• Tidak ada hasil yang ditemukan

Volume 11 Nomor 2 Desember 2018 P-ISSN: Diterbitkan oleh: Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Bintuni

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Volume 11 Nomor 2 Desember 2018 P-ISSN: Diterbitkan oleh: Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Bintuni"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

P-ISSN: 1979-7052

Diterbitkan oleh: Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Bintuni

PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM DALAM KECELAKAAN PESAWAT TERBANG Suyanto, Wilibrodus Lefteuw, Imanuel Inrianto Ruslak Hammar, Naldes Pesiloran Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Bintuni E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Pengaturan pertangungjawaban hukum terhadap kecelakaan pesawat terbang di Indonesia telah diatur dalam Peraturan Perundang-undangan khususnya yang mengatur tentang keselamatan penerbangan di Republik Indonesia. Bentuk Pertanggungjawaban hukum berupa pertanggungjawaban adminstrasi, Perdata dan Pidana. Ada tiga pihak yang yang dapat dimintakan pertanggungjawaban apabila terjadi kecelakaan pesawat. Pihak-pihak tersebut adalah pengelola bandar udara, maskapai penerbangan baik itu maskapai yang dikelola Pemerintah ataupun maskapai swasta, dan awak pesawat secara individu.

Pengaturan tanggungjawab pengawasan terhadap regulasi yang mengatur penerbangan dan keselamatan penerbangansipildi Republik Indonesia dilaksanakan oleh Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan RI. Pemerintah juga mengendalikan dan mengontrol kewajiban maskapai penerbangan sebagaimana telah diatur dalam Di dalam amanat Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2001, Menteri Perhubungan Melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Udara telah menetapkan Program Pengamanan Penerbangan Sipil yang terdiri dari Program Pengamanan Bandar Udara dan Program Pengamanan Perusahaan Angkutan Udara.

Kata kunci: Pertanggungjawaban. Kecelakaan lalu lintas

I. PENDAHULUAN

Perkembangan Ilmu pengetahuan sejak lahirnya filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan membawa pengaruh yang kian cepat terhadap perkembangan ilmu pemgetahuan yang semakin deferensiasi, spesialisasi dan teknologis.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa kemajuan bagi ilmu pengetahuan itu sendiri tetapi juga sekaligus membawa kemaslahatan bagi umat manusia. Salah satu kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi adalah teknologi angkutan udara yang semakin canggih. Kecangihan moda transportasi udara memperpendek rentang kaendali, jarak antar kota, pulau dan benua.

Dalam perspektif ideal seharusnya kecelakaan pesawat terbang di era kecanggihan industri pesawat terbang, kedirgantaraan, dan ilmu pengetahuan modern yang mampu memprediksi keadaan iklim dan cuaca. Bahkan kecanggihan mendeteksi sedini mungkin gangguan mesin, serta alur penerbangan yang tepat, memungkinkan pesawat terbang terhindar dari kecelakaan. Di sisi lainkecanggihan pesawat terbang tidak luput dari cacat tersembunyi, namun dalam prosedur pembuatan pesawat terbang, pastilah diuji coba untuk mengetahui kemampuan

(2)

rancang bangun dan teknologi yang digunakan sehingga memenuhi kelayakan sebagai pesawat terbang.

Ada lima aspek teknologiyang membuat pesawat terbang tetap aman yakni;

(1) Desain pesawat: dalam waktu setengah abad maskapai komersial telah menempuh kira-kira satu milliar jam terbang dan industri pesawat terbang amat teliti karena banyaknya informasi yang digunakan untuk memperbaiki dan meningkatkan desain pesawat dan mesin. Desain pesawat terfokus pada sayap karena di situlah bermuara tekanan saat lepas landas, karena itu perkembangan bingkai pesawat yang aerodinamis dan mengurangi tekanan udara sangat membantu. (2) Roda Pesawat: penopang utama pesawat pada waktu parkir, bergerak di darat, lepas landas, atau saat mendarat. Landing gear terdiri dari tiga roda di depan atau dibelakang pesawat. Roda pesawat dilengkapi bantalan (bearing) yang diproduksi guna mendapatkan gesekan sekecil mungkin, tahan terhadap tingginya beban serta meminimalisasi keausan. Bearing menjaga poros (shaft) agar selalu berputar terhadap sumbu porosnya atau juga menjaga suatu komponen yang bergerak linier agar selalu berada pada jalurnya. (3) Air Traffic Controller (ATC) sebagai pemandu lalu lintas udara guna memberikan layanan pengaturan lalu lintas di udara terutama peswat udara untu mencegah antara peswat terlalu dekat satu sama lain, mencegah tabrakan antar pesawat udara, dan pesawat udara dengan rintangan yang ada di sekitarnya selama beroperasi. ATC juga berperan dalam pengaturan kelancaran arus lalu lintas, membantu pilot dalam mengendalikan keadaaan darurat, memberikan informasi yang dibutuhkan pilot seperti informasi cuaca, navigasi penerbangan, dan lalu lintas udara. (4) Teknologi kokpit. Atau flight deck adalah ruangan khusus yang biasanya terdapat di bagian depan pesawat yang dari dalamnya pilot bisa mengendalikan pesawat terbang. Kokpit terdiri dari flight instrumen dan fliht control yang memungkinkan pilot untuk mengendalikan pesawat. Perkembangan teknologi pada kokpit semakin canggih. Hal ini menunjukan bahwa flight instrumen memberikan informasi tentang situasi penerbangandari pesawat yang sedang dikendalikan, seperti altimeter yang menunjukkan ketinggian dari pesawat yang dihitung dari atas permukaan laut, Attitud Indicator yang menunjukkan letak pesawat terhadap garis horizon, Magnetic Compass, hingga Course Deviation Indicator yang berguna sebagai informasi navigasi. (5) Kabin pesawat, yang merupakan bagian yang ditumpangi penumpang. Pada ketinggian terbang atmosfier terlalu tipis untuk bernapas, sehingga kabin pesawat harus mengadaptasikan kabin dengan tekanan atmosfir dengan cara memompa udara bertekanan ke kabin pesawat terbang guna menjaga kondisi lingkungan yang nyaman dan aman bagi kru pesawat dan penumpang saat terbang.

Berbagai regulasi dari Internasional dan peraturan perundang-undangan di Republik ini telah mengatur berbagai hal ihkwal tentang keselamatan penerbangan.

Data mengenai regulasi tersebut terdeskripsi pada tabel 1 berikut ini.

Tabel 1

Deskripsi Jumlah Regulasi Internasional dan Nasional

No Bentuk regulasi Jumlah Keterangan

1 Juklak Internasional 116

(3)

2 Undang-undang 1 UU No 1 Tahun 2009 3 Peraturan Pemerintah 6 PP No 3 Tahun 2001

4 Keputusan Menteri 388

5 Peraturan Dirjen 55

6 Perintah kelaikan udara (Airworthiness Directives)

3580 7 Juklak Pengguna

(Advisory Cirkular)

108

8 Edaran Keselamatan 46

TOTAL REGULASI 4300

Sumber: web CASR website Dephub 2018, data diolah

Dari tabel tersebut terdeskripsi bahwa jumlah keseluruhan regulasi dalam penerbangan sebanyak 4.300 (empat ribu tiga ratus).Hal ini menunjukkan bahwa keselamatan penerbangan menjadi perhatian yang amat serius dari pihak otoritas yakni Pemerintah Republik Indonesia maupun Otoritas Internasional.

Fakta menunjukkan bahwa dalam 10 tahun terakhir telah terjadi kecelakaan pesawat terbang sebagai berikut:

Tabel 2

Daftar Kecelakaan Pesawat Terbang 10 Tahun Terakhir

No. Tahun Maskapai Penerbangan

1 29 Oktober 2018 Lion Air JT 610 rute penerbangan Jakarta-Pangkal Pinang, faktor kelaikan mesin,

2 21 Oktober 2018 Wings Air ATR 72-500 PK-WFT rute Tanjung Karang-Halim Perdana Kusuma Jakarta; menabrak ground handling equipment atau towing tractor di landasan Halim Perdana Kusuma Jakarta, tdk ada korban jiwa.

3 10 Oktober 2018 Pesawat Cesna Caravan 208EX-PK-JBR milik PT.

Jhonlin Air, tergelincir di Bandara Beoga Papua.

Mozes Kilangin Timika-Beoga Papua. Tidak membawa penumpang.

4 12 Agustus 2018 Martha Buana Abadi pesawat jenis Pilatus ditemukan hancur di gunung Menuk, Kabupaten Pegunungan Bintang Provinsi Papua 1 orang selamat, 8 orang meninggal.

5 29 April 2018 Lion Air tergelincir di Bandar udara Djalaluddin Gorontalo, faktor cuaca dalam kondisi hujan.

6 13 Maret 2018 Batik Air jenis airbus 320 ID.6155 tergelincir di Bandar Udara Rendani Manokwari Papua Barat, Rute bandara Domine Eduar Osok Sorong-Bandar Udara Rendani Manokwari. Diduga human eror, tdk ada korban jiwa.

(4)

No. Tahun Maskapai Penerbangan

7 3 Agustus 2017 Wings air dan Lion air mengalami tabrakan sayap di Bandara Kualanamu Deliserdang, tidak ada korban jiwa.

8 18 Desember 2016 Hercules -130HS Nomor registrasi A-1334 jatuh di Wamena, menelan korban 12 jiwa rute Wamena- Biak-Malang

9 3 Desember 2016 Pesawatn jenis M.-28 skytruk milik POLRI di perairan Lingga, Kepulauan Riau. Pesawat dgn nomor registrasi P.4201 Jumlah korban sebanyak 13 korban jiwa, rutePangkal Pinang-Batam.

10 30 Juni 2015 Hercules C-130 Rute Pangkalan Angkatan Udara Soewondo, Medan- Bandara Raja Haji Fisabililah, Tanjung Pinang. Korban jiwa 143 dan 3 luka-luka.

11 26 Februari 2017 Wing air IW 1286 rute Bandung-Tanjung Karang.

Alami pecah ban saat landing di Tanjung Karang.

Ada 72 penumpang; tidak ada korban jiwa.

12 28 Desember 2014 Air Asia 8501 rute penerbangan Surabaya- Singapura, menewaskan 189 penumpang termasuk kru.

162 korban meninggal terdiri atas 155 WNI, 3 Korsel, 1 Perancis, 1 Malasia, 1 Singapura, 1 Britania Raya. Ini salah satu kecelakaan paling terburuk di dunia.

13 10 Juni 2013 Merpati, tipe MA60 Rute Bandar Udara Soa- Bandar Udara El Tari mengalami hard landing saat mendarat di Kupang, membawa 50 penumpang kru; 20 orang luka ringam dan 5 orang luka serius.

14 13 April 2013 Lion Air JT 904 rute penerbangan Bandung-Bali, tidak ada yang meninggal, hanya korban cedera sebanyak 45 orang. Faktor penyeban Human eror dan cuaca.

15 29 September 2011 Nusantara Buana Air 823 Jatuh di lereng Pegunungan Bukit Barisan, Kabupaten Langkat Sumatera Utara. Korban 18 jiwa.

16 7 Mei 2011 Merpati Nusantara Aielines No. 8968 Rute Sorong- Kaimana-Biak Papua Barat, Jatuh di Bandar Udara Utarom Kaimana, akibat kerusakan mesin. Korban 27 jiwa.

17 13 April 2010 Merpati Nusantara Airlines 836 Rute Sorong- Manokwari tergelincir di Bandar Udara Rendani Manokwari Korban 44 orang mengalami luka-luka.

18 2 Agustus 2009 Merpati Nusantara Airlines 9760 jenis Twin Otter Rute Jayapura-Oksibil menabrak gunung dan jatuh dekat bandara Utarom. Korban 15 jiwa.

(5)

No. Tahun Maskapai Penerbangan

19 20 Mei 2009 Hercules tipe C-130H rute Jakarta-Jawa Timur jatuh di desa Geplak korban 98 meninggal dan puluhan lainnya luka-luka.

20 17 April 2009 Mimika Air jenis pilatus Porter, rute Mulia- Ilagam jatuh di gunung Gergaji Papua. Korban 10 orang meninggal.

21 27 Agustus 2008 Sriwijaya Air rute Jakarta –Jambi tergelincir di Bandara Sultan Thaha, Jambi.

Sumber: https//www.idntimes.com, dan https//kbr.id, data diolah 2018.

Berdasarkan tabel 2 dapat dikatakan bahwa rata-rata pada dekade terakhir terjadi kecelakaan rata-rata dua peristiwa kecelakaan per tahun. Hal ini menandakan bahwa kendatipun teknologi dan kedirgantaraan canggih, namun terjadi kecelakaan yang disebabkan oleh human eror, cuaca, gangguan mesin.

Berdasarkan karakteristik kecelakaan pesawat terbang mengakibatkan persoalan hukum berkenaan dengan pertanggung jawaban. Fenomena kecelakaan akibat persoalan human error, cuaca, dan gangguan mesin, berdampak pada pertangungjawaban pilot, crew, perusahaan maskapai penerbangan dan perusahaan yang memproduksi pesawat tersebut.

Berdasarkan uraian diatas, penelitian ini adalah normatif, yang mengkaji persoalan regulasi sinkronisasi pada tataran undang-undang dan Peraturan Pemerintah yang berkenaan dengan penerbangan dan kecelakaan pesawat terbang dalam sepuluh tahun terakhir, berbasis penegakan hukum di Indonesia. Fenomena dalam penelitian ini terfokus isu pertanggungjawaban sumber daya Manusia (SDM) dan pertanggung jawaban perusahaan maskapai penerbangan pada kecelakaan pesawat terbang di Indonesia. Beradasarkan latar belakang Masalah sebagaimanadiuraikan di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan pertangungjawaban hukum baik administrasi, perdata maupun pidana yang diatur dalam Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang mengatur penerbangan dan keselamatan penerbangan di Republik Indonesia ?

2. Bagaimana pengaturan tanggungjawab pengawasan terhadap regulasi yang mengatur penerbangan dan keselamatan penerbangan sipil di Republik Indonesia?

(6)

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Ketaatan Hukum

Manusia dan hukum senantiasa berinteraksi. Dua orang berinteraksi menghasilkan hubungan-hubungan yang menjadi suatu tradisi dan menjadi suatu kesepakatan yang berlaku sebagai hukum bagi komunitas. Dari prespekti sosiologi hukum ketaatan terhadap regulasi yang telah disepakati melibatkan manusia dan hukum yang menjadi obyek pengaturan. Sehingga hukum tidak saja dipandang sebagai fungsi pengaturan, tapi juga manusia menjadi sasaran fungsi pengaturan itu. Menurut Raharjo1 pada dasarnya melibatkan dua variabel, masing-masing adalah hukum dan manusia yang menjadi objek pengaturan hukum tersebut.

Kepatuhan hukum tidak hanya dijelaskan dari kehadiran hukum semata, melainkan juga dari kesediaan manusia untuk mematuhinya. Soerjono Soekanto2 mengemukakan bahwa dasar adanya kepatuhan masyarakat terhadap hukum adalah:

a. Pertama: bahwa seseorang, kelompok atau masyarakat patuh terhadap kaidah- k untuk melakukan hal-hal yang dipandang baik dan berlaku di tengah-tengah masyarakat, sejak lahir, kecil, Kaedah-kaedah tersebut diterima secara tidak sadar melalui proses sosialisasi. Melalui proses sosialisasi manusia didik untuk mengenal, mengetahui, serta mematuhi kaedah-kaedah yang berlaku di masyarakat.

b. Kedua: Sejak manusia, kelompok, masyarakat mengalami proses sosialisasi maka lama kelamaan menjadi suatu kebiasaan untuk mematuhi kaidah-kaidah yang berlaku. Pada awal sulit untuk mematuhi namun karena dilakukan secara berulang dengan bentuk dan cara yang sama, maka lambat laun menjadi kebiasaan dan menjadi suatu keharusan.

c. Ketiga: pada dasarnya manusia mempunyai kecenderungan untuk hidup pantas dan teratur. Namun kepantasan dan keteraturan itu subyektif, artinya bagi komunitas tertentu hal itu pantas dan teratur tapi bagi komunitas lain tidak demikian halnya. Untuk itu dibutuhkan patokan-patokan kepantasan dan keteraturan itu sebagai petunjuk, pedoman tentang tingkah laku, yang disebut kaedah atau Norma yakni ukuran tentang baik dan buruk. Faktor yang berpengarug dalam ketaatan atau kepatuhan adalah aspek kegunaan dari kaidah atau norma itu agar ketentraman, kenyaman hidup tetap terjaga.

d. Keempat: ketaatan atau kepatuhan merupakan salah satu sarana dalam mengidentifikasi suatu kelompok. Keataan atau kepatuhan seseorang pada kaidah karena merasakan kaedah atau norma yang berlaku di komunitasnya yang dominan dari kelompok lain akibat indentifikasi kelompoknya tersebut.

Secara teoretis ada berbagai jenis derajat ketaatan atau kepatuhan terhadap kaedah atau norma. Namun pada masyarakat dengan kebudayaan dan struktur sosial

1Saptjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah. Yogyakarta: Genta Publishing, 2010, hlm.1

2Soerjono Soekanto, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-Masalah Sosial, AlumniBandung,1989, hlm.54.

(7)

sederhana dapat dijumpai anggota komunitas yang tidak taat atau patuh pada kaedah atau norma yang telah disepakati.

Dalam buku The Philosophy of Law An Encyclopedia karya editor Cristopher Berry Gray, yang dikonstatir oleh Achmad Ali3, ada pandangan seseorang taat atau patuh sebagai berikut: bahwa paling tidaknya ada tiga pandangan mengapa seseorang menaati hukum, sebagai berikut:

a. Pandangan ekstrem pertama, adalah pandangan bahwa merupakan kewajiban moral' bagi setiap warga negara untuk melakukan yang terbaik yaitu senantiasa menaati hukum, kecuali dalam hal hukum memang menjadi tidak menjamin kepastian atau inkonsistensi, kadang-kadang keadaan ini muncul dalam pemerintahan rezim lalim.

b. Pandangan kedua yang dianggap pandangan tengah, adalah bahwa kewajiban utama bagi setiap orang (prime face) adalah kewajiban untuk menaati hukum.

c. Pandangan ketiga dianggap pandangan ekstrem kedua yang berlawanan dengan pandangan ekstrem pertama, adalah bahwa kita hanya mempunyai kewajiban moral untuk menaati hukum, jika hukum itu benar dan kita tidak terikat untuk menaati hukum.

Soerjono Soekanto4 mengemukakan pendapat H.C Kelman bahwa masalah kepatuhan hukum yang merupakan suatu derajat secara kualitatif dapat dibedakan dalam tiga proses, sebagai berikut:

1) Compliance, diartikan sebagai suatu kepatuhan yang didasarkan pada harapan akan suatu imbalan dan usaha untuk menghindarkan diri dari hukuman yang mungkin dijatuhkan. Kepatuhan ini bukan didasarkan pada suatu keyakinan pada tujuan kaidah hukum yang bersangkutan, dan lebih didasarkan pada pengendalian dari pemegang kekuasaan. Sebagai akibatnya maka kepatuhan akan ada apabila ada pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan kaidah- kaidah hukum tersebut.

