• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kajian Pustaka 1. Bahan Ajar a. Pengertian Bahan Ajar

Guru dapat memanfaatkan bahan ajar sesuai dengan karakteristik peserta didiknya karena bahan ajar banyak sekali macamnya, ada bahan ajar tertulis dan ada bahan ajar yang tidak tertulis. Guru dapat mengembangkan bahan ajar yang sesuai dengan karakteristik peserta didik dan materi yang diajarkan di kelas. Andi Prastowo (2015:17) menyatakan

bahan ajar merupakan segala bahan (baik informasi, alat maupun teks) yang tersusun secara sistematis, yang menampilkan sosok utuh dari kompetensi yang akan dikuasai peserta didik dan digunakan dalam proses pembelajaran dengan tujuan perencanaan dan penelaahan implementasi pembelajaran

Kata sistematis diartikan bahwa bahan ajar yang hendak disusun harus disusun secara berurutan mengacu pada standar kompetensi dan kompetensi dasar yang telah dirumuskan pada RPP. Selain bahan ajar yang disusun harus sesuai dengan karakteristik siswa, materi bahan ajar harus disesuaikan pula dengan tingkat pendidikan peserta didik baik dari segi bahasa maupun gambar-gambar yang digunakan dalam bahan ajar.

Bahan ajar berbeda dengan sumber belajar. Bahan ajar bagian dari sumber belajar yang harus disusun dan dikemas kembali agar menjadi bahan ajar. Andi Prastowo (2015:31) “sumber belajar adalah bahan mentah untuk penyusunan bahan ajar. Jadi, untuk bisa disajikan kepada peserta didik sumber belajar harus diolah terlebih dahulu”. Hal ini berarti, agar sumber belajar tersebut menjadi bahan ajar, guru harus mengolah sumber belajar sesuai dengan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai sehingga menjadi bahan ajar yang menarik.

Bahan ajar merupakan hasil ramuan dari bahan-bahan yang diperoleh dari berbagai sumber belajar yang siap disajikan kepada peserta didik dalam proses pembelajaran.

15

(2)

commit to user

Januszewski & Molenda (2008:213) mendefinisikan sumber belajar “the term resources is understood to include the tools, materials, devices, setting and people that learners interact with facilitate learning and improve performance”.

Menurut pendapat ini sumber belajar dapat diartikan segala bentuk yang berupa alat, bahan, latar, dan orang yang dapat memfasilitasi proses pembelajaran. Segala bahan yang dapat membantu proses pembelajaran disebut sebagai sumber belajar.

Misalnya, kelas, guru, buku, laboratorium dan lain sebagainya merupakan bentuk sumber belajar yang umumnya digunakan di sekolah.

Sumber belajar dapat dimanfaatkan menjadi bahan ajar. Namun, guru perlu mengolah dan menyusun secara sistematis agar menjadi bahan ajar yang menarik yang kaya dengan informasi karena penyusunannya mengambil dari berbagai macam sumber. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sumber belajar dengan bahan ajar berbeda, dimana sumber belajar adalah alat untuk menyusun bahan ajar. Dikatakan alat karena sumber belajar tersebut masih mentah yang perlu diolah, disaring dan disusun secara sistematis agar informasi yang ingin disampaikan kepada peserta didik sesuai dengan kompetensi dasar dan tujuan pembelajaran yang telah ditentukan.

Pendapat lain juga disampaikan oleh Hamdani (2011: 120) “bahan ajar adalah seperangkat materi yang disusun secara sistematis, baik tertulis maupun tidak tertulis sehingga tercipta lingkungan atau suasana yang memungkinkan peserta didik untuk belajar”. Menurut pendapat ini, penyusunan bahan ajar harus sistematis, sistematis dalam arti materi yang dimuat dalam bahan ajar harus disusun sesuai dengan indikator pembelajaran pada RPP. Morisson, Ross, &

Kemp (2007:228) “the development of instructional materials is the implementation of the instructional design plan. Designer must consider how to accurately convey the information to the learner in a manner he or she can comprehend”. Pengembangan bahan ajar merupakan implementasi dari perencanaan desain pembelajaran. Pendesain bahan ajar harus memastikan bahwa informasi yang disampaikan kepada peserta didik dapat dipahami oleh mereka.

Penyunan bahan ajar harus berpedoman pada RPP karena bahan ajar merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan RPP.

(3)

commit to user

Pendapat yang sama juga dinyatakan oleh Dick, Carey & Carey (2009:230) yang menyatakan bahwa “the instructional material contain the contain either written, mediated, or facilitated by an instructor that a student will use to achieve the objective”. Bahan ajar terdiri dari bahan yang tertulis maupun tidak tertulis, perantara, atau bahan yang dapat memfasilitasi peserta didik dan guru untuk mencapai tujuan pembelajaran. Bahan ajar diharapkan dapat membantu guru dan siswa mencapai tujuan pembelajaran. Bahan ajar merupakan bahan yang berisi informasi yang siap disajikan dalam proses pembelajaran.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, bahan ajar adalah segala bahan baik bahan tertulis maupun tidak tertulis yang disusun secara sistematis dan siap disajikan dalam proses pembelajaran untuk membantu peserta didik dan guru dalam mencapai tujuan pembelajaran. Bahan ajar juga dapat diartikan sebagai sumber belajar yang diolah dan disaring kembali oleh guru sesuai dengan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai.

b. Fungsi bahan ajar

Fungsi bahan ajar dapat dibedakan menjadi menjadi dua macam, yaitu bagi guru dan siswa

1) Guru

Fungsi bahan ajar bagi guru antara lain adalah:

a) Menghemat waktu guru dalam mengajar

b) Mengubah peran guru dari seorang pengajar menjadi seorang fasilitator

c) Meningkatkan proses pembelajaran menjadi lebih efektif dan interaktif

d) Sebagai pedoman bagi guru yang akan mengarahkan semua aktivitasnya dalam proses pembelajaran dan merupakan substansi kompetensi yang semestinya diajarkan kepada siswa

e) Sebagai alat evaluasi pencapaian atau penguasaan hasil pembelajaran 2) Siswa

Fungsi bahan ajar bagi peserta didik antara lain adalah:

(4)

commit to user

a) Peserta didik dapat belajar tanpa harus ada guru atau teman peserta didik yang lain

b) Peserta didik dapat belajar kapan saja dan dimana saja yang mereka kehendaki

c) Peserta didik dapat belajar menurut urutan yang dipilihnya sendiri d) Peserta didik dapat belajar menurut urutan yang dipilihnya sendiri e) Membantu potensi peserta didik untuk menjadi pelajar yang mandiri f) Sebagai pedoman bagi peserta didik yang akan mengarahkan semua

aktivitasnya dalam proses pembelajaran dan merupakan substansi kompetensi yang seharusnya dipelajari atau dikuasainya.

c. Tujuan Pembuatan Bahan Ajar

Andi Prastowo (2015:26) menyatakan tujuan pembuatan bahan ajar, setidaknya ada empat hal pokok yang melingkupinya yaitu:

1) Membantu peserta didik dalam mempelajari sesuatu.

2) Menyediakan berbagai jenis pilihan bahan ajar, sehingga mencegah timbulnya rasa bosan pada siswa.

3) Memudahkan peserta didik dalam melaksanakan pembelajaran.

