• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome,"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

HIV/AIDS (Human Immuno deficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan masalah yang mengancam seluruh lapisan masyarakat dari berbagai kelas ekonomi. AIDS merupakan kependekan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome, Acquired berarti didapat, bukan keturunan. Immune terkait dengan sistem kekebalan tubuh manusia. Deficiency berarti kekurangan. Syndrome berarti kumpulan gejala, bukan gejala tertentu.

AIDS disebabkan oleh virus yaitu HIV, bila seseorang terinfeksi HIV, tubuh orang tersebut akan membuat antibodi khusus atau kekebalan untuk menyerang virus tersebut. Dalam tes darah apabila dalam darah terdapat antibodi tersebut berarti positif HIV. Orang yang kena HIV belum tentu AIDS. Banyak orang terinfeksi HIV tetapi dapat sehat selama bertahun-tahun tetapi semakin lama terinfeksi HIV maka semakin rusak kekebalan tubuh. Virus, parasit, jamur dan bakteri yang biasanya tidak menimbulkan masalah bagi tubuh dapat menyebabkan penyakit jika sistem kekebalan tubuh rusak.

Seseorang dapat diprediksikan HIV/AIDS apabila mempunyai gejala mayor seperti berat badan menurun lebih dari 10% dalam satu bulan, diare kronis, demam berkepanjangan, penurunan kesadaran dan demensia. Disamping itu memiliki beberapa gejala minornya yaitu batuk menetap selama lebih dari satu

(2)

2

bulan, herpes, infeksi jamur dan dermatitis (Sumber Informasi kesehatan : Yayasan Aids Indonesia).

Orang dapat terinfeksi HIV dapat melalui hubungan seks dengan orang terinfeksi HIV, pengguna jarum suntik bergantian dengan orang terkena HIV, kelahiran bayi oleh ibu yang terinfeksi atau disusui oleh ibu yang terinfeksi HIV.

HIV tidak menular dengan berjabat tangan, tinggal dalam satu ruangan, makan dengan peralatan makan bergantian orang yang terinfeksi HIV.

Menurut data Ditjen Pengendalian Penyakit dan Pengendalian Lingkungan RI Kementrian Kesehatan RI pada Laporan Kasus HIV/AIDS tanggal 28 Mei sampai dengan Maret 2014 (sumber Yayasan Spiritia), jumlah orang terinfeksi HIV adalah HIV 6.626 orang dan AIDS adalah HIV 308 orang. Secara kumulatif sampai dengan Maret 2014 jumlah orang yang terinfeksi HIV adalah 134.042 orang dan AIDS adalah 54.231 orang. Pada tahun sebelumnya yaitu 2013 jumlah orang terinfeksi HIV secara kumulatif adalah 103.759 orang dan AIDS adalah 43.347 orang. Secara total kasus ini naik sekitar 29% untuk HIV dan 25% untuk AIDS dari tahun sebelumnya. Dari angka ini menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun HIV/AIDS naik secara signifikan.

Dilihat dari tempat kasusnya, sejak pertama kali ditemukan tahun 1987 sampai dengan Maret 2014 HIV/AIDS tersebar di 368 (72%) dari 497 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Provinsi pertama kali ditemukan adanya kasus HIV/AIDS adalah Provinsi Bali. Jumlah orang terinfeksi HIV tertinggi adalah DKI Jakarta (30.023) diikuti Jawa Timur (16.752) Papua (14.943), Jawa Barat (11.084) dan Bali (8.543).

(3)

3

Secara kumulatif kasus AIDS menurut jenis kelamin adalah laki-laki 28.984 (53%), perempuan 15.598 (29%), tidak diketahui 9.649(18%). Sedangkan kumulatif kasus AIDS menurut resiko tertinggi adalah Heteroseksual 32.990 (61%) lainnya tersebar dalam kelompok Homo-Biseksual 1.291 (2%) , IDU 8.411 (16%), Transfusi Darah 126 (0.2%), Transmisi Perinatal 1.446 (2.8%), Tidak diketahui 9,530 (18%). Untuk persentase AIDS tertinggi pada kelompok umur 20-29 (33.1%) kemudian diikuti kelompok umur 30-39 tahun (28.2%) 40-49 tahun (10.5%), 50-59 (3.2%) dan 15-19 tahun (3.1%). Dari data tersebut berarti usia-usia produktif banyak yang terinfeksi AIDS.

