• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI DIVERSI PADA SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI PENGADILAN NEGERI BARRU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "IMPLEMENTASI DIVERSI PADA SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI PENGADILAN NEGERI BARRU "

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

i

SKRIPSI

IMPLEMENTASI DIVERSI PADA SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI PENGADILAN NEGERI BARRU

(Studi Kasus Putusan NO.06/PID.SUS.ANAK/2015/PN.BR)

OLEH

ZULFIKAR AMIN B 111 12 916

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

2017

(2)

i HALAMAN JUDUL

IMPLEMENTASI DIVERSI PADA SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI PENGADILAN NEGERI BARRU

(Studi Kasus Penetapan Nomor 06/PID.SUS.ANAK/2015/PN.BR.)

OLEH

ZULFIKAR AMIN B 111 12 916

SKRIPSI

Diajukan sebagai Tugas Akhir dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana pada Bagian Hukum Pidana

Program Studi Ilmu Hukum

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2017

(3)

ii

(4)

iii

(5)

iv

(6)

v ABSTRAK

ZULFIKAR AMIN (B111 12 916) Implementasi Diversi Pada Sistem Peradilan Pidana Anak Di Pengadilan Negeri Barru(Studi Kasus Penetapan Nomor 06/Pid.Sus.Anak/2015/PN.BR) dibawah bimbingan Said Karim selaku Pembimbing I dan Nur Azisa selaku Pembimbing II.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi diversi pada system peradilan pidana anak studi kasus perkara nomor 06/Pid.Sus.Anak/2015/PN.BR dan untuk apa yang menjadi kendala dalam penerapan diversi pada sistem peradilan pidana anak di pengadilan negeri Barru.

Penelitian ini dilaksanakan di Pengadilan Negeri Barru. Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif dan disajikan secara deskriptif, sehingga diharapkan dapat diperoleh gambaran yang jelas dan konkrit terhadap objek penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi diversi pada system peradilan pidana anak studi kasus perkara nomor 06/Pid.Sus.Anak/2015/PN.BR terlaksana dengan adanya kesepakatan antara pihak yang berperkara dan dituangkan dalam bentuk penetapan. Sebelum penetapan tersebut, terlebih dahulu telah diupayakan diversi pada tahapan penyidikan di kepolisian dan penuntutan di kejaksaan. Dalam proses penyidikan dan penuntutan tidak terjalin kesepakatan antara pihak yang berperkara karena permasalahan ganti rugi. Dan Kendala dalam Penerapan Diversi pada Sistem Peradilan Pidana Anak di Pengadilan Negeri Barru terdapat kesulitan dalam mencapai titik temu antar pihak yang terlibat dalam perkara pidana anak. Hal ini disebabkan ego antar-pihak yang tidak mau mengalah satu sama lain dalam hal persoalan biaya ganti rugi dalam hal terjadinya perkara pidana.

(7)

vi UCAPAN TERIMA KASIH

Assalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan Karunia-Nya, tak lupa pula shalawat dan salam kita kirimkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW beserta para Sahabatnya dan suri tauladannya sehingga penulis senantiasa diberikan kemudahan dan kesabaran dalam menyelesaikan skripsi yang berjudul: Implementasi Diversi Pada Sistem Peradilan Pidana Anak di Pengadilan Negeri Barru (Studi Kasus Penetapan No.06/PID.SUS.ANAK/2015/PN.BR).

Skripsi ini dianjukan sebagai tugas akhir dalam rangka penyelesaian studi sarjana dalam bagian Hukum Pidana program studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Haanuddin.

Ucapan terima kasih yang paling dalam penulis haturkan kepada kedua orang tua penulis, H. Muh. Amin Tjondeng dan Hj. St. Damriah yang telah mencurahkan sayang, perhatian, pengorbanan, doa dan motivasi yang kuat dengan segala jerih payahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Serta kepada saudara-saudaraku Muh.

Hamzah Amin S.H., Muh. Rusli Amin S.S., Fachrul Islam Amin S.Pd., Achmad Firdaus Amin S.S., dan St. Zakiah Amin serta seluruh keluarga besarku yang selalu menyayangi penulis, memberikan dukungan dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Dalam proses penyelesaian skripsi ini, penulis mendapat banyak kesulitan, akan tetapi kesulitan-kesulitan tersebut dapat dilalui berkat banyaknya pihak yang membantu, oleh karna itu penulis ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Dwia Aries Tina Palubuhu, MA selaku Rektor Universitas Hasanuddin dan segenap jajaran Pembantu Rektor Universitas Hasanuddin.

(8)

vii 2. Prof. Dr. Farida Patittingi S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. Ahmadi Miru S.H.,M.H selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Unhas, Dr. Syamsuddin Muchtar, S.H.,M.H selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Unhas, dan Dr. Hamzah Halim, S.H.,M.H selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Unhas.

3. Prof. Dr. H. Muh. Said Karim, S.H.,M.H, M.Si. selaku Pembimbing I dan Dr. Nur Azisa, S.H.,M.H, selaku Pembimbing II yang telah meluangkan waktu dan tenaganya untuk memberikan bimbingan, saran, kritik bagi penulis.

4. Prof. Dr. Muhadar, S.H.,M.H., M.S. dan Dr. Amir Ilyas, SH., MH. serta Dr. Abd. Asis, S.H.,M.H selaku tim penguji penulis.

5. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang dengan ikhlas membagikan ilmunya kepada penulis selama menjalani proses perkuliahan di Fakultas Hukum Unhas.

6. Seluruh staf pegawai akademik Fakultas Hukum Unhas yang telah banyak membantu melayani urusan administrasi dan bantuan lainnya selama menuntut ilmu di Universitas Hasanuddin.

7. Untuk teman-teman seperjuangan di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin terkhusus PETITUM 2012.

8. Keluarga Besar UKM Bengkel Seni Dewi Keadilan (BSDK) kakanda dan senior, kanda Muh. Fauzan Aries , kanda Akram Hadinata, kanda Nur Hadi Halim, kanda Rizal Nurhabib Yusuf, kanda Dima Adinsyah, kanda Irfai Herman, kanda Mario, kanda Tri Bhakti Juniarto, kanda Nurul Fitriani Salim, kanda Nabila, Kanda Aulia Pertiwi, kanda Reski Putri, Kanda Linda Syahrani teman-teman seperjuangan Fajrin Maramis Fauzi, Zakiah Aulia, Khaeril Damis, Farhan Heman, Rial Adifiransa, Rudi, A.J. Gazali, Edi, Resnu Adi Gunawan, Yudi, Yuliani Safrianti, Nur Indah, serta semua yang tidak sempat saya sebutkan terima kasih atas persaudaraan dan kekeluargaannya yang diberikan selama ini.

9. Untuk Diksar XIII Bengkel Seni Dewi Keadilan kepada Kanda dan teman-teman , Kanda Uya, Kanda Virgin, Kanda Shela, Dian Martin , A.

(9)

viii Mega Hutami, Wahyuni Eka Putri, Ahmad Widi Aditya, Eko (Hap), terimakasih atas suka duka, perjuangan, kebersamaan yang berharga dan bermakna, penuh cinta dan kasih sayang.

