• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

8 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Film Sebagai Komunikasi Massa 2.1.1 Pengertian Komunikasi Massa

Komunikasi massa didefinisikan paling sederhana oleh Bittner, komunikasi massa merupakan pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang (dalam Ardianto, Komala, dan Karlinah, 2007: 03). Melalui definisi itu dapat diketahui bahwa komunikasi massa harus menggunakan media massa. Jadi, meskipun komunikasi ditunjukkan kepada khalayak ramai, contohnya seperti seminar nasional yang dihadiri puluhan ribu orang tetapi tidak menggunakan media massa dalam pelaksanaannya, maka itu bukan komunikasi massa. Media massa memiliki peran yang sangat penting dalam kegiatan sosial. Ahli komunikasi lain, Gebner, mengemukakan pengertian komunikasi massa yang lebih rinci. Menurut Gerbner, komunikasi massa adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan lembaga dari arus pesan yang kontinyu serta paling luas dimiliki orang dalam masyarakat industri (Ardianto dkk, 2007: 03).

Untuk lebih memfokuskan mengenai komunikasi massa, perlu referensi definisi dari beberapa ahli terkait pengertian komunikasi massa itu sendiri. Seperti halnya Gerbner yang mengemukakan bahwa komunikasi massa itu melibatkan lembaga, maka Wright secara khusus mengemukakan bahwa komunikator bergerak dalam organisasi yang lebih kompleks. Organisasi yang kompleks menyangkut berbagai pihak dalam proses komunikasi massa, mulai dari pesan disampaikan oleh komunikator hingga pesan diterima oleh komunikan. Sebagai contoh apabila pesan disampaikan melalui media cetak (majalah atau surat kabar) maka pihak bersangkutan yang dimaksud adalah pimpinan redaksi, editor,

(2)

9 lay-out man, editor dan yang bersangkutan terkait pembuatan majalah atau surat kabar tersebut. Sedangkan, apabila pesan disampaikan melalui media televisi atau layar, maka pihak yang terlibat didalamnya mulai dari produser, sutradara, penyunting gambar, petugas audio, tata cahaya, artistik dan seluruh kru yang terlibat (Ardianto dkk, 2007: 05).

Menyimak dari beberapa definisi komunikasi massa yang telah dikemukaan para ahli diatas, tidak ada perbedaan yang mendasar, bahkan terlihat saling berkaitan dan melengkapi. Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa komunikasi massa merupakan jenis komunikasi yang disampaikan kepada khalayak ramai yang tersebar dan kepada siapa saja melalui media cetak ataupun elektronik yang pesannya diterima dalam waktu bersamaan dan terikat waktu.

2.1.2 Konteks Komunikasi Massa

Dominick (dalam Ardianto dkk, 2007: 13) mengatakan bahwa, dalam melihat fungsi dan kegunaan komunikasi massa, perlu dilakukan dua bentuk analisis, yakni analisis makro (wide-angel lens) dan analisis mikro (close-up lens). Kedua metode ini, baik analisis makro maupun analisis mikro, kadangkala memiliki hasil yang sama pada khalayak dalam menyerap informasi yang disampaikan media massa. Tetapi, tidak berarti khalayak memiliki kesamaan dalam menggunakan media massa.

Schramm mengatakan bahwa, untuk berlangsungnya suatu kegiatan komunikasi, minimal diperlukan tiga komponen yaitu source, message dan destination atau komunikator, pesan, komunikan. Apabila salah satu dari tiga komponen tersebut tidak ada, maka komunikasi tidak dapat berlangsung. Namun demikian, selain tiga komponen tersebut masih terdapat komponen lainnya yang berfungsi sebagai pelengkap. Artinya, jika komponen tersebut tidak ada, maka tidak akan berpengaruh pada komponen lainnya.

(3)

10 Oleh karena itu, komponen utama harus selalu ada pada proses komunikasi, baik itu komunikasi antar personal, komunikasi kelompok maupun komunikasi massa (Ardianto dkk, 2007: 27-28). Komponen pada proses komunikasi antarpersonal atau komunikasi kelompok mudah diketahui. Namun, apabila komunikasi tersebut dilakukan melalui media massa maka komponen maupun prosesnya tidak akan sesederhana sebagaimana pada proses bentuk komunikasi yang lain (Ardianto dkk, 2007: 28).

2.1.3 Media Komunikasi Massa

Media massa pada dasarnya dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu media cetak, media elektronik dan internet (cyber). Media cetak yang memenuhi kriteria diantaranya majalah dan surat kabar. Sedangkan, untuk media elektronik yang memenuhi kriteria media massa berupa radio, televisi dan film. Lalu, untuk media internet (cyber), seperti artikel online, berita online dan lain sebagainya yang bersumber dari internet.

Kehadiran media massa membuat dunia terasa semakin kecil. Hal ini diperkuat oleh pendapat Marshall McLuhan terkait kondisi dunia yang seolah-oleh semakin kecil karena menyerupai desa global (global village). Media komunikasi modern memungkinkan berjuta-juta orang didunia untuk saling berhubungan hampir keseluruh pelosok dunia (Littlejohn, 1989: 252 dalam Ardianto dkk, 2007: 104).

Saat ini media massa memiliki pengaruh yang sangat besar tehadapat masyarakat. Bahkan, dapat membentuk karakter masyarakat kedepannya. Dengan pengaruhnya, media dapat membranding suatu produk atau jasa, sehingga mempengaruhi pola hidup masyarakat. Selain itu, media massa dapat digunakan sebagai acuan informasi diberbagai daerah, dibantu dengan kemajuan teknologi membuat berita semakin cepat berkembang. Dengan hal tersebut, banyak pihak yang menggunakan media massa sebagai

(4)

11 jalan untuk mengkomunikasikan atau mengkampanyekan sebuah produk ataupun jasa kepada masyarakat.

2.1.4 Film sebagai Komunikasi Massa

Dalam perkembangan teori film, belakangan mulai ada upaya dari beberapa teoritis untuk mencari perspektif yang lebih mampu menangkap substansi film. Film tidak lagi dimaknai sebagai karya seni (film as art), tetapi lebih sebagai “praktik sosial” (Turner dalam Irawanto, 2017: 12) serta “komunikasi massa” (Jowet dan Linton dalam Irawanto, 2017: 12-13).

Sebagai media massa, film merupakan bagian dari respon terhadap penemuan waktu luang, waktu libur, dan sebuah jawaban atas tuntutan cara untuk menghabiskan waktu luang keluarga yang sifatnya terjangkau dan (biasanya) terhormat. Film merupakan keuntungan budaya bagi kelas pekerja yang telah dinikmati oleh kehidupan sosial mereka yang cukup baik (Sobur, 2014: 213).

Dalam perspektif komunikasi massa, film dimaknai sebagai pesan-pesan yang disampaikan dalam komunikasi filmis, yang memahami hakikat, fungsi, dan efeknya. Perspektif ini memerlukan pendekatan yang terfokus pada film sebagai proses komunikasi (Irawanto, 2017: 13). Sesuai dengan uraian tokoh diatas, bahwasanya film memiliki peran atau fungsi yang beragam. Salah satu yang sering digunakan adalah sebagai media penyampaian pesan kepada khalayak. Tujuan utama dibuatnya film memang pada mulanya adalah sebagai media hiburan, namun seiring berkembangnya zaman tidak sedikit kita akan menjumpai film yang digunakan untuk membranding produk, representasi daerah, pengenalan kelompok, tempat wisata dan lain sebagainya

Sebagai media komunikasi massa, film terbilang berhasil menarik hati para penontonnya. Sebagai contoh, film Indonesia yang selalu sukses tembus hingga ribuan penonton pada minggu pertamanya atau film pendek suatu produk yang menggabungkan

(5)

12 dengan media platform internet seperti Youtube, sehingga jangkauannya akan lebih luas dan pasti akan dilihat oleh setiap orang yang mengunjungi platform tersebut.