2) Identification, terjadi apabila kepatuhan terhadap hukum ada bukan karena intrinsiknya, akan tetapi agar keanggotaan kelompok tetap terjaga serta ada hubungan baik dengan mereka yang diberi wewenang untuk menerapkan kaidah-kaidah hukum tersebut. Daya tarik untuk patuh adalah keuntungan yang diperoleh dari hubungan-hubungan interaksi tadi. Walaupun sesorang tidak menyukai penegak hukum akan tetapi proses identifikasi terhadapnya berjalan terus dan mulai berkembang perasaan-perasaan positif terhadapnya. Hal ini disebabkan, oleh karena orang yang bersangkutan berusaha untuk mengatasi perasaan-perasaan khawatirnya terhadap kekecewaan tertentu, dengan jalan menguasai objek frustasi tersebut dengan mengadakan identifikasi.

3) Internalization, sesorang mematuhi kaidah-kaidah hukum oleh karena secara intrinstik kepatuhan tadi mempunyai imbalan. Isi kaidah-kaidah tersebut adalah sesuai dengan nilai-nilainya sejak semula pengaruh terjadi atau oleh karena dia mengubah nilai-nilai yang semula dianutnya. Hasil dari proses tersebut adalah komformitas yang didasarkan pada motivasi secara intrinstik.

3Achmad Ali, 2012. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence). Kencana Cet 4, Jakarta hal .371.

4Soerjono Soekanto, Op.Cit. hal 227-228

(8)

Pusat kekuatan dari proses ini adalah kepercayaan orang tadi terhadap tujuan dari kaidah-kaidah yang bersangkutan, terlepas dari perasaan atau nilai-nilai terhadap kelompok atau pemegang kekuasaan maupun pengawasannya.

Pendapat HC Kelman diformulasi ulang oleh Achmad Ali5secara sederhana sebagai berikut:

1) Ketaatan yang bersifat compliance, yaitu jika sesorang menaati suatu aturan, hanya karena ia takut terkena sanksi. Kelemahan ketaatan jenis ini, karena ia membutuhkan pengawasan yang terus menerus.

2) Ketaatan yang bersifat identification, yaitu jika seseorang menaati suatu aturan, hanya karena takut hubungan baiknya dengan pihak lain menjadi rusak.

3) Ketaatan yang bersifat internalization, yaitu jika seseorang menaati suatu aturan, benar-benar karena ia merasa bahwa aturan itu sesuai dengan nilai-nilai intrinstik yang dianutnya. Selain ketaatan dan kepatuhan, maka Achmad Ali menjelaskan soal kapan suatu aturan hukum atau perundang-undangan dianggap tidak efektif berlakunya sebagai berikut6:

a. Jika sebagian besar warga masyarakat tidak menaatinya;

b. Jika ketaatan sebagian besar warga masyarakat hanya ketaatan yang bersifat 'compliance' atau 'identification'. Dengan kata lain, walaupun sebagian besar warga masyarakat terlihat menaati aturan hukum atau perundang- undangan, namun ukuran atau kualitas efektivitasnya aturan atau perundang-undangan itu masih dapat dipertanyakan.

B. Konsep Tanggung Jawab Hukum (Legal Liabity Concept)

Sebelum menguraikan lebih lanjut mengenai Konvensi Warsawa1929 beserta protokol dan suplemennya, Protokol Tambahan Montreal 1975 No. 1, 2, 3, dan 4, maupun Konvensi Montreal 1999 lebih dahulu perlu dijelaskan konsep tanggung jawab hukum dalam hukum udara perdata internasional agar para pembaca buku ini mudah memahami tanggung jawab hukum perusahaan penerbangan yang digunakan dalam hukum udara. Dalam hukum udara perdata internasional maupun nasional terdapat beberapa konsepl tanggung jawab hukum perusahaan penerbangan terhadap penumpang, pengirim barang maupun pihak ketiga.

Sebagaimana disebutkan di atas, menurut ajaran hukum yang berlaku di Common Law System maupun Continental Law System, perusahaan penerbangan sebagai pengangkut yang menyediakan jasa transportasi udara untuk umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang. Menurut ajaran hukum tersebut, terjadi suatu pergeseran tanggung jawab dari korban (injured people) kepada pelaku pengangkutan (actor), karena itu perusahaan penerbangan secara yuridis bertanggung jawab terhadap penumpang dan/atau pengirim barang. Di samping itu, perusahaan penerbangan yang menyediakan pengangkutan umum tidak hanya bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri, tetapi juga harus bertanggung jawab atas perbuatan

5Achmad Ali. Op.Cit. hlm. 348

6Ibid, hlm. 349

(9)

karyawan, pegawai, agen atau perwakilannya atau orang yang bertindak untuk dan atas nama perusahaan penerbangan tersebut. Menurut ajaran hukum tersebut, untuk keperluan tanggung jawab (liability) majikan dengan karyawan, pegawai.

“Perkataan "konsep" kadang-kadang digunakan dengan istilah" teori atau asas maupun ajaran (doctrine) tanpa mempunyai arti yang sangat berbeda atau agen atau perwakilannya atau orang yang bertindak untuk dan atas nama perusahaan penerbangan tersebut dianggap seorang, karena itu berdasarkan ajaran hukum (doctrine) tersebut, perusahaan penerbangan hams bertanggung jawab terhadap penumpang, pengirim barang maupun pihak ketiga. Walaupun yang melakukan karyawan, pegawai, atau agen atau perwakilannya atau orang yang bertindak untuk dan atas nama perusahaan penerbangan.

Dalam pengangkutan udara terdapat 3 (tiga) macam konsep dasar tanggung jawab hukum masing-masing konsep tanggung jawab hukum atas dasar kesalahan (based on fault liability), konsep tanggung jawab hukum atas dasar praduga bersalah (presumption of liability), dan konsep tanggung jawab hukum tanpa bersalah (liability without fault) atau tanggung jawab mutlak (absolute liability atau strict liability) sebagaimana diuraikan di bawah ini:

1. Tanggung Jawab Hukum Atas Dasar Kesalahan (Based on Fault Liability) Tanggung jawab hukum atas dasar kesalahan (based on fault liability) terdapat dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal tersebut yang dikenal sebagai tindakan melawan hukum (onrechtsmatig-daad) berlaku umum terhadap siapa pun juga, termasuk perusahaan penerbangan. Menurut pasal tersebut setiap perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian terhadap orang lain mewajibkan orang yang karena perbuatannya menimbulkan kerugian itu mengganti kerugian (to compensate the damage).

Berdasarkan ketentuan tersebut setiap orang3harus bertanggung jawab (liable) secara hukum atas perbuatan sendiri artinya apabila karena perbuatannya mengakibatkan kerugian kepada orang lain, maka orang tersebut hams bertanggung jawab (liable) untuk membayar ganti rugi yang diderita oleh orang tersebut.

Menurut Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tanggung jawab hukum kepada orang yang menderita kerugian tidak hanya terbatas kepada perbuatan sendiri, melainkan juga terhadap perbuatan, karyawan, pegawai, agen, perwakilannya apabila menimbulkan kerugian kepada orang lain, sepanjang orang tersebut bertindak sesuai dengan tugas dan kewajiban yang dibebankan kepada orang tersebut. Tanggung jawab semacam ini juga dikenal dalam Common Law System dalam kasus Swanson Peever vs Canada.'Pada prinsipnya, tanggung jawab hukum atas dasar kesalahan (based on fault liability) berlaku terhadap semua perusahaan pengangkutan. Tanggung jawab atas dasar kesalahan hams memenuhi unsur-unsur adanya kesalahan, ada kerugian dan kerugian tersebut ada hubungannya dengan kesalahan, korban yang hams membuktikan adanya kesalahan, bilamana terbukti ada kesalahan jumlah ganti mgi tidak terbatas, korban sebagai penggugat dengan perusahaan sebagai tergugat mempunyai kedudukan yang sama dalam arti dapat saling membuktikan.