4) Agar kegiatan pembelajaran menjadi lebih menarik.

d. Manfaat Bahan Ajar

Manfaat bahan ajar atau keguanaan pembuatan bahan ajar dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu kegunaan bagi guru dan kegunaan bagi peserta didik diantaranya sebagai berikut:

1) Bagi Guru

Setidaknya, ada tiga kegunaan pembuatan bahan ajar bagi guru, diantaranya adalah sebagai berikut:

a) Guru akan memiliki bahan ajar yang dapat membantu dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran.

b) Bahan ajar dapat diajukan sebagai karya yang dinilai untuk menambah angka kredit guru guna keperluan kenaikan pangkat.

c) Menambah penghasilan bagi guru jika hasil karyanya diterbitkan.

(5)

commit to user 2) Bagi Siswa

Apabila bahan ajar tersedia secara bervariasi, inovatif, dan menarik, maka paling tidak ada tiga kegunaan bahan ajar bagi siswa, diantaranya sebagai berikut:

a) Kegiatan pembelajaran menjadi lebih menarik.

b) Peserta didik lebih banyak mendapatkan kesempatan untuk belajar secara mandiri dengan bimbingan guru.

c) Peserta didik mendapatkan kemudahan dalam mempelajari setiap komptensi yang harus dikuasainya.

e. Bentuk-Bentuk Bahan Ajar

Andi Prastowo (2015:40-43) mengklasifikasikan bentuk bahan ajar menjadi tiga macam yaitu “(1) bahan ajar menurut bentuknya (2) bahan ajar menurut cara kerjanya dan (3) bahan ajar menurut sifatnya”. Ketiga macam bentuk bahan ajar tersebut dijelaskan sebagai berikut:

1) Bahan ajar menurut bentuknya

Menurut bentukya, bahan ajar dibedakan menjadi empat macam, yaitu bahan cetak, bahan ajar dengar, bahan ajar pandang dengar, dan bahan ajar interaktif

a) Bahan cetak (printed), yakni sejumlah bahan yang disiapkan dalam kertas, yang dapat berfungsi untuk keperluan pembelajaran atau penyampaian informasi. Contohnya, handout, modul, lembar kerja siswa, brosur, leaflet, wallchart, foto atau gambar, dan model atau maket.

b) Bahan ajar dengar atau program audio, yakni semua sistem yang menggunakan sinyal radio secara langsung, yang dapat dilainkan atau didengar oleh seseorang atau sekelompok orang. Contohnya, kaset, radio, piringan hitam, dan compact disk audio.

c) Bahan ajar pandang dengar (audio-visual), yakni segala sesuatu yang memungkinkan sinyal audio dapat dikombinasikan dengan

(6)

commit to user

gambar bergerak secara sekuensial. Contohnya, video compact disk dan film.

d) Bahan ajar interaktif (interactive teaching materials), yakni kombinasi dari dua atau lebih media (audio, teks, grafik, gambar, animasi, dan video) yang oleh penggunaannya dimanipulasi atau diberi perlakuan untuk mengendalikan suatu perintah dan atau perilaku alami dari suatu presentasi. Contohnya, compact disk interactive.

2) Bahan ajar menurut cara kerjanya

Bahan ajar menurut cara kerjanya dibedakan menjadi lima macam, yaiu bahan ajar yang tidak diproyeksikan, bahan ajar audio, bahan ajar video, dan bahan ajar komputer.

a) Bahan ajar yang tidak diproyeksikan, yakni bahan ajar yang tidak memerlukan perangkat proyektor untuk memproyeksikan isi didalamnya, sehingga peserta didik bisa langsung mempergunakan (membaca, melihat, dan mengamati) bahan ajar tersebut.

Contohnya, foto diagram, display, model dan lain sebagainya.

b) Bahan ajar yang tidak diproyeksikan, yakni bahan ajar yang memerlukan proyektor agar bisa dimanfaatkan atau dipelajari siswa.

Contohnya slide, filmtrips, overhead transparencies, dan proyeksi komputer.

c) Bahan ajar audio, yakni bahan ajar yang berupa sinyal audio yang direkam dalam suatu media rekam. Untuk menggunakannya kita memerlukan alat pemain (player) media rekam tersebut, seperti tape compo, CD player, VCD player, multimedia player, dan lain sebagainya. Contoh bahan ajar seperti ini adalah kaset, CD, flashdisk, dan lain-lain.

d) Bahan ajar video, yakni bahan ajar yang memerlukan alat pemutar yang biasanya berbentuk video tape player, VCD player, DVD

(7)

commit to user

player, dan sebagainya. Contohnya, video, film, dan lain sebagainya.

e) Bahan ajar (media) komputer, yakni berbagai jenis bahan ajar non cetak yang membutuhkan komputer untuk menayangkan sesuatu untuk belajar. Contohnya, computer mediated instruction dan computer based multimedia atau hypermedia.

3) Bahan ajar menurut sifatnya

Bahan ajar menurut sifatnya dapat dibagi menjadi empat macam yaitu:

a) Bahan ajar yang berbasiskan cetak, misalnya buku, pamphlet, panduan belajar siswa, bahan tutorial, buku kerja siswa, peta, chart, foto, bahan dari majalah serta koran, dan lain sebagainya.

b) Bahan ajar yang berbasiskan teknologi, misalnya audio cassette, siaran radio, slide, filmtrips, film, video cassettes, siaran televisi, video interaktif, computer based tutorial, dan multimedia.

c) Bahan ajar yang digunakan untuk praktik, atau proyek, misalnya kits sains, lembar observasi, lembar wawancara, dan lain sebagainya.

d) Bahan ajar yang dibutuhkan untuk keperluan interaksi manusia (terutama untuk keperluan pendidikan jarak jauh), misalnya telepon, handphone, video conferencing, dan lain sebagainya.

2. Modul a. Pengertian Modul

Modul menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai:

kegiatan program belajar-mengajar yang dipelajari murid dengan bantuan minimal dari guru pembimbing, meliputi perencanaan, tujuan yang akan dicapai secara jelas, penyediaan materi pelajaran, alat yang dibutuhkan, serta alat untuk menilai, mengukur keberhasilan murid dalam penyelesaian pelajaran. (Ebta Setiawan, 2016, http://kbbi.web.id/modul)

modul merupakan alat untuk menciptakan belajar secara mandiri. Agar peserta didik dapat belajar secara mandiri, modul perlu disusun secara

(8)

commit to user

sistematis dan jelas yang meliputi, penyediaan materi pembelajaran, alat-alat yang dibutuhkan untuk mencapai kompetensi, alat untuk menilai kemampuan peserta didik dalam mempelajari kompetensi dan tujuan pembelajaran yang ditentukan. Alat penilaian atau evaluasi merupakan komponen yang penting dalam penyusunan modul, dengan alat penilaian atau evaluasi peserta didik dapat mengukur penguasaan materi yang sedang dipelajari.

Modul merupakan salah satu bahan ajar cetak yang bertujuan untuk mencapai suatu tujuan pendidikan secara efisien dan efektif. Dengan menggunakan bahan ajar modul dalam pembelajaran, peserta didik dapat belajar sesuai dengan kemampuan dan irama belajarnya. Peserta didik juga dapat mengetahui seberapa jauh tingkat pemahamannya terhadap materi yang telah disajikan. Penggunaan bahan ajar modul dirasa tepat untuk pembelajaran individual, jadi peserta didik dapat belajar meskipun tanpa didampingi oleh guru.

