• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBEDAAN ANTARA TERAPI FIBRINOLITIK DAN HEPARINISASITERHADAP PERUBAHAN ST-ELEVASI PADA PENDERITA Perbedaan Antara Terapi Fibrinolitik Dan Heparinisasi Terhadap Perubahan St-Elevasi Pada Penderita Infark Miokard Akut Di RSUD Moewardi.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERBEDAAN ANTARA TERAPI FIBRINOLITIK DAN HEPARINISASITERHADAP PERUBAHAN ST-ELEVASI PADA PENDERITA Perbedaan Antara Terapi Fibrinolitik Dan Heparinisasi Terhadap Perubahan St-Elevasi Pada Penderita Infark Miokard Akut Di RSUD Moewardi."

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN ANTARA TERAPI FIBRINOLITIK DAN HEPARINISASI TERHADAP PERUBAHAN ST-ELEVASI PADA PENDERITA

INFARK MIOKARD AKUT DI RSUD MOEWARDI

NASKAH PUBLIKASI

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajad Sarjana Kedokteran

Diajukan oleh : Anis Setyati J 50011 0092

FAKULTAS KEDOKTERAN

(2)
(3)

ABSTRAK

PERBEDAAN ANTARA TERAPI FIBRINOLITIK DAN HEPARINISASI TERHADAP PERUBAHAN ST-ELEVASI PADA PENDERITA

INFARK MIOKARD AKUT DI RSUD MOEWARDI

Anis Setyati, Sumardjo, Listiana Masyita Dewi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Latar Belakang. Infark miokard akut dengan ST-elevasi (STEMI) merupakan daerah nekrosis yang terjadi akibat oklusi total pada dinding pembuluh darah, sehingga terjadi akumulasi ekstraseluler K+. Terapi fibrinolitik memiliki peran sebagai pelarut trombus yang sudah terbentuk. Sedangkan heparinisasi hanya mencegah perluasan trombus. Perbaikan oklusi pada pembuluh darah ditandai dengan adanya penurunan ST-elevasi.

Tujuan. Untuk menganalisis perbedaan antara terapi fibrinolitik dan heparinisasi terhadap perubahan ST-elevasi pada penderita infark miokard akut.

Metode. Jenis penelitian yang digunakan adalah analitik observasional dengan pendekatan cross sectional. Penelitian dilaksanakan di bagian Rekam Medis RSUD Moewardi pada bulan November 2014-Januari 2015. Besar sampel yang digunakan sebanyak 50 pasien dengan teknikPurposive sampling.

Hasil. Dari 50 sampel yang mengalami penurunan ST-elevasi didapatkan 18 pasien dengan terapi fibrinolitik dan 9 pasien yang mendapat heparinisasi. Dengan menggunakan uji Chi-Square didapatkan nilai p=0,011 (<0,05), sehingga H1

diterima dan H0ditolak.

Kesimpulan. Terdapat perbedaan yang signifikan antara terapi fibrinolitik dan heparinisasi terhadap perubahan ST-elevasi pada penderita infark miokard akut di RSUD Moewardi pada tahun 2013-2014.

(4)

ABSTRACT

THE DIFFERENCE BEETWEN FIBRINOLYTIC THERAPY AND HEPARINIZATION TO ST-ELEVATION CHANGES IN PATIENTS

WITH ACUTE MYOCARDIAL INFARCTION AT RSUD MOEWARDI

Anis Setyati, Sumardjo, Listiana Masyita Dewi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Background. Acute myocardial infarction with ST-elevation (STEMI) was a

necrotic area resulted from total occlusion on the blood vessel wall, which lead to accumulation of extracellular K +. Fibrinolytic therapy had a big role solving the thrombus formed, meanwhile heparinization only prevents thrombus extension. Improved occlusion in the blood vessels characterized by decreasing of ST-elevation.

Aim.This study aimed to analyze the difference beetwen fibrinolytic therapy and heprinization to ST-elevation changes in patients with acute myocardial infarction.

Method. This study was observational analytic with cross sectional approach. This study was held at the medical record division of RSUD Moewardi in November 2014-January 2015. 50 samples divided into fibrinolytic and heparinization groups. Samples were taken using purposive sampling method. Results. Result from 50 patients had decreased >70% of ST-elevation in 18 patients with fibrinolytic threapy anda 9 patients with heparinization. From Chi-Square test, the p value = 0,011 (<0,05), so there was significant difference of heparinization and fibrinolytic groups.

Conclusion. There significant difference between fibrinolytic and heparinization treatment in ST-elevatin changes of acute myocardial infarction in Moewardi General Hospital 2013-2014.

