BAB I PENDAHULUAN
1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian
Sektor infrastruktur salah satu sektor yang perkembangan nya pesat di Indonesia karena beberapa tahun terakhir Indonesia mengalami pembangunan yang sangat pesat terutama dalam pembangunan jalan tol. Dengan kata lain pembangunan infrastruktur dalam satu Negara sangatlah penting dan dapat membantu perekonomian Negara. Karena dapat memudahkan untuk mengakses banyak hal.
Oleh sebab itu banyak perusahaan sektor infrastruktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
Bursa Efek Indonesia (BEI) merupakan wadah untuk perusahaan yang ingin go public. Tujuan dari perusahaan untuk go public ialah agar mendapatkan dana jangka panjang dari pihak eksternal. Perusahaan yang terdaftar di BEI wajib melaporkan laporan keuangannya secara berkala. Tercatat 700 perusahaan yang terdaftar di BEI dari berbagai sektor. Sektor Perusahaan yang terdaftar di BEI antar lain sektor Pertanian, Pertambangan, Industri dasar dan kimia, Aneka Industri, Industri Barang dan Konsumsi, Property, Real estate dan Kontruksi bangunan, Keuangan, Perdagangan, Jasa dan Investasi, dan Infrastruktur, Utilitas dan Transportasi.
Sektor Infrastruktur, Utilitas dan Transportasi terbagi dalam 7 bagian sub sektor. Diantaranya sub sektor energi, sub sektor jalan tol, pelabuhan, bandara, dan sejenisnya, sub sektor telekomunikasi, sub sektor transportasi, dan sub sektor kontruksi dan bangunan. Sub sektor energi terdiri dari 8 perusahaan, sub sektor jalan tol, pelabuhan, bandara dan sejenisnya terdiri dari 5 perusahaan, sub sektor telekomunikasi terdiri dari 6 perusahaan, sub sektor transportasi terdiri dari 46 perusahaan, dan sub sektor kontruksi dan bangunan terdiri dari 18 perusahaan.
(www.sahamok.com)
Perkembangan pembiayaan infrastruktur, utilitas dan transportasi di pasar modal dinilai menunjukkan pertumbuhan signifikan. Hal ini tercermin dari aktivitas perusahaan tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI). Dari 653 perusahaan yang tercatat di BEI, 78 diantaranya termasuk kategori infrastruktur, utilitas dan transportasi
dengan kapitalisasi pasar atau market capitalization senilai Rp 865 Triliun. Ini artinya, kontribusi perusahaan infrastruktur, utilitas dan transportasi market sebesar 12% dari total kapitalisasi pasar BEI. Dari pencapaian tersebut, Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna menganggap, pemanfaatan pasar modal di sektor infrastruktur, utilitas dan transportasi masih memiliki banyak peluang. Beliau menambahkan, BEI akan mendukung penuh, sehingga ke depan, sektor infrastruktur, utilitas dan transportasi akan dapat dibiayai oleh bursa. Kapitalisasi pasar Infrastruktur (2019, September 27): https://penerbitdeepublish.com/cara-menulis- kutipan-dari-berita- online/ Diakses Pada 2021, mei 28 dari artikel ilmiah
Berikut perkembangan perusahaan sub sektor infrastuktur, Utilitas dan Transportasi di Indonesia dari tahun 2015 – 2019
Gambar 1.1 perkembangan Perusahaan Sektor Infrastruktur, Utilitas dan Transportasi di Indonesia Pada Tahun 2015 – 2019
Sumber : idx.co.id (data diolah penulis 2021)
Gambar 1.1 menjelaskan bahwa perusahaan infrastruktur selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, terlebih ditahun 2018 cukup mengalami peningkatan yang signifikan, adanya penambahan 10 perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Peningkatan perusahaan mempengaruhi total modal
49 52
59
69
78
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
2015 2016 2017 2018 2019
Perkembangan Sub Sektor Infrastruktur, Utilitas dan Transportasi Tahun 2015 – 2019 di
Indonesia
perusahaan sektor infrastruktur, utilitas dan transportasi pada tahun 2018 mengalami kenaikan, kenaikan tersebut sekitar 1,15% atau sekitar Rp.
26.581.456.794.075 dari tahun 2017. Berikut merupakan gambaran total modal yang dimiliki sektor infrastruktur, utilitas dan transportasi dari tahun 2015 – 2019.