Sementara Daryanto (2013:8) mendefinisikan “modul merupakan salah satu bentuk bahan ajar yang dikemas secara utuh dan sistematis, untuk membantu peserta didik mencapai tujuan belajar yang spesifik”. Materi yang disajikan dalam modul harus dikemas, dan disusun secara sistematis sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai. Materi yang dikemas dengan baik akan mempermudah peserta didik belajar. Modul yang disusun juga diharapkan dapat membantu peserta didik mencapai kompetensinya. Untuk itu, modul dalam pembuatannya harus memuat standar kompetensi dan kompetensi dasar yang diharapkan serta cara peserta didik mencapai kompetensi tersebut. Hal senada dikemukakan oleh Hamdani (2011:219)

“modul adalah alat atau sarana pembelajaran yang berisi materi, metode, petunjuk kegiatan belajar, latihan dan cara mengevaluasi yang dirancang sistematis agar peserta didik dapat belajar secara mandiri”.

Smaldino, Lowther, & Russel (2008:214) “an instructional module is any self contained instructional unit designed for use by a single learner or a small group of learner without a teacher’s presense”. Modul pembelajaran merupakan unit pengajaran yang lengkap yang dirancang untuk digunakan

(9)

commit to user

peserta didik secara individu atau kelompok kecil tanpa kehadiran guru.

Bahan ajar modul yang digunakan dalam pembelajaran harus mampu menarik perhatian peserta didik untuk belajar agar peserta didik dapat belajar secara mandiri baik dengan atau tanpa bantuan guru. Sementara, Andi Prastowo (2015:106) menyatakan:

modul adalah sebuah bahan ajar yang disusun secara sistematis dengan bahasa yang mudah dipahami oleh peserta didik sesuai tingkat pengetahuan dan usia mereka agar mereka dapat belajar secara (mandiri) dengan bantuan atau bimbingan yang minimal dari pendidik.

Menurut pendapat ini, aspek pendidikan dan usia perlu diperhatikan dalam penyusunan modul misalnya dari aspek bahasa dan penggunaan gambar perlu disesuaikan dengan usia dan tingkat pendidikan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa modul merupakan bahan ajar yang disusun secara sistematis agar peserta didik dapat belajar secara mandiri baik atau dengan tanpa bantuan guru. Agar peserta didik dapat belajar secara mandiri melalui modul yang disusun maka, modul sekurang- kurangnya harus memuat komponen-komponen modul seperti standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator, petunjuk kegiatan belajar, uraian materi, latihan atau evaluasi, serta kunci jawaban dari latihan tersebut. Bahan ajar modul merupakan bahan ajar yang sangat penting yang perlu dikembangkan guru di sekolah, dengan bahan ajar modul peserta didik dan guru akan mudah dalam mencapai tujuan pembelajaran yang ingin dicapai.

b. Langkah-Langkah Penyusunan Modul

Menurut Daryanto (2013:17-23) menyatakan terdapat 6 langkah dalam penyusunan modul diantaranya “(1) analisis kebutuhan modul (2) desain modul, (3) implementasi, (4) penilaian, (5) evaluasi dan validasi, dan (6) jaminan kualitas”. Keenam langkah tersebut akan diuraiakan sebagai berikut:

(10)

commit to user 1) Analisis Kebutuhan Modul

Analisis kebutuhan modul merupakan kegiatan menganalisis silabus dan RPP untuk memperoleh informasi modul yang dibutuhkan peserta didik dalam mempelajari kompetensi yang telah diprogramkan.

Nama atau judul modul sebaiknya disesuaikan dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang terdapat pada silabus dan RPP dan sebaiknya setiap standar kompetensi dikembangkan menjadi satu modul.

Tujuan dari menganalis kebutuhan modul adalah untuk mengidentifikasi dan menetapkan jumlah dan judul modul yang harus dikembangkan dalam satu satuan program tertentu. Satuan program tersebut berupa satu tahun pelajaran, satu semester, satu mata pelajaran ataupun yang lainnya. Sebaiknya analisis modul yang hendak disusun dilakukan oleh tim, dengan anggota terdiri dari mereka yang mempunyai keahlian dibidangnya terutama dari ahli materi.

Tahap selanjutnya, setelah kebutuhan modul dianalisis langkah berikutnya adalah membuat peta modul. Peta modul adalah tata letak atau kedudukan modul pada satu satuan program yang digambarkan dalam bentuk gambar 2.1 di bawah ini

commit to user Gambar 2.1 Pemetaan Modul Silabus/RP

Analisis Kebutuhan

Judul Modul

Pemetaan Peta Modul

Pengetahuan, sikap dan keterampilan

Daftar Judul Modul

(11)

commit to user

Pembuatan peta modul disusun mengacu pada diagram pencapaian kompetensi yang dimuat dalam kurikulum. Modul di analisis keterkaitannya dan diurutan penyajiannya sesuai dengan urutan pembelajaran yang akan dilaksanakan.

2) Desain modul

Desain penulisan modul merupakan penyajian materi pembelajaran sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang dimuat dalam rencana pelaksanaan pembelajaran. Guru yang hendak menyusun bahan ajar modul hal pertama kali yang perlu diperhatikan adalah kompetensi yang ingin dicapai dalam rencana pelaksanaan pembelajaran.

Namun penyusunan modul juga dapat dilakukan ketika RPP belum ada dengan kata lain guru belum membuat RPP, hal ini cocok untuk modul pelatihan-pelatihan. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut:

a) Tetapkan kerangka bahan yang akan disusun.

b) Tentukan tujuan akhir (performance objective), yaitu kemampuan yang harus dicapai peserta didik setelah selesai mempelajari modul c) Tentukan tujuan antara (enable objective), yaitu kemampuan yang

spesifik yang menunjang tujuan akhir.

d) Tetapkan sistem (skema/ketentuan, metode dan perangkat) evaluasi e) Tetapkan garis-garis besar atau outline substansi atau materi untuk

mencapai tujuan yang telah ditetapkan meliputi (SK-KD), deskripsi singkat, estimilasi waktu dan sumber pustaka.

f) Materi yang ada dalam modul berupa konsep/prinsip-prinsip, fakta penting yang terkait langsung dan mendukung untuk pencapaian kompetensi dan harus dikuasai oleh siswa.

g) Tugas, soal dan atau praktik/latihan yang harus dikerjakan atau diselesaikan oleh siswa.

(12)

commit to user

h) Evaluasi atau penilaian yang berfungsi untuk mengukur kemampuan peserta didik dalam menguasai modul.

i) Kunci jawaban dari soal, latihan dan atau tugas.

Penyusunan modul tanpa adanya RPP cocok untuk peserta pelatihan, namun penyusunan modul yang akan dimanfaatkan dalam pembelajaran sebaiknya mengacu pada RPP yang telah disusun. Karena modul ajar yang baik disusun berdasarkan kurikulum yang telah dituangkan dalam RPP dalam bentuk standar kompetensi dan kompetensi dasar.

3) Implementasi

Implementasi modul dalam kegiatan belajar dilaksanakan sesuai dengan alur yang telah digariskan dalam modul. Bahan, alat, media dan lingkungan belajar yang dibutuhkan dalam kegiatan pembelajaran diupayakan dapat dipenuhi agar tujuan pembelajaran dapat tercapai.

