BAB II: TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum
Gambar 1. Kerangka Tinjauan Umum Prambanan Heritage Hotel & Convention
Arsitektur Neo-Vernakular
Tinjauan Kerja (KAK)
Tinjauan Pustaka Tinjauan
Arsitektur Studi Banding 1. Lingkup Perancangan 2. Landasan Hukum Perancangan 3. Kriteria Perancangan 1. Hotel 2. Convention 1. Arsitektur Venakular 2. Arsitektur Neo-Vernakular 3. Arsitektur Jawa (Tradisional) 4. Ragam Bentuk dan Filosofi Bangunan 1.Bidakara Hotel & Convention 2. Balai Kartini Tinjauan Tema 1. Kawasan Heritage 2. Konsep Pembangunan Berkelanjutan 3. Arsitektur Kontekstual
2.2 Tinjauan Kerja (KAK)
2.2.1 Lingkup Perancangan
Perancangan Prambanan Heritage Hotel dan Konvensi di lahan PT.Taman Wisata Candi, dengan mengalihfungsikan bangunan eksisting dan vegetasi lingkungan
sekitar.
2.2.2 Landasan Hukum Perancangan
- JICA 1979
- Keputusan Presiden No. 1 Tahun 1992
- Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
- Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya - Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sleman (2011 - 2031)
2.2.3 Kriteria Perancangan
Menitikberatkan Heritage sebagai acuan dasar konsep perancangan sebagai bahan pertimbangan dalam perencanaan dan wujud/manifestasi produknya, meliputi antara lain:
• Aspek arsitektural : interior dan eksterior, termasuk lansekap • Fasilitas Food dan Beverages
• Fasilitas pendukung di hotel (event-event pendukung/pengisi kegiatan kesenian di hotel)
• Unsur material bangunan
• Merapi dan Prambanan sebagai icon heritage yang diintegrasikan dalam perencanaan ruang dan bangunan yang berkelanjutan.
2.3 Tinjauan Pustaka
Dalam situs dinas kebuayaan dan pariwisata disebutkan bahwa Hotel adalah suatu bidang usaha yang menggunakan suatu bangunan atau sebagian banguna yang disediakan secara khusus, untuk setiap orang yang menginap, makan, memperoleh
pelayanan dan menggunakan fasilitas lainnya dengan pembayaran. Ciri khusus dari hotel adalah mempunyai restoran yang dikelola langsung di bawah manajemen hotel tersebut. Kelas hotel ditentukan oleh Dinas Pariwisata Daerah (Diparda).
Serupa dengan Diparda definisi dari hotel adalah suatu bentuk bangunan, lambang, perusahaan atau badan usaha akomodasi yang menyediakan pelayanan jasa penginapan, penyedia makanan dan minuman serta fasilitas jasa lainnya dimana semua pelayanan itu diperuntukkan bagi masyarakat umum, baik mereka yang bermalam di hotel tersebut ataupun mereka yang hanya menggunakan fasilitas tertentu yang dimiliki hotel itu. Pengertian hotel ini dapat disimpulkan dari beberapa definisi hotel seperti tersebut di bawah ini :
a. Salah satu jenis akomodasi yang mempergunakan sebagian atau keseluruhan bagian untuk jasa pelayanan penginapan, penyedia makanan dan minuman serta jasa lainnya bagi masyarakat umum yang dikelola secara komersil (Keputusan Menteri Parpostel no Km 94/HK103/MPPT 1987)
b. Bangunan yang dikelola secara komersil dengan memberikan fasilitas penginapan untuk masyarakat umum dengan fasilitas sebagai berikut : 1) Jasa penginapan
2) Pelayanan makanan dan minuman 3) Pelayanan barang bawaan
4) Pencucian pakaian
5) Penggunaan fasilitas perabot dan hiasan-hiasan yang ada di dalamnya. (Endar Sri,1996:8)
c. Sarana tempat tinggal umum untuk wisatawan dengan memberikan pelayanan jasa kamar, penyedia makanan dan minuman serta akomodasi dengan syarat pembayaran (Lawson, 1976:27)
Menurut buku akomodasi perhotelan Jilid 1, 2008, Ni Wayan Suwithi hotel dikelompokan menjadi bebrapa kategori. Tujuan pengkategorian diperuntukan guna mengetahui jenis dari suatu hotel. Berikut tabel ketegori hotel berdasarkan karakteristiknya.
Tabel 1 Tabel Kategori Hotel
No. Dasar klasifikasi Penjelasan 1. Berdasarkan Kelas Hotel Melati
Hotel bintang satu (*)
Hotel bintang dua (**)
Hotel bintang tiga (***)
Hotel bintang empat (****)
Hotel bintang lima (*****) 2. Berdasarkan Plan Full American Plan
Modified American Plan
Continental Plan
European Plan 3. Berdasarkan Ukuran Hotel Kecil / Small hotel
Hotel Sedang / Medium hotel
Hotel Besar / Large hotel 4. Berdasarkan Lokasi City Hotel
Resort Hotel 5. Berdasarkan Area Downtown Hotel
Suburb Hotel
Country Hotel
Airport Hotel
Motel
Inn
6. Berdasarkan maksud kunjungan tamu Business Hotel
Tourism Hotel
Sport Hotel
Pilgrim hotel
Cure Hotel
Casino Hotel 7. Lamanya tamu menginap Transit Hotel
Semi residential hotel
Residential hotel Tabel Tipe Hotel Berdasarkan Berbagai Klasifikasi
Pemilihan pengguna terhadap hotel memiliki banyak aspek yang diperhatikan, antara lain aksesibilitas, harga sewa, kelas brand hotel, desain hotel dari interior kamar hingga fasad eksterior bangunan hotel, fasilitas hotel dan lain sebagainya. Dari aspek
yang ditinjau tentu ada hubungan yang menjurus terhadap pemilihan seseorang akan sarana akomodasi, dalam penelitian ini tanggapan persepsi pengguna kamar hotel yang akan dijadikan aspek penelitian.
Meskipun kegiatan yang berada di dalam setiap hotel sama, beberapa hotel memiliki keunikan rancangan yang berbeda-beda baik dari sisi kelengkapan ruang, kelengkapan layanan, penampilan bangunan, maupun suasana dalam bangunan yang dirancang. Hal ini dipengaruhi oleh kegiatan khusus atau lebih spesifik dari para tamu hotel. Proses perencanaan sebuah hotel perlu diperhatikan berbagai komponen yang terkait, yang berbeda-beda sesuai dengan jenis hotel yang direncanakan. Oleh karena itu pemahaman pada beberapa klasifikasi hotel perlu dilakukan, yang ditinjau dari beberapa sudut pandang (Marlina Endy, 2008, Panduan Perancangan Bangunan Komersial, hal 52),
2.3.1 Konvensi
Kata convention atau konvensi merupakan pertemuan sekelompok orang untuk suatu tujuan yang sama atau untuk bertukar pikiran, pendapat dan informasi tentang suatu hal yang menjadi perhatian bersama. Istilah "Convention" digunakan secara luas untuk menggambarkan suatu bentuk pertemuan tradisional atau pertemuan seluruh anggota kelompok (Lawson, Fred, Conference, Convention and Exhibition Facilities, The Architecture Press, London, 1981). Sedangkan pengertian konvensi menurut Dirjen Pariwisata, adalah suatu kegiatan berupa pertemuan antara sekelompok orang (negarawan, usahawan, cendekiawan dan sebagainya) untuk membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan kepentingan bersama atau bertukar informasi tentang hal-hal baru yang menarik untuk dibahas (Keputusan Dirjen Pariwisata Nomor: Kep-06/U/IV/1992; Pasal 1: Pelaksanaan usaha jasa konvensi, perjalanan intensif dan pameran).
