• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Kinetika Perubahan Mutu Tempe selama Proses Pemanasan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Kinetika Perubahan Mutu Tempe selama Proses Pemanasan"

Copied!
137
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

STUDI KINETIKA PERUBAHAN MUTU TEMPE SELAMA PROSES PEMANASAN

Oleh SUHENDRI

F24052033

2009

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SKRIPSI

STUDI KINETIKA PERUBAHAN MUTU TEMPE SELAMA PROSES PEMANASAN

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh SUHENDRI

F24052033

2009

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

STUDI KINETIKA PERUBAHAN MUTU TEMPE SELAMA PROSES PEMANASAN

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh SUHENDRI

F24052033

Dilahirkan pada tanggal 15 Desember 1987 di Jambi

Tanggal lulus : Oktober 2009 Menyetujui,

Bogor, 1 Oktober 2009

Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc. Dr. Eko Hari Purnomo, S.TP, M.Sc. Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Dahrul Syah

(4)

SUHENDRI. F24052033. Studi Kinetika Perubahan Mutu Tempe selama Proses Pemanasan. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc. dan Dr. Eko Hari Purnomo, S.TP, M.Sc.

RINGKASAN

Tempe merupakan produk fermentasi tradisional Indonesia dari kacang kedelai dengan menggunakan kapang. Kapang utama yang berperan dalam fermentasi tempe adalah Rhizopus sp. Konsumsi tempe kedelai di Indonesia cenderung menurun selama lima tahun terakhir, yaitu dari 22.7 g/kapita/hari pada tahun 2002 menjadi 21.7 g/kapita/hari pada tahun 2007 (Hardinsyah et. al, 2008). Djanuwardi dan Silitonga (2001) menyatakan bahwa pada tahun 1983 sekitar 50% konsumsi kedelai di Indonesia digunakan untuk produk tempe.

Penyimpanan tempe segar pada suhu ruang memiliki keterbatasan umur simpan, yaitu sekitar 48 jam (Nuraini, 1995). Terbatasnya umur simpan tempe segar disebabkan aktivitas enzimatik dari kapang tempe. Kerusakan tempe dapat dilihat dari perubahan warna miselium kapang menjadi coklat, pelunakan tekstur dan pembentukan odor amonia (Nout dan Rambots, 1990) yang terjadi akibat degradasi protein oleh enzim-enzim proteolitik menghasilkan amoniak (NH3).

Penelitian ini merupakan penelitian dasar untuk mempelajari kinetika perubahan mutu tempe selama proses pemanasan. Proses pemanasan atau termal sebagai aplikasi pengolahan pada bahan pangan tertentu diketahui dapat memperpanjang umur simpan. Studi pengawetan tempe selama ini masih dilakukan tanpa informasi dasar mengenai kinetika perubahan mutu tempe. Untuk itu studi kinetika perubahan mutu tempe selama pemanasan merupakan dasar untuk merancang proses termal dari segi mutu produk. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan profil kinetika proses panas (k dan Ea) berbagai parameter mutu tempe yang terkait dengan fresh like quality, yaitu tekstur, kecerahan warna, warna secara organoleptik, bau, dan rasa. Selain itu juga dilakukan pengamatan terhadap derajat keasaman dan profil slicing quality tempe hasil pemanasan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mutu freshness pada tempe relatif mudah mengalami degradasi akibat proses pemanasan yang terjadi. Konstanta laju reaksi (k) untuk degradasi mutu tekstur, kecerahan warna, warna secara organoleptik, dan bau secara organoleptik pada suhu 60°C adalah 0.090, 0.016, 0.244, dan 0.151 /menit; pada suhu 70°C adalah 0.102, 0.019, 0.280, dan 0.185 /menit; serta pada suhu 80°C adalah 0.105, 0.022, 0.300, dan 0.229 /menit. Sementara nilai D (2.303/k) untuk degradasi mutu tekstur, kecerahan warna, warna secara organoleptik, dan bau secara organoleptik pada suhu 60°C adalah 25.6, 144, 9.44, dan 15.3 menit; pada suhu 70°C adalah 22.6, 121, 8.23, dan 12.4 menit; serta pada suhu 80°C adalah 21.9, 105, 7.68, dan 10.1 menit.

(5)

sedangkan perubahan mutu rasa secara organoleptik tidak memiliki trendline yang mengikuti model kinematika secara umum.

Data kinetika perubahan mutu yang ada menunjukkan bahwa tekstur merupakan parameter mutu yang lebih resisten terhadap peningkatan suhu pemanasan. Sementara bau secara organoleptik paling sensitif terhadap peningkatan suhu pemanasan. Warna secara organoleptik merupakan atribut mutu yang paling sensitif pada pemanasan suhu rendah, sedangkan kecerahan warna yang diukur dengan instrumen analisis merupakan mutu yang paling resisten pada pemanasan suhu rendah.

(6)

RIWAYAT HIDUP

Suhendri dilahirkan pada tanggal 15 Desember 1987 di Jambi dan merupakan putera pertama dari pasangan Sugianto Soh dan Yati. Pendidikan yang ditempuh penulis yaitu TK Attaufiq Jambi (1992-1993), SD Attaufiq Jambi (1993-1999), SMP Negeri 1 Jambi (1999-2002), dan SMA Negeri 3 Jambi (2002-2005).

Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2005 melalui jalur masuk USMI dengan program studi Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian (2006). Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan seperti kepala divisi kewirausahaan (2007-2008) UKM KMB-IPB, Staf Solusi IT Himitepa IPB (2007-2008), Sekretaris Food Processing Club HIMITEPA (2007-2008), dan Kepala Administrator CCFT-IPB (2008-2009). Adapun seminar dan pelatihan yang pernah diikuti di antaranya adalah Pelatihan Good Laboratory Practices (2008), Business Revolution (2008), dan Frisian Flag Campus Program -Leadership Training (2008).

Selama menempuh pendidikan di perguruan tinggi, penulis memp eroleh beasiswa Tanoto Foundation (2006-2009). Beberapa karya ilmiah yang dihasilkan oleh penulis di antaranya “Aplikasi Edible Film sebagai Kemasan Ramah Lingkungan pada Bumbu Instant Kering” dalam Program Kreativitas Mahasiswa bidang Penerapan Teknologi 2008); “Sintesis dan Karakterisasi Biodiesel dari Minyak Biji Karet (Hevea brasiliensis) melalui Proses Estrans

(Esterifikasi-Transesterifikasi)” dalam Lomba Inovasi Teknologi Lingkungan, Institut

Teknologi Sepuluh November, Surabaya (2009); “Pengembangan Produk Flower Leather dari Kelopak Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa l.) sebagai Makanan Ringan yang Bersifat Fungsional” dalam National Agroindustry Product Design Competition Universitas Brawijaya (2009); dan “Aplikasi Proses Termal sebagai Solusi Umur Simpan Pendek pada Tempe” dalam Program Kreativitas Mahasiswa bidang Penelitian (2009). Untuk menyelesaikan tugas akhirnya, penulis melakukan penelitian dan menulis skripsi dengan judul „Studi Kinetika Perubahan

Mutu Tempe selama Proses Pemanasan” di bawah bimbingan Dr. Ir. Purwiyatno

(7)

i KATA PENGAN TAR

Puji dan rasa syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat rahmat-Nya sehingaa penulis dapat menyelesaikan penelitian

ini yang berjudul “Studi Kinetika Perubahan Mutu Tempe Selama Proses Pemanasan”.

Melalui kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu hingga skripsi ini selesai ditulis, terutama kepada:

1. Mama dan Papa tersayang, adikku, serta seluruh anggota keluarga yang senantiasa mendoakan dan memberikan motivasi untuk setiap langkah, dan atas pengorbanan serta kasih sayang yang tak terhingga. Juga untuk nenek yang memberikan pesan terakhir yang begitu bermanfaat.

2. Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc. selaku Dosen Pembimbing I yang te lah berkenan meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan penulis selama kuliah hingga penyusunan skripsi. Juga untuk motivasi dan arahannya yang terus mendorong penulis untuk menjadi individu yang profesional.

3. Dr. Eko Hari Purnomo, S.TP, M.Sc. selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktunya dan sabar membantu penulis dalam penelitian dan penyelesaian skripsi. Penulis juga mengucapkan terima kasih untuk setiap masukan- masukan yang diberikan.

4. Elvira Syamsir, S.TP, M.Si atas kesediaan waktunya sebagai Dosen Penguji dan atas nasehat-nasehat yang memberikan masukan positif kepada penulis.

5. Seluruh dosen dan staf Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dimana penulis mendapat banyak ilmu dan pelajaran hidup.

6. Prof. Dr. Ir. H. Hardinsyah, MS yang memberikan pengetahuan dan prosiding seminar tempe serta artikel-artikel yang luar biasa.

(8)

ii 8. Laboran dan staf laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan Pilot Plan SEAFAST Center IPB, Mbak Sofa, Bi Ntin, Pak Jun, Bu Ari, Pak Gatot, Bu Rubiyah, Mbak Darsih, Pak Yahya, atas bantuan dan kerjasamanya.

9. Semua sahabat ITP 42, terutama Kenchi, Glenn, Adi Leo, Fahmi, Rheiner, Arya, Yusie, Irene, Vero, Mujie, Galih, Tjan, Wiwi, Caca, Belinda, Stella, Eveline, Kallista, Vera, Cath, Dion, Sisi, Ari T.P., Hesti, Aji, Kamlit, Nina, Veni, Venty, Tuti, Midun, Acel, Nanda, Peye, Sobur, Bombay, Riza, Gia, dan Tiwi. Kalian adalah sahabat yang baik.

10.Teman-teman administrator CCFT-IPB, Zakaw, Ikhwan, Dzikrie, Manik, Richie, ka Kani, ka Faried, juga untuk ka Hans CW dan Hans Puke. Penulis banyak belajar dari kalian semua.

11.Teman-teman di UKM KMB-IPB yang selalu memberikan motivasi spiritual kepada penulis.