10. Untuk keluarga besar Gerakan mahasiswa anti narkotika (GERMATIK) Kakanda dan senior Adventus toding, Irwandi husni, Ahmad fauzi, Wahyudi sudirman, Joko fitrianto, Budi setiawan, Syahrul rahmat, Serta teman-teman seperjuangan Rio atma putra, Firman nasrullah, A.surya agung, Julandi j juni, Reza pahlevi, Tiandy anugrah,surahmat,Andi Muh.Rahmat Rivai, Andi esa nastiti, Putri radianti harfin, Arcita dias, Andi dinda mappasessu, Diah ambar sari, Sultan serta teman-teman yang tidak sempat saya sebutkan semuanya, terimah kasih untuk kebersamaanya selama ini.

11. Untuk teman-teman seperjuangan The Destroyer, Kanda Ochank, Kanda Bhakti, Adit, Jin, Khaeril, Farhan, yang selama ini menemani dan memberikan kenangan-kenangan manis dan pahit bersama penulis dan juga untuk bisa berjuang bersama-sama hingga sampai pada tahap ini.

12. Untuk keluarga besar dan teman-teman Kuliah Kerja Nyata (KKN) Reguler Angkatan 90, Kabupaten Bantaeng, Kecamatan Tompobulu, Kelurahan Campaga, M. Masdar Rafiuddin, A. Ayu Lestari, Novia Laksmi Avianty, Arini Disty Utami, Dara Puspita Harvi, Serta Bapak dan Ibu Posko. Terima kasih atas suka dan duka, canda tawa, dukungan moral serta pengertiannya selama ini kepada penulis.

(10)

ix DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i PERSETUJUAN PEMBIMBING ...

... iii PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI ...

... iv ABSTRAK ...

... v UCAPAN TERIMA KASIH ...

... vii DAFTAR ISI ...

... xii BAB I PENDAHULUAN ...

... 1 A. Latar Belakang Masalah...

... 1 B. Rumusan Masalah ...

... 10 C. Tujuan Penelitian ...

... 10 D. Manfaat Penelitian ...

... 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...

... 12 A. Definisi Anak ...

... 12 1. Menurut Pendapat Para Pakar ...

... 12 2. Menurut Ketentuan Perundang-Undangan ...

... 13

(11)

x 3. Kenakalan Anak ...

... 15

4. Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana ... ... 17

B. Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia ... 22 1. Tahap Penyidikan ... ... 23

2. Tahap Penuntutan ... ... 23

3. Tahap Pemeriksaan di Sidang Pengadilan ... ... 24

C. Definisi Diversi ... 25

D. Definisi Keadilan Restoratif ... 29

E. Instrument Hukum Internasional Tentang Hak Anak ... 32

BAB III METODE PENELITIAN ... 39

A. Lokasi Penelitian ... 39

B. Jenis Penelitian ... 39

C. Populasi Dan Sampel ... 40

D. Jenis dan Sumber Data ... 41

E. Teknik Analisis Data ... 41

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 42

A. Implementasi Diversi Pada Sistem Peradilan Pidana Anak di Pengadilan Negeri Barru (Studi Kasus Penetapan No.06/PID.SUS.ANAK/2015/PN.BR) ... 42

B. Kendala Dalam Penerapan Diversi pada Sistem Peradilan Pidana Anak di Pengadilan Negeri Barru ... 53

BAB V PENUTUP ... 55

A. Kesimpulan ... 55

(12)

xi B. Saran... 56 DAFTAR PUSTAKA ... 58

(13)

i BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis yang secara tegas dinyatakan bahwa negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta atas pelindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Oleh karena itu, kepentingan terbaik bagi anak patut dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup umat manusia.1

Kenakalan anak setiap tahun selalu meningkat. apabila dicermati, perkembangan tindak pidana yang dilakukan anak selama ini, baik dari kualitas maupun modus operandi yang dilakukan, kadang- kadang tindakan pelanggaran yang dilakukan anak dirasakan telah meresahkan semua pihak khususnya para orang tua. Fenomena meningkatnya perilaku tindak kekerasan yang dilakukan oleh anak, seolah-olah tidak berbanding lurus dengan usia pelaku. Selain itu,

1 Penjelasan Undang-Undang No.11 tahun 2012

(14)

ii berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan kenakalan anak, perlu segera dilakukan.2

Salah satu upaya pencegahan dan penanggulangan kenakalan anak (politik kriminal anak) saat ini melalui penyelenggaraan sistem peradilan anak (Juvenile Justice). Tujuan penyelenggaraan sistem peradilan anak (Juvenile Justice) tidak semata-mata bertujuan untuk menjatuhkan sanksi pidana bagi anak yang telah melakukan tindak pidana, tetapi lebih difokuskan pada dasar pemikiran bahwa penjatuhan sanksi tersebut sebagai sarana mendukung mewujudkan kesejahteraan anak pelaku tindak pidana.

Anak yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindakan kriminal sangat dipengaruhi beberapa faktor lain di luar diri anak seperti pergaulan, pendidikan, teman bermain dan sebagainya, karena tindak pidana yang dilakukan oleh anak pada umumnya adalah merupakan proses meniru ataupun terpengaruh tindakan negatif dari orang dewasa atau orang di sekitarnya.

Ketika anak tersebut diduga melakukan tindak pidana, sistem peradilan formal yang ada pada akhirnya menempatkan anak dalam status narapidana tentunya membawa konsekuensi yang cukup besar dalam hal tumbuh kembang anak. Proses penghukuman yang diberikan kepada anak lewat sistem peradilan pidana formal dengan memasukkan anak ke dalam penjara ternyata tidak berhasil

2 Nandang Sambas. 2010 . Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia.

Yogyakarta:Graha Ilmu. Hlm.103.

(15)

iii menjadikan anak jera dan menjadi pribadi yang lebih baik untuk menunjang proses tumbuh kembangnya. Penjara justru seringkali membuat anak semakin profesional dalam melakukan tindak kejahatan.3

Salah satu upaya pencegahan dan penanggulangan kenakalan anak (politik criminal anak) saat ini melalui penyelenggaraan sistem peradilan anak (Juvenile Justice). Tujuan penyelenggaraan sistem peradilan anak tidak semata-mata bertujuan untuk menjatuhkan sanksi pidana bagi anak yang telah melakukan tindak pidana, tetapi lebih difokuskan pada dasar pemikiran bahwa penjatuhan sanksi tersebut sebagai sarana mendukung mewujudkan kesejahteraan anak pelaku tindak pidana. Anak yang melakukan pelanggaran hokum atau melakukan tindakan kriminal sangat dipengaruhi beberapa factor lain diluar diri anak seperti pergaulan, pendidikan, teman bermain dan sebagainya, karena tindak pidana yang dilakukan oleh anak pada umumnya adalah merupakan proses meniru ataupun terpengaruh tindakan negative dari orang dewasa atau orang disekitarnya.4

Penyelesaian tindak pidana perlu ada perbedaan antara pelaku orang dewasa dengan pelaku anak, dilihat dari kedudukannya seorang anak secara hukum belum dibebani kewajiban dibandingkan orang

3M. Joni dan Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1999, hal. 1.