Gambar 1.2 Total Modal Perusahaan Sektor Infrastruktur, Utilitas Dan Transportasi Tahun 2015 – 2019
Sumber : idx.co.id (data diolah penulis 2021)
Pada gambar 1.2 menunjukkan total modal perusahaan sektor infrastruktur, utilitas dan transportasi mengalami fluktuasi nilai total modal dan total modal terlemah terjadi pada tahun 2016 dengan total modal sebesar Rp.
119.709.843.036.039 atau mengalami penurunan sebesar 0,04% dari tahun 2015.
Mengutip dari Simorangkir (2016) “Ekonomi yang produktif tidak mungkin dicapai apabila tidak didukung ketersediaan infrastruktur yang memadai, oleh sebab itu infrastruktur merupakan kunci bagi pertumbuhan ekonomi, termasuk pemerataan pembangunan” Menurut Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono. https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d- 3419534/pembangunan-infrastruktur-dongkrak-pertumbuhan-ekonomi-ri-2016 Diakses pada 10 September, 2021.
Karena sektor infrastruktur sangatlah penting untuk kemajuan perekonomian Negara maka perusahaan harus mampu menjaga kestabilan
0 50.000.000.000.000 100.000.000.000.000 150.000.000.000.000 200.000.000.000.000 250.000.000.000.000
2015 2016 2017 2018 2019
Total Modal Perusahaan Sektor Infrastruktur, Utilitas dan Transportasi
Tahun 2015 - 2019
keuangan perusahaan agar terhindar dari financial distress dan tidak menyebabkan dampak yang buruk untuk perekonomian Negara. Financial distress perusahaan mampu dikendalikan salah satunya dengan perusahaan mengawasi total modal yang dimiliki agar perusahaan selalu dapat membayar total hutang perusahaannya sehingga dapat membuat perekonomian Negara membaik, Hal inilah yang membuat saya memilih sektor infrastruktur, utilitas dan transportasi sebagai objek pada penelitian ini
1.2 Latar Belakang
Tujuan didirikannya perusahaan adalah untuk menciptakan laba dalam jangka waktu yang panjang. Laba yang dihasilkan bertujuan untuk menjalankan opersional dan mempertahankan perusahaan untuk jangka waktu yang lama, terciptanya perusahaan yang dapat mengatur opersional nya, dapat mempertahankan para pemegang saham. Setiap perusahaan harus mampu bersaing dengan kompetitornya agar dapat mempertahankan bisnis nya. Perusahaan yang tidak mampu bersaing dengan kompetitor nya dalam menciptakan laba akan mengalami kendala dalam bidang keuangan yang dapat berdampak terhadap operasional perusahaan.
Kebangkrutan perusahaan biasanya diawali kondisi kesulitan keuangan atau financial distress (Ratna & Marwati, 2018)
Menurut Undang – Undang No. 4 Tahun 1998 tentang kepailitan, menyatakan bahwa kebangkrutan sebagai situasi yang dinyatakan pailit oleh keputusan pengadilan. Hukum kepailitan lainnya diungkapkan pada Peraturan Pemerintah UU No. 37 tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU Kepailitan, yang menyebutkan Perusahaan dinyatakan pailit/bangkrut apabila dalam jangka waktu tertentu tidak bisa melakukan pembayaran pokok dan atau bunganya. Kebangkrutan merupakan kondisi perusahaan gagal dalam menghasilkan laba untuk jalannya operasional perusahaan, sehingga dapat memicu perusahaan dalam kondisi distress atau kesulitan keuangan (Adnan dan Arisudhana, 2017)
Menurut Kristanti (2019:3) mendefinisikan kesulitan keuangan merupakan situasi ketika sebuah perusahaan tidak mampu memenuhi kewajibannya. Hal ini merupakan tanda awal sebelum akhirnya hal yang paling buruk dapat terjadi, yaitu kebangkrutan. Financial distress tidak saja merusak sistem keuangan perusahaan, tetapi juga organisasi secara keseluruhan. Hilangnya sumber keuangan perusahaan
dan sumber daya manusia yang menyebabkan likuidasi. Financial distress diketahui sebelum adanya perusahaan mengalami kebangkrutan, oleh karena itu perusahaan harus selalu mengetahui bagaimana kondisi laporan keuangan untuk menghindari terjadinya kebangkrutan. EPS menjadi tolak ukur perusahaan mencapai keuntungan.
