1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penerimaan pajak merupakan sumber negara utama yang digunakan untuk pembiayaan pemerintah dan pembangunan. Terutama di Indonesia, pajak merupakan komponen penting dan memberikan kontribusi sebesar 80 persen dari seluruh penerimaan negara. Disamping itu selain pajak ada Dividen, utang domestik, utang luar negeri dan hasil ekspor. Pajak bersifat dinamik dan mengikuti perkembangan kehidupan sosial dan ekonomi negara serta masyarakat. Dalam hal ini berkaitan dengan semakin tingginya suatu pendapatan, semakin tinggi pula pajak yang haris dibayar.
Pada awal tahun 1984, sejak dimulainya tax reform sistem perpajakan di Indonesia berubah dari official assessment system menjadi self assessment system. Dalam official assessment system tanggung jawab
pemungutan terletak sepenuhnya pada penguasa pemerintah, sedangkan dalam self assessment system, Wajib Pajak diberi kepercayaan penuh untuk menghitung, memperhitungkan, membayar/menyetor dan melaporkan besarnya pajak yang terhutang sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
Nampak jelas disini bahwa dalam self assessment system Wajib Pajak
lebih dipandang sebagai subjek bukan sebagai objek pajak. Sebagai konsekuensi dari perubahan ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berkewajiban untuk melakukan pelayanan, pengawasan, pembinaan, dan penerapan sanksi pajak. Untuk mewujudkan self assessment system dituntut kepatuhan Wajib Pajak itu sendiri. Namun, dalam kenyataannya belum semua potensi pajak yang ada dapat digali. Sebab masih banyak Wajib Pajak yang belum memiliki kesadaran akan betapa pentingnya pemenuhan kewajiban perpajakan baik bagi negara maupun bagi mereka sendiri sebagai warga negara yang baik. Dalam kondisi tersebut keberadaan self assessment system memungkinkan Wajib Pajak untuk melakukan kecurangan pajak.
Kepatuhan wajib pajak dapat diidentifikasikan dari kepatuhan
wajib pajak dalam kebersediannya untuk mendaftarkan diri sebagai Wajib
Pajak,kepatuhan untuk menyetorkan kembali Surat Pemberitahuan (SPT)
sebelum jatuh tempo pelaporan, kepatuhan dalam perhitungan dan
pembayaran pajak terhutang, dan kepatuhan dalam pembayaran kewajiban
apabila memiliki tunggakan. Isu kepatuhan menjadi penting karena
ketidakpatuhan secara bersamaan menimbulkan upaya menghindarkan
pajak, baik dengan fraud dan ilegal yang disebut tax evasion, maupun
penghindaran pajak tidak dengan fraud dan dilakukan secara legal yang
disebut tax avoidance. Pada akhirnya tax evasion dan tax avoidance
mempunyai akibat yang sama, yaitu berkurangnya penyetoran pajak ke kas
negara. Terkait dengan kondisi tersebut kondisi ekonomi yang membaik
ataupun memburuk akan mempengaruhi pembayar pajak dalam mempertanggng jawabkan jumlah pajak yang harus dibayar. Pada hakekatnya kepatuhan wajib pajak dipengaruhi oleh kondisi sistem administrasi yang meliputi palayanan pajak dan pelaksanaan pajak.
Perbaikan administrasi perpajakan sendiri diharapkan dapat mendorong kepatuhan Wajib Pajak sehingga penerimaan pajak dapat dioptimalkan.
Dalam rangka meningkatkan kepatuhan perpajakan, upaya penagihan dilakukan dengan memperhatikan optimalisasi jumlah wajib pajak yang ditagih. Optimalisasi tersebut dimaksudkan agar dapat menghasilkan penerimaan pajak dan juga mempertimbangkan segi keadilan dalam memperlakukan wajib pajak. Oleh sebab itu, Kegiatan penagihan pajak terhadap wajib pajak yang masih mempunyai tunggakan pajak merupakan salah satu yang penting dalam rangka pengamanan penerimaan pajak juga penegakan dan serta pemberdayaan Undang – Undang Perpajakan (Law Enforcement)
Dalam penelitian Rozie (2005) menyimpulkan bahwa dengan
pemeriksaan pajak akan mendorong timbulnya kepatuhan Wajib Pajak,
sehingga akan berdampak pada peningkatan penerimaan pajak pada
Kantor Pelayanan Pajak yang pada akhirnya pajak yang dibayarkan Wajib
Pajak akan masuk dalam kas negara. Bagi Kantor Pelayanan Pajak,
penerimaan pajak apapun jenisnya baik itu Pajak Penghasilan, Pajak
Pertambahan Nilai,dan jenis pajak lainnya yang diterima sangat tergantung
pada tingkat kepatuhan Wajib Pajak baik dalam melaporkan dan melunasi
pajaknya. Dengan demikian, pemeriksaan pajak merupakan pagar penjaga agar Wajib Pajak tetap mematuhi kewajibannya. Dari sekian banyak jenis pajak yang ada, Pajak Penghasilan (PPh) merupakan harapan pemerintah untuk setiap tahunnya bertambah besar, baik dari jumlah penerimaan maupun dari segi Wajib Pajak yang membayarnya.
Tabel 1.1
Realisasi Penerimaan Negara (milyaran rupiah) tahun 2007-2013
Sumber Penerimaan 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Penerimaan Perpajakan
490,988 658,701 619,922 723,307 873,874 1,016,237 1,192,994 Pajak Dalam Negeri 470,052 622,359 601,252 694,392 819,752 968,293 1,134,289 Pajak penghasilan 238,431 327,498 317,615 357,045 431,122 513,650 584,890 Pajak Pertambahan
Nilai
154,527 209,647 193,067 230,605 277,800 336,057 423,708 Pajak Bumi dan
Bangunan
23,724 25,354 24,270 28,581 29,893 29,687 27,344 Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangunan
5,953 5,573 6,465 8,026 (1) - -
Cukai 44,679 51,252 56,719 66,166 77,010 83,267 92,004
Pajak Lainnya 2,738 3,035 3,116 3,969 3,928 5,632 6,343
Pajak Perdagangan Internasional
20,936 36,342 18,670 28,915 54,122 47,944 58,705
Bea Masuk 16,699 22,764 18,105 20,017 25,266 24,738 27,003
Pajak Ekspor 4,237 13,578 565 8,898 28,856 23,206 31,702
Penerimaan Bukan Pajak
215,120 320,604 227,174 268,942 331,472 341,143 332,196 Penerimaan Sumber
Daya Alam
132,893 224,463 138,959 168,825 213,823 217,159 197,205 Bagian Laba BUMN 23,223 29,088 26,050 30,097 28,184 30,777 33,500 Penerimaan Bukan
Pajak Lainnya
56,873 63,319 53,796 59,429 69,361 72,799 77,992 Pendapatan Badan
Layanan Umum
2,131 3,734 8,369 10,591 20,104 20,408 23,499
Jumlah 706,108 979,305 847,096 992,249 1,205,346 1,357,380 1,525,190 Catatan : Perbedaan satu digit dibelakang terhadap angka penjumlahan karena pembulatan
1) LKPP 2) APBN-P 3) APBN
Sumber : Departemen Keuangan oleh Badan Pusat Statistik Republik Indonesia