(10)

a) Ada Kesalahan (Fault) dan Kerugian (Damages)

Sebagaimana disebutkan di atas, tanggung jawab berdasarkan kesalahan hams ada kesalahan dan kerugian. Kerugian tersebut hams ada hubungannya dengan kesalahan, ada kerugian tetapi tidak ada kesalahan, maka perusahaan penerbangan tidak bertanggung jawab, demikian pula ada kesalahan tetapi tidak menimbulkan kerugian, maka perusahaan penerbangan juga tidak bertanggung jawab.

b) Beban Pembuktian dan Besaran Ganti Rugi

Dalam konsep tanggung jawab atas dasar kesalahan (based on fault liability) yang harus membuktikan adalah korban. Apabila penumpang dan/atau pengirim barang sebagai korban yang menderita kerugian mampu membuktikan adanya kesalahan perusahaan penerbangan, ada kerugian dan kerugian tersebut akibat dari kesalahan, maka perusahaan penerbangan harus membayar seluruh kerugian yang diderita oleh penumpang dan/ atau pengirim barang. Perusahaan penerbangan bertanggung jawab tidak terbatas (unlimited liability) dalam arti berapa pun kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang harus dibayar penuh oleh perusahaan penerbangan yang bersangkutan, kecuali atas dasar kesepakatan kedua belah pihak.

c) Kedudukan Para Pihak

Dalam konsep tanggung jawab hukum berdasarkan kesalahan (based on fault liability) kedudukan para pihak adalah sama dalam arti mempunyai kemampuan saling membuktikan kesalahan pihak yang lain. Konsep tanggung jawab hukum atas dasar kesalahan dirasa adil apabila kedudukan kedua belah pihak baik penumpang dan/atau pengirim barang dengan perusahaan penerbangan mempunyai kemampuan yang sama sehingga mereka dapat saling membuktikan kesalahan mereka. Dalam perkembangannya, tanggung jawab hukum (legal liability) berdasarkan kesalahan (based on faulat liability) tidak dapat diterapkan dalam pengangkutan udara mengingat kedudukan perusahaan penerbangan dengan penumpang dan/atau pengirim barang tidak seimbang, karena perusahaan penerbangan menguasai teknologi tinggi, sementara itu penumpang dan/atau pengirim barang tidak menguasai teknologi tinggi.Oleh karena itu pihak ketigadalam konsep tanggung jawab tanpa bersalah atau tanggung jawab mutlak operator tidak dapat membebaskan diri kewajiban membayar ganti rugi (damages).26 Perkataan kerusakan atau kerugian (damages)27 dapat ditemui dalam Pasal 18, 19, dan 20 Konvensi Warsawa 1929, Konvensi Roma 1952, the Liability Convention of 1972.

2. Tanggung Jawab Praduga Bersalah (Presumption of Liability)

Sebagaimana disebutkan di muka, dalam perkembangannya tanggung jawab atas dasar kesalahan (based on fault liability) tidak dapat diterapkan dalam pengangkutan udara, karena kedudukan antara penumpang dan/atau pengirim barang dengan perusahaan penerbangan tidak seimbang. Dalam pengangkutan udara, khususnya perusahaan penerbangan menguasai teknologi tinggi,

(11)

sementara itu penumpang dan/atau pengirim barang tidak menguasai teknologi tinggi penerbangan, sehingga apabila penumpang dan/atau pengirim barang harus membuktikan kesalahan perusahaan penerbangan pasti tidak akan berhasil, karena itu sejak tahun 1929 dikenalkan konsep tanggung jawab hukum praduga bersalah (presumption of liability concept).

Konsep tanggung jawab hukum (legal liability concept) atas dasar praduga bersalah (presumption of liability) mulai diterapkan sejak Konvensi Warsawa 1929. Menurut konsep tanggung jawab hukum praduga bersalah (presumption of liability concept), perusahaan penerbangan dianggap (presumed) bersalah, sehingga perusahaan penerbangan demi hukum harus membayar ganti rugi yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang tanpa dibuktikan kesalahan lebih dahulu, kecuali perusahaan penerbangan membuktikan tidak bersalah.

Penumpang dan/atau pengirim barang tidak perlu membuktikan kesalahan perusahaan penerbangan, cukup memberi tahu adanya kerugian yang terjadi pada saat kecelakaan, sehingga penumpang dan/atau pengirim barang tidak hams membuktikan kesalahan perusahaan penerbangan. Sebagai imbalan, perusahaan penerbangan berhak menikmati batas maksimum (limited liability) ganti rugi" yang telahditetapkan dalam konvensi atau regulasi artinya berapa pun juga kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang, perusahaan penerbangan tidak akan bertanggung jawab membayar semua kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang.

Unsur-unsur konsep tanggung jawab praduga bersalah (presumption of liabililty) adalah beban pembuktian terbalik, tanggung jawabnya terbatas (limited liability), perlindungan hukum (exoneration), ikut bersalah (contributory negligence), dan kesalahan yang disengaja (wilfull misconduct), yang selanjutnya dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Beban Pembuktian (Burden of Proof) Terbalik

Konsep tanggung jawab praduga bersalah (presumption of liability concept), penumpang dan/atau pengirim barang tidak perlu membuktikan kesalahan perusahaan penerbangan, sebab perusahaan penerbangan telah dianggap bersalah. Apabila penumpang dan/atau pengirim barang harus membuktikan kesalahan perusahaan penerbangan, sudah pasti tidak akan mungkin berhasil, karena penumpang dan/atau pengirim barang tidak menguasai teknologi tinggi penerbangan. Dalam konsep tanggung jawab hukum praduga bersalah (presumption of liability concept) yang harus membuktikan adanya kesalahan adalah perusahaan penerbangan yang sering disebut beban pembuktian terbalik atau biasa disebut juga pembuktian negatif. Perusahaan penerbangan hams membuktikan tidak bersalah (pembuktian negatif). Apabila perusahaan penerbangan, termasuk karyawan, pegawai, agen atau perwakilannya dapat membuktikan tidak bersalah, maka perusahaan penerbangan bebas tidak bertanggung jawab dalam arti tidak akan membayar ganti mgi yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang sedikitpun juga.

(12)

b. Tanggung Jawab Terbatas (Limited Liability)

Sebagai konsekuensi konsep tanggung jawab hukum praduga bersalah (presumption of liability concept), maka perusahaan penerbangan demi hukum bertanggung jawab, tanpa dibuktikan lebih dahulu secara hukum terhadap kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang, namun demikian tanggung jawab perusahaan penerbangan terbatas (limited) sebesar jumlah kerugian yang ditetapkan dalam konvensi internasional atau peraturan perundang-undangan nasional yang berlaku, untuk setiap penumpang yang meninggal dunia atau luka tetap atau sementara atau barang hilang, musnah, atau tidak dapat digunakan sebagian maupun seluruhnya. Berapa pun juga kerugian yang diderita oleh penumpang tidak akan memperoleh ganti rugi seluruhnya.

c. Perlindungan Hukum (Exoneration)

Sebagaimana disebutkan di muka bahwa dalam tanggung jawab praduga bersalah (presumption of liability) perusahaan penerbangan dianggap bersalah, tanpa dibuktikan lebih dahulu, namun demikian perusahaan penerbangan juga mempunyai hak untuk melindungi diri (exoneration).

Apabila perusahaan penerbangan, termasuk pegawai, karyawan, agen atau perwakilannya dapat membuktikan tidak bersalah, maka perusahaan penerbangan bebas bertanggung jawab dan tidak membayar kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang.

d. Ikut Bersalah (Contributory Negligence)

Perusahaan penerbangan tidak hanya dapat melindungi diri (exoneration), tetapi perusahaan penerbangan juga dapat membuktikan bahwa penumpang dan/atau pengirim barang juga ikut melakukan kesalahan (contributary negligence). Apabila perusahaan penerbangan, termasuk pegawai, karyawan, agen maupun perwakilannya dapat membuktikan bahwa penumpang dan/atau pengirim barang ikut bersalah (contribute), maka tanggung jawab tidak sepenuhnya dibebankan kepada perusahaan penerbangan, melainkan dibebankan pula kepada penumpang, misalnya sudah diperingatkan agar memasang sabuk pengaman, tetapi penumpang tidak mematuhi pemasangan sabuk pengaman.

e. Tanggung Jawab Tidak Terbatas (Unlimited Liability)"

Sebagaimana disebutkan di atas, tanggung jawab perusahaan penerbangan terbatas sejumlah kerugian yang ditetapkan dalam konvensi internasional atau peraturan perundang-undangan nasional yang berlaku terhadap kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang, namun demikian penumpang dan/atau pengirim barang masih terbuka untuk memperoleh ganti rugi yang lebih besar, apabila penumpang dan/ atau pengirim barang dapat membuktikan bahwa perusahaan penerbangan termasuk pegawai, karyawan, agen atau perwakilannya melakukan kesalahan yang disengaja (wilful misconduct)." Apabila penumpang dan/atau pengirim barang dapat membuktikan perusahaan penerbangan termasuk pegawai, karyawan, agen atau perwakilannya melakukan kesalahan yang disengaja (wilful misconduct), maka tanggung jawab perusahaan penerbangan tidak terbatas (unlimited liability) dalam arti

(13)

berapa pun juga kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang harus diganti seluruhnya, misalnya perusahaan tidak menyediakan jaket pelampung (life jacket), karena jaket pelampung merupakan no go item" dalam pengoperasian pesawat udara.

3. Tanggung Jawab Hukum Tanpa Bersalah (Liability Without Fault)

Konsep tanggung jawab hukum tanpa bersalah (legal liability without fault concept) atau tanggung jawab hukum mutlak (absolute liability atau strict liability) digunakan dalam Pasal 44 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992, Konvensi Roma 1952, Protokol Guatemala City 1971, the Liability Convention of 1 97221dan Aircraft Product Liability.

Menurut konsep tanggung jawab tanpa bersalah (legal liability without fault concept), perusahaan penerbangan (air carrier) bertanggung jawab mutlak terhadap kerugian yang diderita oleh pihak ketiga yang timbul akibat kecelakaan pesawat udara atau jatuhnya barang dan/atau orang dari pesawat udara, tanpa memerlukan adanya pembuktian lebih dahulu.Konsep tanggung jawab hukum tanpa bersalah (legal liability without fault) atau tanggung jawab mutlak (absolute liability) atau strict liability diterapkan terhadap tanggung jawab operator pesawat udara kepadapihak ketiga." Dalam konsep tanggung jawab tanpa bersalah atau tanggung jawab mutlak operator tidak dapat membebaskan diri kewajiban membayar ganti rugi (damages). Perkataan kerusakan atau kerugian (damages) dapat ditemui dalam Pasal 18, 19, dan 20 Konvensi Warsawa 1929, Konvensi Roma 1952, the Liability Convention of 1972.