4) Penilaian

Penilaian hasil belajar mempunyai tujuan untuk mengetahui tingkat penguasaan peserta didik setelah mempelajari seluruh materi yang ada dalam modul. Pelaksanaan penilaian mengikuti ketentuan yang telah ditentukan dalam modul.

5) Evaluasi dan validasi

Modul yang akan digunakan dalam pembelajaran harus dilakukan evaluasi dan validasi. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui dan mengukur sejauhmana implementasi pembelajaran dengan menggunakan modul tercapai sesuai dengan desain pengembangannya. Evaluasi dapat dikembangkan dengan instrumen evaluasi berdasarkan pada karakteristik modul yang disusun. Instrumen evaluasi ini sangat bermanfaat bagi peserta didik maupun guru, karena keduanya terlibat langsung dalam

(13)

commit to user

proses implementasi modul tersebut. Sehingga diperoleh hasil evaluasi yang objektif.

Validasi merupakan proses untuk menguji kesesuaian modul dengan kompetensi yang menjadi target belajar. Apabila isi modul sudah sesuai, artinya efektif untuk mempelajari kompetensi yang menjadi target belajar, maka modul dinyatakan valid (sahih). Validasi ini dapat dilakukan dengan cara meminta bantuan pada ahli yang menguasai kompetensi yang dipelajari. Bila tidak ada, maka validator dapat dilakukan pada guru-guru mata pelajaran yang sama yang menguasai kompetensi yang telah ditetapkan dalam modul. Tugas validator diantaranya (1) membaca ulang dengan cermat isi yang ada pada modul (2) validator memeriksa, tujuan pembelajaran (3) uraian materi (3) bentuk kegiatan dan (4) tugas/latihan. Pengecekan tersebut dilakukan untuk mengetahui apakah modul yang akan diterapkan baik dari isi, bahasa, uraian materi serta tujuan pembelajaran sudah sesuai dengan kurikulum dan tingkat perkembangan siswa. Apabila validator menyatakan bahwa modul tidak valid maka modul tersebut perlu diperbaiki sesuai dengan masukan tim validator atau tim ahli.

Alur validasi modul menurut Daryanto (2013:23) dapat digambarkan pada gambar 2.2 berikut ini

Gambar 2.2 Alur Validasi Modul Draft

Validasi

Uji Coba

Modul

Penyempurnaan

Penyempurnaan Validator

(14)

commit to user

Berdasarkan pada Gambar 2.2 alur validasi di atas, modul yang akan diimplementasikan kepada peserta didik tidak serta merta langsung diterapkan melainkan harus divalidasi oleh validator atau tim ahli.

Setelah modul disusun dalam bentuk draft maka validator akan memvalidasi dan apabila ternyata hasil validasi ada bagian-bagian isi modul yang perlu diperbaiki maka, penyusun modul harus menyempurnakan isi modul tersebut sesuai dengan masukan validator.

Kemudian setelah disempurnakan maka modul tersebut di uji cobakan kepada peserta didik dalam kelompok kecil, dan apabila dalam kelompok kecil ternyata modul tersebut terdapat isi temuan baik dari isi materi, tujuan dan yang lainnya maka, penyusun modul harus memperbaiki dan menyempurnakan sesuai hasil uji coba. Setelah penyempurnaan selesai maka modul yang disusun oleh guru dapat digunakan dalam kegiatan pembelajaran.

6) Jaminan Kualitas

Modul yang disusun harus benar-benar memenuhi ketentuan- ketentuan yang ditetapkan dalam pengembangan suatu modul, maka selama proses pembuatannya perlu dipantau untuk meyakinkan bahwa modul yang telah disusun sesuai dengan desain yang ditetapkan. Modul yang telah disusun harus diuji apakah setiap elemen yang terdapat dalam modul sudah memenuhi syarat dan penyusunannya apakah sudah memenuhi kaidah-kaidah yang berlaku.

Untuk itu, agar modul yang disusun benar-benar kualitasnya terjamin, penyusun modul hendaknya mengembangkan standar operasional prosedur dan instrumen untuk menilai kualitas modul yang telah disusun.

3. Pembelajaran Kontekstual Menurut Wina Sanjaya (2013:25)

CTL (Contextual Teaching and Learning) adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan pada proses keterlibatan peserta didik secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan

(15)

commit to user

menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong peserta didik untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.

Menghubungkan materi pembelajaran dengan apa yang dipelajari merupakan langkah awal untuk memotivasi peserta didik dalam kegiatan pembelajaran. Hal ini sesuai dengan tujuan pembelajaran matematika yaitu peserta didik diharapkan mampu memecahkan masalah. Pembelajaran kontekstual ini cocok untuk diterapkan di kelas karena dengan menggunakan strategi ini peserta didik akan diajak memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-harinya secara matematis.

Hal senada juga dinyatakan Rudi Hartono (2013:83) “pembelajaran kontekstual merupakan strategi pembelajaran yang menekankan pada proses keterlibatan peserta didik secara penuh dalam rangka menemukan materi dan hubungannya dengan realitas kehidupan sosial”.

Sementara Johnson (2002:24) “CTL is a holistic system”. CTL adalah sebuah sistem yang menyeluruh”. Yang dimaksud dengan sistem yang menyeluruh lebih lanjut dijelaskan oleh Johnson (2002:25) yang menyatakan bahwa “the CTL system is an educational process that aims to help students see meaning in the academic material they are studying by connecting academic subjects with the context of their daily lives, that is, with the context of their personal, social, and cultural circumstance”. Sistem CTL itu dapat diartikan sebagai sebuah proses pendidikan yang bertujuan untuk membantu para peserta didik untuk menemukan makna dari apa yang mereka pelajari di sekolah dengan cara menghubungkan materi pelajaran dengan aktivitas kehidupan sehari-hari mereka yang meliputi kehidupan pribadi, sosial, dan budaya mereka. Menurut pendapat ini materi yang dipelajari oleh peserta didik akan lebih bermakna apabila guru menyajikan materi pembelajaran dengan cara mengaitkan materi yang dipelajari dengan kehidupan sehari-hari peserta didik. Kehidupan sehari-hari tersebut meliputi: kehidupan pribadi siswa, sosial, dan budaya mereka. Untuk itu, kehidupan sehari-hari peserta didik di sekolah pada masing-masing kelas perlu di analisis oleh guru sebagai pertimbangan untuk memilih dan merancang materi pembelajaran.

(16)

commit to user

Ahli pembelajaran John Dewey menyatakan dalam pembelajaran peserta didik akan belajar dengan baik apabila yang mereka pelajari berhubungan dengan yang telah mereka ketahui, serta proses belajar akan produktif jika peserta didik terlibat di sekolah. Senada dengan John Dewey, Vygotsky dalam Trianto (2010:112) menyatakan “peserta didik belajar konsep yang paling baik apabila konsep itu berada dalam daerah perkembangan terdekat atau zone of proximal development siswa”. Proses pembelajaran di kelas akan menjadi menarik dan dipahami oleh peserta didik apabila materi pembelajaran yang disampaikan oleh guru berhubungan dengan apa yang telah mereka ketahui dan dekat dengan daerah perkembangan siswa.

Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa CTL (Contextual Teaching and Learning) merupakan suatu strategi pembelajaran yang dapat membantu peserta didik terlibat secara penuh dalam pembelajaran di sekolah yang menghubungkan materi pembelajaran dengan kehidupan sehari-hari dan dekat dengan daerah perkembangan peserta didik agar kegiatan pembelajaran menjadi menarik dan mudah dipahami oleh siswa.

Bahan ajar berbasis CTL (Contextual Teaching and Learning) adalah bahan ajar yang berisi materi pembelajaran dan materi pembelajaran tersebut dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari peserta didik. Bahan ajar berbasis CTL selain materi pembelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari peserta didik, bahan ajar berbasis CTL juga memuat tujuh komponen CTL yang dapat membantu siswa memahami materi yang dipelajari. Ketujuh komponen tersebut adalah sebagai berikut:

a. Konstruktivisme (Constructivism)

Wina Sanjaya (2014:264) mendefinisikan “konstruktivisme proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur koognitif siswa berdasarkan pengalaman”. Pembelajaran melalui CTL harus mampu mendorong siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Pengetahuan baru tersebut dapat diperoleh dari pengamatan dan pengalaman. Trianto (2010:113) menyatakan bahwa “…konstruktivis adalah ide bahwa siswa harus

(17)

commit to user

menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks kesituasi lain, dan apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka sendiri”.

Pembelajaran yang menerapkan konstruktivisme yaitu apabila peserta didik diajak untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri terhadap materi yang dipelajari. Pengetahuan itu dapat dibangun dengan cara mengaitkan materi yang akan dipelajari dengan materi yang telah dikuasai oleh peserta didik sebelumnya.

b. Inkuiri (Inquiry)

Inquiri merupakan bagian inti dari pembelajaran kontekstual. Proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. “Secara umum proses inkuiri dapat dilakukan melalui beberapa langkah, yaitu (1) merumuskan masalah, (2) mengajukan hipotesis, (3) mengumpulkan data, (4) menguji hipotesis berdasarkan data yang ditemukan, dan (5) membuat kesimpulan” (Wina Sanjaya, 2014:265).

Langkah-langkah pada proses inkuiri yaitu bertujuan untuk menemukan suatu konsep dan fakta terhadap pengetahaun yang dipelajari.

Untuk itu, peran guru dalam pembelajaran harus mampu menjadi fasilitator dengan cara melakukan langkah-langkah proses inquiri agar peserta didik dapat mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Jadi, proses inquiri ini merupakan cara agar peserta didik dapat mengkonstruksi pengetahuannya sendiri.

c. Bertanya (Questioning)

Wina Sanjaya (2014:266) menyatakan “belajar pada hakikatnya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan. Dalam proses pembelajaran melalui CTL, guru tidak menyampaikan informasi begitu saja, akan tetapi memancing agar siswa dapat menemukan sendiri”. Bertanya dalam hal ini bertujuan agar peserta didik dapat menemukan sendiri tentang apa yang mereka pelajari. Pertanyaan yang akan diajukan oleh guru bukan sembarang pertanyaan, melainkan pertanyaan yang dapat membantu peserta didik dapat menemukan sendiri tentang materi yang dipelajarinya.

(18)

commit to user

Bertanya dalam kegiatan pembelajaran merupakan hal yang sangat penting yang harus dilakukan oleh guru. Sebab melalui bertanya guru dapat membimbing dan mengarahkan peserta didik untuk menemukan materi yang dipelajarinya (Hamruni, 2012:144). Pertanyaan yang dimaksud dalam pembelajaran CTL yaitu pertanyaan yang dapat mengarahkan peserta didik untuk menemukan materi yang dipelajarinya.

d. Masyarakat Belajar (Learning Community)

Hamruni (2012:145) “konsep masyarakat belajar (learning community) dalam pembelajaran kontekstual menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh melalui kerjasama dengan orang lain”. Pendapat yang sama dinyatakan oleh Trianto (2010:116) “hasil belajar yang diperoleh dari sharing antar teman, antar kelompok, antar yang tahu ke yang belum tahu”.

Masyrakat belajar dalam CTL ciri-cirinya yaitu adanya kelompok belajar dalam kegiatan pembelajaran. Kelompok-kelompok tersebut berfungsi untuk sharing ke sesama anggota kelompok untuk memecahkan masalah atau tugas yang diberikan guru. Masyarakat belajar terjadi apabila ada komunikasi dua arah. Informasi tidak hanya dari guru semata, melainkan dari guru ke peserta didik dan dari peserta didik ke guru.

e. Pemodelan (Modeling)

Hamruni (2012:146) mendefinisikan “modeling adalah proses pembelajaran sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa”.

Pemodelan merupakan proses meniru. Dalam kegiatan pembelajaran guru bukan satu-satunya model yang dapat ditiru oleh siswa. Ahli yang didatangkan dalam kegiatan pembelajaran dengan maksud untuk menghindari teori-abstrak itu juga merupakan bagian dari proses modeling.

Senada dengan pendapat di atas, Wina Sanjaya (2014:268) “proses modeling tidak terbatas dari guru saja, akan tetapi dapat juga guru memanfaatkan siswa yang dianggap memiliki kemampuan”. Itu artinya, siswa dalam kegiatan pembelajaran dapat dijadikan model. Misalnya, guru meminta

(19)

commit to user

peserta didik dalam anggota kelompok mempresentasikan hasil diskusi di depan kelompok yang lain untuk berbagi keteman-temannya.

f. Refleksi (Reflection)

Wina Sanjaya (2014:268) mendefinisikan “refleksi adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian atau peristiwa pembelajaran yang telah dilaluinya”. Refleksi merupakan proses merenung tentang apa yang telah dipelajari dalam kegiatan pembelajaran. Refleksi dalam pembelajaran CTL bertujuan agar apa yang telah dipelajari oleh peserta didik masuk ke dalam struktur koognitif atau mengendap ke dalam ingatan peserta didik yang pada akhirnya diharapkan dapat menjadi pengetahuan yang dimilikinya.

Hal senada disampaikan Trianto (2010:117-118) “refleksi adalah cara berpikir ke belakang tantang apa-apa yang sudah kita lakukan di masa yang lalu”. Guru harus memberikan waktu kepada peserta didik untuk mengingat dan merenungkan kembali tentang apa yang telah mereka pelajari. Proses refleksi ini umumnya berada pada akhir kegiatan pembelajaran. Pada akhir kegiatan pembelajaran guru dapat meminta siswa untuk mengingat kembali tentang materi yang dipejarinya. Proses refleksi ini dapat juga dilakukan melalui pertanyaan yang dapat mengarahkan peserta didik menyimpulkan apa yang dipelajarinya.

g. Penilaian Autentik (Authentic Assessment)

Wina Sanjaya (2014:269) mendiefinisikan “penilaian nyata (authentic assessment) adalah proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa”. Sementara Trianto (2010:118) mengartikan“assessment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa”.

Gambaran tentang peserta didik belajar selama proses pembelajaran perlu diketahui oleh guru, agar guru bisa memastikan bahwa peserta didik telah mengikuti proses pembelajaran dengan benar.