12.Teman-teman di HIMAJA Bogor yang berbagi suka duka dan menjadi keluarga di Bogor ini, terutama untuk Najmi, Roni, dan Dani yang telah menjadi sahabat sejak SMA.

13.Teman-teman di Puri Riveria, Goto, Dial, Dika, Budi, Icuz, Ivan, Deni, Feriana, Yurin, Margaret, Fenny, Penfen, Limas, Martin, Nikson, Adi Bojo, Stefhany, Fery, Heri, Melvin yang menjadi keluarga dan memberikan semangat kepada penulis.

14.Seluruh pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu yang telah banyak mendukung penulis selama ini.

Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Bogor, September 2009

(9)

iii DAFTAR ISI

Halaman ABSTRAK

KATA PENGAN TAR………... i

DAFTAR ISI………... iii

DAFTAR TABEL………... v

DAFTAR GAMBAR……….... vi

DAFTAR LAMPIRAN……….... viii

I. PENDAHULUAN……….. 1

A. LATAR BELAKANG……….… 1

B. TUJUAN PENELITIAN……...………... 3

C. MANFAAT ...………. 3

II. TINJAUAN PUSTAKA………...……. 4

A. TEMPE ...……….. 4

B. MUTU TEMPE ... 8

C. KERUSAKAN MUTU TEMPE ... 10

D. PROSES TERMAL ... 13

E. KINETIKA PERUBAHAN MUTU ... 15

III. METODOLOGI PENELITIAN……….……….….. 19

A. BAHAN DAN ALAT……….………. 19

B. METODE PENELITIAN…………...………... 19

1. Penelitian Pendahuluan …...………... 20

a. Persiapan Sampel ... 20

b. Penentuan Pola Peningkatan Suhu Pusat Geometris Tempe selama Pemanasan ... 20

c. Pemanasan Sampel ... 21

d. Analisis ... 21

i. Tesktur ... 21

ii. Warna ... 21

iii. Derajat Keasaman ... 22

(10)

iv

v. Slicing Quality ... 23

2. Penelitian Utama ... 24

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN……….. 25

A. PENELITIAN PENDAHULUAN ... 25

1. Kalibrasi Termokopel ………... 25

2. Penentuan Pola Peningkatan Suhu Pusat Geometris Tempe Selama Pemanasan ... 25

3. Penentuan Waktu Pemanasan untuk Penentuan Parameter Kinetika .. 26

B. PENELITIAN UTAMA ... 29

1. Tekstur ... 29

2. Warna ... 31

3. Mutu Organoleptik ... 32

4. Penentuan Orde Reaksi ... 35

5. Penentuan Parameter Kinetika ... 42

6. Derajat Keasaman ... 47

7. Slicing Quality ... 48

8. Peta Decimal Reduction Time ... 50

V. KESIMPULAN DAN SARAN... 52

A. KESIMPULAN... 52

B. SARAN... 53

DAFTAR PUSTAKA... 54

(11)

v DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Syarat mutu tempe kedelai ... 4

Tabel 2. Perbedaan Mutu Gizi Kedelai Mentah dan Tempe ... 6

Tabel 3. Komposisi Zat Gizi Tempe dalam 100 g Bahan yang dapat dimakan (Bdd) dan 100 g bahan kering ... 7

Tabel 4. Penyimpangan Mutu Tempe Kedelai ... 11

Tabel 5. Kombinasi Suhu dan Waktu untuk Menurunkan Jumlah Mikroba pada Level yang Sama ... 16

Tabel 6. Perlakuan Pendahuluan untuk Setiap Parameter ... 21

Tabel 7. Persamaan Kurva Kalibrasi Termokopel ... 25

Tabel 8. Nilai Koefisien Determinasi (R2) Reaksi Degradasi Mutu Tempe ... 36

Tabel 9. Nilai Konstanta Laju Reaksi (1/menit) dan D (menit) Reaksi Degradasi Mutu Tempe ... 42

Tabel 10. Nilai Energi Aktivasi (Ea) dan Z Perubahan Mutu Tempe ... 44

Tabel 11. Nilai D, Z, dan Ea beberapa Komponen Mutu ... 47

(12)

vi DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Gambar 2. Gambar 3. Gambar 4. Gambar 5. Gambar 6. Gambar 7. Gambar 8. Gambar 9. Gambar 10. Gambar 11. Gambar 12. Gambar 13. Gamvar 14. Gambar 15.

Kerusakan Mutu pada Tempe ... Thermal Reduction Time sebagai Hubungan antara Waktu dan

Kuantitas Mikroorganisme ... Kurva Semi Logaritma Hubungan Suhu dengan Nilai D ... Diagram Alir Penelitian ... Peningkatan Suhu Pusat Geometris Tempe Selama Pemanasan

dalam Medium Pemanas Air dengan Ukuran Sampel 2cm x 2cm x

2cm ... Perubahan Mutu (a) Tekstur dan (b) Warna pada Suhu Pemanasan

60°C, 70°C, dan 80°C ... Perubahan Warna Tempe selama Proses Pemanasan pada Suhu

60°C ... Perubahan Nilai Kedalaman Penetrasi Tempe selama Pemanasan

hingga Menit ke-5 ... Perubahan Lightness Tempe selama Pemanasan hingga Menit ke-5 ... Perubahan (a) Warna, (b) Bau dan (c) Rasa pada Tempe yang

Dipanaskan Menurut Pengamatan dengan Uji Sensori ... Degradasi Tekstur Tempe yang Mengikuti Orde Reaksi (a) Nol dan (b) Pertama ... Degradasi Warna Tempe yang Mengikuti Orde Reaksi (a) Nol dan (b) Pertama ... Degradasi Warna Tempe secara Organoleptik yang Mengikuti

Orde Reaksi (a) Nol dan (b) Pertama ... Degradasi Bau Tempe secara Organoleptik yang Mengikuti Orde

Reaksi (a) Nol dan (b) Pertama ... Degradasi Rasa Tempe secara Organoleptik yang Mengikuti Orde Reaksi (a) Nol dan (b) Pertama ...

(13)

vii Gambar 16.

Gambar 17.

Gambar 18. Gambar 19.

Gambar 20.

Gambar 21.

Hubungan antara (a) Nilai 1/T terhadap In k dan (b) Suhu dan Log

D, untuk mutu Tesktur dan Warna ... Hubungan antara (a) Nilai 1/T terhadap In k dan (b) Suhu dan Log

D, untuk mutu Warna dan Bau secara Organoleptik ... Perubahan pH Tempe selama Pemanasan hingga Menit ke-5 ... Hasil Pengirisan pada Tempe yang Dipanaskan pada Suhu 60°C

selama 1, 2, 3, 4, 5, 10, 15, 20, 25, dan 30 menit ... Gaya Maksimum yang Diperlukan dalam Pengirisan Tempe Hasil

Pemanasan (kg) oleh Warner-Bratzler Blade ... Nilai D untuk Mutu Tekstur, Warna, Warna secara Organoleptik,

Bau secara Organoleptik, dan Kapang Khamir

pada Berbagai Suhu ... 45

46 48

49

50

(14)

viii DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Data Kalibrasi Termokopel ... 58

Lampiran 2. Peningkatan Suhu Pusat Geometris Tempe selama Pemanasan ... 65

Lampiran 3. Kedalaman Penetrasi Jarum Penetrometer (mm/5.0 detik) pada Tempe yang Dipanaskan pada Suhu 60⁰C, 70⁰C, dan 80⁰C selama 1, 2, 3, 4, 5, 8 dan 15 menit ... 66

Lampiran 4a. Tingkat Kecerahan (Lightness) pada Tempe Segar ... 68

Lampiran 4b. Tingkat Kecerahan (Lightness) pada Tempe yang Dipanaskan pada Suhu 60⁰C selama 1, 2, 3, 4, 5, 8 dan 12 menit ... 69

Lampiran 4c. Tingkat Kecerahan (Lightness) pada Tempe yang Dipanaska n pada Suhu 70⁰C selama 1, 2, 3, 4, 5, 8 dan 12 menit ... 73

Lampiran 4d. Tingkat Kecerahan (Lightness) pada Tempe yang Dipanaskan pada Suhu 80⁰C selama 1, 2, 3, 4, 5, 8 dan 12 menit ... 77

Lampiran 5. Perubahan Nilai pH pada Tempe yang Dipanaskan pada Suhu 60⁰C, 70⁰C, dan 80⁰C selama 1, 2, 3, 4, dan 5 menit ... 81

Lampiran 6. Skor Penilaian Warna secara Organoleptik Tempe yang Dipanaskan pada Suhu 60⁰C, 70⁰C, dan 80⁰C Selama 0.8, 0.25, 0.5, 1, dan 2 menit ... 82

Lampiran 7. Skor Penilaian Bau secara Organoleptik Tempe yang Dipanaskan pada Suhu 60⁰C, 70⁰C, dan 80⁰C Selama 0.8, 0.25, 0.5, dan 1 menit ... 84

Lampiran 8. Skor Penilaian Rasa secara Organoleptik Tempe yang Dipanaskan pada Suhu 60⁰C, 70⁰C, dan 80⁰C Selama 1, 5, 10, 20, dan 30 menit ... 86

Lampiran 9. Perhitungan Nilai k untuk Mutu Tekstur ... 88

Lampiran 10. Perhitungan Nilai k untuk Mutu Warna ... 89

Lampiran 11. Perhitungan Nilai k untuk Mutu Warna Secara Organoleptik ... 90

Lampiran 12. Perhitungan Nilai k untuk Mutu Bau secara Organoleptik ... 91

(15)

ix Lampiran 14. Perhitungan Nilai D untuk Parameter Tekstur, Warna, Warna Organoleptik, dan Bau Organoleptik ...

93 Lampiran 15a. Penampakan Hasil Irisan Tempe yang dipanaskan pada Suhu

70°C ... 94 Lampiran 15b. Penampakan Hasil Irisan Tempe yang dipanaskan pada Suhu

80°C ... 94 Lampiran 16. Penampakan Hasil Penggorengan Tempe yang Telah Dipanaskan

pada Suhu 60°C ... 95 Lampiran 17. Kurva Hubungan antara Waktu Pengirisan dan Gaya pada Tempe

Segar ... 96 Lampiran 18a. Kurva Hubungan antara Waktu Pengirisan dan Gaya pada Tempe

Hasil Pemanasan 60°C selama 1 Menit ... 97 Lampiran 18b. Kurva Hubungan antara Waktu Pengirisan dan Gaya pada Tempe

Hasil Pemanasan 60°C selama 5 Menit ... 98 Lampiran 18c. Kurva Hubungan antara Waktu Pengirisan dan Gaya pada Tempe

Hasil Pemanasan 60°C selama 10 Menit ... 99 Lampiran 18d. Kurva Hubungan antara Waktu Pengirisan dan Gaya pada Tempe

Hasil Pemanasan 60°C selama 20 Menit ... 100 Lampiran 18e. Kurva Hubungan antara Waktu Pengirisan dan Gaya pada Tempe

Hasil Pemanasan 60°C selama 30 Menit ... 101 Lampiran 19a. Kurva Hubungan antara Waktu Pengirisan dan Gaya pada Tempe

Hasil Pemanasan 60°C selama 1 Menit ... 102 Lampiran 19b. Kurva Hubungan antara Waktu Pengirisan dan Gaya pada Tempe

Hasil Pemanasan 60°C selama 5 Menit ... 103 Lampiran 19c. Kurva Hubungan antara Waktu Pengirisan dan Gaya pada Tempe

Hasil Pemanasan 60°C selama 10 Menit ... 104 Lampiran 19d. Kurva Hubungan antara Waktu Pengirisan dan Gaya pada Tempe

Hasil Pemanasan 60°C selama 20 Menit ... 105 Lampiran 19e. Kurva Hubungan antara Waktu Pengirisan dan Gaya pada Tempe

Hasil Pemanasan 60°C selama 30 Menit ... 106 Lampiran 20a. Kurva Hubungan antara Waktu Pengirisan dan Gaya pada Tempe

(16)

x Lampiran 20b. Kurva Hubungan antara Waktu Pengirisan dan Gaya pada Tempe

Hasil Pemanasan 60°C selama 5 Menit ... 108 Lampiran 20c. Kurva Hubungan antara Waktu Pengirisan dan Gaya pada Tempe

Hasil Pemanasan 60°C selama 10 Menit ... 109 Lampiran 20d. Kurva Hubungan antara Waktu Pengirisan dan Gaya pada Tempe

Hasil Pemanasan 60°C selama 20 Menit ... 110 Lampiran 20e. Kurva Hubungan antara Waktu Pengirisan dan Gaya pada Tempe

(17)

1 I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Tempe merupakan produk pangan yang sangat popular di Indonesia yang diolah dengan proses fermentasi kedelai dalam waktu tertentu menggunakan kapang Rhizopus sp. Tempe umumnya tidak dikonsumsi langsung, melainkan melalui proses pemanasan terlebih dahulu untuk meningkatkan flavour dan mutu santap lainnya. Pada awal tahun 1960-an tempe masih dianggap sebagai komoditas inferior yang hanya dikonsumsi lapisan masyarakat menengah ke bawah. Namun perkembangan ilmu pengetahuan berhasil menyingkap potensi dan khasiat tempe sehingga dapat menembus pasar lapisan menengah ke atas.

Konsumsi kedelai Indonesia pada tahun 2007 adalah 21.7 g/kapita/hari atau setara dengan 7.9 kg/kapita/tahun. Konsumsi tempe kedelai di Indonesia cenderung menurun selama lima tahun terakhir, yaitu dari 22.7 g/kapita/hari pada tahun 2002 menjadi 21.7 g/kapita/hari pada tahun 2007 (Hardinsyah et. al, 2008). Djanuwardi dan Silitonga (2001) menyatakan bahwa pada tahun 1983 sekitar 50% konsumsi kedelai di Indonesia digunakan untuk produk tempe, 40% untuk produk tahu, dan 10% untuk produk olahan kedelai lainnya (kecap dan tauco).

Sebagai salah satu produk berbasis kedelai, tempe memiliki manfaat kesehatan yang cukup tinggi. Tempe mengandung asam amino esensial, asam lemak esensial, vitamin B kompleks dan serat. Tempe kedelai juga mempunyai protein dengan daya cerna yang tinggi. Tempe dapat dijadikan sebagai sumber protein di daerah-daerah yang memiliki masalah kurang zat gizi protein.

(18)

2 dan anak balita penderita gizi buruk dan diare kronis. Dengan pemberian tempe, pertumbuhan berat badan penderita gizi buruk akan meningkat dan diare menjadi sembuh dalam waktu singkat. Pengolahan kedelai menjadi tempe akan menurunkan kadar rafinosa dan stakiosa, yaitu suatu senyawa penyebab timbulnya gejala flatulensi.

Selain sebagai sumber protein, tempe juga memiliki manfaat fungsional yang menjadikan produk ini bernilai tambah tinggi. Tempe mengandung isoflavon yang merupakan antioksidan yang sangat diperlukan tubuh dalam menghentikan reaksi pembentukan radikal bebas. Potensi tempe yang begitu besar tentu saja menjadikan tempe sebagai produk yang memiliki peluang ekspor tinggi. Hanya saja kendala umur simpan dan mutu menjadi faktor pembatas.

Penyimpanan tempe segar pada suhu ruang memiliki keterbatasan umur simpan, yaitu sekitar 72 jam (Kasmidjo, 1996). Terbatasnya umur simpan tempe segar disebabkan aktivitas enzimatik dari kapang tempe. Kerusakan tempe dapat dilihat dari tanda-tanda adanya perubahan warna miselium kapang menjadi coklat, pelunakan tekstur dan pembentukan odor amonia (Nout dan Rambots, 1990). Selama fermentasi akan terjadi degradasi protein, semakin lama proses fermentasi berlangsung, protein akan terdegradasi oleh enzim- enzim proteolitik menghasilkan amoniak (NH3). Produksi amoniak akan berkorelasi positif dengan pembentukan senyawa basa, akibatnya pH meningkat dan akhirnya menghasilkan bau busuk.

Upaya memperpanjang umur simpan tempe telah banyak dilakukan. Prinsip pengawetan tempe pada dasarnya adalah menghentikan aktivitas kapang sebagai penyebab utama kerusakan tempe dan faktor- faktor kerusakan dari lingkungan. Upaya yang telah dilakukan antara lain berupa modifikasi suhu penyimpanan, proses, maupun kemasan yang digunakan. Hal yang harus dipertimbangkan dalam memilih metode memperpanjang umur simpan produk adalah mutu produk tersebut. Selain itu diperlukan juga kajian aspek biaya dan energi lebih jauh.

(19)

3 mempertimbangkan aspek mutu produk. Proses termal adalah aplikasi panas pada bahan pangan tertentu untuk memperpanjang umur simpannya. Pasteurisasi adalah salah satu contoh proses thermal yang dapat diterapkan pada industri rumah tangga dengan biaya yang relatif terjangkau. Proses panas ini dapat diterapkan pada tempe untuk menghentikan proses fermentasi berkelanjutan yang merupakan sumber utama kerusakan pada tempe. Setelah tempe mendapat perlakuan panas, diharapkan umur simpan tempe akan bertambah tanpa adanya perubahan nilai gizi maupun sensori.

Kinetika perubahan mutu tempe selama proses pemanasan dapat memberikan gambaran sensitivitas perubahan mutu tempe terhadap proses pemanasan. Perubahan mutu tempe diharapkan dapat dikendalikan berdasarkan parameter kinetika yang diperoleh sehingga proses panas dapat diaplikasikan menjadi lebih optimal.

B. TUJUAN PEN ELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan profil kinetika proses panas berbagai parameter fisik dan mutu tempe. Parameter tersebut menjadi dasar pertimbangan penggunaan proses panas sebagai alternat if metode memperpanjang umur simpan tempe kacang kedelai. Diharapkan dalam penelitian ini akan diperoleh nilai decimal reduction time (D value) dan Z value untuk parameter tekstur, warna, mutu organoleptik (warna, bau, dan rasa) sebagai karakteristik kecuk upan proses termal tempe kedelai, pH dan profil slicing quality dari sampel tempe hasil pemanasan, serta peta alternatif proses panas dengan pertimbangan beberapa mutu.

C. MANFAAT

(20)

4 II. TINJAUAN PUSTAKA

A. TEMPE

Tempe merupakan produk fermentasi tradisional Indonesia yang umumnya difermentasi dengan menggunakan kapang Rhizopus oligosporus. Menurut Edinur (2008), Standar Nasional Indonesia mendefiniskan tempe kedelai sebagai produk makanan hasil fermentasi biji kedelai oleh kapang Rhizopus berupa padatan kompak dan berbau khas serta berwarna putih atau sedikit keabu-abuan. Dari definisi tersebut terlihat bahwa fermentasi dengan kapang Rhizopus merupakan salah satu ciri khas produk fermentasi ini. Syarat mutu tempe kedelai menurut SNI 01-3144-1998 dapat dilihat di Tabel 1.

Tabel 1. Syarat Mutu Tempe Kedelai

No Parameter Satuan Persyaratan

1 Keadaan

Bau Warna Rasa - - -

normal khas tempe normal normal

2 Air , b/b % maks. 65

3 Abu, b/b % maks. 1.5

4 Protein (N x 6.25), b/b % min. 20

5 Lemak, b/b % min. 10

6 Serat kasar, b/b % min. 2.5

7 Mikroba E. coli Sallmonnella

APM/g per 25 g

maks. 10 negatif 8 Cemaran logam

Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Timah (Sn) Raksa (Hg) mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg maks. 2.0 maks. 30.0 maks. 40.0 maks. 40.0 / 250.0

maks. 0.03

9 Cemaran Arsen mg/kg maks. 1.0

Sumber : SNI 01-3144-1998

(21)

5 1985). Tempe sangat baik untuk diberikan kepada segala kelompok umur (dari bayi hingga lansia), sehingga disebut sebagai makanan semua umur.

Tempe memiliki manfaat baik dari segi nutrisi maupun manfaat kesehatan. Sebagai sumber nutrisi, tempe berperan sebagai sumber protein dan mineral besi. Sebagai obat dan penunjang kesehatan, tempe berperan sebagai anti diare (misalnya dalam pembuatan super oralit dari 40-50 g tempe) dan anti bakteri. Senyawa anti bakteri pada tempe dapat menghambat sembilan jenis bakteri gram postitif dan satu jenis bakteri gram negatif, yaitu: Streptococcus lactis, S. cremoris, Leuconostoc dextranicum, L. mesenteroides, Staphylococcus aureus, Bacillus subtillis, Clostridium botulinum, C. sporogenes, C. butyricum, dan Klebsiella pneumoniae (Syarief et al., 1999). Wang dan Hesseltine (1981) menyatakan bahwa Rhizopus oligosporus bahkan dapat mencegah akumulasi aflatoksin yang ada pada kedelai dengan melakukan hidrolisis.

Dalam pembuatan tempe, laru tempe memegang peranan penting, karena laru tempe mnegandung spora-spora kapang yang pada pertumbuhannya mampu menghasilkan enzim-enzim hidrolitik yang dapat menguraikan substratnya menjadi komponen-komponen yang lebih sederhana sehingga lebih mudah dicerna.

Tempe sebagai bahan pangan hasil fermentasi kedelai mengandung senyawa isoflavon, yaitu genistein, daidzein, glisitein, dan antioksidan faktor II (6,7,4’-trihidroksi- isoflavon) yang bermanfaat untuk kesehatan. Senyawa isoflavon tersebut bermanfaat sebagai antioksidan, antikanker, antiosteoporesis dan hipokolesterolemik. Senyawa bioaktif lain yang terdapat pada tempe adalah GABA (gamma-amino butyric acid) yang berfungsi sebagai antihipertensi (Suarsana et. al., 2008).

(22)

6 Rhizopus oryzae memiliki aktivitas protesae yang kedua tertinggi namun memiliki aktivitas amilase yang tinggi sehingga kurang baik untuk membuat produk tempe karena enzim ini memecah pati dari biji-bijian menjadi gula sederhana yang kemudian mengalami fermentasi menjadi asam organik dan menghasilkan flavor yang tidak diinginkan, aroma serta warna yang gelap. Oleh karena itu, kapang ini dapat digunakan untuk membuat tempe yang baik bila dikombinasikan dengan Rhizopus oligosporus.

Secara umum perbedaan faktor mutu gizi tempe antara tempe dan kacang kedelai dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Perbedaan Mutu Gizi Kedelai Mentah dan Tempe Faktor Mutu Gizi Kedelai Mentah Tempe

Nilai Cerna 75-89 (82) 83

Nilai Biologis 41-47 -

PER 0-16 2.12

NPV Standar 48-61 -

Sumber : Syarief et al., 1999

Tanuwidjaya (1995) melakukan analisis komposisi kimia terhadap berbagai contoh tempe yang ada di Pulau Ja wa dan hasil yang diperoleh menunjukkan kadar protein tempe berkisar antara 14.7-22.73%, sedangkan kadar lemak berkisar antara 3.78%-7.14%, kadar air berkisar antara 55-68%, dan kadar abu berkisar antara 0.58-1.31%. Data tersebut menunjukkan bahwa tempe memiliki kandungan protein yang cukup tinggi.

(23)

7 jumlah nitrogen yang larut meningkat 0.5-2.5%. Jumlah asam amino bebas meningkat 1-85 kali dari kedelai yang tidak difermentasikan setelah 48 jam (Karyadi, 1985).

Tabel 3. Komposisi Zat Gizi Tempe dalam 100 g Bahan yang dapat dimakan (Bdd) dan 100 g bahan kering

Komposisi

Proksimat Satuan Bdd Bahan Kering

Air g 55.3 0

Abu g 1.6 3.6

protein g 20.7 46.5

Lemak g 8.8 19.7

Karbohidrat g 13.5 30.2

Serat g 3.2 7.2

Mineral

Kalsium mg 155.1 347.0

Fosfor mg 323.6 724.0

Besi mg 4.0 9.0

Vitamin

Tiamin μg 0.12 0.28

Riboflavin μg 0.29 0.65

Niasin μg 1.13 2.52

As.

Pantotenat μg 232.4 520.0

Piridoksin μg 44.7 100.0

Vitamin B12 μg 1.7 3.9

Biotin μg 23.7 53.0

Sumber : Hermana et al., 2001

Selain protease, tempe juga menghasilkan lipase yang menyebabka n lemak terhidrolisis selama fermentasi. Wagenknecht et al. (1961) menyatakan bahwa asam linolenat menurun jumlahnya dan bilangan asam naik menjadi 50-70 kali. Rhizopus oligosporus umumya menggunakan asam lemak sebagai sumber energi (Nout dan Rambots, 1990).

(24)

8 1985) .Vitamin ini umumnya dijumpai pada produk pangan hewani dan tidak dijumpai pada pangan nabati. Syarief et. al. (1999) menyatakan bahwa konsumsi tempe dengan kadar vitamin B12 30mg/100g untuk setiap hari dapat memenuhi kebutuhan vitamin tersebut sebesar 60%. Vitamin B12 meningkat aktivitasnya sampai 33 kali selama fermentasi, riboflavin naik sekitar 8-47 kali, piridoksin 4-14 kali, niasin 2-5 kali, asam folat 4-5 kali, dan asam pantotenat 2 kali (Steinkraus, 1983). Akan tetapi, kadar asam amino lisin dan metionin relatif menurun selama fermentasi (Steinkraus et al., 1960).

Kapang tempe dapat menghasilkan enzim fitase yang akan menguraikan asam fitat menjadi fosfor dan inositol. Asam fitat adalah senyawa anti nutrisi yang dapat mengikat beberapa mineral dalam tubuh (Pawiroharsono, 1996). Asam fitat berkurang sekitar 30% dari kedelai sebelum fermentasi. Asam fitat dapat menyebabkan defisiensi fosfat, kalsium, dan gangguan penyerapan zat besi (Karyadi, 1985). Jumlah mineral zat besi, tembaga, dan seng berturut-turut pada tempe adalah 9.39, 2.87, dan 8.05 mg setiap 100 gram tempe (Syarief et al., 1999).

B. MUTU TEMPE

(25)

9 Mutu tempe yang kurang baik sering disebabkan oleh faktor pertumbuhan kapang pada tempe, seperti oksigen, suhu, jenis laru, dan nilai pH (derajat keasaman). Oksigen memang diperlukan untuk pertumbuhan kapang, tetapi oksigen berlebih dapat menyebabkan metabolisme berlebihan dan peningkatan suhu sehingga kapang menjadi mati. Kapang tempe bersifat mesofilik (tumbuh pada suhu 25-30˚C). Kondisi yang kurang asam juga menyebabkan pembuatan tempe mengalami kegagalan (Syarief et al., 1999).

1. Tekstur

Tekstur merupakan salah satu atribut mutu pangan yang cukup penting. Tekstur dapat didefinisikan sebagai kelompok karakteristik fisik yang disebabkan oleh struktur bahan pangan, muncul melalui sentuhan, berkaitan dengan deformasi, disintegrasi, dan aliran bahan pangan oleh suatu gaya, dan diukur secara objektif sebagai fungsi dari massa, waktu, dan jarak (Vu et. al., 2004).

2. Warna

Warna merupakan salah satu mutu produk pangan yang paling mudah dideteksi oleh konsumen melalui penampakan visual. Ukuran objektif warna umumnya dinyatakan dengan tiga koordinat. Sistem L, a, dan b merupakan sistem warna yang umumnya dipakai dalam produk pangan. L menyatakan nilai kecerahan, a menunjukkan perubahan warna pada kisaran hijau menjadi merah, dan b menunjukkan perubahan warna biru menjadi kuning (Avila dan Silva, 1999).

3. Derajat Keasaman

(26)

10 larutan tersebut. Konsentrasi tersebut dapat bernilai cukup besar maupun cukup kecil sehingga biasanya dinyatakan dengan nilai pH, yang merupakan bilangan negatif dari logaritma konsentrasi ion H+.

4. Mutu Organoleptik

Sifat sensori merupakan hal yang sangat penting karena menyangkut penilaian oleh indera manusia sebagai konsumen. Hal ini terkait dengan fakta bahwa konsumen akhir dari suatu produk pangan adalah manusia. Bagaimanapun tingginya mutu gizi, sifat fungsional, kualitas mikrobiologis dan kimia suatu produk pangan, mutu organoleptik merupakan mutu yang juga harus dipertimbangkan.

5. Slicing Quality

Kualitas irisan atau slicing quality menggambarkan kualitas yang berkaitan dengan mutu akibat pengirisan suatu produk pangan. Pada tempe, kualitas irisan dapat diamati dengan membandingkan gaya (force) yang diperlukan dalam pengirisan dan kekompakan matriks kedelai hasil pengirisan.

C. KERUSAKAN MUTU TEMPE

Terbentuknya amonia, seperti yang dikemukakan oleh Koswara (1992) merupakan penyebab kerusakan yang utama pada tempe. Enzim proteolitik yang dihasilkan bakteri kontaminan dapat mendegradasi protein sehingga menimbulkan bau. Hal ini menyebabkan tempe segar yang disimpan dalam suhu ruang dan tidak dikemas dengan baik akan bertahan maksimal dua hari (Nuraini, 1995). Berbagai penyimpangan mutu tempe kedelai dapat dilihat pada Tabel 4.

(27)

11 busuk sering dikehendaki untuk bahan sayur atau masakan tradisional setempat.

Tabel 4. Penyimpangan Mutu Tempe Kedelai NO Jenis Penyimpangan Mutu Penyebab

1 Tempe terlalu basah Suhu fermentasi terlalu tinggi Kelembaban udara terlalu tinggi Kedelai terlalu basah karena kurang tiris

Lubang pembungkus terlalu kecil Alat tidak bersih atau tidak higienis 2 Tempe tidak kompak Kapang tidak aktif atau sudah mati

Laru terlalu sedikit Laru terlalu tua

Pengadukan laru tidak merata Waktu fermentasi kurang lama Suhu fermentasi terlalu rendah 3 Permukaan tempe

bercak-bercak hitam

Pembentukan spora kapang karena oksigen terlalu banyak

Fermentasi kurang lama Suhu terlalu tinggi Kualitas laru rendah Kelembaban terlalu kering 4 Tempe berbau amoniak

atau alkohol

Terlalu lama fermentasi Suhu terlalu tinggi

Alat tidak bersih (kontaminasi) Kadar air terlalu tinggi

5 Tempe pecah-pecah dan pertumbuhan kapang tidak merata

Pencampuran laru tidak merata Suhu ruang inkubasi tidak merata Lubang aerasi dan pergerakan udara dalam ruang inkubasi tidak merata 6 Tempe kepanasan

(overheating)

Pengatur suhu, kelembaban, aerasi atau ventilasi tidak baik

Suhu terlalu tinggi Inkubasi terlalu tertutup Bahan terlalu banyak

7 Tempe beracun Bahan dan laru terkontaminasi mikroba patogen, bahan beracun Laru terlalu lemah keaktifannya, laru terlalu sedikit sehingga mikroba berbahaya yang tumbuh

(28)

12 Peningkatan daya simpan tempe secara tradisional telah dikembangkan misalnya dalam bentuk keripik tempe. Produk keripik tempe bila disimpan pada suhu ruang dapat bertahan selama beberapa minggu tanpa banyak mengalami penurunan mutu. Selain itu telah dikembangkan juga sambal kering tempe dari irisan tempe tipis yang setelah dikeringkan di bawah sinar matahari digoreng dalam minyak dan kemudian dicampur dengan cabai dan gula merah. Produk ini bertahan hingga beberapa minggu.

Gambar 1. Kerusakan Mutu pada Tempe

Beberapa teknik pengawetan tempe menurut Shurtleff dan Aoyagi (1979) antara lain, yaitu (1) penyimpanan suhu dingin, bisa memperpanjang umur simpan maksimal satu minggu, (2) pembekuan, (3) blansir, merupakan perlakuan pendahuluan sebelum penyimpanan suhu rendah meupun pembekuan, yang bertujuan untuk inaktivasi enzim, menghambat pertumbuhan kapang dan menurunkan jumla h bakteri, (4) pengeringan, (5) pengeringan beku (freeze drying) dilakukan dengan cepat, (6) pengeringan semprot (spray drying), (7) penggorengan dan (8) pengalengan.

(29)

13 beberapa bulan pada suhu ruang, namun dapat terjadi pengurangan kandungan bahan kering dan nitrogen terlarut karena pa nas.

Usaha lain untuk meningkatkan daya simpan tempe yang dilakukan adalah dengan cara pembekuan dan pengalengan. Tempe yang akan dibekukan diproses dengan blansir terlebih dahulu selama 5 menit dalam air mendidih untuk menginaktifkan kapang, enzim proteolitik, dan lipolitik. Tempe tersebut dapat bertahan hingga 100 hari. Tempe yang dikalengkan mampu bertahan hingga 10 minggu. Teknik baru untuk meningkatkan umur simpan tempe adalah dengan menunda proses fermentasi.

D. PROSES TERMAL

Proses termal merupakan aplikasi panas pada bahan pangan tertentu yang diharapkan dapat memperpanjang umur simpannya. Proses termal juga memiliki manfaat lain, terutama dalam peningkatan mutu santap. Tujuan utama proses termal adalah membunuh mikroba pembusuk dan patogen dengan pemanasan sehingga dapat meningkatkan keamanannya dan memperpanjang daya awetnya dalam jangka waktu tertentu. Proses termal juga mempengaruhi menyebabkan inaktivasi enzim perusak sehingga mutu produk pangan lebih stabil. Namun demikian, proses termal dapat menyebabkan kerugian, yaitu kerusakan zat gizi dan mutu organoleptik (Kusnandar et al., 2006).

Proses termal seperti pasteurisasi dan sterilisasi uap diharapkan dapat menjadi metode yang tepat untuk memperpanjang umur simpan tempe karena proses termal dapat menginaktivasi sejumlah mikroba penyebab kerusakan, terutama kapang. Proses termal secara umum meliputi blansir, pasteurisasi, dan sterilisasi.

(30)

14 (g) mempermudah pengupasan, (h) memberikan warna yang dikehendaki, dan (i) mempermudah pengaturan produk dalam kaleng (Kusnandar et al., 2006).

Pasteurisasi merupakan proses perlakuan panas yang membunuh sebagian besar sel vegetatif mikroorganisme yang terdapat di dalam makanan. Dalam beberapa produk makanan, pasteurisasi ditujukan untuk membunuh mikroba patogen, sedangkan dalam produk fermentasi seperti bir, pasteurisasi ditujukan untuk membunuh mikroba pembusuk. Untuk produk lainnya, pasteurisasi yang dikembangkan didasarkan pada daya tahan panas dari mikroba tertentu yang ingin dihancurkan.

Hampir semua bahan pangan dapat diawetkan dengan menggunakan proses pasteurisasi. Selain untuk membunuh mikroba patogen dan mikroba lain yang tidak diinginkan, pasteurisasi juga bertujuan utnuk memperpanjang umur simpan dengan cara meminimumkan perubahan cita rasa dan sifat-sifat fisiknya.

Pasteurisasi dapat dilakukan setelah atau sebelum bahan pangan dikemas. Setelah pasteurisasi, bahan pangan didinginkan kembali sampai suhu sekitar 40°C untuk menguapkan sisa-sisa air, sehingga mencegah proses korosi dan mempermudah proses penempelan label pada permukaan bahan pengemas. Bila proses pasteurisasi dilakukan sebelum ba han pangan dikemas, proses pemanasan dilakukan dengan menggunakan alat penukar panas (heat exchanger) yang beroperasi secara kontinyu.

(31)

15 yang steril komersial biasanya mempunyai daya awet dan daya simpan yang tinggi, tahan beberapa bulan sampai beberapa tahun.

Kondisi proses sterilisasi komersial sangat bergantung pada berbagai faktor, antara lain kondisi produk pangan yang disterilisasi (nilai pH, jumlah mikroba awal, dan lain- lain), jenis dan ketahanan panas mikroba yang ada dalam bahan pangan, karakteristik pindah panas pada bahan pangan dan wadah yang digunakan, medium pemanas, serta kondisi penyimpanan setelah disterilisasi. Produk pangan yang mengalami sterilisasi dan dikombinasikan dengan kemasan kedap udara dapat mencegah terjadinya rekontaminasi.

E. KINETIKA PERUBAHAN MUTU

Proses termal bertujuan untuk mengawetkan produk pangan dengan membunuh mikroba pembusuk dan patogen dengan suhu tinggi. Meskipun demikian, proses termal tidak semata- mata digunakan untuk membunuh mikroba, tetapi juga harus mempertimbangkan mutu akhir dari produk dimana kerusakan mutu oleh pemanasan harus diminimalkan. Dengan demikian, optimasi proses termal diperlukan untuk dapat menentukan kombinasi suhu dan waktu selama pemanasan yang dapat memenuhi kriteria keamanan dan mutu.

Saat produk dipanaskan, maka komponen pangan umumnya akan dipengaruhi oleh lama dan suhu proses yang diberikan. Disamping itu, pemanasan dapat mempengaruhi flavor, rasa, tekstur, dan perubahan struktur bahan pangan. Setiap produk pangan memiliki tingkah laku yang berbeda oleh pengaruh pemanasan, sehingga akan sangat berguna apabila mengetahui kinetika penurunan mutu oleh panas. Secara umum kinetika penurunan mutu lebih lambat daripada kinetika inaktivasi mikroba.

(32)
[image:32.596.154.509.249.432.2]

16 Sel vegetatif, khamir, dan kapang dapat diinaktifkan pada suhu yang lebih rendah (60-88˚C), sedangkan bakteri termofilik dan mesofilik memerlukan suhu yang lebih tinggi untuk membunuhnya. Tabel 5 memperlihatkan kombinasi suhu dan waktu yang diperlukan untuk membunuh mikroba (Kusnandar et al., 2006).

Tabel 5. Kombinasi Suhu dan Waktu untuk Menurunkan Jumlah Mikroba pada Level yang Sama

Organisme Waktu (menit) Suhu (˚C)

Sel vegetative 10 80

Khamir 5 60

Kapang 30-60 88

Bakteri Termofilik

Clostridium thermosacahharilyticum 3-4 121

Bacillus stearothermophillus 4 121

Bakteri Mesofilik

Clostridium botulinum 3 121

Toksin botulin A dan B 0.1-1 121

Clostridium sporogenes 1.5 121

Bacillus subtillis 0.6 121

Sumber : Kusnandar et al. (2006)

Apabila suspensi mikroba dipanaskan pada suhu konstan, maka penurunan jumlah mikroba hidup yang tersisa akan mengikuti reaksi orde pertama, dimana penurunan jumlah mikroba mengikuti pola logaritmik sebagai fungsi dari waktu. Laju inaktivasi mikroba selama waktu pemanasan pada suhu tertentu dapat dinyatakan sebagai berikut:

dN

kN

dt (1)

dimana N adalah jumlah mikroba sisa yang masih hidup setelah waktu pemamasan t, No adalah jumlah mikroba awal, t adalah waktu pemanasan dalam menit, dan D adalah waktu pemanasan dala m desimal (decimal reduction time).

(33)

17

N

In kt

No (2)

Persamaan (2) menunjukkan p lot kurva semi logaritmik dari N terhadap t. Persamaan tersebut dapat disederhanakan menjadi persamaan (3).

N 2.303log =-kt

No atau log 2.303

N kt

No (3) Nilai slope 2.303/k sering dinyatakan sebagai nilai D, sehingga

log N t

No D (4) dimana nilai D = 2.303/k merupakan waktu penurunan desimal (Kusnandar et al., 2006).

Beberapa reaksi degradasi mutu juga dapat mengikuti orde reaksi nol. Hal ini berarti kecepatan reaksi degradasi mutu tersebut bersifat konstan. Konstanta laju reaksi dapat ditentukan dari kemiringan kurva hubungan antara waktu terhadap konsentrasi suatu pereaksi.

Nilai D menyatakan ketahanan panas mikroba atau sensitifitas mikroba oleh suhu pemanasan. Nilai D didefinisikan sebagai waktu dalam menit pada suhu tertentu yang diperlukan untuk menurunkan jumlah spora atau sel vegetatif tertentu sebesar 90% atau satu logaritmik. Setiap mikroba memiliki nilai D pada suhu tertentu. Semakin besar nilai D suatu mikroba pada suatu suhu tertentu maka semakin tinggi ketahanan panas mikroba tersebut. Nilai D merupakan parameter kinetika yang juga berlaku untuk parameter mutu dimana nilai D menyatakan waktu pada suhu tertentu untuk menurunkan nilai mutu suatu parameter sebesar 90% atau satu logaritmik.

(34)

18

log ref

T

T T

D

D Z (5)

[image:34.596.238.407.236.387.2]

dimana DT adalah nilai D pada suhu tertentu (menit), D0 adalah nilai D pada suhu standar (referensi), T adalah suhu pemanasan pada waktu tertentu dan Tref adalah suhu standar yang digunakan untuk nilai D0 (Kusnandar et al., 2006).

Gambar 2. Thermal Reduction Time sebagai Hubungan antara Waktu dan Kuantitas Mikroorganisme

Gambar 3. Kurva Semi Logaritma Hubungan Suhu dengan Nilai D Waktu

Jumlah m.o.

Nila i D 10 n-1

10 n

Suhu Nila i D

Nila i Z 10 n-1

[image:34.596.242.398.460.618.2]
(35)

19 III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT

Bahan-bahan yang digunakan adalah tempe kacang kedelai, akuades, larutan buffer pH 7.0 dan pH 4.0, aluminium foil, dan minyak goreng. Tempe diperoleh dari produsen tempe di Sindangbarang, Bogor.

Peralatan yang digunakan adalah water bath, steam jacket, pH meter, Minolta Chroma Meters CR300, penetrometer, Texture Analyzer, neraca analitik, gelas piala, gelas ukur, mortar, pisau, dan alat pengorengan. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan Laboratorium SEAFAST Center IPB.

B. METODE PENELITIAN

Tempe yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari produsen di Sindangbarang, Bogor. Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan waktu dimana parameter-perameter mutu dipengaruhi secara nyata oleh proses pemanasan. Tempe dipotong dengan ukuran 2 cm x 2 cm x 2 cm. Tempe yang telah dipotong dikemas dengan aluminium foil dan diberi perlakuan pemanasan dalam water bath atau steam jacket dengan air sebagai media pindah panas.

(36)
[image:36.596.245.407.81.358.2]

20 Gambar 4. Diagram Alir Penelitian

1. Penelitian Pendahuluan a. Persiapan Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah tempe yang diperoleh dari produsen di Sindangbarang Darmaga. Sampel tempe dipotong dengan ukuran seragam, yaitu 2 cm x 2 cm x 2 cm.

b. Penentuan Pola Peningkatan Suhu Pusat Geometris Te mpe selama Pemanasan

Sampel yang telah disiapkan dikemas dengan aluminium foil dan disisipkan sensor thermocouple tipe T untuk dipanaskan pada suhu 60°C, 70°C, dan 80°C. Suhu dalam water bath dipertahankan konstan. Suhu sampel yang diperoleh dihubungkan dengan suhu water bath untuk memperoleh kurva hubungan kedua suhu. Nilai Standard Error of Mean (SEM) untuk sampel diperoleh dengan persamaan:

Standar Deviasi SEM=

jumlah sampel Persiapan Sampel

Penelitian Pendahuluan

Analisis

Pemanasan Sampel

Penentuan Parameter Kinetika dan Slicing Quality

(37)

21 c. Pemanasan Sampel

[image:37.596.187.521.291.441.2]

Sampel dipanaskan dengan cara dikemas vakum dengan aluminium foil. Selanjutnya sampel dimasukkan ke dalam water bath yang di atur pada suhu pemanasan tertentu. Setiap sampel memiliki dua kali ulangan dengan perlakuan seperti pada Tabel 6. Tahap ini bertujuan untuk mengamati kisaran waktu pemanasan dimana perubahan mutu sensitif untuk digunakan pada tahap penelitian utama.

Tabel 6. Perlakuan Pendahuluan untuk Setiap Parameter Parameter Suhu Tempe (˚C)Perlakuan

Waktu (menit) Tekstur 60, 70, 80 0, 4, 8, 15

Warna 60, 70, 80 0, 4, 8, 12

Organoleptik

Warna 60, 70, 80 0.08, 0.25, 0.5, 1, 2 Bau 60, 70, 80 0.08, 0.25, 0.5, 1 Rasa 60, 70, 80 0.08, 0.25, 0.5, 1, 2

pH 60, 70, 80 0, 1, 2, 3, 4, 5

Slicing Quality 60, 70, 80 1, 5, 10, 15, 30

d. Analisis

i. Tekstur (Faridah et al., 2008)

Pengukuran tekstur tempe dilakukan dengan alat penetrometer. Sampel diletakkan pada dasar alat dan jarum ditempatkan pada bagian permukaan sampel. Selanjutnya tombo l run ditekan dan dicatat kedalaman penetrasi dari jarum penetrometer dalam satuan mm per satuan waktu penetrasi. Dalam penelitian ini digunakan waktu 5.0 detik untuk setiap penetrasi.

ii. Warna (Faridah et al., 2008)

(38)

22 0.420, dan y = 0.438. Setelah alat dihidupkan, dilakukan pengaturan indeks data dengan cara menekan tombol Calibrate sesuai data warna standar, lalu dilanjutkan dengan menekan tombol Measure untuk mengaktifkan perintah pengukuran warna. Pengukuran warna dilanjutkan dengan cara mendekatkan kamera pengukur warna pada sampel dan dilanjutkan dengan menekan tombol Measure untuk diperoleh nilai Y, x, dan y. Konversi dilakukan dengan persamaan berikut untuk menentukan nilai L, a, dan b.

x

X Y

y

1 ( )

( x y )

Z Y

y

10

L Y

1.02

17.5 X Y

a

Y

0.847

7 Y Z

b

Y

iii. Derajat Keasaman (Apriyantono et al., 1989)

Sebelum pengukuran pH meter telah dinyalakan dan distabilkan selama 15-30 menit, kemudian dikalibrasi dengan menggunakan larutan buffer pada pH 7 dan 4. Elektroda dibilas dengan akuades dan dikeringkan dengan kertas pengering. Contoh yang telah dihaluskan ditambah dengan air destilata (1:5). Elektroda pH meter kemudian dicelupkan ke dalam sampel dan dibiarkan hingga menunjukkan suatu angka (stabil). Nilai pH diukur sebanyak 2 kali ulangan.

iv. Mutu Organoleptik (Waysima dan Adawiyah, 2008)

(39)

23 dan bau digunakan tempe hasil pemanasan tanpa perlakuan penggorengan sedangkan dalam pengujian mutu rasa, tempe disajikan dalam keadaan digoreng pada suhu 180°C dengan waktu 2.5 menit. Panelis yang digunakan adalah panelis semi terlatih sebanyak 25 orang.

Uji organoleptik yang digunakan adalah uji beda dari kontrol untuk melihat bagaimana perubahan mutu tempe hasil pemanasan jika dibandingkan dengan kontrol atau tempe segar. Panelis diminta untuk memberikan skor 1-10 terhadap mutu yang diujikan dengan memberikan nilai Reference (tempe segar) pada nilai 10. Semakin kecil nilai yang diberikan artinya tempe mengalami penyimpangan mutu yang semakin tinggi.

v. Slicing Quality

Kualitas irisan tempe hasil pemanasan dibandingkan terhadap tempe segar secara kualitatif maupun kuantitatif. Secara kualitatif hasil irisan tempe dibandingkan terhadap tempe segar dengan mengamati kemudahan pengirisan dah keutuhan kedelainya. Secara kuantitatif kemudahan pengirisan diukur dengan menggunakan Texture Analyzer untuk mengukur gaya pengirisan yang diperlukan.

(40)

24 2. Penelitian Utama

Berdasarkan hasil dari penelitian pendahuluan, parameter-parameter yang dipengaruhi secara nyata oleh pemanasan kembali diuji untuk menentukan parameter kinetikanya. Suhu dan waktu percobaan ditentukan dengan melihat hasil penelitian pendahuluan yang telah dilakukan. Analisis yang dilakukan sama seperti analisis pada sub bab III.B.1.d

Penentuan orde reaksi ditentukan dengan membandingkan koefisien determinasi (R) untuk setiap orde reaksi. Orde reaksi yang dipilih merupakan orde reaksi dimana kurva memiliki nilai R yang lebih tinggi. Parameter yang akan ditentukan adalah k dan Ea. Nilai k menunjukkan konstanta laju reaksi yang erat kaitannya dengan nilai D. Sedangkan nilai Ea menunjukkan nilai energy aktivasi yang erat kaitannya dengan nilai Z.

