• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

25 A. Gambaran Umum Wilayah

1. Wilayah Bogor

Secara geografis wilayah Bogor terletak antara 106o 43’30’’BT - 106o 51’00’’BT dan 6o 30’30’’LS - 6o 41’00’’LS. Wilayah Bogor berada di Provinsi Jawa Barat dan hanya berjarak kurang lebih 56 km dari pusat pemerintahan Indonesia, Jakarta. Curah hujan rataan Bogor 4.000 mm/tahun.

Sumber: BPTP Bogor, 2012

Gambar 3. Peta daerah kajian

JABAR

(2)

Wilayah Bogor yang terdiri dari Kota Bogor dan Kabupaten Bogor memiliki luas 311.277,94ha. Wilayah ini pada tahun 2009 dihuni 5.093.047 jiwa (BPS kota dan kabupaten Bogor, 2009) tersebar di 46 kecamatan, yang mencakup 85 kelurahan dan 411 desa.

Kondisi geografi wilayah Bogor merupakan daerah perbukitan bergelombang dengan ketinggian yang bervariasi antara 190 sampai dengan 350 m dpl. Sumber air bagi wilayah Bogor menurut asalnya terdiri dari sungai, air tanah dan mata air. Sungai utama yang mengalir di wilayah Bogor terdiri dari sungai Ciliwung dan sungai Cisadane, sungai Cibeureum, sungai Cileungsi, sungai Cidurian serta beberapa sungai yang lain. Curah hujan rata-rata di wilayah Bogor berkisar antara 250-335 mm/bulan. Curah hujan minimum terjadi pada bulan September sekitar 128 mm, sedangkan curah hujan maksimum terjadi pada bulan Oktober sekitar 346 mm. Temperatur rata-rata wilayah Bogor adalah 260C, dan temperatur tertinggi sekitar 34,40C. Kelembaban udara rata-rata lebih dari 70% dan kecepatan angin rata-rata adalah 2 km/jam dengan arah timur laut.

a. Penggunaan lahan

Berdasarkan gambar 4, pola penggunaan lahan identik dengan struktur penggunaan lahan dimana wilayah Bogor terdistribusi ke dalam lahan pertanian dan lahan non pertanian. Lahan pertanian wilayah Bogor mencapai 147.684,05 ha atau 47% dari luas wilayah, yang terdiri dari lahan pertanian sawah 16% atau 49.775 ha dan lahan pertanian bukan sawah 31% atau 97.912 ha. Penggunaan luas lahan ini mengalami penurunan terus menerus akibat dari adanya perubahan fungsi guna lahan.

Luas lahan non pertanian seluas 163,593.94 ha atau 53% dari luas wilayah. Lahan non pertanian ini pada umumnya digunakan untuk wilayah permukiman, fasilitas sosial, industri, perkantoran, perdagangan dan lain-lain yang berkembang secara linier mengikuti jaringan jalan yang ada, sehingga berpotensi dalam menambah laju tingkat perkembangan wilayah Bogor.

(3)

Sumber: 1. Dinas Pengawasan Bangunan dan Permukiman kota Bogor, 2009 2. Dinas Pertanian dan Kehutanan kabupaten Bogor, 2009

Gambar 4. Luasan penggunaan lahan wilayah Bogor

b. Pertanian

Dalam ketersediaan pangan, khususnya aspek produksi (on farm), wilayah Bogor melaksanakan program intensifikasi pertanian pada tahun 2003 dengan cara menetapkan sasaran areal tanaman pangan dan tanaman hortikultura. Intensifikasi tanaman pangan meliputi sub kegiatan perluasan areal tanam dan areal panen melalui peningkatan indeks pertanaman dan peningkatan mutu intensifikasi serta pengendalian organisme pengganggu tanaman pada tanaman padi, palawija dan hortikultura.

Tabel 4. Luas lahan, produksi dan produktivitas tanaman padi, palawija, dan hortikultura (sayuran) di wilayah Bogor

No Komoditi Luas Panen (ha)

Produksi (ton)

Produktivitas (kw/ha)

1 Padi 89.537 504.089 56,30

2 Jagung 1.183 3.990 33,73

3 Ubi kayu 9.510 184.527 194,04

4 Ubi jalar 3.887 55.688 143,27

5 Kacang Tanah 1.829 2.330 12,74

6 Talas 181 1.231 68,00

7 Sayuran 5.416 59.559 109,97

Jumlah 111.543 811.415 72,74

Sumber: 1. Dinas Pertanian kota Bogor, 2009

2. Dinas Pertanian dan Kehutanan kabupaten Bogor, 2009

(4)

Tabel 4 memperlihatkan bahwa dari seluruh luasan lahan pertanian tanaman pangan dan sayuran pada tahun 2009 yang mencapai luasan panen sebesar 111,543 ha, luas lahan panen padi mencapai 80,27% dengan produktivitas 56,30 kw/ha. Luas panen ubi kayu sebesar 8,53% dengan produktivitas paling tinggi dibandingkan dengan tanaman pangan lainnya yaitu 194,04 kw/ha.

Produktivitas terbesar kedua setelah ubi kayu adalah tanaman ubi jalar yaitu sebesar 143,27 kw/ha dengan luas panen 3,48%. Kacang tanah dengan luas panen 1,64% memiliki produktivitas paling kecil yaitu 12,74 kw/ha. Jagung dan talas merupakan tanaman pangan yang memiliki luas panen paling kecil pada tahun 2009 dengan luas panen masing-masing 1,06% dan 0,16%. Komoditas hortikultura terutama sayuran memiliki luas panen 4,86% yang terdiri dari wortel, bawang daun, ketimun, kacang panjang, cabe, tomat, terung, bayam, kangkung, buncis, katuk, dan caysin.

Kebutuhan konsumsi bahan pangan masyarakat wilayah Bogor dipenuhi oleh hasil kegiatan on farm maupun off farm. Hal ini dapat dilihat pada gambar 5 yang menggambarkan pemenuhan kebutuhan konsumsi bahan pangan masyarakat pada tahun 2009.

Sumber: 1. BPS kota Bogor, 2009 2. BPS kabupaten Bogor, 2009

Gambar 5. Pemenuhan kebutuhan konsumsi bahan pangan masyarakat wilayah Bogor tahun 2009

(5)

Kebutuhan bahan makanan masyarakat wilayah Bogor pada tahun 2009 cukup tinggi yaitu 2.590.450 ton, khusus padi/sereal sebesar 40,92%, umbi- umbian 13,96%, kacang-kacangan 6,61%, sayur-sayuran 16,56% dan buah buahan 14,45%. Dari Gambar 5 terlihat bahwa ketersediaan pangan lokal (produksi lokal) belum dapat memenuhi kebutuhan bahan makanan dari tanaman pangan, sayuran dan buah-buahan yaitu rata-rata masih di bawah 50% dari kebutuhan konsumsi penduduk yang berjumlah 5.093.047 jiwa. Kekurangannya dipenuhi dengan mendatangkan dari luar daerah ataupun luar negeri (impor) yaitu sekitar 70,75%.

Adapun persediaan pangan lokal (produksi lokal) berkisar antara 1,74% sampai dengan 70,73% dari kebutuhan konsumsi penduduk. Kekurangannya dipenuhi dengan mendatangkan dari luar daerah atau pun luar negeri (impor). Khususnya untuk pemenuhan kebutuhan beras, wilayah Bogor disuplai dari luar daerah seperti Indramayu, Karawang dan Cianjur serta dari luar negeri seperti Cina, Vietnam dan Amerika Serikat.

Mengingat persediaan pangan lokal (produksi lokal) untuk kebutuhan konsumsi penduduk lebih kecil dibanding suplai dari luar. Untuk itu pemerintah wilayah Bogor telah melaksanakan kegiatan pemantauan cadangan pangan, baik cadangan pangan milik pemerintah yang diperuntukkan bagi keluarga miskin (raskin) maupun cadangan pangan milik masyarakat (ditingkat petani dan pasar).

Selain itu, di wilayah Bogor telah dilakukan peningkatan hasil produksi padi di daerah sentra-sentra produksi padi, seperti kecamatan Cariu, Pamijahan, Cibungbulang, Jonggol dan Leuwiliang. Wilayah Bogor juga merupakan salah satu daerah unggulan dalam produktivitas padi di propinsi Jawa Barat, dalam rangka memenuhi ketersediaan, distribusi dan konsumsi pangan strategis terutama beras untuk mewujudkan ketahanan pangan di wilayah Bogor maupun propinsi Jawa Barat.

(6)

2. Karakteristik Responden

Karakteristik petani di wilayah Bogor, sebagaimana petani-petani tanaman pangan yang ada di Indonesia memiliki karakteristik yang hampir sama (homogen). Ada beberapa karakteristik yang melekat pada petani tanaman pangan di wilayah Bogor terutama dilihat dari jenis kelamin, usia, pendidikan, status dan luas lahan, pengalaman usahatani, pola tanam serta pendapatan petani. Hasil olah data tentang karakteristik petani responden di wilayah Bogor dapat ditunjukkan pada Tabel 5 berikut.