Salah satu hal yang dapat mempertimbangkan investor untuk menanamkan modal ke suatu perusahaan akan melihat EPS yang tersaji di laporan keuangan, dengan kata lain EPS juga menjadi salah satu tolak ukur investor untuk berinvestasi. Pada penelitian ini, pengukuran financial distress menggunakan dummy dengan kriteria eps negatif diberi angka 1 dan eps positif diberi angka 0. Banyak faktor yang dapat menyebabkan perusahaan menghadapi financial distress yaitu antara lain kenaikan biaya operasi, ekspansi berlebihan, ketinggalan teknologi, kondisi persaingan, kondisi ekonomi, kelemahan manajemen perusahaan dan penurunan aktivitas perdagangan industri (Whitaker, 1999)
Dalam perusahaan sub sektor infrastruktur, utilitas dan transportasi, memiliki nilai EPS fluktuasi dalam kurun waktu 5 tahun ke belakang.
Gambar 1.2 Jumlah Perusahaan Sub Sektor Infrastruktur, Utilitas dan Transportasi Yang Mengalami EPS Negatif
Sumber: Idx.co.id (data diolah penulis, 2021)
Gambar 1.2 menjelaskan bahwa EPS sub sektor infrastruktur, utilitas, dan transportasi mengalami fluktuasi, pada tahun 2015 perusahaan yang mengalami EPS negatif sejumlah 18, dan kenaikan pada tahun 2016 sampai dengan 2018 perusahaan yang mengalami EPS negatif menjadi 22 perusahaan. Pada tahun 2019 mengalami penurunan menjadi 20 perusahaan yang mengalami EPS negatif. Dan ada beberapa perusahaan yang selalu mengalami EPS negatif berturut – turut, yaitu. PT. Indonesia
18
22 22 22
20
0 5 10 15 20 25
2015 2016 2017 2018 2019
Sub Sektor Infrastruktur, Utilitas dan Transportasi yang Memiliki EPS Negatif yang Terdaftar di Bursa
Efek Indonesia Tahun 2015 - 2019
Transport dan Infrastruktur Tbk, PT. Leyand International Tbk dan PT. Wintermar Offshore Marine Tbk.
Harry Muthahhari dan Herlina Kartika Dewi (2018, April 26) “Indonesia Transport dan Infrastruktur membukukan kerugian US$ 6,76 juta pada 2017” PT. Indonesia Transport dan Infrastruktur Tbk (IATA) mencatat rugi bersih sebesar US$ 6,76 juta pada tahun 2017. Nilai kerugian itu menurun jika dibandingkan tahun 2016 yang sebesar US$ 10,99 juta. Sementara itu pendapatan IATA pada tahun lalu tercatat US$
16,10 juta, turun 1,04% dari 2016 yang sebesar US$ 16,27 juta. Managing Director PT Indonesia Transport & infrastruktur Tbk Wishnu Handoyono menilai, penurunan pendapatan dikarenakan titik perekonomian turun yang menyebabkan para prospek pelanggan eksisting mengurangi pemakaian pesawat. Sekadar informasi, bisnis IATA berfokus pada penerbangan privat atau pesawat carter bernama Indonesia Air.
IATA juga mempunyai anak perusahaan MNC Infratama yang mengembangkan fasilitas terminal batubara berupa pelabuhan batubara dan jalan raya pertambangan.:https://investasi.kontan.co.id/news/indonesia-transport- infrastructure- membukukan-kerugian-us-676-juta-pada-2017 Diakses pada 2021, mei 30
Andy Dwijayanto & Handoyo (2018, Oktober 30) “Kinerja Leyand International (LAPD) dipengaruhi penurunan penjualan listrik” PT. Leyand International Tbk (LAPD) masih belum bisa memperbaiki kinerjanya sepanjang kuartal III. Perusahaan yang bergerak di investasi, industri listrik dan energi masih mengalami tekanan akibat penurunan penjualan listrik dan sewa genset. Berdasarkan laporan keuangan yang dirilis hari ini, LAPD mencatat pendapatan usaha bersih sebesar Rp 86,06 miliar atau turun 9,03% ketimbang periode yang sama tahun sebelumnya yang tercatat sebesar Rp 94,6 miliar. Penurunan terjadi karena adanya penurunan penjualan energi listrik 12,13% dari sebelumnya Rp 78,82 miliar menjadi Rp 69,26 miliar. Sedangkan penyewaan genset juga mengalami penurunan 37,21%
dari Rp 28,03 miliar menjadi Rp 17,6 miliar. Sementara itu, beban langsung tercatat sebesar Rp 116,91 miliar berhasil ditekan dari sebelumnya Rp 145,64 miliar. Hal ini menyebabkan perusahaan masih mengalami rugi periode berjalan sebesar Rp 57,76 miliar sedangkan sebelumnya rugi sebesar Rp 66,83 miliar.