(20)

commit to user

Penilaian autentik menekankan pada proses pembelajaran, maka dalam penilaian autentik data yang dikumpulkan yaitu data yang diperoleh dari kegiatan nyata yang dilakukan peserta didik dalam kegiatan pembelajaran. Penilaian autentik dilakukan secara terus menerus selama proses pembelajaran berlangsung. Oleh sebab itu, tekanannya diarahkan proses belajar bukan kepada hasil belajar. Penilaian autentik selain menilai hasil belajar penilaian autentik juga dapat dilakukan dengan cara menilai sikap (afektif) yaitu sikap atau respon peserta didik dalam kegiatan pembelajaran.

4. Model ADDIE

Menurut I Made Tegeh, I Nyoman Jampel, & Ketut Pudjawan (2014:42) Model ADDIE terdiri atas lima langkah, yaitu “(1) analisis (analyze), (2) perancangan (design) (3) pengembangan (development), (4) implementasi (implementation) dan (5) evaluasi (evaluation)”. Kelima langkah tersebut diuraikan sebagai berikut:

a. Tahap I Analisis (Analyze)

Branch (2009:23) “the purpose of the Analyze phase is to identify the probable causes for a performance gap”. Tujuan dari tahap analisis yaitu untuk mengidentifikasi kemungkinan penyebab dari kesenjangan yang terjadi.

Dalam kegiatan pembelajaran yang perlu dilakukan pada tahap analisis yaitu meliputi kegiatan sebagai berikut (1) melakukan analisis kompetensi yang harus dikuasai oleh kepada peserta didik (2) melakukan analisis karakteristik peserta didik yang meliputi pengetahuan, sikap dan keterampilan yang telah dimiliki peserta didik serta aspek lain yang terkait, dan (3) melakukan analisis materi sesuai sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar.

b. Tahap II Perancangan (Design)

Branch (2009) menyatakan “the purpose of the Design phase is to verify the desired performances and appropriate testing methods”. Tujuan dari tahap desain yaitu untuk memverifikasi produk yang telah dianalisis dengan

(21)

commit to user

menggunakan tes yang tepat. Pada tahap ini disusun rancangan berdasarkan analisis yang diperoleh tahap 1. Rancangan yang perlu disusun meliputi kompetensi yang harus dicapai oleh peserta didik, merumuskan tujuan pembelajaran, strategi, serta evaluasi hasil pembelajaran yang selanjutnya disusun dan dikembangkan pada tahap selanjutnya yaitu tahap pengembangan.

c. Tahap III Pengembangan (Development)

Branch (2009:83) menyatakan “the purpose of the Develop phase is to generate and validate selected learning resources”. Tujuan dari tahap pengembangan yaitu untuk membuat dan memvalidasi produk yang telah dibuat. Tahap validasi ini bertujuan untuk menentukan kualitas produk yang telah dibuat sebelum produk tersebut digunakan dalam kegiatan pembelajaran yang sebenarnya.

Untuk memastikan produk yang telah dibuat telah sesuai dengan desain maka produk tersebut harus divalidasi dan diujicoba. Uji coba yang dimaksud dalam model ADDIE ini dinamakan evaluasi formatif. Evaluasi formatif bertujuan untuk menentukan kelayakan produk sebelum produk digunakan dalam kegiatan pembelajaran yang sebenarnya. Branch (2009:123) “there are three typical phases of formative evaluation, (1) One-to-One Trial, (2) Small Group Trial, (3) Field Trial”. Ada tiga tahap yang harus dilalui pada tahap evaluasi formatif yaitu (1) uji coba satu-satu, (2) uji coba kelompok kecil, dan (3) uji coba lapangan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, produk yang telah dikembangkan harus melalui tahap evaluasi formatif yang terdiri dari (1) uji coba satu-satu, (2) uji coba kelompok kecil, dan (3) uji coba lapangan. Produk yang telah melalui tahap eveluasi formatif selanjutnya direvisi sesuai dengan masukan pada tahan uji coba dan kemudian produk yang telah direvisi di implementasikan dalam kegiatan pembelajaran yang sebenarnya untuk menguji keefektifan produk yang telah dibuat.

(22)

commit to user d. Tahap IV Implementasi (Implementation)

Branch (2009:133) menyataan “the purpose of the Implement phase is to prepare the learning environment and engage the students”. Tujuan dari tahap implementasi ini menyiapkan lingkungan belajar dan peserta didik.

Menyiapkan lingkungan belajar dan peserta didik yang dimaksud adalah guru sebelum menggunakan produk yang dikembangkan harus memastikan ketersediaan lingkungan belajar untuk menggunakan produk yang dikembangkan serta guru perlu memeriksa kesiapan peserta didik untuk menggunakan produk yang telah dikembangkan.

Pada tahap implementasi persis sama dengan uji coba lapangan hanya saja jumlah sampel yang dipilih lebih banyak. Implementasi caranya persis sama dengan uji coba lapangan, namun dalam skala yang lebih luas agar penggunaannya dapat digeneralisasikan (M. Atwi Suparman, 2012:329).

e. Tahap V Evaluasi (Evaluation)

Branch (2009:151) “the purpose of the Evaluate phase is to assess the quality of the instructional products and processes, both before and after implementation”. Tujuan dari tahap evaluasi yaitu untuk mengukur kualitas proses pengembangan produk baik sebelum dan sesudah diimplementasikan.

Evaluasi merupakan tahap terakhir dari model ADDIE. Evaluasi tersebut terdiri dari evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. Evaluasi formatif dilakukan untuk mengumpulkan data pada setiap tahapan pengembangan produk. Evaluasi sumatif dilakukan pada akhir program setelah produk diimplementasikan yang bertujuan untuk mengetahui keefektifan produk yang dikembangkan.

B. Penelian yang Relevan

Dalam penelitian ini didukung beberapa penelitian sebelumnya. Adapun penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Widarso Pujianto, (2012). Peningkatan Pemahaman Konsep Operasi Pada bentuk Aljabar melalui Pendekatan Kontekstual dengan Menggunakan Media Kayu Berwarna pada Peserta didik Kelas VII SMPN 1 Sukosari Bondowoso.

(23)

commit to user

Tujuan penelitian ini adalah menerapkan pendekatan kontekstual dengan menggunakan media kayu berwarna untuk meningkatkan pemahaman konsep operasi pada bentuk aljabar pada peserta didik kelas VII SMPN 1 Sukosari Bondowoso. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dengan pembelajaran kontekstual, kegiatan pembelajaran berjalan dengan baik dan prestasi belajar meningkat yaitu pada siklus 1 68,75% dan siklus II 84,375%. Penelitian tersebut memiliki variabel yang sama dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti yaitu, pendekatan yang digunakan menggunakan metode kontekstual. Perbedaannya jika dalam penelitian tersebut menggunakan media kayu sedangkan dalam penelitian ini menggunakan bahan ajar modul.

2. Nurhayati, (2013). Pengembangan Bahan Ajar Turunan Fungsi Melalui Pendekatan Kontruktivisme di Sekolah Menengah Atas. Tujuan dari penelitian ini (1) menghasilkan bahan ajar turunan fungsi di sekolah SMA melalui pendekatan kontruktivisme yang valid dan praktis dan (2) mengetahui efek potensial bahan ajar yang dikembangkan terhadap aktivitas peserta didik kelas XI IPA di SMA Negeri 15 Palembang. Bahan ajar yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah bahan ajar LKS. Hasil penelitiannya dengan menggunakan bahan ajar yang dikembangkan memiliki efek potensial terhadap aktivitas siswa. Penelitian tersebut memiliki variabel yang sama dengan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti yaitu penggunaan bahan ajar pada mata pelajaran matematika hanya saja dalam penelitian tersebut bahan ajar diterapkan adalah bahan ajar LKS sedangkan dalam penelitian ini bahan ajar yang diterapkan adalah bahan ajar modul.

3. Siti Rohayah, Darmawijoyo & Nila Kesumawati, (2013). Pengembangan Bahan Ajar Operasi Bentuk Aljabar Kelas VII Sekolah Menengah Pertama dengan Pendekatan Guru Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Tujuan dari penelitian ini (1) menghasilkan produk bahan ajar operasi bentuk aljabar kelas VII SMP dengan pendekatan PMRI yang valid dan praktis (2) mengetahui efek potensial penggunaan bahan ajar operasi bentuk aljabar kelas VII SMP dengan PMRI terhadap hasil belajar siswa. Hasil

(24)

commit to user

penelitiannya dengan pemanfaatan bahan ajar siswa yang mencapai nilai (KKM) di SMP N 6 Sekayu 77%. Penelitian yang dilakukan tersebut memiliki variabel yang sama dengan penelitian ini yaitu, pengembangan bahan ajar matematika hanya saja jika dalam penelitian tersebut bahan ajar yang disusun berisi materi operasi bentuk aljabar sedangkan dalam penelitian ini bahan ajar yang disusun berisi materi bangun datar.

4. Nur Endah Nugraheni, Widha Sunarno, & Sarwanto, (2015). Pengembangan Modul IPA Terpadu Berbasis Inkuiri Terbimbing dengan Tema Barbeque Kelas VII SMP Negeri 1 Tawangmangu. Tujuan dari penelitian ini di antaranya yaitu untuk mengetahui keefektifan modul IPA terpadu berbasis inkuiri terbimbing dengan tema barbeque. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa modul IPA terpadu yang dikembangkan efektif dapat meningkatkan prestasi belajar IPA di SMP Negeri 1 Tawamangu dimana nilai ketuntasan siswa mencapai 81%. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu penggunaan modul dalam pembelajaran. Perbedaanya yaitu modul yang dikembangkan dalam penelitian ini yaitu modul IPA berbasis inkuiri termbimbing sedangkan penelitian yang akan dilakukan merupakan modul matematika berbasis CTL

5. Endang Purwanti, Sajidan., & Baskoro Adi Prayitno, (2015). Pengembangan dan Implementasi Modul Pembelajaran Berbasis Numbered Team In Guided Discovery (NTGD) pada Materi Struktur Tumbuhan dan Pemanfaatannya dalam Teknologi Di SMPN 4 Karanganyar. Tujuan dari penelitian ini diantaranya yaitu untuk mengetahui keefektifan modul IPA berbasis Numbered Team In Guided Discovery (NTGD) dalam meningkatkan prestasi belajar. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dengan modul IPA berbasis Numbered Team In Guided Discovery (NTGD) prestasi belajar siswa mencapai nilai ketuntasan 99,23 dengan nilai KKM 75. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu penggunaan modul dalam pembelajaran. Perbedaannya yaitu modul yang dikembangkan dalam penelitian ini yaitu modul IPA berbasis Numbered Team In Guided Discovery

(25)

commit to user

(NTGD) sedangkan dalam penelitian yang akan dilakukan merupakan modul matematika berbasis CTL

6. Dina Ramadhanti, Irfani Basri., & Abdurahman, (2015). Pengembangan Modul Pembelajaran Menulis Cerpen Berbasis Contextual Teaching and Learning (CTL) Siswa Kelas IX SMP Negeri 2 Lembah Gumanti Kabupaten Solok. Tujuan dari penelitian ini diantaranya yaitu untuk mengetahui mengetahui keefektifan modul berbasis CTL dalam meningkatkan prestasi belajar Bahasa Indonesia di SMP. Hasil penelitiannya menunjukkan nilai rata-rata prestasi belajar 75,91 dan presentase ketuntasan mencapai 80%.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu penggunanaan modul berbasis CTL. Perbedaanya yaitu modul yang dikembangkan dalam penelitian ini yaitu modul berbasis CTL pada mata pelajaran Bahasa Indonesia sedangkan dalam penelitian yang akan dilakukan yaitu penggunaan modul berbasis CTL pada mata pelajaran matematika.

7. Windarti, (2015). Pengembangan Modul Pembelajaran Logika yang Memuat Pendidikan Karakter untuk Siswa Kelas X SMK. Tujuan dari penelitian ini diantaranya yaitu untuk mengetahui (1) untuk mengetahui karakter kejujuran, (2) karakter mandiri, dan (3) karakter bertanggung jawab. Hasil penelitiannya menunjukkan belajar menggunakan modul modul diperoleh nilai karakter kejujuran sebesar 84,38 %, karakter mandiri sebesar 78,10%, dan karakter tanggung jawab sebesar 71,88% maka dapat disimpulkan bahwa modul pembelajaran yang dikembangkan efektif. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu penggunaan modul dalam pembelajaran matematika. Perbedaannya yaitu modul yang dikembangkan dalam penelitian ini yaitu modul yang memuat pendidikan karakter sedangkan modul yang akan dikembangkan dalam penelitian yang akan dilakukan yaitu modul matematika berbasis CTL.

8. B. Made Ayu Puspita Dewi., Desak Putu Parmiti., & Ketut Pudjawan, (2015) Pengaruh Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) Berbantuan Multimedia Interaktif untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Peserta didik pada Mata Pelajaran IPA kelas VIII Semester Genap di

(26)

commit to user

SMP Negeri 7 Singaraja. Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan kemampuan berpikir kreatif IPA peserta didik yang di ajarkan dengan model pembelajaran konvensional pada Kelas VIII SMP Negeri 7 Singaraja, (2) mendeskripsikan kemampuan berpikir kreatif IPA peserta didik yang dibelajarkan dengan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) berbantuan multimedia interaktif pada Kelas VIII SMP Negeri 7 Singaraja, (3) mengetahui perbedaan yang signifikan kemampuan berpikir kreatif IPA antara peserta didik yang dibelajarkan dengan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) berbantuan multimedia interaktif dengan peserta didik yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional pada Kelas VIII SMP Negeri 7 Singaraja. Hasil penelitan yang dilakukan yaitu terdapat perbedaan kemampuan berfikir kreatif yang signifikan antara model pembelajaran Contextual Teaching and Learning dengan model pembelajaran konvensional. Penelitian tersebut memiliki variabel yang sama dengan penelitian ini yaitu pembelajaran CTL.

Perbedaannya jika dalam penelitian tersebut pembelajaran CTL diterapkan pada mata pelajaran IPA sedangkan dalam penelitian ini pembelajaran CTL diterapkan pada mata pelajaran matematika.

9. Raden Heri Setiawan & Idris Harta (2014). Pengaruh Pendekatan Open- Ended dan Pendekatan Kontekstual terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah dan Sikap Siswa Terhadap Matematika. Tujuan dari penelitian ini di antaranya yaitu mendeskripsikan keefektifan pembelajaran dengan pendekatan open-ended dan kontekstual pada aspek kemampuan pemecahan masalah. Hasil penelitiannya yaitu terdapat perbedaan keefektifan secara signifikan pada penerapan pendekatan open-ended dan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran matematika materi pokok bangun ruang sisi datar pada aspek kemampuan pemecahan masalah matematis. Penelitian ini memiliki variabel yang sama dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu sama-sama menggunakan pembelajaran kontekstual dalam pelajaran matematika.

