kerjanya dan tidak menikmati pekerjaannya, sehingga karyawan akan tidak terikat (not engaged) dengan pekerjaannya.
Alignment with organizational values dipahami sebagai individu mengalami perasaan kesamaan yang kuat antara nilai individu dengan misi dan tujuan organisasi (Milliman, Czaplewski & Ferguson, 2003). Karyawan dengan alignment with organizational values tinggi memiliki perasaan terhubung dengan tujuan organisasi, mengidentifikasi diri dengan misi dan nilai organisasi, dan karyawan merasa adanya perhatian organisasi terhadap karyawan (Milliman, Czaplewski & Ferguson, 2003). Individu yang memiliki kesesuaian antara nilai personal dan nilai organisasi tempat bekerja merasa bahwa peran pekerjaannya sesuai dengan gambaran dirinya. Hal ini menjadikan karyawan akan memiliki keterikatan yang lebih tinggi dengan organisasi. Sementara itu, karyawan dengan alignment with organizational values rendah memiliki perasaan terpisah dengan tujuan organisasi, tidak mengidentifikasi diri dengan misi dan nilai organisasi, dan karyawan merasa tidak adanya perhatian organisasi terhadap karyawan. Hal ini menjadikan karyawan merasa bahwa peran pekerjaannya tidak sesuai dengan gambaran dirinya, sehingga karyawan tidak merasa terikat dengan organisasi.
Karyawan yang terikat merupakan aset perusahaan yang berharga (Dickson, dalam Santosa, 2012). Keterikatan karyawan atau employee engagement juga diyakini sebagai salah satu kunci kesuksesan organisasi (Macey et al, dalam Saks, 2011). Employee engagement adalah kondisi positif
dan pemenuhan karyawan yang berhubungan dengan pekerjaan, dikarakteristikkan oleh adanya giat (vigor), dedikasi (dedication) dan penyerapan (absorption) (Schaufeli & Baker, 2004). Giat (vigor) dikarakteristikkan dengan tingginya level energi dan resiliensi mental saat bekerja, kemauan untuk memberi upaya dalam bekerja dan ketekunan dalam menghadapi kesulitan. Dedikasi (dedication) dikarakteristikkan dengan adanya perasaan signifikan, antusiasme, insprirasi, kebanggaan dan tantangan.
Penyerapan (absorption) dikarakteristikkan dengan konsentrasi penuh dan kesenangan bekerja dalam bekerja, dimana waktu berjalan cepat dan individu sulit melepas diri dari pekerjaannya.
Crabtee (2013) menyatakan kategori engagement pada karyawan, yaitu terikat (engaged) dan tidak terikat (not engaged). Karyawan yang engaged atau“terikat” adalah karyawan yang bekerja dengan sepenuh hati dan merasa terikat dengan perusahaan. Mereka bekerja dengan menghadirkan inovasi dan memajukan perusahaan. Sementara itu, karyawan not engaged atau “tidak terikat” sebenarnya adalah karyawan yang berada di luar. Mereka seperti orang-orang yang tertidur dalam pekerjaannya karena hanya sekedar menghabiskan waktu, tanpa adanya energi dan setengah hati pada pekerjaan mereka.
D. Kerangka Penelitian
E. Hipotesis
Berdasarkan kajian teoritis terhadap konstruk workplace spirituality dan employee engagement, maka hipotesis dari penelitian ini yaitu :
H1 Terdapat hubungan positif antara meaningful work dan employee engagement
H2 Terdapat hubungan positif antara sense of community dan employee engagement
H3 Terdapat hubungan positif antara alignment with organizational values dan employee engagement
34
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian korelasional, yaitu penelitian dengan ciri adanya hubungan korelasi antar dua variabel (Supratiknya, 1998 dalam Sutrisnawati, 2009). Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yang akan diteliti, yaitu workplace spirituality dan employee engagement. Peneliti bertujuan untuk mengetahui hubungan workplace spirituality dan employee engagement.
B. Identifikasi Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini akan diteliti 2 variabel, yaitu :
1. Variabel bebas : workplace spirituality yang memiliki 3 dimensi, yaitu meaningful work, sense of community dan alignment with organizational values.
2. Variabel tergantung : employee engagement
C. Definisi Operasional 1. Workplace Spirituality
Workplace spirituality adalah kerangka dari nilai organisasi yang dibuktikan dengan adanya budaya organisasi yang mendorong pengalaman transenden karyawan melalui proses pekerjaan dan
perasaan terhubung dengan orang lain yang menghasilkan perasaan lengkap dan bahagia (Giacalone & Jurkiewicz, dalam Miller & Ewest, 2011). 3 dimensi workplace spirituality yang akan diukur adalah meaningful work, sense of community, dan alignment with organizational values.