Menurut Kesrul (2004) dalam Fidinina (2014), convention pada umumnya juga termasuk ke dalam kegiatan MICE (Meeting, Incentive, Conference dan Exhibition) sebagai suatu kegiatan kepariwisataan yang aktifitasnya merupakan perpaduan antara leisure dan business, biasanya melibatkan sekelompok orang secara bersama-sama, rangkaian kegiatannya dalam bentuk meetings, incentive travels, convention, congresses, conference dan exhibition. Kegiatan konvensi atau convention membutuhkan ruang khusus yaitu berupa Hall. Pengertian Hall itu sendiri adalah
ruangan, ruang depan, aula, balai ruang (John M Echols and Hasan shadily, Kamus Bahasa Inggris-Indonesia). Suatu konvensi terdapat banyak informasi yang dapat diungkapkan, dibahas dan disimpulkan bersama, yang berkaitan dengan tema atau subyek yang menjadi topik perhatian atau pembicaraan pada kegiatan tersebut.
Perkembangannya sering diikuti dengan pameran/eksibisi yang mendukung atau berkaitan dengan tema konvensi. Dari uraian di atas, maka dapat diambil satu pengertian mengenai "Convention Hall” adalah suatu ruangan yang digunakan sebagai tempat untuk pertemuan (yang mencakup sidang utama dan komisi, jamuan dan pameran) bagi sekelompok orang untuk saling tukar-menukar informasi, pendapat dan hai-hal baru yang menarik dibahas untuk kepentingan bersama. Lengkap dengan segala sarana dan prasarana penunjangnya, baik konvensi berskala nasional maupun internasional, serta masih dimungkinkan dilaksanakan kegiatan lainnya seperti jamuan makan dan eksibisi (Santoso, 2011).
2.3.2 Kegiatan Konvensi
Berikut ini merupakan kegiatan convention atau bentuk pertemuan convention menurut Fred Lawson (1981), dalam bukunya Conference, Convention, and Exhibition Facilities, yang dapat ditampung dalam sebuah convention maupun exhibition center, antara lain:
1. Kongres, merupakan pertemuan untuk mendiskusikan atau menetapkan penyelesaian sejumlah permasalahan.
2. Konvensi, merupakan pertemuan sejumlah orang untuk suatu objek umum atau untuk bertukar pikiran, pandangan dalam grup.
3. Konferensi, merupakan sesi umum dan face to face kelompok dengan partisipasi yang tinggi terutama terhadap perencanaan, mendapatkan fakta informasi, ataupun menyelesaikan masalah. Biasanya terdiri dari satu golongan seperti profesi, asosiasi, dan perusahaan. Pertemuan ini terkesan sangat formal dan mendorong partisipasi kolektif dalam mencapai pendapat obyektif dan tujuan.
4. Seminar, umumnya tatap muka berbagi pengalaman tentang fakta di bawah bimbingan seorang pemimpin diskusi. Pesertanya lebih dari 30 orang
5. Workshop, umumnya terdiri dari sesi umum bersamaan dengan tatap muka peserta untuk meningkatkan pengetahuan baru, kemampuan dan wawasan dalam masalah. Pesertanya biasanya lebih dari 35 orang.
6. Simposium, diskusi panel dengan pemberian pemaparan ahli sebelum sesi audiensi. Walaupun partisipasi pendengar rendah dalam simposium.
7. Forum, diskusi panel yang mengambil sisi yang bertolak belakang oleh ahli dengan pemberian pemaparan dan memberikan kesempatan kepada pendengar untuk berpartisipasi.
8. Kuliah umum, presentasi resmi oleh seorang ahli yang diikuti dengan sesi tanya jawab.
9. Panel, dua atau lebih pembicara yang mengemukakan sudut pandang dengan diskusi antar pembicara yang dipimpin oleh moderator.
10. Colloquium, program dengan penentuan masalah oleh peserta di awal yang kemudian didiskusikan, pemimpin diskusi kemudian membangun program seputar masalah yang paling banyak. Diskusi ini memiliki penekanan sama pada diskusi dan instruksinya.
2.3.3. Persyaratan Fasilitas Konvensi
Berikut ini merupakan tabel terkait persyaratan fasilitas pada bangunan convention:
Tabel 2 Congress, Convention and Exhibition Facilities Sumber: Fred Lawson, 2000
Aspect Checklist
Public access Sarana transportasi, ruang tunggu, fasilitas parkir
Sensitive areas Perlindungan terhadap pengrusakan dan kerusakan (pagar, parit).Penggabungan dalam susunan (halaman, konservatori kaca)
Security generally Pengendalian jalur akses, sistem pengawasan
Flood lighting Pencahayaan bangunan dan outdoor pameran (Sistem pencahayaan, lokasi). Pencahayaan pintu masuk dan pendekatan
Maintenance Ground maintance, building fabric, window cleaning
Emergency access
and egress Lokasi keluar dan tempat berkumpul. Akses kendaraan, hidran air, pencahayaan darurat
Technical plant Plant room requirements, location, limitation of noise, vibration; effuvia, storage and safety requirements
Exhibits and other
deliveries Loading dock requirements, dimensional clearances, handling equipment, security control, weather protection
Adapun detail dari persyaratan fasilitas yang tersedia dalam convention center adalah sebagai berikut (Lawson, 1981):
1. Memiliki satu atau dua auditorium besar dengan kapasitas 1000 sampai 3000 tempat duduk.
2. Dua atau tiga hall pertemuan kapasitas sedang dengan 200-500 tempat duduk. 3. Empat sampai sepuluh ruang pertemuan dengan kapasitas 20 sampai 50
tempat duduk.
4. Hall ekshibisi dengan luas dan spesifikasi tertentu.
5. Service food (restaurant, coffee bar) untuk peserta konvensi. 6. Monitor televisi, broadcasting.
7. Pelayanan pos, pers, conference organizers untuk delegasi. 8. Pelayanan secretariat untuk kegiatan kongres.
9. Pelayanan pengadaan, printing, dan pelayanan penerjemah bahasa. 10. Pelayanan display dan pelayanan ekshibisi.
11. Pelayanan recording, filming, dan publisitas.
12. Pelayanan parkir kendaraan untuk delegasi VIP dan parkir umum.
2.4 Tinjauan Tema
2.4.1 Kawasan Heritage
Esensi dari warisan (Heritage) masa lalu, adalah apa yang saat ini dijalani manusia, dan apa yang diteruskan kepada generasi mendatang. Secara
singkat sesuatu benda atau kepercayaan yang mempunyai nilai sehingga patut dipertahankan atau dilestarikan keberadaannya.