Pada orde reaksi nol, nilai k diperoleh dari slope slope atau kemiringan kurva hubungan waktu pemanasan terhadap nilai suatu mutu. Sedangkan pada orde reaksi pertama, nilai k diperoleh dari kemiringan (slope) kurva hubungan antara waktu (t) dan nilai logaritma natural (In) nilai mutu terkait. Degradasi atribut mutu dan jumlah mikroorganisme umumnya berubah secara eksponensial terhadap waktu (Moralles dan Torres, 2003). Nilai D merupakan waktu yang diperlukan kurva semilog untuk mencapai nilai satu logaritma. Nilai D dihitung dengan persamaan:

(41)

25 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PEN ELITIAN PENDAHULUAN 1. Kalibrasi Termokopel

[image:41.596.161.463.390.556.2]

Kalibrasi termokopel dilakukan pada sepuluh termokopel untuk meningkatkan akurasi pengukuran suhu. Hasil kalibrasi menunjukkan bahwa nilai suhu yang terukur oleh termokopel (x) tidak berbeda jauh da ri suhu yang terukur oleh termometer standar (y). Hal ini terlihat dari persamaan kalibrasi seperti yang disajikan pada Tabel 7 dimana nilai gradiennya mendekati nilai 1 dengan intercept yang relatif kecil. Kualitas persamaan linear tersebut dalam menggamb arkan data kalibrasi juga cukup baik seperti ditunjukkan oleh nilai koefisien determinasi (R2) yang mendekati 1.

Tabel 7. Persamaan Kurva Kalibrasi Termokopel

Termokopel Persamaan y R2

1 y = 1.002 x + 0.086 0.999 2 y = 0.995 x + 1.552 0.999 3 y = 1.000 x + 0.906 0.999 4 y = 0.995 x + 1.017 0.999 5 y = 1.010 x - 0.646 0.999 6 y = 0.998 x + 0.945 0.999 7 y = 1.001 x + 0.486 0.999 8 y = 1.000 x + 0.939 0.999 9 y = 1.001 x + 0.495 0.999 10 y = 0.998 x + 0.993 0.999

2. Penentuan Pola Peningkatan Suhu Pusat Geometris Tempe Selama Pemanasan

(42)
[image:42.596.183.475.207.392.2]

26 relatif lambat. Sedangkan tempe yang dipanaskan pada suhu 70°C mengalami kenaikan suhu dengan cepat hingga pemanasan pada menit ke-18. Sementara tempe yang dipanaskan pada suhu 80°C masih belum mencapai suhu medium (80°C) hingga menit ke-30 dalam proses pemanasan.

Gambar 5. Peningkatan Suhu Pusat Geometris Tempe Selama Pemanasan dalam Medium Pemanas Air dengan Ukuran Sampel 2cm x

2cm x 2cm

Pada menit ke-15 pemanasan, tempe yang dipanaskan pada suhu medium pemanas 60°C mencapai suhu 55.8°C. Sedangkan tempe yang dipanaskan pada medium pemanas 70°C mencapai suhu 66.6°C dan tempe yang dipanaskan pada medium pemanas 80°C mencapai suhu 71.4°C. Pola peningkatan suhu pusat geometris tempe tersebut memberikan gambaran perubahan suhu pusat geometris bahan terhadap suhu dan waktu pemanasan yang digunakan.

(43)

27 digunakan beberapa titik waktu untuk setiap suhu pemanasan (60°C, 70°C, dan 80°C). Hubungan antara waktu pemanasan dan perubahan mutu untuk setiap mutu dapat diamati pada Gambar 6.

(a)

[image:43.596.155.501.165.590.2]

(b)

Gambar 6. Perubahan Mutu (a) Tekstur dan (b) Kecerahan Warna pada Suhu Pemanasan 60°C, 70°C, dan 80°C

(44)

28 diukur lebih lanjut dalam penentuan parameter k inetika. Hasil ini juga menunjukkan bahwa kedua parameter relatif sensitif terhadap pemanasan.

Kemiringan atau slope kurva yang tinggi dapat diamati pada 4 menit pemanasan awal baik untuk mutu tekstur maupun warna. Pada mutu tekstur, pemanasan 4 menit untuk suhu medium 60°C menyebabkan peningkatan kedalaman penetrasi jarum penetrometer sebesar 1.47 mm/5.0 detik atau sekitar 31.41% dibandingkan tempe segar. Pemanasan dengan suhu medium 70°C pada menit ke-4 menyebabkan peningkatan kedalaman penetrasi jarum penetrometer sebesar 1.68 mm/5.0 detik atau meningkat sekitar 35.90%. Sementara pemanasan selama 4 menit pada suhu 80°C menyebabkan peningkatan kedalaman penetrasi hingga 1.80 mm/5.0 detik atau sekitar 38.46%.

Tingkat kecerahan warna dari tempe hasil pemanasan juga mengalami penurunan yang cukup tajam hingga 4 menit pemanasan awal. Pada suhu pemanasan 60°C, nilai kecerahan warna (lightness) menurun hingga 5.17 satuan. Perubahan nilai kecerahan relatif kecil apabila pemanasan dilanjutkan hingga menit ke-12.

[image:44.596.142.529.615.703.2]

Perubahan mutu warna dan bau secara organoleptik dalam penelitian pendahuluan dilakukan dengan mengamati perubahan secara kualitatif. Pemanasan dengan waktu yang pendek menyebabkan miselium kapang masih terlihat sehingga memberikan warna putih pada tempe ya ng lebih baik dibandingkan tempe tanpa adanya miselium yang utuh. Penentuan parameter kinetika warna dan bau secara organoleptik dilakukan pada waktu pemanasan yang relatif pendek, yaitu 0.08, 0.25, 0.5, dan 1 menit, serta 2 menit untuk parameter warna.

(45)

29 Warna dan bau merupakan atribut yang dapat lebih dideteksi dengan indera manusia. Pengamatan pada tempe yang dipanaskan hingga menit ke-1 dan ke-2 menunjukkan miselium kapang yang mulai tidak terlihat secara visual. Pada pemanasan yang relatif singkat, miselium kapang terlihat masih memberikan warna putih pada tempe. Warna putih yang dibentuk oleh miselium ini memberikan pengaruh terhadap kecerahan tempe.

Perubahan mutu rasa secara organoleptik juga terjadi akibat pemanasan pada tempe. Perubahan ini diamati dengan menyajikan tempe setelah digoreng pada suhu 180°C. Hasil penelitian pendahuluan untuk tempe yang digoreng selama 30 menit menunjukkan tempe goreng lebih renyah dan tidak berlemak. Hal ini disebabkan tempe yang telah dicelupkan ke dalam air panas sebelum digoreng memiliki kadar air terikat yang relatif lebih kecil sehingga proses penggorengan menyebabkan difusi minyak lebih mudah terjadi dan memberikan kesan renyah yang lebih baik. Selain itu, tempe hasil pencelupan dalam air paans juga terlihat lebih kering secara visual. Akan tetapi perlakuan pencelupan menyebabkan warna tempe yang digoreng untuk waktu yang sama sedikit lebih gelap dibandingkan tempe segar. Pemanasan dilakukan hingga menit ke-30 untuk mengamati perubahan rasa yang dapat dideteksi oleh indera manusia.

Pengamatan kualitas mutu irisan tempe (slicing quality) dilakukan secara kualitatif dengan mengamati tempe hasil pengirisan. Secara kualitatif, hasil pengirisan menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata antara sampel dan tempe segar. Penilaian kualitatif ini ini didasarkan pada keutuhan kedelai hasil irisan. Pemanasan hingga menit ke-30 dilakukan dan dianalisis pada lima titik waktu untuk mengamati profil slicing quality tempe hasil pemanasan.

B. PEN ELITIAN UTAMA 1. Tekstur

(46)

30 berbanding terbalik dengan kekerasan sampel. Sampel yang semakin lunak memiliki resistensi yang lebih rendah terhadap penetrasi jarum penetrometer sehingga memberikan nilai kedalaman penetrasi yang lebih tinggi.

[image:46.596.146.510.180.397.2]

Gambar 8. Perubahan Nilai Kedalaman Penetrasi Tempe selama Pemanasan 15 Menit

Gambar 8 memperlihatkan perubahan kedalaman penetrasi jarum penetrometer pada tempe yang dipanaskan untuk interval waktu pemanasan 1 menit hingga menit ke-15 yang diperoleh dari 12 kali pengukuran. Penetrasi jarum penetrometer dilakukan dalam selang waktu 5 detik dan tingkat kedalamannya berbanding terbalik dengan kekerasan tekstur. Pemanasan selama 5 menit pada suhu 60°C menyebabkan kenaikan kedalaman penetrasi penetrometer sebesar 1.52 mm/5 detik atau 32.38%.

(47)

31 mengalami pelunakan lebih cepat. Kurva kedalaman penetrasi pada Gambar 8 juga memperlihatkan bahwa pemanasan 80°C memiliki tingkat kedalaman penetrasi di atas kurva pemanasan 60°C dan 70°C. Setelah pemanasan selama 5 menit perubahan tekstur terlihat relatif kecil.

Proses pelunakan tempe akibat proses pemanasan disebabkan oleh perubahan sifat fisik dan fungsional dari protein, lemak, pati dan miselium pada tempe. Proses pelunakan pada bahan pangan yang kaya protein dapat disebabkan adanya koagulasi dan kehilangan daya ikat air atau Water Holding Capacity dari protein. Selain itu dispersi lemak yang ada juga dapat menyebabkan tekstur tempe mengalami pelunakan (Fellow, 2000). Selain itu proses gelatinisasi pati kedelai dan hilangnya kemampuan miselium kapang dalam membangun matriks tempe dapat menjadi penyebab tekstur tempe mengalami pelunakan akibat pemanasan. Proses pelarutan pektin yang ada pada kacang kedelai juga dapat menyebabkan pelunakan tesktur kedelai pada tempe (Song et. al., 2003).

2. Warna

Parameter warna sampel dihubungkan dengan nilai L yang menunjukkan tingkat kecerahan (Lightness) pada kisaran 0 (hitam) hingga 100 (putih). Tingkat kecerahan dari tempe yang dipanaskan menurun seiring proses pemanasan. Penampakan visual menunjukkan bahwa warna tempe menjadi lebih coklat. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh reaksi Mailard akibat reaksi antara gula pereduksi dan asam amino bebas pada suhu tinggi (Hutching, 1999). Reaksi ini melibatkan Amadori re-arrangement (Awuah et. al., 2007). Reaksi Maillard dapat terjadi pada suhu ruang. Ajandouz et al. (2008) melakukan studi reaksi Maillard yang terjadi pada sistem berbasis glukosa dan glukosa protein dengan suhu 60-100°C. Selain itu perubahan warna juga terjadi akibat degradasi yang terjadi pada miselium kapang yang membentuk matriks dengan protein.

(48)
[image:48.596.146.512.309.530.2]

32 suhu terlihat menyebabkan penurunan tingkat kecerahan pada sampel. Pemanasan hingga 5 menit pada suhu 60°C menunjukkan tempe memiliki kecerahan 63.62 satuan atau turun sebesar 6.11 satuan (8.76%). Sedangkan pemanasan pada suhu 70°C dan 80°C untuk waktu yang sama menghasilkan tempe dengan tingkat kecerahan 63.39 satuan (turun 6.65 satuan atau 9.54%) dan 61.27 satuan (turun 7.85 satuan atau 11.26%). Perubahan tingkat kecerahan tempe tidak terlalu cepat setelah pemanasan selama 8 menit. Tingkat kecerahan warna tempe berkurang akibat rusaknya struktur miselium kapang yang memberikan warna p utih pada tempe dan pembentukan warna coklat pada kedelai.

Gambar 9. Perubahan Lightness Tempe selama Pemanasan 12 menit

3. Mutu Organoleptik

Perubahan mutu warna dan bau secara sensori dapat dideteksi secara nyata untuk tempe yang dipanaskan pada suhu 60°C, 70°C, dan 80°C. Gambar 10 menunjukkan bahwa 25 panelis rata-rata memberikan skor yang semakin menurun untuk mutu warna dan bau tempe yang dipanaskan dibandingkan kondisi pemanasan 0 detik (tempe segar). Artinya perbedaan mutu sampel telah dapat dideteksi oleh indera manusia.

(49)

33 Hal ini dapat dilihat dari adanya kerusakan struktur miselium kapang yang memberikan warna putih dan menjadi ciri khas tempe segar. Setelah pemanasan pada menit ke-1 (60 detik) perubahan warna lebih lanjut cenderung sulit dideteksi indera manusia. Hal ini terlihat dari perbedaan skor antara sampel dengan pemanasan 60 detik dan 120 detik yang hanya sedikit mengalami penurunan.

Deteksi bau yang dilakukan dengan indera penciuman panelis juga menunjukkan sensitivitas yang tinggi. Proses pemanasan dengan selang waktu 5 detik telah menyebabkan perubahan skor yang cukup tinggi. Interaksi antara proses pengemasan vakum dan panas diduga menyebabkan komponen volatil pada tempe terlepas dan dengan muda h dideteksi oleh indera manusia. Feng et. al. (2007) mengisolasi senyawa volatil pada tempe berupa etanol, acetone, ethyl acetate, 2-butanon, 2-methyl-1-propanol, 3- methyl-1-butanol, 2- methyl-1-butanol, 2-pentanon, methyl acetate, 2- butanol dan 3-ethyl-3-buten-1-ol. Sedangkan senyawa yang memberikan efek mushroom odor pada tempe adalah 3-octanone dan 1-octen-3-ol.

Gambar 10 menunjukkan perubahan skor yang dapat dideteksi oleh indera manusia terhadap atribut mutu warna, bau, dan rasa. Perubahan parameter mutu warna dan bau terjadi lebih cepat pada kisaran waktu pemanasan yang lebih rendah sedangkan penurunan mutu sensori rasa terjadi secara lebih lambat pada kisaran waktu pemanasan yang lebih lama.

(50)

34 (a)

(b)

[image:50.596.148.503.82.684.2]

(c)

(51)

35 4. Penentuan Orde Reaksi

Metode integrasi digunakan untuk menentukan persamaan laju reaksi. Misalkan suatu reaksi digambarkan sebagai berikut,

A  B maka -

yang menggambarkan perubahan suatu reaktan (A) menjadi hasil reaksi (B). Kecepatan reaksi (d[A]/dt) akan berbanding lurus dengan penurunan jumlah konsentrasi reaktan pangkat x, dengan x menyatakan nilai orde reaksi. Kecepatan reaksi juga berbanding lurus dengan nilai k, yaitu nilai konstanta suatu laju reaksi.

Penentuan orde reaksi yang paling sesuai dilakukan dengan melihat kemampuan model tersebut dalam menjelaskan data eksperimen yang terlihat dari koefisien determinasi (R2). Pada orde reaksi nol, kecepatan reaksi bersifat konstan sedangkan pada reaksi orde satu, kenaikan konsentrasi atau nilai mutu dua kali akan menyebabkan kenaikan laju reaksi yang proporsional (Saeni, 1989), yaitu dua kali juga. Degradasi atribut mutu dan jumlah mikroorganisme umumnya berubah secara eksponensial terhadap waktu (Moralles dan Torres, 2003). Avila dan Silva (1999) memberikan gambaran sejumlah reaksi degradasi warna yang mengikuti orde reaksi pertama, seperti pada asparagus, kacang buncis, saus tomat, jus anggur dan pulp apel. Reaksi orde nol untuk degradasi mutu umumnya jarang ditemui.

Gambar 11 hingga Gambar 15 menunjukkan kurva degradasi beberapa mutu tempe yang mengikuti orde reaksi nol dan pertama. Pada orde reaksi nol, sumbu ordinat merupakan nilai mutu, sedangkan pada orde reaksi pertama sumbu ordinat berupa nilai logaritma natural dari nilai mutu. Regreasi linear dengan persamaan y = a + bx digunakan untuk menentukan nilai b yang merupakan kemiringan atau slope kurva. Kemiringan ini menunjukkan nilai konstanta laju reaksi yang ada, baik untuk orde reaksi nol maupun orde reaksi satu.

(52)

36 mutu tekstur cenderung mengikuti orde reaksi nol, sedangkan degradasi mutu warna dan mutu organoleptik mengikuti orde reaksi pertama. Pemilihan orde reaksi ditentukan berdasarkan nilai R yang lebih tinggi.

[image:52.596.164.479.393.688.2]

Model yang dikembangkan untuk menentukan orde reaksi berbeda antar mutu yang diukur. Dalam penentuan orde reaksi untuk mutu tekstur perubahan tingkat kekerasan atau kedalaman penetrasi terjadi cukup tajam pada 1 menit pemanasan awal sehingga plot pada kurva degradasi mutu tekstur diawali pada waktu 1 menit pemanasan. Perubahan skor mutu warna dan bau terjadi cepat pada 0.08 menit pemanasan awal sehingga waktu tersebut menjadi titik awal dalam penentuan parameter kinetika. Perubahan mutu sensori rasa tidak memperlihatkan model laju penurunan mutu yang berbanding lurus dengan peningkatan suhu. Hal ini mungkin disebabkan oleh minimnya data untuk digunakan dalam perhitungan kinetika.

Tabel 8. Nilai Koefisien Determinasi (R2) Reaksi Degradasi Mutu Tempe

Mutu Suhu (°C) Orde 0 Orde 1

Tekstur

60 0.834 0.806

70 0.921 0.898

80 0.854 0.825

Warna

60 0.873 0.885 70 0.834 0.840 80 0.767 0.820 Warna

(Organoleptik)

60 0.943 0.971 70 0.925 0.955 80 0.928 0.963 Bau

(Organoleptik)

60 0.956 0.968 70 0.950 0.964 80 0.816 0.840 Rasa

(Organoleptik)

(53)

37 (a)

[image:53.596.147.511.84.307.2]

(b)

(54)

38 (a)

[image:54.596.149.511.84.307.2]

(b)

(55)

39 (a)

[image:55.596.154.503.84.555.2]

(b)

(56)

40 (a)

[image:56.596.153.502.84.554.2]

(b)

(57)

41 (a)

[image:57.596.153.501.81.553.2]

(b)

Gambar

Gambar

Tabel 1. Syarat Mutu Tempe Kedelai
Tabel 3. Komposisi Zat Gizi Tempe dalam 100 g
Gambar 1. Kerusakan Mutu pada Tempe
Tabel 5. Kombinasi Suhu dan Waktu untuk Menurunkan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil Pengujian kuat impak yang telah dilakukan pada sampel genteng polimer ini bertujuan untuk mengetahui ketangguhan sampel terhadap pembebanan dinamis. Pengujian

5 Tidak melakukan uji terhadap sistem pengendalian intern untuk asersi penyajian dan pengungkapan dalam audit laporan keuangan adalah tindakan berisiko rendah. 6 Tidak

PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA PRAKTIKUM (LKP) KENAIKAN TITIK D IDIH LARUTAN ELEKTROLIT BERBASIS INKUIRI TERBIMBING PAD A PROSES PEREBUSAN TELUR PUYUH.. Universitas Pendidikan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat peningkatan skor motivasi membaca murid yang telah mengikuti intervensi SFBT selama enam sesi, sebesar 106 poin, dengan

Salah satu model pembelajaran yang sesuai dengan tujuan mata pelajaran fisika tingkat SMA yang dapat membantu siswa untuk memudahkan dalam memahami konsep fisika

Dengan demikian penulis mengadakan penelitian lanjut dengan judul “Peningkatan pendapatan nasabah dalam memanfaatkan pembiayaan mu ḍ ārabah (study pada BMT Nur

Dari pertimbangan tersebut maka penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan analisa teknis berupa kekuatan tekuk dan kekuatan Impak dari komposit berpenguat serat

Proyek Akhir berisi tentang proses pembuatan mesin penyapu lantai, yang melatari pembuatan proyek ini adalah keinginan untuk membuat sebuah alat yang