4. Ajaran Hukum (Doctrine) tentang Konsep Tanggjawab Hukum.

Menurut ajaran hukum (doctrine), konsep tanggung jawab hukum tanpa bersalah (legal liability without fault concept) atau sering disebut juga tanggung jawab mutlak (absolute liability atau strict liability) lahir di Eropa sejak revolusi industri pada abad ke-19. Pada scat itu dalam masyarakat terdapat struktur sosial yang berlapis-lapis masing-masing lapisan atas yang biasanya mempunyai akses ke berbagai kebutuhan ekonomi, sosial, budaya maupun politik, dan lapisan bawah yang biasanya tidak mempunyai kesempatan sebagaimana dinikmati oleh lapisan atas. Lapisan atas pada umumnya dikuasai oleh para industriawan, sementara itu lapisan bawah umumnya terdiri atas buruh miskin yang nasibnya kurang beruntung dibandingkan dengan para industriawan. Revolusi industri yang terjadi di Eropa selain memberi keuntungan bagi industriawan, tidak lepas dari dampak negatif dalam kehidupan sosial. Masyarakat lapisan bawah selalu menjadi korban pemerasan tenaga, pencemaran lingkungan, kemiskinan, kesengsaraan, ketidakadilan dan berbagai penderitaan sosial lainnya.

Masyarakat lapisan bawah yang umumnya menjadi korban revolusi industri, menggugat agar hukum melindungi kepentingan masyarakat lapisan bawah yang menjadi korban revolusi industri. Hukum hams menjamin perlindungan terhadap masyarakat banyak. Hukum juga harus menjamin kehidupan ekonomi, sosial, budaya maupun politik dalam masyarakat banyak, pada saat itulah lahir doctrine yang menggugat tanggung jawab para industriawan.

(14)

Sesuai dengan doctrine, industriawan harus bertanggung jawab terhadap dampak negatif yang timbul akibat revolusi industri tanpa harus membuktikan kesalahan para industriawan. Rasanya ada ketidakadilan apabila masyarakat banyak dibebani untuk membuktikan kesalahan industriawan. Sebaliknya adil bilamana risiko itu dibebankan kepada para industriawan sebab mereka dapat membagi beban risiko tersebut dengan para industriawan yang menikmati basil revolusi industri, karena itu industriawan bertanggung jawab atas dampak negatif revolusi industri tanpa harus dibuktikan kesalahannya. Dalam kasus Rylands vs Fletcher (1868) dinyatakan:

".... the doctrine of strict (or absolute liability) has evolved in modern time in certain kinds of situation, that is not wrongful but give rise to liability even in the absenceof ellegaltion of negligence or fault "

Dalam perkembangannya lebih lanjut, ajaran hukum tersebut diterapkan dalam Konvensi Paris 1960 yang mengatur kapal laut tenaga nuklir. Dalam Konvensi tersebut antara lain dikatakan: "because of special damages involves in the activities within the scope of difficulty of establising negligence in view of the new technique of atomic energy."29

Dalam American-Common Law System juga dikenalkan pergeseran tanggung jawab (transfer of liability) dari penumpang (injured people) kepada pelaku (actor) yang menimbulkan kerugian sehingga pelaku (perusahaan pengangkutan) bertanggung jawab. Hal ini merupakan perkembangan dari kasus Rylands vs Fletcher (1868) tersebut di muka. Menurut American Common Law System pelaku (actor) bertanggung jawab mutlak (absolute liability) tanpa kesalahan, karena masyarakat menghendaki hukum harus melindungi masyarakat banyak untuk mencapai kesejahteraan. Secara yuridis halini adil sebab para pelaku (actor) dapat membagi risiko (distribution of risk) tersebut kepada masyarakat yang menikmati kegiatan yang sangat membahayakan.

Doctrine pergeseran tanggung jawab (transfer of liability) tersebut dalam perkembangannya diterapkan juga pada pengangkutan udara, khususnya Montreal Agreement 1966, sedangkan di Indonesia konsep tanggung jawab hukum tidak bersalah (legal liability concept) telah diatur dalam Pasal 44 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (1). Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 mengatakan pengusaha bertanggung jawab (liable) memberikan ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi/menggunakan barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau yang diperdagangkan dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 beserta peraturan pelaksanaannya.

C. Aspek Perlindungan Hukum Jasa Penerbangan

Terkait dengan aspek perlindungan hukum Pengguna Jasa Penerbangan maka perlu dipahami beberapa aspek sebagai berikut:

a. Aspek keselamatan penerbangan

(15)

Tujuan utama kegiatan penerbangan komersil adalah keselamatan penerbangan. Aspek ini berkaitan erat dengan perlindungan konsumen terhadap pengguna jasa transportasi udara niaga, dalam konteks ini maka semua perusahaan penerbangan wajib untuk mengantisipasi segala kemungkinan yang dapat mencelakakan penumpangnya, oleh karena itu setiap perusahaan penerbangan komersil dituntut untuk menyediakan armada pesawatnya yang handal dan selalu dalam keadaan laik terbang. Keselamatan penerbangan berkaitan erat dengan fisik pesawat terbang serta aspek pemeliharaan(maintence) sehingga terpenuhi persyaratan teknik penerbangan, selain itu aspek keselamatan penerbangan juga berkenaan erat dengan faktor sumber daya manusia yang terlibat dalam kegiatan penerbangan. Keselamatan penerbangan merupakan hasil keseluruhan dari kombinasi berbagai faktor, yaitu faktor pesawat udara, personil, sarana penerbangan, operasi penerbangan dan badan-badan pengatur penerbangan

b. Aspek Keamanan Penerbangan

Secara fisik aspek keamanan merupakan suatu aspek yang paling terasa oleh konsumen pengguna jasa angkutan udara di samping aspek kecelakaan pesawat udara. Keamanan penerbangan maksudnya adalah aman dari berbagai gangguan, baik secara teknis maupun gangguan dari perampokan, perampasan dan serangan teroris. Dalam aspek keamanan ini perusahaan penerbangan wajib menjamin keamanan selama melakukan penerbangan.

c. Aspek Kenyamanan selama penerbangan Dalam aspek kenyamanan dalam penerbangan, terkandung makna bahwa:

Perusahaan penerbangan komersil wajib memberikan kenyamanan kepada penumpangnya. Aspek kenyamanan penerbangan berkaitan erat dengan kelangkapan pesawat udara seperti tempat duduk, kelengkapan fasilitas, pengatur suhu udara, fasilitas Bandar udara.

d. Aspek Pelayanan

Bisnis angkutan udara merupakan salah satu bentuk perdagangan jasa, sehingga pelayanan merupakan salah satu indikator sering dijadikan pilihan para calon konsumen, sehubungan dengan hal tersebut aspek pelayanan dalam transportasi udara berkaitan erat dengan prosedur pembelian tiket pesawat dan prosedur penentuan tempat duduk (boarding pass). Dalam konteks ini perusahaan penerbangan harus mengatur dengan baik masalah penentuan tempat duduk bagi penumpang sehingga tidak terjadi tempat duduk yang double yang tentunya sangat merugikan konsumen.

e. Aspek Penentuan Tarif atau Ongkos Penerbangan

Secara sempit tarif merupakan kombinasi dari macam-macam komponen biaya dalam penyelenggaraan pengangkutan udara niaga. Dalam sistem penyelenggaraan transportasi udara niaga terdapat beberapa faktor yang sangat berperan dalam penentuan tarif angkutan, yaitu sistem angkutan udara, kompetisi dan tarif wajar. Sistem angkutan udara system yang berdasarkan pada kebijakan pokok mengenai angkutan udara, yang kemudian menjabarkan kebijakan tersebut dalam bentuk pengaturan mengenai “airline system” di Indonesia, struktur rute-rute penerbangan dan pembinaan industri angkutan udara. Masalah tarif perlu diatur tidak membebankan konsumen.

(16)

f. Aspek Perjanjian Angkutan Udara

Salah satu unsur terpenting dalam rangka memberikan perlindungan konsumen pengguna jasa transportasi udara niaga adalah menyangkut aspek perjanjian pengangkutan.

Dalam konteks ini perusahaan penerbangan berkewajiban untuk memberikan tiket penumpang sebagai bukti terjadi perjanjian pengangkutan udara. Dalam praktinya tiket atau dokumen perjanjian pengangkutan udara telah disiapkan oleh perusahaan dalam bentuk yang telah baku atau biasa dikenal dengan perjanjian standard. Berkenaan dengan telah bakunya dokumen pengangkutan tersebut maka harus adanya jaminan bahwa adanya keseimbangan hak dan kewajiban diantara para pihak, baik pengangkut maupun penumpang.

g. Aspek Pengajuan Klaim

Dalam kegiatan penerbangan sering kali terjadinya risiko kecelakaan yang menimbulkan kerugian bagi penumpang, sehubungan dengan hal tersebut diperlukan perlindungan konsumen bagi penumpang, yaitu adanya prosedur penyelesaian atau pengajuan klaim yang mudah, cepat dan memuaskan.

Prosedur yang mudah berarti bahwa penumpang atau ahli warisnya yang sudah jelas haknya, tidak perlu menempuh prosedur yang berbelit dan rumit dalam merealisasikan hak-haknya. Sedangkan prosedur yang murah berarti para penumpang atau ahli waris yang mengalami kecelakaan tidak perlu mengeluarkan biaya-biaya yang mahal untuk menyelesaikan ganti rugi.

Penyelesaian sengketa yang cepat mengandung makna bahwa prosedurnya tidak memakan waktu yang lama, dalam kaitan ini dapat menggunakan penyelesaian sengketa di luar pengadilan, sebab biasanya penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan memakan waktu yang lama.

h. Aspek perlindungan melalui asuransi

Pada umumnya perusahaan penerbangan mengasuransikan dirinya terhadap risikorisiko yang kemungkinan akan timbul dalam penyelenggaraan kegiatan penerbangannya, antara lain mengasuransikan risiko tanggung jawab terhadap penumpang. Di samping asuransi yang ditutup oleh perusahaan penerbangan tersebut, di Indonesia dikenal juga asuransi wajib jasa raharja.

D. Teori Penegakan Hukum 1. Teori Sistem Hukum Hans Kelsen

Sebelum membahas lebih dalam mengenai teori sistem hukum menurut Lawrence Friedman, ada baiknya terlebih dahulu mengetahui pendapat dari Hans Kelsen tentang Sistem hukum. Kelsen mengatakan bahwa sistem hukum adalah suatu sistem norma7. Kemudian Kelsen menekankan bahwa suatu sistem norma dikatakan valid jika diperoleh dari norma yang lebih tinggi diatasnya, yang selanjutnya sampai pada tingkat dimana norma tersebut tidak dapat diperoleh dari norma lain yang lebih tinggi, ini yang disebut sebagai norma dasar8.

7Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Bandung: Nusa Media, 2008, hlm.159.

8 Ibid, hlm.161.

(17)

Berdasarkan hakikat norma dasar tersebut Hans Kelsen membagi sistem norma menjadi dua jenis yaitu sistem norma statis dan sistem norma dinamis9. Sistem norma statis hanya dapat ditemukan melalui tatanan kerja intelektual, yakni melalui penyimpulan dari yang umum kepada yang khusus. Sedangkan sistem norma dinamis merupakan norma yang diluarnya kita sudah tidak lagi dapat menemukan norma yang lebih tinggi darinya, dan tidak dapat diperoleh melalui suatu tatanan kerja intelektual. Pandangan Kelsen tersebut dapat disederhanakan bahwa sistem norma yang disebut tatanan hukum adalah sistem dari jenis yang dinamis karena dalam sistem norma dinamis, validitas norma diperoleh dari pendelegasian otoritas berdasarkan sistem hukum Negara tersebut baik pembentukan norma oleh parlemen, atau lahir karena kebiasaan atau ditetapkan oleh pengadilan10.

Pandangan Hans Kelsen mengenai sistem hukum tersebut diatas menurut hemat kami ada benarnya, namun tentunya tidak mencakup secara menyeluruh dari apa yang dimaksud dalam sistem hukum itu sendiri. Apakah hukum hanya terbatas dalam produk yang dibuat atau dibentuk baik oleh Parlemen, kebiasaan atau putusan pengadilan, lalu bagaimana dengan kejakasaan, kepolisian dan pengacara bukankah mereka juga bagian dari penegak hukum.

Lantas dimana posisi masyarakat sebagai pelakasana perintah norma dengan nilai-nilai dan harapan atas kondisi personal atau kelompok didalam kehidupan sosialnya.

2. Teori Sistem Hukum Menurut Lawrence M. Friedman

Teori Sistem Hukum Menurut Lawrence M. Friedman, seorang profesor di bidang hukum, sejarawan, yang juga pakar sejarah hukum Amerika, dan penulis produktif, ada tiga elemen utama dari sistem hukum (legal system), yaitu:11:

a. Substansi hukum (Substance rule of the law atau Legal Structure), didalamnya melingkupi seluruh aturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, baik yang hukum material maupun hukum formal.

b. Struktur hukum (Structure of the law atau Legal Substance), melingkupi Pranata hukum, Aparatur hukum dan sistem penegakkan hukum. Struktur hukum erat kaitannya dengan sistem peradilan yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum, dalam sistem peradilan pidana, aplikasi penegakan hukum dilakukan oleh penyidik, penuntut, hakim dan advokat.

c. Budaya hukum (Legal culture), merupakan penekanan dari sisi budaya secara umum, kebiasaan-kebiasaan, opini-opini, cara bertindak dan berpikir, yang mengarahkan kekuatan sosial dalam masyarakat.

Lawrence M. Friedman mengemukakan bahwa efektif dan berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung tiga unsur sistem hukum, yakni struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal culture).

Struktur hukum menyangkut aparat penegak hukum, substansi hukum meliputi

9Ibid, hlm.163.

10Hans Kelsen, Loc. Cit

11Lawrence M. Friedman; The Legal System; A Social Scince Prespective, Russel Sage Foundation, New York, 1975; hlm. 12 – 16.

(18)

perangkat perundang-undangan dan budaya hukum merupakan hukum yang hidup (living law) yang dianut dalam suatu masyarakat.

1. Struktur Hukum (Legal Structure)

Dalam teori Lawrence M. Friedman hal ini disebut sebagai sistem Struktural yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan dengan baik.

Struktur hukum berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981 meliputi; mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Badan Pelaksana Pidana (Lapas).

Kewenangan lembaga penegak hukum dijamin oleh undang-undang. Sehingga dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain. Terdapat adagium yang menyatakan “fiat justitia et pereat mundus” meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan. Hukum tidak dapat berjalan atau tegak bila tidak ada aparat penegak hukum yang kredibilitas, kompeten dan independen. Seberapa bagusnya suatu peraturan perundang-undangan bila tidak didukung dengan aparat penegak hukum yang baik maka keadilan hanya angan-angan.

Lemahnya mentalitas aparat penegak hukum mengakibatkan penegakkan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Banyak faktor yang mempengaruhi lemahnya mentalitas aparat penegak hukum diantaranya lemahnya pemahaman agama, ekonomi, proses rekruitmen yang tidak transparan dan lain sebagainya. Sehingga dapat dipertegas bahwa faktor penegak hukum memainkan peran penting dalam memfungsikan hukum. Kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas penegak hukum rendah maka akan ada masalah. Demikian juga, apabila peraturannya buruk sedangkan kualitas penegak hukum baik, kemungkinan munculnya masalah masih terbuka.

Tentang struktur hukum Friedman menjelaskan:

“To begin with, the legal sytem has the structure of a legal system consist of elements of this kind: the number and size of courts; their jurisdiction

…Strukture also means how the legislature is organized …what procedures the police department follow, and so on. Strukture, in way, is a kind of crosss section of the legal system…a kind of still photograph, with freezes the action.”12

Struktur dari sistem hukum terdiri atas unsur berikut ini, jumlah dan ukuran pengadilan, yurisdiksinya (termasuk jenis kasus yang berwenang mereka periksa), dan tata cara naik banding dari pengadilan ke pengadilan lainnya. Struktur juga berarti bagaimana badan legislatif ditata, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh presiden, prosedur ada yang diikuti oleh kepolisian dan sebagainya. Jadi struktur (legal struktur) terdiri dari lembaga hukum yang ada dimaksudkan untuk menjalankan perangkat hukum yang ada.

Struktur adalah Pola yang menunjukkan tentang bagaimana hukum dijalankan menurut ketentuan-ketentuan formalnya. Struktur ini menunjukkan bagaimana pengadilan, pembuat hukum dan badan serta proses hukum itu berjalan dan dijalankan.

12Lawrence Friedman, “American Law”, (London: W.W. Norton & Company, 1984), hlm.5-6

(19)

Di Indonesia misalnya jika kita berbicara tentang struktur sistem hukum Indonesia, maka termasuk di dalamnya struktur institusi-institusi penegakan hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.13

2. Substansi Hukum

Dalam teori Lawrence M. Friedman hal ini disebut sebagai sistem substansial yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum yang mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup hukum yang hidup (living law), bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang (law books). Sebagai negara yang masih menganut sistem Civil Law Sistem atau sistem Eropa Kontinental (meski sebagaian peraturan perundang-undangan juga telah menganut Common Law Sistem atau Anglo Saxon) dikatakan hukum adalah peraturan- peraturan yang tertulis sedangkan peraturan-peraturan yang tidak tertulis bukan dinyatakan hukum. Sistem ini mempengaruhi sistem hukum di Indonesia.

Salah satu pengaruhnya adalah adanya asas Legalitas dalam KUHP. Dalam Pasal 1 KUHP ditentukan “tidak ada suatu perbuatan pidana yang dapat di hukum jika tidak ada aturan yang mengaturnya”. Sehingga bisa atau tidaknya suatu perbuatan dikenakan sanksi hukum apabila perbuatan tersebut telah mendapatkan pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan.

Substansi hukum menurut Friedman adalah:14

“Another aspect of the legal system is its substance. By this is meant the actual rules, norm, and behavioral patterns of people inside the system …the stress here is on living law, not just rules in law books”.

Aspek lain dari sistem hukum adalah substansinya. Yang dimaksud dengan substansinya adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam system itu. Jadi substansi hukum menyangkut peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memiliki kekuatan yang mengikat dan menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum.

3. Budaya Hukum

Kultur hukum menurut Lawrence M. Friedman adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya15. Kultur hukum adalah suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan.

Budaya hukum erat kaitannya dengan kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan tercipta budaya hukum yang baik dan dapat merubah pola pikir masyarakat mengenai hukum selama ini.

Secara sederhana, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum.