2.4.1.1 Definisi Heritage
Menurut John M Echols dan Hassan Shadily, heritage berarti warisan atau pusaka. Menurut Peter Howard memaknakan heritage sebagai segala sesuatu hal yang ingin diselamatkan orang, termasuk budaya material maupun alam.
Merujuk pada Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia yang dideklarasikan di Ciloto 13 Desember 2003, heritage disepakati sebagai pusaka. Pusaka (heritage) Indonesia meliputi Pusaka Alam, Pusaka Budaya, dan Pusaka Saujana. Pusaka Alam adalah bentukan alam yang istimewa. Pusaka Budaya adalah hasil cipta, rasa, karsa, dan karya yang istimewa dari lebih 500 suku bangsa di tanah air Indonesia, secara sendiri-sendiri, sebagai kesatuan bangsa Indonesia, dan dalam interaksinya dengan Budaya lain sepanjang sejarah keberadaannya.
Pusaka Budaya menurut Ibid dalam bukunya yang berjudul World Heritage Committee, heritage dibagi menjadi dua unsur, yaitu:
1. Intangible Heritage (abstrak), merupakan heritage yang tidak dapat disentuh karena bukan merupakan benda berwujud (bahasa, ritual, music, tarian, kepercayaan, dll).
2. Tangible Heritage (konkrit), merupakan heritage yang berupa benda berwujud atau dapat disentuh.
2.4.1.2 Ciri – ciri Heritage
Menurut Synder dan Catanse dalam Budiharjo (1997), terdapat enam cirri-ciri heritage, antara lain:
1. Kelangkaan, yaitu merupakan sesuatu yang langka.
2. Kesejarahan, yaitu memuat lokasi peristiwa bersejarah yang penting. 3. Estetika, yaitu mempunyai keindahan bentuk struktur atau ornament. 4. Superlativitas, yaitu tertua, tertinggi, atau terpanjang.
5. Kejamakan, yaitu karya yang mewakili suatu jenis atau ragam bangunan tertentu.
6. Pengaruh, yaitu keberadaanya akan meningkatkan citra lingkungan sekitarnya.Selain keenam ciri diatas, Kerr (1983) menambahkan tiga ciri-ciri heritage, yaitu:
1. Nilai Sosial, yaitu mempunyai makna bagi masyarakat.
2. Nilai Komersial, yaitu berpeluang untuk dimanfaatkan sebagai kegiatan ekonomis.
3. Nilai Ilmiah, yaitu berperan dalam bidang pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Khusus untuk gedung atau bangunan tua, yang bisa dikategorikan sebagai pusaka kota, kita bisa mengacu pada UU No 5 Th 1992, tentang Cagar Budaya. Dalam UU itu, kategori gedung atau bangunan yang berusia di atas 50 tahun bisa dimasukkan sebagai cagar budaya yang keberadaannya harus dilindungi dan dilestarikan.
2.4.2 Konsep Pembangunan Berkelanjutan Sutainable Development
2.4.2.1 Pengertian Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan yang sekarang sedang marak adalah pembangunan yang hanya bersifat sementara. Dengan tuntutan globalisasi, Indonesia mengikuti perkembangan jaman tanpa melihat prospek ke depan. Perkembangan masyarakat yang serba instan dan asal jadi, budaya konsumtif telah mendarah daging pada sebagian besar masyarakat Indonesia. Sedang sebenarnya, hakikat pembangunan adalah pembangunan yang berkelanjutan yang tidak parsial, instan dan pembangunan kulit. Maka, dengan adanya konsep Sustainable Development yang kemudian disebut SD akan berusaha memberikan wacana baru mengenai pentingnya melestarikan lingkungan alam demi masa depan, generasi yang akan datang (Dewi, 2011).
Pembangunan berkelanjutan dirumuskan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan hak pemenuhan
kebutuhan generasi mendatang. Pembangunan berkelanjutan mengandung makna jaminan mutu kehidupan manusia dan tidak melampaui kemampuan ekosistem untuk mendukungnya. Dengan demikian pengertian pembangunan berkelanjutan pada konteks terebut adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pada saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka (Sudarmadji, 2008). Pembangunan yang berkelanjutan juga merupakan pembangunan yang dapat didukung secara ekologis, layak secara ekonomis dan adil secara etika, sosial dan budaya terhadap masyarakat. Oleh karena itu, pembangunan yang berkelanjutan merupakan upaya terpadu dan terorganisasi untuk mengembangkan kualitas hidup dengan cara mengatur penyediaan, pengembangan, pemanfaatan dan pemeliharaan sumber daya secara berkelanjutan.
Konsep pengembangan secara berkelanjutan tersebut pada intinya menekankan pada 4 (empat) prinsip, yaitu (WTO, 1990):
1. Layak secara ekonomi (economically feasible) 2. Berwawasan lingkungan (environtmentaly viable) 3. Diterima secara sosial (socially acceptable)
4. Dapat diterapkan secara teknologis (technologically appropriate)
Gambar 2. Pendekatan Sustainable Development
Sumber: Studi Kelayakan Pembangunan Hotel di Kawasan Prambanan, PT.Kertagana 2.4.2.2 Prinsip dan Sasaran
Pembangunan yang berkelanjutan dapat dikenali melalui prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Kualitas Pengalaman (Quality of Experience)
Yaitu melingkupi rasa keingintahuan, keunikan dan imajinasi pengunjung (konsumen).
b. Kualitas Sumber Daya (Quality of Resources)
Yaitu melingkupi kebutuhan alam lingkungan, pengelolaan kapasitas dan pemeliharaan sumber daya pembangunan itu sendiri.
c. Kualitas Masyarakat Lokal (Quality of Local People)
Yaitu melingkupi keterlibatan masyarakat lokal, dampak sosial masyarakat dan kelangsungan kehidupan perekonomian masyarakat di sekitar kawasan. Sutamihardja (2004), menyatakan sasaran pembangunan berkelanjutan mencakup pada upaya untuk mewujudkan terjadinya: a. Pemerataan manfaat hasil-hasil pembangunan antar generasi
(intergeneration equity) yang berarti bahwa pemanfaatan sumberdaya alam untuk kepentingan pertumbuhan perlu memperhatikan batas-batas yang wajar dalam kendali ekosistem atau sistem lingkungan serta diarahkan pada sumberdaya alam yang replaceable dan menekankan serendah mungkin eksploitasi sumber daya alam yang unreplaceable.
b. Safeguarding atau pengamanan terhadap kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup yang ada dan pencegahan terjadi gangguan
Environtment
Social Economy
Tecnological Culture
ekosistem dalam rangka menjamin kualitas kehidupan yang tetap baik bagi generasi yang akan datang.
c. Pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam semata untuk kepentingan mengejar pertumbuhan ekonomi demi kepentingan pemerataan pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan antar generasi.
d. Mempertahankan kesejahteraan rakyat (masyarakat) yang berkelanjutan baik masa kini maupun masa yang mendatang (inter temporal).
e. Mempertahankan manfaat pembangunan ataupun pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang mempunyai dampak manfaat jangka panjang ataupun lestari antar generasi.
f. Menjaga mutu ataupun kualitas kehidupan manusia antar generasi sesuai dengan habitatnya.
Tujuan Pembangunan berkelanjutan yang mendasarkan pada prinsip-prinsip tersebut, tidak lain akan bermuara pada 5 (lima) sasaran sebagai berikut (Fennel, 1999):
1. Untuk membangun pemahaman dan kesadaran yang semakin tinggi bahwa pembangunan dapat berkontribusi secara signifikan bagi pelestarian lingkungan dan pembangunan ekonomi.
2. Untuk meningkatkan keseimbangan dalam pembangunan. 3. Untuk meningkatkan kualitas hidup bagi masyarakat setempat.
4. Untuk meningkatkan kualita pengalaman bagi pengunjung atau konsumen. 5. Untuk meningkatkan dan menjaga kelestarian dan kualitas lingkungan bagi
generasi yang akan datang.
2.4.3 Arsitektur Kontekstual
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia; ar·si·tek·tur /arsitéktur/ n 1 seni dan ilmu merancang serta membuat konstruksi bangunan, jembatan, dsb; 2 metode dan gaya rancangan suatu konstruksi bangunan. Kon·teks·tu·al /kontékstual/ a berhubungan dng konteks. Kon·teks /kontéks/ n 1 Ling bagian suatu uraian atau kalimat yg dapat mendukung atau menambah kejelasan
makna; 2 situasi yg ada hubungannya dng suatu kejadian: orang itu harus dilihat sbg manusia yg utuh dl — kehidupan pribadi dan masyarakatnya.
2.4.3.1 Pengertian
Kontekstual adalah kemungkinan perluasan bangunan dan keinginan mengaitkan bangunan baru dengan lingkungan sekitarnya (Brent C Brolin, Architecture in Context). Dengan kata lain, kontekstualisme merupakan sebuah ide tentang perlunya tanggapan terhadap lingkungannya serta bagaimana menjaga dan menghormati jiwa dan karakter suatu tempat.
Menurut Bill Raun; Kontekstual menekankan bahwa sebuah bangunan harus mempunyai kaitan dengan lingkungan (bangunan yang berada di sekitarnya). Keterkaitan tersebut dapat dibentuk melalui proses menghidupkan kembali nafas spesifik yang ada dalam lingkungan (bangunan lama) ke dalam bangunan yang baru sesudahnya. Maka, arsitektur kontekstual menurut pemahaman saya adalah sebuah metode perancangan yang mengkaitkan dan menyelaraskan bangunan baru dengan karakteristik lingkungan sekitar. Adapun poin-poin penting pada arsitektur kontekstual sebagai berikut ini:
Kontekstual berarti berusaha keras agar ada “kesesuaian” antara pendatang baru, yaitu bangunan atau karya arsitektur dengan kondisi tapak yang telah ada sebelumnya.
Kesesuaian tidak berarti harus sama.
Kesesuaian yang dimaksud adalah memperkuat, memperbesar, menyelamatkan, memperbaiki atau meningkatkan kualitas lingkungan yang ada.
Kontekstual merupakan suatu hal yang penting dalam arsitektur, karena arsitektur bukanlah obyek yang berdiri sendiri, melainkan harus menjadi satu kesatuan harmonis dengan sekitarnya, menjadi satu kesatuan jaringan secara sosial, budaya maupun ekologis. Keberadaannya harus memberikan keseimbangan, tidak hanya mengambil tetapi juga memberi. Kontekstualisme menurut Brent C Brolin dalam bukunya Architecture in Context (1980) . Untuk mewujudkan dan menciptakan arsitektur kontekstual, sebuah desain tidak harus
selamanya kontekstual dalam aspek fisik saja, akan tetapi kontekstual dapat pula dihadirkan melalui aspek non fisik, seperti fungsi, filosofi, maupun teknologi
Kontekstual pada aspek fisik, dapat dilakukan dengan cara:
1. Mengambil motif-motif bangunan yang telah ada atau motif desain setempat: bentuk massa, pola atau irama bukaan, dan ornamen desain.
a. Geometri: standard geometri: persegi, bulat, segitiga, kubus dll. b. Kompleksitas: derajat kesederhanaan atau daya tarik.
c. Orientasi: hubungan bentuk dengan horizon, vertikal atau horizontal
2. Menggunakan bentuk dasar yang sama untuk dimodifikasi sehingga tampak beda.
3. Mengembangkan bentuk-bentuk dan pola-pola baru yang memiliki efek visual yang mendekati bangunan lama.
4. Mengabstraksikan bentuk-bentuk asli (kontras).
Kontekstual dalam aspek non fisik dapat dilakukan melalui pendekatan: 1. Fungsi
2. Filosofi 3. Teknologi.
Bangunan baru yang didesain ’kontras’ dengan bangunan lama, namun mampu memperkuat nilai historis bangunan lama akan dianggap lebih kontekstual daripada bangunan baru yang dibuat ’selaras’, sehingga menghilangkan atau mengaburkan pandangan orang akan nilai historis bangunan lama. Sehingga, untuk menjadikan sebuah desain kontekstual, bisa dengan menjadikannya ’selaras’ ataupun ’kontras’ dengan lingkungan sekitar dengan tetap mengedepankan tujuan dari kontekstual itu sendiri, yaitu menghadirkan ’kesesuaian’, dalam arti memperkuat, memperbesar, menyelamatkan, memperbaiki atau meningkatkan kualitas lingkungan yang ada (Wijayanti, 2011).
2.4.3.2 Jenis dan Ciri-ciri
1. Contras (kontras / berbeda)
Menciptakan lingkungan urban yang hidup dan menarik, namun dalam pengaplikasiannya diperlukan kehati-hatian agar tidak menimbulkan kekacauan. Sesuai dengan pendapat Brent C. Brolin, bahwasannya kontras bangunan modern dan kuno bisa merupakan sebuah harmoni, namun ia mengatakan bila terlalu banyak akan mengakibatkan ”shock effect” yang timbul sebagai akibat kontras. Maka efektifitas yang dikehendaki akan menurun sehingga yang muncul adalah chaos. Contoh penerapan desain bangunan pada jenis kelompok arsitektur kontekstual kontras dapat terlihat pada bangunan Louver, di Paris, Perancis.
Gambar 3.Louvre Pyramid, Paris Prancis. Monumen Nasonal, Jakarta Indonesia Sumber: Google.co.id,
2. Harmony (harmoni / selaras)
Ada kalanya suatu lingkungan menuntut keserasian / keselarasan, hal tersebut dilakukan dalam rangka menjaga keselarasan dengan lingkungan yang sudah ada. Bangunan baru lebih menghargai dan memperhatikan konteks/ lingkungan dimana bangunan itu berada. Sehingga kehadiran satu atau sekelompok bangunan baru lebih menunjang daripada menyaingi karakter bangunan yang sudah ada walaupun terlihat dominan (secara Kuantitatif). Contoh penerapan desain bangunan pada jenis kelompok arsitektur kontekstual harmoni/selaras dapat terlihat pada bangunan komplek permukiman, perkantoran, maupun perkotaan. Berikut contoh penerapannya dalam perumahan dan bangunan tinggal apartemen.
Gambar 4.Victorian Homes, Apartment Montreux Sumber: Google.co.id
Desain pada arsitektur kontekstual memiliki beberapa karakteristik, antara lain: 1. Bangunan kontekstual tidak berdiri sendiri dan berteriak “Lihatlah Aku!” tetapi
bahkan cenderung menjadi suatu bangunan yang bersifat latar belakang. 2. Teknik mendisain dengan faham Kontekstualisme dapat dikembangkan untuk
dapat memberikan jawaban khususnya untuk kondisi-kondisi yang bersifat morfologis, tipologis, dan pragmatis menjadi bersifat pluralistik dan fleksibel. 3. Selain itu juga bukan dogmatis rasional atau terlalu berorientasi pada
kaidah-kaidah yang terlalu universal.
Adapun ciri – ciri dari pendekatan desain kontekstual adalah: 1. Adanya pengulangan motif dari desain bangunan sekitar.
2. Pendekatan baik dari bentuk, pola atau irama, ornament, dan lain-lain terhadap bangunan sekitar lingkungan, hal ini untuk menjaga karakter suatu tempat. 3. Meningkatkan kualitas lingkungan yang ada.
2.5 Tinjauan Arsitektur
2.5.1 Arsitektur Vernakular
Vernakular, berasal dari vernacullus yang berarti lokal, pribumi. Pembentukan arsitektur berangsur dengan sangat lama sehingga sikap bentuknya akan
mengakar. Latar belakang indonesia yang amat luas dan memiliki banyak pulau menyebabkan perbedaan budaya yang cukup banyak dan arsitektur merupakan salah satu parameter kebudayaan yang ada di indonesia karena biasanya arsitektur terkait dengan sistem sosial, keluarga, sampai ritual keagamaan.
2.5.1.1 Definisi Arsitektur Vernakular
- Amos Rapoport (House Form and Culture, 1969) Arsitektur Vernakular adalah karya arsitektur yang tumbuh dari segala macam tradisi dan mengoptimalkan atau memanfaatkan potensi-potensi local seperti material, teknologi, dan pengetahuan. Dikarenakan arsitektur vernakular sangat mengoptimalkan potensi atau budaya lokal, maka suatu bangunan yang berkonsep vernakular sangat mempertimbangkan kelestarian lingkungan sehingga juga bersifat sustainable architecture. Arsitektur vernakular ditemukan secara trial and erroroleh rakyat itu sendiri
- Paul Oliver dalam bukunya Ensiklopedia Arsitektur Vernakular menjabarkan bahwa arsitektur vernakular konteks dengan lingkungan sumber daya setempat yang dibangun oleh suatu masyarakat dengan menggunakan teknologi sederhana untuk memenuhi kebutuhan karakteristik yang mengakomodasi nilai ekonomi dan tatanan budaya dari masyarakat tersebut.
Dapat dikatakan bahwa arsitektur vernakular adalah arsitektur yang terbentuk dari proses yang berangsur lama dan berulang-ulang sesuai dengan perilaku, kebiasaan, dan kebudayaan di tempat asalnya.
2.5.1.2 Raga Bentuk Bangunan Vernakular
Dari bentuk elemen bangunanm arsitektur vernakular di Indonesia memiliki keunikan tersendiri, disa dilihat pada gambar berikut
BENTUK BANGUNAN KETERANGAN - Bagian Atap Bangunan manggunakan Sistem Konstruksi V
- ( Arsitektur Vernakular Nias )
- Sistem Tiang dan Pondasi Bangunana menggunakan Pondasi Umpak mengikat
- Tiang dan Balok Kayu yang Saling Mengikat
- Memiliki ornamen pada dinding penutup atap yang
menyimbolkan status sosial kekuasaan dan karakteristik budaya
- Menggunakan bahan bangunan yang berada di dekat
perkampungan, dan menggunakan konstruksi sederhana.
- Anatomi bangunan vernakular di Indonesia sebagian besar menggunakan prinsip kepala, badan, dan kaki, atau atas, tengah dan bawah.
- Sebagian besar rumah vernakuler di Indonesia dihasilkan dari pengalaman, pemikiran, dan kosmologi
2.5.1.3 Peran dan Fungsi Arsitektur Vernakular
Dalam pengertian umum, arsitektur Vernacular merupakan istilah yang banyak digunakan untuk menunjuk arsitektur indigenous kesukaan, tribal, arsitektur kaum petani atau arsitektur tradisional.
Dalam konteks arsitektur, peran dan fungsi arsitektur vernakular menjadi penting bukan hanya di indonesia saja tetapi juga di asia, karena asia terdiri dari berbagai macam budaya dan adat yang berlainan di berbagai wilayahnnya, dimana setiap wilayah memiliki ciri arsitektur yang spesifik dan berasal dari tradisi yang dibangun oleh masyarakat dengan menggunakan teknologi sederhana untuk memenuhi kebutuhan karakteristik yang mengakomodasi nilai ekonomi dan tatanan budaya masyarakat dari masyarakat tersebut. Antara tradisi dan arsitektur vernakular sangat erat hubungannya. tradisi memberikan suatu jaminan untuk melanjutkan kontinuitas akan tatanan sebuah arsitektur melalui sistem persepsi ruang, bentuk, dan konstruksi yang dipahami sebagai suatu warisan yang akan mengalami perubahan secara perlahan melalui suatu kebiasaan dengnan cara mengetahui bagaimana adaptasi masyarakat lokal terhadap alam, yang memunculkan berbagai cara untuk menanggulangi,
Kesederhanaan dalam arsitektur vernakular merupakan nilai lebih sehingga tercipta bentuk khas dari arsitektur vernakular serta menunjukkan bagaimana menggunakan material secara wajar dan tidak berlebihan. Hasil karya ‘rakyat’ ini merefleksikan akan suatu masyarakat yang akrab dengan alamnya, kepercayaannya, dan norma-normanya dengan bijaksana.
2.5.2 Arsitektur Neo-Vernakular
Arsitektur Neo Vernakular adalah salah satu paham atau aliran yang berkembang pada era Post Modern yaitu aliran arsitektur yang muncul pada pertengahan tahun 1960-an, Post Modern lahir disebabkan pada era modern timbul protes dari para arsitek terhadap pola-pola yang berkesan monoton (bangunan berbentuk kotak-kotak). Oleh sebab itu, lahirlah aliran-aliran baru yaitu Post Modern.
Terdapat 6 (enam) aliran yang muncul pada era Post Modern menurut Charles A. Jenck diantaranya
- historiscism, - straight revivalism, - neo vernakular, - contextualism, - methapor dan - post modern space.
2.5.2.1 Definisi Arsitektur Neo-Vernakular
Kata NEO atau NEW berarti baru atau hal yang baru, sedangkan kata vernacular berasal dari kata vernaculus (bahasa latin) yang berarti asli. Maka arsitektur vernakular dapat diartikan sebagai arsitektur asli yang dibangun oleh masyarakat setempat.
2.5.2.2 Ciri Ciri Arsitektur Neo-Vernakular
Dari pernyataan Charles Jencks dalam bukunya “language of Post-Modern Architecture (1990)” maka dapat dipaparkan ciri-ciri Arsitektur Neo-Vernakular sebagai berikut.
a. Selalu menggunakan atap bumbungan.
Atap bumbungan menutupi tingkat bagian tembok sampai hampir ke tanah sehingga lebih banyak atap yang diibaratkan sebagai elemen pelidung dan penyambut dari pada tembok yang digambarkan sebagai elemen pertahanan yang menyimbolkan permusuhan.
b. Batu bata (dalam hal ini merupakan elemen konstruksi lokal).
Bangunan didominasi penggunaan batu bata abad 19 gaya Victorian yang merupakan budaya dari arsitektur barat.
c. Mengembalikan bentuk-bentuk tradisional yang ramah lingkungan dengan
d. Kesatuan antara interior yang terbuka melalui elemen yang modern dengan ruang
terbuka di luar bangunan.
e. Warna-warna yang kuat dan kontras.
Dari ciri-ciri di atas dapat dilihat bahwa Arsitektur Neo-Vernakular tidak ditujukan pada arsitektur modern atau arsitektur tradisional tetapi lelbih pada keduanya. Hubungan antara kedua bentuk arsitektur diatas ditunjukkan dengan jelas dan tepat oleh Neo-Vernacular melalui trend akan rehabilitasi dan pemakaian kembali.
a. Pemakaian atap miring
b. Batu bata sebagai elemen lokal
c. Susunan masa yang indah.
Mendapatkan unsur-unsur baru dapat dicapai dengan pencampuran antara unsur setempat dengan teknologi modern masih m mempertimbangkan unsur setempat, dengan ciri-ciri sebagai berikut.
a. Bentuk-bentuk menerapkan unsur budaya, lingkungan termasuk iklim
setempat diungkapkan dalam bentuk fisik arsitektural (tata letak denah, detail, struktur dan ornamen).
b. Tidak hanya elemen fisik yang diterapkan dalam bentuk modern, tetapi juga
elemen non-fisik yaitu budaya, pola pikir, kepercayaan, tata letak yang mengacu pada makro kosmos, religi dan lainnya menjadi konsep dan kriteria perancangan.
c. Produk pada bangunan ini tidak murni menerapkan prinsip-prinsip bangunan
vernakular melainkan karya baru (mangutamakan penampilan visualnya). Pada Era Post Modern ini terdapat 10 (sepuluh) ciri-ciri arsitektur neo vernakular sebagai berikut. Budi A Sukada (1988)
1. Mengandung unsur komunikatif yang bersikap lokal atau populer.
2. Membangkitkan kembali kenangan historik.
3. Berkonteks urban.
5. Bersifat representasional (mewakili seluruhnya).
6. Berwujud metaforik (dapat berarti bentuk lain).
7. Dihasilkan dari partisipasi.
8. Mencerminkan aspirasi umum.
9. Bersifat plural.
10.Bersifat ekletik.
Untuk dapat dikategorikan sebagai arsitektur post modern tidak harus memenuhi kesepuluh dari ciri-ciri diatas. Sebuah karya arsitektur yang memiliki enam atau tujuh dari ciri-ciri diatas sudah dapat dikategorikan kedalam arsitektur post modern. Menurut Charles Jenks terdapat tiga alasan yang mendasari timbulnya era post modern, yaitu.
1. Kehidupan sudah berkembang dari dunia serba terbatas ke dunia tanpa batas, ini disebabkan oleh cepatnya komunikasi dan tingginya daya tiru manusia.
2. Canggihnya teknologi menghasilkan produk-produk yang bersifat pribadi. 3. Adanya kecenderungan untuk kembali kepada nilai-nilai tradisional atau
daerah, sebuah kecenderungan manusia untuk menoleh ke belakang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa arsitektur post modern dan aliran-alirannya merupakan arsitektur yang menggabungkan antara tradisional dengan non tradisional, modern dengan non modern.
Perpaduan keduanya dalam timeline arsitektur modern, vernakular berada pada posisi arsitektur modern awal dan berkembang menjadi Neo Vernakular pada masa modern akhir setelah terjadi eklektisme dan kritikan-kritikan terhadap arsitektur modern. Kriteria-kriteria yang mempengaruhi arsitektur Neo Vernakular adalah sebagai berikut.
a. Bentuk-bentuk menerapkan unsur budaya, lingkungan termasuk iklim
setempat diungkapkan dalam bentuk fisik arsitektural (tata letak denah, detail, struktur dan ornamen)
b. Tidak hanya elemen fisik yang diterapkan dalam bentuk modern, tetapi juga
mengacu pada makro kosmos dan lainnya menjadi konsep dan kriteria perancangan.
c. Produk pada bangunan ini tidak murni menerapkan prinsip-prinsip
bangunan vernakular melainkan karya baru (mengutamakan penampilan visualnya).
2.5.2.3 Prinsip – Prinsip Desain Arsitektur Neo-Vernakular
Adapun beberapa prinsip-prinsip desain arsitektur Neo-Vernakular secara terperinci adalah sebagai berikut.
a. Hubungan Langsung, merupakan pembangunan yang kreatif dan adaptif
terhadap arsitektur setempat disesuaikan dengan nilai-nilai/fungsi dari bangunan sekarang.
b. Hubungan Abstrak, meliputi interprestasi ke dalam bentuk bangunan yang
dapat dipakai melalui analisa tradisi budaya dan peninggalan arsitektur.
c. Hubungan Lansekap, mencerminkan dan menginterprestasikan lingkungan
seperti kondisi fisik termasuk topografi dan iklim.
d. Hubungan Kontemporer, meliputi pemilihan penggunaan teknologi, bentuk
ide yang relevan dengan program konsep arsitektur.
e. Hubungan Masa Depan, merupakan pertimbangan mengantisipasi kondisi
yang akan datang.
2.5.4 Arsitektur Tradisional Jawa - Jogjakarta
Arsitektur Jogjakarta merupakan arsitektur Jawa yang digunakan oleh masyarakat Jawa di Jogjakarta. Arsitek Jawa telah ada dan berlangsung selama paling tidak 2.000 tahun. Arsitektur Jawa kuno dipengaruhi oleh kebudayaan India bersamaan dengan datangnya pengaruh Hindu dan Buddha terhadap kehidupan masyarakat Jawa. Wilayah India yang cukup banyak memberi pengaruh terhadap Jawa adalah India Selatan, Ini terbukti dari penemuan candi-candi di India yang hampir menyerupai candi-candi yang ada di Jawa. Arsitektur jawa
pada umumnya mengacu kepada relief-relief pada candi-candi hindu-budha di dataran Jawa. Pada relief Candi Borobudur misalnya, tampak bahwa rumah di Jawa digambarkan berkolong tinggi dan cenderung persegi panjang daripada bujur sangkar sehingga lebih mirip rumah panggung. Bentuk atap rumah yang berarsitektur Jawa terdiri dari tipe tajug, joglo, limasan dan kampung (atap pelana). Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa Arsitektur Tradisional Jogjakarta merupakan arsitektur jawa pada umumnya yaitu suatu bangunan arsitektur atau tempat tinggal orang jawa yang filosofi, kosmologi serta cara pembuatannya diwariskan secara turun temurun untuk melakukan aktivitas mereka.
Gambar 5. Bentuk Arsitektur Rumah Jawa pada Relief Candi Sumber: Sukirman Dharmamulya
Arsitektur Jawa banyak dipengaruhi oleh konsepsi dan filsafat bangunan India. Sedangkan arsitektur India sendiri, selain mendapat inspirasi dari alam juga dipengaruhi oleh tradisi oriental. Pengaruh ini antara lain terdapat pada atap yang menjadi bagian terpenting dalam bangunan, seperti hanya dalam arsitektur Cina. Berbagai ornamen diletakan pada dinding, mengekspresikan kehidupan religius. Selain pengaruh nilai-nilai spiritual yang menentukan dalam proses pembangunan rumah, sebenarnya masih banyak hal yang menentukan bangunan nilai tradisional. Arsitektur tradisional sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan setempat baik berupa iklim, bahan maupun cara pembangunannya. Disamping itu juga dipengaruhi kebudayaan setempat seperti agama atau kepercayaan, pola hidup, keadaan sosial dan sebagainya (Wahyudi, 2009). Sedikit ulasan mengenaai perbandingan anatara arsitektur vernacular, arsitektur Neo-vernakular, dan arsitektur tradisional.
Tabel 4 Perbandingan Arsitektur Ttradisional, Vernakular dan Neo Vernakular. Sumber : Sonny Susanto, Joko Triyono, Yulianto Sumalyo
Perbandingan Tradisional Vernakular Neo Vernakular
Ideologi Terbentuk oleh tradisi
yang diwariskan
secara
turun-temurun,berdasarkan kultur dan kondisi lokal.
Terbentuk oleh tradisi turun temurun tetapi terdapat pengaruh dari luar baik fisik
maupun nonfisik,
bentuk
perkembangan arsitektur tradisional.
Penerapan elemen
arsitektur yang sudah ada dan kemudian sedikit atau banyaknya mengalami
pembaruan menuju
suatu karya yang modern.
Prinsip Tertutup dari
perubahan zaman, terpaut pada satu kultur kedaerahan, dan mempunyai peraturan dan norma-norma keagamaan yang kental Berkembang setiap waktu untuk merefleksikan lingkungan, budaya dan sejarah dari
daerah dimana
arsitektur tersebut berada. Transformasi dari situasi kultur homogen ke situasi yang lebih heterogen.
Arsitektur yang
bertujuan melestarikan unsur-unsur lokal yang telah terbentuk secara empiris oleh tradisi
dan
mengembang-kannya menjadi suatu
langgam yang
modern. Kelanjutan
dari arsitektur
vernakular
Ide Desain Lebih mementingkan
fasat atau bentuk,
ornamen sebagai
suatu keharusan.
Ornamen sebagai
pelengkap, tidak
meninggalkan nilai- nilai setempat tetapi
dapat melayani
aktifitas masyarakat didalam.
Bentuk desain lebih modern.
2.5.3 Ragam Bentuk dan Filosofi Bangunan
Masyarakat Jawa mengenal beberapa istilah untuk menyebut rumah, antara lain omah, pomah, dan dalem. Masyarakat Jawa mengenal beberapa istilah untuk menyebut rumah, antara lain omah, pomah, dan dalem. Secara garis
besar, rumah tradisional Jawa dapat dibedakan menjadi bentuk panggang-pe, kampung, limasan, tajug, dan joglo (Wahyudi, 2009).
Masing-masing bentuk mengalami perkembangan berupa penambahan elemen-elemen bangunan. Berikut ini adalah bentuk ragam rumah tradisional Jawa. Perbedaan bentuk pada rumah Jawa menunjukkan status sosial, sedangkan persamaan dalam susunan ruang menandakan adanya pandangan hidup yang diwujudkan melalui aturan-aturan dalam kehidupan rumah tangga’
Tabel 5 Ragam bentuk rumah arsitektur Jawa Sumber: Wahyudi, 2009
1. Rumah bentuk Panggang-pe
Berasal dari kata panggang (dipanaskan diatas bara api) dan epe (dijemur sinar matahari). Ragam ini banyak digunakan sebagai tempat menjemur daun teh, ketela pohon dan lain-lain. Merupakan ragam arsitektur yang paling tua dan sederhana, dapat diketahui dari relief pada dinding candi Borobudur dan Prambanan, terbentuk dari empat tiang dengan satu bidang atap persegi panjang yang lereng
2. Rumah bentuk Kampung
Berasal dari bahasa Jawa yang berarti desa. Merupakan ragam arsitektur setingkat lebih sempurna dari pada Panggang-pe, dengan denah persegi panjang bertiang empat, dua bidang atap lereng yang dipertemukan pada sisi atasnya dan ditutup dengan “tutup keyong”. Pada masa lampau ada anggapan bahwa yang menggunakan ragam kampung adalah kalangan bawah yang kurang mampu. Akan tetapi dewasa ini digunakan untuk 12 berbagai macam bangunan
(rumah tinggal, kantor, sekolah) bagi segenap lapisan masyarakat.
3. Rumah bentuk Limasan
Mempunyai denah empat persegi panjang, dengan empat bidang atap. Yang dua bidang berbentuk segi tiga samakaki yang disebut Kejen atau Cocor, sedang dua bidang lainya disebut Brunjung. Dalam perkembangannya, bentuk Limasan pokok tersebut diberi tambahan pada sisi-sisinya yang disebut Empat Emper. Terciptalah berbagai jenis Limasan. Ragam ini banyak digunakan baik untuk rumah rakyat, rumah bangsawan, regol, bangsal, maupun fungsi-fungsi baru seperti rumah sakit, sekolah, kantor, dan lain-lain.
4. Rumah bentuk Masjid dan Tajug
Mempunyai denah bujur sangkar dengan empat tiang dan empat bidang atap yang bertemu di satu bidang titik puncak yang runcing. Ragam ini banyak digunakan untuk bangunan yang sakral seperti cungkup, makam, langgar dan masjid,
sebagaimana kita ketahui bentuk masjid di Jawa, berbeda dengan masjid di negara lain, mempunyai bentuk tradisional yang menyatu dengan lingkungan setempat di sekitarnya. Menandakan bahwa masyarakat Jawa cukup kuat dalam menangkal pengaruh dari luar.
5. Rumah bentuk Joglo
Merupakan ragam arsitektur yang paling sempurna, dengan ukuran yang lebih besar dari dibandingkan ragam-ragam yang lain. Ciri umum bentuk bangunan Joglo adalah empat tiang di tengah yang disebut Saka Guru, dan digunakanya blandar bersusun yang disebut tumpang sari. Pada masa lampau ragam Joglo hanya diperkenankan untuk rumah kaum bangsawan, istana raja dan pangeran, serta orang yang terpandang saja. Akan tetapi dewasa ini digunakan oleh masyarakat dan juga untuk berbagai fungsi lain seperti gedung pertemuan dan kantor-kantor.
Pada bentuk ruang dalam, rumah Jawa yang ideal paling tidak terdiri dari dua atau tiga unit bangunan, yakni pendopo (ruang untuk pertemuan), pringgitan (ruang untuk pertunjukan) dan dalem (ruang inti keluarga). Dalem dibedakan menjadi bagian luar yang disebut dengan emperan serta bagian dalam yang tertutup dinding. Bagian dalam terdiri dari dua bagian (depan dan belakang) atau tiga bagian (depan, tengah dan belakang). Bagian belakang terdiri atas sentong kiwo, sentong tengen serta sentong tengah. Orientasi bangunan adalah arah selatan (Tjahjono, 1990).
a. rumah rakyat biasa b, rumah bangsaaawan Gambar 6. Bentuk Struktur Pembagian Ruang Dalam Rumah Adat Jawa Sumber: Dakung, Arsitektur Tradisional DIY (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1982)
1. Pendapa, difungsikan sebagai tempat melakukan aktivitas yang sifatnya formal (pertemuan, upacara, pagelaran seni dan sebagainya). Meskipun terletak di bagian depan, pendapa bukan merupakan ruang penerima yang mengantar orang sebelum memasuki rumah. Jalur akses masuk ke rumah yang sering terjadi adalah tidak dari depan melalui pendapa, melainkan justru memutar melalui bagian samping rumah
2. Pringgitan, lorong penghubung (connection hall) antara pendapa dengan omah njero. Bagian pringgitan ini sering difungsikan sebagai tempat pertunjukan wayang kulit / kesenian / kegiatan publik. Emperan adalah teras depan dari bagian omah-njero. Teras depan yang biasanya lebarnya sekitar 2 meter ini merupakan tempat melakukan kegiatan umum yang sifatnya nonformal.
3. Omah-njero, kadang disebut juga sebagai omah-mburi, dalem ageng atau omah. Kata omah dalam masyarakat Jawa juga digunakan sebagai istilah yang mencakup arti kedomestikan, yaitu sebagai sebuah unit tempat tinggal.
4. Senthong-kiwa, dapat digunakan sebagai kamar tidur keluarga atau sebagai tempat penyimpanan beras dan alat bertani.
5. Senthong tengah (krobongan), sering juga disebut sebagai boma, pedaringan, atau krobongan. Dalam gugus bangunan rumah tradisional Jawa, letak senthong-tengah ini paling dalam, paling jauh dari bagian luar. Senthong-tengah ini merupakan ruang yang menjadi pusat dari seluruh bagian rumah. ruang ini seringkali menjadi “ruang pamer” bagi keluarga penghuni rumah tersebut.Sebenarnya senthong-tengah merupakan ruang yang sakral yang
sering menjadi tempat pelaksanaan upacara / ritual keluarga. Tempat ini juga menjadi ruang penyimpanan benda-benda pusaka keluarga penghuni rumah. 6. Senthong-tengen, fungsinya sama dengan sentong kiwa
7. Gandhok, bangunan tambahan yang mengitari sisi samping dan belakang bangunan inti.
Bentuk rumah dan filosofi dari banyaknya ragam rumah tradisional Jogjakarta diketahui memiliki keterkaitan dan persamaan dengan arsitektur candi. Berbagai macam bentuk rumah dan atap bangunan pada arsitektur tradisional Jawa-Jogjakarta ditemukan serta diterapkan juga pada relief candi-candi di daerah Jawa Tengah dan Jogjakarta seperti gambar dibawah ini.
Gambar 7. Aneka Bentuk Rumah Arsitektur Tradisional Jawa-Jogjakarta Sumber: Tjahja Tribinuka dalam Wibowo,2011
Selain bentuk rumah dan atap bangunan tersebut diketahui juga bangunan arsitektur tradisional Jawa-Jogjakarta memiliki persamaan terkait konsep TRILOKA, yaitu pembagian 3 zona (kepala, badan dan kaki), sebagai personifikasi dari penghuninya yaitu lahir-hidup-mati atau: bhùrloka (bumi), bhuvaáloka (langit) dan svaáloka (sorga). Hal tersebut dapat dilihat pada susunan pembangunan candi, dapat dilihat pada gambar berikut ini,
Gambar 8. Konsep Triloka pada Candi dan Rumah Tradisional Jogjakarta Joglo Sumber: http://augiedyani.blogspot.co.id
2.6 Studi Banding
2.6.1 Bidakara Hotel Convention
Bidakara hotel merupakan salah satu contoh jenis hotel bisnis. Penempatan hubungan ruang yang sangat tepat serta kemudahan akses dalam pencapian dari hotel
ke area konvensi dengan fasilitas penunjang hotel dan tentunya fasilitas konvensi seperti ruang metting dan ruang makan bersama. Salain Hotel dan konvesi di sisi barat dan selatan terdapat dua bangunan sebagai kantor, yang tentuny sangan mencirikan bahwa Bidakara hotel merupakan hotel konvensi.
2.6.1.2 Lokasi Bidakara Hotel Convention
Penempatan lokasi yang strategis di JL. Gatot Subroto KAV.71-73 sangat tepat fungsi lahan sebagai hotel bisnis, dimana kokasi berada di jantung kota Jakarta bagian selatan. Berikut gambaran lokasi pada peta.
2.6.1.3 Layout Bidakara Hotel Convention
Gambar 9. Bidakara Hotel Konvention Sumber: dokumen pribadi
2.6.1.4 Fasilitas Bidakara Hotel Convention
Tabel 6 Gambar ruang dan lingkungan Hotel Bidakara
Foto Nama Ruang
Pre function
Hotel Lobby
Lounge
Hotel Bar and Cooktail
Basement
2.6.2 Balai Kartini
Balai kartini berlokasi di jalan Jend.Gatot Subtoto, Kuningan, Setia Budi, Kota Jakarta Selatan. Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. 12950. Merupkan bangunan konvensi dengan luas mencakup 45.673 meter persegi. Terdiri dari ruang aula teater bundar, ruang pameran, VIP dan Lounge, ruang pertemuan.
Tabel 7 Gambar ruang Balai Kartini
Foto Nama Ruang
Convention Room
Executive lounge Restourant
Lobby