(5)

PENDAHULUAN

Infark miokard akut merupakan suatu peristiwa besar kardiovaskuler yang

dapat mengakibatkan besarnya morbiditas dan angka kematian (Tabriz et al.,

2012). Laju mortalitas awal (30 hari) pada penderita infark miokard akut

mencapai 30% dengan lebih dari separuh kematian terjadi sebelum penderita

infark miokard mencapai rumah sakit (Alwi, 2009).

Penyakit kardiovaskuler di Amerika Serikat pada tahun 2005,

mengakibatkan 864.500 kematian atau 35,3% dari seluruh kematian pada tahun

itu, dan 151.000 kematian akibat infark miokard. Sebanyak 715.000 orang di

Amerika Serikat diperkirakan menderita infark miokard pada tahun 2012 (Li

Yulonget al., 2014).

Prevalensi penyakit jantung koroner di Indonesia tahun 2013 pada usia

≥15 tahun berdasar wawancara terdiagnosis dokter sebesar 0,5 % dan yang

berdasarkan terdiagnosis dokter atau gejala sebesar 1,5 %. Di Jawa Tengah

mencapai 0,5 % berdasar wawancara terdiagnosis dokter dan 1,4% diagnosis

dokter atau gejala (Riskesdas, 2013).

Penggunaan terapi fibrinolitik pada dasarnya bertujuan untuk

menyelamatkan miokardium dan restorasi cepat patensi arteri koroner (Stiermaier,

et al, 2013). Terapi fibrinolitik pada infark miokard akut masih merupakan

modalitas reperfusi penting jika belum bisa mendapat terapi PCI primer karena

alasan logistik (Sohlpouret al., 2014).

Terapi infark miokard lain yang dapat digunakan adalah heparinisasi.

Heparinisasi dapat diberikan pada keadaan infark anterior luas, risiko tinggi

trombisis, fungsi LV buruk, fibrilasi atrial dan onset STEMI >12 jam tanpa

revaskularisasi (Dharma, 2009).

Studi di Jerman dan Polandia dengan pengambilan sampel randomisasi

didapatkan 3030 pasien infark miokard dengan fibrinolitik. Hasilnya didapatkan

resolusi lengkap segmen ST mencapai 2,0% vs 1,2% dari total ST resolusi. Dari

hasil SPSS didapatkan nilai P <0,001, sehingga dikatakan terjadi perubahan yang

(6)

Penelitian sebelumnya yang dilakukan di Belanda mengenai terapi

heparinisasi (monoterapi heparin) yang dilakukan oleh Kinnaird, et alpada tahun

2013, dengan pemilihan sampel secara acak 200 pasien infark miokard akut

dengan ST elevasi. Hasil primer yang diperoleh ada yang meninggal, reinfark,

target revaskularisasi pembuluh darah dan stroke dan hasil sekundernya

didapatkan penurunan segmen ST.

Berdasar uraian diatas, peneliti bermaksud melakukan penelitian untuk

mengetahui lebih lanjut perbedaan antara terapi fibrinolitik dan heparinisasi

terhadap perubahan ST elevasi pada penderita infark miokard akut di RSUD

Moewardi.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada perbedaan

antara pemberian terapi fibrinolitik dan heparinisasi terhadap perubahan gambaran

ST-elevasi pada penderita infark miokard akut.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian observasional analitik

dengan pendekatan cross sectional. Dalam rancangan penelitian ini peneliti

melakukan pengukuran secara langsung dan diobservasi sekaligus pada saat

bersamaan untuk menilai perbedaan antara terapi fibrinolitik dan heparinisasi

terhadap perubahan ST-elevasi pada penderita infark miokard akut.

Penelitian ini dilakukan di Unit Rekam Medik Rumah Sakit Umum

Daerah Moewardi Surakarta pada bulan November 2013-Januari 2015. Sampel

yang digunakan dalam penelitian ini adalah pasien infark miokard akut dengan

ST-elevasi yang memenuhi kriteria retriksi.

Instrumen penelitian yang digunakan pada penelitian ini dengan data

sekunder, yaitu dokumen rekam medik pasien infark miokard akut rawat inap di

RSUD Moewardi. Untuk menganalisis data, peneliti menggunakan uji statistik

Chi-square dengan Statistical Program for Social Science (SPSS) 16,0 for

(7)

HASIL PENELITIAN

Tabel di atas dapat diketahui bahwa pasien infark miokard akut di RSUD

Moewardi paling banyak pada laki-laki sebanyak 33 pasien (66%), sedangkan

perempuan sebanyak 17 pasien (34%).

Tabel di atas dapat diketahui bahwa pasien infark miokard akut paling

banyak ditemui pada usia 66-75 tahun, yaitu 21 pasien (42%) dan yang paling

sedikit usia 36-45 tahun, yaitu 4 pasien (8%).

Tabel 3.Distribusi Sampel Berdasarkan Perbedaan Terapi Fibrinolitik dan Heparinisasi Terhadap Perubahan ST-Elevasi

Perubahan ST-elevasi

Total

>70% <30%

Terapi Fibrinolitik 18 (36%) 7 (14%) 25 (50%)

Heparinisasi 9 (18%) 16 (32%) 25 (50%)

Jumlah 27 (54%) 23 (46%) 50 (100%)

Berdasar tabel yang mengalami perubahan ST-elevasi >70% sebanyak 18

pasien dengan fibrinolitik dan 9 pasien dengan heparinisasi, sedangkan perubahan

ST-elevasi <30% sebanyak 7 pasien dengan fibrinolitik dan 16 pasien dengan

(8)

Berdasarkan tabel hasil analisis uji Chi-square menunjukkan significancy

p=0,011 antara terapi fibrinolitik dan heparinisasi terhadap perubahan ST-elevasi

pada penderita infark miokard akut.

PEMBAHASAN

Distribusi data berdasar jenis kelamin menunjukkan bahwa laki-laki lebih

banyak menderita IMA sebanyak 33 orang (66%) dibanding perempuan sebanyak

17 orang (34%). Hal tersebut sesuai dengan kepustakaan yang menyatakan bahwa

laki-laki memiliki risiko 2 kali lebih besar dari pada perempuan karena berkaitan

dengan estrogen endogen yang bersifat protektif pada perempuan (Gray et al.,

2010).

Penelitian dengan hasil yang serupa dilakukan oleh Edahiroet aldi Jepang

pada tahun 2014. Penelitian ini menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak

menderita infark miokard akut sebanyak 75,7% dari 7755 sampel dibandingkan

pada perempuan. Penelitian lain oleh Loch et al tahun 2013 di Malaysia yang

melibatkan 169 sampel dengan menggunakan uji Mann-Whitney, didapatkan

perbandingan penderita IMA laki-laki : perempuan adalah 145 : 24 pasien pada

periode studi pertama. Pada periode studi kedua dengan total sampel 128,

perbandingan antara laki-laki dan perempuan sebesar 118 : 10 pasien. Penelitian

serupa lain yang dilakukan oleh Prasetyo tahun 2014 di RS Dr. M. Djamil Padang,

menunjukkan bahwa pasien infark miokard akut laki-laki lebih banyak dibanding

perempuan. Perbandingan rasio antara laki-laki dengan perempuan adalah 2,6:1.

Berdasarkan usia menunjukkan bahwa yang paling banyak menderita

IMA pada kelompok usia 66-75 tahun sebayak 21 orang (42%). Hal ini

menunjukkan bahwa seiring bertambahnya usia akan berpengaruh dalam

penurunan fungsi organ dan sistem dalam tubuh. Pada fungsi kardiovaskuler,

pacemaker di SA node menurun sehingga pengisian ventrikel sinistra menurun

yang akan mengakibatkan daya pompa ke arteri koroner berkurang dan menjadi

daerah infark (Setiatiet al., 2010).

Penelitian serupa juga dilakukan oleh Edahiro et al di Jepang pada tahun

(9)

paling banyak pada usia 66 (57-74) tahun. Penelitian lain yang dilakukan oleh

Prasetyoet al tahun 2014 di Padang dengan sampel 54 pasien IMA menunjukkan

kelompok usia paling banyak adalah usia 40-60 tahun sebanyak 30 (55,56%)

pasien. Pada kelompok usia >60 tahun sebanyak 18 (33,33%) pasien. Penelian

yang sama dilakukan oleh Tabriz et al tahun 2012 di Iran. Penelitian tersebut

menunjukkan rata-rata usia yang menderita infark miokard akut adalah usia 61,2

tahun.

Sampel ditetapkan oleh peneliti sebanyak 50 sampel yang terdiri dari 25

sampel (50%) IMA yang diberi terapi fibrinolitik dan 25 sampel (50%) diberi

terapi heparinisasi. Pasien STEMI yang mengalami penurunan ST-elevasi >70%

sebanyak 18 pasien dengan terapi fibrinolitik dan 9 pasien dengan heparinisasi.

Sedangkan pasien STEMI yang mengalami penurunan ST-elevasi <30% sebanyak

7 pasien dengan terapi fibrinolitik dan 16 pasien dengan heparinisasi. Data

tersebut menunjukkan bahwa terapi fibrinolitik lebih efektif dalam menurunkan

ST-elevasi dari pada pasien yang diberi terapi heparinisasi.

Fibrinolitik memiliki kemampuan untuk melisiskan trombus pada

pembuluh darah, sehingga mengurangi nekrosis yang terjadi pada miokard,

sedangkan heparinisasi hanya mempertahankan oklusi pada dinding pembuluh

darah. Pada penelitian lain, terapi trombolitik lebih signifikan dalam menurunkan

angka kematian atau reinfark dibanding heparin (fondaparinux). Pasien diberi

fondaparinux memiliki manfaat yang signifikan pada pasien dengan trombolisis (p

= 0,003) dan tanpa pemberian trombolitik (p = 0,03) (Yusufet al., 2006).

Penelitian lain yang dilakukan oleh Firdaus tahun 2012 di Jakarta,

menunjukkan bahwa sampel yang diberi fibrinolitik saja dan dengan IKP

(Intervensi Koroner Perkutan) terdapat perbedaan yang signifikan dalam tingkat

kematian dan reinfark, yaitu nilai p=0,021 (13% vs 4,0%). Pemberian fibrinolitik

pra-Rumah Sakit akan mengurangi angka kematian dibanding pemberian di

Rumah Sakit. Keberhasilan terapi fibrinolitik ditandai dengan berkurangnya rasa

nyeri dada, penurunan ST-elevasi >50% dan enzim jantung mencapai kadar

(10)

Tingkat resolusi segmen ST dalam 12 sadapan elektrokardiografi awal

setelah reperfusi pada pasien infark miokard akut dengan ST-elevasi sangat

penting untuk memprediksi jangka pendek atau panjang kematian dengan nilai

p<.001. Resolusi segmen ST-elevasi merupakan salah satu tanda untuk menilai

prognostik pada elektrokardiografi (Zeymeret al., 2005).

Analisa data yang didapatkan peneliti, menunjukkan bahwa terapi

fibrinolitik dan heparinisasi memiliki efektifitas menurunkan ST-elevasi dengan

Odds Ratio (OR) 4.571. Analisa uji Chi-Square pada penelitian ini didapatkan

nilai p = 0,011 (<0,05) menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara

terapi fibrinolitik dan heparinisasi terhadap perubahan ST-elevasi pada penderita

infark miokard akut. Penelitian ini telah didukung oleh beberapa penelitian yang

sudah dijelaskan diatas.

Setelah melakukan penelitian, peneliti menemukan beberapa kelemahan

sebagai berikut :

a. Sampel kurang banyak bila dibandingkan penelitian serupa

b. Peneliti hanya menggunakan data sekunder

c. Jenis penelitian menggunakancross sectional

d. Hasil rekaman EKG kurang jelas, sehingga menyulitkan peneliti dalam

mengambil data

e. Pengelompokan usia terlalu jauh

f. Pengambilan sampel tidak dikelompokkan setiap bulan

KESIMPULAN

Terdapat perbedaan yang signifikan antara terapi fibrinolitik dan

heparinisasi terhadap perubahan ST-elevasi pada penderita infark miokard akut

dengan taraf signifikansi p <0,05.

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimakasih kepada dr. Sumardjo, Sp. PD dan dr. Listiana Masyita

(11)

DAFTAR PUSTAKA

Alwi Idrus. 2009.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Infark Miokard Akut dengan

Elevasi ST Jilid III. 4th ed. Jakarta, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia, pp 1741-54.

Dawkins K., Busk M., et al., 2011. Association between ST segment Resolution following Fibrinolytic therapy or Intracoronary stenting, and Reinfarction in

the same myocardial region in the DANAMI-2 study population.Journal of

BMJ. 12(2) : 75-81.

Dewoto H. R., 2011. Farmakologi dan Terapi : Antikoagulan, Antitrombotik, Trombolitik dan Hemostatik. Edisi 5. Jakarta : Badan Penerbitan FKUI, pp 806-10.

Dharma S. 2010.Pedoman Praktis : Sistematika Interpretasi EKG. Jakarta : ECG.

Edahiro R., Sakata Y., Nakatani D., et al., 2014. Association of lifestyle-related factors with circadian onset patterns of acute myocardial infarction: a prospective observational study in Japan.BMJ Open. 4:1-11.