https://industri.kontan.co.id/news/kinerja-leyand-international-lapd-dipengaruhi-penurunan- penjualan-listrik . Diakses pada 2021, 30 mei
Riendy Astria (2017, Maret 17) “Rugi Wintermar Offshore Marine (WINS) Semakin Dalam” Kinerja PT Wintermar Offshore Marine Tbk (WINS) di sembilan
bulan pertama tahun ini kurang menggembirakan. Berdasarkan laporan keuangan perusahaan yang dirilis Selasa (27/10), pendapatan perusahaan yang memiliki kode saham WINS ini hanya US$ 31,4 juta hingga akhir September 2020 tersebut turun 23,5% dibanding pendapatan pada sembilan bulan pertama 2019 yang tercatat sebesar US$ 41,05 juta. Penurunan ini terjadi karena pendapatan perusahaan di sejumlah sektor usaha juga mengalami koreksi. Berdasarkan satuan bisnis unit, pendapatan dari sewa kapal turun menjadi US$ 30,08 juta dari US$ 38,58 juta.
Kemudian, jasa pelayaran lainnya mencatatkan penurunan menjadi US$ 1,32 juta dari US$ 2,47 juta. Seiring dengan penurunan pendapatan, beban langsung WINS juga tercatat turun 19,19% menjadi US$ 33,43 juta dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 41,37 juta. Selama 9 bulan kemarin, rugi kotor WINS meningkat menjadi US$ 2,03 juta dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$ 322.069. Bottom Line perusahaan makin tertekan dengan meningkatnya pos rugi entitas asosiasi menjadi US$ 475.510 dari periode yang sama tahun lalu sebesarUS$7.955. Akibatnya, hingga kuartal III-2020 WINS mengalami peningkatan rugi bersih menjadi US$ 7,44 juta. Realisasi tersebut naik 28,94%
dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar US$5,77juta. Dari artikel ilmiah;
https://market.bisnis.com/read/20170317/192/637847/rugi-wintermar-offshore-marine-wins-
semakin-dalam Diakses pada 30 mei, 2021
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui faktor – faktor yang dapat mempengaruhi financial distress. Penelitian tersebut antara lain; Nilasari dan Ismunawan (2021) dengan variabel kinerja keuangan, risk based capital, ukuran perusahaan dan makroekonomi; Rizaky dan Dillak (2020) dengan variabel rasio likuiditas, solvabilitas, profitabilitas, dan umur perusahaan;Azalia dan Rahayu (2019) dengan variabel leverage, likuiditas, profitabilitas dan ukuran perusahaan; Kartika dan Hasanudin (2019) dengan variabel likuiditas, leverage dan sales growth; Frizka dan Dillak (2019) dengan variabel struktur modal, pertumbuhan perusahaan dan profitabilitas; Sudaryanti dan Dinar (2019) dengan variabel likuiditas, profitabilitas, financial leverage dan arus kas; Perdana dan Dillak (2019) dengan variabel likuiditas, leverage, kepemilikan institusional dan ukuran perusahaan; Ayu (2019) dengan variabel kepemilikan institusional, dewan direksi, komisaris independen, likuiditas, dan operating capacity; Murni (2018) dengan variabel kinerja keuangan, ukuran perusahaan dan umur perusahaan; Wulandari (2017) dengan variabel perputaran
piutang dan solvabilitas; Ananto, Mustika dan Handayani (2017) dengan variabel;
kepemilikan institusional, ukuran dewan komisaris, dewan direksi, ukuran dewan komisaris independen, komite audit, leverage dan profitabilitas; Norita dan Dahar (2016) dengan variabel ukuran perusahaan dan umur perusahaan; Arifin, Novianti dan Kautsar (2016) dengan variabel likuiditas, solvabilitas, profitabilitas, nilai pasar dan pemanfaatan aset.
Dari beberapa penelitian terdahulu, terdapat penelitian yang memiliki inkonsistensi tersebut diantaranya rasio likuiditas, solvabilitas, ukuran perusahaan dan dewan direksi. Variabel tersebut akan penulis lakukan penelitian kembali karena pada penelitian tersebut terdapat inkonsistensi.
Rasio Likuiditas merupakan suatu kemampuan perusahaan untuk memenuhi atau membayar kewajiban jangka pendek. Rasio ini sangat penting bagi suatu perusahaan dikarenakan berkaitan dengan aset lancar yang dapat dicairkan menjadi kas. Tingkat likuiditas yang tinggi memperkecil kegagalan perusahaan dalam memenuhi kewajiban finansial jangka pendek kepada kreditur dan berlaku pula sebaliknya. Jadi dapat disimpulkan semakin tinggi nilai likuiditas perusahaan maka perusahaan semakin liquid dan terhindar dari financial distress. Beberapa peneliti terdahulu yang telah menggunakan rasio likuiditas nya dalam memprediksi financial distress suatu perusahaan diantaranya dilakukan oleh Dewi, Endiana, dan Arizona (2019) dan Amanda dan Tasman (2019) menunjukkan rasio likuiditas berpengaruh negatif pada financial distress, sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahayu dan Sopian (2017) menunjukkan rasio likuiditas berpengaruh positif tidak signifikan terhadap financial distress.
Rasio solvabilitas menunjukkan kemampuan membayar kewajiban jangka panjang perusahaan. Indikator yang sering digunakan adalah Debt to Aset Ratio (DAR) yaitu perbandingan hutang jangka panjang perusahaan dibandingkan seluruh modalnya. Rasio lain adalah yang menggunakan jumlah ekuitas sebagai pembanding, yaitu Debt to Equity Ratio (DER) (Kristanti,2019:20). Dan dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan rumus Debt to Equity Ratio (DER). Beberapa penelitian terdahulu telah menggunakan rasio solvabilitas untuk mengukur financial distress.
Penelitian tersebut dilakukan oleh Rohmadini, Saifi dan Darmawan (2018), Fardania, Ermawati dan Wiyono (2019) dan Asfali (2019) menyebutkan bahwa solvabilitas
berpengaruh signifikan terhadap financial distress. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Aisyah, Kristanti dan Zulistina (2017) menyebutkan bahwa solvabilitas berpengaruh negatif terhadap financial distress.
Berikutnya faktor yang dapat memprediksi suatu perusahaan mengalami financial distress adalah ukuran perusahaan. Menurut (Habiibulloh, 2018) menyatakan ukuran perusahaan adalah suatu skala dimana dapat diklasifikasikan besar kecil perusahaan menurut berbagai cara, antara lain total aktiva, log size, penjualan, dan nilai pasar saham. Menurut (Kristanti, 2019;34) menyebutkan bahwa berbagai proksi yang biasa digunakan sebagai indikator dan ukuran perusahaan adalah total aset, logaritma total aset, Logaritma penjualan, dan jumlah tenaga kerja.
Perusahaan dengan ukuran lebih kecil memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengalami financial distress dibandingkan perusahaan besar. Hal ini disebabkan perusahaan kecil lebih rentan terhadap pengaruh ekonomi makro dibandingkan perusahaan besar. Ukuran perusahaan dalam penelitian ini akan menggunakan logaritma natural total aset. Semakin besar total aset perusahaan, maka semakin besar ukuran perusahaan tersebut, begitu juga sebaliknya. Perusahaan yang memiliki aset yang besar akan rentan terhadap financial distress. Beberapa peneliti terdahulu telah menggunakan rasio ukuran perusahaan sebagai penentuan dalam megukur financial distress perusahaan. Penelitian tersebut dilakukan oleh Rahayu dan Sofian (2017) menyebutkan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh signifikan terhadap financial distress. Sementara menurut Ananto, Mustika dan Handayani (2017), Finisthya (2020) Ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap financial distress.
Dan sementara itu penelitian yang dilakukan oleh Putra dan Serly (2020) menyebutkan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh terhadap financial distress.
Dan faktor lain yang dapat memprediksi financial distress yaitu dewan direksi.