Tabel 5. Karakteristik responden

Keterangan Kategori Jumlah

(org)

Persentase (%)

Jenis Kelamin Laki-laki 43 87.76

Perempuan 6 12.24

Usia (tahun) 31-40 7 14.29

41-50 16 32.65

51-60 11 22.45

>60 15 30.61

Pendidikan Tidak sekolah 11 22.45

SD/MI 22 44.90

SMP 7 14.29

SMA 9 18.37

Luas lahan <0,5 ha 31 63.27

0,5 - 1,0 12 24.49

>1,0 ha 6 12.24

Status lahan Sewa 18 36.73

milik sendiri 31 63.27

Pengalaman usahatani <5 tahun 10 20.41

5 - 10 th 17 34.69

>10 th 22 44.90

Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat pada umumnya petani di Bogor adalah laki-laki yaitu 87,76% dari seluruh jumlah responden yang dipilih, namun juga terdapat 12,24% dari responden adalah perempuan. Hal ini kelihatan tidak lazim, namun 6 orang perempuan tersebut menjadi petani karena suaminya telah meninggal dan ada juga yang disebabkan perceraian, namun semua responden perempuan ini merupakan anggota kelompok tani.

(7)

Usia petani responden rata-rata di atas 30 tahun, dimana sekitar 46,93%

berusia kurang dari atau sama dengan 50 tahun, sedangkan sebagian besar petani responden yaitu 53,07% berusia lebih dari 50 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pertanian di Indonesia, terutama di Bogor cenderung tidak diminati oleh pemuda.

Ada anggapan bahwa petani atau pertanian itu identik dengan pekerjaan bercocok tanam dan kemiskinan. Hal ini menyebabkan pemuda lebih cenderung untuk mencari pekerjaan lain selain bekerja di bidang pertanian.

Dari sisi tingkat pendidikan formal, petani responden di Bogor sebagian besar hanya sampai sekolah dasar (67,35%), dan sekolah lanjutan (32,65%).

Tingkat pendidikan yang relatif masih rendah, tidak selalu berarti kurang pengetahuan. Namun demikian, pendidikan formal yang tinggi akan sangat berperan dalam kemampuan menganalisis berbagai situasi, wawasan berpikir dan pemanfaatan teknologi terkini. Seperti umumnya ciri petani Indonesia memiliki lahan rata-rata 0,5 ha, begitu juga petani responden di Bogor dengan pemilikan lahan rata-rata di Bogor adalah <0,5 ha dengan status kepemilikan lahan tersebut rata-rata adalah milik petani sendiri (63,27%) meskipun ada juga yang berupa tanah sewa.

Sebagian besar responden (44,90%) telah melakukan usahatani > 10 tahun, sedangkan yang berpengalaman 5-10 tahun sebanyak 34,69% dan sisanya baru berpengalaman < 5 tahun. Dilihat dari persentase pengalaman usahatani, menunjukkan bahwa petani di Bogor sudah memiliki pengalaman yang cukup dalam usahatani. Sehingga dapat dikatakan petani sudah memiliki pengalaman serta pengetahuan yang cukup tentang resiko pertanian.

Petani di Bogor melakukan penanaman polikultur yaitu dengan pola tanam bergantian atau menanam pada saat yang sama pada suatu lahan pertanian antara tanaman padi, palawija dan sayuran. Pola tanam tanaman pangan di wilayah Bogor dapat dilihat pada Gambar 6. Dari keseluruhan petani yang menjadi responden, hanya 1 orang atau 2,04% menanam padi saja. Untuk tanaman padi yang diikuti dengan tanaman palawija sebanyak 16,33%. Sedangkan untuk tanaman padi yang diikuti dengan tanaman palawija dan sayur-sayuran sekitar 24,49% dan ini merupakan pola tanam paling tinggi persentasenya dibanding pola tanam yang lain. Petani responden yang hanya menanam palawija saja sekitar

(8)

14,29%. Responden yang melaksanakan pola tanam palawija yang diikuti dengan padi 12,24%, palawija dan sayuran 20,41%, sedangkan pola tanam palawija, padi dan sayuran 10,20%.

Gambar 6. Pola tanam yang dilaksanakan petani di wilayah Bogor

Pola tanam padi – palawija – sayur lebih diminati oleh petani dibandingkan hanya bertanam padi saja, atau palawija saja. Hal ini dikarenakan menurut pendapat petani bahwa usahatani dengan pola tanam yang demikian lebih menguntungkan. Keputusan petani untuk melakukan penanaman satu atau beberapa jenis tanaman pangan serta untuk melakukan polikultur/diversifikasi usahatani paling dominan didasarkan atas pengetahuan dan pengalaman berusahatani.

Dari sisi biaya produksi, sebanyak 67% petani mengeluarkan biaya kurang dari Rp 1 juta selama 1 kali produksi tanaman (Gambar 7). Hal ini dapat dipahami mengingat rata-rata luasan lahan pertanian adalah < 0,5 Ha. Pendapatan sebagian besar petani (91,84%) sebesar lebih dari Rp 1.000.000 diperoleh dari hasil penjualan produk pertanian.

(9)

Gambar 7. Biaya produksi dan pendapatan petani responden

Keuntungan petani tanaman pangan di wilayah Bogor Rp 500.000 – Rp 2.000.000 per satu kali musim tanam. Menurut pengakuan sebagian petani, terutama petani yang memiliki lahan pertanian kecil, dengan keuntungan yang demikian kecil tidak mencukupi kebutuhan rumah tangga mereka. Hal ini memaksa petani untuk melakukan pekerjaan selain di ladang, yaitu mengerjakan pengolahan pasca panen, atau kegiatan yang bersifat off farm seperti buruh tani, buruh di pasar, berjualan, tukang bangunan dan pekerjaan lainnya.

B. Persepsi Petani terhadap Resiko Pertanian

Usahatani di subsektor tanaman pangan termasuk salah satu jenis usahatani yang memiliki resiko dan ketidakpastian yang tinggi. Resiko-resiko tersebut dapat disebabkan oleh perubahan lingkungan alam terutama iklim, bencana alam, ataupun serangan hama dan penyakit; perubahan lingkungan sosial ekonomi terutama yang terkait dengan perilaku pasar, input maupun output

(10)

usahatani, dinamika usaha antara sektor pertanian dan non pertanian, perubahan kebijakan di bidang ekonomi, konflik sosial dan sebagainya.

Negara berkembang seperti Indonesia sangat rentan terhadap resiko-resiko pertanian karena masih minimnya instrumen-instrumen pengendalian resiko.

Untuk itu perlu dilakukan kajian awal untuk mengidentifikasi resiko-resiko tersebut. Berdasarkan hasil FGD dan wawancara dengan sejumlah petani responden di wilayah Bogor teridentifikasi resiko-resiko pertanian dan tingkat resiko pertanian seperti yang disampaikan pada Gambar 8 yang merupakan hasil tabulasi berdasarkan Lampiran 3. Rata-rata skor yang digunakan skala 1-5 yaitu dari sangat penting (5) hingga tidak penting (1).

Gambar 8. Skor Resiko berdasarkan persepsi petani tanaman pangan

Gambar 8 menunjukkan bagaimana persepsi petani berdasarkan tingkat kepentingan dari berbagai resiko. Berdasarkan pendapat petani responden di wilayah Bogor, resiko produksi merupakan resiko yang paling berpengaruh diikuti dengan resiko pemasaran, resiko finansial, resiko manusia serta resiko sosial dan institusional. Adapun resiko yang paling sering dihadapi oleh petani adalah resiko produksi terutama dari serangan hama dan penyakit tanaman atau organisme pengganggu tanaman (OPT) serta iklim atau cuaca seperti hujan dan kekeringan.

(11)

Resiko pemasaran juga merupakan resiko yang dominan, terutama disebabkan oleh harga produk yang sering berubah serta distribusi komoditas yang selain mahal karena biaya transportasi tinggi akibat infrastruktur yang tidak memadai, serta sering juga dimonopoli oleh pengusaha besar. Resiko keuangan didominasi oleh lemahnya permodalan petani dan lemahnya akses terhadap permodalan petani.

Berdasarkan persepsi petani di wilayah Bogor, penurunan jumlah produksi pertanian merupakan hal utama yang dialami oleh petani. Penurunan jumlah produksi ini terutama disebabkan oleh serangan hama dan penyakit tanaman.

Organisme pengganggu tanaman (OPT) merupakan salah satu faktor penghambat utama usaha peningkatan produksi pertanian. Serangan OPT menyebabkan penurunan kuantitas hasil dan penurunan kualitas produksi pertanian. Jenis-jenis Organisme pengganggu tumbuhan (OPT) yang sering menyerang lahan pertanian tanaman pangan utama di wilayah Bogor adalah : penggerek batang, tikus, tungro, wereng coklat, blast, kresek, hama putih, ulat grayak, trips, hawar bakteri, lalat bibit, hama putih palsu, keong mas, BRS dan perikularia. Serangan hama dan penyakit ini menyerang terutama saat musim hujan yaitu pada bulan Oktober sampai Maret.

Penurunan pertumbuhan produksi juga disebabkan oleh faktor penting lainnya yaitu perubahan iklim global yang menyebabkan anomali iklim dan pemanasan global. Berbagai bentuk anomali iklim seperti curah hujan yang tinggi saat musim hujan dan kemarau yang panjang hingga menyebabkan kerusakan pada tanaman. Anomali iklim juga mengganggu jadwal pola tanam petani.

Bencana alam juga sering terjadi seperti banjir dan kekeringan bahkan kebakaran serta gempa bumi yang berpotensi merusak infrastruktur dan jaringan irigasi yang akhirnya merusak dan menurunkan produksi tanaman pangan.

Tanaman pangan dengan peranannya yang sangat penting di dalam konsumsi sehari-hari masyarakat Indonesia perlu mendapatkan perhatian.

Berbagai faktor yang mempengaruhi tanaman pangan baik berupa stok, produksi nasional dan harga di pasar internasional menjadi faktor kritis bagi ketahanan pangan Indonesia. Hal ini karena faktor-faktor ini akan berdampak pada harga domestik tanaman pangan tersebut. Harga domestik yang tinggi akan berakibat

(12)

pada daya konsumsi masyarakat menjadi rendah dan dalam jangka waktu panjang kondisi ini akan melemahkan ketahanan pangan nasional terutama akibat dari bencana kelaparan. Sedemikian strategisnya komoditas tanaman pangan ini sehingga memiliki sifat strategis dan politik. (Jatmiko, 2004).

Gambar 9. Perbedaan harga di tingkat petani dan pasar

Selain harga hasil pertanian tanaman pangan yang sering berubah, apalagi pada saat panen raya menyebabkan harga hasil pertanian akan semakin rendah.

Adanya permainan harga oleh para tengkulak yang menyebabkan harga produk pertanian jauh berada di bawah harga pasar. Petani tidak mempunyai kekuatan tawar menawar, karena petani telah menjual produk pertaniannya sebelum panen, yaitu di saat petani meminjam uang kepada tengkulak untuk keperluan sehari-hari dan sebagai modal petani untuk membeli input produksi.

Infrastruktur yang masih rendah, merupakan salah satu sebab distribusi komoditas pertanian semakin panjang. Tidak tersedianya infrastruktur jalan usahatani menyebabkan biaya transportasi untuk memasarkan produksi tanaman semakin besar. Hal ini dimanfaatkan oleh pengusaha yang memiliki modal yang besar untuk membeli produk pertanian dengan harga rendah di tingkat petani dan menjualnya dengan harga yang tinggi di pasar dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang besar.

(13)

Meskipun tidak mengetahui secara rinci pengaruh perubahan ekonomi nasional oleh petani, namun petani merasakan dampak dari kenaikan harga BBM yang diikuti oleh kenaikan harga input produksi dan transportasi.

Resiko keuangan utama yang teridentifikasi oleh petani responden di wilayah Bogor adalah modal. Permodalan petani sangat terbatas, hal ini dilihat dari kemampuan petani untuk membiayai usahatani sehingga produktivitas yang dicapai masih di bawah produktivitas potensial.

Kesulitan permodalan yang dialami petani akan mempengaruhi ruang gerak aktifias produksi usahatani dari petani. Salah satu usaha untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi pada umumnya dan pertanian pada khususnya adalah melalui kredit. Kredit adalah salah satu syarat pelancar dalam pembangunan pertanian, karena tanpa adanya kredit pertanian, pertumbuhan ekonomi dalam bidang pertanian akan berjalan lambat. Untuk produksi yang lebih baik, petani harus lebih banyak mengeluarkan uang sarana produksi. Petani dengan uang banyak akan mampu membeli sarana produksi yang produktif sehingga akan menghasilkan produksi yang lebih tinggi. Namun kenyataannya kredit dari lembaga keuangan seperti bank tidak menarik untuk digunakan oleh petani tanaman pangan yang kebanyakan adalah petani berlahan sempit dan sedang. Hal ini dapat dimaklumi karena selain tingkat bunga yang tinggi juga diakibatkan oleh administrasi yang berbelit-belit oleh bank. Petani lebih memilih untuk meminjam kepada tetangga, saudara atau tengkulak. Untuk petani yang sudah bergabung dengan kelompok tani dan telah membentuk gabungan kelompok tani serta telah melakukan kegiatan simpan pinjam, maka petani cenderung meminjam untuk sarana produksi maupun keperluan sehari-hari kepada kelompok tani dengan tingkat bunga rendah yaitu 2% dengan agunan kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu keluarga (KK).

Resiko finansial penting lainnya di wilayah Bogor adalah lahan, yaitu pemilikan lahan yang sempit dan terjadinya konversi lahan untuk pembangunan industri serta pemukiman di lahan pertanian. Peningkatan produksi pangan memang terjadi walaupun sedikit, namun hal ini tidak seimbang dengan tingginya peningkatan permintaan pangan daerah dan nasional.

(14)

Rata-rata petani responden di Bogor mengusahakan lahan sawah < 0,5 Ha dan luas lahan tersebut cenderung mengecil karena adanya proses fragmentasi lahan sebagai akibat dari sistem/pola warisan. Selain itu juga disebabkan oleh alih fungsi lahan. Luas lahan sawah cendrung berkurang setiap tahunnya akibat adanya alih fungsi lahan dari lahan pertanian ke non pertanian (contohnya untuk pembangunan industri, pemukiman di lahan pertanian). Penyempitan luas lahan ini diikuti dengan naiknya harga sewa lahan dan harga lahan itu sendiri.

Resiko manusia dapat dilihat dari tenaga kerja yang merupakan faktor penting dari kegiatan produksi sektor pertanian. Pada umumnya tenaga kerja di sektor pertanian memiliki tingkat pendidikan yang rendah, mengandalkan keterampilan yang terbatas, mengerjakan lahan pertanian milik sendiri atau orang lain dan merupakan pekerjaan yang dilakukan turun-temurun.

Walaupun jumlah tenaga kerja di sektor pertanian jumlahnya lebih banyak daripada jumlah tenaga kerja di sektor lain, ada kecenderungan penurunan dari tahun-tahun sebelumnya. Hal ini dapat dilihat secara sederhana dari karakteristik petani. Kecenderungan penurunan ini disebabkan paradigma berpikir masyarakat bahwa petani identik dengan pekerjaan bercocok tanam, tradisional membuat masyarakat muda tidak tertarik bekerja di bidang pertanian. Kecenderungan penurunan jumlah petani ini membuat upah tenaga kerja di bidang pertanian semakin tinggi.

Melihat kondisi umur petani responden yang sebagian besar berumur lebih dari 50 tahun, maka tingkat kesehatan petani juga menurun. Hal ini dapat menurunkan daya konsentrasi waktu bekerja yang akhirnya dapat mengakibatkan kecelakaan dalam bekerja. Kondisi ini dipersulit lagi dengan tidak adanya jaminan kesehatan yang memadai dan petani tidak mampu untuk membeli asuransi kecelakaan.

Dari sisi resiko institusional, sebagian petani responden beranggapan bahwa kebijakan pemerintah tidak terlalu berpihak kepada pertanian. Hal ini terlihat dari infrastruktur pendukung pertanian yang belum memadai seperti jalan dan irigasi. Di sisi lain, karena sebagian besar petani di Bogor adalah petani dengan tingkat pendidikan yang rendah, kemampuan untuk melakukan kesepakatan masih kurang. Namun, apabila terjadi kesepakatan antara

(15)

petani/kelompok tani dengan pengusaha, maka bargaining power selalu dalam kondisi merugikan petani.

C. Manajemen Resiko di Tingkat Petani

Di negara-negara berkembang, kegiatan manajemen resiko secara tradisional dilakukan sebelum (ex-ante) dan setelah (ex-post) resiko itu muncul.

(Siegel dan Alwang, 1999). Contoh strategi ex-ante mencakup akumulasi dari simpanan cadangan sebagai tabungan pencegahan dan diversifikasi pendapatan yang menghasilkan kegiatan melalui perubahan alokasi tenaga kerja (bekerja pada on farm dan usaha kecil off farm, dan migrasi musiman) atau berbagai praktek tanam (menanam tanaman yang berbeda, seperti varian tahan kekeringan, penanaman di lahan yang berbeda, tumpang sari, dan mengandalkan input beresiko rendah). Demikian pula, perusahaan dapat mengasuransikan diri melalui kapitalisasi tinggi dan diversifikasi kegiatan usaha.

Masyarakat secara kolektif mengurangi resiko cuaca dengan proyek irigasi dan pengolahan tanah konservasi yang melindungi tanah dan kelembaban. Contoh dari strategi ex-post adalah dengan petani melakukan pekerjaan yang bersifat off-farm, menjual hasil ternak atau asset pertanian lainnya, mengajak anak-anak bekerja sebagai buruh pertanian, dan meminjam uang kepada keluarga, teman atau tetangga (Hanan and Skoufias, 1998).

Manajemen resiko di tingkat petani di wilayah Bogor lebih difokuskan kepada pengurangan resiko produksi dan resiko keuangan. Hasil tabulasi manajemen resiko di tingkat petani berdasarkan Lampiran 4 dapat dilihat pada Gambar 10. Rata-rata pemberian skor pada skala 1-5 yaitu dari sangat penting (5) hingga tidak penting (1).

(16)

Gambar 10. Skor manajemen resiko berdasarkan persepsi petani tanaman pangan

Manajemen resiko di tingkat petani lebih mengutamakan pada pendekatan secara teknik ataupun praktis dalam pengendalian resiko pertanian. Untuk mengurangi resiko produksi atau penurunan jumlah produksi akibat pengaruh serangan hama dan penyakit, petani lebih cenderung untuk memonitor lebih dahulu serangan hama dan penyakit untuk mengidentifikasi hama dan penyakit.

Pengendalian yang dilakukan secara umum oleh petani adalah menyemprot dengan menggunakan pestisida atau insektisida. Penggunaan pestisida untuk mengendalikan hama dan penyakit yang menyerang tanaman pangan relatif sangat tinggi (Wigenasantana dan Waluyo, 1989). Selain itu petani juga melakukan penyiangan untuk menghilangkan gulma dari tanaman. Untuk mengurangi penggunaan pestisida dan insektisida yang mahal, maka petani melakukan diversifikasi usahatani dengan menanam lebih dari satu tanaman pada suatu lahan.

Perubahan cuaca menyebabkan keterbatasan air dirasakan sangat berkurang terutama pada saat musim kemarau ditambah lagi dengan kurangnya infrastruktur, menyebabkan petani harus melakukan pengairan dengan langsung mengambil dari sumber-sumber air. Antisipasi lain untuk mengatasi berkurangnya jumlah

(17)

produksi akibat resiko produksi, petani cenderung untuk menanam tanaman dalam kapasitas maksimum.

Salah satu ciri pertanian rakyat Indonesia adalah manajemen dan permodalan yang terbatas. Kebutuhan petani terhadap uang tunai (modal) untuk membiayai usahataninya sangat menonjol dalam kegiatan pembelian benih berlabel (mengingat kualitas benih sangat menentukan produktivitas usahatani), pupuk dan pestisida (obat-obatan pemberantas hama & penyakit).

Masalah keuangan merupakan salah satu masalah utama bagi petani.

Keperluan modal merupakan titik awal bagi petani untuk mengambil keputusan yang berhubungan dengan penggunaan kredit. Selama petani masih memiliki modal sendiri, petani cenderung untuk menghindari melakukan peminjaman atau kredit, kredit dari sumber manapun sangatlah beresiko. Petani lebih tertarik meminjam/melakukan kredit dari pemerintah dibanding kredit dari sumber yang lain/swasta. Namun kondisi di lapangan menyatakan kredit yang bersumber dari perorangan/swasta lebih disukai karena lebih mudah dan cepat didapat. (Sjah, Russell & Cameron, 2003).

Petani di wilayah Bogor sebagai petani umumnya di Indonesia tidak terlepas dari beban hutang untuk kehidupan sehari-hari dan untuk biaya produksi.

Hal utama yang dilakukan petani untuk mengatasi resiko keuangan adalah dengan menjaga agar tidak berhutang terlalu banyak, kemudian mencoba mengatur pengeluaran. Apabila biaya untuk keperluan sehari-hari dan biaya produksi masih kurang, sedangkan modal untuk memenuhi keperluan tersebut sedikit atau tidak ada, petani akan melakukan pinjaman. Pinjaman uang yang dilakukan untuk modal usaha tani atau untuk keperluan sehari-hari biasanya ditujukan kepada keluarga terdekat, tentangga dan secara umum kepada tengkulak. Sebagian besar petani responden meminjam uang kepada tengkulak dan dibayar saat panen, dimana tengkulak yang akan membeli hasil tersebut, tentunya dengan harga yang rendah.

Resiko pemasaran terutama harga produk merupakan salah satu masalah utama. Petani tidak mampu atau tidak mempunyai kekuatan untuk menentukan harga tanaman pangan. Untuk mengatasi hal tersebut petani umumnya mengikuti perkembangan harga produk pertanian secara umum. Untuk mengetahui kondisi

(18)

pasar terutama harga produk, Pemerintah telah memberikan layanan informasi harga yang dapat diakses oleh petani langsung melalui sms ke operator Dinas Agribisnis maupun Dinas Pertanian dan Kehutanan di Wilayah Bogor. Untuk mengimbangi pendapatan petani apabila tidak mendapatkan hasil atau harga yang memadai dalam menanam tanaman pangan, maka petani melakukan diversifikasi usaha terutama pada tanaman palawija dan hortikultura khususnya sayuran. Untuk meningkatkan pendapatan petani dan mempertahankan harga jual, sebagian petani mengikuti kelompok tani dan melakukan kesepakatan usaha dengan pengusaha.

Lahan pertanian yang kian hari semakin sempit tidak mencukupi kebutuhan rumah tangga petani yang bersangkutan. Untuk mendapatkan pendapatan yang cukup bagi keluarga. Petani responden umumnya melakukan pekerjaan tambahan di luar usahatani (off farm).

Pekerjaan-pekerjaan di luar sektor pertanian, seperti pekerjaan dalam industri rumah tangga atau industri kecil, sudah dikenal di daerah pedesaan sejak lama. Keberadaan pekerjaan di luar sektor pertanian ini penting artinya bagi rumah tangga petani. Hal ini berkaitan dengan sifat musim kegiatan di bidang pertanian. Pada umumnya keluarga petani membutuhkan pekerjaan di luar sektor pertanian untuk menambah penghasilannya. (Mubyarto, 1985).

Demikian pula halnya petani di wilayah Bogor, kepemilikan lahan pertanian semakin sempit karena berubah menjadi kawasan perumahan.

Kepemilikan lahan rata-rata petani responden adalah 0,5 Ha per kepala keluarga.

Melihat kenyataan yang demikian, pendapatan dari sektor pertanian tidak memungkinkan lagi sebagai penghasilan utama untuk memenuhi kebutuhan hidup. Karena itu bukan saja kaum laki-lakinya, kaum wanitanya pun dituntut untuk mencari nafkah di sektor off farm.

D. Analisis Faktor Lingkungan 1. Faktor Internal dan Eksternal

Berdasarkan hasil analisis lingkungan baik internal maupun eksternal usahatani tanaman pangan utama wilayah Bogor berupa faktor kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesses), serta faktor peluang (opportunities) dan ancaman (threats) yang berpengaruh terhadap pengembangan usahatani tanaman

(19)

pangan dan pembangunan pertanian di Bogor. Pada hasil analisis akan ditetapkan posisi usahatani saat ini dengan menggunakan matriks IFE dan EFE, kemudian akan dirumuskan strategik yang akan diterapkan dengan menggunakan analisis SWOT. Analisis faktor internal dan eksternal usahatani tanaman pangan wilayah Bogor akan diuraikan sebagai berikut.

a. Analisis Faktor Internal

Analisis lingkungan internal bertujuan untuk mengidentifikasi dan menjelaskan faktor-faktor yang menjadi kekuatan dan kelemahan bagi petani tanaman pangan di Bogor. Kekuatan yang diidentifikasi terdiri dari jumlah sumberdaya manusia pertanian yang melimpah, sumberdaya alam yang mendukung, adanya dukungan pemerintah lewat program-program atau kebijakan pertanian, petani merupakan pekerja keras dan memiliki pengalaman yang cukup, dan produk pertanian bersifat renewable.

Jumlah sumberdaya manusia pertanian yang banyak merupakan salah satu kekuatan pertanian Indonesia. Serapan sektor pertanian terhadap tenaga kerja di Bogor merupakan yang tertinggi dibanding sektor-sektor lain. Banyaknya jumlah tenaga kerja di sektor pertanian menjadi sebuah kekuatan dan juga sebuah peluang. Dengan sumber tenaga kerja yang melimpah ini menyebabkan upah tenaga kerja di sektor pertanian menjadi relatif lebih rendah dan sebagai sumber inventor dan inovator di bidang pertanian.

Indonesia memiliki sumberdaya alam yang melimpah, yang merupakan aset utama pengembangan agribisnis. Di antara lima pulau besar, pulau Jawa merupakan pulau terpadat penduduknya tapi juga memiliki lahan yang subur. Sumberdaya alam Indonesia sebagian besar dapat dikatakan mendukung kegiatan usahatani terutama wilayah Bogor. Dengan curah hujan yang tinggi dan lahan pertanian yang subur dapat mendukung pertanian tanaman pangan di wilayah Bogor.

Besarnya dukungan pemerintah dalam meningkatkan produksi tanaman pangan serta usaha pemerintah melalui program-program untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta petani dengan cara mengentaskan kemiskinan.

Pemerintah Indonesia dan pemerintah daerah selalu berkomitmen untuk membantu sektor pertanian lewat program-program maupun kebijakan. Kebijakan agribisnis di Bogor merupakan salah satu kekuatan yang penting karena arah

(20)

kebijakannya bertujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan dan pengembangan sektor pertanian berbasis agribisnis. Hal ini merupakan penjabaran dari misi pemerintahan Bogor, yakni mengembangkan perekonomian masyarakat dengan titik berat pada jasa dan pertanian yang mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya yang ada. Pengembangan pertanian yang terintegrasi dengan pengembangan masyarakat tani yang dihubungkan dengan seluruh aktivitas ekonomi dalam kerangka peningkatan produksi, daya saing dan nilai tambah komoditi pertanian untuk mengentaskan kemiskinan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa petani Indonesia adalah petani yang bekerja keras serta dapat dikatakan memiliki pengalaman yang cukup dalam pertanian.

Hal ini dapat kita perhatikan dari tabel yang memperlihatkan bahwa 80% petani responden memiliki pengalaman lebih dari 5 tahun bahkan sudah dilakukan sejak kecil.

Sifat alami dari produk pertanian adalah renewable. Sumberdaya renewable adalah semua organisme hidup yang menyediakan makanan, serat, obat-obatan dan sebagainya bagi manusia (Weiss, 1962). Hal ini merupakan salah satu kekuatan sektor pertanian.

Kelemahan pertanian antara lain adalah rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan petani, semakin menyempitnya lahan pertanian dan lemahnya infrastruktur. Selain itu juga lemahnya kelembagaan petani, lemahnya akses permodalan petani, lemahnya penguasaan informasi dan teknologi serta lemahnya manajemen kerja.

Lemahnya pengetahuan dan keterampilan petani menyebabkan rendahnya tingkat daya saing dan keunggulan kompetitif produk usahatani tanaman pangan di Bogor. Hal ini juga berdampak pada kelemahan mengelola pengembangan produk tanaman pangan yang memiliki prospek bisnis dan pertumbuhan pasar yang tinggi untuk menembus pasar domestik dan luar negeri.

Selain sempitnya luas lahan pertanian yang menyebabkan usahatani menjadi tidak efisien, status kepemilikan lahan juga menjadi masalah utama di Bogor.

Ketidakjelasan kepemilikan dan status lahan berpengaruh pada investasi dalam bidang pertanian. petani sangat sulit untuk mendapatkan modal dari perbankan tanpa ada agunan. Demikian juga para investor sulit untuk melakukan investasi

(21)

tanpa ada status dan kepemilikan lahan yang jelas. Rendahnya infrastruktur menjadi faktor penyebab usahatani tidak maksimal, irigasi yang tidak memadai, menyebabkan kelangkaan air di satu tempat dan banjir ditempat lain, sehingga penggunaan air semakin kompetitif. Tidak ada atau belum memadainya jalan usahatani merupakan masalah yang dihadapi di pedesaan, perlunya infrastruktur jalan sangat penting untuk meningkatkan efisiensi usahatani terutama dalam hal pengangkutan sarana produksi dan hasil panen.

Lemahnya kelembagaan dan posisi tawar petani yang berakibat pada panjangnya tata niaga dan belum adilnya sistem pemasaran. Kelembagaan petani, baik rendahnya kualitas SDM petani, tidak ada atau tidak berfungsinya lembaga petani dan lembaga pendukung pertanian di perdesaan telah melemahkan posisi tawar petani dan mempersulit dukungan pemerintah yang diberikan kepada petani.

Lembaga petani yang dapat menjadi alat untuk meningkatkan skala usaha untuk memperkuat posisi tawar petani sudah banyak yang tidak berfungsi. Lembaga pendukung untuk petani terutama lembaga penyuluhan pertanian sudah kurang berfungsi sehingga menurunkan efektivitas pembinaan, dukungan dan diseminasi teknologi dalam rangka meningkatkan penerapan teknologi dan efisiensi usaha petani.

Lemahnya permodalan petani dan akses terhadap permodalan itu sendiri untuk pembiayaan petani adalah masalah pada petani tanaman pangan terutama petani menengah kebawah. hal ini disebabkan karena masalah klasik, yaitu tidak adanya jaminan/agunan yang dipersyaratkan perbankan. Pada kondisi ini petani terpaksa berhubungan dengan rentenir/tengkulak yang sudah barang tentu dengan bunga yang sangat tinggi. Lemahnya permodalan pada pengembangan tanaman pangan karena tidak adanya lembaga keuangan yang khusus menangani pembiayaan pertanian, realisasi kredit ketahanan pangan (KKP) untuk para petani masih rendah dan tidak sesuai rencana, serta anggaran pembangunan nasional dan daerah untuk sektor pertanian masih rendah. Di lain pihak, keberpihakan lembaga keuangan formal terhadap sektor pertanian juga masih rendah. Bank lebih memperhatikan sektor industri. Tahun 2000, kredit perbankan kepada sektor pertanian hanya 6,2% sementara untuk industri 34,2%, perdagangan 14,4% dan jasa-jasa 37,4%. (Arifin, 2007).

(22)

Masih rendahnya penguasaan informasi dan teknologi oleh petani berakibat pada rendahnya efisiensi petani dalam hal memasarkan produk dan juga rendahnya produktivitas serta nilai tambah produk pertanian. Nilai tambah komoditas ini masih rendah karena pada umumnya petani menjual hasil pertanian dalam bentuk segar (produk primer) dan olahan sederhana. Perkembangan industri hasil pertanian belum optimal, yang ditunjukkan oleh rendahnya tingkat utilisasi industri hasil pertanian. Peningkatan nilai tambah produk pertanian melalui proses pengolahan memerlukan investasi dan teknologi pengolahan yang lebih modern. Kondisi ini diperberat oleh semakin tingginya persaingan produk dari luar.

Manajemen kerja petani di Indonesia umumnya masih dibilang kurang profesional. Hal ini dapat dilihat dari jadwal penanaman yang kadang melebihi jadwal awal musim tanam, tidak tepatnya penggunaan dosis pupuk ataupun obat pembasmi hama dan penyakit. Kurangnya manajemen kerja ini umumnya diakibatkan oleh pengetahuan petani yang minim ditambah lagi petani harus bekerja di luar usahatani untuk mendapatkan tambahan pendapatan bagi pemenuhan kehidupan sehari-hari keluarga.

b. Analisis Faktor Eksternal

Analisis lingkungan eksternal bertujuan untuk mengidentifikasi dan menjelaskan faktor-faktor yang menjadi peluang dan ancaman bagi usaha pertanian di Indonesia terutama pertanian tanaman pangan di Bogor. Peluang yang diidentifikasi terdiri dari produk tanaman pangan yang selalu diperlukan dan jumlanya semakin meningkat akibat pertambahan penduduk atau dengan kata lain besarnya pangsa pasar hasil kegiatan usahatani tanaman pangan, peningkatan nilai tambah produk melalui pengembangan agroindustri, kemitraan dengan berbagai pihak, pemanfaatan hasil riset dan teknologi, serta pemanfaatan kredit/asuransi pertanian. Ancaman yang dihadapi terdiri dari tingginya resiko produksi, lemahnya akses permodalan, fluktuasi harga produk pertanian, semakin meningkatnya produk impor dari luar serta monopoli distribusi oleh pengusaha besar.

Identifikasi dan penyusunan daftar peluang dan ancaman dilakukan melalui kuesioner serta wawancara. Sebagai suatu wilayah yang terdiri dari

(23)

wilayah dan kabupaten, pengembangan usahatani dilakukan dengan memanfaatkan sebesar-besarnya sumberdaya yang tersedia secara efektif dan efisien, diharapkan dapat menjawab berbagai resiko-resiko pertanian yang dihadapi. Dilihat dari peluang pangsa pasar tanaman pangan, posisi wilayah Bogor sangat strategis. Kawasan andalan botabek merupakan kawasan unggulan sektor industri manufaktur dan jasa yang mempunyai keterkaitan dengan sumberdaya lokal, berorientasi ekspor dan ramah lingkungan.

Disamping wilayah Bogor dipandang sebagai perwilayahan dan kabupaten yang luas, juga memiliki tingkat serapan pasar yang tinggi untuk komoditas tanaman pangan. Berlangsungnya liberalisasi perdagangan menjadi peluang bagi wilayah Bogor untuk menjadi pusat perdagangan regional hasil tanaman pangan.

Dengan daya dukung geografis, adanya migrasi dari wilayah luar, lancarnya transportasi dan aksesibilitas yang cepat serta pelayanan publik yang baik. Sejalan dengan perkembangan penduduk yang semakin padat, kebutuhan pangan juga semakin meningkat. Bogor dapat mengembangkan sistem rantai pasok terpadu dari hasil tanaman pangan sehingga mampu meningkatkan kualitas ketersediaan dan distribusi pangan ke berbagai daerah di sekitarnya.

Kondisi perekonomian yang sulit saat ini mendorong petani untuk semakin meningkatkan kemampuan serta keterampilan serta mendorong jiwa wirausaha dengan pengembangan produk tidak hanya di bidang usahatani tapi juga menyebar ke bidang pengembangan agroindustri. Lewat jiwa wirausaha diharapkan dapat memfasilitasi petani dalam penanganan pasca panen dan pengolahan.

Peluang terbukanya kerjasama ataupun kemitraan antara petani dengan pengusaha atau pihak lain akan membentuk berbagai pola kemitraan usahatani tanaman pangan yang dapat dilakukan di Bogor seperti pola kerjasama operasional usahatani tanaman pangan, pola kerjasama dalam penyediaan modal melalui koperasi, sistem kontrak pengadaan produk tanaman pangan, kemitraan antar kelompok tani dan atau pelaku usahatani lainnya, pola kemitraan perdagangan umum, serta pola kemitraan pemerintah daerah dan pelaku agribisnis lainnya.

(24)

Pemerintah Indonesia telah menyediakan kredit pertanian di tingkat subsidi untuk membantu petani memperluas kegiatan produksi. Petani kecil, dengan usahatani berpendapatan rendah merupakan usahatani mayoritas, petani ini memiliki akses hanya kepada peminjam dengan bunga tinggi, kredit non lembaga. Usahatani besar dan menengah, merupakan penerima utama kredit subsidi pemerintah. Dana dari pemerintah semakin sedikit dari sebelumnya dan membuatnya semakin sulit untuk meningkatkan sektor pertanian yang ditandai dengan peningkatan jumlah kredit pemerintah. Namun, redistribusi kredit antara kelompok tani mungkin dapat mencapai tujuan tersebut (Onal et al., 1995). Lewat kelembagaan petani pemanfaatan kredit pertanian baik dari pemerintah, bank maupun pihak lain yang memberikan bantuan modal bagi petani membuka peluang untuk meningkatkan kesejahteraan petani.

Namun, pemanfaatan kredit pertanian informal dikhawatirkan belum memadai. Sumaryanto dan Nurmanaf (2007) menyatakan bahwa Pendekatan konvensional melalui penerapan salah satu atau kombinasi strategi produksi, pemasaran, finansial dan pemanfaatan kredit formal diperkirakan kurang efektif.

Oleh karena itu diperlukan adanya suatu sistem proteksi yang sitstemik dan sistematis. Dalam konteks ini, pengembangan sistem asuransi pertanian formal khususnya untuk komoditas strategis layak dipertimbangkan. Bahkan secara normatif perlu diposisikan sebagai bagian dari strategi pembangunan pertanian jangka panjang.

Sementara itu, pengurangan resiko pertanian melalui asuransi formal belum merupakan praktek umum antara petani di Indonesia. Asuransi ini hanya dilakukan oleh perusahaan perkebunan besar, bukan petani secara individual (Montgomery et al., 2010). Bahkan, mengingat tingginya tingkat resiko di sektor pertanian, maka perusahaan asuransi yang ada di Indonesia masih belum berani untuk mengambil resiko untuk menawarkan asuransi pertanian di tingkat petani, yang sudah ada sekarang baru taraf asuransi pada perusahaan perkebunan terutama sawit dan karet. Oleh sebab itu sistem asuransi pertanian tanaman pangan terutama padi lebih sesuai dilaksanakan oleh sektor publik. Hasil penelitian Nurmanaf et al. (2007) menunjukkan bahwa secara finansial binis asuransi pertanian untuk usahatani padi hanya akan layak jika disubsidi. Dengan

(25)

catatan bahwa sejumlah asumsi yang dipergunakan dalam analisis finansial dapat dibuat lebih longgar.

Di Indonesia, resiko pertanian yang paling tinggi adalah resiko produksi.

Teridentifikasi bahwa ancaman yang paling mempengaruhi bagi produksi tanaman pangan adalah pengaruh perubahan iklim, bencana alam, serta serangan hama dan penyakit.

Meskipun pemerintah telah menyediakan skim perkreditan pertanian belum berarti bahwa akses permodalan petani terhadap lembaga keuangan sudah terjalin dengan kuat. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan memperlihatkan bahwa seluruh petani tidak memanfaatkan kredit pertanian yang ditawarkan, hal ini disebabkan oleh sistem lembaga keuangan formal yang dinilai berbelit dalam hal pengajuan kredit tersebut, sehingga petani lebih cenderung meminjam modal kepada tengkulak atau pengumpul produk.

Fluktuasi harga produk tanaman pangan merupakan ancaman bagi petani.

Dengan ketidak pastian harga produk tanaman, petani sulit mempertahankan kualitas dan kuantitas produk, biasanya produk pertanian belum layak panen terpaksa dijual karena harga produk tanaman yang tidak menentu. Petani akan menjadi pihak yang dirugikan karena biasanya harga akan rendah pada saat musim panen dan tidak adanya jaminan pasar dengan harga yang diinginkan petani, menjadi ancaman pada pertumbuhan pasar tanaman pangan.

Ancaman masuknya produk tanaman pangan dari luar daerah baik dari dalam negeri seperti produk dari kabupaten dan propinsi lain di luar Bogor maupun dari luar negeri terutama Cina, Vietnam dan Thailand, membuat harga produk pertanian tanaman pangan jatuh. Masuknya produk tanaman pangan yang tidak terkendali merupakan dampak liberalisasi perdagangan yang meminimumkan tarif perdagangan sehingga pasar produk tanaman pangan semakin terbuka bagi setiap negara, yang akan menyebabkan persaingan produk pertanian semakin ketat. Bila produk pangan di Bogor tidak mampu bersaing maka akan kehilangan pangsa pasar di tingkat domestik dan internasional.

Masalah distribusi juga masih menjadi kendala dalam pengembangan pertanian. Ketersediaan sarana dan prasarana merupakan kendala utama dalam kegiatan distribusi. Sarana dan prasarana yang disediakan oleh pemerintah masih

(26)

relatif sedikit, disamping kondisi infrastruktur yang kurang mendukung untuk kegiatan distribusi. Ketersediaan fasilitas pendukung belum memberikan dampak yang signifikan terhadap kemampuan distribusi di sektor pertanian. Jangkauan pemasaran yang relatif sempit merupakan indikator terhambatnya kegiatan distribusi yang dilaksanakan. Di sinilah kesempatan untuk pengusaha yang memiliki permodalan yang besar untuk melakukan monopoli distribusi.

2. Analisis Matriks IFE (Internal Faktor Evaluation Matrix) dan Matriks EFE (External Faktor Evaluation Matrix)

a. Analisis matriks IFE

Hasil analisis matriks IFE terdapat pada Tabel 6. Faktor yang menjadi kekuatan utama kegiatan usahatani di Bogor adalah dari banyaknya jumlah petani tanaman pangan di Bogor dan produk pertanian yang bersifat renewable.

Sementara itu kelemahan utama yang dimiliki adalah selain sempit dan status kepemilikan lahan yang tidak jelas dan lemahnya infrastruktur. Selain itu, faktor kelemahan lain yang perlu mendapat perhatian adalah juga pengaruh lemahnya pendidikan serta keterampilan petani di Bogor.

Tabel 6. Matriks IFE pertanian tanaman pangan di wilayah Bogor

Faktor internal Bobot Rating Skor

Kekuatan

A SDM sektor pertanian 0,094 4,000 0,375

B Dukungan sumberdaya alam 0,092 3,600 0,331

C Dukungan pemerintah 0,073 3,000 0,218

D Kerja keras dan pengalaman petani 0,091 3,400 0,309

E Produk pertanian yang renewable 0,092 3,800 0,349

Kelemahan

F Keterampilan & pengetahuan 0,080 1,400 0,112

G Lahan dan infrastruktur 0,086 1,200 0,104

H Kelembagaan petani 0,092 1,400 0,129

I Permodalan 0,083 1,400 0,116

J Informasi dan teknologi 0,103 1,200 0,123

K Manajemen kerja 0,115 2,000 0,231

TOTAL 1,000 2,395

(27)

b. Analisis matriks EFE

Hasil analisis matriks EFE terdapat pada Tabel 7. Faktor peluang utama yang dimiliki oleh pertanian di Bogor adalah pangsa pasar produk pertanian yang cukup besar akibat dari banyaknya jumlah penduduk yang diikuti oleh pemanfaatan hasil riset dan teknologi untuk pengembangan agroindustri. Faktor yang menjadi ancaman utama bagi program ini adalah produk impor dari luar dan besarnya resiko produksi.

Tabel 7. Matriks EFE pertanian tanaman pangan di wilayah Bogor

Faktor eksternal Bobot Rating Skor

Peluang

A Pangsa pasar 0,130 4,000 0,520

B Pengembangan agroindustri 0,097 2,600 0,251

C Kerjasama dengan berbagai pihak 0,106 3,000 0,317

D Riset dan teknologi 0,098 3,600 0,352

E Kredit/asuransi pertanian 0,071 2,400 0,171

Ancaman

F Resiko produksi 0,102 1,200 0,123

G Perdagangan bebas 0,099 1,400 0,138

H Fluktuasi harga produk pertanian 0,093 1,800 0,168

I Produk impor 0,093 1,200 0,112

J Monopoli distribusi oleh pengusaha besar 0,111 1,200 0,133

TOTAL 1,000 2,285

3. Analisis Matriks Internal-Eksternal (Internal-External Matrix)

Nilai IFE yang diperoleh kegiatan usahatani wilayah Bogor sebesar 2,395 dan nilai EFE sebesar 2,285 (Gambar 11). Perpaduan dari kedua nilai tersebut menunjukkan bahwa strategi pemasaran program ini terletak pada kluster V, yaitu sel stabilitas yang dapat dikelola dengan strategi mempertahankan dan memelihara (hold and maintain) melalui strategi penetrasi pasar dan pengembangan produk.

(28)

Gambar 11. Matriks IE kegiatan usahatani wilayah Bogor

E. Analisis SWOT

Penyusunan strategi pada matriks SWOT dilakukan sesuai dengan hasil yang diperoleh dari matriks IE, dimana posisi kegiatan usahatani tanaman pangan di wilayah Bogor terletak pada sel V, yaitu posisi stabil. Pencocokan faktor strategi internal dan eksternal dalam keadaan saat ini, lingkup strategi yang diterapkan tanpa mengubah arah strategi yang telah ditetapkan. Namun untuk pengembangan program ke depan dapat dilakukan dengan penetrasi pasar dan pengembangan produk pertanian tanaman pangan.