4 Marlina.2010. Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum Pidana. Medan:

USU. Press. Hlm 1

(16)

iv dewasa, selama seseorang masih disebut anak, selama itu pula dirinya tidak dituntut pertanggungjawaban, bila timbul masalah terhadap anak diusahakan bagaimana haknya dilindungi oleh hokum. Anak yang diduga keras telah melakukan tidak pidana diproses melalui Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Ana katas perubahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Peradilan anak yang ditangani oleh oleh penyidik khusus menangani perkara anak, dan peran aktif dari penegak hukum ini sangat diperlukan sekali dalam menyelesaikan perkara anak agar tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak anak.5

Berdasarkan Pasal 1 angka 6 UU SPPA disebutkan bahwa Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

Selanjutnya dalam pasal 5 ayat (1) disebutkan bahwa Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif. Keadilan restoratif yang dimaksud dalam UU SPPA adalah kewajiban melaksanakan Diversi.

5 Mulyana W. Kusuma. Hukum dan Hak-Hak Anak. Jakarta: CV. Rajawali, hlm 3.

(17)

v Menurut Retnowulan Sutianto (Hakim Agung Purnabakti), perlindungan anak merupakan suatu bidang Pembangunan Nasional.

Melindungi anak adalah melindungi manusia, dan membangun manusia seutuh mungkin. Hakekat Pembangunan Nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berbudi luhur.

Mengabaikan masalah perlindungan anak berarti tidak akan memantapkan pembangunan nasional. Akibat tidak adanya perlindungan anak akan menimbulkan berbagai permasalahan sosial yang dapat mengganggu penegakan hukum, ketertiban, keamanan, dan pembangunan nasional. Maka, ini berarti bahwa perlindungan anak harus diusahakan apabila kita ingin mengusahakan pembangunan nasional yang memuaskan.6

Pemberian perlindungan terhadap anak tidak hanya diberikan kepada anak yang menjadi korban tindak pidana, namun juga kepada anak yang menjadi pelaku tindak pidana, sehingga dalam proses hukum apalagi dalam memberikan putusan pidana seharusnya juga mempertimbangkan masa depan si anak karena bagi suatu negara, anak merupakan harapan masa depan negara. Apabila anaknya baik maka baik pula masa depan bangsa itu. Buruk kualitas anak-anaknya buruk pula masa depan bangsa ini. Pada sisi yang lain, anak,

6 Romli Atmasasmita (ed), Peradilan Anak di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1997, hlm. 166

(18)

vi merupakan kualitas sumber daya manusia sehagai subyek pembangunan bangsa sekarang dan yang akan datang.

Tindak pidana yang dilakukan anak merupakan masalah serius yang dihadapi setiap Negara. Di Indonesia masalah tersebut banyak diangkat dalam bentuk seminar dan diskusi yang diadakan oleh lembaga-lembaga pemerintah dan lembaga terkait lainnya.

Kecenderungan meningkatnya pelanggaran yang dilakukan anak atau pelaku usia muda yang mengarah pada tindak kriminal, mendorong upaya melakukan penanggulangan dan penanganannya, khusus dalam bidang hukum pidana (anak) beserta acaranya. Hal ini erat hubungannya dengan perlakuan khusus terhadap pelaku tindak pidana usia muda.7

Begitu banyaknya anak-anak yang berhadapan dengan hukum menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) itu terkait aparat hukum itu sendiri. Yang menjadi perhatian KPAI sekarang ini adalah jumlah anak yang berhadapan dengan hukum dalam lima tahun terakhir mencapai 6.000 orang setiap tahunnya. Setiap tahun ada 6.000 anak dengan 3.800 anak berakhir di Lembaga Permasyarakatan (LAPAS) anak. Sisanya ada di Lapas orang dewasa, di tahanan Kepolisian, dan tempat-tempat lain yang tidak layak untuk anak.8 Hal

7 Agung Wahyono dan Siti Rahayu, Tinjauan Peradilan Anak di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1983, hlm. 2

8Pendapat Arist Merdeka Sirait, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), dikutip dalam Harian Media Indonesia Kamis Tanggal 9 Juli 2009.

(19)

vii ini diakibatkan banyaknya putusan pidana terhadap terpidana anak bermuara kepada putusan pidana penjara. Indonesia memiliki payung hukum tentang perlindungan anak tapi sangat disayangkan sarana prasarana tidak ada yang akhirnya para aparat hukum mengambil jalan pintas untuk menyelesaikan permasalahan hukum yang dilakukan oleh anak.

Sampai dengan Per 23 Juli 2016, berdasarkan data yang didapat dari situs resmi Ditjen PAS, jumlah tahanan anak yang terdaftar di UPT yang dikelola Ditjen PAS di 33 Wilayah berjumlah 1.002 anak. Jumlah ini lebih banyak di banding tahun 2015 (692 tahanan anak). Angka ini tidak termasuk jumlah tahanan anak yang dikelola oleh polisi. Sedangkan untuk jumlah anak yang menjadi narapidana (warga binaan) berjumlah 2.957 Anak yang tersebar di 33 Wilayah di Indonesia.9

Sebagai upaya mengatasi kelemahan UUPA, maka diberlakukan UUSPA. Perubahan fundamental dalam UUSPA tersebut adalah digunakannya pendekatan restoratif justice melalui Sistem Diversi. Dalam peraturan ini diatur mengenai kewajiban para penegak hukum dalam mengupayakan Diversi (penyelesaian melalui jalur non formal) pada seluruh tahapan proses hukum. Hal ini berbeda dengan Ketentuan UUPA yang hanya memungkinkan diversi diberlakukan oleh

9 Harian Terbit: Anak masih berpotensi masuk rumah tahanan,

http://nasional.harianterbit.com/nasional/2016/07/25/66232/43/25/Anak-Masih-Berpotensi- Masuk-Rumah-Tahanan diakses pada hari jum’at 1 september 2016.

(20)

viii penyidik berdasarkan kewenangan diskresioner yang dimilikinya dengan cara menyerahkan anak yang berhadapan dengan hukum kepada orang tuanya, wali atau orang tua asuhnya.

Proses peradilan perkara Anak sejak ditangkap, ditahan, dan diadili pembinaannya wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang memahami masalah Anak. Namun, sebelum masuk proses peradilan, para penegak hukum, keluarga, dan masyarakat wajib mengupayakan proses penyelesaian di luar jalur pengadilan, yakni melalui Diversi berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif.

Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) UU SPPA, keadilan restoratif adalah:

Keadilan Restoratif pendekatan yang digunakan dalam pelaksanaan diversi, yaitu penyelesaian perkara pidana anak dengan cara musyawarah yang melibatkan Anak dan orang tua/Walinya, korban dan/atau orang tua/Walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional. Akan tetapi, proses diversi ini hanya dapat dilakukan untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7 tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana .

Keadilan restoratif kemudian oleh undang-undang tersebut dilaksanakan melalui penerapan konsep diversi. Menurut Pasal 1 angka 7 UUSP diversi adalah :

(21)

ix

“Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.”

Banyak anak yang masih di tempatkan atau dititipkan di Lembaga Permasyarakatan. Hal ini merupakan suatu permasalahan yang dihadapi oleh terpidana anak setelah menerima putusan (vonis) oleh hakim, sebagai anak yang sedang berhadapan dengan hukum, harus diperlakukan secara manusiawi, didampingi, disediakan sarana dan prasarana khusus, sanksi yang diberikan kepada anak sesuai dengan prinsip kepentingan terbaik anak, hubungan keluarga tetap dipertahankan artinya anak yang berhadapan dengan hukum kalau bisa tidak ditahan/dipenjarakan.

Permasalahan saat ini yaitu UUSPA merupakan undang- undang yang baru berlaku mulai 30 Juli 2014. Tujuan yang mulia termuat didalam ketentuan undang-undang tersebut guna mengimplementasikan asas kepentingan terbaik bagi anak. Namun ketika dipersingungkan dengan tujuan pemidanaan yang selama ini dianut dalam hukum pidana Indonesia maka akan menimbulkan beberapa hal yang kontradiktif. Sehingga diperlukan persiapan yang matang guna menerapkan ketentuan tersebut kedalam sistem peradilan pidana saat ini.

(22)

x Berdasarkan latar belakang yang dikemukan di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang dituangkan ke dalam bentuk Skripsi dengan judul “Implementasi Diversi pada Sistem Peradilan Pidana Anak di Pengadilan Negeri Barru”(Studi Kasus Putusan No.06/PID.SUS.ANAK/2015/PN.BR)

A. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah implementasi diversi pada sistem peradilan pidana anak di Pengadilan Negeri Barru?

2. Apakah yang dihadapi dalam penerapan diversi pada sistem peradilan pidana anak di Pengadilan Negeri Barru?

B. Tujuan Penelitan

Suatu penelitian pada dasarnya memiliki tujuan yang hendak dicapai agar penelitian tersebut mencapai sasarannya berupa jawaban terhadap rumusan masalah yang hendak dicapai.

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengkaji dan mengetahui Bagaimanakah implementasi diversi pada sistem peradilan pidana anak di Pengadilan Negeri Barru.

(23)

xi 2. Untuk mengetahui Apakah yang dihadapi dalam penerapan diversi pada sistem peradilan pidana anak di Pengadilan Negeri Barru.

C. Manfaat Penelitian

1. Diharapkan dapat menambah pengetahuan dalam rangka menunjang pengembangan ilmu bagi penulis sendiri dan mahasiswa fakultas hukum pada umumnya.

2. Menjadi masukan bagi masyarakat dan para penegak hukum dalam menegakkan ketentuan hukum dengan mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak.

3. Diharapkan dapat bermanfaat bagi praktisi hukum dan aparat penegak hukum dalam rangka penegakan hukum pidana khususnya dalam hal perlindungan hukum terhadap terpidana anak.

(24)

xii BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Anak

1. Menurut Pendapat Para Pakar

Anak bukanlah miniatur orang dewasa, anak mempunyai ciri dan karakteristik tersendiri, sehingga harus diperlakukan secara berbeda (istimewa) pula, sehingga harus memperhatikan hak- haknya, kelangsungan hidupnya di masa depan, dan juga harus mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak. Berikut adalah beberapa pengertian anak menurut para pakar :

a) Menurut John Locke (dalam Gunarsa, 1986) : “ anak merupakan pribadi yang masih bersih dan peka terhadap rangsangan-rangsangan yang berasal dari lingkungan”.

b) Menurut Agustinus (dalam Suryabatra. 1987) : “anak tidaklah sama dengan orang dewasa, anak mempunyai kecenderungan untuk menyimpang dari hukum dan ketertiban yang di sebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan pengertian terhadap realita kehidupan, anak – anak lebih mudah belajar dengan contoh – contoh yang diterimanya dari aturan –aturan yang bersifat memaksa”.

(25)

xiii Perlindungan anak merupakan suatu bidang Pembangunan Nasional. Melindungi anak adalah melindungi manusia, dan membangun manusia seutuh mungkin. Hakekat Pembangunan Nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berbudi luhur. Mengabaikan masalah perlindungan anak berarti tidak akan memantapkan pembangunan nasional. Akibat tidak adanya perlindungan anak akan menimbulkan berbagai permasalahan sosial yang dapat mengganggu penegakan hukum, ketertiban, keamanan, dan pembangunan nasional. Maka, ini berarti bahwa perlindungan anak harus diusahakan apabila kita ingin mengusahakan pembangunan nasional yang memuaskan.

2. Menurut Ketentuan Perundang-Undangan

Beberapa peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar penerapan hukum terhadap anak memiliki pendefinisian tentang anak berbeda-beda hal tersebut disebabkan oleh tujuan dari pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut dalam memberikan bentuk perlindungan hukum terhadap anak sehingga batasan konsep tentang anak berbeda-beda pula. Berikut defenisi anak menurut beberapa ketentuan undang-undang :

a) Konvensi Hak-hak Anak: Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan yang berlaku bagi anak tersebut ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal.

(26)

xiv b) Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 Tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 angka 20 “ anak adalah orang laki-laki atau wanita yang berumur kurang dari 15 tahun”.

c) Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Pasal 1 angka 5 “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan“.

d) Menurut Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi Pasal 1 angka 4 “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun“.

e) Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 1 angka 3 “ Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana“.

f) Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 1 angka 1 “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.

g) Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak Pasal 1 angka 2 “ Anak adalah

(27)

xv seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin”.

h) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM) Pasal 1 angka 5 “ Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, terrnasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya”.

i) Pasal 45 KUHP “anak yang belum dewasa apabila seseorang tersebut belum berumur 16 tahun“.

j) Pasal 330 ayat (1) KUHperdata “Seorang belum dapat dikatakan dewasa jika orang tersebut umurnya belum genap 21 tahun, kecuali seseorang tersebut telah menikah sebelum umur 21 tahun”.

3. Kenakalan Anak (Juvenile Delinquency)

Istilah delinkuen berasal dari Delinquency, yang diartikan dengan kenakalan anak, kenakalan remaja, dan kenakalan pemuda. Kata Juvenile Delinquency erat kaitannya dengan anak, sedangkan kata Delinquent act diartikan pebuatan yang melanggar norma dasar dari masyarakat. Perbuatan tersebut apabila dilakukan oleh kelompok anak-anak, maka disebut Delinquency. Jadi Delinquency mengarah pada pelanggaran

(28)

xvi terhadap aturan yang dibuat kelompok social masyarakat tertentu bukan hanya hukum negara saja.

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Delinkuensi adalah Anak yang melakukan tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang- undangan maupun menurut peraturan lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Pengertian Delinquency menurut Simanjuntak :

a. Juvenile Delinquency berarti perbuatan dan tingkah laku yang merupakan perbuatan perkosaan terhadap norma hokum pidana dan pelanggaran-pelanggaran terhadap kesusilaan yang dilakukan oleh para Delinquent.

b. Juvenile Delinquent itu adlah pelaku yang terdiri dari anak berumur dibawah 21 tahun, yang termasuk yurisdiksi pengadilan anak atau Juvenile Court.10

Selanjutnya Kartini Kartono mengemukakan Juvenile delinquency ialah perilaku jahat atau kejahatn atau kenakalan anak- anak muda, merupakan gejala sakit (patologis) sacara social pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk tingkah laku yang menyimpang. Juvenile berasal dari Bahasa atin juvenilis artinya

10 Simanjuntak. (1979). Latar Belakang Kenakalan Remaja. Bandung: Cetakan 2. Alumni, hlm. 60.

(29)

xvii anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda dan sifat- sifat khas pada periode remaja. Delinquent berasal dari kata latin delinquere yang artinya terabaikan, mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, kriminal, pelanggaran aturan, pembuat ribut, pengacau, peneror, tidak dapat diperbaiki lagi, durjana, dursila, dan lain-lain. Delinquency selalu berkonotasi serangan, pelanggaran, kejahatan dan keganasan yang dilakukan oleh anak muda dibawah usia 22 tahun.11

Menurut Romli Atmasasmita istilah delinquency tidak identik dengan istilah kenakalan dan istilah Juvenile tidak identik dengan istilah anak. Istilah juvenile delinquency lebih luas artinya daripada istilah kenakalan ataupun istilah anak-anak. Oleh karena itu, Romli lebih cenderung menggunakan istilah kenakalan anak daripada istilah kejahatan anak-anak.12

4. Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana

Dalam hukum adat tidak terdapat pemisahan secara jelas antara batasan umur seorang yang telah cakap bertindak dan orang yang masih di bawah umur adalah mereka yang belum mempunyai kecakapan untuk bertindak

11 Kartini Kartono 1998, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Hlm 6

12 Romli Atmasasmita 1983, Problema Kenakalan Anak-Anak/Remaja. Jakarta: Armico hlm 17

(30)

xviii Ter Haar (1960:160) mengemukakan bahwa:

“Menurut hukum adat masyarakat kecil itu, maka seseorang menjadi dewasa adalah saat ia sudah kawin dan meninggalkan rumah ibu

bapaknya untuk berumah lain merupakan keluarga yang telah berdiri sendiri.”

Hal ini menunjukkan bahwa dalam hukum adat tidak dikenal adanya suatu perbatasan umur tertentu untuk menyatakan apakah seseorang sudah dewasa atau belum, hal ini hanya tergantung pada keadaan yang dapat dilihat apakah seorang anak sudah dapat mengurus diri sendiri dan mengurus kepentingannya serta ikut dalam kehidupan hukum dan sosial di dalam lingkungan di mana ia berada. Atau dengan kata lain hanya dapat dilihat dari ciri-ciri nyata yang ada pada diri seseorang. Dalam Hukum Islam juga demikian, orang yang telah dewasa disebut orang yang telah akil baliq yaitu dihitung sejak seoarang laki-laki mengalami mimpi basahnya yang pertama dan pada wanita dihitung sejak haid pertama atau lebih menampakkan kematangan bersetubuh dengan orang lain.

(31)

xix Dengan melihat apa yang telah diuraikan diatas, maka penentuan umur seseorang yang belum akil baliq dan yang telah akil baliq menurut hukum Islam sangatlah sukar sekali, sebab adanya tanda-tanda yang berlainan pada masing-masing individu untuk lebih memperjelas mengenai kelompok umur ini, dapat diketahui dengan mengemukakan beberapa kelompok umur ini, dapat diketahui dengan mengemukakan beberapa segi tinjauan antara lain dari segi pandangan biologis menunjukkan bahwa:

a) Umur 0 sampai 1 tahun disebut masa bayi

b) Umur 1 sampai 12 tahun disebut masa anak-anak.

c) Umur 12 tahun sampai 15 tahun disebut masa puber.

d) Umur 15 sampai 21 tahun disebut masa pemuda.

e) Umur 21 tahun keatas sudah berada pada tingkat dewasa.

Dari segi pandangan ini, maka masa remaja dapat ditandai dengan ketentuan umur seperti disebut diatas, disamping itu adalah dengan semakin sempurnanya organ-organ tubuhnya, hal ini biasanya terjadi pada umur sekitar 13 sampai 20 tahun. Jadi antara ketentuan umur dengan perkembangan organ-organ tubuh dapat ditarik kesimpulan bahwa masa remaja yaitu antara 12 tahun sampai 20 tahun.

Sudut pandang yuridis, dimana undang-undang menyebut batas umur sesuai dengan permasalahan yang diatur. Hal ini dapat

(32)

xx dilihat dari beberapa ketentuan yang dirumuskan dalam undang- undang lainnya, yakni:

1) Untuk bidang ketenagakerjaan, seseorang diperlukan sebagai anak sampai batas umur maksimum 16 tahun.

2) Untuk proses perdata dan kepentingan kesejahteraan sosial, seseorang diperlukan sebagai anak sampai batas umur 21 tahun

3) Untuk proses pidana diperlukan sebagai anak sampai batas umur maksimum 18 tahun.

Uraian tersebut di atas dapat dilihat bahwa tidak adanya istilah remaja, melainkan istilah anak dengan batasan umur sebagaimana tersebut di atas, beberapa undang-undang kesejahteraan anak, misalnya menganggap semua orang di bawah usia 21 tahun dan belum menikah sebagai anak-anak oleh karenanya berhak mendapat perlakuan dan kemudahan- kemudahan yang diperlukan bagi anak. Mengenai penjelasan tentang pengertian anak tidak ada keseragaman, bahkan terkesan sangat variatif tergantung dari sudut mana kita memilihnya, sehingga dalam perumusannya masih ditemukan pengertian yang berbeda-beda.

Dari beberapa penafsiran pengartian tentang anak yang dikemukakan di atas maka sehubungan dengan penelitian ini yang

(33)

xxi dimaksud dengan anak adalah anak sebagai pelaku tindak pidana yang merujuk ke UUSPPA , yang dalam Pasal 1 angka (3) bahwa Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

Adapun pengertian anak sebagai korban yang merujuk kepada UUSPPA, dalam pasal 1 angka (4) bahwa Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut sebagai Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.

(34)

xxii B. Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia

Sistem peradilan pidana anak merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana.

Sementara Romli Atmasasmita, membedakan antara pengertian

“criminal justice process” dan “criminal justice system”. Pengertian Criminal Justice Process adalah setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seorang tersangk ke dalam proses yang membawanya kepada penentuan pidana baginya, sedangkan pengertian Criminal Justice System adalah interkoneksi antara keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana.13

Salah satu sistem peradilan pidana yang berlaku di Indonesia adalah Sistem Peradilan Pidana Anak. Istilah sistem peradilan pidana anak merupakan terjemahan dari isitilah The Juvenile Justice System, yaitu suatu istilah yang digunakan sedefinisi dengan jumlah institusi yang tergabung dalam pengadilan, yang meliputi polisi, jaksa penuntut umum dan penasehat hukum, lembaga pengawasan, pusat-pusat penahanan anak dan fasilitas-fasilitas pembinaan anak.

Pada akhirnya Undang-Undang Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak memberikan definisi berupa keseluruhan proses

13 Soetodjo Wagiati. 2010. Hukum Pidana Anak. Bandung: Refika Aditama. Hlm 17

(35)

xxiii penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di siding pengadilan. Tahapan dimaksud akan diuraikan sebagai berikut:

1) Tahap Penyidikan

Sebagaimana telah kita ketahui pada Pasal 26 Ayat (1) UUSPA Penyidikan terhadap perkara Anak dilakukan oleh Penyidik yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta pada Pasal 26 Ayat (3) UUSPA meliputi syarat sebagai berikut:

a) Telah berpengalaman sebagai penyidik;

b) Mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah Anak; dan

c) Telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak.