Meaningful work adalah aspek individu, dimana karyawan mencari makna dan tujuan mendalam dari pekerjaan yang dilakukan. Sense of community adalah aspek hubungan dengan orang lain, dimana karyawan mencari perasaan terhubung dengan orang lain dalam lingkungan kerja. Alignment with organizational value adalah aspek organisasi, dimana karyawan mencari kesamaan nilai antara dirinya dengan organisasi tempatnya bekerja.
Semakin tinggi skor setiap dimensi workplace spirituality menunjukkan semakin tinggi tingkat workplace spirituality, sebaliknya semakin rendah skor setiap dimensi menunjukkan semakin rendah tingkat workplace spirituality.
2. Employee Engagement
Employee engagement adalah kondisi positif dan pemenuhan karyawan yang berhubungan dengan pekerjaan, dikarakteristikkan oleh adanya giat (vigor), dedikasi (dedication) dan penyerapan (absorption) (Schaufeli dan Baker, 2004). Employee engagement akan diukur dengan skala psikologis employee engagement yang dikembangkan
oleh peneliti. Skala ini akan mengukur 3 aspek employee engagement, yaitu giat (vigor), dedikasi (dedication), dan penyerapan (absorption).
Giat (vigor) adalah tingginya tingkat energi dan upaya dalam bekerja. Dedikasi (dedication) adalah mengikat diri secara emosional dan intelektual pada pekerjaan. Penyerapan (absorption) adalah kondisi perhatian yang penuh dengan upaya mental tinggi karena senang dengan sesuatu.
Semakin tinggi skor total pada skala employee engagement menunjukkan semakin tinggi tingkat employee engagement.
Sebaliknya semakin rendah total skor menunjukkan semakin rendah tingkat employee engagement.
D. Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah karyawan yang sudah berstatus sebagai karyawan tetap. Hal ini dikarenakan karyawan tetap diharapkan sudah cukup lama mengalami workplace spirituality dalam organisasi dan sudah memiliki employee engagement. Subjek pada penelitian ini dipilih dengan metode purposive sampling, yaitu peneliti sudah menentukan karakteristik subjek berdasar ciri dan sifat populasi sebelumnya (Winarsunu, dalam Sutrisnawati,2009).
Dalam penelitian ini, peneliti menentukan ciri dan sifat subjek yang peneliti tentukan adalah karyawan dari perusahaan yang memiliki karakteristik organisasi spiritual, yaitu organisasi yang memiliki kesadaran
akan tujuan yang kuat, fokus pada pengembangan individu, adanya kepercayaan dan respek, praktik kerja manusiawi, dan adanya toleransi bagi ekspresi karyawan.
E. Metode dan Alat Pengambilan Data
Pengambilan data pada penelitian ini dilakukan dengan metode penyebaran skala. Skala yang digunakan adalah skala yang dikembangkan oleh peneliti mengacu pada landasan teori yang ada. Pengambilan data akan dilakukan dengan menggunakan 2 skala, yaitu skala workplace spirituality dan skala employee engagement.
Skala workplace spirituality dan skala employee engagement menggunakan skala Likert, yaitu subjek diminta menyatakan kesetujuan atau ketidaksetujuannya dalam kontinum terhadap pertanyaan yang disusun peneliti (Supratiknya, 2014). Item dalam skala berisi pernyataan favorable dan unfavorable. Item favorable adalah item yang jika subjek menjawab iya, hal ini menunjukkan sikap positif subjek terhadap objek terkait. Sementara itu, item unfavorable adalah item yang jika diiyakan oleh subjek, menunjukkan sikap negatif terhadap objek (Anderson, 1990 dalam Supratiknya, 2014).
Skala yang digunakan akan tersusun dari dua bagian. Bagian pertama berisi identitas dan petunjuk pengisian, sedangkan bagian kedua berisi petanyaan dan pilihan jawaban. Jawaban yang subjek pilih menggambarkan tingkat persetujuan subjek. Jawaban pada skala ini hanya
terdiri dari 4 macam pilihan. Penggunaan pilihan jawaban genap sengaja dipilih untuk tidak memberi kesempatan subjek memberi jawaban netral (Supratiknya, 2014). Format pilihan jawaban dalam skala ini adalah sebagai berikut:
SS : Sangat Setuju S : Setuju
TS : Tidak Setuju
STS : Sangat Tidak Setuju
Adanya dua macam pertanyaan pada skala penelitian ini berpengaruh pada cara pemberian skor, yaitu sebagai berikut :
Tabel 1
Tabel pemberian skor pada skala
Item favorable Item unfavorable
SS 4 SS 1
S 3 S 2
TS 2 TS 3
STS 1 STS 4
Skala workplace spirituality bertujuan untuk mengukur kecenderungan workplace spirituality yang dimiliki oleh karyawan. Skala ini akan disusun dengan berpedoman pada 3 dimensi workplace spirituality, yaitu meaningful work, sense of community dan alignment with organizational values.