Hubungan antara tiga unsur sistem hukum itu sendiri tak berdaya, seperti pekerjaan mekanik. Struktur diibaratkan seperti mesin, substansi adalah apa yang dikerjakan dan dihasilkan oleh mesin, sedangkan kultur hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan

13Achmad Ali, Ibid,hlm. 28

14Lawrence M. Friedman, Op.Cit, hlm.9 -10

15Ibid, hlm.8

(20)

mesin itu, serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan.Dikaitkan dengan sistem hukum di Indonesia, Teori Friedman tersebut dapat kita jadikan patokan dalam mengukur proses penegakan hukum di Indonesia. Polisi adalah bagian dari struktur bersama dengan organ jaksa, hakim, advokat, dan lembaga permasyarakatan. Interaksi antar komponen pengabdi hukum ini menentukan kokoh nya struktur hukum. Walau demikian, tegaknya hukum tidak hanya ditentukan oleh kokohnya struktur, tetapi juga terkait dengan kultur hukum di dalam masyarakat. Namun demikian, hingga kini ketiga unsur sebagaimana yang dikatakan oleh Friedman belum dapat terlaksana dengan baik, khususnya dalam struktur hukum dan budaya hukum. Sebagai contoh, dalam struktur hukum, Anggota polisi yang diharapkan menjadi penangkap narkoba, polisi sendiri ikut terlibat dalam jaringan narkoba. Demikian halnya para jaksa, sampai saat ini masih sangat sulit mencari jaksa yang benar-benar jujur dalam menyelesaikan perkara.

Mengenai budaya hukum, Friedman berpendapat :

“The third component of legal system, of legal culture. By this we mean people’s attitudes toward law and legal system their belief …in other word, is the climinate of social thought and social force wich determines how law is used, avoided, or abused”16.

Kultur hukum menyangkut budaya hukum yang merupakan sikap manusia (termasuk budaya hukum aparat penegak hukumnya) terhadap hukum dan sistem hukum. Sebaik apapun penataan struktur hukum untuk menjalankan aturan hukum yang ditetapkan dan sebaik apapun kualitas substansi hukum yang dibuat tanpa didukung budaya hukum oleh orang-orang yang terlibat dalam sistem dan masyarakat maka penegakan hukum tidak akan berjalan secara efektif.

Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat atau rekayasa sosial tidak lain hanya merupakan ide-ide yang ingin diwujudkan oleh hukum itu. Untuk menjamin tercapainya fungsi hukum sebagai rekayasa masyarakat kearah yang lebih baik, maka bukan hanya dibutuhkan ketersediaan hukum dalam arti kaidah atau peraturan, melainkan juga adanya jaminan atas perwujudan kaidah hukum tersebut ke dalam praktek hukum, atau dengan kata lain, jaminan akan adanya penegakan hukum (law enforcement) yang baik. Jadi bekerjanya hukum bukan hanya merupakan fungsi perundang-undangannya belaka, malainkan aktifitas birokrasi pelaksananya17

Senada atau sependapat dengan M. Friedman Sajtipto Rahardjo18 menyebutkan bahwa berbicara soal hukum pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari asas-asas paradigma hukum yang terdiri atas fundamental hukum dan sistem hukum. Beberapa fundamental hukum diantaranya legislasi, penegakan dan peradilan sedangkan sistem hukum meliputi substansi, struktur dan kultur hukum. Kesemuanya itu sangat berpengaruh terhadap efektivitas kinerja sebuah hukum. Dari beberapa definisi tersebut, dapat kita artikan

16Lawrence M. Friedman Loc. Cit

17Achmad Ali, Op. Cit, hlm. 97

18Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum. Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hlm.21

(21)

bahwa berfungsinya sebuah hukum merupakan pertanda bahwa hukum tersebut telah mencapai tujuan hukum, yaitu berusaha untuk mempertahankan dan melindungi masyarakat dalam pergaulan hidup. Tingkat efektivitas hukum juga ditentukan oleh seberapa tinggi tingkat kepatuhan warga masyarakat terhadap aturan hukum yang telah dibuat.

Menurut Achmad Ali19 jika suatu aturan hukum dapat ditaati oleh sebagian besar target yang menjadi sasaran ketaatannya, maka dapat diartikan bahwa aturan hukum tersebut efektif. Namun demikian meskipun sebuah aturan yang ditaati dapat dikatakan efektif, derajat keefektivannya masih bergantung pada kepentingan mentaatinya. Jika ketaatan masyarakat terhadap suatu aturan hukum karena kepentingan yang bersifat compliance (takut sanksi), maka derajat ketaatannya dinilai sangat rendah. Berbeda ketika ketaatannya berdasarkan kepentingan yang bersifat internalization, yakni ketaatan karena aturan hukum tersebut benar-benar cocok dengan nilai intrinsik yang dianutnya, maka derajat ketaatan seperti inilah yang merupakan derajat ketaatan tertinggi.

III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pertanggungjawaban Hukum Terhadap Kecelakaan Pesawat Udara Penyelenggaraan angkutan udara di Indonesia dalam kehidupan sehari-hari memegang peran yang sangat penting dalam berbagai kegiatan, karena masyarakat dalam melakukan aktivitas sering menggunakan pesawat udara karena sarana perhubungan yang cepat, efisien dan nyaman sehingga merupakan pilihan yang paling tepat dalam kehidupan dunia modern yang menuntut segala sesuatu serba cepat dan efisien. Namun penyelenggaraan beberapa tahun terakhir ini penyelenggara angkutan udara masih menunjukkan sering terjadi kecelakaan, dengan berbagai sebab yang mengakibatkan kerugian terhadap pengguna jasa angkutan udara sebagai konsumen. Kecelakaan (accident) adalah suatu peristiwa diluar kemampuan manusia yang terjadi selama berada di dalam pesawat udara dari bandar udara keberangkatan ke bandar udara tujuan, dimana terjadi kematian, luka parah atau kerugian. Kecelakaan-kecelakaan pesawat udara tersebut dapat disebabkan berbagai faktor antara lain faktor manusia, mesin pesawat udara dan cuaca.

Kasus kecelakaan pesawat terbang yang terjadi selama ini telah menyita perhatian masyarakat luas, karena selain interval waktu yang berdekatan dan melanda hampir seluruh maskapai penerbangan, juga yang paling menyorot perhatian publik adalah timbulnya korban jiwa dalam kecelakaan tersebut. Di Indonesia juga tidak kebal terhadap kecelakaan pesawat udara20.

19Achmad Ali, Loc.Cit

20Martono, H,K,. dan Amad Sudiro,. Hukum udara Nasional dan Internasional Publik (Public International anb Nasional Air Law), Raja Wali Pers, Jakarta, 2012, hlm.295

(22)

Kepercayaan masyarakat atas kenyamanan dan keselamatan dalam penggunaan transportasi udara tersebut semakin berkurang, meskipun kebutuhan atas penggunaannya sangat tinggi. Perusahaan penerbangan selaku operator, oleh masyarakat dianggap lalai dan tidak profesional dalam pengelolaan perusahaan, disisi lain Pemerintah selaku regulator juga dianggap lamban dalam mengambil tindakan atas kondisi yang terjadi di lapangan serta tidak memiliki ketegasan dalam Pengaturan atas perusahaan-perusahaan penerbangan yang tidak memenuhi standar keselamatan. Tenaga professional dibidang penerbangan merupakan asset perusahaan penerbangan yang sangat menentukan kelangsungn hidup perusahaan.

Secara garis besar, hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan sektor penerbangan di Indonesia terkait kualitas dari sumber daya manusia operator penerbangan dan pembuat regulasi sangat rendah. Lemahnya kualitas sumber daya manusia itu menjadi bahaya laten dalam industri penerbangan. Kelemahan itu diduga merupakan tindakan melanggar hukum dan atau tidak sesuai dengan norma etika kerja dari industri penerbangan secara mayoritas.

Terlepas dari fakta yang ada, pertanyaannya siapa yang bertanggungjawab akan selalu penting untuk dijawab agar mereka yang terbukti terlibat dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Selain itu, jawaban tersebut juga bermanfaat dalam merumuskan langkah-langkah preventif agar tragedi serupa tidak terjadi lagi.

Terkait dengan masalah ini, setidaknya ada tiga pihak yang yang dapat dimintakan pertanggungjawaban apabila terjadi kecelakaan pesawat. Pihak-pihak tersebut adalah pengelola bandar udara, maskapai penerbangan baik itu maskapai yang dikelola Pemerintah ataupun maskapai swasta, dan awak pesawat secara individu.

Tabel 3

Pertanggungjawaban Kecelakaan Pesawat Pihak yang

Bertanggung jawab

Bentuk Pertanggungjawaban Dasar Hukum Pengelola bandar udara Sanksi Administrasi (teguran

tertulis s/d pencabutan Sertifikat Operasi Bandar Udara)

Pasal 21- 22Kepmenhub No: KM 47 Tahun 2002 Awak Pesawat Sanksi Pidana;

Pencabutan sertifikat

Pasal 359-361 KUHP;

Pasal 60, 64 UU No. 15/1992 Maskapai Penerbangan;

Manufacturer;

Pembuat suku cadang

Ganti Rugi/Santunan kepada korban

Pencabutan izin.

Pasal 43 (1), 44 (1) UU No.

15/1992;

Pasal 42-45 PP No. 40/1995;

Konvensi Internasional

(23)

Ganti Rugi/Santunan Pihak ketiga

Pasal 44 ayat (1) UU No 15/1992 tentang

Penerbangan.

Pasal 45 ayat (2) PP No 40/1995

Sumber: Diolah Penulis dari berbagai Sumber.