Terkait ODH, peneliti mewawancara salah satu dokter di salah satu rumah sakit daerah Bekasi yaitu dokter “P” mempunyai kerabat yang telah meninggal karena HIV/AIDS di bulan Juni 2014. Menurut keterangan dokter “P” sejak awal

“E” memiliki resiko tinggi karena penggunaan jarum pada narkoba tetapi “E”

tidak peduli. Setelah mengetahui dirinya terinfeksi HIV/AIDS, kondisi kesehatannya semakin menurun, kurang bersemangat dalam berobat hingga akhirnya “E” meninggal dunia sekitar dua bulan setelah terinfeksi.

Hal senada juga peneliti temukan pada saat wawancara dengan “B” yang terinfeksi HIV mulai sekitar lima bulan lalu. Pandangan matanya kosong dan sering melihat ke arah lain, beberapa pertanyaan dari peneliti tidak dijawab dengan jelas. “B” yang didampingi oleh keluarganya itu terlihat belum bisa move on cenderung acuh dengan orang di sekitarnya dan terlihat lesu.

Berbeda dengan kondisi ODHA lainnya, peneliti menghubungi melalui telepon dengan “A”. Dari suaranya terdengar ceria dan tanpa beban sehingga

(4)

4

peneliti dapat leluasa untuk bertanya. Dari ceritanya setelah “A” setelah mendapat vonis HIV positif maka dia ingin menebus segala dosanya dengan memanfaatkan hidup berbagi pada orang lain terutama pada penderita ODHA.

Menurut “A” kondisi kesehatannya baik, memang diakui bahwa dia sering sakit tapi dia tidak mau menunda untuk berobat sehingga penyakitnya tidak parah karena dia sadar bahwa penyakit ringanpun dengan kondisi dia yang terinfeksi HIV akan menjadi lebih parah jika tidak segera ditindaklanjuti. Disamping itu

“A” menjaga pola hidup sehat seperti benar-benar berhenti merokok. Dia merasa harus bisa melewati masalah ini karena tidak mau keluarganya ikut sedih dengan kondisinya.

Dari fenomena subjek yang peneliti interview diatas keyakinan ODHA dalam meneruskan kehidupan setelah teridentifikasi HIV/AIDS berbeda-beda.

Ada individu setelah mengetahui positif HIV/AIDS menjadi menyerah, tidak mau berobat karena merasa sakitnya tidak akan bisa sembuh seperti pada diri E yang pada akhirnya meninggal satu bulan setelah positif HIV/AIDS. Pada subjek B, keyakinan diri memudar terlihat pada tatapan matanya kosong dan lesu. Disisi yang lain subjek A mempunyai keyakinan kuat untuk dapat meneruskan hidupnya, dia memiliki kemauan untuk tetap sehat dan tidak menyepelekan penyakit sekunder yang menggerogoti tubuhnya yaitu dengan segera melakukan pengobatan apabila ada keluhan. Kemauan dan keyakinan dia untuk menebus dosa karena tindakan masa lalu juga menjadi salah satu dasar dia dapat move on.

(5)

5

Keyakinan diri inilah yang disebut self efficacy yaitu keyakinan seseorang dalam kemampuannya untuk melakukan suatu bentuk kontrol terhadap keberfungsian orang itu sendiri dan kejadian dalam lingkungan (Bandura, 2001).

Bandura beranggapan bahwa keyakinan seseorang adalah landasan dari hidup manusia. Manusia dengan efficacy tinggi yakin bahwa mereka dapat melakukan sesuatu yang mempunyai potensi untuk dapat mengubah kejadian di lingkungannya dan akan lebih mungkin bertindak serta lebih mungkin untuk menjadi sukses daripada manusia yang mempunyai efficacy rendah.

Dengan variasi keyakinan yang dimiliki ODHA untuk meneruskan kehidupannya, maka vareasi pula kebahagiaan pada diri mereka. Pada subjek diatas dapat terlihat bahwa E dan B dengan keyakinan yang rendah dalam menghadapi vonis HIV membuat kehidupannya tidak lagi menjadi bahagia, putus asa, menarik diri dari interaksi lingkungan sosial. Berbeda halnya dengan A, keyakinan diri yang tinggi membawanya menjalani kehidupan dengan tetap ceria seperti mau berbagi terutama pada para penderita ODHA. Kebahagiaan masing- masing orang inilah yang disebut sebagai subjective well-being yaitu kepuasan hidup dan evaluasi terhadap domain-domain kehidupan yang penting seperti pekerjaan, kesehatan dan hubungan (Diener, 2008). Termasuk didalamnya emosi mereka, seperti keceriaan, keterlibatan, pengalaman emosi yang negatif (contoh:

kemarahan, kesedihan) dan ketakutan yang sedikit.

