• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tabel 6. Hasil Pendugaaan Faktor Penentu Produktivitas Kelapa Sawit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Tabel 6. Hasil Pendugaaan Faktor Penentu Produktivitas Kelapa Sawit"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBAHASAN

Penurunan produktivitas tanaman kelapa sawit dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor lingkungan, faktor tanaman, dan teknik budidaya tanaman.

Faktor-faktor tersebut saling berhubungan dan mempengaruhi satu sama lain.

Faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap penurunan produktivitas tanaman kelapa sawit di Kebun Sei Lala, PT Tunggal Perkasa Plantations adalah curah hujan, topografi, jenis pupuk, umur tanaman, jumlah populasi tanaman per hektar (SPH), dan faktor penyebab kehilangan produksi seperti buah mentah dan buah busuk. Pemilihan faktor-faktor tersebut didasarkan pada asumsi dan kelengkapan data yang tersedia.

Fungsi produksi merupakan hubungan antara hasil produksi (output) terhadap penggunaan faktor produksi (input). Faktor produksi terdiri atas faktor lingkungan, tanaman, dan teknik budidaya tanaman (Doll and Orazem, 1984).

Dalam menentukan fungsi produksi maka penulis menggunakan model fungsi produksi Cobb-douglas yang kemudian diolah dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) dengan pendekatan Univariate General Linear Model yang diolah dengan menggunakan alat bantu SPSS v. 16 for windows dan menggunakan uji Bofferoni tingkat lanjut.

Berdasarkan analisis diketahui bahwa curah hujan, topografi, jenis pupuk, umur tanaman, SPH, buah mentah dipanen, buah busuk, dan interaksi antar beberapa variabel merupakan faktor-faktor penentu produksi kelapa sawit (Tabel 6). Dari Tabel 6 diperoleh fungsi produksi sebagai berikut:

Y = 2 494 – 104.714 D3.1 – 154 D3.2 – 1 793 D2.1 + 5.124 D2.3 – 385.512 D5.1 – 197. 429 D5.2 – 533.48 D5.3 – 217.562 D4.1 – 75.113 D1.1 – 106.333 D1.2 + 226.444 D2.1 D4.1 – 191.713 D2.3 D4.1 – 141.599 D1.1 D4.1 + 3.775 D2.3 X6 + 1.663 D3.1 X6 + 5.651 D3.2 X6 + 0.121 D3.1 X7 + 0.972 D3.2 X7 – 0.488 X6 + 0.121 X7

(2)

Tabel 6. Hasil Pendugaaan Faktor Penentu Produktivitas Kelapa Sawit

No. Variabel Koefisien

Regresi

Nilai Signifikan

1. Dummy topografi flat (D3.1) -104.714 0.000

2. Dummy topografi rolling (D3.2) -154.000 0.008

3. Dummy kelompok umur tanaman < 7 tahun (D2.1) -1 793.000 0.000 4. Dummy kelompok umur tanaman 12 – 25 tahun (D2.3) 5.124 0.945

5. Dummy SPH < 130 pokok (D5.1) -385.512 0.000

6. Dummy SPH 130 – 135 pokok (D5.2) -197.429 0.012

7. Dummy SPH 136 – 143 pokok (D5.3) -533.480 0.000

8. Dummy jenis pupuk tunggal (D4.1) -217.562 0.004

9. Dummy curah hujan < 60 mm/bulan (D1.1) -75.113 0.204 10. Dummy curah hujan 60 – 100 mm/bulan (D1.2) -106.331 0.000 11. Interaksi dummy umur tanaman < 7 tahun (D2.1) dan

dummy jenis pupuk tunggal (D4.1)

226.444 0.207 12.

13.

Interaksi dummy umur tanaman 12 – 25 tahun (D2.3) dan dummy jenis pupuk tunggal (D4.1)

Interaksi dummy jenis pupuk tunggal (D4.1) dan dummy curah hujan < 60 mm/bulan (D1.1)

-191.713 -141.599

0.015 0.036 14. Interaksi dummy umur tanaman 12 – 25 tahun (D2.3) dan

buah mentah (X6)

3.775 0.000 15. Interaksi dummy topografi flat (D3.1) dan buah mentah

(X6)

1.663 0.000 16. Interaksi dummy topografi rolling (D3.2) dan buah

mentah (X6)

5.651 0.070 17.

18.

Interaksi dummy topografi flat (D3.1) dan buah busuk (X7)

Interaksi dummy topografi rolling (D3.2) dan buah busuk (X7)

0.121 0.972

0.138 0.138 19.

20.

Konstanta buah mentah (X6) Konstanta buah busuk

-0.488 0.121

0.138 0.787

21. Intersep 2 494.000

Nilai koefisien determinasi (R2) yang diperoleh dari model tersebut adalah sebesar 0.928. Hal tersebut berarti bahwa 92.8 % produktivitas tanaman kelapa sawit di Kebun Sei Lala dapat diterangkan oleh variasi variabel curah hujan, umur tanaman, topografi, jenis pupuk, SPH, buah mentah dipanen, buah busuk, dan interaksi antara variabel penentu produksi. Sekitar 7.2 % dari variasi produktivitas tanaman kelapa sawit tersebut dipengaruhi oleh faktor lain di luar faktor penentu produktivitas kelapa sawit yang tercantum dalam model, seperti jenis tanah, varietas tanaman, serangan hama dan penyakit, serta ketersediaan hara dalam tanah.

(3)

Hasil koefisien regresi dari faktor penentu produktivitas tanaman kelapa sawit yang dikelompokkan (dummy) merupakan nilai perbandingan antara faktor penentu produksi tersebut dengan faktor pembanding (redundant) dalam kelompok yang sama dengan nilai nol, sehingga tidak ditampilkan dalam Tabel 6.

Pada kolom nilai signifikan yang tertera dalam Tabel 7 diketahui bahwa topografi, umur tanaman, SPH, jenis pupuk, curah hujan, buah mentah, interaksi kelompok umur tanaman dan kelompok jenis pupuk, interaksi kelompok umur tanaman dan buah mentah, serta interaksi kelompok topografi dan buah mentah berpengaruh sangat signifikan terhadap produktivitas tanaman kelapa sawit.

Interaksi kelompok jenis pupuk dan kelompok curah hujan berpengaruh signifikan terhadap produktivitas tanaman kelapa sawit, sedangkan variabel buah busuk serta interaksi kelompok topografi dan buah busuk tidak berpengaruh signifikan terhadap produktivitas tanaman kelapa sawit di Kebun Sei Lala, PT Tunggal Perkasa Plantations.

Tabel 7. Hasil Uji-F Faktor Penentu Produktivitas Tanaman Kelapa Sawit

No. Variabel Nilai Signifikan

1. Kelompok topografi 0.000

2. Kelompok umur tanaman 0.000

3. Kelompok SPH 0.000

4. Kelompok jenis pupuk 0.000

5. Kelompok curah hujan 0.000

6.

7.

Buah mentah Buah busuk

0.000 0.604 8. Interaksi kelompok umur dan kelompok jenis pupuk 0.003 9. Interaksi kelompok umur dan buah mentah 0.000 10.

11.

12.

Interaksi kelompok jenis pupuk dan kelompok curah hujan

Interaksi kelompok topografi dan buah mentah Interaksi kelompok topografi dan buah busuk

0.036 0.000 0.225

Topografi

Topografi lahan yang tidak disertai penerapan kultur teknis yang standar berpengaruh terhadap produktivitas tanaman kelapa sawit dan penggunaan tenaga

(4)

pemanen. Topografi di Kebun Sei Lala, PT Tunggal Perkasa Plantations terdiri atas tiga, yaitu topografi flat (kemiringan lahan < 30 °), topografi rolling (kemiringan lahan > 30 °), dan topografi rendahan atau rawa. Hal tersebutlah yang mendasari pengkategorian dummy topografi.