Firdaus I., 2012. Strategi Farmako-Infasif pada STEMI Akut. Jurnal Kardiologi Indonesia. 4(32) : 266-71.

Gray H.H., Dawkins K.D., et al., 2005. Lecture Notes : Kardiologi. Edisi IV. Jakarta : Erlangga, pp 135-45.

Hollenberg, Walker. 2006. A practical guide ; Cardiology in Family Practice. Totowa, New Jersey : Humana Press Inc, pp 7.

Kinnaird Tim, Medic Goran, et al., 2013. Relative Efficacy of Bivalirudin Versus Heparin Monotherapy In Patients with ST-Segment Elevation Myocardial Infarction Treated with Primary Percutaneous Coronary Intervention: A Network Meta-Analysis.Journal of Blood Medicine. 4 : 129-40.

Li Yulong, Rukshin Iris, et al., 2014. The Impact of the 2008-2009 Economic Recession on Acute Myocardial Infarction Occurrences in Various Socioeconomic Areas of Raritan Bay Region, New Jersey. Journal of Medical Sciences. 6(5) : 215-18.

Loch A., Lwin T., Zakaria I. M., et al., 2013. Failure to improve door-to-needle time by switching to emergency physician-initiated thrombolysis for ST elevation myocardial infarction.Postgrad Med J. 89 : 335-9.

(12)

Notoatmodjo S., 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta pp. 124-125.

Paul W. A., Wagner G., et al., 2003. ST Segment Resolution in ASSENT 3: Insights Into The Role Of Three Different Treatment Strategies For Acute Myocardial Infarction.European Heart Journal. 24 : 1515-22.

Prasetyo R. D., Syafri M., Efrida. 2014. Gambaran Kadar Troponon T Creatinin Kinase Myocardial Band pada Infark Miokard Akut. Jurnal Kesehatan Andalas. 3(3) : 447-51.

Riskesdas. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Diakses tanggal 23 April 2014 http://www.rikesdas2013.pdf.

Sargowo D., 2008.Management of Acute Coronary Syndrome. Malang : Fakultas

Kedokteran Universitas Brawijaya, pp 2-12.

Setiati S., Harimurti K., et al., 2009.Proses Menua dan Implikasi Klinisnya dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi 5. Jakarta, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia, pp 1335-40.

Solhpour A., et al., 2014. Fibrinolytic Theraphy in Patients with ST-Elevation Myocardial Infarction. Journal of American Heart Association. 2(12):201-15.

Stiermaier T., et al., 2013. Reperfusion Strategies in ST-Elevation Myocardial Infarction.Journal of American Heart Association. 4(104) : 391-411.

Tabriz A. A., et al., 2012. Factors Associated with Delay in Thrombolytic Theraphy in Patients with ST-Elevation Myocardial Infarction. Journal of Tehran University Heart Center.2(7) : 65-71.

Yusuf S., Mehta S. R., et al., 2006. Effects of Fondaparinux on Mortality and Reinfarction in Patients with Akut ST Segmen Elevation Myocardial Infarction : The OASIS-6 Randomized Trial.JAMA. 295(13), pp 1519-30.

Gambar

Tabel 4. Analisis Uji Statistik Chi-Square

Referensi

Dokumen terkait

Sampah-sampah ini berasal dari limbah buangan rumah tangga yang sengaja oleh warga dibuang ke sungai atau ke pinggir sungai yang membuat tanah-tanah di pinggir sungai

Seseorang siswa yang belajar dengan motivasi kuat, akan melaksanakan semua kegiatan belajarnya dengan sungguh-sungguh penuh, gairah atau semangat. Sebaliknya, belajar

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh sikap kemandirian siswa pada siklus I sebanyak 84,1% dengan kriteria mandiri dan pada siklus II sebanyak 98,75%, sehingga mengalami

Marketing Pada Agen Tour Kaye Bromo menggunakan SDLC, berikut ini adalah skema yang digunakan berikut ini adalah gambar skema metodologi penelitian yang diterapkan... Analis:

[r]

Oleh karena itu dalam penelitian ini akan dibuat formulasi nanopartikel ekstrak buah naga dalam sediaan lipstik sebagai sumber zat antioksidan dan zat warna

Sehingga dibutuhkan sebuah sistem yang dapat membantu pegawai dari mulai pendaftaran,poli gigi, poli umum, pemberian obat sampai pelaporan, Metode yang digunakan

Pada penulisan ilmiah ini, penulis mencoba mendesain web non komersial mengenai Teknologi Multimedia MP3 yang berkembang saat ini dengan menggunakan Flash MX dan Internet Explorer