Disisi yang lain tidak dapat dipungkiri bahwa Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) hidup dalam stigma dan diskriminasi. Stigma dan diskriminasi inilah yang seringkali menyebabkan sebagian besar ODHA kesulitan untuk

(6)

6

memberitahukan kondisi mereka kepada orang tua dan anggota keluarga. Bentuk perlakuan yang diterima dari ODHA adalah pengucilan dari keluarga seperti pengucilan ODHA dari ahli waris keluarga, pemisahan alat mandi/alat makan serta tuntutan perceraian dari pasangan.

Disisi lain stigma juga muncul dari dirinya sendiri yaitu AIDS seperti dianggap hukuman mati. Orang yang pertama kali terdiagnosis HIV/AIDS seringkali merasa gundah, depresi, putus asa. Hal ini menyebabkan ODHA melakukan stigma dan diskriminasi atas dirinya sendiri (Nurhayati, 2012).

Penelitian yang dilakukan oleh Vicki E. Hutton, Rose Anne Misajon Francesca E. Collins dalam Jurnal subjective well-being and ‘Felt’ Stigma when Living with HIV tanggal 29 Januari 2012 menjelaskan ODHA memiliki gejala emosional yaitu kelelahan, depresi, kecemasan, kekhawatiran yang mempengaruhi subjective well-being-nya. Dan hasil penelitian menyatakan bahwa stigma masyarakat untuk ODHA juga menurunkan subjective well-being yang dapat meningkatkan resiko perilaku yang merugikan kesehatan seperti tidak patuhnya dalam mengkonsumsi obat-obatan, substansi pelecehan, perilaku seksual berisiko dan non-pengungkapan HIV.

Dari apa yang sudah diuraikan di atas, peneliti tertarik untuk meneliti tentang hubungan antara self efficacy dan subjective well-being pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA).

(7)

7 1.2 Pertanyaan Penelitian

Apakah ada hubungan antara self efficacy dengan subjective well-being pada Orang Dengan HIV/AIDS?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara self efficacy dengan subjective well-being pada Orang Dengan HIV/AIDS?

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada perkembangan ilmu psikologi terutama psikologi klinis dan kesehatan yang berkaitan dengan mengenai self efficacy dan subjective well-being pada ODHA.

1.4.2 Manfaat Praktis 1.4.2.1 Bagi ODHA

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi mereka yang mengalami hal yang serupa (ODHA), sehingga dapat memiliki self efficacy untuk tetap mempertahankan kebahagiaannya.

1.4.2.2 Bagi Masyarakat Luas

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tambahan tentang ODHA, sehingga masyarakat memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang ODHA dan dapat menerima ODHA dalam lingkungan sosial.

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini menunjukkan bahwa inovasi, adopsi e-commerce, dan keunggulan kompetitif merupakan prediktor dari kinerja pemasaran sehingga UKM penting untuk memperhatikan dan

Jumlah item angket untuk variabel perilaku kepemimpinan konstruktif kepala sekolah adalah 35 item, setelah dilakukan uji coba angket 30 item dinyatakan memiliki t hitung

Dari hasil analisis sidik ragam dapat dilihat bahwa pemberian pupuk majemuk Intan Super dan pupuk NPK Mutiara menunjukkan pengaruh sangat nyata terhadap produksi

Pembersihan liang telinga yang tidak tepat (khususnya dengan kapas telinga) dapat mengganggu mekanisme pembersihan serumen normal dan mendorong serumen ke arah membran

Objektif Pembelajaran Pada akhir pembelajaran, murid dapat menyanyikan lagu Azam Baru dengan sebutan huruf vokal yang jelas dan betul. Aktiviti Pengajaran dan

Dalam penelitian ini, peneliti tertarik untuk membahas masalah yang sudah mengakar di tengah masyarakat dan ingin mengetahui kampanye seperti apa yang sudah

Dalam penelitian ini yang diteliti adalah self efficacy dalam penggunaan dwibahasa yaitu keyakinan seseorang akan kemampuannya dalam menggunakan bahasa daerah dengan

Menurut Bandura (dalam Feist dkk, 2017) mendefinisikan efikasi diri sebagai “keyakinan seseorang dalam kemampuannya untuk melakukan suatu bentuk kontrol terhadap