9 2.1 Keuangan Daerah
2.1.1 Defisini Keuangan Daerah
Kriteria penting yang lain untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya adalah kemampuan daerah dalam bidang keuangan. Dengan kata lain, faktor keuangan merupakan faktor yang penting dalam mengatur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonomi daerah.
Dalam Peraturan Pemerintahan No. 105 tahun 2000, menyebutkan bahwa keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan lain yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut dalam rangka APBD.
Sehubungan dengan pentingnya posisi keuangan tersebut, keuangan daerah sebagai salah satu indikator untuk mengetahui kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Dengan dikeluarkannya undang-undang tentang Otonomi Daerah, membawa konsekuensi bagi daerah yang akan menimbulkan perbedaan antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya, terutama dalam hal kemampuan keuangan daerah, antara lain Nataluddin (2001:167) :
Daerah yang mampu melaksanakan otonomi daerah.
Daerah yang mendekati mampu melaksanakan otonomi daerah.
Daerah yang sedikit mampu melaksanakan otonomi daerah.
Daerah yang kurang mampu melaksanakan urusan otonomi daerah.
2.1.2 Pengelolaan Penerimaan Daerah
Menurut UU No. 32 tahun 2004 pasal 157 dan UU No. 33 tahun 2004 pasal 6, serta PP No. 105 tahun 2000, sumber-sumber penerimaan dapat diperinci sebagai berikut :
1. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Sumber-sumber Pendatan Asli daerah merupakan sumber keuangan yang digali dari dalam wilayah yang bersangkutan. Sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah terdiri dari :
a. Pajak Daerah
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 65 tahun 2001 tentang pajak daerah, yang dimaksud dengan pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepala daeran tanpa imbalan langsung yang seimbang yang dapat dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah. Jenis-jenis pajak daerah :
1) Pajak Hotel 2) Pajak Restoran 3) Pajak Hiburan 4) Pajak Reklame
5) Pajak Penerangan Jalan
6) Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian C 7) Pajak Parkir
b. Retribusi Daerah.
c. Hasil Perusahaan Milik Daerah.
d. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah.
2.2 Pajak Daerah
2.2.1 Definisi Pajak Daerah
Banyak definisi atau batasan pajak yang telah dikemukakan oleh para pakar, yang satu sama lain pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu merumuskan pengertian pajak sehingga mudah dipahami. Perbedaannya hanya terletak pada sudut pandang yang digunakan oleh masing-masing pihak pada saat merumuskan pengertian pajak. Menurut P. J. A. Andriani dalam bukunya Waluyo (2011 : 2) :
“Pajak adalah iuran masyarakat kepada Negara (yang dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan- peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaranpengeluaran umum berhubung tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.”
Sedangkan menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH dalam bukunya Mardiasmo (2011 : 1) :
“Pajak ialah iuran rakyat kepada kas Negara (peralihan kekayaan dari sektor partikulir ke sector pemerintah berdasarkan undang- undang (dapat dipaksaka) dengan tiada mendapat jasa timbal (tegen prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membiyai pengeluaran umum.”
Secara umum pajak adalah pungutan dari masyarakat oleh negara (pemerintah) berdasarkan undang-undang yang bersifat dapat dipaksakan oleh yang wajib membayarnya dengan tidak mendapat prestasi kembali secara langsung, yang hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran negara dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.
Ditinjau dari lembaga pemungutnya pajak dibedakan menjadi dua, yaitu pajak pusat dan pajak daerah. Pajak pusat adalah pajak yang ditetapkan oleh pemerintah pusat melalui undang-undang, yang wewenang pemungutannya ada pada pemerintahan pusat dan hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran pemeritahan pusat dan bangunan. Sedangkan pengertian pajak daerah menurut Siahaan (2013:9) :
“Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh daerah kepada orang pribadi atau badan tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah.”
2.2.2 Jenis-Jenis Pajak Daerah
Pajak daerah dibagi menjadi dua bagian Siahaan (2013:84), yaitu : 1. Pajak Provinsi, terdiri dari :
Pajak Kendaraan Bermotor dan;
Bea balik Nama kendaraan Bermotor;
Pajak Bahan Bakar Kendaraan bermotor;
Pajak Air Permukaan;
Pajak Rokok.
2. Pajak Kabupaten/Kota, Terdiri dari :
Pajak Hotel;
Pajak Restoran;
Pajak Hiburan;
PajakReklame;
Pajak Penerangan Jalan;
Pajak Mineral Bukan Logam dan batuan;
Pajak Parkir;
Pajak Air Tanah;
Pajak Sarang Burung Walet;
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan perkotaan;
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
2.2.3 Fungsi Pajak
Sebagaimana telah diketahui ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak dari berbagai definisi, menurut llyas dan Burton (2008;12), ada empat fungsi pajak yaitu:
1) Fungsi anggaran atau penerimaan (budgetair), disebut juga fungsi fiscal, yaitu fungsi untuk mengumpulkan uang pajak sebanyak-banyaknya sesuai undang-undang yang berlaku, yang pada waktunya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran Negara.
2) Fungsi mengatur (regulerend), merupakan fungsi dimana pajak-pajak akan digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu yang letaknya diluar bidang keuangan. Pajak digunakan sebagai alat kebijaksanaan.
3) Fungsi demokrasi, yaitu fungsi yang merupakan salah satu penjelmaan atau wujud system gotong royong termasuk kegiatan pemerintahan dan pembangunan demi kesejahteraan masyarakat. Fungsi ini sering dikaitkan dengan hak seseorang untuk mendapatkan pelayanan dari pemerintah apabila ia telah melakukan kewajiban pembayaran pajak, bila pemerintah
tidak memberikan pelayanan yang baik, pembayaran pajak bisa protes (complaint).
4) Fungsi distribusi pendapatan, yaitu penerimaan negara dari pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran umum dan pembangunan nasional sehingga dapat membuka kesempatan kerja dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat.