2.2 Ruang Lingkup Film 2.2.1 Pengertian Film

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2009 tentang perfilman mendefinisikan film sebagai karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara serta dapat dipertunjukkan (Sobur, 2014: 213).

Film merupakan media komunikasi yang bersifat visual atau audio-visual untuk menyampaikan suatu pesan kepada sekelompok orang yang berkumpul disuatu tempat tertentu (Sobur, 2014: 213). Film adalah bentuk dominan dari komunikasi massa visual dibelahan dunia (Ardianto dkk, 2007: 143). Bagaimanapun, film memang memiliki pengaruh yang kuat dan lebih peka terhadap budaya masyarakat, dari pada sebuah monografi yang dibuat oleh sejarawan. Oleh karena itu, film memberikan petunjuk berharga tentang pandang kontemporer terhadap masa lalu (Irawanto, 2017: 04).

Dari beberapa pengertian yang telah diuraikan diatas, dapat disimpulkan bahwa film adalah sebuah karya seni melalui media komunikasi yang berisikan gambar atau visual dengan dukungan suara (audio) yang memuat pesan untuk disampaikan kepada khalayak. Film juga bisa dimaknai sebagai penuangan keresahan sesorang pada layar kamera yang kemudian dapat dinikmati banyak orang. Sebab pada dasarnya, film berasal dari ide ataupun keresahan penulis naskah dan juga sutradara yang kemudian ditambah dengan seluruh kru melalui rapat anggota produksi film. Setelah disetujui, ide-ide ataupun gagasan baru akan muncul untuk menyempurnakannya.

(6)

13 Sebelum sebuah film dikerjakan, pasti akan melewati tahap dimana sebuah konsep film dimatangkan melalui rapat anggota produksi film. Kru film akan dibagi berdasarkan jobdesk masing-masing untuk membahas tanggung jawabnya, yang kemudian melakukan rapat anggota beserta sutradara untuk mengutarakan hasil rapat dari jobdesk tadi. Ide-ide yang disetujui akan dicatat dan dimasukkan naskah untuk akhirnya nanti dikerjakan ketika menggarap sebuah film.

2.2.2 Fungsi Film

Pada dasarnya film diciptakan sebagai sarana hiburan. Akan tetapi dalam film dapat terkandung fungsi informatif dan edukatif, bahkan persuasif. Hal ini pun sesuai dengan fungsi film yang telah ditetapkan oleh perfilman nasional sejak tahun 1979, bahwa selain sebagai media hiburan, film dapat digunakan sebagai media edukasi untuk pembinaan generasi muda dalam rangka nation and character building (Effendy, 1981: 212 dalam Ardianto dkk, 2007: 145).

Industri film adalah industri bisnis. Predikat ini telah menggeser anggapan orang yang masih meyakini bahwa film adalah karya seni, yang diproduksi secara kreatif dan memenuhi imajinasi orang-orang yang bertujuan memperoleh keindahan yang sempurna. Meskipun pada kenyataannya adalah bentuk karya seni, industri film adalah bisnis yang memberikan keuntungan, kadang-kadang menjadi mesin uang. Bahkan sering kali keluar dari kaidah artistik demi mendapatkan keuntungan (Dominick, 2000: 306 dalam Ardianto dkk, 2007: 143).

2.2.3 Karakteristik Film

Karakteristik film sebagai media massa mampu membentuk semacam konsensus publik secara visual (visual public consensus), karena film selalu bertautan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan selera publik (Irawanto, 2017: 16). Faktor yang

(7)

14 menunjukkan karakteristik film adalah layar lebar, pengambilan gambar, konsentrasi penuh dan identifikasi psikologis (Ardianto dkk, 2007: 145-148).

a. Ditampilkan Di Layar. Berbeda dengan televisi pada umumnya, film menggunakan media layar yang lebih luas sehingga memberikan keleluasan penontonnya untuk melihat adegan yang disajikan. Terlebih layar film di bioskop pada umumnya sudah menggunakan teknologi 3D (tiga dimensi). Sehingga, membuat penonton seolah melihat kejadian yang sebenarnya.

b. Pengambilan Gambar. Sebagai konsekuensi dari layar yang lebar, maka pengambilan gambar atau disebut dengan shot disesuaikan dari jarak jauh (extreme long shot) dan pengambilan pemandangan menyeluruh (panoramic shot). Hal tersebut digunakan agar kesan artistik lebih menarik, terlebih penonton dapat mengetahui sedikit gambaran terkait lokasi yang dijadikan tempat film meskipun belum pernah berkunjung.

c. Konsentrasi Penuh. Ketika menonton film, semua penonton terbebas dari gangguan lain bahkan dengan ruangan kedap suara. Semua mata tertuju pada layar yang disediakan, sementara pikiran tertuju pada alur cerita film tersebut. Dalam keadaan tersebut penonton dapat konsentrasi penuh dengan film yang ditayangkan.

d. Identifikasi Psikologis. Penonton dapat merasa ketika menonton film, suasana di dalam gedung bioskop telah membuat pikiran dan perasaannya larut dalam cerita yang ditayangkan, karena penghayatan yang amat mendalam, sering kali secara tidak sadar menyamakan (mengidentifikasikan) pribadi mereka dengan salah seorang pemeran dalam film tersebut. Sehingga, seakan-akan penonton yang sedang berperan. Menurut pandangan tentang ilmu jiwa sosial sebutan

(8)

15 untuk hal semacam ini disebut identifikasi psikologis (Effendi dalam Ardianto dkk, 2007: 147).

2.2.4 Unsur-Unsur dalam Film

Unsur dalam film memiliki kaitan penting dalam kajian komunikasi, yakni gambar dan suara. Unsur ini terdiri atas 2 kategori, yaitu.

a. Unsur Naratif; yaitu subjek utama film cerita naratif adalah jalan ceritanya.

b. Unsur Sinematik; yaitu bagaimana subjek cerita tersebut dikerjakan.

Kedua bagian tersebut harus selalu ada dalam pembuatan film, karena satu sama lain saling berkaitan dalam menciptakan sebuah cerita yang berkesan dan bisa diterima oleh banyak orang. Unsur sinematik dalam film dibagi lagi kedalam kelompok lain seperti, miss en scene (segala sesuatu yang berada di depan kamera), sinematografi, editing dan suara. Terdapat empat hal utama dalam miss en scene yakni, tata letak, pencahayaan, tata busana dan tata rias, terakhir ada pengadeganan dan mimik (Vera, 2015: 92-93).

Seperti dijelaskan diatas, terdapat 4 elemen penting yang harus diperhatikan terhadap segala sesuatu yang berada didepan kamera, yakni yang pertama setting, setting merupakan segala sesuatu terjadinya adegan. Setting mencakup tempat, waktu dan suasana. Kemudian, ada tata cahaya yang digunakan untuk mendukung gelap terang objek, penetapan waktu dan fokus yang dituju. Sedangkan, untuk memperkuat karakter pemain dibutuhkan kostum dan make up, kostum berupa pakaian yang melekat pada diri pemain, dan make up berupa penekanan karakter melalui rias yang dibutuhkan. Terakhir ada akting, yakni segala tingkah laku pemain dalam film yang mendukung cerita.

(9)

16 Selain mise en scene, dalam unsur-unsur film juga terdapat sinematografi yang perlu diperhatikan. Para pelaku film lebih mengenalnya penata kamera. Hal ini berkaitan dengan equipment yang harus digunakan, angle yang tepat, dan segala hal yang berkaitan dengan kamera. Penata kamera harus terus berkomunikasi dengan penata artistik dan juga penata suara, karena ketiganya sangatlah berkaitan. Artistik untuk segala hal yang dibutuhkan untuk pengadeganan, sedangkan suara untuk menunjang gambar yang direkam.

Terakhir adalah editing, proses yang paling rumit dan paling penting dalam membuat film. Penggabungan video, pemangkasan, efek, dan lain sebagainya ada dalam tahap editing. Orang yang melakukan editing dalam film disebut editor. Menurut pelaku film, editor yang baik adalah yang tidak ikut dalam pengambilan gambar. Sehingga, editor hanya akan mengambil gambar yang benar-benar dibutuhkan oleh naskah tanpa memperdulikan kesusahan ketika proses pengambilan gambar.

2.2.5 Jenis-Jenis Film

Supaya bisa menggunakan film berkesinambungan dengan karakteristiknya, perlu diketahui jenis-jenis film yang ada. Ada banyak pengelompokan film, tergantung dari sudut pandang yang diambil. Sesuai dengan jenis filmnya terdapat film cerita berupa film panjang dan film pendek, film berita, film dokumenter, dan film kartun (Ardianto dkk, 2007: 148-149).

a. Film Cerita (Story Film). Jenis film yang mengandung suatu cerita yang layak dipertunjukkan pada gedung-gedung bioskop dengan bintang film yang popular dan didistribusikan untuk kepentingan penjualan. Cerita yang diangkat dalam film biasa berupa cerita fiktif atau kisah nyata yang

(10)

17 dimodifikasi, baik dari alur ceritanya ataupun gambarnya, sehingga ada unsur yang tetap menarik untuk ditonton.

b. Film Panjang (Long Film). Film yang memiliki durasi diatas satu jam. Film Panjang biasanya ditayangkan pada bioskop dan memiliki durasi rata-rata 120 menit. Faktor durasi yang cukup lama membuat film panjang ini sendiri membutuhkan biaya produksi yang lebih.

c. Film Pendek (Short Film). Kebalikan dari film panjang, film ini memiliki durasi kurang dari satu jam. Jenis film seperti ini biasa digarap oleh kelompok studi ataupun mahasiswa yang menggemari film dan biasa digunakan sebagai batu loncatan untuk memproduksi film panjang. Film Pendek seringkali tayang pada festival-festival film lokal/internasional.

d. Film Berita (Newsreel). Film yang berisi mengenai fakta, peristiwa yang benar-benar terjadi, karena sifatnya bersifat berita, maka jenis film yang satu ini disajikan kepada publik dengan mengandung nilai berita. Berbeda dengan film cerita, cerita yang diangkat dalam film berita berupa cerita nonfiktif, karena fokus pada film berita yang merupakan peristiwa yang terjadi sebenarnya. Kriteria berita yang disajikan harus penting dan menarik.

e. Film Dokumenter (Documentary Film). Menurut Robert Flaherty, Film Dokumenter merupakan karya ciptaan mengenai kenyataan. Perbedaan yang mendasar dengan film berita adalah, pada film dokumenter berupa hasil interpretasi pribadi (pembuat film) mengenai isu yang diangkat.

(11)

18 f. Film Kartun (Cartoon Film). Tujuan utama dibuatnya film kartun untuk konsumsi anak-anak. Film kartun berupa film fiksi yang tidak memerlukan peran tokoh dalam pengambilan gambarnya. Semua gambar yang ditayangkan berupa hasil kerja dari komputerisasi. Pemeran hanya digunakan sebagai pengisi suara saja atau biasa disebut dubber.

2.3 Film Pendek

Terdapat banyak jenis film yang bisa kita kenali, akan tetapi pada dasarnya kategori film hanya dibedakan terkait 2 macam, yakni film fiksi (film cerita) dan film nonfiksi (film noncerita). Film fiksi merupakan film yang sengaja dikerjakan berdasarkan cerita fiktif atau buatan manusia. Sedangkan film nonfiksi merupakan film yang bercerita seputar kejadian yang benar-benar terjadi. Film fiksi dapat dikategorikan kembali kedalam 2 kelompok, yaitu film pendek dan film Panjang. Yang membedakan dari keduanya terdapat pada durasi film tersebut. Dimana film pendek memiliki durasi antara 1 sampai 60 menit, sedangkan untuk film Panjang memiliki durasi antara 60 sampai 100 menit, pada era modern mulai muncul film Panjang yang berdurasi hingga 120 menit bahkan bisa lebih.

Jenis film pendek (short films) seringkali dibuat oleh kelompok mahasiswa yang tergabung dalam studi perfilman dan ingin mengembangkan bakatnya untuk membuat karya yang lebih baik. Meskipun demikian, terdapat beberapa kelompok yang memang membuat suatu komunitas untuk memproduksi film jenis ini, kebanyakan dari mereka sengaja berkarya dan didistribusikan pada acara televisi maupun production house (Effendy, 2009: 04).

(12)

19 2.4 Film Non-Komersil

Awal sejarah film Indonesia tidak lepas dari perubahan yang terjadi. Ketika bioskop pertama Indonesia didirikan di Batavia. Pada tanggal 5 Desember 1900, pukul 7 malam, bioskop yang belum diberi nama itu (kemudian diberi nama The Roijal Bioscope) mulai dioperasikan di tanah abang dengan harga yang telah ditetapkan (Biran dalam Sobur, 2014: 218). Berkat pesatnya pertumbuhan film yang ada di Indonesia, para pelaku film semakin giat untuk membuat sebuah karya seni yang satu ini untuk mendapatkan keuntungan ataupun sekedar menuangkan idenya pada film. Berdasarkan hal tersebut, film dapat dibedakan menjadi 2 jenis apabila dilihat dari orientasi penjualannya, yakni film untuk komersil dan film non-komersil atau dikhususkan untuk kepentingan selain non-komersil. Film komersil adalah film yang berorientasi pada dunia bisnis, sehingga para pelaku film akan berkarya demi mendapatkan keuntungan yang besar. Kebanyakan film komersil memiliki studio besar untuk menunjang kegiatannya. Jenis film komersil sering didistribusikan pada layar lebar (bioskop) karena sistem penjualan yang lebih terstruktur. Sedangkan, film non-komersil kebalikan dari film komersil. Jenis film ini lebih berorientasi pada hasil karya, ataupun sekedar menyampaikan isu yang penulis atau pembuat film ingin sampaikan.

Dikarenakan tidak berorientasi pada hasil penjualan, para pelaku film non-komersil biasanya menyiasati pengeluaran produksi dengan memperbanyak iklan, kerja sama dengan pihak luar, dan juga perlombaan. Perlombaan yang dimaksud yakni hasil film yang sudah disepakati oleh para pelaku film akan diikut sertakan dalam berbagai festival film, sehingga mereka akan mendapatkan keuntungan dari sana.

Film non-komersil memiliki pasar yang berbeda dengan film layar lebar. Pendistribusian film non-komersil lebih kepada festival film kedaerahan, nasional maupun internasional.

(13)

20 2.5 Film Komedi

Film juga dapat dibedakan berdasarkan genre atau jenis film. Genre atau jenis film bisa dimaknai juga sebagai kategori dalam film yang mempunyai makna khusus. Pada kategori film fiksi, beragam genre yang bisa ditemukan, salah satu diantaranya merupakan film komedi.

Sesuai dengan unsur film yang telah diuraikan, film komedi merupakan film yang mengusung materi bertajuk humor. Konten-konten humor dimasukkan dengan tujuan menghibur penonton. Para pelaku film atau pembuat film akan menggunakan jasa pemain film yang sebelumnya memang memiliki ketrampilan untuk menghibur banyak orang agar cerita lucu dapat tersampaikan dengan cermat.

Film komedi tergolong kedalam film fiksi karena ceritanya yang terkesan dilebih-lebihkan untuk mengisi konten hiburan. Perkembangan film berpengaruh pula pada jenis film komedi, muncul jenis film komedi lain yang disebut drama komedi. Dalam drama komedi keseimbangan antara alur drama dengan alur komedi yang seimbang.

2.6 Macam-macam Sifat Pesan dalam Film Komedi

Dalam hal pengungkapan makna, sebenarnya merupakan satu diantara masalah filsafat kuno yang pernah terjadi dalam kehidupan manusia. Konsep ini bahkan menarik perhatian psikologi, antropoligi, komunikasi, hingga linguistik. Hal ini menjadikan, banyak pakar yang selalu mencantumkan kata “makna” pada setiap merumuskan sebuah konsep komunikasi. Seperti halnya Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss (1994: 06), yang beragumen, “komunikasi adalah proses pembentukan makna di antara dua orang atau lebih” (Sobur, 2013: 255). Kemudian, C. Pearson dan Paul E Nelson (1979: 03) menyatakan bahwa komunikasi merupakan proses berbagi dan memahami makna (Sobur, 2013: 255).

Pesan merupakan hal yang paling penting dalam proses komunikasi, karena isi dari kegiatan komunikasi terdapat didalamnya. Memahami pesan dalam komunikasi tidak semudah yang dibayangkan. Perlu pemahaman lebih terkait simbol komunikasi beserta sifat pesan yang dimaksudkan. Agar

(14)

21 lebih mudah dipahami, terdapat 2 kategori dalam pemaknaan pesan, yaitu secara verbal dan nonverbal. Simbol atau pesan verbal menurut Mulyana (2014: 260) merupakan segala bentuk tanda yang memiliki satu kata bahkan lebih. Dalam komunikasi verbal biasa terdiri dari gaya lisan. Sedangkan, dalam pembahasan yang lebih sederhana, pesan nonverbal merupakan segala bentuk isyarat selain kata. Larry A. Samovar dan Richard E. Porter lebih jauh menerangkan bahwa, komunikasi nonverbal menjangkau hingga rangsangan (selain rangsangan verbal itu sendiri) pada tata komunikasi, yang telah diciptakan oleh seseorang, kepada pengirim atau penerima yang mempunyai nilai pesan potensial. Oleh karena itu, pengertian ini mencangkup tindakan baik itu disengaja maupun tidak sebagai bentuk terjadinya proses komunikasi (Mulyana, 2014: 343).

Pesan nonverbal dapat diklasifikasikan dengan beragam cara. Jurgen Ruesch membagi pesan nonverbal ini menjadi 3 kelompok. Kelompok pertama, bahasa tanda (sign language) lambaikan tangan untuk berpisah dengan seseorang; kedua, bahasa tindakan (action language) setiap gerakan pada badan yang tidak digunakan untuk memberikan sinyal secara langsung, contohnya, berenang; dan ketiga, bahasa objek (object language) setiap hal yang memperlihatkan lambang, benda, pakaian nonverbal yang bersifat publik, baik secara sengaja atau tidak (Mulyana, 2014: 352).

Banyak sekali pembahasan mengenai klasifikasi pesan nonverbal yang dianggap khusus, dimulai dari yang bersifat perilaku hingga yang muncul pada lingkungan kita. Untuk memudahkan dalam pemaknaan pesan nonverbal, Deddy Mulyana (2014: 353-436) mengkategorikan jenis pesan nonverbal sebagai berikut.

a. Bahasa Tubuh

Menurut Ray L. Birdwhistell, setiap anggota tubuh seperti wajah (termasuk senyum dan pandangan mata), isyarat tangan, gerakan kepala posisi kaki dan bahkan postur tubuh secara keseluruhan dapat digunakan sebagai isyarat simbolik.

(15)

22 b. Sentuhan

Mencakup sentuhan lembut sekilas, sensitifitas, pegangan (jabat tangan), pelukan, belaian, tepukan, senggolan, cubitan, pukulan dan tamparan.

c. Parabahasa

Melihat pada aspek suara selain ucapan yang bisa dijumpai, seperti contohnya nada (tinggi atau rendah), kecepatan berbicara, intensitas (volume) suara, kualitas vokal (kejelasan), intonasi, warna suara, suara serak, dialek, suara sengau, suara yang gemetar, suitan, tawa, suara terputus, erangan, tangis dan lain sebagainya.

d. Penampilan Fisik

Seringkali seseorang memaknai karakteristik fisik orang lain disekitarnya, seperti warna kulit, bentuk tubuh, warna rambut dan lain sebagainya. Tidak sedikit pula dari kita, menilai penampilan fisik orang lain mulai dari tata busananya hingga ornamen apa yang dikenakan olehnya. e. Bau-bauan

Wangi-wangian telah digunakan berabad-abad lamanya untuk mengirim pesan, terutama yang menyengat. Hal ini menyerupai apa yang dilakaukan hewan disekitar kita ketika memastikan kehadiran musuhnya, menarik lawan jenis, sampai menandai wilayah kekuasaannya.

f. Proksemika

Edward T. Hall mengungkapkanya sebagai kajian yang mempelajari terkait pandangan seseorang terhadap ruang (pribadi dan sosial), bagaimana seseorang menggunakannya dan apa pengaruhnya pada komunikasi yang berlangsung. Pakar lain memperluas pandangan terhadap proksemika pada proses komunikasi, termasuk iklim, pencahayaan, dan kepadatan penduduk.

(16)

23 g. Kronemika

Studi dan interpretasi atas waktu sebagai pesan. Memperlakukan waktu dengan tepat menunjukkan jati diri kita.

h. Diam

Pengertian diam yang biasa dibangun dipengaruhi terhadap situasi dan budaya yang berkembang. Faktor lain diantarannya durasi, kelayakan waktu dan hubungan antara yang bersangkutan.

i. Warna

Warna sering digunakan sebagai penunjuk suasana emosional seseorang, affiliasi politik, keyakinan, hingga cita rasa.

j. Artefak

Artefak merupakan benda yang sengaja dibuat oleh pemikiran manusia. Kajian yang mempelajari terkait artefak disebut objektika. Bangunan, mobil, alat rumah tangga, patung, gambaran tangan, foto bersalaman dengan artis dan benda lain dalam lingkungan kita adalah pesan-pesan bersifat nonverbal, sejauh dapat diberi makna.

2.7 Identitas Kota dalam Perspektif Budaya

Menjelang tahun 2000, diperkirakan penduduk Indonesia yang akan berjumlah 220 juta, sekitar 65% akan tinggal diperkotaan. Dengan demikian hanya sekitar 35% lagi yang tinggal di desa. Kota akan menjadi pusat pemukiman utama penduduk Indonesia pada saat pembangunan nasional tinggal landas, karenanya, perhitungan-perhitungan planologis kota harus menempatkan faktor manusia dengan kebiasaan dan persepsi kemajemukannya, sebagai sentral kajian dalam pembangunan kota (Soemardjan, 1988: 422).

Jelas akan sulit apabila ingin mengetahui identitas kota atau budaya lokal yang benar-benar tertulis. Pada dasarnya, identitas kota merupakan

(17)

24 sebutan baru yang digunakan masyarakat untuk menjuluki suatu kota karena sesuatu (bisa karena budayanya, lokasinya, suasananya, identik lokal dan lain sebagainya). Seperti yang dijelaskan oleh Selo Soemardjan (1988: 399), satu kriteria yang paling memadai ialah pengakuan dari dirinya dan pengakuan adari orang lain. Seseorang disebut orang Sunda, apabila ia mengaku dirinya orang Sunda dan orang lain juga mengakuinya. Orang lain yang dimaksud bisa orang Sunda maupun orang yang bukan keturunan Sunda. Dengan demikian, seseorang bisa saja disebut orang Sunda meskipun, ia belum pernah berkunjung ke tanah Sunda begitupun sebaliknya. Semua bergantung pada kedua pengakuan tadi.

Sebagian besar kota-kota di Indonesia merupakan bangunan pemberian kolonial yang mempunyai arti ganda. Maksudnya adalah kawasan perkotaan adalah pemukiman elit pemerintah kolonial dan pusat ekonomi. Sedangkan, kawasan sekitar pusat kota disebut pemukiman bumiputera. Kedua wilayah ini menampilkan struktur dan konstruktur kawasan yang sangat berbanding terbalik, baik dari segi teknologi, konstruksi bangunan, pemakaian energi, maupun dalam susunan tata ruang (Soemardjan, 1988: 422).

Faktor pemukiman ini menampilkan perbedaan wajah kota warisan kolonial tersebut. Pusat kota dibangun secara modern dengan persepsi budaya dan teknologi barat, sedangkan pinggiran kota tempat pemukiman bumiputera, dengan persepsi budaya dan teknologi tradisional. Kedua pemukiman tersebut telah merepresentasikan dua kultur yang berbeda. Perbedaan ini dapat dijumpai pada gaya hidup (way of life) warganya, yang satu dengan gaya hidup kawasan perkotaan, sedangkan rural atau pedesaan menjadi gaya hidup yang lain (King 1980, dalam Pelly 1985:05, dalam Soemardjan, 1988: 422-423).

Guna memenuhi kebutuhan warga dalam kehidupan kota dan meningkatkan kelestariannya secara berkelanjutan, kota dalam hal ini harus dapat mengenal dengan baik dan menyeluruh berbagai aspek yang dalam kotanya tersebut sebagai identitas kota. Suatu kota dapat muncul identitas kotanya apabila ciri, tanda atau jati diri suatu negeri tersebut dapat diketahui

(18)

25 dengan baik dan menyeluruh, baik dalam elemen fisik (tangible) atau elemen psikis (intangilble), dengan mengamati fungsi dan susunan kehidupan kota, nilai-nilai sejarah yang dahulu pernah ada, serta nilai-nilai budaya lokal yang hingga saat ini menjadi hal yang ditonjolkan dan karakteristik tersendiri bagi kota tersebut, dengan mempertimbangkan kondisi warga dan lingkungan dalam kota tersebut.

Setiap kota mempunyai karakternya sendiri-sendiri antara lingkungan (fisik) kota dan masyarakatnya. Kebudayaan yang terlahir didalamnya menjadi jiwa dan karakter kota tersebut, dan juga aspek lingkungan (fisik) akan sangat penting sebagai raganya. Hal tersebut saling memiliki keterikatan dan hubungan antar satu sama lain. Apabila sebuah kota mempunyai karakter yang lebih kuat bahkan lebih kuat dari masyarakat pendatang, maka kebudayaan bagi warga yang datang dapat melebur dan menjadi jati diri baru kota yang dituju. Kebudayaan dari luar akan sulit menggantikan kebudayaan yang sudah ada, bahkan dapat mempengaruhi daerah sekitar. Kemampuan suatu kota dalam mempertahankan unsur kedaerahannya hingga mempengaruhi daerah sekitarnya biasa disebut local genius. Karenanya, membangun kota juga bisa disebut sekaligus membangun identitas masyarakatnya. Apabila masyarakat memiliki jiwa yang kuat maka lambat laun kota yang ditempati akan kuat dalam segi hal identitas dan demikian pula sebaliknya (Hariyono, 2007 dalam Ali, 2009: 55-56).

Sebuah kota sebenarnya dapat membuat identitas yang unik atau mempunyai ciri khas dalam berbagai bidang seperti bidang usaha, kebudayaan, ilmu pengetahuan, seni hingga teknologi, yang dikembangkan berdasarkan ciri atau karakter yang sudah dipunyai dan tumbuh dan berkembang sejak dahulu di lingkungan masyarakat. Banyak kota yang pada akhirnya dikenal banyak orang karena telah memiliki jati diri dan identitas khusus. Identitas ini merupakan rangkaian nilai-nilai sejarah yang sudah tumbuh lama sejak dahulu kala di tengah-tengah masyarakat, sehingga bukan sekedar tempelan baru yang dilekatkan di belakang nama kota sebagai slogan (Abiyoso, 2007 dalam Ali, 2009: 56).

(19)

26 Beberapa kota besar di eropa seperti Paris, New York, London dapat dikatakan sebagai sebuah kota yang berhasil dalam membangun karakter yang kuat dan membuat namanya begitu tenar melalui spesifik identitas kota yang dimilikinya, tidak berhenti sampai disitu, pemeliharaan dan pembangunan yang dilakukan dijaga dengan sangat baik. Julia Winfield‐ Pfefferkorn (2005) pada studi The Branding of Cities, menyatakan bahwa kesuksesan kota besar di dunia seperti New York, Paris, Rotterdam, dan San Francisco dalam memaknai kotanya disebabkan oleh kepandaian mereka memilih keunikan yang mereka ciptakan pada salah satu fungsi kehidupan kota, seperti nilai historis, kualitas infrastruktur, gaya hidup, hingga kebudayaan yang tercipta, yang berlandaskan pada program kerja yang baik antar pemerintah kota dengan masyarakatnya. Setiap kota memiliki karakter yang berbeda-beda. Karakter setiap kota merupakan keunikan tersendiri yang membedakannya dengan kota lainnya dengan kondisi dan identitas yang dibangunnya. Identitas kota juga merupakan landasan yang kuat dalam membangun citra yang baik pada pikiran seseorang yang perlu dipahami dan dimengerti (Fasli, 2003 dalam Ali, 2009: 56).

Oleh karena itu, perkembangan kota tidak akan pernah lepas dari identitas budayanya. Contohnya saja apabila berkunjung kesuatu tempat atau kota baru, pasti yang dicari adalah ciri khas dari daerah tersebut. Sebuah kota patutnya memberikan kenyamanan bagi siapa saja yang ingin berkunjung dan menetap disana. Sebuah kota juga harus pandai mengerti apa yang dibutuhkan oleh warganya dan memberikan keamanan untuk siapapun, termasuk menjaga lingkungannya (Dany 2007 dalam Ali, 2009: 56).

2.8 Identitas Kota dalam Perspektif Ekonomi

Menurut Clarke dalam Barker (2004), kemunculan dan pemebntukan pola kota-kota global didasari oleh tiga alasan, yaitu bertambahnya jumlah dan cakupan berbagai lembaga modal global yang dalam hal ini berkaitan dengan pasar modal, perputaran dan pusat modal secara geografis, serta semakin meluasnya jangkauan global melalui

(20)

27 telekomunikasi dan transportasi. Sehingga, dalam perspektif ekonomi seperti yang dikemukanan oleh Sharon Zukin, bangunan dan gaya sebuah kota tidak hanya tergantung dan dipengaruhi oleh kapital ekonomi saja, seperti tanah, tenaga kerja, tetapi juga dipengaruhi juga oleh manipulasi dari simbol-simbol bahasa yang tumbuh menjadi sebagai identitas kota guna mempengaruhi dan mengontrol sebuah kota tersebut (Hamid dan Budianto, 508: 2011).

Dalam perspektif ekonomi, ada dua hal yang mendasari pandangan ekonomi sebagai indentitas kota, yaitu berkaitan dengan relasi antar representasi dengan artikulasi kelompok sosial yang ditandai dengan inklusi dan eksklusi dan berkaitan dengan proses transformasi. Bagaimana representasi yang diartikulasikan oleh kelompok-kelompok sosial yang saling berkontestasi ini, berperan penting dalam transformasi identitas sebuah kota. Kota dapat dilihat pada bagaimana budaya digunakan sebagai basis ekonomi, akan dijadikan sebagai ruang-ruang konsumsi yang bersahabat dan dibangunnya industri-industri budaya. Kapital budaya menjadi basis ekonomi kota yang mampu mengakumulasi kapital (Hamid dan Budianto, 508: 2011).

Identitas bangsa atau kota yang dibangun dari kapital budaya, menjadi basis ekonomi yang dapat mengakumulasi kapital sebuah kota atau tempat berbeda dengan kapital ekonomi seperti tanah, tenaga kerja, atau sumber daya lain yang banyak digunakan dalam ekonomi tradisional, kapital budaya menjadi kapital untuk membangun sebuah keunggulan bersaing yang unik dan sulit untuk ditiru dan digantikan. Menurut Zukin pada tulisannya yang berjudul The Culture of Cities ( dalam Hamid dan Budianto, 509: 2011), terdapat tiga hal pokok yang menjadi asumsi bahwa budaya dalam kota menjadi aspek penting dalam pembentukan identitas kota dalam perspektif ekonomi di sebuah kota, yaitu adanya asumsi bahwa budaya dapat mendorong perkembangan bisnis, budaya memberikan kekuatan untuk membangun reputasi kota untuk melakukan inovasi dalam bidang ekonomi, dan keunikan identitas kota yang muncul dari nilai-nilai sejarah masyarakat menjadi nilai keunggulan untuk bersaing untuk

(21)

28 memungkinkan melakukan monopoli keunikan, monopoli identitas, dan monopoli harga.

2.9 Identitas Kota dalam Perspektif Sosial

Kota adalah sebuah tempat yang bersifat dinamis, sebuah formasi ruang sosial budaya yang khas. Ruang dan tempat merupakan konstruksi sosial dan kultural, dimana tempat ditandai dengan adanya investasi dan identifikasi emosional. Ruang dan tempat merupakan masalah hubungan sosial tentang kelas, gender, dan etnisitas (Barker, 2004 dalam Hamid dan Budianto, 510: 2011). Dengan kata lain, sebuah ruang sosial dalam sebuah kota merupakan bentuk dari konstruksi dan direkonstruksi secara dinamis sejalan dengan berbagai perubahan dan perkembangan dalam proses sosial itu sendiri yang terjadi dalam masyarakat. Ruang dan tempat selalu menjadi relasi sosial kelas, gender, etnisitas, dan lainnya, yang menjadi sebuah tempat perebutan atau sistem makna.

Dalam hal memproduksi, menyebarkan, dan mereproduksi identitas kota melalui relasi kelompok-kelompok sosial yang ada dalam kota tersebut, tentunya tidak akan terlepas dari kuasa atau power. Seseorang yang memiliki hak untuk mendiami dominasi image sebuah kota adalah mereka yang memiliki akses, atau yang menurut Foucault adalah seseorang yang memiliki kuasa menciptakan pengetahuan sebagai kebenaran mutlak. Kuasa adalah prosedur untuk memproduksi, menyebarkan, dan mereproduksi pernyataan. Dalam relasi penguasa dan warga kota, maka kuasa untuk melakukan dominasi identitas kota adalah melalui normalisasi dan regulasi yang dibuat oleh penguasa. Produksi, penyebaran, dan reproduksi identitas kota tergantung dari bagaimana penguasa memaknai kota dan merepresentasikannya sebagai identitas atas kota (Hamid dan Budianto, 510: 2011).

Oleh karena itu, nantinya relasi kekuasaan yang ada dalam sebuah kota akan membentuk identitas kota yang bertitik tolak dari tatanan ruang publik kota yang mana ruang publik ini sering kali menjadi identik dengan gambaran dari jiwa warga kota.

(22)

29 2.10 Film sebagai Media Transmisi Budaya

Sebuah genre khas dalam sinema Indonesia, yang barangkali sulit ditemukan dalam sinema negara lain, adalah film sejarah (biasa disebut sebagai film perjuangan). Apapun istilah yang diterapkan pada genre ini (Irawanto, 2017: 118).

Film merupakan media komunikasi massa. Dikatakan demikian karena merupakan bentuk komunikasi yang menggunakan suatu media untuk menyampaikan pesan kepada khalayak dalam jumlah banyak, tersebar dimana-mana dan menimbulkan efek tertentu (Vera, 2015: 91). Fungsi film yang sebagai media hiburan, juga dapat terkandung fungsi informatif, edukatif maupun persuasif karena faktor inilah para pelaku film (sinemas) menggunakan media film sebagai cara untuk memperkenalkan budaya suatu daerah.

Seperti di jelaskan pada latar belakang bahwa kekayaan budaya Indonesia sangat melimpah, banyak sinemas yang mengangkat isu terkait budaya daerah di Indonesia. Tujuan yang paling umum dari pengangkatan isu kedaerahaan adalah sebagai media untuk memperkenalkan budaya suatu daerah maupun sebagai representasi budaya dari daerah tersebut.

Setting dalam film bernuansa kebudayaan adalah pada daerah yang sedang diangkat. Memperlihatkan kondisi alam yang indah, struktur bangunan, suasana dalam daerah tersebut ataupun kondisi lingkungannya. Semua digambarkan dengan maksud pengenalan unsur tempat daerah yang dimaksud.

2.11 Identitas Kota dalam Film Komedi

Lingkungan memiliki definisi (Branch, 1995: 175): agregat (kumpulan) dari seluruh kondisi eksternal dan pengaruh-pengaruh, maka lingkungan menjadi bahan pertimbangan yang tidak dapat diabaikan didalam perencanaan kota. Hal ini yang menjadikan suatu kota memiliki identitasnya masih-masing. Manusia akan selalu waspada terhadap aspek positif dan negatif lingkungannya, seperti lokasi yang ekonomis, pola jalan yang nyaman, harapan untuk mendapatkan pemandangan yang baik, atau

(23)

30 sebaliknya, kotor, bising, bau yang tidak sedap, atau keadaan fisik yang buruk akibat polusi lingkungan.

Penggambaran kota dalam film ber-genre komedi, lebih mengulik kisah lingkungan yang pilu, yang serius namun dibalut dengan sindiran. Seperti halnya pengangkatan kepadatan penduduk, pelanggaran lalu lintas, kebisingan, jalan yang berlubang dan lain sebagainya. Hal ini dimaksudkan agar memberikan kesan sindiran dan tidak menggurui.

Mengambil penggambaran identitas kota diperlukan pemahaman yang lebih. Dalam film “Balik Jakarta” karya Jason Iskandar ini dibuat dengan kesan humor, Jason berani melakukannya karena merasa tertantang dengan gaya baru. Jason mendapatkan ide ini ketika ia naik ojek di Jakarta yang ternyata tukang ojeknya adalah seorang sarjana. Ketika di perjalanan, Jason mendapatkan cerita terkait kisah hidup tukang ojek selama ia di Jakarta, alas an mengapa tukang ojek ini menganggap Jakarta sebagai rumah, meskipun ia pendatang dan bagaimana keadaan di Jakarta, hingga mengapa banyak orang rela berdatangan di Kota Metropolis ini.

2.12 Representasi Identitas Kota dalam Film Komedi

Kota terdiri atas dua aspek (Soetomo, 2009 dalam Safitri, 2017: 05). Pertama merupakan aspek fisik yang meliputi bangunan, alam yang melingkupi kota atau tata ruang, landscape, dan juga ruang. Kedua adalah adalah aspek manusianya, baik individu ataupun masyarakat yang mendiami dan beraktivitas didalam kota. Individu yang dimaksud tidak harus yang tinggal dan menetap pada sebuah kota. Akan tetapi individu dari luar kota yang memiliki kegiatan di kota maupun pendatang yang telah lama tinggal juga menjadi aspek manusia yang ikut serta pada pembangunan sebuah kota.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam membentuk identitas sebuah kota, terdapat aspek penting yang perlu diperhatikan, yakni unsur fisik dan juga manusianya. Karena dua aspek ini ikut serta dalam proses pembangunan sebuah kota yang memiliki identitas baru.

(24)

31 Pembagian analisis John Fiske (Wibowo, 2011 dalam Safitri, 2017: 06) menjelaskan ada tiga proses yang umumnya ada dalam representasi, yaitu ada level realitas dalam bahasa tulis, representasi tersurat dalam dokumen wawancara transkrip dan sebagainya. Dalam film atau televisi, tersirat dari pelaku, make up, pakaian, ucapan, gerak gerik dan sebagainya. Selanjutnya, pada level representasi elemen diatas kemudian ditandakan secara teknis. Dalam bahasa tulis seperti kata, proposisi atau kata sambung kalimat, foto, caption, grafik dan sebagainya. Dalam film atau televisi seperti kamera, musik, tata cahaya, dan lain-lain. Elemen tersebut ditransmisikan ke dalam kode representasional yang menggambarkan bagaimana objek menyampaikan pesan melalui karakter, narasi setting, dialog dan lain sebagainya. Lalu, yang terakhir adalah level ideologi. Semua elemen diorganisasikan dalam kohersi dan kode-kode ideologi, seperti individualisme, liberalisme, sosialisme, materialisme dan lain sebagainya.

Film komedi merupakan kategori film yang dimaksudkan agar penonton tertawa dengan apa yang dibawakan. Dengan merepresentasikan sebuah kota, jelas akan menampilkan sebuah kota dengan sudut pandang nilai humornya. Bagaimana tingkah laku masyarakat kota tersebut, transportasi, kondisi bangunan, lingkungan, dan lain sebagainya sesuai dengan nilai humornya terlebih apabila disandingkan dengan Kota Metropolis yang notabene adalah kota dengan kemajuan teknologi yang tinggi.

2.13 Makna-Makna Tanda dalam Pesan Film Komedi

Charles Sanders Peirce melihat tanda (representamen) sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari objek referensinya serta pemahaman subjek atas tanda (interpretant). Berbagai tanda (sign) adalah dasar dari semua komunikasi (Litthlejohn, 1996: 64 dalam Sobur, 2013: 15). Manusia bersama perantara tanda-tanda, bisa melakukan proses komunikasi dengan manusia lainnya. Beragam dan banyak macam hal bisa dikomunikasikan di dunia ini. Studi tentang bagaimana masyarakat memproduksi makna dan nilai-nilai dalam sebuah sistem komunikasi disebut semiotika yang dalam

(25)

32 Bahasa Yunani berarti tanda. Lebih jauh, Peirce mendefinisikan semiotika sebagai studi tentang tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya, seperti cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya (Van Zoest dalam Vera, 2015: 02).

Dari beberapa penjelasan diatas dapat dikatakan bahwa semiotika adalah ilmu tentang tanda. Setelah mengetahui definisi mengenai semiotika, perlu diperhatikan pemaknaan tanda yang ada dalam film. Berdasarkan lingkup pembahasannya, semiotika dibedakan atas tiga macam berikut.

a. Semiotika Murni (Pure). Membahas tentang metabahasa, dalam arti hakikat Bahasa secara universal.

b. Semiotika Deskriptif (Descriptive). Membahas tentang kajian ilmu semiotika tertentu, misalnya sistem pada tanda tertentu atau penggambaran terhadap bahasa tertentu secara memaparkan atau deskriptif.

c. Semiotika Terapan (Applied). Menjelaskan tentang penggunaan kajian ilmu tentang semiotika pada aspek atau konteks tertentu, misalnya yang memiliki kaitan pada sistem tanda sosial, karya sastra, proses komunikasi, kajian tentang periklanan, dan lain-lain (Kaelan dalam Vera, 2015: 04). Seperti yang diketahui bahwa, banyak sekali pemaknaan tanda yang terdapat dalam film. Apabila mengacu pada definisi umum film yang berupa audio dan visual, maka kita bisa mengambil kesimpulan pemaknaan tandanya berupa gambar yang ditayangkan dalam layar dan suara yang dikeluarkan olehnya. Akan tetapi, dilihat dari berbagai aspek lain, makna tanda dalam film bisa dijabarkan lebih banyak. Seperti bahasa tubuh, angle, waktu, tempat kejadian, properti, dialog, musik, dan efek suara.

Salah satu ahli yang terkenal terkait pemaknaan tanda yakni Roland Barthes. Dalam kerangka Barthes, menurutnya ilmu pemaknaan tanda mau mengetahui dan mempelajari tentang proses kemanusiaan (humanity) memaknai berbagai hal-hal (things) dalam lingkungan sekitarnya. Memaknai dalam konteks ini tidak bisa disamakan dengan

(26)

33 mengkomunikasikan. Memaknai disini memiliki arti bahwa objek-objek tidak serta-merta membawa informasi. Dalam hal mana objek-objek itu justru hendak berkomunikasi, tetapi juga melakukan konsistusi sistem terstruktur tanda (Kurniawan, 2001: 53 dalam Vera, 2015: 26-27). Barthes mempercayai bahwa ada hubungan antara penanda dan pertanda yang tidak serta-merta terbentuk secara alamiah, tetapi bersifat tidak tetap atau arbiter. Barthes melakukan penyempurnaan terhadap kajian teori semiologi dari Saussure dengan adanya pengembangan sistem penandaan pada tingkat konotatif. Roland Barthes juga ingin meninjau dari aspek lain terhadap penandaan, yaitu “mitos” yang menandai suatu masyarakat.

2.14 Semiotika oleh Roland Barthes dalam Film Komedi

Roland Barthes adalah sosok ahli dalam teori Semiotika yang diketahui sebagai salah seorang penggagas pemikiran strukturalis yang aktif dan giat mengaplikasikan dan mengkaji model linguistik dan semiologi miliki Saussurean. Teori semiotika Roland Barthes secara literasi merupakan turunan dari teori bahasa milik de Saussure. Beliau memberikan pernyataan bahwa bahasa adalah sebuah sistem tanda yang menunjukkan berbagai dari masyarakat tertentu dalam waktu tertentu (Sobur, 2003: 63 dalam Vera, 2015: 27). Ia juga intelektual dan kritikus sastra Prancis yang ternama; eksponen penerapan strukturalisme dan semiotika pada studi sastra. Berten menyebutnya sebagai tokoh yang memainkan peranan sentral dalam strukturalisme tahun 1960-an dan 1970-an (Sobur, 2013: 63).

Sebagai pandang dari de Saussure, Roland Barthes pun menyakini bahwa hubungan antara penanda dan petanda serta-merta terbentuk secara alamiah, melainkan bersifat tidak pasti atau arbiter tadi. Jika de Saussure hanya menitikberatkan pada penandaan dalam tataran denotatif. Maka Roland Barthes melakukan penyempurnaan dalam teori semiologi milik Saussure dengan mengembangkan sistem penandaan pada tingkat konotatif. Barthes juga memandang pada aspek lainnya dari penandaan, yaitu pada mitos yang menandai suatu kelompok atau wilayah pada masyarakat (Vera,

(27)

34 2015: 27). Kemudian, Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja (Cobley dan Jansz, 1999 dalam Sobur, 2013: 69):

1. Signifier (penanda) 2. Sidnified (pertanda) 3.

Denotative Signifier (penanda denotatif) 4. Connotative Signifier (penanda konotatif) 5. Connotative Signified (pertanda konotatif) 6. Connotative Sign (tanda konotatif)

Sumber: Paul Cobley & Litza Jansz. 1999. Intoducing Semiotics. NY: Totem Books, hlm. 51 (Sobur, 2013:69).

Dari tabel Teori Semiotika milik Roland Barthed tersebut, bisa dilihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan pertanda (2). Tetapi, pemahaman yang bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Denotatif dalam pemahaman Barthes adalah tingkatan pertama pada teori ini yang memiliki makna sifatnya tertutup. Tingkatan denotatif akan menunjukkan makna-makna yang eksplisit, langsung dan pasti. Denotatif merupakan makna yang sebenarnya, disepakati bersama secara sosial, dan rujukannya pada realitas atau kenyataan yang terjadi pada masyarakat (Vera, 2015: 27-28).

Secara garis besar, dalam konsep Teori Semiotika milik Roland Barthes, tanda konotatif tidak serta-merta memiliki makna tambahan, tetapi juga memiliki kedua bagian tanda denotatif yang mendasari keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang berhenti pada penanda dalam tataran denotatif (Sobur, 2013: 69).

(28)

35 Kemudian, Barthes memakai teori significant-signifie yang merupakan pengembangan dari teori tentang metabahasa dan konotasi. Penyebutan significant menjadi ekspresi (E) dan signifie menjadi isi (C). Namun, Roland Barthes mengemukakan bahwa antara E dan C patut ada relasi (R) tertentu. Sehingga, akan menciptakan tanda (sign, Sn). Penggambaran konsep relasi ini memunculkan teori mengenai tanda yang nantinya mungkin akan berkembang, karena adanya relasi yang nantinya ditetapkan oleh pengguna tanda tersebut (de Saussure, yang dikutip Sartini dalam Vera, 2015: 27).

Dalam kerangka Barthes, konotasi menjadi ciri khas dengan proses ideologi, yang disebut sebagai mitos, dan memiliki fungsi untuk mengungkapkan dan membagikan pembenaran bagi berbagai nilai yang mendominasi pada suatu periode tertentu (Budiman, 2001:28 dalam Sobur, 2013: 71). Di dalam penjelasan tentang mitos juga ada pola tiga dimensi penanda, pertanda, dan tanda. Namun, sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya. Dengan kata lain, mitos juga merupakan sebuah sistem pemaknaan tingkatan kedua. Pada mitos pun, sebuah petanda bisa punya beberapa penanda. Roland Barthes menitikberatkan tentang ideologi dengan mitos, sebab baik pada mitos maupun ideologi, kaitan antara penanda konotatif dan petanda konotatif terjadi secara termotivasi atau memiliki pengaruh untuk satu dengan yang lainnya (Budiman, 2001:28 dalam Sobur, 2013: 71).

Film Komedi, merupakan sebuah film yang kaya akan unsur humornya. Dalam sebuah film, unsur yang ditampilkan tidak selalu ditonjolkan secara langsung. Dalam penelitian ini dibahas mengenai bagaimana makna identitas Kota Jakarta dalam dua pandangan yang berbeda, yaitu melalui kaca mata orang dalam negeri yang sudah berpengalaman akan seluk-beluk Kota Jakarta yang merujuk pada pemaknaan denotatif dan orang luar negeri yang terlihat asing melihat pemandangan baru Kota Jakarta yang mengarah pada pemaknaan konotatif. Semua unsur disisipi kehendak humor masih-masing daerah yang dibawanya.

(29)

36 2.15 Fokus Penelitian

Peneliti fokus pada bagaimana identitas Kota Jakarta digambarkan pada film bergenre komedi dengan judul “Balik Jakarta” karya Jason Iskandar menurut analisis semiotika Roland Barthes. Dimana kota Jakarta sebagai Kota Metropolis yang notabene kota besar, kota modern dengan kecanggihan teknologi yang ada, juga memiliki sisi lain yang menarik untuk diteliti. Dalam hal ini, peneliti akan mengupas makna pesan apa saja yang muncul melalui simbol-simbol komunikasi dan interaksi yang muncul dalam film tersebut.

Sebagai contoh simbol-simbol yang muncul dalam film menunjukkan seorang tukang ojek asal suku Batak yang mengadu nasib di Jakarta tengah membonceng orang asing dari Jerman yang sedang berkeliling kota Jakarta untuk mencari tempat tinggal lamanya. Simbol visual pada film yang menunjukan kota dengan gedung bertingkat tinggi, mobil mewah lintas dengan ramai. Beberapa kali terlihat mall kota yang terlihat megah. Kesan kota Jakarta digambarkan dengan sangat baik. Sisi lain dari kota Jakarta seperti jalanan yang sempit, kampung padat penduduk, tidak ada marka jalan tidak dijelaskan secara lebih rinci. Untuk itu, pelu adanya pemaknaan lebih melalui analisis semiotika untuk mengungkapkannya.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini telah menghasilkan model komunikasi konstitutif DKPP periode 2012-2017 berdasarkan manajemen pengetahuan yang menjelaskan bahwa DKPP sebagai lembaga penegak kode

Untuk menghasilkan telur dengan berat yang optimal diperlukan pakan dengan kandungan protein pakan yang tinggi, Menurut IP2TP Jakarta (2000) untuk itik periode bertelur,

mendukung proses produksi telah sesuai dengan yang ditetapkan. Pengendalian sistem meliputi pengendalian penerapan sistem CPOB dan penerapan ISO. Proses validasi penting dilakukan

percaya, ketika melakukan ritual-ritual tertentu, arwah nenek moyang masuk ke dalam wayang sehingga mereka bisa berkomunikasi dengan arwah-arwah nenek moyang mereka.

Pemenang akan mengambil laibiliti dan bertanggungjawab penuh sekiranya berlaku sebarang liabiliti, kecelakaan, kecederaan, kerugian, kerosakan, tuntutan atau kemalangan

Argumennya adalah aturan etika yang fundamental dalam praktik perpajakan pada tingkat etika personal adalah praktisi pajak harus mengijinkan klien untuk membuat

diminta menandatangani atau cap sidik jari surat pernyataan kesediaan menjadi responden penelitian bagi yang bersedia berpartisipasi dalam kegiatan penelitian. 3)

Abstrak Pada kasus-kasus aktual di lapangan, penelitian mengenai kondisi air tanah adalah sulit untuk dilakukan, sehingga untuk mempelajari lebih lanjut mengenai tinggi muka air