(27)

commit to user C. Kerangka Berfikir

Bahan ajar di sekolah MTs saat ini menggunakan bahan ajar LKS yang dibeli dari penerbit dan penyalur yang datang ke sekolah-sekolah. Penyajian materi pada bahan ajar cenderung abstrak dan teoritis yang hanya berisi informasi rumus-rumus kemudian dilanjutkan dengan latihan-latihan soal. Bahan ajar yang demikian ini, peserta didik dipaksa menerima rumus-rumus matematika tanpa diberitahu darimana asal mula rumus tersebut.

Tujuan mata pelajaran matematika diberikan di sekolah agar peserta didik memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah. Jelas sekali, bahwa peserta didik dalam belajar matematika diharapkan memahami konsep serta mengaplikasikan konsep tersebut.

Konsep yang dimaksud dalam mata pelajaran matematika salah satunya memahami rumus-rumus matematika bukan menghafal rumus.

Penyajian materi di dalam bahan ajar yang digunakan di sekolah saat ini cenderung mengenal rumus matematika bukan menemukan rumus matematika.

Maklum jika peserta didik sering lupa dengan rumus-rumus matematika pada saat mereka tes karena pembelajaran di sekolah masih cenderung hafalan dan mekanistik.

Untuk itu, perlu dicarikan alternatif yang dapat memecahkan masalah tersebut. Alternatif yang dianggap paling tepat untuk menjawab permasalahan di atas yaitu menyusun bahan ajar yang menarik dan kontekstual yang dapat menggugah peserta didik belajar matematika. Modul merupakan bahan ajar yang dianggap paling sesuai dengan kondisi peserta didik saat ini. Modul merupakan bahan ajar yang dapat menciptakan peserta didik belajar secara mandiri baik dengan kehadiran guru maupun tanpa kehadiran guru dalam pembelajaran.

Modul yang akan disusun tentu bukan sembarang modul melainkan modul yang dapat memotivasi peserta didik untuk belajar. Ciri-ciri modul yang dapat memotivasi peserta didik belajar diantaranya (1) penyajian materi harus relevan dengan kehidupan sehari-hari peserta didik, (2) guru harus merubah paradigma pembelajaran dari pembelajaran yang berpusat pada guru menjadi pembelajaran

(28)

commit to user

yang berpusat pada peserta didik, dan (3) bahan ajar yang akan disusun perlu dilingkapi gambar-gambar menarik yang dapat mengajak peserta didik menemukan konsep bukan menerima konsep.

Modul berbasis CTL merupakan modul yang tepat untuk meningkatkan motivasi peserta didik belajar matematika. Modul merupakan alat belajar mandiri sedangkan CTL merupakan strategi pembelajaran yang menekankan pembelajaran berpusat pada peserta didik. Dengan modul peserta didik dapat belajar mandiri sedangkan dengan pembelajaran CTL kualitas pembelajaran akan meningkat.

Apabila modul dengan CTL dikombinasikan menjadi modul berbasis CTL, kualitas pembelajaran akan meningkat, kualitas pembelajaran yang meningkat akan menyebabkan prestasi belajar meningkat.

Kerangka berfikir dalam penelitian ini secara skematis digambarkan pada Gambar 2.3 berikut ini.

D.

Gambar 2.3 Kerangka Berfikir Penelitian

KONDISI DILAPANGAN

Bahan ajar dari penerbit

Penyajian materi cenderung abstrak

Prestasi belajar rendah

STUDI LITERATUR

Guru harus menyusun bahan ajar sendiri

Modul kontekstual

Alternatif

1. Penyajian materi relevan dengan kehidupan sehari- hari peserta didik

2. Pembelajaran berpusat pada peserta didik

3. Dilengkapi dengan gambar yang membantu peserta didik menemukan konsep matematis

Peserta didik belajar mandiri

Prestasi belajar meningkat

(29)

commit to user E. D. Model Hipotetik

Gambar 2.4 Model Hipotetik

1. Mengumpulkan materi dan gambar yang sesuai 2. Menyusun tes

3. Menyusun draf modul (produk awal)

DESAIN

PENGEMBANGAN

Analisis RPP meliputi:

1. SK dan KD

2. Pengetahuan, sikap, dan keterampilan 3. Menentukan judul

modul

ANALISIS

BAB I PENDAHULUAN

BAB II DAN III MATERI PEMBELAJARAN A. Kompetensi dasar

B. Tujuan Pembelaran

C. Kegiatan Belajar 1,2,3,4, dst..

D. Uraian materi (dilengkapi tujuh komponen CTL yang utuh dan ditambah dua strategi kognitif) sebagai berikut

Tujuh komponen CTL:

1. Masyarakat belajar (learning community) 2. Konstruktivisme (constructivisme) 3. Bertanya (questioning)

4. Penyelidikan (Inquiry) 5. Refleksi (reflection) 6. Pemodelan (modeling)

7. Penilaian autentik (authentic assessment) Strategi koognitif

1. Mind mapping 2. Frame E. Latihan/Tugas BAB VI PENUTUP

A. Rangkuman B. Tes

Revisi

IMPLEMENTASI (Uji coba Lapangan) Validasi

ahli

Uji coba kelompok kecil

i

MODUL BERBASIS CTL EVALUASI

Revisi

Gambar

gambar bergerak secara sekuensial. Contohnya, video compact disk  dan film.
Gambar 2.2 Alur Validasi Modul   Draft ValidasiUji CobaModul PenyempurnaanPenyempurnaanValidator
Gambar 2.3 Kerangka Berfikir Penelitian
Gambar  2.4 Model Hipotetik

Referensi

Dokumen terkait

Perceived quality merupakan persepsi pelanggan terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan produk berkaitan dengan maksud yang diharapkan. Untuk mengukur

Maksimalnya haid 15 hari Dan jika lebih maka kembali Pada suci dan haid yang terakhir Samakan jamnya suci yang akhir Darah tak sampai dua puluh empat Jikalau bersih wajiblah

Modul merupakan bahan ajar yang disusun secara sistematis dengan bahasa yang mudah dipahami oleh siswa, Kegiatan belajar mengajar yang dilakukan sangat bermanfaat sekali

Meanwhile hubungan gua dengan elly semakin menjauh, kita semakin jarang telponan ataupun sms tetep ada tapi dah biasa banget ( GUA PENGEN BANGET TEREAK GUA SAYANG BANGET SAMA

Diagnosa keperawatan yang muncul pada saat intra operatif adalah resiko defisit volume cairan berhubungan dengan perdarahan tindakan operatif ditandai dengan pasien

Dari beberapa penjelasan para ahli di atas, yang paling mendukung dalam penelitian ini adalah penjelasan dari Wang dan Chen (2020) yang mendefinisikan bahwa

Robert Havighurt (dalam Desmita, 2009: 106) membedakan kemandirian atas tiga bentuk kemandirian yaitu : 1) kemandirian emosi, di mana seseorang memiliki kemampuan