• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV DAMPAK PENERTIBAN PEDAGANG KAKI LIMA DI LINGKUNGAN STASIUN CIREBON PRUJAKAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB IV DAMPAK PENERTIBAN PEDAGANG KAKI LIMA DI LINGKUNGAN STASIUN CIREBON PRUJAKAN"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

72

DAMPAK PENERTIBAN PEDAGANG KAKI LIMA DI LINGKUNGAN STASIUN CIREBON PRUJAKAN

A. Kondisi Pedagang Kaki Lima di Lingkungan Stasiun Cirebon Prujakan Di berbagai kota besar, kehadiran sektor informal (PKL) pada dasarnya adalah salah satu bentuk respon migran dan masyarakat miskin di kota terhadap pembangunan antar daerah yang tidak merata, urbanisasim meluasnya tingkat pengangguran dan merebaknya tekanan kemiskinan.1 Artinya, “kehadiran dan perkembangan sektor informal diberbagai kota besar bukan melulu didorong oleh faktor internal dalam diri mereka sendiri, tetapi lebih merupakan akibat dan terjadinya bias urban dalam pembangunan.2

Sedangkan menurut Hidayat (1983)3, “sektor informal merupakan sebuah sektor yang tidak terorganisasi secara baik, karena timbulnya tidak mempunyai hubungan langsung dengan pemerintah, unit usahanya tidak mempunyai ijin usaha dari pemerintah, pola kegiatannya tidak teratur,baik dalam arti tempat maupun jam kerja, mudah untuk keluar dan mudah masuk dari bidang satu ke bidang lainnya, teknologi yang dipergunakan adalah teknologi yang sederhana dan tidak dilaksanakan administrasi yang baik, untuk mengelola usaha tidak diperlukan tingkat pendidikan tertentu, keahlian didapat dari sistem pendidikan non formal dan pengalaman, kebanyakan usahanya termasuk dalam one man enterprise, atau family enterprise, sumber dana modal untuk modal tetap dan modal kerja berasal dari tabungan sendiri dan dari sumber keuangan yang tidak resmi, hasil. Produksi dan jasa dari sektor ini dikonsumsi oleh golongan masyarakat menengah ke bawah, khususnya masyarakat miskin”. Sebab berdatangannya para pendatang ke kota juga yang sebagian besar tanpa dibekali keterampilan dan pendidikan

1 Tjiptoherijanto, Urbanisasi dan Pasar Tenaga kerja di Indonesia. (Jakarta: UI Press, 1997), 48.

2 Alisjahbana, Urban Hiden Economy, Peran tersembunyi Sektor Informal Perkotaan.

(Surabaya: Lembaga Penelitian ITS, 2003), 125.

3 Hidayat, Situasi Pekerjaan Setengan Pengangguran dan Kesempatan Kerja di Sektor Informal. (Jakarta: Makalah Lokakarya Nasional Angkatan Kerja dan Kesempatan Kerja, 1983), 8.

(2)

yang cukup, mau tidak mau menumbuhkan suatu masyarakat lapisan bawah yang umumnya berkecimpung di sektor informal.

Sektor informal (PKL) merupakan sekmen perekonomian yang berciri menyediakan kesempatan kerja serta barang dan jasa bagi kelompok tertentu penduduk kota. Para pengusaha kelompok ini saling membeli barang produksinya satu sama lain dan menyediakan kesempatan kerja terutama bagi anggota keluarga. Pelaku sektor informal tidak menguasai input-input tertentu yang diperlukan dan tidak mempunyai kekuasaan dalam pasar produksi yang biasanya diukasai sektor informal.4

PKL merupakan bagian sektor informal yang banyak terlihat dikota-kota negara berkembang seperti Indonesia. Banyak penelitian berpendapat bahwa PKL adalah ciri kota-kota di Negara berkembang. Mereka berpendapat bahwa ekonomi sektor informal seperti PKL timbul dari keadaan sosial ekonomi negara berkembang. Oleh sebab itu kegiatan sektor informal tidak dapat ditiadakan dengan tanpa merusak sistem ekonomi negara berkembang secara keseluruhan. Dengan demikian seluruh kebijasanaan hendaknya memasukkan sektor informal sebagai pertimbangan dan saling menguntungkan.5

Pertumbuhan sektor informal (PKL) disebabkan karena ketidakmampuan sektor formal menyerap lebih banyak tenaga kerja. Banyaknya tenaga kerja yang masuk ke sektor ini dikarenakan keterbatasan kesempatan kerja dan pendapatan yang rendah di desa dan sedikit diantaranya berpindah ke kota dengan harapan mendapatkan gaji yang relatif tinggi di sektor formal. Para pekerja di sektor informal memiliki ciri yang berbeda dengan pengangguran, banyak diantaranya bersasal dari desa, berpendidikan rendah dan banyak diantara mereka berusia relatif tua serta sudah berkeluarga.

Gambaran estimasi jumlah dan komposisi penduduk pada kelurahan Pekalangan Kota Cirebon berdasarkan Sensus Penduduk Tahun 2014 Jumlah penduduk Kelurahan Pekalangan adalah 7.415 jiwa, dengan komposisi penduduk laki-laki 3.683 jiwa dan perempuan 3.732 jiwa. Penduduk

4

Sonny Sumarsono, Teori dan kebijakan Publik Ekonomi Sumber Daya Manusia.

(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), 304.

5 Sonny Sumarsono, Teori dan kebijakan Publik Ekonomi Sumber Daya Manusia, hal.

306.

(3)

Kelurahan Pekalangan tersebar di sembilan RW, RW yang memiliki tingkat kepadatan penduduk tertinggi adalah RW Pekalangan Selatan sebesar 1.702 jiwa/km², terpadat kedua adalah RW Pekalangan Utara 1.391 jiwa/km², kemudian RW Pagongan Barat 949 jiwa/km², RW Kebon Panggung 822 jiwa/km², RW Kebon Cai 711 jiwa/km², RW Pandesan 655 jiwa/km², RW Gudang Air 588 jiwa/km², RW Parujakan 350 jiwa/km² dan kepadatan terendah terdapat di RW Parujakan Utara hampir 247 jiwa/km².6 Untuk lebih jelasnya lihat tabel 4.1 berikut:

Tabel 4.1 Data Penduduk Kelurahan Pekalangan, 2014 No. Nama RW Jumlah

Penduduk %

1 Pandesan 655 8,8

2 Kebon Cai 711 9,6

3 Pagongan Barat 949 12,8

4 Pekalangan

Utara 1.391 18,8

5 Pekalangan

Selatan 1.702 23

6 Kebon Panggung 822 11,1

7 Gudang Air 588 7,9

8 Parujakan 350 4,7

9 Parujakan Utara 247 3,3

Jumlah 7.415 100

Sumber: Data Penduduk kelurahan Pekalangan, 2014.