2.2.4 Subjek Pajak dan Wajib Pajak
Mengacu pada Siahaan (2013:79), dalam pemungutan pajak daerah, terdapat dua istilah yang kadang disamakan walaupun sebenarnya memiliki pengertian yang berbeda, yaitu subjek pajak dan wajib pajak. Dalam beberapa jenis pajak, seperti pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas air, subjek pajak identik dengan wajib pajak, yaitu setiap orang atau badan yang memenuhi ketentuan sebagai subjek pajak diwajibkan untuk membayar pajak sehingga secara otomatis menjadi wajib pajak.
Seperti telah dikemukakan pada terminologi dalam pajak daerah, subjek pajak adalah orang rpibadi atau badan yang dapat dikenakan pajak daerah yang memenuhi syarat objektif yang ditentukan dalam suatu peraturan daerah tentang pajak daerah yang akan menjadi subjek pajak. Sementara itu, wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan perpajakan daerah diwajibkan untuk melakukan pembayaran pajak yang terutang, termasuk pemungut oleh pemotong pajak tertentu Siahaan (2013:79).
2.2.5 Objek Pajak Daerah
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 65 tahun 2001 tentang pajak daerah yang merupakan pengganti dari Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 1997 tentang pajak daerah, hal ini merupakan penentu objek pajak secara umum, mengingat pemberlakuan suatu jenis pajak daerah pada suatu provinsi atau kabupaten/kota ditetapkan dengan peraturan daerah, untuk mengetahui apa yang menjadi objek pajak harus dilihat apa yang ditetapkan peraturan daerah dimaksud sebagai objek pajak.
Dalam Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 dengan tegas dinyatakan apa yang menjadi objek pajak suatu jenis pajak daerah. Hal ini memberikan
kepastian guna penetapan peraturan daerah yang menjadi dasar hukum pemungutan suatu jenis pajak yang akan menjadi objek pajak, dalam Undang- undang Nomor 28 tahun 2009 juga dengan tegas disebutkan apa yang dikecualikan dari objek pajak.
2.2.6 Tarif Pajak Daerah
Salah satu unsur penghitungan pajak yang akan menentukan besarnya pajak terutang yang harus dibayar oleh wajib pajak adalah tarif pajak sehingga penentuan besarnya tarif pajaksehingga penentuan besarnya tarif pajak yang diberlakukan pada setiap jenis pajak daerah memegang peranan penting. Tarif pajak daerah yang dapat dipungut oleh pemerintah daerah diatur dalam Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 yang ditetapkan dengan pembatasan tarif paling tinggi, yang berbeda untuk setiap jenis pajak daerah Siahaan (2013:85), yaitu :
1. Tarif Pajak Hotel ditetapkan paling tinggi 10%;
2. Tarif Pajak Restoran ditetapkan paling tinggi 10%;
3. Tarif Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi 35%;
4. Tarif Pajak Reklame ditetapkan paling tinggi 25%;
5. Tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan paling tinggi 10%;
6. Tarif Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C ditetapkan paling tinggi 20%;
7. Tarif Pajak Parkir ditetapkan paling tinggi 20%.
2.2.7 Pemungutan Pajak
2.2.7.1 Sistem Pemungutan Pajak Daerah
Penetapan sistem self assessment juga dianut dalam Undang- undang Nomor 18 tahun 1997 dan Undang-undang Nomor 34 tahun 2000 karena karakteristik setiap jenis pajak daerah tidak sama, sistem ini tidak dapat diberlakukan untuk semua jenis pajak daerah. Pemungutan pajak daerah saat ini menggunakan tiga sistem pemungutan pajak, sebagaimana tertera di bawah ini :
a. Dibayar Sendiri oleh Wajib Pajak
Sistem ini merupakan perwujudan dari sistem self assessment, yaitu
sistem pengenaan pajak yang memberi kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitunga, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang dengan menggunakan SPTPD.
b. Ditetapkan oleh Kepala Daerah
Sistem ini merupakan perwujudan dari sistem official assessment, yaitu sistem pengenaan pajak yang dibayar ole wajib pajak setelah terlebih dahulu ditetapkan oleh kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk melalui Surat Ketetapan Pajak Daerah atau dokumen lain yang dipersamakan.
c. Dipungut oleh Pemungut Pajak
Sistem ini merupakan perwujudan dari sistem with holding, yaitu sistem pengenaan pajak yang dipungut oleh pemungut pajak pada sumbernya, antara lain Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang telah ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintahan Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah, sebagai pemungut Pajak Penerangan Jalan atas penggunaan tenaga listrik yang disediakan oleh PLN.
Secara umum, sistem yang digunakan dalam pemungutan pajak daerah adalah sistem self assessment dan official assessmen. Hal ini dapat dilihat pada ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 Pasal 7 yang menentukan bahwa pajak dipungut berdasarkan penetapan kepala daerah atau dibayar sendiri oleh wajib pajak.
Dalam melaksanakan sistem pemungutan pajak mana yang akan ditetapkan pada suatu jenis pajak daerah, kepala daerah (gubernur atau bupati/walikota) menetapkan jenis pajak yang dibayar sendiri oleh wajib pajak, ditetapkan oleh kepala daerah, atau dipungut oleh pemungut pajak.
Hal ini dimaksudkan untuk memberi kepastian dalam pemungutan suatu jenis pajak di setiap daerah yang memberlakukannya.
2.3 Kesadaran Wajib Pajak
Menurut Soemarso (1998) dalam Jatmiko (2006) menyatakan bahwa kesadaran untuk membayar pajak tidak tumbuh di masyarakat disebabkan adanya perbedaan kepentingan antara wajib pajak dengan pemerintah dalam pelaksanaan perpajakan. Sampa sekarang masih banyak masyarakat yang beranggapan bahwa pajak merupakan pungutan bersifat paksaan yang merupakan hak istimewa pemerintah dengan tidak memberikan kontraprestasi langsung kepada pembayar pajak.
Menurut Ritongga (2011) kesadaran adalah perilaku atau sikap terhadap suatu objek yang melibatkan anggapan dan perasaan serta kecenderungan untuk bertindak sesuai objek tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kesadaran wajib pajak dalam membayar pajak merupakan perilaku wajib pajak berupa pandangan atau perasaan yang melibatkan pengetahuan, keyakinan, dan penalaran disertai kecenderungan untuk bertindak sesuai peraturan yang diberikan oleh sistem dan ketentuan pajak tersebut.
Wajib pajak dikatakan memiliki kesadaran Manik Asri (2009) apabila sesuai dengan hal-hal berikut :
a. Mengetahui adanya Undang-undang dan ketentuan perpajakan;
b. Mengetahui fungsi pajak untuk pembiayaan negara;
c. Memahami bahwa kewajiban perpajakan harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
d. Menghitung, membayar, melaporkan pajak dengan suka rela;
e. Menghitung, membayar, melaporkan pajak dengan benar.
2.3.1 Indikator Kesadaran Wajib Pajak
Menurut Irianto (2005:36) menguraikan beberapa bentuk kesadaran dalam membayar pajak yang mendorong wajib pajak untuk membayar pajak, diantaranya :
a. Kesadaran bahwa pajak merupakan bentuk partisipasi dalam menunjang pembangunan negara.
Dengan menyadari hal ini, wajib pajak mau membayar pajak karena
merasa tidak dirugikan dari pemungutan pajak yang dilakukan. Pajak disadari digunakan untuk membangun negara guna meningkatkan kesejahteraan warga negara.
b. Kesadaran bahwa penundaan pembayaran pajak dan pengurangan beban pajak sangat merugikan negara.
Wajib pajak mau membayar pajak karena memahami bahwa penundaan pembayaran pajak dan pengurangan beban pajak berdampak pada kurangnya sumber daya finansial yang dapat mengakibatkan terhambatnya pembangunan negara.
c. Kesadaran bahwa wajib pajak ditetapkan dengan undang-undang dan dapat dipaksakan.
Wajib pajak akan membayar karena pembayaran pajak disadari memiliki landasan hukum yang kuat dan merupakan kewajiban mutlak setiap warga negara.
2.3.2 Dimensi Kesadaran Wajib Pajak
Dimensi kesadaran wajib pajak menurut Suryadi (2006) dibentuk oleh dimensi persepsi wajib pajak, pengetahuan wajib pajak, karakteristik wajib pajak dan penyuluhan perpajakan. Kesadaran wajib pajak akan meningkat bilamana dalam masyarakat muncul persepsi positif terhadap pajak. Dengan meningkatnya pengetahuan perpajakan masyarakat melalui pendidikan perpajakan baik formal maupun non formal akan berdampak positif terhadap kesadaran wajib pajak.
Karakteristik wajib pajak yang dicerminkan oleh kondisi budaya , sosial, dan ekonomi akan dominan membentuk perilaku wajib pajak yang tergambar dalam tingkat kesadaran mereka dalam membayar pajak.
Dengan penyuluhan perpajakan yang dilakukan secara intensif dan kontinyu akan dapat meningkatkan pemahaman wajib pajak tentang kewajiban membayar pajak sebagai wujud kegotongroyongan nasional dalam menghimpun dana untuk kepentingan pembiayaan pemerintahan dan pembangunan nasional.
2.4 Sanksi Perpajakan
Sanksi pajak berdasarkan pasal 7 UU KUP No.28 Tahun 2007 dikenakan apabila wajib pajak tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) tepat waktu sesuai dengan jangka waktu pemyampaian SPT atau batas waktu perpanjangan surat pemberitahuan dimana jangka waktu tersebut adalah sesuai dengan pasal 3 ayat 3 dan pasal 3 ayat 4 Undang – Undang Ketentuan Umum Perpajakan No. 28 tahun 2007 masing – masing yang berbunyi :
1. Untuk surat pemberitahuan Masa , paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa pajak.
2. Untuk Surat Pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan wajib pajak orang pribadi, paling lama 3 bulan setelahakhir tahun pajak.
3. Untuk surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan Wajib pajak Badan, paling lama 4 bulan setelah akhir tahun pajak.
Sanksi perpajakan merupakan jaminan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (norma perpajakan) akan dituruti/ditaati/dipatuhi, dengan kata lain sanksi perpajakan merupakan alat pencegah agar wajib pajak tidak melanggar norma perpajakan Mardiasmo (2011).
2.4.1 Jenis – jenis Sanksi Perpajakan
Ada dua macam sanksi perpajakan Sari (2013:270) : 2.4.1.1 Sanksi Administrasi yang terdiri dari :
a. Sanksi Administrasi berupa denda
Sanksi denda adalah jenis sanksi yang paling banyak ditemukan dalam UU Perpajakan. Terkait besarannya denda dapat ditetapkan sebesar jumlah tertentu, persentase dari jumlah tertentu, atau suatu angka perkalian dari jumlah tertentu.
b. Sanksi Administrasi berupa bunga
Sanksi administrasi berupa bunga dikenakan atas pelanggaran
yang menyebabkan utang pajak menjadi lebih besar. Jumlah bunga dihitunga berdasarkan persenase tertentu dari suatu jumlah, mulai dari saat bunga itu menjadi hak/kewajiban ssampai dengan saat diterima dibayarkan.
c. Sanksi Dministrasi berupa kenaikan
Jika melihat bentuknya, bisa jadi sanksi administrasi berupa kenaikan adalah sanksi yang paling ditakuti oleh wajib pajak. Hal ini karena bila dikenakan sanksi tersebut, jumlah pajak yang harus dibayar bisa menjadi berlipat ganda. Sanksi berupa kenaikan pada dasarnya dihitung dengan angka persentase tertentu dari jumlah pajak yang tidak kurang bayar.