1. Pertanggungjawaban Administrasi Terhadap Kecelakaan Pesawat Terbang.

a. Pengelola Bandar Udara

Pengelola bandar udara dapat dimintakan pertanggungjawaban apabila terbukti bahwa kecelakaan pesawat terjadi karena disebabkan oleh kondisi bandar udara yang tidak memenuhi syarat sebagaimana ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Pasal 20 Kepmenhub No: KM 47 Tahun 2002 tentang Sertifikasi Operasi Bandar Udara menyatakan bahwa pemegang sertifikat operasi bandar udara dalam melaksanakan tugasnya wajib mematuhi ketentuan keamanan dan keselamatan penerbangan sesuai dengan standar dan prosedur yang berlaku, mempertahankan kelaikan operasi bandar udara, menunjukkan Sertifikat Operasi Bandar Udara pada saat diperlukan.

Selanjutnya Pasal 21 menegaskan bahwa apabila kewajiban-kewajiban tersebut tidak dipenuhi maka pemegang sertifikat dapat dikenakan sanksi administrasi oleh Dirjen Perhubungan Udara Departemen Perhubungan terkait mulai dari peringatan tertulis sampai dengan pencabutan sertifikat.

b. Maskapai Penerbangan

Selain tuntutan ganti rugi, maskapai penerbangan yang tidak mematuhi ketentuan yang berkaitan dengan keselamatan penerbangan juga dapat dicabut izin usahanya sebagaimana diatur dalam Pasal 22-23 PP No. 40/1995.

Pencabutan izin usaha tersebut dilakukan setelah sebelumnya ditempuh prosedur teguran tertulis yang kemudian diikuti dengan pembekuan izin.

Artinya bahwa dalam setiap kecelakaan pesawat pihak pertama yang harus bertanggung jawab adalah maskapai penerbangan. “Sudah menjadi rahasia umum, maskapai penerbangan terkadang kurang memperhatikan maintenance (perawatan) pesawat bahkan perbaikan komponen pesawat dengan mengorbankan komponen pesawat lainnya.

c. Air Traffic Control (ATC)

Pihak Air Traffic Control (ATC) juga memiliki tanggung jawab dalam hukum administrasi negara, sebagaimana diketahui mengenai pengatur lalu lintas udara / ATC yang ada di Indonesia secara teknis berada dibawah Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (Dirjen Perhubungan Udara) yang merupakan induk Air Traffic Control (ATC). Guna mendukung pelaksanaannya Dirjen Perhubungan Udara mengangkat seorang atau mereka yang mempunyai

(24)

keahlian dibidang pesawat lalu lintas udara, berwenang memberikan sertifikat kecakapan personil, menggajinya serta dipekerjakan dalam lingkungan pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya. Hal ini tertuang dalam pelaksanaan licencing dan rating bagi petugas pemandu lalu lintas udara didasarkan pada Keputusan Dirjen Perhubungan Udara SKEP/11/II/1984 tanggal 11 Februari 1984, tentang Petunjuk Pelaksanaan licencing dan rating bagi petugas pemandu. Penerbangan sistem licencing dan rating bag ipetugas pengatur lalu lintas udara merupakan suatu pembinaan fungsional dalam rangka meningkatkan kemampuan dan profesionalisme.

Seorang profesional seperti Air Traffic Control (ATC) hanya menjalankan tugasnya sesuai dengan bidang keahliannya, apabila terjadi kesalahan pada waktu menjalankan tugasnya, maka Dirjen Perhubungan Udara bertanggung jawab terhadap penanganan seorang Air Traffic Control (ATC). Seorang Air Traffic Control (ATC) apabila melakukan kesalahan dalam menjalankan tugasnya dapat dikenakan sanksi administrasi misalnya dipecat, diberhentikan untuk sementara atau dicabut surat tugasnya. Ketentuan ini dapat dilihat dalam Perauran Pemerintah No. 3 Tahun 2001 tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan.

Pencabutan sertifikat kecakapan ini sudah selayaknya dilakukan kepada personil Air Traffic Control (ATC) yang melakukan kesalahan dalam menjalankan tugasnya. Karena mereka dianggap sudah cukup atau orang yang profesional dalam bidang pelayanan lalu lintas udara. Tetapi pencabutan sertifikat kecakapan ini harus melalui prosedur yang telah ditentukan dalam Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2001 tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan dan harus disesuaikan dengan tingkat kesalahan yang dilakukan oleh personil Air Traffic Control (ATC).

2. Pertanggungjawaban Perdata Terhadap Kecelakaan Pesawat Terbang.

Maskapai penerbangan yang dalam banyak kasus seringkali menjadi sorotan utama, juga dapat dimintakan pertanggungjawaban apabila terjadi kecelakaan pesawat. Pasal 43 ayat (1) UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan menyatakan bahwa maskapai penerbangan bertanggung jawab atas kematian atau lukanya penumpang, musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut, dan keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut apabila terbukti hal tersebut merupakan kesalahan pengangkut. Terkait dengan hal ini, pihak yang dirugikan dapat menuntut ganti rugi kepada maskapai tersebut.

Secara perdata tanggung jawab Jasa Pengangkut Udara yaitu Pengangkut yang mengoperasikan pesawat udara wajib bertanggung jawab atas kerugian yag diakibatkan oleh kecelakaan pesawat terhadap:

1) Penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap atau luka-luka;

2) Hilang atau rusaknya bagasi kabin;

3) Hilang, musnah atau rusaknya bagasi tercatat.

Terkadang dalam pembayaran kompensasi terhadap pengguna jasa angkutan udara yang mengalami kerugian diselesaikan melalui dua mekanisme yaitu mediasi atau litigasi. Contohnya mekanisme mediasi jasa angkutan udara menawarkan kepada pengguna jasa angkutan udara pembayaran kompensasi sebesar Rp 200.000 sedangkan di dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor:

(25)

PM 77 Tahun 2011 yaitu pembayaran kompensasi sebesar Rp 500.000 dan contoh litigasi melalui pengadilan yaitu jasa angkutan udara membayar kompensasi terhadap pengguna jasa angkutan udara sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor: PM 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara.

Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor: PM 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara Pasal 3 bagian a, besarnya ganti kerugian terhadap penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap atau luka-luka yaitu sebagai berikut : Penumpang yang meninggal dunia di dalam pesawat udara karena akibat kecelakaan pesawat udara atau kejadian yang semata-mata ada hubungannya dengan pengangkutan udara diberikan ganti kerugian sebesar Rp 1.250.000.000 (satu miliar dua ratus lima puluh juta rupiah) per penumpang. Dan untuk penumpang yang mengalami cacat tetap pada pasal 3 bagian c yaitu : Penumpang yang dinyatakan cacat tetap total oleh dokter dalam jangka waktu paling lambat 60 hari kerja sejak terjadinya kecelakaan diberikan ganti kerugian sebesar Rp 1.250.000.000 (satu miliar dua ratus lima puluh juta rupiah) per penumpang.

Sedangkan pada Pasal 3 bagian e, penumpang yang mengalami luka-luka dan harus menjalani perawatan di rumah sakit, klinik atau balai pengobatan sebagai pasien rawat inap atau rawat jalan, akan diberikan ganti kerugian sebesar biaya perawatan yang nyata paling banyak Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) per penumpang.

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor: PM 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara pada Pasal 15, besarnya ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam pasal, ditetapkan berdasarkan kriteria:

a. Tingkat hidup yang layak rakyat Indonesia

b. Kelangsungan hidup Badan Usaha Angkutan Udara c. Tingkat inflasi kumulatif

d. Pendapatan perkapita

e. Perkiraan usia harapan hidup f. Perkembangan nilai mata uang

Tuntutan ganti kerugian oleh penumpang dan /atau pengirim barang serta pihak ketiga yang mengalami kerugian berdasarkan bukti:

a. Dokumen terkait yang membuktikan sebagai ahli waris sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tiket, bukti bagasi tercatat (claim tag) atau surat muatan udara (airway bill) atau bukti lain yang mendukung dan dapat dipertanggung jawabkan.

b. Surat keterangan dari pihak yang berwenang mengeluarkan bukti telah terjadinya kerugian jiwa dan raga atau harta benda terhadap pihak ketiga yang mengalami kerugian akibat pengoperasian pesawat udara.

Dalam penyelesaian sengketa ini, besaran ganti kerugian yang diatur dalam peraturan ini tidak menutup kesempatan kepada penumpang, ahli waris, penerima kargo atau pihak ketiga untuk menuntut pengangkut ke Pengadilan Negeri di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa lain sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Referensi

Dokumen terkait

Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data tentang : keterlaksanaan membaca materi pokok oleh mahasiswa, keterlaksanaan membaca materi tambahan/pendukung,

Analisis seismogram menggunakan waveform tiga komponen dilakukan untuk mendapatkan momen tensor dan mengetahui pola bidang patahan subduksi di pulau Jawa..

Pada menjalankan kuasa yang diberikan oleh seksyen 168 Kanun Tanah Negara, notis adalah dengan ini diberi bahawa adalah dicadangkan untuk menggantikan suratan hakmilik yang

Dari dendogram yang diperoleh dapat diketahui bahwa bahwa berdasarkan ciri morfologi dan pola pita isozim, hubungan kekerabatan terdekat yaitu ganyong dari wilayah Wonogiri

Melakukan tapping pada 18 titik meridian disertai mengucapkan kalimat doa, dapat memberikan efek relaksasi, dengan memicu kelenjar pituitari mengeluarkan hormon endorphin

Dari contoh yang telah disebut diatas, maka distribusi peran yang mengisi fungsi sintaksis pada pola kalimat I adalah peran tindakan selalu mengisi fungsi predikat, peran

ABSTRAK : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) terhadap hasil belajar fisika siswa kelas XI IPA SMA

Salah satu faktor risiko stroke non hemoragik adalah penyakit jantung, terutama penyakit yang disebut atrial fibrilasi, yakni penyakit jantung