Berdasarkan hasil evaluasi matriks I-E, disusunlah matriks SWOT yang menghasilkan empat tipe strategi yang dapat dilakukan, yaitu strategi S-O, W-O, S-T, dan W-T. Hasil analisis SWOT dapat dilihat pada Tabel 8 berikut.

Skor Total EFE= 2,395

I II III

IV V VI

VII VIII IX

Kuat

Tinggi

Rataan

Rataan

Rendah

Lemah 1,0

4,0 3,0 2,0

1,0 2,0 3,0 Skor Total

EFE= 2,285

(29)

Tabel 8. Matriks SWOT

Faktor Internal

Faktor Eksternal

Kekuatan (S)

1. SDM pertanian 2. Sumberdaya alam yang

mendukung 3. Didukung kebijakan

pemerintah

4. Petani memiliki kerja keras dan pengalaman yang cukup 5. Produk pertanian renewable

Kelemahan (W)

1. Pendidikan dan skill

2. Lahan pertanian dan infrastruktur 3. Kelembagaan petani

4. Akses permodalan 5. Informasi dan teknologi 6. Manajemen kerja

Peluang (O)

1. Besarnya pangsa pasar 2. Pengembangan agroindustri 3. Kerjasama dengan berbagai

pihak

4. Hasil riset dan teknologi 5. Kredit / Asuransi pertanian

Strategi S-O

a. Penguatan pengembangan agribisnis (S1, S2, S3, S4, S5, O1, O2, O3,O4, O5,)

b. Mendorong investasi di sub sektor agribisnis tanaman pangan (S1, S2, S3, S4, S5, O1, O3,O4, O5,)

Strategi W-O

d. Pembinaan Terpadu dan Pengembangan Kemitraan (W1, W4,W5, W6, O1, O2, O3,O4, O5)

Ancaman (T)

1. Resiko produksi 2. Liberalisasi

perdagangan/pasar bebas 3. Fluktuasi harga produk

pertanian

4. Produk impor dari luar negeri

5. Monopoli distribusi oleh pengusaha besar

Strategi S-T

c. Meningkatkan konsistensi pemerintah dalam kebijakan pertanian (S1, S3, T1, T2, T3, T4, T5)

Strategi W-T

e. Intensifikasi dan diversifikasi tanaman pangan (W1, W2,W3, W4,W5, T1,T2,T3, T4, T5) f. Melindungi hak pelaku agribisnis

melalui legislasi dan regulasi (W2,W3,W4, T1,T2,T3, T4, T5)

Alternatif strategi terapan yang muncul dari matriks SWOT terdiri dari 6 jenis alternatif strategi, yaitu:

a. Penguatan Pengembangan agribisnis (S1, S2, S3, S4, S5, O1, O2, O3,O4, O5,) Strategi pengembangan agribisnis pertanian tanaman pangan merupakan alternatif strategi strengths-opportunities (S-O). Jumlah penduduk wilayah Bogor yang mencapai lebih dari 5 juta jiwa ditambah lagi banyaknya jumlah penduduk Indonesia merupakan peluang pangsa pasar produk-produk pertanian. Banyaknya jumlah penduduk di sektor pertanian dan didukung oleh sumberdaya alam wilayah Bogor berupa tanah yang subur dan banyaknya persediaan air merupakan modal penting untuk menciptakan peningkatan produksi pertanian. Namun peningkatan

(30)

produksi pertanian akan sia-sia apabila tidak diikuti oleh peningkatan pendapatan petani.

Penguatan pengembangan agribisnis tanaman pangan merupakan kebutuhan kebijakan distribusi produksi yang diarahkan untuk mencapai pelaksanaan pemasaran yang optimal. Pemerintah harus berorientasi pasar dan meningkatkan level investasi pada infrastruktur perdesaan, riset dan penyuluhan pertanian, pendidikan dan kesehatan (Rosengrant dan Hazell, 2001).

b. Mendorong investasi di sub sektor agribisnis tanaman pangan (S1, S2, S3, S4, S5, O1, O3,O4, O5,)

Strategi yang masih tergolong dalam kategori strategi strengths- opportunities (S-O) adalah mendorong investasi di bidang tanaman pangan.

Dukungan investasi diperoleh dengan memanfaatkan peluang kerjasama dengan berbagai pihak melalui kekuatan dukungan pemerintah berupa kebijakan pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Kerjasama dengan berbagai pihak luar tentang kelebihan berinvestasi di bidang tanaman pangan di Bogor akan berpengaruh terhadap seluruh aktivitas agribisnis di wilayah Bogor.

Pengembangan agribisnis di wilayah Bogor perlu mengantisipasi hal ini terutama jika bergerak kepada pengembangan value added product.

Kondisi perekomian saat ini memberikan peluang yang besar terhadap investasi ke sektor pertanian. Dampak krisis finansial global merupakan momentum tepat menarik investasi ke sektor pertanian. Mengingat permintaan pasar dunia terhadap komoditas-komoditas subsektor tanaman pangan seperti jagung, padi dan kedelai terus meningkat, sehingga banyak pihak asing yang tertarik untuk berinvestasi, kondisi ini perlu digalakkan. Namun, seringkali peluang-peluang tersebut terkendala oleh ketidakjelasan hukum dan peraturan yang mendukung investasi serta ketidakjelasan regulasi-regulasi terutama yang menyangkut status lahan.

(31)

c. Meningkatkan konsistensi pemerintah dalam kebijakan pertanian (S1, S3, S4, T1, T2, T3, T4, T5)

Strategi meningkatkan konsistensi pemerintah dalam kebijakan pertanian merupakan perpaduan antara strategi strengths-threats (S-T). Kebijakan pemerintah merupakan faktor yang sangat berperan dalam pengembangan agribisnis. Berbagai bentuk upaya pengembangan agribisnis akan mengalami kendala dan hambatan tanpa adanya dukungan kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah di sektor pertanian sudah banyak dikeluarkan, namun di sisi lain muncul berbagai permasalahan, bahwa kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan dirasa kurang konsisten penerapannya dan kurang efektif. Sebagai indikator adalah bahwa kebijakan pemerintah ternyata belum dinikmati oleh petani.

Sosialisasi mengenai kebijakan pemerintah dirasa masih sangat kurang (Suyatno, 2008).

d. Pembinaan terpadu dan pengembangan kemitraan (W1,W2, W3,W4,W5, W6, O1, O2, O3,O4, O5)

Strategi pembinaan terpadu dan pengembangan kemitraan yang dilatarbelakangi oleh lemahnya tingkat pendidikan dan keterampilan petani, diikuti oleh lemahnya akses terhadap permodalan, penguasaan informasi dan teknologi serta kurangnya manajemen kerja. Strategi ini merupakan jenis strategi weaknesses-opportunities (W-O) yaitu strategi untuk memperkecil kelemahan dengan memanfaatkan peluang yang ada. Strategi ini muncul karena adanya peluang besarnya pangsa pasar untuk produk pertanian, baik mentah maupun olahan. Selain itu terbukanya peluang kerjasama dengan berbagai pihak terutama swasta, serta pemanfaatan kredit lewat lembaga keuangan seperti bank, yang dengan memanfaatkan hasil riset dan teknologi dari perguruan tinggi mendorong petani melakukan kegiatan agroindustri untuk memberikan nilai tambah pada produk pertaniannya. Dari sisi internal pertanian di Bogor memiliki kelemahan utama yaitu pendidikan, keterampilan dan permodalan. Jika tidak ada usaha untuk melakukan peningkatan kualitas pendidikan serta keterampilan petani dan usaha peningkatan jumlah modal petani, maka pertanian di Bogor akan sulit berkembang. Oleh sebab itu perlunya pola pembinaan terpadu setiap subsistem

(32)

agribisnis, yaitu pola pembinaan yang mensinergikan subsistem penyedia sarana produksi, usahatani atau kegiatan on farm (produksi primer), pengolahan (produksi sekunder), jasa dan pengolahan (produksi tersier), serta pasar atau konsumen, baik dalam dan luar negeri. Keberhasilan dari pembinaan terpadu terhadap pelaku dari sistem agribisnis sangatlah ditentukan oleh adanya koordinasi dan komunikasi antar subsistem dan berfungsinya pembinaan.

Pengembangan kelembagaan kemitraan usaha yang saling menguntungkan serta menerapkan manajemen yang handal perlu dilakukan untuk mengurangi resiko pertanian terutama resiko pasar dan resiko keuangan. Adapun komoditas pertanian tanaman pangan dapat dijadikan sebagai sumber akselerasi untuk menumbuhkan subsektor agribisnis karena sifat permintaan yang elastis terhadap pendapatan. Untuk memenuhi permintaan pasar dan preferensi konsumen, permasalahan, efisiensi, produktivitas dan kualitas harus mendapat perhatian.

Salah satu solusinya adalah dengan membangun kelembagaan kemitraan usaha (Febriyansyah, 2009).

e. Intensifikasi dan diversifikasi tanaman pangan (W1,W2,W3,W4,W5, W6, T1,T2,T3, T4, T5)

Dengan kelemahan berupa kurangnya permodalan untuk melakukan usahatani yang diikuti berkurangnya luas lahan produktif tanaman pangan akibat konversi lahan serta kurangnya infrastruktur, ditambah rendahnya nilai jual produk yang menyebabkan banyak petani tanaman pangan yang beralih komoditas usahatani dari tanaman pangan ke non tanaman pangan maka diperlukan suatu strategi untuk memperkecil kelemahan tersebut. Strategi tersebut juga harus mampu semaksimal mungkin menghindari ancaman-ancaman yang ada berupa resiko produksi, monopoli distribusi produk oleh pengusaha, fluktuasi harga produk pertanian, adanya produk impor, dan liberalisasi perdagangan/pasar bebas.

Strategi ini termasuk kategori weaknesses-threats (W-T). Strategi yang cocok untuk menghadapi kondisi seperti ini adalah strategi intensifikasi dan diversifikasi tanaman pangan yang dikuatkan dengan program diversifikasi pangan.

Intensifikasi bertujuan meningkatkan produksi tanaman pangan dalam rangka menunjang pelestarian swasembada beras disamping bahan pangan

(33)

lainnya.khususnya produksi komoditas prioritas nasional yang meliputi komoditi padi, jagung dan kedelai disamping juga komoditas prioritas daerah: ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang hijau, sayur-sayuran serta buah-buahan.

Diversifikasi tanaman pangan dapat dikatakan berhasil bila masyarakat dapat mengkonsumsi makanan non beras seperti jagung, kedelai, ubi kayu, ubi jalar dan komoditi lainnya dalam upaya pelestarian swasembada pangan.

Kebijaksanaan ini ditempuh untuk memenuhi kebutuhan akan bahan makanan juga bertujuan untuk meningkatan pendapatan petani serta memperkecil resiko bagi petani jika terjadi kegagalan panen atau terjadi pemerosotan harga pada salah satu komoditi.

f. Melindungi hak pelaku agribisnis melalui legislasi dan regulasi (W2,W3,W4, T1,T2,T3, T4, T5)

Strategi yang masih tergolong dalam kategori strategi weaknesses-threats (W-T) adalah melindungi hak pelaku agribisnis melalui legislasi dan regulasi.

Banyaknya kelemahan petani menjadikan ancaman-ancaman dari luar akan mudah melumpuhkan pembangunan pertanian di Indonesia. Kelemahan- kelemahan petani tersebut juga menyebabkan pengendalian resiko pertanian menjadi tidak maksimal. Oleh sebab itu, dalam hal ini pemerintah dituntut bertanggung jawab melalui peran konkrit untuk melindungi hak kepemilikan pelaku agribisnis (kecil – menengah – besar) melalui legislasi dan regulasi termasuk menjamin hak-hak dalam kontrak agribisnis antar pelaku (tanah, pekerja, pemasaran, supervisi pembiayaan) (Jurnal Ekonomi Rakyat, 2007).

Melindungi hak-hak pelaku agribisnis terutama petani tidak hanya dalam hal status kepemilikan lahan, namun juga kemudahan dalam akses permodalan, perlindungan produksi tanaman lewat asuransi hingga kebijakan dalam harga produk pertanian untuk menguatkan kesejahteraan rumah tangga petani.

F. Alternatif Strategi 1. Analisis QSPM

Tahap akhir dari analisis SWOT adalah penentuan urutan alternatif strategi sebagai strategi prioritas yang dilakukan dengan menggunakan alat analisis

(34)

Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM) berdasarkan pengembangan David (2006). Faktor strategik internal dan eksternal diformulasikan dengan menentukan tingkat pengaruh setiap strategi yang ada dari hasil SWOT kemudian dikalikan dengan bobot masing-masing faktor.

Berdasarkan hasil perhitungan matriks QSP sebagaimana terlampir dalam Lampiran 7, diperoleh urutan strategi penanganan resiko-resiko pertanian untuk peningkatan pembangunan pertanian. Penilaian daya tarik strategis menunjukkan bahwa strategi paling menarik untuk diterapkan adalah strategi meningkatkan konsistensi pemerintah dalam kebijakan pertanian.

Gambar 12. Urutan strategi prioritas berdasarkan QSPM

Berdasarkan hasil QSPM maka urutan strategi prioritas adalah sebagai berikut :

a) Meningkatkan konsistensi pemerintah dalam kebijakan pertanian.

b) Penguatan pengembangan agribisnis.

c) Mendorong investasi di sektor agribisnis tanaman pangan.

d) Intensifikasi dan diversifikasi tanaman pangan.

e) Pembinaan terpadu dan meningkatkan kemitraan.

f) Melindungi hak pelaku agribisnis melalui legislasi dan regulasi.

(35)

2. Implikasi hasil kajian

Implikasi hasil kajian perlu diterapkan dan dilaksanakan agar upaya menangani resiko pertanian tanaman pangan di wilayah Bogor dapat tercapai.

Manajemen resiko pertanian melibatkan semua orang, baik petani, stakeholder, akademisi, kalangan pemerintah, pengusaha dan masyarakat pada umumnya.

Implikasi yang harus dilakukan oleh pelaku-pelaku di sektor pertanian dalam penanganan yang tepat terhadap resiko pertanian untuk mencapai tujuan dari pembangungan pertanian. Implikasi dari hasil kajian yang telah dihasilkan, harus diwujudkan dalam berbagai aspek, yaitu :

a. Aspek teknik ekonomi

Implikasi penerapan strategi pengendalian resiko pertanian dalam aspek teknis ekonomi di tingkat petani adalah petani harus mampu bekerjasama dalam bentuk wadah kelembagaan petani yang nantinya akan mengembangkan kerjasama dengan pihak pemerintah lewat ekstensi dan pihak swasta lewat kemitraan usaha atau contract farming. Lewat kelembagaan ini, petani harus bisa memanfaatkan hasil riset dan pengembangan teknologi di sektor pertanian untuk peningkatan produksi usahatani maupun untuk peningkatan pendapatan rumah tangga petani.

Di tingkat pemerintah, harus dimulainya langkah untuk melakukan Good Governance Practices. Hal ini tidak lain untuk menghindari tumpang tindih kebijakan yang tidak saling mendukung dan menciptakan koordinasi yang terarah antara departemen dalam pemerintahan.

Untuk melindungi kepentingan dan hak-hak pelaku agribisnis, pemerintah dituntut untuk mengeluarkan kebijakan yang melindungi dan menjamin hak-hak tersebut melalui legislasi dan regulasi.

b. Aspek sosial

Dengan adanya pembinaan terpadu dan pengembangan kemitraan untuk penguatan kelembagaan petani, maka diharapkan akan tercipta kegiatan agroindustri yang mendukung pengembangan agribisnis tanaman pangan. Hal ini bukan hanya akan berdampak pada peningkatan pendapatan petani namun juga akan meningkatakan serapan tenaga kerja dari on farm maupun off farm yang menggunakan bahan baku dari produk pertanian tersebut.

(36)

c. Aspek lingkungan

Analisis lingkungan merupakan salah satu strategi intensif yang harus dilakukan agar pelaku-pelaku di sektor pertanian mampu menilai pada posisi mana kondisi pertanian saat ini. Perubahan-perubahan lingkungan perlu diantisipasi karena sering kali terjadi perubahan yang tidak terduga dan dapat menyebabkan kondisi pertanian berada dalam posisi yang semakin lemah dan kesulitan.

Eksistensi pertanian itu sendiri juga harus ditunjukkan dengan kinerja pelaku-pelaku di sektor pertanian untuk saling meningkatkan kinerja, meningkatkan koordinasi dan saling mendukung sehingga tercipta kerjasama yang maksimal dalam menghadapi resiko-resiko pertanian yang ada.

Gambar

Gambar 3. Peta daerah kajian
Gambar 4. Luasan penggunaan lahan wilayah Bogor
Tabel 5. Karakteristik responden
Gambar 6. Pola tanam yang dilaksanakan petani di wilayah Bogor
+7

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Hasil karakterisasi asam humat hasil ekstraksi cair-cair tanah gambut fibrik dan hemik dengan menggunakan FTIR menunjukkan adanya kesamaan gugus fungsi dengan asam

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh faktor fundamental yaitu BI rate, inflasi, nilai tukar Rupiah/Dolar, Earning Per Share (EPS) dan Price Earning Ratio

Misalnya, jika kita tahu bahwa sebuah pasar akan mengalami kegagalan sehingga tidak menjadi efisien karena keterbatasan informasi, untuk membangun campur tangan pemerintah yang baik

Deskripsi dari jawaban responden menjelaskan bahwa dari tiga indikator nilai pelanggan terdapat satu indikator yang dominan yaitu responden dalam melakukan pembelian produk

(3) Dalam menjalankan kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Ketua dibantu pengelola keuangan Sekolah Tinggi wajib menatausahakan dan mempertanggungjawabkan

300 Ruang kerja perkantoran, ruang sekolah dengan ketepatan visual tinggi, ruang pusat perhatian gedung ibadah, ruang pemeriksaan di rumah sakit, penerangan laboratorium, dan

Skripsi yang berjudul: Perbandingan Hasil Belajar Matematika dengan Model Pembelajaran Kooperatif Missouri Mathematics Project (MMP) dan Pembelajaran Konvensional pada

Hendra Wijaya, MM., selaku Sekretaris Jurusan Akuntansi Fakultas Bisnis Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya dan selaku Dosen Pembimbing penulis yang sudah