Koefisisen regresi dummy topografi flat sebesar - 104.714, sedangkan koefisien regresi dummy topografi rolling sebesar - 154.398, artinya produktivitas tanaman kelapa sawit pada topografi flat lebih tinggi dibandingkan pada topografi rolling. Hal tersebut disebabkan oleh jumlah kehilangan hasil produksi pada areal rolling lebih besar daripada areal flat. Dja’far et al. (2001) menyatakan bahwa perbedaan produksi pada areal yang bertopografi berombak dengan areal bertopografi berbukit bisa mencapai 3.96 ton TBS/ha/tahun. Pada daerah berbukit walaupun pemakaian tenaga panen 9.11 % lebih banyak dibandingkan di daerah berombak tetapi produksi yang dihasilkan tetap rendah. Hal tersebut disebabkan oleh sekitar 13.31 % TBS tidak dipanen serta kehilangan brondolan mencapai 51.36 persen.

Tidak terdapat perbedaan antara topografi pada tahun 2004 hingga tahun 2009, sehingga dapat diduga bahwa topografi tidak berpengaruh terhadap penurunan produktivitas tanaman kelapa sawit. Hal tersebut disebabkan kultur teknis yang dilakukan seperti pembuatan teras individu dan kontur di Kebun Sei Lala sudah cukup baik.

Umur Tanaman

Tinggi rendahnya produktivitas tanaman kelapa sawit di suatu kebun dipengaruhi oleh komposisi umur tanaman yang ada di kebun tersebut. Semakin luas komposisi umur tanaman remaja dan tua, semakin rendah pula produktivitas per hektarnya. Komposisi umur tanaman berubah setiap tahunnya sehingga juga berpengaruh terhadap pencapaian produksi per hektar per tahunnya (Risza, 2009).

Lubis (1992) menyatakan bahwa produktivitas maksimal tanaman kelapa sawit dapat dicapai ketika tanaman berumur 7 – 11 tahun. Hal tersebut mendasari pengkategorian dummy umur tanaman kelapa sawit. Selain itu adanya tanaman kelapa sawit yang berumur lebih dari umur ekonomis tanaman kelapa sawit

(5)

(umur tanaman > 25 tahun) juga turut mendasari pengkategorian dummy umur tanaman kelapa sawit.

Koefisien regresi dummy umur tanaman < 7 tahun sebesar - 1 793, sedangkan koefisien regresi dummy umur tanaman 12 – 25 tahun sebesar 5.124.

Hal tersebut berarti, produktivitas tanaman pada tanaman kelapa sawit yang berumur 12 – 25 tahun lebih tinggi dibandingkan produktivitas tanaman kelapa sawit yang berumur < 7 tahun.

Terdapat perbedaan produktivitas tanaman kelapa sawit untuk kelompok umur tanaman yang berbeda (Tabel 8). Rata-rata produktivitas tanaman kelapa sawit tertinggi dicapai pada saat tanaman berumur 12 tahun dan produktivitas terendah terjadi saat tanaman berumur kurang dari tujuh tahun. Nilai signifikan antara produktivitas tanaman kelapa sawit yang berumur 12 – 25 tahun dan tanaman kelapa sawit yang berumur di atas 25 tahun sebesar 1.000 lebih besar dari 0.05 (α = 5 %) (Tabel 8). Hal tersebut berarti tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara produktivitas tanaman kelapa sawit yang berumur 12 – 25 tahun dan tanaman kelapa sawit yang berumur di atas 25 tahun, sehingga dapat diketahui bahwa penyebab penurunan produktivitas tanaman kelapa sawit di Kebun Sei Lala dipengaruhi oleh umur tanaman yang masih remaja. Hal ini disebabkan adanya areal replanting pada beberapa blok.

Tabel 8. Pengaruh Umur Tanaman terhadap Produktivitas Kelapa Sawit di Kebun Sei lala, PT Tunggal Perkasa Plantations

No. Umur Tanaman

Rata-rata

Produktivitas Nilai Signifikan kg/ha/bln ton/ha/th

1 Umur < 7 tahun

Umur 12 – 25 tahun

608.2 7.298

0.000

Umur > 25 tahun 0.000

2 Umur 12 – 25

tahun Umur < 7 tahun

2 066.0 24.792

0.000

Umur > 25 tahun 1.000

3 Umur > 25

tahun Umur < 7 tahun

2 067.0 24.804

0.000

Umur 12 – 25 tahun 1.000

(6)

Populasi Tanaman

Susunan penanaman dan jarak tanam akan menentukan kerapatan tanaman.

Kerapatan tanam merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat produktivitas tanaman kelapa sawit (Penebar Swadaya, 1999). Menurut Risza (2009) terdapat hubungan antara penurunan produksi dan kerapatan tanam.

Kerapatan tanam berpengaruh terhadap kualitas intensitas dan lama penyinaran matahari yang akan berpengaruh terhadap morfologi dan fisiologi tanaman serta akan berpengaruh terhadap produksi bunga betina.

Lubis (1992) menyatakan bahwa populasi tanaman kelapa sawit yang banyak digunakan di perkebunan di Indonesia adalah 143 pokok/ha. Hal tersebutlah yang mendasari pengkategorian dummy populasi tanaman per hektar (SPH). Jumlah populasi tanaman per hektar yang berbeda-beda tiap blok tanaman, juga turut mendasari pengkategorian dummy SPH.

Koefisien regresi dummy SPH < 130 pokok sebesar - 385.512, koefisien regresi dummy SPH 130 - 135 pokok sebesar - 197.429, dan koefisien dummy SPH 136 – 143 pokok sebesar - 533.480. Hal tersebut berarti produktivitas tanaman kelapa sawit dengan SPH 130 – 135 pokok lebih tinggi daripada produktivitas tanaman kelapa sawit dengan SPH < 130 pokok. Produktivitas tanaman kelapa sawit dengan SPH < 130 pokok lebih tinggi daripada produktivitas tanaman kelapa sawit dengan SPH 136 – 143 pokok.

Perbedaan jumlah SPH menghasilkan produksi yang berbeda pula. Rata-rata produktivitas maksimal dicapai ketika SPH tanaman maksimal pula. Perbedaan rata-rata produktivitas antara jumlah SPH dapat dilihat pada Tabel 9. Penurunan produktivitas di Kebun Sei Lala tidak dipengaruhi oleh SPH tanaman, karena jumlah SPH tanaman setiap tahunnya tidak mengalami perubahan.

Tabel 9. Pengaruh SPH terhadap Produktivitas Kelapa Sawit

No. Variabel SPH Rata-rata Produktivitas

kg/ha/bln ton/ha/th

1 SPH < 130 pokok 1 482 17.784

2 SPH 130 – 135 pokok 1 669 20.028

3 SPH 136 – 143 pokok 1 332 15.984

(7)

Curah Hujan

Air hujan merupakan sumber air utama untuk tanaman perkebunan. Menurut Hadi (2004) curah hujan yang ideal untuk pertumbuhan tanaman kelapa sawit berkisar 2 500 – 3 000 mm/tahun dengan distribusi merata sepanjang tahun serta tidak terdapat bulan kering berkepanjangan dengan curah hujan di bawah 120 mm dan tidak terdapat bulan basah dengan hujan lebih dari 20 hari.

Handoko (1995) menyatakan bahwa klasifikasi yang umumnya digunakan untuk perkebunan di Indonesia adalah klasifikasi yang dibuat oleh Schmidth- Ferguson. Schmidth-Ferguson mengklasifikasikan curah hujan menjadi tiga jenis, bulan kering dengan curah hujan (CH) < 60 mm/bulan, bulan lembab dengan CH 60 – 100 mm/bulan, dan bulan basah dengan CH > 100 mm/bulan. Hal tersebutlah yang mendasari pengkategorian dummy curah hujan.

Menurut Arsyad (1989), air hujan merupakan faktor yang menentukan tingkat produksi tanaman juga stabilitasnya. Pada tanaman kelapa sawit diketahui bahwa semakin tinggi curah hujan, maka produktivitasnya akan semakin tinggi (Tabel 10).

Tabel 10. Pengaruh Curah Hujan terhadap Produktivitas Kelapa Sawit

No. Variabel Curah Hujan (mm/bulan)

Rata- rata Produktivitas Nilai Signifikan kg/ha/bln ton/ha/th

1 CH < 60

CH 60 – 100

1 495 17.940

0.109

CH > 60 0.000

2 CH 60 – 100

CH < 60

1 569 18.828

0.109

CH > 60 0.000

3 CH > 100

CH < 60

1 677 20.124

0.000

CH 60 -100 0.000

Berdasarkan Tabel 10 diketahui bahwa produktivitas tanaman kelapa sawit tertinggi dicapai saat CH > 100 mm/bulan, sedangkan produktivitas terendah terjadi saat CH < 60 mm/bulan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Lubis (1986), pada periode curah hujan yang tinggi diperoleh produktivitas yang tinggi

(8)

dan pada periode curah hujan yang rendah diperoleh produktivitas yang rendah pula. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan terhadap produktivitas tanaman kelapa sawit pada CH < 60 mm/bulan dan CH 60 – 100 mm/bulan. Hal tersebut dibuktikan dari nilai signifikannya yang besar dari 0.05 (α = 5 %). Meskipun tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara produktivitas tanaman kelapa sawit pada CH < 60 mm/bulan dan CH 60 – 100 mm/bulan, produktivitas tanaman kelapa sawit pada CH < 60 mm/bulan lebih tinggi daripada produktivitas yang dihasilkan pada CH 60 – 100 mm/bulan. Hal tersebut dapat dilihat dari koefisien regresi dummy CH < 60 mm/bulan (-75.113) yang lebih besar dari pada koefisien regresi dummy CH 60 – 100 mm/bulan (- 106.331).

Penurunan produktivitas tanaman kelapa sawit di Kebun Sei Lala dipengaruhi oleh curah hujan. Produktivitas tertinggi dicapai saat curah hujan tertinggi, yaitu pada tahun 2008 dengan produktivitas 23.75 ton/ha saat curah hujan 4 696 mm/tahun (Tabel 11). Dengan demikian dapat diduga bahwa curah hujan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan penurunan produktivitas kelapa sawit di Kebun Sei Lala.

Tabel 11. Pengaruh Curah Hujan terhadap Penurunan Produktivitas Tanaman Kelapa Sawit

No. Tahun Curah Hujan

(mm/tahun)

Produktivitas (ton/ha)

1. 2005 3 015 21.90

2. 2006 2 427 20.87

3. 2007 2 546 20.67

4. 2008 4 696 23.75

5. 2009 2 856 21.42

Sumber : Curah hujan (PTPN V, 2010)

Produktivitas Kelapa Sawit (PT Tunggal Perkasa Plantations, 2010)

Jenis Pupuk

Pemupukan mempunyai peranan yang sangat penting untuk mendapatkan produktivitas yang tinggi. Pemupukan yang tidak baik akan mengakibatkan tidak tercapainya target produksi. Menurut Setyamidjaja (2006) pemupukan tanaman menghasilkan (TM) bertujuan untuk menyediakan unsur-unsur hara yang

(9)

dibutuhkan tanaman untuk pertumbuhan generatif sehingga diperoleh hasil yang optimal. Mangoensoekarjo dan Semangun (2005) menyatakan bahwa berdasarkan kandungan haranya pupuk terbagi atas dua jenis, yaitu pupuk tunggal dan pupuk majemuk. Hal tersebutlah yang mendasari pengkategorian dummy jenis pupuk.

Kebun Sei Lala mulai menggunakan pupuk campuran (tunggal + majemuk) sejak semester II tahun 2008, sedangkan sebelumnya pupuk yang digunakan berupa pupuk tunggal. Rata-rata produktivitas tanaman kelapa sawit yang dipupuk dengan menggunakan pupuk tunggal sebesar 16.57 ton/ha/tahun sedangkan, rata- rata tanaman kelapa sawit yang dipupuk dengan menggunakan pupuk campuran (tunggal + majemuk) sebesar 21.36 ton/ha/tahun. Produktivitas tanaman kelapa sawit yang diberi pupuk campuran (tunggal + majemuk) lebih besar daripada produktivitas tanaman kelapa sawit yang diberi pupuk tunggal.

Sutarta dan Winarna (2001) menyatakan bahwa penggunaan pupuk majemuk lebih efektif daripada pupuk tunggal, hal tersebut disebabkan oleh kehilangan unsur hara untuk setiap jenis pupuk tunggal tergolong dominan, yaitu 4 – 17 % untuk N, 10 – 15 % untuk K, 4 – 8 % untuk Mg, dan sekitar 2 % untuk P. Kehilangan tersebut berupa kehilangan melalui penguapan dan aliran permukaan (run off). Kehilangan melalui jerapan oleh logam Al atau Fe dan logam lain, serta yang terjerap dalam mineral liat belum termasuk dalam perhitungan.

Penggunaan pupuk majemuk mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan penggunaan pupuk tunggal. Pupuk majemuk formulanya dapat disusun sedemikian rupa sehingga satu formula pupuk majemuk sudah mengandung semua jenis unsur hara yang diperlukan untuk kelapa sawit tertentu di suatu tempat tertentu pula. Dengan demikian dapat dikembangkan rekomendasi pemupukan yang spesifik lokasi dan tanaman (crop and site specific recommendation). Di samping itu pupuk majemuk dapat dibuat dengan bentuk yang mudah untuk penempatan (pembenaman) ke dalam tanah, sehingga dapat mengatasi kehilangan pupuk akibat aliran permukaan dan penguapan (PT Astra Agro Lestari, 2008). Selain memiliki beberapa keunggulan, pupuk majemuk juga memiliki beberapa kekurangan, yaitu beberapa jenis pupuk majemuk tidak dapat

(10)

bertahan lama dalam penyimpanan karena sifat menggumpal yang kemudian mengeras. Penggunaan pupuk campuran (tunggal + majemuk) dapat menutupi kekurangan pupuk tunggal dan majemuk.

Penurunan produktivitas pada tahun 2009 (Tabel 11) seharusnya tidak terjadi karena pada semester II tahun 2008 dan semester I dan II tahun 2009 Kebun Sei Lala sudah menggunakan pupuk campuran (tunggal + majemuk).

Penurunan tersebut disebabkan oleh faktor lain seperti umur tanaman dan curah hujan sehingga pengaruh jenis pupuk tidak terlalu terlihat. Data jenis pupuk yang digunakan di Kebun Sei Lala dapat dilihat pada Lampiran 12.

Buah Mentah

Nilai koefisien regresi buah mentah adalah – 0.488 (Tabel 6) yang artinya pemanenan satu persen buah mentah dapat menurunkan produktivitas kelapa sawit sebesar 0.488 % untuk pemanenan periode berikutnya. Satu TBS kelapa sawit umumnya ditopang oleh satu atau dua buah pelepah (songgo satu atau songgo dua). Pada saat memanen TBS pada umumnya pemanen memotong pelepah penyangga TBS tersebut. Dengan demikian pemanenan buah mentah akan menurunkan jumlah pelepah melebihi jumlah pelepah yang seharusnya dibuang.

Pengurangan jumlah pelepah secara berlebihan mengakibatkan terjadinya over prunning yang mengakibatkan tanaman menjadi stres. Stres tanaman dapat mengakibatkan peningkatan abortus bunga betina dan terjadinya sex differentiation sehingga jumlah buah yang terbentuk berkurang, selain itu stress tanaman juga mengakibatkan terjadinya penurunan bobot janjang rata-rata (BJR).

Pada tahun 2008 terjadi peningkatan produktivitas kelapa sawit di Kebun Sei Lala, yaitu sebesar 14.87 % (Tabel 11). Hal tersebut disebabkan oleh turunnya jumlah buah mentah dipanen pada tahun 2008 sebesar 0.8 %, dimana jumlah buah mentah dipanen pada tahun 2007 sebesar 2.37 % (Gambar 7). Akan tetapi pada tahun 2009 terjadi penurunan produktivitas tanaman kelapa sawit di Kebun Sei Lala sebesar 9.788 % (Tabel 11). Hal tersebut disebabkan oleh peningkatan jumlah buah mentah dipanen pada tahun tersebut, dimana pada tahun 2008 jumlah buah mentah dipanen sebesar 0.8 % dan pada tahun 2009 meningkat menjadi

(11)

0.9 % (Gambar 7), sehingga dapat diduga bahwa buah mentah merupakan salah satu penyebab penurunan produktivitas kelapa sawit.

Gambar 7. Pemanenan Buah Mentah di Kebun Sei Lala

Buah Busuk

Buah busuk merupakan salah satu faktor penyebab kehilangan produksi tanaman kelapa sawit. Dalam studi ini, buah busuk diartikan sebagai buah matang yang tidak dipanen atau buah tinggal. Buah busuk tidak berpengaruh signifikan terhadap produktivitas tanaman kelapa sawit (Tabel 7). Dengan demikian dapat diketahui bahwa buah busuk juga tidak berpengaruh terhadap penurunan produktivitas tanaman kelapa sawit. Hal tersebut dikarenakan adanya pengetrekkan buah busuk pada periode panen berikutnya.

Meskipun tidak berpengaruh signifikan terhadap produktivitas tanaman kelapa sawit, buah busuk mempengaruhi jumlah kandungan asam lemak bebas pada minyak kelapa sawit yang dihasilkan. Semakin lambat buah dipanen, semakin tinggi kandungan asam lemak bebas. Kandungan ALB yang tinggi akan menurunkan kualitas CPO yang dihasilkan, karena pada suhu kamar CPO akan mudah membeku.

0 1 2 3 4 5 6 7

2004 2005 2006 2007 2008 2009

Buah Mentah Dipanen (%)

Tahun

Buah Mentah Dipanen

(12)

Interaksi Jenis Pupuk dan Umur Tanaman

Jenis pupuk mempengaruhi produktivitas tanaman kelapa sawit. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya interaksi antara umur tanaman dan jenis pupuk yang diberikan. Produktivitas tanaman kelapa sawit pada umur < 7 tahun yang diberi pupuk tunggal lebih tinggi daripada produktivitas tanaman kelapa sawit yang diberi pupuk campuran (tunggal + majemuk) pada umur yang sama. Produktivitas tertinggi dicapai saat tanaman berumur antara 12 - 25 tahun dan diberi pupuk campuran (Tabel 12).

Tabel 12. Pengaruh Jenis Pupuk terhadap Produktivitas Tanaman Kelapa Sawit pada Umur Tanaman yang Berbeda

No. Jenis Pupuk Umur Tanaman Rata-rata Produktivitas kg/ha/bln ton/ha/tn 1 Pupuk tunggal Umur < 7 tahun 596 7.153

Umur 12 – 25 tahun 1 779 21.348 Umur > 25 tahun 1 804 21.648 2 Pupuk campuran Umur < 7 tahun 543 6.520 (tunggal + majemuk) Umur 12 – 25 tahun 2 038 24.456 Umur > 25 tahun 1 987 23.844

Koefisien regresi dummy interaksi antara jenis pupuk tunggal dan umur tanaman < 7 tahun sebesar 226.444, sedangkan koefisien regresi dummy interaksi jenis pupuk tunggal dan umur tanaman 12 – 25 tahun sebesar – 191.713, artinya penggunaan pupuk tunggal pada tanaman kelapa sawit yang berumur < 7 tahun akan meningkatkan produktivitas tanaman kelapa sawit dibandingkan jika diberi pupuk campuran (tunggal + majemuk). Demikian juga sebaliknya, penggunaan pupuk tunggak pada tanaman kelapa sawit yang berumur 12 – 25 tahun akan menurunkan produktivitas tanaman kelapa sawit. Dengan demikian dapat diduga bahwa penurunan produktivitas tanaman kelapa sawit pada tahun 2007 dan 2009 disebabkan oleh ketidaktepatan jenis pupuk yang diberikan.

Interaksi Curah Hujan dan Jenis Pupuk

Produktivitas tanaman kelapa sawit yang diberikan pupuk campuran (tunggal + majemuk) pada curah hujan kurang dari 60 mm/bulan maupun lebih

(13)

dari 100 mm/bulan lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas kelapa sawit yang diberi pupuk tunggal pada curah hujan yang sama (Tabel 13). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemupukan tunggal atau campuran terhadap produktivitas tanaman kelapa sawit bergantung pada besarnya curah hujan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Mangoensoekarjo dan Semangun (2005), pemupukan yang tepat waktu harus dikaitkan dengan pola curah hujan. Tidak terdapat curah hujan antara 60 – 100 mm/bulan pada saat pemupukan menggunakan pupuk campuran (tunggal + majemuk) (tidak ada curah hujan antara 60 – 100 mm/bulan sejak semester II tahun 2008).

Tabel 13. Pengaruh Interaksi Curah Hujan dan Jenis Pupuk terhadap Produktivitas Kelapa Sawit

No. Jenis Pupuk Curah Hujan (mm/bulan)

Rata-rata Produktivitas kg/ha/bln ton/ha/th

1 Pupuk tunggal CH < 60 1 795 21.540

CH 60 – 100 1 660 19.920

CH > 100 1 837 22.044

2 Pupuk campuran CH < 60 mm/bulan 1 956 23.472

(tunggal + majemuk) CH 60 – 100 - -

CH > 100 2 019 24.228

Interaksi Umur Tanaman dan Buah Mentah

Terdapat interaksi antara umur tanaman dan buah mentah yang dipanen (Tabel 7). Umur tanaman berkorelasi langsung dengan tinggi tanaman Semakin tua umur tanaman, semakin tinggi tanaman tersebut. Tinggi tanaman berpengaruh terhadap pengamatan buah matang dan kemudahan panen. Pokok yang terlalu tinggi akan menghambat penglihatan pemanen dalam melihat kematangan buah.

Penurunan produktivitas tanaman kelapa sawit di Kebun Sei Lala dipengaruhi oleh interaksi umur tanaman dan buah mentah dipanen. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya beberapa blok tanaman yang melebihi umur ekonomis tanaman kelapa sawit (umur tanaman 35 tahun) dengan kondisi fisik tanaman yang sangat tinggi. Umur tanaman kelapa sawit untuk tiap blok tanaman di tiap afdeling dapat dilihat dari tahun tanam kelapa sawit yang tertera pada Lampiran 13.

(14)

Interaksi Topografi dan Buah Mentah

Koefisien regresi dummy interaksi topografi flat sebesar 1.663, sedangkan koefisien regresi dummy interaksi topografi rolling sebesar 5.651, artinya pemanen buah mentah di areal rolling lebih tinggi daripada pemanenan buah mentah di areal flat. Hal tersebut berhubungan dengan kemudahan pelaksanaan panen, dimana pada areal rolling pengamatan dan pemanen buah matang lebih sulit jika dibandingkan dengan areal flat. Selain itu keakuratan taksasi produksi juga turut mempengaruhi jumlah buah mentah yang dipanen. Berdasarkan pengamatan penulis, sebagian besar taksasi produksi dilakukan di areal flat.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pemanenan buah mentah dapat menurunkan produktivitas tanaman kelapa sawit.

Interaksi Topografi dan Buah Busuk

Koefisien regresi dummy interaksi topografi flat dan buah busuk 0.121, sedangkan koefisien regresi dummy interaksi topografi rolling dan buah busuk 0.972. Jumlah buah busuk pada areal rolling lebih tinggi daripada jumlah buah busuk pada areal flat. Berdasarkan hasil pengamatan penulis jumlah buah busuk pada areal rolling 35 % lebih besar daripada areal flat. Sama halnya dengan interaksi topografi dan buah mentah. Adanya buah busuk juga dipengaruhi oleh kemudahan dalam pengamatan dan pelaksanaan panen. Pengawasan panen yang lebih ketat merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan guna mengurangi tingginya angka kehilangan produksi ( buah busuk dan buah mentah).

Gambar

Tabel 6. Hasil Pendugaaan Faktor Penentu Produktivitas Kelapa Sawit
Gambar 7. Pemanenan Buah Mentah di Kebun Sei Lala
Tabel  13.  Pengaruh  Interaksi  Curah  Hujan  dan  Jenis  Pupuk  terhadap  Produktivitas Kelapa Sawit

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini bisa terjadi mungkin karena perbedaan tingkat nonpolar diantara pelarut-pelarut tersebut.dengan tetapan dielektrik benzena 2,284, sikloheksana 1,924,

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa metode kecerdasan kinestetis dalam upaya perbaikan teknik pernapasan dan

Menurut penelitian relevan yang sudah dilakukan oleh Yeo, kesulitan yang biasanya dialami oleh siswa itu terdapat 4 jenis yaitu siswa kesulitan dalam memahami masalah yang diberikan,

[r]

[r]

[r]

Pada dasarnya pembelajaran IPS berupaya mengembangkan kesadaran siswa dalam berhubungan dengan orang lain disekitarnya. Siswa diharapkan mampu memahami kondisi sosial

Perubahan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Terhadap Jumlah Penerimaan Pajak Penghasilan Orang Pribadi (Periode 2014-2016) di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan