• Tidak ada hasil yang ditemukan

SURYA MAJAPAHIT (Sebuah Dramatari Kolosal)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SURYA MAJAPAHIT (Sebuah Dramatari Kolosal)"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

96

SURYA MAJAPAHIT (Sebuah Dramatari Kolosal)

Wahyudiyanto

Abstrak

Tulisan berjudul Surya Majapahit sebuah dramatari kolosal merupakan deskripsi eksplanasi sebuah pertunjukan tari. Karya tari dalam bentuk kolosal mencerminkan karya pertunjukan besar, dipertunjukkan pada area panggung besar, jumlah penari yang besar, properti dalam ukuran besar, unt uk ditonton oleh penonton berjumlah besar. Dramatari kolosal ini menggunakan kisah perjuangan tokoh besar Gajah Mada yang bercita-cita dan berhasil menyatukan nusantara di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit dengan slogan Sumpah Palapa.

Pendekatan karya dramatari kolosal ini adalah tradisi dikembangkan yang meliputi unsur:

gerak dan musik bersumber dari budaya tari dan karawitan yang memiliki akar kuat di Jawa Timur, rias dan busana khas pertunjukan tari Jawa Timur, properti berorientasi pada sumber cerita Majapahit, panggung besar yang memiliki nilai filosofi hirarkhi sebuah tingkatan sosial masyarakat kebudayaan keraton.

Diharapkan dengan pertunjukan dramatari kolosal ini tercermin nilai kesejarahan agung Majapahit yang dapat menginspirasi tentang kekuatan dan kesatuan bangsa untuk membangun masyarakat berbudaya ke depan.

Kata Kunci. Surya Majapahit, Dramatari kolosal, Gajah Mada, Sumpah Palapa.

Abstract

The paper is a description of explanation of a dance performance. This colossal dance work is a great show, on a large stage, with a large number of dancers, a large-sized properties, as well as a large audience. This dance drama tells the story of the struggle of the great figures named Gajah Mada who aspire to unite the archipelago under the rule of the kingdom of Majapahit with Sumpah Palapa slogan.

This drama dance using tradition approach developed with elements of movement and music based on dance and musical culture of East Java. Makeup and fashion show the typical of East Java dance performances with the propertyoriented to Majapahit story. Big stage has thehierarchical philosophy values of the social level of culture palace. In this colossal dance drama performance expected to reflect the great historical value of Majapahit which can provide information about the strength and unity of the nation to build a civilized society in the future.

Keywords: Surya Majapahit, Colossal Dance Drama, Gajah Mada, Palapa Oath.

(2)

97 Pemikiran Dasar

Manusia adalah makhluk kreatif, karya-karyanya merupakan penanda spe- sies unggul. Karya kreatif manusia paling mendasar adalah bahasa, dan seni merupa- kan bahasa non literer yang menggambarkan secara simbolik obyek-obyek interaksi sub- yektif manusia.

Dalam perspektif akademis, kekaryaan seni manusia melahirkan berba- gai pandangan.

Berbagai pandangan teruta- ma jika dihadapkan pada makna “idealitas” kekaryaan seni.

Memaknai istilah “idealitas” kekaryaan seni berujung pada pemetakan atas berbagai motif karya seni. Seni untuk seni, seni untuk sosial, seni untuk propa- ganda, seni pasar, dan banyak lagi. Berbagai peta seni itu berakhir pada pembedaan wujud seni itu sendiri. Wujud adalah bentuk dan isi, maka sistem dan proses perwujudan seni di- tentukan oleh motif yang melandasinya.

Seperti juga pada kesempatan ini, penulis adalah pengkarya seni tari. Motif yang melekat adalah dorongan dari berba- gai pihak yang saling bergelayut dan hadir dari berbagai momen penting yakni: Per- temuan kepala Taman Budaya se Indonesia, Penandaan dibukanya kembali Amphithe- ater Taman Candra Wilwatikta, dan pamer pamor Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya dalam tajuk yang memuara pada Grand Image kejayaan kerajaan Majapahit.

Menyadari bahwa wacana dunia akademisi yang mengemban Tri Dharma perguruan tinggi lebih mengangkat entitas dalam skala idealitas dan mengabdi kepada ilmu dan keilmuan di atas kepentingan apa- pun. Idealisme ini potensial tafsir sehingga memerlukan penjelasan yang memadai. Keadaan ini didasari oleh kecenderungan bahwa di kalangan akademisi tidak selalu memiliki pandangan yang sama tentang ide- alitas sebagai paradikma berfikir dan bertin- dak. Ini sudah barang tentu disebabkan oleh tingkat pemahaman yang beragam. Tersebab itu kesempatan ini perlu disediakan ruang untuk berdiskusi mengenai keberagaman pandangan tersebut.

Bahwa idealitas dalam berkarya, berkesenian, berkarya seni, adalah mutlak. Menurut hemat penulis, kemutlakan idea- lisme berkarya, berkesenian, dan berkarya seni terletak pada hakekat seni itu sendi- ri. Bahwa seni (utamanya seni pertunju- kan) adalah ekspresi, “bentuk hidup”, dan persembahan nilia-nilai . Tiga komponen yang menyebabkan seni ada dan akan tetap terus hidup, tumbuh, dan berkembang inilah kemutlakan yang harus dijaga.

Ekspresi sebagai penciptaan kembali pengalaman hidup seniman adalah esensial yang selalu harus ada. Pengalaman dalam bentuk apapun, dari manapun, oleh siapapun, kemudian melalui proses seleksi, pengala- man itu selanjutnya terpilih dan terdefinisi dalam sebuah konsep garap karya seni, itu- lah kerangka estetik karya seni. Dalam ranah ilmu maka seleksitas pengalaman sebagai rujukan ekspresi menjadi bentuk adalah on- tologi seni.

Sebagai tubuh/anatomi: penge- tahuan seni dan pengalaman yang ontologis, dipersyaratkan

ada terlebih dahulu sebagai wahana penciptaan ke dalam bentuk.

(3)

Adapun “bentuk hidup” melekat pada proses pengungkapan sampai karya itu

disajikan, sejajar dengan epistemologis yang menghendaki cara penciptaan kerangka es- tetik sampai nilai-nilai itu dapat terwujud- kan. Sedangkan nilai-nilai dalam seni adalah benih yang akan ditebarkan oleh seniman ke- pada khalayak (aksiologis) agar masyarakat penonton mendapatkan pengalaman baru yang dapat mencerahkan dan bermakna bagi kehidupannya.

Ketiga komponen tersebut melekat pada garap karya tari, maka ideal- isme kekaryaan akan tetap terjaga meski- pun motif kekaryaan menginginkan bentuk dan citranya sendiri. Atas dasar pemikiran itu penulis bertekat untuk mewujudkan ke- inginan tersebut secara melembaga dalam kerangka ideal sebagai bentuk apresiasi atas amanah yang dipercayakan.

Konsep Berkesenian.

Agama, Filsafat, Ilmu, dan Seni se- bagai lembaga kebenaran memiliki tujuan yang sama yakni menemukan kebenaran. Agama menggunakan kepatuhan kepada keyakinan (wahyu) sebagai rujukan berting- kah laku dalam mencapai kebenaran. Filsafat menggunakan kekuatan pikir (logika) untuk menemukan hakekat entitas sampai ke akar- akarnya. Ilmu menggunakan data empiris untuk mengukur dan mendapatakan yang diyakini sebagai yang benar. Dan seni mena- jamkan intuisi untuk menggapai kebenaran. Kebenaran atau yang benar adalah abstraksi dari nilai ideal yang selalu menjadi dam- baan setiap manusia. Namun disadari bahwa kebenaran mutlak adalah milik Sang Maha Benar. Manusia sekedar berupaya mengu- sahakan berdasarkan kekuatan keyakinan, pikir dan rasa hatinya. Maka agama, filsafat, ilmu, dan seni adalah sekian alternatif yang bisa digunakan. Manusia menjadi sempurna jika mampu merengkuh kebenaran melalui keempat lembaga kebenaran.

Seni dan tari sebagai lembaga kebe- naran yang intuitif, eksistensinya menggelo- ra melewati raga, gerak, bunyi, dan cahaya, yang berasa. Empat elemen ini sejalan den- gan esensi tari dan tingkah laku hidup ma- nusia. Manusia bisa mengenal “segala”nya jika potensi daya cerap keempat elemen ini sempurna dimiliki manusia. Maka sangat potensial pula tari dengan keempat elemen ini mengajari manusia tentang “segala” hal termasuk di dalamnya untuk mendekati ke- benaran.

Raga adalah badan wadag manu- sia. Raga akan membangun citra wujud dan karakter fisiologis. Gerak adalah tanda hidup, dengan gerak, kehidupan apa saja bisa diwujudkan. Namun gerak bukan yang fisik saja tetapi di dalamnya mengalir informasi dan daya spiritual yang menghidupi gerak dan raga “wadag”nya. Bunyi dan atau suara adalah bahasa universal manusia. Tanpa bisa dimengerti sekalipun bunyi atau suara itu, manusia akan menemukan maknanya. Dan cahaya adalah penentu keberfungsian peng- lihatan manusia.

Dengan cahaya, manusia bisa membedakan warna, rupa, dan segala wujud yang nampak olehnya sebagai jendala untuk melihat yang tak kasat mata.

Empat elemen eksistensi tari mewu- jud dalam ruang dan waktu. Ruang dan waktu

adalah satu dalam konteks aktualisasi tari. Ruang dan waktu membalut wujud tari

(4)

101

dalam kebersamaan yang mengalir. Seperti halnya laku manusia, ruang dan waktu ada- lah wahana penemuan jati diri. Jati diri itu- lah kebenaran manusia. Tari dalam perspek- tif kebenaran intuisi diterjemahkan melalui raga, gerak, bunyi, suara, dan cahaya. Ele- men- elemen tari tersebut adalah transmiter nilai-nilai kebenaran yang mendidik manusia untuk menemukan kembali kebenaran yang dihayati melalui rasa hati sebagai penyemai dan pengukuh jati diri manusia.

Konsep kekaryaan

Bung Karno pernah menyampaikan: “bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah” atau “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”. Pesan moral ini pen- ting.

Kemajuan bisa diukur karena indikator terukur ada di belakangnya. Dikatakan maju karena telah melampaui masa sebelumnya, dan yang terpenting dari sejarah adalah pela- jaran yang bisa diambil darinya. Sejarah adalah pembanding yang lalu dengan seka- rang dan yang akan datang. Sejarah adalah pelajaran, yang dapat dipetik dari masa lalu dapat meng-inspirasi masa selanjutnya, dan sejarah adalah kebanggaan jika peristiwanya gemilang.

Sejarah memiliki peran penting da- lam kelanjutan sesuatu. Jika sejarah men- ceritakan peristiwa politik kenegaraan maka pentingnya sejarah politik kenegaraan ter- letak pada pelajaran yang bisa diambil dan dimaknai untuk keberlanjutan politik ken- egaraan yang akan datang dari sebuah neg- ara. Maka sejarah sebagai cermin adalah ba- gaimana peristiwa masa lalu itu memberikan andil berupa apa saja (sistem-sistem, kebu- dayaan, dan peradaban) yang masih mampu memberikan benang merah untuk bersistem- sistem, berkebudayaan, dan berperadaban pada kebernegaraan ke depan.

Kesadaran yang demikian itu mulai menggeliat di berbagai negara di dunia. Ke- tika kemajuan yang dicapai oleh sebuah era yang disebutmodern dengan berbagaicapaian kemajuandankemundurannyasertadirasakan banyak potensi kearifan yang tertinggal, ter- abaikan, dan bahkan terpunahkan maka masa lalu yang gemilang menjadi titik ori- entasi yang harus ditengok kembali. Ketika penyeragaman kebudayaan negara-negara di dunia menjadi satu kebudayaan dengan jargon kebudayaan dunia baru gagal, run- tuh, dan berantakan, maka pengakuan atas keberagaman suatu kebudayaan menyeruak kembali untuk segera ditumbuhkan.

Indonesia memiliki sejarah gemi- lang tentang keberagaman kebudayaan. Ma- japahit

adalah Kerajaan dengan sistem keta- tanegaraan kuno telah memberikan pelajaran penting

tentang keberhasilan pengelolaan negara yang beragam kebudayaannya. Nu- santara adalah

negara beribu kepulauan dan beribu pula kebudayaanya. Dengan jargon politik “Bhinneka

Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa” (NKRI-I) sebagai hasil dari politik “Palapa” yang

digagas dan di- jalankan Gajah Mada hingga seluruh kepu- lauan dan kebudayaannya dapat

terangkai dengan baik bahkan sampai ke kepulauan di luar nusantara. Kemakmuran, keadilan,

(5)

kes- ejahteraan dapat dilaksanakan oleh pemerin- tahan yang cerdas dan kuat.

Keberhasilan Majapahit menyatukan kepulauan dan keragaman budaya selanjut- nya menginspirasi negara-negara dunia yang saat ini galau oleh sistem pemerintahan yang tengah dijalani di negaranya. Di Indonesia (NKRI-2), Provinsi Jawa Timur sebagai lokus sejarah besar Majapahit ingin mem- bangun kebesaran Majapahit itu melalui tiga pilar monumental.

1. Membangun dan memperbaharui lokasi- lokasi tempat penyimpanan artefak peninggalan kerajaan Majaphit di Trowu lan Mojokerto

2. Membangun ranah intelektual dalam bidang seni budaya

3. Membangun citra imajiner berupa pang gung pertunjukan untuk menggelarkan kesejarahan Majapahit.

Berlandaskan pemikiran tersebut maka sejarah kerajaan Majapahit sebagai model pemerintahan yang kuat, dengan pe- nyatuan kepulauan dan keberagaman kebu- dayaan, merupakan idiom, saat ini menjadi idola pemerintahan provinsi Jawa Timur, selanjutnya ingin digelorakan kepada dun- ia. Pemikiran ini kemudian menginspirasi penulis untuk segera mendifinisikan ke da- lam bentuk karya tari ini.

Konsep Garap Koreografi Konsep Isi

Karya cipta tari Surya Majapahit dipergelarkan di panggung besar Amphi- theater Taman Candra Wilwatikta Pandaan Pasuruan. Secara arsitektural, Panggung Amphitheater Taman Candra Wilwatikta mempunyai spesifikasi bentuk altar, pintu masuk keluar penari, ruang tunggu, ruang tata rias dan busana, area penonton dan set- ting panggung yang mencerminkan pangung dalam konstruksi budaya herarkhikal feodal- istik. Setiap tempat, ruang, pintu masuk ke- luar penari, ruang tunggu, ruang tata rias dan busana, menggambarkan simulasi perilaku setiap peran manusia dalam tataran status- nya.

Konsep Wadah

Sebagaimana ide garap isi yang mengetengahkan budaya keraton dalam kerangka

herarkhis feodalis maka konstruksi koreografi yang akan dipertunjukkan adalah model

dramatari kolosal. Setiap peranan jelas menunjukkan tingkat status sosial se- perti, Raja,

Perdana Menteri, prajurit, roha- niawan, rakyat sampai ke tingkat kategori penjahat

pemberontak mendapatkan ruang sirkular yang pasti. Tata urut babak dan ade- gan menjadi

perhatian penting penyajian dalam bentuk dramatari, sehingga setiap pe- ranan ada kepastian

karakteristik dan ruang dalam penyampaian estetiknya.

(6)

Tema Koreografi

Tema koreografi adalah cita-cita per- juangan yang dilandasi niat yang luhur dan kerja keras akan membuahkan kemenangan, kesejahteraan, keadilan. Namun demikian jika dalam kesejahteraan manusia lebih mengutamakan kelezatan keberlimpahan ra- gawi akan berakibat pada pahit di kemudian. Tema tersebut seperti terdapat pada simbol kerajaan Majapahit yang menggunakan buah maja yang pahit. Pahit dalam perjuangan yang kemudian melahirkan kejayaan. Tetapi diingatkan pula jika memuja kenikmatan akan pahit pada akhirnya.

Judul Tari

Judul Karya Tari adalah Surya Maja- pahit, sepadan dengan matahari sebagai sim- bol kerajaan Majapahit merupakan gambaran keadaan Majapahit yang bersinar menerangi sekelilingnya. Gambaran pula bahwa ke- jayaan Majapahit adalah kekuasaannya yang mampu menyatukan kepulauan-kepulauan dan keragaman kebudayaan di nusantara da- lam naungannya.

Konsep Waktu dan Ruang

Waktu kini adalah representasi dari waktu yang lalu. Waktu yang penuh dengan pergerakan manusia dengan kebudayaannya, dan Majapahit adalah waktu kita bangsa In- donesia dan bangsa dunia yang telah mem- buktikan keunggulannya dalam ruang pergu- latan hidup. Ruang Hidup berpolitik, hidup berbangsa, bernegara dengan penegasan konseptual yang implementatif membentuk peradaban dan berkebudayaan yang khas dan pantas diapresiasi, diinspirasi untuk ke- hidupan kini dan ke depan yang lebih bermar- tabat, beradab, dan berkebudayaan. Gerak manusia dalam peradaban dan kebudayaan itu selanjutnya direpresentasi menjadi garap medium yang mengejawantah dalam ruang panggung Aphitheataer yang lebih sempit, dan dalam waktu yang sempit pula. Gerak dalam kultur yang terbatasi, mewujud dalammpanggung yang terbatasi, dan dalam waktu yang terbatasi pula.Waktu penyelenggaraan pergelaran pada hari Rabu, tanggal 11 Juli 2012 di Amphitheater Taman Candera Wil- watikta Pandaan Pasuruan. Berdurasi seki- tar 45 menit, diselenggarakan mulai pukul 21.00 WIB.

Konsep Bunyi, Suara, dan Cahaya

Alam telah menyimpan dan mengu- rai bunyi, suara, dan cahaya. Desiran angin

menghadirkan bunyi, getaran pita dalam tenggorokan manusia melahirkan suara. Bunyi dan

suara alami itu kemudian disa- dur menjadi bentuk materi vokal, gending, dan lagu. Yang

indah merdu, serak parau menyayat, melengking, menggelegar meng- getarkan hati, sampai

yang berbisik berisik. Bunyi dan suara dikonseptualisasikan untuk membangun suasana dan

rasa tari. Cahaya alami yang terik dan lembut demikian pula diduplikasi menjadi berwarna

warni mem- perlihatkan karakteristikya untuk penguatan pada objek yang dikenainya. Bunyi,

suara, dan cahaya yang alami dan yang diciptakan dilebur dalam garap untuk menyatakan ge-

(7)

rak manusia yang alami dan yang diciptakan dalam rentangan ruang dan rentang waktu yang dihadirkan dalam Panggung.

Pertunjukan dilaksanakan malam hari dimaksudkan untuk mendapatkan ke- san dan pesan yang dihadirkan melalui efek cahaya. pemandangan alam semesta pada malam hari yang terang menghadirkan si- fat alaminya yang khas. Bintang gemintang dengan saputan mendung tipis yang berjalan melintas berarakan. Rembulan mendekati purnama nampak jelas menghias angkasa, memberikan suasana temaram dan misterius lebih menjelaskan gerak, bunyi dan suara yang dipanggungkan.

Konsep Penonton

Sebagaimana acara dihelat adalah untuk kegiatan seremonial kenegaraan ting- kat Provinsi di Jawa Timur. Acara yang ber- simpul berkesinambungan: temu para kepala Taman budaya se Indonesia, penandaan dibukanya kembali eksistensi Taman Candra Wilwatikta, dan pamer pamor karya kolosal Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Sura- baya.

Dengan acara yang berlipat ini maka penonton dipisahkan menjadi tiga katego- ri.

Pertama adalah penonton utama yakni: perwakilan seluruh pejabat SKPD se Jawa Timur dan undangan VIIP ditempatkan di kursi utama penonton di bagian tengah. Para peserta temu Taman Budaya Se Indonesia ditempatkan di sayap sebelah kanan dan kiri penonton utama.

Dan ketiga penonton umum masyarakat me-nempati ruang duduk yang tersedia di belakang penonton utama dan penonton tamu. Kapasitas ruang dan tempat duduk penonton adalah empat ribu orang.

Proses Garap Koreografi

Proses adalah ladang pengembaraan bagi pencipta tari. Seperti memasuki lorong yang gelap berliku, kendatipun pencipta te- lah memiliki pijakan berfikir (konsep) dan berproses, pencipta toh akan bertemu den- gan sudut-sudut ruang yang menanjak ber- liku, bertemu dengan siapa saja, dan apa saja, yang pasti memberikan pengaruh pada fikiran dan proses estetiknya. Pola kerja yang telah ditata sistematis, dengan harapan akan berjalan sistematis pula, demikianpun masuk juga dalam ruang bebas yang me- mungkinkan silang pandang dalam maksud dan kehendak. Interrelasi subyektif yang selalu ditemui di dalam proses berfikir dan proses estetik tetap saja terjadi tetapi telah dilandasi semangat untuk mendapatkan in- tensitas dan kualitas guna mengkonstrusi ide/gagasan.

Kekaryaan dikerjakan bersama: Agustinus HS (Penata Tari), Purbandari (asisten

penata tari), Pundjul Pitono (asis- ten penata tari), Mia, Ayu, Karyanto, Gina (pelatih tari),

Heri Lentho (satage manager), Arif Rofq (Pimpro), Trinil (koordinator), Heny Men, Nanang,

Agung Tato (artistik) dan banyak lagi crew yang tidak disebut semuanya. Untuk menambah

kekayaan in- formasi diperlukan juga omong-omong de- ngan berbagai pihak seperti, Hari

Muji (Ka. UPT Taman Candra Wilwatikta), Alfan (sie busana) Mama Endah (sie konsumsi)

sepu- tar konsep panggung, tata rias dan busana, konsumsi, transportasi, akomodasi dan ele-

(8)

men-elemen kecil lainnya guna merapatkan dan memdapatkan detail kerja.

a. Studi Arsitektur Amphitheater Taman Candra Wilwatikta

Amphitheater adalah lokasi pertama penulis kunjungi sebelum menentukan kon- sep garap tari. Pertengahan Bulan April 2012 penulis bersama rombongan melihat lebih dekat area panggung. Ini dilakukan karena hampir 20 tahun Amphitheater tidur panjang. Gedung penunjang roboh dan hancur berantakan. Instrumen Gamelan tak satupun tersisa, lampu juga lenyap entah kemana. Jika ditanyakan kepada petugas jaga, tak satu katapun terucap untuk penjelasan. Semak belukar memenuhi seluruh area penonton, seputar panggung, dan dalam gedung penun- jang yang roboh. Menara tempat operasional spot light (lampu folo) juga berantakan, lis- trik tak berfungsi lagi, bak rumah hantu yang benar-benar menyeramkan.

Cerita tentang misteripun terdengar dari lingkungan sekitar perihal area Amphitheater yang sudah men- jadi hutan semak dan perdu itu.

1a. Panggung Amphithetaer Candra Wilwatikta tampak dari jauh, setelah selesai pemugaran, terlihat pula area penonton . Dok. Wahyudiyanto, Juni 2012)

Setelah dibersihkan dan diperbaharui oleh UPT Taman Candra Wilwatikta , Ming- gu kedua bulan Juni 2012 penulis mengun- jungi lagi dan Amphitheater terlihat megah kembali meskipun masih dalam renovasi. Satu minggu menjelang pergelaran penulis mengunjungi lagi bersama seluruh tim ar- tistik, stage manager, dan bagian konsumsi untuk menentukana lokasi-lokasi yang akan digunakan penempatan properti sebagai set- ting panggung, tempat properti penari, set-

ting gamelan, penginapan penari, pengrawit, stage crew, dan oficial, serta dapur masak dan

ruang makan. Sungguh mengagumkan tim (kunjungan) yang telah terbentuk, ker- ja dengan

cepat dan hasil maksimal sesuai dengan rencana. Secara jelas Amphitheater, bentuk, asal-usul

dan eksistensinya dapat di- simak pada gambar 1a.

(9)

1b. Panggung Amphithetaer nampak dari dekat, nampak jelas latar belakang gunung Penanggungan . Dok. Wahyudiyanto, Juni 2012

Amphitheater Chandra Wilwatikta merupakan panggung pertunjukan yang didesain untuk kapasitas pemain pertunju- kan yang besar/kolosal dan penonton yang besar pula. Letak hadap penonton yang strat- egis karena panggung memiliki latar bela- kang yang indah dan megah. Selain terdapat setting tiruan candi bentar yang membelah panggung juga setting alami berupa ham- paran gunung Penanggungan yang kokoh.

Konstruksi bangunan panggung leng- kap dengan gedung penunjang di belakang panggung sebagai ruang tunggu personil pe- nari. Di belakangnya lagi ruang-ruang rias dan busana dengan fasilitas KCK yang me- madai. Pintu-pintu masuk dan keluar pang- gung untuk penari-penari, tiang pancang menjulang di samping kiri-kanan depan panggung untuk peletakan lampu panggung. Gedung khusus untuk tempat lampu spot light yang megah, tempat penonton dari (be- ton) batu semen berudak membentuk tapal kuda yang luas, dua patung kala yang besar mengapit panggung, dan tumbuhan rindang diseputar panggung, merupakan desain tata letak yang filosofis

Panggung pertunjukan megah ini dibangun pada akhir tahun (60-an) dan pada awal tahun 70-an Amphitheater dipakai un- tuk festival Ramayana Internasional. Pang- gung yang dibangun di area lembah dan perbukitan ini dilengkapi berbagai fasilitas seperti gedung dan sarana perkantoran, sara- na pertemuan, penginapan, olah raga, wisata satwa dan alam.

Bangunan gedung-gedung yang berdiri mengikuti struktur tanah dengan ketinggian bertingkat ini menambah keinda- han lingkungan di seputara panggung per- tunjukan. Amphitheater dengan bangunan penunjang yang indah ini telah lama dikelola oleh sebuah yayasan yakni yayasan Candra Wilwatikta di wilayah kecamatan Pandaan Kabupaten Pasuruan, Provinsi Jawa Timur.

Asal usul berdirinya Panggung Per- tunjukan ini dimotivasi oleh rasa bersyukur dan bangga Jawa Timur telah memiliki aneka ragam seni yang tersebar di wilayahnya. Sub kultur yang mencirikan setiap kebudayaan daerah memberi identitas masyarakatnya pantas untuk dihiduplestarikan, dikembang- kan, dan diapresiasi melalui bentuk-bentuk pertunjukan besar.

Dan terpenting dari se- mua itu adalah sejarah besar kejayaan Kera- jaan Majapahit.

Majapahit yang sejarahnya telah terdokumentasi dalam bentuk-bentuk sastra, artefak, dan

prasasti-prasasti melahir-kan pemikiran tersendiri bagi tokoh-tokoh masyarakat budaya waktu

itu sehingga agar dapat diketahui khalayak luas perlu dicipta- kan kembali kejayaan

(10)

Majapahit itu dalam bentuk Grand Image berupa pertunjukan-per- tunjukan besar seputar peristiwa kesejarah- an kerajaan majapahit dan kerajaan-kerajaan pembentuknya.

Amphitheater selanjutnya benar-benar menjadi momentum sebagai ruang sosialisasi sekaligus ajang kreativitas para seniman pertunjukan di Jawa Timur un- tuk menuju Grand Image tersebut.

Amphitheater dibangun dengan lebar 20 meter dan panjang 40 meter muat 200 sampai dengan 250 personil lebih di atas panggung. Konstruksi panggung megah sedimikian itu diwujudkan utamanya untuk memberikan gambaran imajinasi tentang de- sain ruang budaya keraton (kerajaan) yang herarkhis feodalistik. Imajinasi ruang bu- daya sedemikian itu menempatkan setiap peran dan peranan dalam suatu pertunjukan dengan kapasitas yang herarkhis pula. Peran raja sampai dengan peran pemberontak mi- salnya memiliki ruang imajinasi yang tata letaknya diperhitungkan secara artistik. De- ngan demikian pertunjukan dalam panggung Amphitheater semacam ini ditujukan untuk mencapai nilai estetik yang khusus dan khas. Khas sebagaimana imajinasi tentang ruang budaya keraton yang digambarkan dalam sajian pertunjukan.

Amphitheater Candra Wilwatikta pernah melalui masa gemilang. Tahun 1971 ketika festival Ramayana Internasional ditempatkan di panggung tersebut, Jawa Timur sebagai tuan rumah sekaligus pe-serta memulai pertunjukan Ramayananya dengan mengolah materi gerak tari Jawa Timur. Kesempatan itu awal dalam event yang lebih besar merupakan akumuliasi dari proses panjang para seniman pertunjukan Jawa Timur yang memulai memperhatikan dan mengolah kekayaan seni sendiri melalui pusat latihan Candra Wilatikta yang berpusat di tempat itu juga. Mengingat bahwa sampai pada tahun 60-an Jawa Timur belum menun- jukkan kekayaan ragam seninya di forum- forum penting, yang lebih menonjol adalah gaya seni mataraman seperti wayang orang, kethoprak dan sejenisnya adalah konsumsi rutin masyarakat. Maka dengan berdirinya pusat latian seni Candra Wilatikta adalah moment penting yang mengawali gaerah pe- lestarian dan pengembangan seni pertunju- kan di Jawa Timur dan Amphitheater adalah wahana yang menggairahkan pertumbuhan seni pertunjukan di Jawa Timur.

Pada Tahun 1980 adalah kelanjutan upaya-upaya pelestarian dan pengemban- gan kesenian di Jawa Timur melalui Jalur pendidikan tingkat tinggi setelah sebelum- nya berhasil mendirikan Sekolah Menengah Kesenian Indonesia (SMKI) di Surabaya. Amphitheater semakin ramai karena selain setiap kabupaten kota se Jawa Timur wajib menunjukkan karya- karyanya, STK Wilwa- tikta Surabaya sekali dalam sebulan harus mempertunjukkan karya- karyanya pula, maka Amphi Theataer benar-benar meru- pakan idola dalam gaerah seni Pertunjukan di Jawa Timur. Selain Amphitheater Can- dra Wilwatikta di Pandaan Pasuruan yang merupakan kebangnggaan wilayahnya di

Jawa Tengah terdepat pula panggung sejenis yakni Panggung Pertunjukan Ramayana di area

candi Prambanan. Di Bali juga terdapat panggung sejenis untuk mewadai secara ko- losal

kesenian Bali.

(11)

Amphitheater mengalami masa va- kum yang panjang ketika otonomi daerah bergulir.

Otoritas negara tingkat Provinsi tidak lagi menjangkau kewenangannya atas kabupaten/kota maka kesenian juga lepas dari ikatan pemberdayaan tingkat provinsi. Sementara itu Kabupaten Kota tidak lagi memandang seni sebagai bagian dari proses berkelanjutan yang harus digerakkan melalui media yang telah dibangun susah payah peri- ode sebelumnya, maka Amphitheater menja- di sepi, bangunan ambruk, tempat penonton bagaikan belantara tak bertuan. Instrumen penrtunjukan lambat namun pasti hilang satu persatu entah ke mana. Saat itu kebesaran Amphi Teater dengan seluruh bangunan ima- jinasinya lenyap ditelan waktu.

Tahun 2012 Amphitheater dihidup- kan kembali dengan alih kelola dari yayasan oleh pemerintah Perovinsi Jawa Timur dan pertunjukan perdananya adalah SURYA MAJAPAHIT yang dihelat oleh Seko- lah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya berkaitan dengan keiatan Temu Taman Bu- daya Se Indoneisa yang diselenggarakan di Taman Candra Wilwatikta sekaligus seba- gaim penanda dibukanya kembali Taman Candra Wilwatikta atas pengelola baru yakni Pemerintah Provinsi Jawa Timur melalui Di- nas Pariwisata Provinsim Jawa Timur.

b. Studi Literatur

Sejarah Majapahit adalah inspirasi garap tari ini. Tetapi yang dijadikan fokus adalah Gajah Mada yang memiliki peran penting dalam kejayaan Majapahit. Secara singkat dipaparkan sebagai berikut:

Gajah Mada adalah mahapatih yang mengantarkan Majapahit ke puncak ke- jayaannya. Laki-laki yang diperkirakan la- hir pada tahun 1300 ini sejak kecil sudah menunjukkan kepribadian yang baik, kuat dan tangkas. Kecerdasannya telah menarik hati seorang patih Majapahit yang kemudi- an mengangkatnya menjadi anak didiknya. Beranjak dewasa terus menanjak karirnya hingga menjadi Kepala (bekel) Bhayangka- ra (pasukan khusus pe-ngawal raja). Karena berhasil menyelamatkan Prabu Jayanagara (1309-1328) dan mengatasi Pemberontakan Ra Kuti, ia diangkat sebagai Patih Kahuri- pan pada 1319. Dua tahun kemudian ia di- angkat sebagai Patih Kediri.

Memadamkan Pemberontakan Ra Kuti

Perjuangan Gajah Mada dimulai dari peristiwa pemberontakan yang paling berda- rah pada masa pemerintahan Sri Jayanegara, raja Majapahit yang kedua. Pemberontakan yang melengserkan Jayanegara ini di bawah pimpinan Ra Kuti rekan Gajah Mada dalam keprajuritan. Gajah Mada yang masih se- orang prajurit berpangkat bekel membawahi satu kesatuan pasukan setingkat kompi yang bertugas menjaga keamanan istana. Nama pasukan ini adalah Bhayangkara, pasukan khusus yang memiliki kemampuan di atas rata-rata prajurit dari kesatuan mana pun, jumlahnya tidak lebih dari 100 orang.

Mendengar akan adanya pemberon- takan dari seseorang informan yang diduga memiliki hubungan dekat dengan pihak pemberontak, Gajah Mada segera melaku- kan koordinasi dengan jajaran telik sandi dari pasukan Bhayangkara dan kepada tiga kesatuan pasukan utama Majapahit. Namun itu sulit dilakukan karena Gajah Mada ber- pangkat bekel.

Berkat patih Arya Tadah, Ga- jah Mada dibekali dengan lencana kepatihan, sebuah tanda

(12)

bahwa Gajah Mada mewakili dirinya dalam melaksanakan tugas tersebut. Dua pimpinan pasukan berhasil di- hubungi yakni pasukan Jala Yudha yang bersikap mendukung istana, sedangkan pa- sukan Jala Pati memilih bersikap netral. Pimpinan pasukan Jala Rananggana tidak berhasil ditemui. Perang besar terjadi yang melibatkan ketiga kesatuan utama pasukan Majapahit. Pihak pemberontak, memenang- kan perang dan memaksa Raja Jayanegara mengungsi ke luar istana yang dilindungi pasukan Bhayangkara. Gajah Mada melaku- kan penyelamatan hingga membawa Jaya- negara ke Bedander, daerah di pegunungan kapur utara.Selanjutnya Gajah Mada ber- hasil mengembalikan sang prabu ke istana. Sembilan tahun kemudian, seorang Dharma- putra Winehsuka yang telah diampuni dari kesalahan akibat terlibat dalam pemberonta- kan, melakukan tindakan yang tidak terduga:

meracun sang prabu hingga wafat.

Memadamkan Pemberontakan Sadeng

Pada tahun 1329, Arya Tadah ing- in mengundurkan diri dari jabatannya. Ia

saya (baru akan) melepaskan puasa. Dari isi naskah ini dapat diketahui bahwa pada masa diangkatnya Gajah Mada, sebagian wilayah Nusantara yang disebuntukan pada sumpah- nya belum dikuasai Majapahit.

Sumpah Palapa menggemparkan para undangan dalam pelantikan. Ra Kembar mengejek Gajah Mada sambil mencaci maki, undangan yang lain turut serta mengejek, Jabung Tarewes dan Lembu Peteng tertawa terpingkal pingkal. Gajah Mada yang merasa terhina turun dari paseban menghadap kaki sang Ratu dan berkata bahwa hatinya sa- ngat sedih dengan penghinaan tersebut. Pada waktu berikutnya Gajah Mada menyingkir- kan Ra Kembar karena mengepung Sadeng. Untuk mewujudkan sumpah palapa,

Gajah Mada dibantu oleh Adityawarman melakukan politik ekspansi/penyerangan ke berbagai daerah dan berhasil. Atas jasanya Adityawarman diangkat menjadi Raja Me- layu tahun 1347 untuk menanamkan pe- ngaruh Majapahit di Sumatera. Gajah Mada berhasil menaklukkan Nusantara. Daerah Daerah yang dikuasai Majapahit dibawah Patih Gajah Mada antara lain : Bedahulu (Bali) dan Lombok (1343), Palembang, Swarnabhumi (Driwijaya), Tamiang, Samu- dra Pasai, dan negeri-negeri lain di Swar- nadwipa (Sumatra) telah ditaklukkan. Lalu Pulau Bintan, Tumasik (Singapura), Seme- nanjung Malaya, dan sejumlah negeri di Ka- limantan seperti Kapuas, Katingan, Sampit, Kotalingga (Tanjunglingga), Kotawaringin, Sambas, Lawai, Kandangan, Landak, Sa- madang, Tirem, Sedu, Brunei, Kalka, Salu- dung, Solok, Pasir, Barito, Sawaku, Tabal-

ung, Tanjungkutei, dan Malano.

Dengan konsep persatuannya ini, berbuah pada meredanya pertumpahan darah antar

kerajaan-kerajaan dan Majapahit dengan semboyan bhinneka tunggal ika, tan hana dharma

mangrwa, diantara kerajaan- kerajaan tersebut kemudian bisa menjadi lebih menekankan

perhatiannya kepada upa- ya meningkatkan kesejahteraan dan kema- juannya sendiri maupun

bersama-sama. Se- lain itu juga menjadi lebih kuat menghadapi ancaman penjajah asing

(13)

(Tiongkok/Tartar), menggantinya menjadi hubungan kerjasama dagang dan budaya yang saling mengun- tungkan masing-masing pihak.

Hayam Wuruk

Dyah Hayam Wuruk adalah raja keempat Kerajaan Majapahit yang memer- intah tahun 1351-1389, bergelar Maharaja Sri Rajasanagara. Hayam Wuruk adalah putra pasangan Tribhuwana Wijayatung- gadewi dan Sri Kertawardhana (Cakradhana Cakradhara). Ibunya adalah putri Raden Wi- jaya pendiri Majapahit, sedangkan ayahnya adalah raja bawahan di Singasari bergelar Bhre Tumapel.

Hayam Wuruk dilahirkan tahun 1334. Nama kecil: “Tetep” artinya anak ayam dibawah lindungan induknya. Setelah remaja dikenal sebagai Hayam Wuruk: se- bagai kegemaran mengadu (sabung) ayam ( periksa Earl Drake, 2012;109) . Peristiwa kelahirannya diawali dengan gempa bumi di Pabanyu Pindah dan meletusnya Gunung Kelud. Pada tahun itu pula Gajah Mada me- ngucapkan Sumpah Palapa.

Di bawah kekuasaan Hayam Wuruk, Majapahit menaklukkan Kerajaan Pasai dan Aru (kemudian bernama Deli, dekat Medan sekarang). Majapahit juga menghancurkan Palembang, sisa-sisa pertahanan Kerajaan Sriwijaya (1377). Pada pemerintahanya, Hayam Wuruk berkelana dari desa ke desa untuk menyapa rakyatnya, mendengar dan memberi solusi apa yang menjadi harapan rakyatnya. Peristiwa ini dikenal dengan De- sawarnana.

Gayatri Rajapatni

“Adalah watak Rajapatni Gayatri yang agung, sehingga mereka menjelma pemimpin besar sedunia, yang tiada tandin- gannya. Putri, menantu, dan cucunya men- jadi raja dan ratu.

Dialah yang menjadikan mereka penguasa dan mengawasi semua tindak tanduk mereka (Negarakrtagama, Bab 48)

Gayatri adalah putri bungsu dari Kertanegara, Raja Singhasari. Setelah ser- buan yang dilakukan oleh kerajaan Kediri terhadap kerajaan Singhasari dan mengaki- batkan orang tuanya meninggal, Gayatri memiliki tekad untuk membangun kembali kerajaan Singhasari yang luluh lantak oleh serangan Jayakatwang, raja Kediri. Bersama dengan Raden Wijaya, Gayatri menyusun strategi untuk membangun sebuah tatanan pemerintahan di atas sisa kejayaan kerajaan Singhasari.

Putri yang digambarkan sebagai so- sok Prajnaparamita atau Dewi Kebijaksanaan Tertinggi ini berhasil melahirkan pemimpin, bukan saja yang lahir dari rahimnya, tapi

juga dari kebijaksanaan dan akal budi yang terasah. Gayatri Rajapatni lebih memilih un- tuk

tidak menjadi raja Majapahit saat Jaya- negara wafat, tetapi menjadikan putrinya, Tribhuwana

Tunggadewi, untuk menjadi raja. Alasan utamanya adalah Gayatri tidak ingin sengketa

internal di masa lalu berlanjut, mengingat ia adalah putri raja Singhasari. Alasan lainnya adalah

karena Gayatri telah memasuki masa bhiksuka. “Pada masa itu tidak diperkenankan bagi

seseorang untuk kembali kepada masa sebelumnya, kecuali terdapat alasan yang sangat

(14)

mendesak. Dan Gayatri adalah penganut agama yang taat, sehingga norma itu tentu saja sangat diper- hatikannya.

Gayatri dengan kearifannya lebih memilih menjadi “ibu suri” dan memastikan kerajaan Majapahit dijalankan oleh orang- orang yang tepat. Seperti bagaimana ia men- jadikan seorang Gadjah Mada yang seorang rakyat biasa menjadi Mahapatih. Ia tidak hanya menuruti kehendak egonya semata untuk menjadi pemimpin, tetapi ia memikir- kan masa depan kerajaan Majapahit.

Gayatri Rajapatni sebagai perem- puan menjadi ibu yang bertanggung jawab atas kualitas anak-anak yang dilahirkannya. Ia telah membuktikan bahwa dengan mene- kan ego pribadinya ia tidak hanya mampu melahirkan pemimpin yang hebat di masan- ya, tetapi juga membawa Majapahit ke masa keemasannya.

Pemerintahan Tribhuwana

Menurut Nagarakretagama, Tribhu- wana naik takhta atas perintah ibunya (Gaya- tri) tahun 1329 menggantikan Jayanagara yang meninggal tahun 1328. Ketika Gayatri meninggal dunia tahun 1350, pemerintahan Tribhuwana pun berakhir pula. Berita terse- but menimbulkan kesan bahwa Tribhuwana naik takhta mewakili Gayatri. Meskipun Gayatri hanyalah putri bungsu Kertanagara, tapi mungkin ia satu-satunya yang masih hidup di antara istri-istri Raden Wijaya se- hingga ia dapat mewarisi takhta Jayanagara yang meninggal tanpa keturunan.

Tetapi saat itu Gayatri telah menjadi pendeta Buddha, sehingga pemerintahannya pun diwakili pu- trinya, yaitu Tribhuwana Tunggadewi.

Menurut Nagarakretagama, Tribhu- wana memerintah didampingi suaminya, Kertawardhana. Pada tahun 1331 ia menum- pas pemberontakan daerah Sadeng dan Keta.

Menurut Pararaton terjadi persaingan antara Gajah Mada dan Ra Kembar dalam mem- perebutkan posisi panglima penumpasan Sadeng. Maka, Tribhuwana pun berangkat sendiri sebagai panglima menyerang Sadeng, didampi-ngi sepupunya, Adityawarman.

Peristiwa penting berikutnya da- lam Pararaton adalah Sumpah Palapa yang diucapkan Gajah Mada saat dilantik sebagai rakryan patih Majapahit tahun 1334. Gajah Mada bersumpah tidak akan menikmati ma- kanan enak (rempah-rempah) sebelum ber- hasil menaklukkan wilayah kepulauan Nu- santara di bawah Majapahit.

Fokus ide garap isi

Sumpah Palapa adalah pengumuman resmi tentang program politik pemerintahan yang dijalankan oleh Patih Gajah Mada di bawah kepemimpinan Ratu Tribhuwana Wi- jayatunggadewi. Konsep penyatuan yang selanjutnya dikuatkan secara kenegaraan berbunyi “ Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa” merupakan mata ran- tai politk penaklukan dari berbagai bentuk perongrongan terhadap pemerintahan yang syah.

Perongrongan yang berlanjut pem- berontakan terhadap pemerintahan bermula dari panda-

ngan sempit untuk menjadi pe- nguasa tanpa melihat konteks tata hukum ketatanegaraan.

(15)

Gajah Mada memperluas pandangan bahwa penaklukan dengan jalan pertumpahan darah (meskipun pernah di- jalani) bukanlah cara yang tepat untuk berke- hidupan berbangsa dan bernegara.

Pada pemerintahan Hayam Wuruk, Gajah Mada membantu dan mengawal Sang raja yang melakukan perjalanan dari desa ke desa untuk melihat secara riel keadaan rakyatnya.

Dan pada akhir perjalanan Hayam Wuruk mengumpulkan para raja Bawahan untuk bermunajat kepada Yang Kuasa ber- tempat di Candi Jawi. Dari situ Hayam Wu- ruk berpidato tentang kesejahteraan rakyat dan nilai-nilai religius, dan berkebudayaan yang harus dijunjung tinggi dan dilaksana- kan.

Desain Artistik Peroperti

Properti sebagai kekuatan dukung ar- tistik disediakan dengan cara cermat dan de- tail untuk medapatkan gambaran realis. Ke- san laut dan kapal dilukis dalam konstruksi terpisah secara surealis. Gambaran laut dan dua kapal didapat setelah konstruksi terpisah disatukan. Secara detail dapat diperhatikan berikut ini:

1. Replika simbol Majaphit.

Gambaran matahari dikonfigurasi de-ngan simbol-simbol dewa sebagai keper- cayaan Jaman Majapahit. Bahan dibuat dari steroform diameter 3 meter dan 60 cm. Di- ameter 3 meter dipakai sebagi tandu Hawam Wuruk dalam suatu adegan. Diameter 4 cm dipergunakan untuk penari dalam pemba- caan sinopsis.

2. Replika simbol Majapahit (diameter 3 meter Dok: Wahyudiyanto, Juni 2012

2. Kayon

Kayon atau gunungan adalah tiruan kayon atau gunungan yang lazim diguna- kan pada pertunjukan wayang kulit. Bahan dari spon padat tinggi 1.25 meter, lebar 80 cm.

Gambar api dipergunakan sebagai sim- bol kekacauan, gambar alam untuk melatar belakangi tokoh Tribhuwana Wijayatung- gadewi.

3. Panah dan anak Panah (Paruh Jadi)

Panah atau gendewa dan anak pa- nah digunakan untuk prajurit panah. Panah dibuat

dari bahan multipleks. Panjang 1,25 meter, ketebalan 8 mm. Anak panah dibuat dari kayu,

panjang 90 cm, diameter 6 mm

(16)

4. Pedang dan Tameng

Replika Pedang dan Tameng digu- nakan untuk prajurit Bayangkara. Pedang dibuat dari bahan kayu. Panjang 1 meter, le- bar 8 cm, ketebalan maksimal 5 mm. Tameng dibuat dari rotan, diameter 70 cm.

5. Keris

Replika Keris dipergunakan untuk prajuri Bayangkari. Keris dibuat dari bahan kayu.

Panjang 60 cm. Lebar bawah 8 cm. Lebar ujung 0,5 cm. Ketebalan maksimal 3 mm.

6. Tumbak

Senjata toya bermata bilah tajam di ujungnya. Sejumlah 10 dipergunakan untuk perang berjarak. Dibuat dari bahan kayu. Pangjang 2 meter dengan mata bilah 25 cm.

Diameter 2,5 cm.

7. Konstruksi laut dan kapal

Gambaran air laut dan kapal dilukis- kan pada konstruksi secara terpisah. Jika dipadukan dengan tata urut yang ditentukan akan terbentuk gambar laut dan dua kapal ada di dalamnya. Terbuat dari bahan spon padat, tinggi 2 meter, lebar 40 cm. Ketebalan 3 mm. Tiang panjang dibuat dari bahan pipa aluminium. Panjang 2,75 meter, diameter 2,5 cm.

8. Songsong dan gringsing

Songsong atau payung dengan atap tiga buah bertingkat. Biasa dipergunakan untuk pembesar dan atau pejabat kerajaan. Dibuat dari bahan kayu dan atap dari kertas

minyak. Tinggi 2 meter. Gringsing adalah bendera majapahit pada awalnya.

9. Bendera

Bendera berbagai warna diperlukan untuk memberi pesan keragaman etnis dan budaya. Dibuat dari bahan kain, ukuran 120 x 120. Tiang dari bahan kayu. Panjang 2 Me- ter, diameter 4 cm

10. Topeng

Topeng Panji Asmoro Bangun. Dike- nakan peran Prabu Hawam Wuruk. Prabu Hayam Wuruk adalah Raja Majapahit yang seniman. Kegemarannya menari topeng. Salah satunya adalah menari topeng Panji Asmoro Bangun. Topeng dibuat dari bahan Kayu sono.

11. Banyak Dalang

Banyak dalang atau simbol kekayaan kerajaan. Diwujudkan dalam arca-arca kecil

terbuat dari emas seperti jenis unggas dan kinangan. Banyak Dalang dibuat dari ba- han

steroform. Ukuran lebih besar dari jenis yang sebenarnya.

(17)

12. Replika Candi Jawi

Candi Jawi merupakan peninggalan Kertanegara Raja Singhasari. Pada tempat ini Hayam Wuruk meluangkan waktu sejenak perjalanan Dasa Warnana untuk bermunajat dan memperingati keluhuran para leluhur dan nenek moyangnya. Di tempat ini pula berkumpul para petinggi negara Majapahit dan para tamu (raja-raja di wilayah dalam lindungannya) untuk bermunajat sekaligus

ikrar persatuan dalam keragaman (Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Magrua). Replika candi dibuat dari bahan steroform. Tinggi 5 meter, lebar maksimal 2,5 meter.

3. Replika Candi Jawi untuk kebutuhan setting panggung, ditempatkan di sudut belakang kiti panggung Dok. Wahyudiyanto, Juli 2012

13. Replika Candi Singhasari

Replika Candi Singhasari dibutuhkan untuk mengingatkan kembali bahwa Kelahi- ran Kerajaan Besar Majapahit bermula dari keturunan Raja Singasari. Dibuat dari bahan steroform, tinggi 4,5 meter, lebar maksimal 5 meter.

4. Replika Candi Singhasari untuk kebutuhan setting panggung, ditempatkan di sudut kanan belakang panggung Dok Wahyudiyanto, Juli 2012

14. Gapura / Regol

(18)

115

pembuatan batu-batu berserakan disekeli- ling candi. Dipergunakan untuk setting raja- raja yang berkumpul bermunajat bersama Hayam Wuruk. Terbuat dari steroform dan kayu. Tinggi maksimal 2,5 meter.

Rias dan Busana

Tata rias dan busana menggunakan pendekatan tafsir karakter imajiner para peran.

Pendekatan ini dimaksudkan untuk membantu perwatakan yang lebih diungkap- kan melalui karakter gerak, vokal (jika ada). Penampilan goresan rias dan warna busana diusahakan secermat mungkin dan ditentu- kan konvigurasinya antar peran.

Desain Panggung dan tata Cahaya

Panggung dalam bentuk Amphithe- ater terbuka dengan ukuran paanjang 40 me- ter dan lebar 20 meter. Latar belakang alami adalah Gunung Penanggungan, lebih dekat lagi adalah tetumbuhan pohon rindang men- julang tepat di belakang gedung penunjang panggung. Disamping kiri kanan terdapat dua buah pohon yang sangat besar, tinggi dan rindang. Dua patung kala berukuran besar ditempatkan di kiri kanan agak ke be- lakang panggung. Di tengah belakang stage menjulang tiruan Candi Bentar membelah ruang simetris sebagai keindahan ruang yang filosofis sekaligus sebagai tempat lalu-lalang penari keluar masuk panggung.

Pilar setinggi dua meter melintang tepat di bagian belakang panggung mem-

Kondisi panggung Amphitheater setelah di desain menjadi panggung untuk pergelaran agung Surya Majapahit Dok. Trinil Windrowati, 10 Juli 2012

beri batas ketinggian dan jarak pandang panggung. Di bagian kiri kanan panggung bagian

belakang, stage dinaikkan berundak untuk memberi kesempatan daya pandang penonton yang

(19)

jauh sehingga instrumen musik (gamelan) dan atau properti lain ke- tika ditempatkan di area tersebut. Gamelan ditempatkan di bagian kanan belakang pang- gung dan nampak jelas dari jarak pandang yang jauh karena dibikin lebih tinggi dari stage di depannya. Bagian kiri ditempati properti yang memberikan pemandangan (setting) candi rusak.

Panggung yang alami dengan dua pilar membelah ruang stage selanjutnya di- lengkapi dua replika Candi. Replika Candi Singhasari tinggi menjulang ditempatkan di sudut kanan panggung belakang, sedang tiruan Candi Jawi ditempatkan di sudut kiri panggung belakang.

Lampu sebagai pena- taan cahaya ditempatkan di berbagai area di sudut kiri kanan depan panggung, berja- jar di pilar belakang panggung (lampu par- let). Kembang api di tempatkan di belakang

panggung untuk memberikan kesan semarak ketika Grand final.

PENUTUP

Kekaryaan seni adalah kerja tafsir dari teks hasil tafsir realitas yang dihadapi dan atau dipelajari. Teks dalam pembicaraan ini sangat luas. Bisa saja berupa teks: seja- rah, epos, legenda, mite, sage, cerita rakyat, dan lainnya. Teks juga bisa berupa kebu- dayaan tertentu dan atau hasil-hasilnya. Teks juga bisa berupa realitas pengalaman manu- sia: individu, dan kelompok. Teks juga bisa berupa realitas batin manusia yang sedang berfikir, merengung, melamun, menghayal, dan bahkan mimpi-mimpi. Kesemuanya itu adalah realita-realita yang diselami, dialami, dipelajari dan atau diteliti. Maka karya seni sebagai tafsir terhadap teks sebagaimana teks disebutkan itu akan menghasilkan wu- jud karya yang khas kreatornya.

Seperti halnya penulisan sejarah, teks yang ditulis sejarawan adalah hasil dari telaah atau penelitian terhadap peristiwa ter- tentu. Motifasi yang mendorong sejarawan

untuk melakukan pelacakan terhadap se- suatu itu akan menentukan ke arah mana se- jarah itu disusun. Maka lazim sebuah tulisan sejarah ditentukan atau setidaknya diwarnai oleh siapa penulisnya. Dalam konteks penu- lisan sejarah politik akan dapat dibaca rezim siapa yang menulisnya. Dan sudah barang tentu wacana tentang teks sejarah itu diper- sembahkan untuk kepentingan rezim yang menyusunya.

Karya dramatari kolosal Surya Ma- japhit yang diciptakan atau lebih tepatnya disusun tak lebih dari pandangan-pandangan seperti dimaksudkan itu. Tema diambil dari peristiwa Masa lampau yang ditulis kem- bali dalam bentuk kisah sejarah atau sejarah yang dikisahkan.

Majapahit dan peristiwa yang membawa kepada kejayaannya meru- pakan tema menarik pada era sekarang ini bagi segolongan orang yang dicoba untuk dibisikkan terus menerus kepada pihak atau golongan lain bahwa sejarah masa lalu ada- lah penting. Apa lagi sejarah itu menyangkut masalah tema yang terkait erat dengan peristi- wa politik pemerintahan pada masa sekarang. Majapahit sebagai negara kuno telah memi- liki sistem pemerintahan yang dianggap ung- gul terus dibicarakan, ditelaah, dan bahkan digelorakan kembali melalui berbagai cara.

Dan kesenian adalah salah satu cara membi- carakan kembali masa lampau itu.

(20)

Dalam pandangan ini maka kesenian merupakan media strategis untuk menggelo- rakan peristiwa masa lampau seakan telah terjadi kembali meskipun dalam wujunya yang mi- niatur. Adalah gelora psikologis yang mampu memberi sentuhan rasa pada gilirannya ditujukan untuk memberi makna

bahwa nilai-nilai yang melekat pada peristi- wa pertunjukan itu adalah benar. Yang benar berarti baik, yang baik pantas untuk ditiru dan atau dilestarikan. Dengan kata lain per- istiwa itu memberi inspirasi untuk aktualisa- si bagi yang berkepentingan terhadapnya.

Kami sebagai pengkarya sudah ba- rang tentu memiliki tujuan. Selain untuk ke- pentingan estetik tentunya juga untuk ingin mengatakan bahwa yang baik itu semestinya diinformasikan kepada khalayak. Bahwa yang baik diharapkan membawa kebaikan juga meskipun dalam prosesnya seringkali banyak ketidakbaikan yang ditemui. Banyak pula konflik-konflik internal yang kemudian memberikan penyadaran sekaligus pertan- yaan bahwa apakah untuk menjadi baik itu harus bertemu dengan cara-cara yang tidak lazim dilakukan. Apakah baiknya personal itu harus menyatu dalam baiknya komunal. Itu adalah proses dan ternyata hasil itu tidak selalu seperti yang dibayangkan. Bahwa ke- mudian kekar- yaan seni yang personal harus ditarik ke arah komunal karena idiom dan sistem kerjanya yang masih komunal tradisi- onal.

Kekaryaan seni dalam perspek-tif tradisional ternyata menuntut besar hati dan

ternyata harus menyerah pada sistem yang sedang berlangsung. Untuk menghasil- kan yang

baik tidak cukup sekedar dari ide yang telah dikonsepkan semula. Ternyata yang baik menurut

personal harus baik pula menurut komunal dan itu harus dipertarung- kan yang kemudian

dikatakan sebagai karya seni sebagai tafsir terhadap tafsir atas realita yang dihadapi.

(21)

DAFTAR PUSTAKA

Drake, Earl. 2012, Gayatri Rajapatni, Yogyakarta, Ombak.

Sumarjo, Jakob. 2000, Filsafat Seni, Bandung ITB.

Langer K. Suzanne. 2006, Problematika Seni, terjemahan FX Widaryanto, Bandung, Sunan Ambu Press, STSI Bandung,

Wahyudiyanto, 2009. Wajah Tari dalam Per- spektif, Surakarta. ISI Press

blog.re.or.id > Uncategorized > Sejarah Ke- jayaan Kerajaan Majapahit

Sejarah Kejayaan Kerajaan Majapahit Uncategorized category

Gambar

Gambar api dipergunakan sebagai sim- bol kekacauan, gambar alam untuk melatar belakangi  tokoh Tribhuwana Wijayatung- gadewi

Referensi

Dokumen terkait

Pertama : Perjanjian Kinerja Tahunan (PKT) Tahun 2018 sebagaimana tercantum dalam lampiran Surat Keputusan ini merupakan acuan untuk melakukan pengukuran capaian

Motilitas sperma pada semen dapat diukur baik dengan cara perhitungan. manual atau menggunakan computer assited semen analysis (

Memberi kuasa dan wewenang kepada Direksi Perseroan (dengan persetujuan Dewan Komisaris), jika keadaan keuangan Perseroan memungkinkan, untuk menetapkan dan membayar

Hal ini tidak sekedar menggabungkan dua pandangan (individualisme dan sosialisme) diatas, tetapi secara hakikat bahwa kedudukan manusia sebagai mahkluk individu.. sekaligus

Keunggulan dari produk yang dihasilkan yaitu Material mudah didapatkan, harga terjangkau, produksi dilakukan dengan asli kemampuan pengrajin dibantu mesin, desain unik, dan

Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan ialah mengolah data mentah yang diperoleh dari kegiatan lapangan berupa struktur bangunan kemudian diolah bedasarkan skor

kurikulumnya bersifat integratif antara materi-materi pendidikan umum dan agama, sehingga mampu mempersiapkan intelektual Islam yang berfikir secara komprehensif.