2) Tahap Penuntutan

Berdasarkan Pasal 41 Ayat (1) UUSPA, penuntutan terhadap perkara Anak dilakukan oleh Penuntut Umum yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Jaksa Agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung. Adapun mengenai syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penuntut Umum berdasarkan Pasal 41 Ayat (2) UUSPA adalah sebagai berikut:

a) Telah berpengalaman sebagai penuntut umum;

(36)

xxiv b) Mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami

masalah Anak; dan

c) Telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak.

3) Tahap Pemeriksaan di Sidang Pengadilan

Beradasarkan Pasal 43 UUSPA pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap perkara Anak dilakukan oleh Hakim yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Ketua Mahkamah Agung atas usul ketua pengadilan negeri yang bersangkutan melalui ketua pengadilan tinggi. Adapun syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Hakim terdapat pada Pasal 43 Ayat (2) UUSPA meliputi:

a) Telah berpengalaman sebagai hakim dalam lingkungan peradilan umum;

b) Mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah Anak; dan

c) Telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak.

Hakim Banding berdasarkan Pasal 45 UUSPA ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung atas usul ketua pengadilan tinggi yang bersangkutan, dengan syarat pada Pasal 46 sama dengan Pasal 43 Ayat (2). Hakim Kasasi berdasarkan Pasal 48 UUSPA ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua

(37)

xxv Mahkamah Agung, dengan syarat pada Pasal 49 sama dengan Pasal 43 Ayat (2).

C. Definisi Diversi

Diversi adalah pengalihan penyelesaian kasus-kasus anak yang diduga melakukan tindak pidana tertentu dari proses pidana formal ke penyelesaian damai antara tersangka/terdakwa/pelaku tindak pidana dengan korban yang difasilitasi oleh keluaga dan/atau masyarakat, pembimbing kemasyarakatan anak, polisi, jaksa atau hakim.14

Diversi adalah sebuah tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan atau menempatkan pelaku tindak pidana anak keluar dari sistem peradilan pidana. 15 UUSPA telah mengatur tentang diversi yang berfungsi agar anak yang berhadapan dengan hukum tidak terstigmatisasi akibat proses peradilan yang harus dijalaninya. Hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam Resolusi PBB tentang UN Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice, (Beijing Rule) Rule 11 :16

14 M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2013 hal 136

15 http:// doktormarlina.htm Marlina, Penerapan Konsep Diversi Terhadap Anak Pelaku TindakPidana dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Diakses pada 2 September 2016

16Hadisuprapto, Paulus. 2006. Pidato Pengukuhan Guru Besar, Peradilan Restoratif : Model Peradilan Anak Indonesia Masa Datang. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Dalam Lushiana Primasari, Keadilan Restoratif Dan Pemenuhan Hak Asasi Bagi Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum, Internet, Hal 3. Diakses pada 2 September 2016.

(38)

xxvi

“Diversion, involving removal from criminal justice processing, and frequently redirection to community support services, is commonly practiced on a formal and informal basis in many legal system. This practice serves to hinder the negative effects of subsequent proceedings in juvenile justice administration (for example the stigma of conviction and sentence). In many cases, non intervention would be the best response. This diversion at the out set and without referral to alternative (social) services may be the optimal response. This is especially the case where the offence is of a non-serious nature and where the family, the school r other informal social control institutions have already reacted, or are likely to react, in an appropriate and constructive manner”.

Konsep Diversi pertama kali dikemukakan sebagai kosa kata pada laporan peradilan anak yang disampakan Presiden Komisi Pidana (president’s crime commissionis) Australia di Amerika Serikat pada tahun 1960. Awalnya konsep diversi telah ada sebelum tahun 1960 ditandai berdirinya peradilan anak (children’s court) sebelum abad ke-19 yaitu diversi dari sistem peradilan pidana formal dan formalisasi polisi untuk melakukan peringatan (police cautioning). Prakteknya telah berjalan di Negara bagian Victoria Australia pada tahun 1959 diikuti oleh negara bagian Queensland pada tahun 1963.

(39)

xxvii Pelaksanaan diversi di latarbelakangi keinginan menghindari efek negatif terhadap jiwa dan perkembangan anak oleh keterlibatannya dengan sistem peradilan pidana.Pelaksanaan diversi oleh aparat penegak hukum didasari oleh kewenangan aparat penegak hukum yang disebut discretion atau dalam bahasa Indonesia diskresi. Dengan penerapan konsep diversi bentuk peradilan formal yang ada selama ini lebih mengutamakan usaha memberikan perlindungan bagi anak dari tindakan pemenjaraan.

Selain itu terlihat bahwa perlindungan anak dengan kebijakan diversi dapat dilakukan di semua tingkat peradilan mulai dari masyarakat sebelum terjadinya tindak pidana dengan melakukan pencegahan.Setelah itu jika ada anak yang melakukan pelanggaran maka tidak perlu diproses ke polisi.

Prinsip utama pelaksanaan konsep diversi yaitu tindakan persuasif atau pendekatan non penal dan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memperbaiki kesalahan.17

Diversi berupaya memberikan keadilan kepada kasus anak yang telah terlanjur melakukan tindak pidana sampai kepada aparat penegak hukum sebagai pihak penegak hukum. Kedua keadilan tersebut dipaparkan melalui sebuah penelitian terhadap keadaan dan situasi untuk memperoleh sanksi atau tindakan yang tepat

17 http:// doktormarlina.htm Marlina, Penerapan Konsep Diversi Terhadap Anak Pelaku TindakPidana dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Diakses pada 2 September 2016

(40)

xxviii (appropriate treatment) Tiga jenis pelaksanaan program diversi yaitu :18

a) Pelaksanaan kontrol secara sosial (social control orientation), yaitu aparat penegak hukum menyerahkan pelaku dalam tanggung jawab pengawasan atau pengamatan masyarakat, dengan ketaatan pada persetujuan atau peringatan yang diberikan. Pelaku menerima tanggung jawab atas perbuatannya dan tidak diharapkan adanya kesempatan kedua kali bagi pelaku oleh masyarakat.

b) Pelayanan sosial oleh masyarakat terhadap pelaku (social service orientation), yaitu melaksanakan fungsi untuk mengawasi, mencampuri, memperbaiki dan menyediakan pelayanan pada pelaku dan keluarganya. Masyarakat dapat mencampuri keluarga pelaku untuk memberikan perbaikan atau pelayanan.

c) Menuju proses restorative justice atau perundingan (balanced or restorative justice orientation), yaitu melindungi masyarakat, memberi kesempatan pelaku bertanggung jawab langsung pada korban dan masyarakat dan membuat kesepakatan bersama antara korban pelaku dan masyarakat. Pelaksanaannya semua pihak yang terkait

18 http://lutfichakim.blogspot.com/2012/12/konsep-diversi.html, diakses pada 2 September 2016

(41)

xxix dipertemukan untuk bersama-sama mencapai kesepakatan tindakan pada pelaku.

Pada UUPA terdapat beberapa contoh penerapan diversi meskipun tidak terdapat pengertian diversi di dalamnya, serta belum dikatakan secara signifikan merupakan diversi karena terdapat beberapa perbedaan mengenai kedudukan konsep diversi itu sendiri.

D. Definisi Keadilan Restoratif

Keadilan restoratif atau restorative justice merupakan alternatif atau cara lain peradilan kriminal dengan mengedepankan pendekatan integrasi pelaku di satu sisi dan korban/ masyarakat di lain sisi sebagai satu kesatuan untuk mencari solusi serta kembali pada pola hubungan baik dalam masyarakat.

Kata kunci dari restorative justice adalah “empowerment”, bahkan empowerment ini adalah jantungnya restoratif (the heart of the restorative ideology), oleh karena itu restorative justice keberhasilannya ditentukan oleh pemberdayaan ini. Dalam konsep tradisional, korban diharapkan untuk tetap diam, menerima dan tidak ikut campur dalam proses pidana. Secara fundamental ide restorative justice hendak mengatur kembali peran korban yang

(42)

xxx demikian itu, dari semula yang pasif menunggu dan melihat bagaimana sistem peradilan pidana menangani kejahatan

“mereka”, diberdayakan sehingga korban mempunyai hak pribadi untuk berpartisipasi dalam proses pidana. Dalam literatur tentang restorative justice, dikatakan bahwa “empowerment” berkaitan dengan pihak-pihak dalam perkara pidana (korban, pelaku dan masyarakat).

Ada beberapa prinsip dasar yang menonjol dari restorative justice terkait hubungan antara kejahatan, pelaku, korban, masyarakat dan negara. Pertama, kejahatan ditempatkan sebagai gejala yang menjadi bagian tindakan sosial dan bukan sekedar pelanggaran hukum pidana; kedua, restorative Justice adalah teori peradilan pidana yang fokusnya pada pandangan yang melihat bahwa kejahatan adalah sebagai tindakan oleh pelaku terhadap orang lain atau masyarakat daripada terhadap negara. Jadi lebih menekankan bagaimana hubungan/ tanggungjawab pelaku (individu) dalam menyelesaikan masalahnya dengan korban dan atau masyarakat; ketiga, kejahatan dipandang sebagai tindakan yang merugikan orang dan merusak hubungan sosial. "Ini jelas berbeda dengan hukum pidana yang telah menarik kejahatan sebagai masalah negara, hanya negara yang berhak menghukum”;

keempat, munculnya ide restorative justice sebagai kritik atas

(43)

xxxi penerapan sistem peradilan pidana dengan pemenjaraan yang dianggap tidak efektif menyelesaikan konflik sosial.

Identifikasi beberapa ciri/tipikal dari program-program atau hasil (outcomes) restorative justice antara lain meliputi: victim offender mediation (memediasi antara pelaku dan korban);

conferencing (mempertemukan para pihak); circles (saling menunjang); Victim assistance (membantu korban); ex-offender assistance (membantu orang yang pernah melakukan kejahatan);

restitution (memberi ganti rugi/menyembuhkan); community service (pelayanan masyara-kat). adalah: terjadi pemulihan kepada mereka yang menderita kerugian akibat kejahatan; pelaku memiliki kesempatan untuk terlibat dalam pemulihan keadaan (restorasi);

dan pengadilan berperan untuk menjaga ketertiban umum dan masyarakat berperan untuk melestarikan perdamaian yang adil.

Keadilan dalam restorative justice mengharuskan untuk adanya upaya memulihkan/mengembalikan kerugian atau akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana, dan pelaku dalam hal ini diberi kesempatan untuk dilibatkan dalam upaya pemulihan tersebut, semua itu dalam rangka memelihara ketertiban masyarakat dan memelihara perdamaian yang adil.

(44)

xxxii E. Instrumen Hukum Internasional tentang Hak Anak

1. Konvensi Hak Anak (KHA)

Menurut KHA defenisi anak adalah setiap manusia yang belum berumur 18 tahun, setiap manusia berarti tidak boleh ada pembeda-pembeda atas dasar apapun, termasuk atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, keyakinan politik atau keyakinan lainnya, kebangsaan, asal-usul etnik atau sosial, kekayaan, cacat atau tidak, status kelahiran ataupun status lainnya, baik pada diri si anak maupun pada orang tuanya. Salah satu hak anak adalah hak atas perlindungan khusus, yang dimaksud adalah hak perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapam dengan hukum (ABH) sebagai pelaku. Dalam hal ini khususnya jajaran penegak hukum (polisi, jaksa, hakim dll) berkewajiban untuk melakukan penanganan permasalahan anak (ABH) dengan benar dan penuh kehati-hatian dengan dasar prinsip-prinsip konvensi hak anak.

Konvensi Hak Anak atau Convention on the Rights of The Child adalah sebuah perjanjian internasional yang mengatur tentang hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya dari anak-anak.

Majelis umum PBB mengadopsi konvensi ini melalui Resolusi Majelis Umum PBB No.44/25 dan terbuka untuk ditandatangani, pada 20 November 1989 pada peringatan 30 tahun Deklarasi Hak-Hak Anak.

(45)

xxxiii Konvensi ini mulai berlaku pada 20 November 1989 setelah jumlah negara yang meratifikasinya memenuhi syarat. Indonesia melakukan menandatangani konvensi ini pada 26 Januari 1990 dan melakukan ratifikasi terhadap konvensi ini mulai Keputusan Presiden No.36 tahun 1990 yang dikeluarkan pada 25 Agustus 1990. Beberapa hal penting dalam Konvensi Hak Anak antara lain yaitu ditetapkannya bahwa defenisi anak adalah setiap manusia yang belum berumur 18 tahun. Selain itu Konvensi Hak Anak terdapat empat prinsip penting yaitu : prinsip non diskriminasi, prinsip hak hidup, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang, prinsip kepentingan terbaik anak dan prinsip partisipasi anak

Asas kepentingan terbaik bagi anak (The Best Intres of the Child) merupakan salah satu prinsip utama perlindungan anak sesuai dengan semangat Konvensi Hak Anak (KHA) yang semestinya menjadi dasar dan acuan bagi setiap pihak dalam menangani dan menyelesaikan permasalahan anak yang berhadapan dengan hukum (anak sebagai pelaku).

2. Beijing Rules (Standard Minimal Internasional Pemenjaraan Anak)

Beijing Rules memberikan mandat kepada negara-negara untuk melakukan riset sebagai suatu dasar untuk merencanakan, merumuskan kebijakan dan evaluasi.

(46)

xxxiv Hal paling perinsip dari Beijing Rules antara lain :19

1) Peradilan bagi anak hendaknya dipandang sebagai suatu yang integeral dari proses pembangunan nasional setiap negara, dalam suatu kerangka menyeluruh dari keadilan sosial bagi seluruh anak, dengan demikian, pada saat bersamaan, memberikan andil bagi perlindungan kaum muda dan pemeliharaan ketertiban yang damai dalam masyarakat .

2) Seorang anak adalah seorang anak atau orang muda yang menurut sistem hukum masing-masing, dapat diperlakukan atas suatu pelanggaran hukum dengan cara yang berbeda dari perlakuan terhadap orang dewasa.

3) Hak privasi seorang anak hedaknya dihormati pada seluruh tahap untuk menghindarkan terjadinya kerugian terhadapnya oleh publisitas yang tidak sepantasnya atau oleh proses percepatan

4) Pada perinsipnya, keterangan yang dapat mengarah pada terungkapnya identitas seorang pelanggar hukum berusia muda hendaknya tidak diumumkan ke khalayak. Pertimbangan akan diberikan, bilamana layak, untuk menangani pelanggar hukum berusia muda tanpa menggunakan pengadilan formal oleh pihak berwenang yang berkompenten .

19 Peraturan-peraturan minimum Standard Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Administrasi Peradilan Bagi Anak (Beijing Rules) disahkan melalui Resolusi Majelis PBB No.4033 Tanggal 29 Nopember 1985

(47)

xxxv 5) Penahanan sebelum pengadilan hendaknya hanya digunakan sebagai pilihan langkah terakhir dan untuk jangka waktu sesingkat mungkin. Dimana mungkin, penahan sebelum pengadilan akan diganti dengan langkah-langkah alternatif, seperti, pengawasan ketat, perawatan intensif atau penempatan pada sebuah keluarga atau pada suatu tempat pendidikan atau rumah.

Prinsip tersebut menjelaskan bahaya akan ”pencemaran kejahatan” bagi anak sementara dalam penahanan sebelum pengadilan tidak boleh diremehkan. Dengan demikian adalah penting untuk menekankan perlunya langkah-langkah alternatif. Dari prinsip- prinsip tersebut diatas memberikan penjelasan akan pentingnya perlindungan terhadap anak akan privasi orang-orang berusia muda (anak dan anak remaja) sangat rentan terhadap stigmatisasi dan pentingnya melindungi anak dari pengaruh-pengaruh merugikan yang ada diakibatkan oleh publikasi di media masa. Peraturan harus sesuai dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam konvensi hak- hak anak, terutama prinsip kepentingan terbaik bagi anak.

3. The Tokyo Rules (Peraturan Standar Minimum Perserikatan Bangsa Bangsa Untuk Upaya Upaya Non-Penahanan)

Menghindari penahanan sebelum diadili, pada butir 6.1 Penahanan pra-peradilan haruslah digunakan sebagai langkah

(48)

xxxvi terakhir dalam proses peradilan, guna menghormati investigasi atas kejahatan yang dituduhkan dan untuk perlindungan masyarakat dan korban.20

Rule 8.1 mengatur bahwa pejabat pengadilan berwenang di dalam menetapkan sanksi non-custodial yang beragam dengan mempertimbangkan :

a) Kebutuhan anak;

b) Perilaku perlindungan masyarakat dan kepentingan korban.

Sementara itu Rules 8.2 mengatur tentang pejabat pembinaan dapat saja menerapkan berbagai jenis sanksi yang berupa :

a) Sanksi verbal dalam bentuk nasihat yang baik, teguran keras, dan peringatan keras;

b) Pembebasan bersyarat;

c) Pidana yang berhubungan dengan status;

d) Sanksi ekonomi dan pidana yang bersifat uang seperti denda dan denda harian;

e) Perampasan dan perintah pengambilalihan;

f) Pembayaran ganti rugi korban atau kompensasi lain;

g) Pidana bersayarat;

h) Pengawasan;

i) Perintah kerja sosial;

j) Pengiriman pada pusat kehadiran;

k) Penahanan rumah; atau

l) Kombinasi dari tindakan – tindakan di atas.

20 Peraturan Standard Minimum Perserikatan Bangsa-Bangsa Untuk Upaya-Upaya Non-Penahanan (The Tokyo Rules) Resolusi PBB 45/110, 1990 pada bagian II tahap Pra Pradilan Psl.6

(49)

xxxvii 4. JDL / Havana Rules (Peraturan Perserikatan Bangsa-Bangsa

Untuk Perlindungan Anak Yang dicabut kebebasannya)

Sistem peradilan anak hendaknya menjujung tinggi hak-hak dan keamanan dan mengedepankan kesejahteraan jasmani dan rohani anak. Pemenjaraan hendaknya digunakan sebagai upaya terakhir.

Anak hendaknya dicabut kebebasannya sesuai dengan perinsip-perinsip dan prosedur yang ditetapkan dalam peraturan ini dan dalam Peraturan Minimum Standard Perserikatan Bangsa- Bangsa Mengenai Penyelenggaraan Pengadilan Anak (Beijing Rule).

Pencabutan kebebasan seorang anak hendaknya merupakan disposisi upaya terakhir dan hendanya dilakukan untuk masa minimum yang dipandang perlu dan hendaknya dibatasi pada kasus- kasus luar biasa. Lamanya sanksi hendaknya ditentukan oleh otoritas peradilan, tanpa mengesampingkan kemungkinan pembebasan dirinya.

5. Riyadh Guidelines (Pedoman Riyadh)

Pedoman Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Pencegahan Tindak Pidana Anak, yang menjadi prinsip-prinsip dasar antara lain :

(50)

xxxviii a) Prinsip 1. Pencegahan tindak pidana anak merupakan bagian utama pencegahan kejahatan dalam masyarakat.

Melalui kegiatan-kegiatan yang secara sosial dan secara hukum bermanfaat, dan dengan menerapkan orientasi kemanusiaan terhadap masyarakat maupun pandangan hidup, kaum muda dapat mengembangkan sikap-sikap ”non crimogenic”

b) Prinsip 5. Kebutuhan akan dan pentingnya kebijakan- kebijakan progresif mengenai pencegahan tindak pidana dan kajian yang sistimatis serta penjabaran upaya-upaya tersebut hendaknya diakui. Upaya-upaya ini hendaknya menghindari kriminalisasi (criminalizing) dan penalisasi (penalizing) atas suatu prilaku anak yang tidak menyebabkan kerugian serius terhadap perkembangan anak atau membahayakan orang lain. Kebijakan dan upaya-upaya berikut ini agar tercakup

Ketentuan mengenai kesempatan, terutama mengenai kesempatan pendidikan, dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan anak dan berfungsi sebagai kerangka pendukung dalam melindungi perkembangan individu seluruh anak.

Referensi

Dokumen terkait

Jika zakat disatukan dengan pajak, maka syariat dari zakat akan hilang, dan men- jadi tidak penting lagi, zakat bukan lagi suatu kewajiban melainkan akan terkesan sebagai

Selan itu, dalam ayat (4) “Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen amdal” juga tidak diikuti penjelasan, sehingga dapat

Penelitian ini adalah penelitian lapangan dengan metode deskriptif-kualitatif penulis langsung terjun kelapangan untuk mencari data dari para responden yaitu para ulama baik

Objektif utama kajian adalah untuk mengenalpasti aspek-aspek yang menjadi keutamaan dan kekangan yang dihadapi oleh para pekebun kecil getah dalam pengurusan tanaman getah di

Menurut (Hayati,2005), penelitian sebelumnya yang menyatakan berdasarkan uji organoleptik yang dilakukan pada percobaan pendahuluan, biskuit yang dibuat dengan

Data penelitian berupa penggalan kalimat dan dialog yang mengandung konsep bushido pada tokoh Momotaro, Kintaro, dan Urashimataro dalam cerita rakyat Jepang

Namun, disadari ataupun tidak di dalam jalinan komunikasi visual online tersebut, terdapat proses komodifikasi agama yang mana dalam aktivitasnya netizen menawarkan