Salah satu wujud usaha di sektor informal adalah pedagang kaki lima, Kota Cirebon yang sering menjadi sasaran urbanisasi memiliki jumlah PKL yang cukup signifikan pada setiap tahunnya. Fenomena ini di satu sisi menggembirakan karena menunjukan dinamika ekonomi akar rumput, tapi di sisi lain jika tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan persoalan yang serius di sektor ketertiban dan tata ruang.

6 Data Penduduk Kelurahan Pekalangan Kecamatan Pekalipan Kota Cirebon, 2014.

(4)

Dinamika sosial, ekonomi, politik, budaya cukup kuat dan menjadi salah satu kota berkembang di negeri ini. Meskipun berbagai gejolak kerusuhan sosial pernah ada tetapi masyarakat menyakini bahwa kota ini sangat damai untuk ditinggali. Banyaknya peristiwa atau konflik yang terjadi bagi sebagian kalangan dianggap sejarah masa lalu yang telah terkubur dan mereka sudah siap menyongsong masa depannya. Hal tersebut misalnya dilihat dari pertumbuhan ekonomi khususnya perdagangan dan telah menjadi salah satu kota yang mampu segera bangkit pasca kerusuhan Mei 1998.7

Proses perkembangan kota yang cukup pesat yang bisa dilihat dari maraknya pembangunan sentra-sentra perdagangan, jasa, industri kecil dan menengah. Pendirian hotel, pusat perbelanjaan bahkan apartement dalam beberapa tahun ini dan kemungkinan akan tetap berlanjut ke tahun – tahun berikutnya menjadi salah satu indikator pesatnya perkembangan kota Cirebon. Paling tidak pada beberapa tahun belakangan ini muncul pusat perbelanjaan seperti Cirebon Sentral Block (CSB) dan Hotel Aston dan lain sebagainya. Seiring dengan itu juga muncul para pelaku sektor informal yang cukup beragam didalamnya ikut mewarnai pertumbuhan kota Cirebon yang salah satu pelaku sektor informal tersebut adalah Pedagang Kaki Lima (PKL).

Seperti yang diungkapkan oleh Ibu R. Evi Siti Sulastri bagian Kasi Pemerintahan Kelurahan Pekalangan sebagai berikut:

“kalo yang namanya pedagang disini ya... berdagang merupakan mata pencaharian mereka yang benar-benar untuk menopang ekonomi keluarganya, tetapi disini juga jangan salah, bahwa kebanyakan yang berdagang disini bukan orang-orang yang berdomisili di wilayah pekalangan melainkan kebanyakan orang dari luar makanya andon. Jadi para PKL yang berada di stasiun prujakan itu, dulunya kebanyakan bukan orang-orang dari daerah pekalangan, jadi sedikit sekali orang- orang yang berasal dari daerah pekalangan”.8

7 Nur Fatnawati, “Dampak Relokasi Pedagang Kaki Lima Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Pedagang Kaki Lima Terhadap Usaha Pedagang Kaki Lima Di Surakarta”, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, 2013, 39.

8 Hasil Wawancara dengan R. Evi Siti Sulastri selaku Staff bagian Kasi Pemerintahan, Tanggal 20 Agustus 2015 Pukul 13.30 WIB.

(5)

Menurut penjelasan tersebut kebanyakan dari PKL tersebut disebabkan karena berdagang merupakan sebuah mata pencaharian untuk menopang perekonomian keluarga mereka. Sehingga kebanyakan dari mereka mencari cara alternatif yang bisa dijalankan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka yaitu salah satunya dengan menjadi PKL (Pedagang Kaki Lima). Sedangkan kebanyakan dari mereka adalah bukan berasal dari daerah tersebut melainkan kebanyakan dari luar daerah Kelurahan Pekalangan.

Pendapat Ibu R. Evi Siti Sulastri juga didukung dengan pendapat Riyadi (29) salah satu PKL yang bertempat di daerah Stasiun Prujakan. Beliau menjelaskan bahwa:

“Saya memilih profesi sebagai Pedagang Kaki Lima (PKL) karena ingin menghidupi keluarga saya, karena gak ada pekerjaan lain lagi, ya...

sudah saya mencoba untuk berdagang seperti ini. Yang penting saya mencari kerjaan yang halal dan keluarga saya bisa makan mas”.9 Banyak hal yang mempengaruhi timbulnya PKL disini. Pada dasarnya para PKL ini mencari penghasilan untuk kelangsungan hidup mereka. Mereka menempuh cara berjualan seperti itu relatif mudah dilakukan (lower entry- barrier). Dikatakan mudah karena menurut mereka untuk berjualan tidak diperlukan ilmu dan syarat-syarat lain yang muluk-muluk. Modal utama yang diperlukan adalah tekad, niat dan kemauan kuat serta siap menghadapi berbagai risiko. Dalam menganalisis risiko yang mungkin terjadi, mereka lebih menggunakan filosofi „bagaimana nanti‟ atau „kumaha engke‟ dan bukan „nanti bagaimana‟ atau „engke teh kumaha‟. Bisa jadi kemauan yang kuat ini dipicu oleh kebutuhan yang mendesak, yakni kebutuhan untuk mampu bertahan hidup sesuai teori hierarkhi kebutuhan Abraham Maslow yang mengutarakan tentang kebutuhan dasar manusia.10

Keberadaan sektor informal di setiap sudut kota menjadikan pemandangan yang berbeda bagi setiap pengunjung yang menikmati panorama keindahan kota. Adanya sektor informal disetiap ruas jalan menimbulkan kesan yang beragam. Hal ini dapat dilihat pada ruas Jl.

9 Hasil Wawancara dengan Riyadi salah satu Pedagang Kaki Lima, Tanggal 20 Agustus 2015 Pukul 13.30 WIB.

10 Mulyadi Nitisusatro, Kewirausahaan dan Manajemen Usaha Kecil, (Jakarta: Alfabeta, CV, 2012), 25.

(6)

Nyiamas Gandasari yang mana berdekatan dengan kawasan stasiun Cirebon Prujakan. Ruas jalan tersebut dijadikan tempat para sektor informal untuk mengais rejeki. Sedikit banyaknya terdapat shelter sektor informal dalam hal ini adalah pedagang kaki lima (PKL).

Jalan Nyimas Gandasari merupakan salah satu jalan di kota Cirebon dan memiliki akses satu jalur menuju stasiun Cirebon prujakan. Shelter PKL yang berada ruas jalan ini kebanyakan didominasi oleh ruko hasil kerajinan dan jasa stempel dan plat nomor motor. Hal ini disebabkan banyaknya aktivitas masyarakat yang melintasi kawasan tersebut dan banyak dijadikan sebagai tempat persinggahan bagi masyarakat. Kawasan ini terdapat fasilitas umum yang mendukung banyak bermunculnya para PKL untuk berjualan, setidaknya ada 20 PKL yang berdagang di kawasan trotoar Jalan Nyimas Gandasari sebelum ditertibkan yang berada pada tanah milik PT. Kereta Api Indonesia (Persero).

Dibandingkan dengan Jl. Sukalila dan Jl. Sukalila Selatan, Jl. Nyimas Gandasari kini lebih sedikit diminati oleh para PKL, kawasan tersebut karena wilayah tersebut merupakan kawasan larangan bagi PKL setelah berlakunya kebijakan dari PT. Kereta Api Indonesia (Persero). Sedikitnya trotoar yang berada pada tanah milik PT. Kereta Api Indonesia (Persero) menjadikan faktor jarangnya PKL yang bejualan di kawasan ini. Meskipun demikian keberadaan PKL yang relative sedikit di kawasan tersebut membawa dampak yang positif bagi PKL yang berdagang, sedikitnya saingan berdagang membuat dagangan mereka laris dan banyak peminat dari masyarakat sekitar.

Secara garis besar PKL yang berada di kawasan ini beruntung jika dibandingan dengan PKL yang berdagang di Jl. Sukalila dan Jl. Sukalila Selatan pada waktu itu. Salah satu alasan penertiban PKL di lingkungan stasiun diakibatkan karena terganggunya suasana dilingkungan stasiun, masyarakat yang khususnya pengguna jasa kereta api sekitar dengan keberadaan PKL yang semakin hari semakin banyak dan menempati sebagian besar ruas jalan yang seharusnya berfungsi sebagai tempat bagi pejalan kaki ataupun fasilitas umum lainnya.

(7)

Adanya perbedaan tempat-tempat yang dijadikan PKL untuk berdagang mendorong banyak orang lainnya untuk mencoba berdagang seperti PKL lainnya. Berdatangannya PKL disetiap ruas jalan disebabkan karena beberapa hal. Diantaranya karena dampak yang bermunculan selain sebagai mata pencaharian juga akibat banyaknya pegawai pabrik/perusahaan mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Sebagian dari buruh/pegawai yang bekerja di kota besar tersebut akhirnya kembali ke daerah asal masing-masing misalnya di lingkungan stasiun Cirebon Prujakan untuk tetap mempertahankan perekonomian keluarga. Pegawai yang bekerja di stasiun juga melakukan hal yang sama berupaya untuk tetap mempertahankan perekonomian keluarganya. Dari situlah awal mulanya sebagian besar dari mereka mencoba peruntungan nasibnya dengan berjualan.

1. Alasan Masih Berdagang

Dalam persoalan pedagang kaki lima tidak lagi sebagai urusan penggunaan fasilitas umum untuk berdagang para PKL, tetapi juga berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan hidup warga. Banyak PKL yang asal menempati dengan alasan tidak ada lagi yang bisa dilakukan untuk mencari penghidupan. Mereka tidak tertib, melanggar peraturan yang berlaku, dan tidak berwawasan lingkungan dalam berdagang sehingga menyebabkan Kota menjadi semrawut, kumuh dan terjadi kemacetan dimana-mana.11

Suatu Pemenuhan kebutuhan hidup dilakukan masyarakat dengan berbagai cara yang bisa mereka lakukan, salah satunya dengan berdagang yang dianggap sebagai jalan paling mudah yang dapa dilakukan.

Alasannya sangat sederhana, mereka dapat menjalankan usaha dagangannya dengan modal usaha yang relatif kecil dan tidak membutuhkan pendidikan yang tinggi. Perkembangan jaman dan dengan kemajuan teknologi menjadi salah satu penyebab masyarakat berfikir bagaimana cara untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Menurut Adam Smith, dalam teori ekonomi klasik menjelaskan bahwa:

11 Alisjahbana, Marginalisasi Sektor Informal PERKOTAAN. (Surabaya : ITS Press, 2006), hal. 10.

(8)

“untuk berlakunya perkembangan ekonomi diperlukan adanya spesialisasi atau pembagian kerja agar produksitivitas tenaga kerja bertambah. Pembagian kerja harus ada akumulasi capital terlebih dahulu dan akumulasi capital ini berasal dari dana tabungan, juga menitik beratkan pada luas pasar. Pasar harus seluas mungkin agar dapat menampung hasil produksi, sehingga perdagangan internasional menarik perhatian. Karena hubungan perdagangan internasional itu menambah luasnya pasar. pasar terdiri pasar luar negeri dan pasar dalam negeri. Sekali pertumbuhan itu mulai maka ia akan bersifat kumulatif artinya bila ada pasar yang dan ada akumulasi kapital, pembagian kerja akan terjadi dan akan menaikkan tingkat produktivitas tenaga kerja”.

Berdasarkan penjelasan diatas, terlihat bahwa perkembangan ekonomi dalam hal ini adalah pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat didasarkan pada produktifitas masyarakat itu sendiri (PKL) dalam mengelola ekonomi pribadi dan jangkauan usahanya dalam masyarakat luas lainnya. Sedangkan mengenai jangkauan luasan pasar atau sarana yang digunakan masyarakat (PKL) berdampak pada penyerapan tenaga kerja yang semakin banyak dan sebagai salah satu perwujudan tujuan pemerintah dalam menciptakan lapangan pekerjaan.

Terdapat banyak alasan yang melatarbelakangi mengapa orang memilih sektor informal (PKL) sebagai aktifitas pekerjaan untuk menggantungkan hidup, diantaranya yaitu12 :

1) Terpaksa tidak ada pekerjaan lain;

2) Dampak dari adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK);

3) Mencari rejeki yang halal;

4) Mandiri dan tidak bergantung kepada orang lain;

5) Menghidupi keluarga;

6) Pendidikan rendah dan modal kecil serta;

7) Kesulitan kerja di desa.

Dari berbagai alasan di atas pedagang diwilayah sekitar stasiun Cirebon Prujakan mengeluhkan pihak PT. Kereta Api Indonesia tidak berlaku adil, PT. Kereta Api Indonesia mengakui tanah tersebut diakui milik mereka, sedangkan pedagang diharuskan pindah dari wilayah

12 Alisjahbana, Marginalisasi Sektor Informal PERKOTAAN. (Surabaya : ITS Press, 2006), hal. 2-9.

(9)

tersebut. Hal ini tidak menyurutkan niat para pedagang untuk tetap berdagang di wilayah tersebut dengan alasan yang diungkapkan salah satu pedagang yaitu pak Dadang (40) sebagai berikut.

“Kalo saya pindah dari sini udah gak ada lagi tempat untuk mencari nafkah, karena saya sudah berjualan lama di sini, kita para pedagang tetap meminta pemerintah untuk segera memberi titik terang terkait masalah ini, karena ini menyangkut para pelanggan kami yang sudah terbiasa berlangganganan disini”13

Terdapat banyak penolakan dari para PKL sebelum mereka menyetujui untuk direlokasi. Alasannya bermacam, namun alasan yang paling utama adalah mereka tidak ingin kehilangan pelanggan yang sudah puluhan tahun setia dengan usaha dagangan mereka. Peningkatan taraf hidup PKL dapat dikatakan sebagai peningkatan kesejahteraan mereka. Kesejahteraan dalam arti tercukupinya kebutuhan material dan non-material. Dalam teori kesejahteraan, kondisi sejahtera diartikan hidup aman dan bahagia karena semua kebutuhan dasar dapat terpenuhi.

2. Jumlah Pedagang Kaki Lima Setelah Penertiban

Besarnya jumlah pedagang perkotaan sebagai bagian dari sektor informal terutama di pusat-pusat keramaian, baik di lokasi pertokoan maupun di tempat- tempat yang strategis lainnya. Tampak mengarah pada terjadinya pasar dengan pola tradisional, yaitu pasar yang timbul karena adanya pembeli dan penjual. Pasar semacam ini dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu pola khas ditribusi barang dan jasa dan sebagai sistem sosial budaya.14

Jumlah Pedagang disekitar stasiun Cirebon Prujakan saat ini berjumlah sekitar 13 pedagang yang sebagian besar menjual jasa stempel dan plat nomor motor, lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.2 berikut ini.

13 Hasil Wawancara dengan dadang salah satu Pedagang Kaki Lima, Tanggal 20 September 2015 Pukul 13.30 WIB.

14 Ramli R, Penciptaan Kesempatan Kerja Sektor informal Perkotaan

(10)

Tabel 4.2 Data Jumlah PKL No. Nama

Pedagang

Jenis Dagangan

Sarana Berdagang

Beban

Keluarga Konsumen

1 Dadang Plat Nomor Gerobak 5 orang Luar

Cirebon 2 Rianto Plat Nomor Gerobak 3 orang Sewilayah 3

3 Iis Plat Nomor Gerobak 4 orang Sewilayah 3

4 Rizki Plat Nomor Gerobak Lajang Sewilayah 3

5 Wijil Plat Nomor Gerobak Lajang Sewilayah 3

6 Heni Warung Jajanan Gerobak 4 orang Sewilayah 3

7 Eka Plat Nomor Gerobak 3 orang Sewilayah 3

8 Saeful Plat Nomor Gerobak 4 orang Angkot

Cirebon

9 Bawon Plat Nomor Gerobak Lajang Angkot

Cirebon

10 Joko Plat Nomor Gerobak Lajang Angkot

Cirebon

11 Cecep Plat Nomor Gerobak 3 orang Angkot

Cirebon

12 Kosim Plat Nomor Gerobak Lajang Angkot

Cirebon

13 Pi'i Plat Nomor Gerobak Lajang Angkot

Cirebon

B. Dampak Penertiban Pedagang Kaki Lima di Lingkungan Stasiun Cirebon Prujakan

Dampak adalah akibat yang ditimbulkan dari berubahnya suatu sistem atau suatu percobaan akibat dari pengaruh yang ada. Dampak dapat diartikan pula sebagai keinginan untuk membujuk, meyakinkan, mempengaruhi atau memberi kesan kepada orang lain, dengan tujuan agar mereka mengikuti atau mendukung keinginannya. Dengan kata lain, dampak disini menekankan pada keiginan untuk mempengaruhi atau menimbulkan akibat pada orang lain.15

Penertiban Pedagang Kaki Lima dilakukan apabila tidak ada penempatan lahan dilokasi yang salah dan jumlah PKL terlalu banyak. Keputusan PT.

15 Nur Fatnawati, “Dampak Relokasi Pedagang Kaki Lima Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Pedagang Kaki Lima Terhadap Usaha Pedagang Kaki Lima Di Surakarta”, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, 2013, 84.

(11)

Kereta Api Indonesia untuk menertibkan PKL disini bukan hanya didasari kepentingan sepihak saja, tetapi juga dikarenakan keluhan dari masyarakat khususnya pengguna jasa kereta api. Keberadaan PKL disini sudah dirasa mengganggu ketertiban, kenyamanan dan kebersihan di lingkungan stasiun.

Penataan lingkungan stasiun secara terstruktur dan sistematis serta berorientasi hanya jangka pendek akan tetapi juga jangka panjang maka akan membawa dampak positif yang cukup besar. Dilihat dari segi program PT.

Kereta Api Indonesia (Persero) sendiri maka jelas telah berhasil dilaksanakan.

Hal ini hanya berkaitan dengan status berhasil atau tidaknya. Karena dengan begitu berpengaruh terhadap respon masyarakat (khususnya pengguna jasa kereta api) dari luar kota seperti halnya yaitu kunjungan dari beberapa Pemkot Luar Daerah bahkan Pemkot dari Luar negeri. Selain itu juga memberi kesan positif terhadap pemerintahan Pemkot Cirebon sendiri selaku pengayom dan pengatur Kota.

Di lihat dari segi keindahan lingkungan juga menguntungkan.

Lingkungan semakin indah, rapi dan membuat nyaman masyarakat khususnya masyarakat Kota Cirebon. Kebijakan yang tepat seperti penertiban PKL yang dilakukan PT. Kereta Api Indonesia (Persero) di sepanjang trotoar Jl. Nyimas Gandasari, rencananya akan dibangun menjadi Taman sebagian dan sisanya akan dikembalikan ke fungsinya sebagai trotoar sehingga dapat dimanfaatkan sebagai akses pejalan kaki (khususnya pengguna jasa kereta api) untuk menuju stasiun. Hal ini juga berpengaruh terhadap penilaian Pemerintah Pusat terhadap kota-kota di Indonesia.

Dilihat dari segi ekonomi, maka jelas dengan pengelolaan yang baik serta penempatan yang tepat menjadikan keuntungan segi finansial terutama bagi para PKL sendiri dan umumnya masyarakat umum yang menggunakan jasa mereka. Para PKL tidak mungkin mau atau bertahan jika kebutuhan substansial mereka tidak bisa terpenuhi untuk itulah penataan yang baik akan memberikan manfaat bagi mereka dan khalayak. Karena memang pada

(12)

prinsipnya bahwa PKL merupakan aset yang berharga jika dikelola dengan baik dan mendapat dukungan dari lingkungan sekitarnya.16

Salah satu dampak keberhasilan penertiban PKL jelas berpengaruh terhadap sang pengatur yaitu Walikota Cirebon. Terbukti dengan perolehan suara pada pemilukada 2010 dimana Cirebon benar-benar membutuhkan figur Pemimpin untuk membawa lebih maju lagi Kota Cirebon. Masyarakat masih memberikan kepercayaan, karena sikapnya yang cenderung pro ekonomi kecil menengah sehingga mendapat banyak dukungan. Dengan begitu dampak dari penataan PKL yang baik berimbas juga di bidang politik. Tidak hanya itu berbagai apresiasi baik individu maupun secara kelembagaan yaitu Pemerintah Cirebon berdatangan, seperti berbagai media masa, pemerintah pusat dan lain-lain.

Pelaksanaan penertiban PKL disini dilakukan dengan berusaha tanpa mengorbankan kelangsungan usaha PKL itu sendiri. Pada dasarnya penertiban yang dilakukan oleh PT. Kereta Api Indonesia (Persero) Daop 3 Cirebon disini untuk memberikan kepastian hukum akan kepemilikan aset tanah tersebut, sekaligus memberikan rasa aman kepada masyarakat yang khususnya pengguna jasa kereta api. Adanya penertiban PKL dapat memberikan beberapa dampak yang dapat dirasakan oleh PKL, PT. Kereta Api Indonesia (Persero), maupun masyarakat sekitar yang khususnya pengguna jasa kereta api.

Dampak yang dirasakan masyarakat sekitar tempat penertiban PKL adalah, mereka juga dapat memperoleh haknya untuk menggunakan trotoar sebagai akses jalan menuju stasiun Cirebon Prujakan. Adanya penertiban disini sedikit banyak dapat mematikan usaha jual beli kios yang dahulu berada di tempat penertiban PKL sekarang ini. Dapat dikatakan bahwa penertiban membawa dampak yang baik untuk para warga sekitar karena turut menyediakan lapangan pekerjaan bagi mereka. Seperti yang dijelaskan oleh Rahmadi sebagai berikut :

16 Nur Fatnawati, “Dampak Relokasi Pedagang Kaki Lima Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Pedagang Kaki Lima Terhadap Usaha Pedagang Kaki Lima Di Surakarta”, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, 2013, 85.

(13)

“Dengan adanya Relokasi PKL ke tempat kawasan yang disediakan pemerintah yaitu BAT, sungguh sangat membawa berkah. Selain mendatangkan keuntungan bagi PKL juga membawa keuntungan bagi warga sekitar. Mereka (warga sekitar) yang dahulu bekerja di kawasan larangan PKL sedikit banyak sudah beralih menjadi pedagang ataupun penyedia jasa parkir ditempat ini. Hal ini sangat mendukung program pemerintah juga yang ingin memberatas bisnis prostitusi tersebut”.17

Pada hakikatnya pedagang kaki lima merupakan suatu kelengkapan kota diseluruh dunia dari dahulu. Sebagai kelengkapan, pedagang kaki lima tidak mungkin ditiadakan ataupun dihindari. Yang harus dilakukan untuk menyikapi keadaan tersebut adalah melalui penataan, pembinaan dan pengawasan. PKL membawa dampak dalam segi ekonomi, sosial dan segi budaya yang membentuk suatu kawasan perkotaan.

a. Dari segi ekonomi, dengan adanya PKL dapat menyerap tenaga kerja yang dapat membantu pekerja tersebut dalam mendapatkan penghasilan.

b. Dari segi sosial dapat dilihat jika kita melihat bahwa PKL dapat menghidupkan dan meramaikan suasana kota dan menjadi salah satu daya tarik bagi suatu kota.

c. Dari segi budaya, PKL membantu suatu kota untuk menciptakan budayanya sendiri.

Dari serangakaian dampak yang dihasilkan oleh PKL tersebut dapat diambil contoh keberadaan PKL disekitar kampus misalnya, dengan adanya PKL di malam hari mahasiswa yang terpaksa berkegiatan di malam hari tidak perlu khawatir tidak mendapatkan makanan. Sehingga kondisi tersebut merupakan kondisi yang saling menguntungkan antara PKL dan mahasiswa.

Dengan adanya harga yang relative murah, pedagang kaki lima, kuliner khususnya, menjadi pilihan bagi masyarakat luas. Dengan demikian tidak dapat diragukan bahwa keberadaan PKL sangat bermanfaat bagi masyarakat,

17 Hasil Wawancara Bapak Rahmadi Salah Satu Pedagang Kaki Lima, Tanggal 24 Juni 2015 Pukul 14.30 WIB.

(14)

khususnya dikawasan fungsional, seperti sarana pendidikan, perkantoran, sarana olahraga, rekreasi, dan lain-lain18.

adanya penertiban Pedagang Kaki Lima disini membawa dampak yang beragam bagi PKL itu sendiri, masyarakat luas maupun PT. Kereta Api Indonesia (Persero). Hal tersebut juga diungkapkan Ibu R. Evi Siti Sulastri yaitu:

“jelas itu menjadikan peluang usaha dan ekonomi, untuk mengurangi pengangguran ya... kan dengan mereka berdagang mempunyai usaha dan penghasilan, penganggran berkurang, kejahatan terminimalisir.

Kejahatan biasanya suka datang karena tidak adanya kegiatan atau aktivitas lain, jadi pengangguran adalah penyebab terjadi kejahatan”.19 Apabila dirinci satu persatu dampak yang dirasakan oleh PKL diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Dampak Negatif

a) Lokasi tempat relokasi yang tidak strategis mengakibatkan banyak masyarakat tidak mengetahui keberadaan pasar relokasi tersebut.

b) Sepinya kondisi lokasi selama beberapa waktu di awal menyebabkan usaha para PKL banyak yang mengalami penurunan modal dan pendapatan, meningkatnya biaya operasional, menurunnya aktivitas, melemahnya jaringan sosial (pelanggan),

c) Minimnya pengunjung yang datang menyebabkan aktivitas ekonomi di lokasi relokasi menjadi tidak terlihat sebagaimana mestinya, sehingga PKL kembali lagi ketempat semula mereka berdagang yaitu di trotoar.

d) Belum memiliki tempat yang tepat untuk mereka.

2. Dampak Positif

a) Solidaritas pedagang menjadi semakin erat.

c) Keadaan Jalan raya bekas jualan PKL menjadi lebih tertata rapid an bersih.

18 Nur Fatanawati, “Dampak Relokasi Pedagang Kaki Lima Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Pedagang Kaki Lima Terhadap Usaha Pedagang Kaki Lima Di Surakarta”, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, 2013.

19 Hasil Wawancara Ibu R. Evi Siti Sulastri Selaku Kasi Pemerintahan Umum, Tanggal 20 Agustus 2015 Pukul 13.30 WIB

(15)

d) Arus lalu lintas menjadi lancer dan jarang terjadi kecelakaan lalu lintas.

e) Pedagang aman dari preman.

g) Trotoar kembali berfungsi sebagaimana mestinya.

Ditinjau dari segi negatif keberadaan penertiban pedagang kaki lima, terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi. Permasalahan tersebut muncul dan berkembang dikarenakan kegiatan usaha yang dilakukan oleh PKL dari hari ke hari semakin padat dan bertambah sehingga kemacetan dimana-mana dan bisa mengakibatkan banjir ketika hujan karena tertutupnya tanah yang di keramik sehingga membuat tanah sebagai serapan air tertutup.

Sedangkan rincian dampak yang sangat mencolok dirasakan oleh pedagang dan Pemerintah Kota Cirebon. Bagaimana tidak PKL turut memberikan kontribusi terhadap pendapatan pedagang itu sendiri untuk memberi nafkah keluarganya, hal ini bisa dibuktikan oleh pendapat salah satu pedangang yaitu pak Dadang sebagai berikut.

“Saya dan pedagang lain disini sudah lama berjualan disini, dan alhamdulillah saya dan pedagang lain bisa mencukupi kebutuhan keluarga, kalo bicara tentang omset ya... gak tentu mas, bisa kadang 100 ribu lebih per hari bisa juga kurang”20

Dari ungkapan pedagang diatas dapat dilihat bahwa sebagian besar PKL memiliki omset kurang lebih Rp. 100.000. per hari. Akan tetapi dengan pendapatan yang sedemikian sudah cukup bahkan menguntungkan dan juga bisa turut menyambung hidup mereka memenuhi semua kebutuhan mereka dalam perekonomian keluarganya dan mengurangi angka pengangguran yang setiap tahunnya terus bertambah. Sehingga dapat dikatakan keberadaan PKL disini sangat membawa dampak positif bagi PKL itu sendiri, masyarakat dan pemerintah.

Semua kebijakan dapat berjalan dengan sempurna jika ada kerjasama yang baik antara pemerintah dan masyarakat luas maupun pihak lainnya.

20 Hasil Wawancara Bapak Rahmadi Salah Satu Pedagang Kaki Lima, Tanggal 24 Agustus 2015 Pukul 13.30 WIB.

(16)

Adanya sinkronisasi pendapat dan pemahaman akan suatu kebijakan dapat menimbulkan suatu tata pemerintahan yang baik, jujur dan adil.

Serangkaian dampak yang dirasakan oleh pedagang kaki lima (PKL), masyarakat dan pemerintah dapat dilihat jelas pada Tabel 4.3 berikut ini.

Tabel 4.3 Dampak Penertiban Pedagang Kaki Lima

Bagi Dampak Positif Dampak Negatif

Pedagang Kaki Lima

1. Peluang usaha mata pencaharian.

1. Berkurangnya pembeli (omset).

2. Mengurangi pengangguran

2. Prosedur perijinan.

3. Kriminalitas menurun 3. Belum tersedianya tempat untuk para PKL.

PT. Kereta Api Indonesia (Persero)

1. Menyediakan lapangan pekerjaan baru.

1. Adanya gangguan jalur akses pengguna jasa kereta api.

2. Penataan stasiun yang baik dan tertib.

2. Pengaturan PKL yang sulit dilaksanakan.

3. Lingkungan stasiun menjadi tertib, bersih dan asri.

Pengguna Jasa Kereta Api

1. Akses kebutuhan sehari- hari

1. Keberadaan PKL memakan banyak ruas jalan.

2. Kawasan pelepas penat. 2. Rutinitas PKL yang mengganggu ketenangan.

3. Membuka usaha

sampingan.

Sumber: Hasil Olah data, 2015

(17)

C. Upaya Pemerintah

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, upaya adalah usaha; akal;

ikhtiar untuk mencapai suatu maksud, memecahkan persoalan untuk mencari jalan keluar. Jadi, upaya adalah aspek yang dinamis dalam kedudukan (status) terhadap sesuatu. Apabila seseorang melakukan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka ia menjalani suatu upaya. Dengan kata lain bahwa upaya adalah usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh untuk mencari solusi mengenai permasalahan yang sedang atau akan dihadapi.

Menurut Bagong Suyanto (2013), secara konseptual, yang dimaksud pedagang kaki lima sebetulnya adalah pedagang yang menjalankan kegiatan usahanya dalam jangka waktu tertentu dengan menggunakan sarana atau perlengkapan yang mudah dibongkar-pasang atau dipindahkan, dan seringkali menggunakan lahan fasilitas umum sebagai tempat usahanya.21

Selanjutnya, penertiban berasal dari kata “tertib” yang menurut Siswo Prayitno Hadi Podo, dkk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perbuatan/hal yang menertibkan; aturan, peraturan dalam masyarakat, pergaulan dsb yang membuat keadaan serba tertatur. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia versi Pusat Bahasa, penertiban adalah proses, cara, dan perbuatan menertibkan.

Penertiban pedagang kaki lima memiliki beberapa ruang lingkup dan tujuan, yaitu: Pertama, memberikan kesempatan berusaha bagi PKL melalui penetapan lokasi sesuai dengan peruntukannya. Kedua, menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan usaha PKL menjadu usaha ekonomi mikro yang tangguh dan mandiri. Ketiga, untuk mewujudkan kota yang bersih, tertib dan aman dengan sarana dan prasarana yang memadai dan berwawasan lingkungan.

Untuk mewujudkan tujuan-tujuan tersebut diperlukan sejumlah upaya yang harus dilakukan. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 41 tahun 2012 tentang Pedoman Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima, menguraikan tahapan-tahapan dalam upaya penertiban pedagang kaki lima,

21 Bagong Suyatno, Anatomi Kemiskinan dan Strategi Penanganannya, (Malang:

Instrans, 2013), 123.

(18)

yaitu sebagai berikut: pendataan PKL, penetapan lokasi, relokasi, peremajaan dan pemberdayaan, serta pengawasan.

Berdasarkan uraian diatas, penertiban pedagang kaki lima merupakan suatu kondisi dimana terjadi usaha penggusuran, pembinaan, dan penataan ulang terhadap pelaku ekonomi pada sektor informal, yang selanjutnya disebut sebagai pedagang kaki lima yang tidak hanya menciptakan ketertiban umum, namun juga mampu meningkatkan perekonomian pedagang disektor informal ini.22

Upaya mengatasi pedagang kaki lima potensi pembangunan ekonomi atau pengganggu ketertiban umum yaitu bagaimana pedagang kaki lima bisa tetap berjalan namun tidak sampai mengganggu ketertiban umum. Pemerintah harus berusaha untuk mengatasi permasalahan ini dengan bijak dan terbuka dengan menyadarkan kepada masyarakat baik terhadap pedagang kaki lima itu sendiri maupun konsumennya untuk selalu berusaha mentaati segala aturan yang ada dalam pemerintahan. Berpedoman pada Peraturan Daerah yang berlaku, kebijakan dan upaya penertiban pedagang kaki lima di Kota Cirebon, difokuskan kepada:

1. Penertiban pedagang kaki lima, terdiri dari:

a. Perizinan untuk Berjualan bagi PKL. Perizinan merupakan bentuk legalitas yang harus dimiliki oleh pedagang kaki lima dalam menjalankan kegiatan usahanya.

b. Kewajiban dan Larangan bagi Pedagang Kaki Lima Pada umunya kebijakan mengenai kewajiban dan larangan ini bertujuan untuk mengatur keberadaan pedagang kaki lima dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak mengganggu ketertiban umum.

c. Pembinaan bagi Pedagang Kaki Lima. Pembinaan merupakan bentuk usaha pemerintah untuk meningkatkan kualitas pedagang kaki lima dalam menjalankan kegiatan usahanya.

d. Penetapan Lokasi Berjualan Bagi Pedagang Kaki Lima. Pemerintah menetapkan kebijakan mengenai penetapan lokasi berjualan pedagang kaki lima. Sehingga pedagang kaki lima tidak akan berjualan

22 Weny Indriyanti, Perbandingan Kebijakan dan Upaya Pemerintah dalam Penertiban PKL, (eJournal Ilmu Pemerintahan, Volume 2, Nomor 4, 2014), 3290.

(19)

disembarang tempat dan lebih paham mengenai lokasi-lokasi mana saja yang boleh dipergunakan dan yang mana yang tidak boleh.

2. Upaya penertiban pedagang kaki lima, terdiri dari:

a. Pendataan PKL yang Akan Ditertibkan. Pendataan merupakan sebuah proses awal yang harus dilakukan dalam upaya penertiban pedagang kaki lima. Dari proses pendataan ini maka akan diketahui jumlah keseluruhan pedagang kaki lima yang akan ditertibkan sehingga akan mempermudah pemerintah dalam melaksanakan proses selanjutnya.

b. Relokasi. Dalam proses ini, seluruh pedagang kaki lima yang berjualan diarea terlarang dan sebelumnya telah didata akan dipindahkan ke lokasi yang baru yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

c. Peremajaan Lokasi Berjualan yang Baru

d. Peremajaan merupakan proses dimana pemerintah melakukan sejumlah

e. perbaikan-perbaikan dilokasi berjualan yang baru bagi pedagang kaki lima.

f. Pengawasan Pasca Relokasi. Dalam proses ini, pemerintah melalui petugasnya melakukan pemantauan terhadap lokasi eks relokasi.

Tujuannya adalah agar dapat langsung menindaklanjuti apabila ada pedagang yang kembali berjualan di daerah tersebut.23

Harus diakui bahwa upaya menata PKL dan menertibkan bangunan liar di Kota bukanlah hal yang mudah namun tiada masalah kecuali pasti ada solusinya. Memang, Pemerintah Kota pada akhirnya tidak bisa sendirian dalam penuntasan permasalahan PKL ini, perlu bekerja sama dengan berbagai elemen masyarakat kota bahkan stake holder dari kota-kota yang lain terkait arus urbanisasi namun tetap saja kunci pertama adalah keseriusan dan konsistensi yang harus ditunjukkan oleh Pemerintah Kota dalam mengawal program-program terkait PKL ini.

Dalam penertiban di lingkungan stasiun Cirebon Prujakan disini Pemerintah Kota Cirebon tidak bisa berbuat banyak atas penertiban PKL di

23 Weny Indriyanti, Perbandingan Kebijakan dan Upaya Pemerintah dalam Penertiban PKL, (eJournal Ilmu Pemerintahan, Volume 2, Nomor 4, 2014), 3291.

(20)

Jl. Nyimas Gandasari, prujakan, yang dilakukan PT. Kereta Api Indonesia (Persero) Daop 3 Cirebon, karena para PKL di lingkungan tersebut berdiri di lahan milik mereka, sehingga Pemerintah Kota tidak bisa menghalangi proses eksekusi yang dilakukan PT. Kereta Api Indonesia (Persero).

Walikota Cirebon Drs. Ano Sutrisno MM mengatakan selama ini para pedagang tersebut berdiri ditanah milik PT. Kereta Api Indonesia (Persero), sehingga saat PT. Kereta Api Indonesia (Persero) melakukan penertiban, hal itu tidak melanggar aturan. “itu tanah PT. Kereta Api Indonesia (Persero), ya ya saya pun tidak bisa berbuat jau”, tuturnya kepada surat kabar Radar.24

Dari penjelasan diatas sudah jelas Pemerintah Kota Cirebon tidak bisa berbuat banyak atas penertiban tersebut. Meskipun dalam Perwali jalan itu dimungkinkan masih terdapat PKL, namun tidak mungkin berdiri di lahan milik orang lain. Ano mengungkapkan “di situ memang boleh, karena termasuk lokasi sementara. Sedangkan kenyataannya banyak lapak yang permanen”, jadi jelas memang pedagang yang berada di lingkungan stasiun Cirebon Prujakan memang melanggar Perwali No. 27 tahun 2014 tentang penataan dan pemberdayaan PKL pasal 9 huruf h, i, j, k, dan l yang merupakan termasuk perbuatan yang dilarang dilakukan oleh PKL, menyatakan apabila:

“(h) melakukan kegiatan usaha dengan cara merusak dan/atau mengubah bentuk trotoar, fasilitas umum, dan/atau bangunan disekitarnya, (i) menggunakan badan jalan untuk tempat usaha, kecuali yang ditetapkan untuk lokasi PKL terjadwal dan terkendali, (j) PKL yang kegiatan usahanya menggunakan kendaraan dilarang berdagang di tempat-tempat larangan parkir, pemberhentian sementara, atau trotoar, (k) memperjualbelikan atau menyewakan tempat usaha PKL kepada pedagang lainnya, dan (l) membangun tempat usaha secara permanen”.25

Tanggapan Pemerintah sendiri dengan PKL yang masih berjualan di wilayah Stasiun Cirebon Prujakan diungkapkan Ibu R. Evi Siti Sulastri sebagai berikut:

24 Surat Kabar Radar Cirebon, Pemkot Tidak Mungkin Halangi Langkah PT. Kereta Api Indonesia (Persero), Tanggal 1 Oktober 2014, 9/4.

25 Perwali Nomor 27 Tahun 2014 tentang Penataan dan Pemberdayaan PKL di Kota Cirebon, 9.

(21)

“akhirnya, dengan berbagai pedagang yang berjualan disana yang sekarang masih berdagang yang merupakan kebanyakan jenis dagangannya stempel plat nomor motor, mungkin akan memanfaatkan sementara sampai mereka sudah memiliki tempat, tapi itu juga mungkin kebijakannya dituntut untuk tidak dalam bentuk bangunan permanen, sehingga bisa dipindahkan apabila sewaktu-waktu dibutuhkan”.26

Untuk upaya dari Pemkot Cirebon hanya akan memfasilitasi pedagang yang merupakan merupakan warga Kota Cirebon, saat ini pihaknya sedang melakukan pendataan untuk para pedagang yang berada di jalan tersebut.

Untuk lokasi berdagang pemerintah menyerahkan seluruhnya kepada para pedagang, mengingat dalam Perwali yang ada saat ini terdapat puluhan lokasi sementara yang dimungkinkan terdapat PKL. Pemkot akan mencoba memfasilitasi dan mempersilahkan PKL untuk berjualan di 40 titik yang diizinkan dalam Perwali. Pernyataan tersebut ditambahi juga oleh Ibu R. Evi Siti Sulastri sebagai berikut:

“kalau di kota Cirebon itu sebenarnya kita sedang melakukan penataan, kita alokasikan dalam suatu lokasi khusus PKL, cuman karena mungkin lokasinya kurang strategis, akhirnya kurang kunjungan dari masyarakat sehingga kembali ketempat semula, dulu sudah melakukan penataanke BAT. Intinya perlu kesabaran dalam menata kota, dan itupun masih perlu waktu”.27

Pertangung jawaban dari penempatan pedagang eks. Grage di kawasan Prujakan, Walikota Ano mengatakan di kawasan Jl. Nyimas Gandasari tersebut tidak seluruhnya merupakan pedagang dari eks. Grage, melainkan justru kebanyakan dari para pedagang adalah pedagang pendatang dan mereka melakukan kesalahan karena telah membuat lapak dagangannya permanen dan hal itu melanggar. 28

Jadi kesimpulannya sudah jelas bahwa Pemkot Cirebon telah mengakui bila lahan yang digunakan para PKL tersebut merupakan lahan milik PT.

Kereta Api Indonesia (Persero) sehingga untuk penertiban ataupun yang lainnya, Pemkot Cirebon tidak bisa melakukan intervensi lebih jauh.

26 Hasil Wawancara Ibu R. Evi Siti Sulastri Selaku Kasi Pemerintahan Umum, Tanggal 20 Agustus 2015 Pukul 13.30 WIB.

27 Hasil Wawancara Ibu R. Evi Siti Sulastri Selaku Kasi Pemerintahan Umum, Tanggal 20 Agustus 2015 Pukul 13.30 WIB

28 Surat Kabar Radar Cirebon, Pemkot Tidak Mungkin Halangi Langkah PT. Kereta Api Indonesia (Persero), Tanggal 1 Oktober 2014, 9/4.

(22)

D. Solusi Hati

Sebenarnya Pedagang kaki lima disini adalah kelompok masyarakat yang kurang diuntungkan akibat belum adanya kebijakan tata ruang pertanahan yang mampu mengangkat mereka dari jurang keterpinggiran, baik secara ekonomi, politik dan sosial budaya29. Maka solusi yang tepat adalah PKL jelas butuh lokasi yang jelas, pasti dan aman. Mereka tahu arah akan bergerak mencari nafkah karena ruangnya ada. Bayangkan, mall diberi ruang, pasar bagus diberi ruang, pertokoan menengah diberi ruang, PKL tidak punya ruang. Disudut manapun, tidak ada yang namanya kawasan yang ditujukan resmi bagi PKL. Jangan heran bila kemudian mereka berjuang sendiri, bergerilya, bergumul mengais sudut-sudut tempat untuk meletakkan gerobak dagangan mereka dan berharap bisa mendapatkan rezeki. Masih ditambah bonus dikejar-kejar petugas.30

Jadi janganlah dulu berfikir penuh sentimentil kepada para PKL. Harus sama-sama disadari terlebih dahulu bahwa PKL merupakan potensi ekonomi rakyat. Sudut pandang berfikir yang salah terhadap PKL yang membuat kelirunya sikap yang diambil Pemkot, apabila PKL dianggap sebagai hama, sikap yang diambil jadi membasmi itu sangat memprihatinkan. Untuk menjawab dari persoalan pelik itu, Pemkot harus memperbaiki pemandangan kota dan menjaga kesinambungan kerja.

29 Julius Bobo, Transformasi Ekonomi Rakyat, (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 2003), 152.

30 Alberthiene Endah, Jokowi, Memimpin Kota Menyentuh Jakarta, (Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2014), 113.

Gambar

Tabel 4.1 Data Penduduk Kelurahan Pekalangan, 2014  No.   Nama RW  Jumlah
Tabel 4.2 Data Jumlah PKL  No.  Nama  Pedagang  Jenis  Dagangan  Sarana  Berdagang  Beban  Keluarga  Konsumen
Tabel 4.3 Dampak Penertiban Pedagang Kaki Lima

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan kebutuhan tersebut, Jean Watson memahami bahwa manusia adalah makhluk yang sempurna yang memiliki berbagai macam ragam perbedaan, sehingga dalam upaya

Jurnal KINETIK, Jurnal penelitian ilmiah terbit empat kali dalam satu tahun pada bulan Februari, Mei, Agustus dan Nopember.. Pengantar Redaksi Assalamu’alaikum Wr. Alhamdulillah

Infeksi yang sering terjadi di rumah sakit adalah phlebitis, ILO dan decubitus bahkan 9,8% pasien rawat inap menderita infeksi nosocomial sementara standar indikator infeksi

Berdasarkan hasil penelitian ini, metode bradford merupakan metode yang paling baik untuk digunakan dalam analisis gelatin dalam sampel tablet, karena semua sampel

Dari hasil penelitian di atas terkesan bahwa efek gonadotropik dari LH maupun efek antigonadotropik dari PGF2 ǂ yang diberikan pada kelompok kontrol (tanpa pemberian kurkumin

Pada tahap siklus II ini sudah optimal.Tindakan tahap siklus II, menunjukkan prestasi belajar peserta didik dalam pembelajaran PKn dengan materi memahami kedaulatan rakyat dan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) perkembangan produksi dan volume ekspor kakao Indonesia pada tahun 1991 sampai dengan tahun 2009 mengalami peningkatan;

bahwa berdarkan pertimbangan sebagaimana huruf a., dan huruf b., perlu menetapkan Peraturan Bupati tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Gresik