Dewan direksi mempunyai wewenang untuk menentukan kebijakan yang akan diambil atau strategi perusahaan jangka panjang maupun jangka pendek. Jumlah direktur yang semakin banyak yang dimiliki oleh perusahaan diharapkan akan menghasilkan keputusan yang lebih baik, karena melibatkan lebih banyak pihak. Jadi semakin besar jumlah dewan direksi membuat perusahaan berkinerja baik dan sehingga membuat perusahaan terhindar dari kondisi financial distress (Kristanti, 2019;24). Dewan direksi dapat dirumuskan dengan Dewan direksi = jumlah anggota
dewan direksi Pada Periode t dan CEO. Beberapa penelitian telah menyebutkan pengaruh dewan direksi terhadap financial distress. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Santoso, Fala dan Khoirin (2017) menyebutkan bahwa dewan direksi berpengaruh negatif terhadap financial distress. Sementara menurut Ananto, Mustika, dan Handayani (2017) menyebutkan bahwa dewan direksi tidak berpengaruh terhadap financial distress. Dan penelitian yang dilakukan Zharifah dan Majidah (2019) menyebutkan bahwa dewan direksi berpengaruh negatif terhadap financial distress. Berdasarkan penjelasan dan penelitian terdahulu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut kembali mengenai financial distress menggunakan rasio likuiditas, solvabilitas, ukuran perusahaan dan dewan direksi pada sektor infrastruktur, utilitas dan transportasi pada tahun 2015 -2019 sehingga penelitian yang akan dilakukan penulis berjudul “Pengaruh Rasio Likuiditas, Solvabilitas, Ukuran Perusahaan dan Dewan Direksi Terhadap Financial Distrees (Studi Pada Sub Sektor Infrastruktur, Utilitas dan Transportasi yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia 2015 – 2019)”
1.3 Perumusan Masalah
Financial Distress merupakan tanda bahwa perusahaan sedang mengalami kesulitan keuangan dan bisa menjadi prediksi awal perusahaan mengalami kebangkrutan. Jika manajemen tidak mampu mengatasi permasalahan tersebut perusahaan akan megalami kebangkrutan. Akan tetapi apabila perusahaan dapat mengatasi nya dengan baik maka itu dapat menjadi sebuah tanda agar manajemen meningkatkan kualitas agar perusahaan kembali stabil. Kondisi financial distress perusahaan dapat dilihat dari earning per share (EPS). Apabila eps suatu perusahaan negatif maka itu menjadi tanda bahwa perusahaan sedang mengalami financial distress. Sektor infrastruktur, utilitas dan transportasi pada tahun 2015 – 2019 mengalami EPS yang fluktuasi, apabila keadaan terus mengalami EPS negatif, manajemen perusahaan harus mampu mengatasi kondisi tersebut agar tidak terjadi kebangkrutan. Berdasarkan adanya hasil yang inkonsitensi pada penelitian terdahulu, maka peneliti akan memprediksi financial distress melalui rasio likuiditas, rasio solvabilitas, ukuran perusahan dan dewan direksi.
Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan sebelumnya, maka pertanyaan
penelitian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana Rasio Likuiditas, Solvabilitas, Ukuran Perusahaan, Dewan Direksi dan financial distress pada perusahaan Sektor Infrastruktur, Utilitas dan Transportasi di Bursa Efek Indonesia tahun 2015 – 2019?
2. Apakah terdapat pengaruh secara simultan Likuiditas, Solvabilitas, Ukuran Perusahaan dan Dewan Direksi terhadap Financial Distress perusahaan di Sektor Infrastruktur, Utilitas dan Transportasi di Bursa Efek Indonesia tahun 2015 - 2019?
3. Apakah terdapat pengaruh secara parsial Rasio Likuiditas terhadap financial distress perusahaan di Sektor Infrastruktur, Utilitas dan Transportasi di Bursa Efek Indonesia tahun 2015 – 2019?
4. Apakah terdapat pengaruh secara parsial Rasio Solvabilitas mempunyai pengaruh terhadap financial distress perusahaan di Sektor Infrastruktur, Utilitas dan Transportasi di Bursa Efek Indonesia tahun 2015 – 2019?
5. Apakah terdapat pengaruh secara parsial Ukuran Perusahaan mempunyai pengaruh terhadap Financial Distress perusahaan di Sektor Infrastruktur, Utilitas dan Transportasi di Bursa Efek Indonesia tahun 2015 – 2019?
6. Apakah terdapat pengaruh secara parsial Dewan Direksi mempunyai pengaruh terhadap Financial Distress perusahaan di Sektor Infrastruktur, Utilitas dan Transportasi di Bursa Efek Indonesia tahun 2015 – 2019?
1.4 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui Rasio Likuiditas, Solvabilitas, Ukuran Perusahaan, Dewan Direksi Dan Financial Distress Di Perusahaan Sektor Infrastruktur, Utilitas Dan Transportasi di Bursa Efek Indonesia Tahun 2015 – 2019
2. Untuk menjelaskan pengaruh secara simultan Rasio Likuiditas, Solvabilitas, Ukuran Perusahaan Dan Dewan Direksi Terhadap Financial Distress Di Perusahaan Sektor Infrastruktur, Utilitas Dan Transportasi di Bursa Efek Indonesia Tahun 2015 – 2019.
3. Untuk menjelaskan pengaruh secara parsial Rasio Likuitas Terhadap Financial Distress Di Perusahaan Sektor Infrastruktur, Utilitas Dan Transportasi di Bursa Efek Indonesia tahun 2015 – 2019
4. Untuk menjelaskan pengaruh secara parsial Rasio Solvabilitas Terhadap Financial Distress Di Perusahaan Sektor Infrastruktur, Utilitas Dan Transportasi di Bursa Efek Indonesia tahun 2015 – 2019
5. Untuk menjelaskan pengaruh secara parsial Ukuran Perusahaan Terhadap Financial Distress Di Perusahaan Sektor Infrastruktur, Utilitas Dan Transportasi di Bursa Efek Indonesia tahun 2015 – 2019
6. Untuk menjelaskan pengaruh secara parsial Dewan Direksi secara parsial Terhadap Financial Distress di Perusahaan Sektor Infrastruktur, Utilitas dan Transportasi di Bursa Efek Indonesia tahun 2015 – 2019
1.5 Manfaat Penelitian
Setelah melakukan penelitian maka diharapkan pihak – pihak lain seperti akademis, peneliti selanjutnya dan investor dapat merasakan manfaatnya di masa depan. Manfaat dari penelitian ini diantaranya adalah;
1.5.1 Aspek Akademis 1. Bagi akademis
Penelitian ini diharapkan memberikan wawasan dan kontribusi untuk mengembangkan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang akuntansi
2. Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini diharapkan dapat mampu membantu peneliti selanjutnya untuk memprediksi financial distress
1.5.2 Aspek Teoritis 1. Bagi Pihak Perusahaan
Penelitian ini diharapkan membatu perusahaan terutama pihak manajemen untuk mengantisipasi kondisi financial distress dengan memperbaiki tata kelola perusahaan dan meningkatkan kinerja keuangan
2. Bagi Pihak Investor
Penelitian ini diharapkan membantu pihak investor untuk lebih berhati – hati menanamkan modalnya pada perusahaan terlebih pada sektor infrastruktur, utilitas dan transportasi
1.6 Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN
Bab ini membahas mengenai gambaran objek penelistian, latar belakang penelitian yang berkaitan dengan fenomena, perumusan masalah terkait latar belakang, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan secara garis besar.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENELITIAN
Bab ini menjelaskan teori-teori yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu likuiditas, solvabilitas, ukuran perusahaan dan dewan direksi. Bab ini menjelaskan penelitian terdahulu, dan kerangka pemikiran dan hipotesis penelitian.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini memaparkan tentang metode dan teknik yang digunakan untuk mengumpulkan dan menganalisis data yang dapat menjawab atau menjelaskan masalah penelitian. Bab ini menjelaskan jenis penelitian, operasionalisasi variabel, populasi dan sampel, pengumpulan data dan teknik analisis yang akan digunakan dalam penelitian.
BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini menyajikan hasil dari analisis penelitian serta mendeskripsikan pembahasan pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen dari hasil penelitian yang diuji dengan penelitian yang sebelumnya dilakukan.
BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini membahas kesimpulan dari hasil analisis yang dapat menjawab terkait pertanyaan penelitian kemudian menjadi saran yang akan diberikan sehubungan dengan manfat penelitian