2.4.1.2 Sanksi Pidana
UU KUP menyatakan bahwa pada dasarnya, pengenaan sanksi pidana merupakan upaya terakhir untuk meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak. Hukum pidana diterapkan karena adanya tindak pelanggaran dan tindak kejahatan. Sehubungan dengan itu, di bidang perpajakan, tindak pelanggaran disebut dengan kealpaan, yaitu tidak sengaja, lalai, tidak hati- hati, atau kurang mengindahkan kewajiban pajak sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Sedangkan tindak kejahatan adalah tindakan dengan sengaja tidak mengindahkan kewajiban pajak sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Dalam UU Perpajakan Indonesia, ketentuan mengenai sanksi pidana pada intinya diatur dalam Bab VIII UU KUP sebagai hukum pajak format. Namun, dalam UU Perpajakan lainnya, dapat juga diatur sanksi pidana. Sanksi pidana biasanya disertai dengan sanksi administrasi berupa denda, walaupun tidak selalu ada.
a. Pidana Kurungan
Pidana kurungan hanya diancamkan kepada tindak pidana yang bersifat pelanggaran. Dapat ditujukan kepada wajib pajak dan pihak ketiga. Karena pidana kurungan yang diancam kepada si pelanggar norma itu ketentuannya sama dengan yang diancam dengan denda
pidana, maka masalahnya hanya ketentuan mengenai denda pidana sekian itu diganti dengan pidana kurungan selama-lamanya sekian.
b. Pidana Penjara
Pidana penjara sama seperti halnya pidana kurungan, merupakan hukuman perampasan kemerdekaan. Pidana penjara diancamkan terhadap kejahatan. Ancaman pidana penjara tidak ada yang ditujukan kepada pihak ketiga, adanya kepada pejabat atau kepada wajib pajak.
2.4.2 Indikator Sanksi Pajak
Wajib pajak akan memenuhi kewajiban perpajakannya bila memandang bahwa sanksi perpajakan akan lebih banyak merugikannya Nugroho (2006).
Pandangan tentang sanksi perpajakan dapat diukur dengan indikator Yadnyanya (2009) dalam Muliari dan setiawan (2010), sebagai berikut :
1. Sanksi pidana yang dikenakan bagi pelanggar aturan cukup banyak.
2. Sanksi administrasi yang dikenakan bagi pelanggar aturan pajak sangat ringan.
3. Pengenaan sanksi yang cukup berat merupakan salah satu sarana untuk mendidik wajib pajak.
4. Sanksi pajak harus dikenakan kepada pelanggarnya tanpa toleransi.
5. Pengenaan sanksi atas pelanggaran pajak dapat dinegosiasikan.
Menurut Zain (2008:78) persepsi wajib pajak atas sanksi perpajakan terebut dapat diukur dengan :
1. Sanksi perpajakan yang dikenakan bagi pelanggar aturan pajak cukup berat.
2. Pengenaan sanksi yang cukup berat merupakan salah satu sarana untuk mendidik wajib pajak.
3. Sanksi pajak harus dikenakan kepada pelanggarnya tanpa toleransi.
2.5 Kepatuhan Wajib Pajak
Menurut Keputusan Menteri Keuangan No. 544/KMK.04/2000 dalam Sony Devano dan Siti Kurnia Rahayu (2010:112), menyatakan bahwa:
“Kepatuhan perpajakan adalah tindakan Wajib Pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksanaan perpajakan yang berlaku dalam suatu negara”.
Kesadaran untuk menjadi wajib pajak yang patuh merupakan salah satu kepatuhan terhadap hukum. Kepatuhan terhadap pembayaran pajak termasuk tertib terhadap hukum perpajakan dimana disebutkan hukum perpajakan tidak pandang bulu dan tidak luput dari perkecualian baik dimana saja serta siapa saja semua sama berdasarkan ketentuan hukum perpajakan yang berlaku untuk menghindari sanksi administrasi yang akan merugikan wajib pajak sendiri.
Pengukuran efisiensi dan efektifitas administrasi perpajakan yang lebih akurat adalah berapa besarnya jurang kepatuhan (tax gap), yaitu selisih antara penerimaan yang sesungguhnya dengan pajak potensial dengan tingkat kepatuhan dari masing-masing sektor perpajakan.
Kondisi perpajakan yang menuntut keikutsertaan aktif wajib pajak dalam menyelenggarakan perpajakannya membutuhkan kepatuhan wajib pajak yang tinggi. Yaitu kepatuhan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan yang sesuai dengan kebenarannya.
Safri Nurmantu (2007:148), mendefinisikan kepatuhan perpajakan adalah:
“Suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya.”
Ismawan (2001:82) mengemukakan prinsip administrasi pajak yang diterima secara luas menyatakan bahwa tujuan yang ingin dicapai adalah kepatuhan sukarela. Kepatuhan sukarela merupakan tulang punggung sistem self assessment di mana wajib pajak bertanggung jawab menetapkan sendiri kewajiban pajaknya dan kemudian secara akurat dan tepat waktu membayar dan melaporkan pajak tersebut.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.03/2007, wajib pajak dimasukkan dalam kategori wajib pajak patuh apabila memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. Tepat waktu dalam menyampaikan surat pemberitahuan untuk semua jenis pajak dalam dua tahun terakhir.
b. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak.
c. Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dalam jangka waktu sepuluh tahun terakhir.
d. Dalam dua tahun pajak terakhir menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam UU No. 28 tahun 2007 KUP pasal 28, dan dalam hal terhadap wajib pajak pernah dilakukan pemeriksaan, koreksi pada pemeriksaan yang terakhir untuk tiap-tiap jenis pajak yang terutang paling banyak 5%.
e. Wajib pajak yang laporan keuangannya untuk dua tahun terakhir diaudit oleh akuntan publik dengan pendapat wajar tanpa pengecualian atau pendapat dengan pengecualian sepanjang tidak mempengaruhi laba rugi fiskal. Laporan auditnya harus disusun dalam bentuk panjang (long form report) yang menyajikan rekonsiliasi laba rugi komersial dan fiskal.
Dalam hal wajib pajak yang laporan keuangannya tidak diaudit oleh akuntan publik dipersyaratkan untuk memenuhi ketentuan pada huruf a, b, c, dan d di atas.
2.5.1 Dimensi Kepatuhan Wajib Pajak
Kepatuhan adalah suatu pemenuhan kewajiban perpajakan, yang harus dilakukan Wajib Pajak melalui tingkat pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT), laporan penyelesaian tunggakan pajak dan laporan perkembangan pembayaran atau penyetoran pajak terutang. Laporan pemenuhan kewajiban perpajakan oleh Wajib Pajak dapat diketahui atas hasilaudit kepatuhan yang diperoleh dari dokumen Wajib Pajak di DPPK Kab. Bandung. Dimensi- dimensi Kepatuhan Wajib Pajak (Y), sebagai berikut :
1. Aspek Yuridis. Pemenuhan kepatuhan Wajib Pajak dilihat dari ketaatan terhadap prosedur administrasi perpajakan yang ada. Aspek ini meliputi laporan perkembangan penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT), laporan perkembangan penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) secara presentase yang diisi secara benar dan tidak benar, serta laporan perkembangan penyampaian angsuran berdasarkan perkembangan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa.
2. Aspek Psikologis. Kepatuhan Wajib Pajak dilihat dari persepsi Wajib Pajak terhadap penyuluhan pelayanan dan pemeriksaan pajak.
3. Aspek Sosiologis. Kepatuhan Wajib Pajak dilihat dari aspek sosial sistem perpajakan, antara lain kebijakan publik, kebijakan fiskal, kebijakan perpajakan, dan administrasi perpajakan.
2.5.2 Tingkat Kepatuhan Pajak
Berdasarkan OECD (Organization for Economic Cooperation and Development )(2004) dalam Harahap (2006) dapat diketahui bahwa perilaku-perilaku kepatuhan wajib pajak adalah bervariasi. Seiap tingkat kepatuhan dapat direspon dengan strategi kepatuhan (complience strategy) yang berbeda. Pilihan strategi kepatuhan yang dilaksanakan adalah merupakan produk dari kebijakan, masyarakat wajib pajak dibagi menjadi lima tingkatan kepatuhan :
1. Pada tingkatan paling baik atau ideal dimana wajib pajak sudah memiliki tingkat kesadaran yang sangat tinggi dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan baik (willing to do the right things), maka sebagai strategi kepatuhan terhadap mereka adalah upaya fiskus untuk terus-menerus memberikan kemudahan dalam pelayanan yang terbaik.
2. Pada tingkat kepatuhan selanjutnya adalah masyarakat wajib pajak yang selalu mencoba-coba untuk memanfaatkan peluang menghindar pajak walau tidak selalu berhasil (try to but do not always succed).
Kepatuhan wajib pajak untuk menghindar pajak dapat berakibat melanggar aturan pajak. Peraturan perpajakan berupa undang-undang
pajak beserta aturan pelaksanaannya dimaksudkan untuk tidak memberikan peluang untuk dpat ditafsirkan oleh siapa saja, melainkan suatu ketentuan yang pasti yang bagi yang melannggarkarnya akan terena sanksi sesuai ketentuan.
3. Tingkatan kepatuhan pajak selanjutnya adalah dimana wajib pajak tidak patuh yaitu tidak bersedia memenuhi aturan perpajakan yang berlaku (don’t want to comply). Wajib pajak selalu dengan aktif menghindar memenuhi kewajibannya dengan alasan yang berbeda- beda. Masalah perbedaan perlakuan pajak akibat masih dirasakannya ketidakadilan aturan, prosedur administrasi pelaporan pajak yang dirasakan masih rumit mendorong wajib pajak tidak bersedia melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan benar.
4. Tingkat kepatuhan pajak yang terakhir adalah sudah pada tingkat yang sama sekali tidak bersedia memenuhi kepatuhan pajak atau tidak mau membayar pajak yang menjadi kewajibannya (have decided not to comply). Segala upaya dilakukan wajib pajak untuk menghindar pajak, bahkan menyelundupkan atau menggelapkan pajak, yaitu dengan sengaja melanggar perpajakan.
2.5.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Pajak
Menurut pada berbagai hasil studi yang mencoba mengidentifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi tax compliance, OECD (organization for Economic Cooperation and Development, 2004) dalam Harahap (2006) mengemukakan analisi tentang perilaku kepatuhan dari para tax payer . hasil penelitian yang ada secara umum diarahkan pada dua pendekatan dari kepatuhan, yaitu: (1) perspektif ekonomi dan (2) perilaku yang menitik beratkan pada riset dari disiplin psikologi dan sosiologi. Faktor-faktor termasuk dalam faktor ekonomi adalah :
1. Beban keuangan, ada hubungan antara jumlah pajak yang terutang dengan perilaku kepatuhan (financial burden, there appears to be a relationship between the amount of tax owed and complience behavior)
2. Biaya kepatuhan, ada biaya yang harus dikeluarkan untuk memenuhi kewajiban pajak diatas biaya seharusnya (the cost of complience, tax payer appear to face a number of common cost of having to comply with their tax obligation over and above the actual amount)
3. Hambatan, wajib pajak yang patuh menghendaki adanya denda terhadap wajib pajak yang tidak patuh (disincentive, studies has shown that those who are compliant want those who are non- compliant to be punished)
4. Pendorong, memberikan wajib pajak insentif akan berdampak positif terhdap kepatuhan pajak (incentives, giving tax payer incentives may have a positive effect on compliance behavior) Lebih jauh, OECD (2004) dalam Harahap (2006) juga mengemukakan faktor-faktor perilaku, seperti :
1) Perbedaan individu;
faktor-faktor individu memperngaruhi perilaku termasuk; jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, moral, industry, kepribadian, lingkungan dan beban resiko.
2) Perasaan ketidak adilan;
wajib pajak merasakan sistem yang tidak jujur atau berpengalaman dilakukan tidak jujur cenderung kurang patuh
3) Persepsi risiko rendah;
jika wajib pajak punya kesempatan untuk tidak patuh, maka ia akan ambil risiko untuk tidak patuh
4) Pengambilan risiko;
sementara masyarakat ada yang berpandangan bahwa menghindar pajak adalah permainan untuk dilaksanakan dan berhasil.
2.5.4 Indikator Kepatuhan Pajak
Dalam praktik pelaksanaannya yang berlangsung saat ini pada Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan Undang Undang Nomor 28 tahun 2007 tantang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, indikator kepatuhan wajib pajak antara lain dapat dilihat dari :
1) Aspek ketepatan waktu, sebagai indikator kepatuhan adalah persentase pelaporan SPT yang disampaiakan tepat waktu sesuai ketentuan yang berlaku
2) Aspek income atau penghasilan WP, sebagai indikator kepatuhan adalah kesediaan membayar kewajiban angsuran Pajak Penghasilan (PPh) sesuai ketentuan yang berlaku
3) Aspek law enforcement (pengenaan sanksi), sebagai indikator kepatuhan ialah pembayaran tunggakan pajak yang diterapkan berdasarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) sebelum jatuh tempo.
4) Dalam perkembangannya indikator kepatuhan ini dapat juga dilihat dari aspek lainnya, misalnya aspek pembayaran dan aspek kewajiban pembukuan.
2.6 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu dilakukan oleh Muliari dan Setiawan (2010). Mereka melakukan penelitian mengenai pengaruh persepsi tentang sanksi perpajakan dan kesadaran wajib pajak pada kepatuhan pelaporan wajib pajak orang pribadi di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Denpasar Timur. Analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik analisis regresi linear berganda. Variabel bebas yang digunakan adalah persepsi tentang sanksi perpajakan dan kesadaran wajib pajak.
Variabel terikat yang digunakan adalah kepatuhan pelaporan wajib pajak orang pribadi. Hasil penelitian Muliari dan Setiawan (2010) adalah bahwa persepsi wajib pajak tentang sanksi perpajakan secara parsial berpengaruh positif dan signifikan pada kepatuhan pelaporan wajib pajak orang pribadi. Begitu juga dengan kesadaran wajib pajak secara parsial berpengaruh positif dan signifikan pada kepatuhan pelaporan wajib pajak orang pribadi.
Mustikasari (2007) melakukan penelitian mengenai kajian empiris tentang kepatuhan wajib pajak badan di perusahaan industri pengolahan di Surabaya.
Analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik analisis multivariat
Structural Equation Modeling (SEM) dengan menggunakan program Amos 5.
Model yang dibangun dalam penelitian ini melibatkan 9 variabel laten yang diidentifikasi mempengaruhi perilaku tax professional, yaitu: (1) sikap terhadap ketidakpatuhan pajak, (2) norma subyektif, (3) kewajiban moral, (4) kontrol keperilakuan yang dipersepsikan, (5) persepsi tentang kondisi keuangan, (6) persepsi tentang fasilitas perusahaan, (7) persepsi tentang iklim organisasi, (8) niat tax professional untuk berperilaku tidak patuh, dan (9) ketidakpatuhan pajak badan. Hasil penelitian Mustikasari (2007) tersebut adalah: (1) tax professional yang memiliki sikap terhadap ketidakpatuhan positif, niat ketidakpatuhan pajaknya tinggi, (2) pengaruh orang sekitar yang kuat mempengaruhi nilai tax professional untuk berperilaku patuh, (3) tax professional yang memiliki kewajiban moral yang tinggi, niat ketidakpatuhan pajaknya rendah atau sebaliknya, (4) semakin rendah persepsi tax professional atas kontrol yang dimilikinya akan mendorong tax professional berniat patuh, (5) semakin rendah persepsi atas kontrol yang dimiliki tax professional maka akan mendorong tax professional tidak patuh, (6) tax professional yang memiliki niat ketidakpatuhan pajak rendah, ketidakpatuhan pajaknya rendah, (7) jika tax professional mempunyai persepsi bahwa kondisi keuangan perusahaan baik, maka tax professional akan patuh, (8) jika tax professional mempunyai persepsi bahwa fasilitas perusahaan mencukupi maka maka ketidakpatuhan pajak badan rendah, (9) persepsi iklim keorganisasian yang positif berpengaruh terhadap pajak badan.
Munari (2005) melakukan penelitian tentang pengaruh tax payer terhadap keberhasilan penerimaan pajak penghasilan. Analisis data yang digunakan adalah teknik analisis regresi linear berganda. Variabel bebas yang digunakan yaitu kesadaran perpajakan, pendapat wajib pajak tentang berat tidaknya beban PPh, persepsi wajib pajak tentang pelaksanaan sanksi denda PPh, dan tax avoidance.
Variabel terikat yang digunakan adalah penerimaan PPh. Hasil penelitian Munari (2005) adalah bahwa kesadaran perpajakan, pendapat wajib pajak tentang berat tidaknya beban PPh, persepsi wajib pajak tentang pelaksanaan sanksi denda PPh, dan tax avoidance berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan PPh di KPP Batu.
Suyatmin (2004) melakukan penelitian mengenai pengaruh sikap wajib pajak terhadap pembangunan daerah, sanksi denda PBB, pelayanan fiskus, kesadaran bernegara dan kesadaran perpajakan terhadap kepatuhan wajib pajak dalam membayar PBB di KP PBB Surakarta. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis regresi berganda. Hasil penelitian Suyatmin (2004) adalah bahwa semua variabel bebas yang digunakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak PBB baik secara parsial maupun secara simultan.
Sulud Kahono (2003) melakukan penelitian tentang pengaruh dari sikap WP terhadap prioritas pembangunan daerah, sikap WP terhadap sanksi denda PBB, sikap WP terhadap pelayanan fiskus dan sikap WP terhadap penghindaran PBB terhadap kepatuhan wajib pajak PBB di KP PBB Semarang. Analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik analisis regresi berganda. Hasil penelitian Sulud Kahono (2003) adalah bahwa semua variabel bebas yang diteliti memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kepatuhan WP PBB baik secara parsial maupun bersama-sama.
Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, sasaran penelitian ini adalah wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan pekerjaan bebas.
Alasan pemilihan sasaran penelitian tersebut adalah karena wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan pekerjaan bebas lebih rentan terhadap pelanggaran pajak daripada wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha dan pekerjaan bebas. Sudah jamak bagi banyak orang dengan pekerjaan bebas seperti dokter, notaris, konsultan, pedagang, pemilik salon, hingga tour guide tidak melakukan pembukuan (www.pajakpribadi.com).
Agus Nugroho Jatmiko (2006) melakukan penelitian tentang pengaruh sikap wajib pajak pada pelaksanaan sanksi denda, pelayanaan fiskus, dan kesadaran perpajakan terhadap kepatuhan wajib pajak. Teknik analisis yang digunakan adalah dengan menggunakan teknik analisis regresi berganda. Hasil penelitian Agus Nugroho Jatmiko (2006) adalah sikap wajib pajak pada pelaksanaan sanksi denda, pelayanan fiskus dan kesadaran perpajakan bersama- sama berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak.
Tabel 2.1
Ringkasan Penelitian Terdahulu No Peneliti Variabel yang
Digunakan
Alat Analisis
Hasil Penelitian
1 Muliari dan Setiawan
(2010)
Variabel bebas yang digunakan adalah persepsi tentang sanksi perpajakan dan kesadaran wajib pajak. Variabel terikat yang digunakan adalah kepatuhan wajib pajak orang pribadi.
Analisis regresi berganda.
persepsi wajib pajak tentang sanksi perpajakan secara parsial berpengaruh positif dan signifikan pada kepatuhan pelaporan wajib pajak orang pribadi. Begitu juga dengan kesadaran wajib pajak secara parsial berpengaruh positif dan signifikan pada kepatuhan pelaporan wajib pajak orang pribadi.
2 Mustikasari (2007)
Model yang dibangun dalam penelitian ini melibatkan 9 variabel laten yang diidentifikasi mempengaruhi perilaku tax
professional, yaitu:
(1) sikap terhadap ketidakpatuhan
analisis multivariat Structural Equation Modeling (SEM)
sikap terhadap
ketidakpatuhan pajak, kontrol keperilakuan yang dipersepsikan, dan persepsi tentang fasilitas perusahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan pajak tax professional, sedangkan
pajak, (2) norma subyektif, (3) kewajiban moral, (4) kontrol
keperilakuan yang dipersepsikan, (5) persepsi tentang kondisi keuangan, (6) persepsi tentang fasilitas perusahaan, (7) persepsi tentang iklim organisasi, (8) niat tax professional untuk berperilaku tidak patuh, (9) ketidakpatuhan pajak badan.
norma subyektif, kewajiban moral, persepsi tentang kondisi keuangan, persepsi tentang iklim organisasi, niat tax professional untuk berperilaku tidak patuh, dan ketidakpatuhan pajak badan memiliki pengaruh yang negatif terhadap kepatuhan pajak tax professional.
3 Munari (2005)
Variabel bebas yang digunakan adalah faktor Tax Payer.
Variabel terikat yang digunakan adalah penerimaan PPh.
Analisis Regresi Linier Berganda.
Faktor persepsi WP tentang
pelaksanaan sanksi denda,berpengaruh signifikan
terhadap penerimaan,hal tersebut disebabkan karena
UU dan peraturan yang diterapkan secara lugas,tegas
dan konsisten dapat membuat
masyarakat taat dan patuh
akan pajak.
4 Suyatmin (2004)
Variabel bebas yang digunakan adalah sikap wajib pajak.
Variabel terikat yang digunakan adalah kepatuhan wajib pajak dalam pembayaran PBB.
Analisis Regresi Linier Berganda
Sikap Wajib Pajak terhadap
sanksi denda PBB, sikap
Wajib Pajak terhadap pelayanan fiskus, berpengaruh positif terhadap
kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran PBB di
kota Surakarta.
kepatuhan
Wajib Pajak dalam pembayaran PBB 5 Sulud
Kahono (2003)
Variabel bebas yang digunakan adalah sikap WP terhadap prioritas
pembangunan daerah, sikap WP terhadap sanksi denda PBB, sikap WP terhadap
pelayanan fiskus dan sikap WP terhadap penghindaran PBB.
Analisis Regresi Linier Berganda.
Semua variabel bebas yang
diteliti memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap kepatuhan WP PBB baik
secara parsial maupun bersama-sama.
Variabel terikat yang digunakan adalah kepatuhan wajib pajak PBB.
6 Agus Nugroho Jatmiko (2006)
Variabel bebas yang digunakan adalah sikap wajib pajak, sanksi denda, pelayanan fiskus, kesadaran wajib pajak. Variabel terikat yang digunakan adalah kepatuhan wajib pajak.
Analisis Regresi Linier Berganda.
sikap wajib pajak pada pelaksanaan sanksi denda,pelayanan fiskus dan
kesadaran perpajakan bersama-sama
berpengaruh
terhadap kepatuhan wajib
pajak
2.6.1 Perbedaan Penelitian dengan Penelitian Terdahulu
Berbagai penelitian yang telah dilakukan sebelumnya sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya beberapa di antaranya menguji beda kepatuhan wajib pajak yang memfokuskan analisis pada wajib pajak PBB (Sulud Kahono,2003 dan Suyatmin, 2004).
Penelitian ini akan menganalisis tingkat kepatuhan wajib pajak di Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Kabupaten Bandung dengan menggunakan beberapa variabel seperti kesadaran wajib pajak terhadap kepatuhan wajib pajak dan sanksi perpajakan terhadap kepatuhan wajib pajak. Adapaun alasan pemilihan variabel dan perbedaan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut :
Perbedaannya terletak pada variabel terikat yaitu kepatuhan wajib pajak dalam membayar PBB jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan Suyatmin (2004) karena variabel Y cenderung kepada kepatuhan pembayaran PBB saja.
Perbedaannya dengan penelitian yang dilakukan oleh Sulud Kahono (2003) terletak pada variabel yang berbeda yaitu sikap wajib pajak terhadap prioritas pembangunan daerah dan sikap wajib pajak terhadap penghindaran PBB.
Penelitian yang dilakukan oleh Muliari dan Setiawan (2010) dilakukan terhadap KPP Pratama di Denpasar Timur, sedangkan penelitian ini dilakukan di Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan di Kabupaten Bandung.
2.7 Kerangka Pemikiran
Definisi atau pengertian pajak menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH dalam buku Sari (2013:34) adalah :
“Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pembiayaan pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment..”
Sedangkan pengertian pajak daerah menurut Siahaan (2013:9) :
“Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh daerah kepada orang pribadi atau badan tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah.”
Dari penjelasan tersebut, terlihat pajak memiliki peranan penting dalam penerimaan negara. Pajak mempuyai 2 (dua) fungsi utama yaitu fungsi sumber penerimaan negara (bugetair), pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah, misalnya dimasukkannya pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri. Dan ada satu lagi fungsi dari pajak yaitu fungsi mengatur (regulair), pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi, misalnya dikenakannya pajak yang lebih tinggi terhadap minuman keras, dapat ditekan demikian pula terhadap barang mewah.
Kepentingan peneliti dalam penelitian ini berkenaan dengan pajak sebagai fungsi penerimaan (bugetair). Saat ini penerimaan pajak merupakan salah satu penerimaan yang paling potensial bagi kelangsungan pembangunan nasional. Hal ini berarti pengeluaran-pengeluaran pemerintah dibiayai oleh pajak.
Pajak merupakan penerimaan negara yang digunakan untuk mengarahkan kehidupan masyarakat menuju kesejahteraan. Penerimaan dari sektor pajak ini selalu mengalami peningkatan.
Target penerimaan yang selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Oleh karena itu, masyarakat lebih mempunyai andil yang cukup besar dalam pengisian kas negara, sebab tanpa adanya peran serta dari masyarakat maka sektor pajak tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai salah satu sumber dana pemerintah demi terlaksanannya pembangunan dan pembiayaan pemerintah. Hal ini didasarkan dari reformasi perpajakan di Indonesia yang telah dilakukan pertama kali pada tahun 1983 dimana saat itu terjadi perubahan sistem mendasar dalam pengelolaan perpajakan Indonesia dari sistem Official Assessmen ke sistem Self Assessment. Dalam sistem tersebut menjelaskan bahwa Wajib Pajak mempunyai kewajiban untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri kewajiban pajaknya. Dengan sistem ini diharapkan partisipasi aktif dari masyarakat untuk memenuhi kewajiban yang baik dan benar, dan administrasi perpajakan dapat dilakasanakan dengan baik.
Saat ini banyak Wajib Pajak yang terdaftar tidak memenuhi kewajiban perpajakannya. Oleh karena itu ada beberapa istilah seperti Wajib Pajak Efektif dan Wajib Pajak Non Efektif. Menurut Surat Ederan Jendral Pajak Nomer SE- 26/PJ.2/1988 tentang Kriteria Wajib Pajak Efektif dan Wajib Pajak Non Efektif, pengertian Wajib Pajak Efektif adalah:
“Wajib Pajak Efektif adalah Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa dan atau Tahunan sebagaimana mestinya.”
Sedangkan Wajib Pajak Non Efektif adalah:
“Wajib Pajak Non Efektif adalah Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban Perpajakannya.”
Ketentuan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban pajaknya menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 17 C ayat 2 didasarkan pada kriteria sebagai berikut:
a. Tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan.
b. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk senua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak.
c. Laporan keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawas keuangan pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut-turut, dan
d. Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana dibidang perpajakan berdasarkan putusan pangadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5(lima) tahun terakhir.
Apabila dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan kembali SPOP pada waktunya dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan sebagaimana ditentukan dala Surat Teguran, maka akan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) dengan sanksi berupa denda administrasi sebesar 25% dari PBB yang terutang dan apabila pengisian SPOP setelah diteliti atau diperika ternyata tidak benar (lebih kecil), maka akan diterbitkan SKP dengan sanksi berupa denda administrasi sebesar 25% dali selisih besarnya PBB yang terutang Sari (2013:141).
Gambar 2.1 Model Penelitian
2.8 Pengujian Hipotesis
2.8.1 Pengaruh Kesadaran Wajib Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Kesadaran wajib pajak sangat diperlukan guna meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Hasil penelitian Suyatmin (2004), Jatmiko (2006), Suryadi (2006), Muliari dan Setiawan (2009) mengungkapkan bahwa kesadaran wajib pajak dikatakan memiliki kesadaran wajib pajak antara lain apabila mengetahui adanya UU dan ketentuan perpajakan dan mau memahaminya, mengetahui fungsi pajak untuk menyejahterakan rakyat, menghitung; membayar; melapporkan pajak tepat waktu, dan secara sukarela tanpa terpaksa. Sikap kesadaran wajib pajak yang tinggi mengenai pemahaman akan manfaat dan pentingnya pajak bagi masyarakat dan dalam mengajukan pembangunan daerah maupun pembangunan secara menyeluruh dapat mendorong seseorang untuk turut serta mewujudkan tanggung jawabnya dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Sehingga pajaknya dapat meningkat.
Berdasarkan penjabaran di atas, maka diajukan hipotesis pertama sebagai berikut :
H1 : Kesadaran wajib pajak berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak.
Pengaruh kesadaran Wajib
Pajak
Kepatuhan Wajib Pajak Pengaruh Sanksi (y)
Pajak (x2)
2.8.2 Pengaruh Sanksi Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak
Wajib pajak akan memenuhi kewajiban perpajakannya bila memandang bahwa sanksi perpajakan akan lebih banyak merugikannya Nugroho (2006).
Penelitian yang dilakukan oleh Purnomo (2008) menemukan bahwa persepsi wajib pajak tentang sanksi pajak berpengaruh positif signifikan pada kepatuhan perpajakan.
Berdasarkan penjabaran di atas, maka diajukan hipotesis kedua sebagai berikut :
H2 : sanksi perpajakan berpengruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak.