• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEHIDUPAN KEAGAMAAN KAUM SANTRI WARIA DI PESANTREN WARIA AL-FATAH SENIN-KAMIS NOTOYUDAN YOGYAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEHIDUPAN KEAGAMAAN KAUM SANTRI WARIA DI PESANTREN WARIA AL-FATAH SENIN-KAMIS NOTOYUDAN YOGYAKARTA"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

KEHIDUPAN KEAGAMAAN KAUM SANTRI WARIA DI PESANTREN WARIA AL-FATAH SENIN-KAMIS NOTOYUDAN

YOGYAKARTA Oleh: Titin Nurhidayati1

Abstrak: Tekanan sosial yang begitu keras membuat kaum waria merasa tersisih dari lingkungan social, sementara secara alamiah mereka ingin hidup berdampingan sebagai manusia biasa. Keterasingan itu menciptakan kehidupan mereka secara mengelompok dan kemudian munculah nilai dan solidaritas tersendiri yang pada akhirnya melahirkan sebuah sub kebudayaan waria. Bahasa, perilaku dan pola tinggal yang khas merupakan bagian dari terbentuknya budaya mereka. Persoalan yang paling mendasar dalam melihat dunia mereka adalah dua sisi kehidupan, antara kehidupan jalanan (pelacur, pengamen) dan kehidupan religius. Bagian terakhir menarik perhatian mengapa kaum waria memilih tinggal di Pesantren meskipun hanya setiap hari senin dan kamis.

Karenanya, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kehidupan kaum waria di Pesantren dan apa fungsi pesantren bagi kaum waria.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan keagamaan di Pondok Pesantren waria Al-Fatah Senin-Kamis Notoyudan Yogyakarta lebih diarahkan ke proses penguatan atau pemberdayaan mental agar senantiasa dapat membudayakan diri mereka dengan nilai-nilai ibadah. Keberadaan Pondok Pesantren ini sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam non-formal bagi waria, untuk menfasilitasi dalam menyalurkan kebutuhan mereka akan beribadah kepada Allah SWT, sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan sebagai media untuk mendapatkan pengakuan eksistensi dirinya sebagai bagian dari masyarakat pada umumnya, tanpa adanya sikap diskriminasi dan marjinalisasi.

Kata Kunci: Pesantren Waria, Kegiatan Keagamaan Pendahuluan

Yogyakarta sebagai kota pelajar (pendidikan) dan budaya, memiliki mobilitas sosial dan ekonomi tinggi, meniscayakan adanya dialektika antara pendidikan Islam dengan realitas sosial yang ada di dalamnya. Salah satu wujud realitas sosial yang terjadi, adanya

1 Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Falah As-Sunniyyah Kencong Jember.

(2)

JURNAL FALASIFA. Vol. 1 No.1 Maret 2010

komunitas waria, sebuah kaum minoritas yang hidup di tengah tekanan sosial. Sebagai sebuah kepribadian, keberadaan waria merupakan proses yang panjang, baik secara individual maupun secara sosial. Secara individual, lahirnya perilaku waria tidak terlepas dari proses/dorongan dalam dirinya, bahwa fisik mereka tidak sesuai dengan kondisi psikis. Hal ini menimbulkan konflik psikologis dalam dirinya. Mereka mempresentasikan perilaku yang jauh berbeda dengan laki-laki normal, tetapi tidak sebagai perempuan yang normal pula. Permasalahannya tidak menyangkut masalah moral dan perilaku yang dianggap tidak wajar, namun merupakan dorongan seksual yang sudah menetap dan memerlukan penyaluran. 2

Eksistensi kaum waria sering dianggap sebagai warga negara kelas dua dibandingkan dengan manusia lainnya. Ini terlihat di beberapa negara, baik Barat maupun Timur, yang masih menempatkan mereka sebagai warga kelas rendah sehingga sering mengalami terjadinya diskriminasi di masyarakat. Keberadaan mereka merupakan problem yang mempunyai dimensi sosial, kultural, dan keagamaan dalam sebuah masyarakat. 3

Waria seringkali dihadapkan pada dua sisi yang berbeda. Di satu sisi seringkali dihadapkan dengan praktik seks bebas (pelacuran) dan di sisi lain mereka juga mempunyai kesadaran untuk hidup secara religius. Pada hakekatnya, mereka adalah manusia, dan manusia merupakan makhluk religius (homo religius) yang memiliki hak dan kewajiban untuk mendekatkan diri kepada Sang Penciptanya. Selain itu, mereka juga memiliki hak untuk melakukan interpretasi agama dan memaknai agama. Bagi sebagian kaum waria yang menyadari hal tersebut, ada tuntutan untuk mencari pilihan model pendidikan alternatif, yakni pesantren. Oleh karena itu, salah satu mantan ketua waria Yogyakarta berinisiatif mendirikan “Pondok Pesantren Waria Al-Fatah Senin-Kamis” di daerah Notoyudan Yogyakarta sebagai wadah bagi kaum waria untuk mempelajari ilmu-ilmu agama (Islam).

Eksistensi pesantren di masyarakat memiliki reputasi cukup baik, karena pesantren memiliki kriteria konsep pembangunan yang jelas yaitu pembangunan kemandirian, mentalitas, kelestarian, kelembagaan dan etika4. Pendidikan keagamaan dan realitas sosial merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.

Karena pendidikan keagamaan mempunyai tanggungjawab

2 Kartono, Kartini. 1989. Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual. Bandung:

Mandar Maju. Hlm. 257.

3 Atmojo, Kemala. 1987. Kami Bukan Lelaki: Sebuah Sketsa Kehidupan Kaum Waria.

Jakarta: LP3ES. Hlm. 4-10.

4 Rofik A. Dkk. 2005. Pemberdayaan Pesantren, menuju Kemandirian dan Profesionalisme Santri dengan Metode daurah Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pesantren. Hlm. 2

(3)

terhadap segala persoalan yang terjadi di realitas sosial dengan berupaya rekontekstualisasi teks ajaran Islam dengan konteks sosial yang melingkupinya, sehingga teks tidak terlepas dari konteksnya, yaitu masa kini (nowness) dan di sini (hereness).

Dua sisi kehidupan waria, antara kehidupan jalanan (pelacur, pengamen) dan kehidupan religius inilah yang menjadi menarik perhatian penulis untuk melihat secara kritis dan lebih mendalam tentang kehidupan mereka di Pondok Pesantren Waria Al-Fatah Senin Kamis di Notoyudan Yogyakarta, serta fungsi pesantren bagi kaum waria. Oleh karena itu dapat dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana kehidupan kaum waria di Pesantren Waria?

2. Apa motif dan arti pesantren bagi kaum waria?

Kerangka Konseptual 1. Pesantren Waria

Kata “pesantren” berasal dari kata santri, dengan awalan pe- dan akhiran –an, yang berarti tempat tinggal santri.5 Pesantren merupakan bagian dari pendidikan nasional yang telah ada sebelum kemerdekaan dan bahkan disinyalir sebagai lembaga pendidikan yang memiliki kekhasan, keaslian (indegeneous) Indonesia.6 Ziemeh menegaskan bahwa asal etimologi dari pesantren adalah pe-santri-an yang berarti

“tempat santri”.7 Selanjutnya pondok pesantren diartikan oleh Haidar Putra Daulay sebagai:

“Suatu lembaga pendidikan Islam Indonesia yang bertujuan untuk mendalami ilmu agama islam dan mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian, atau disebut tafaqquh fi ad-din dengan menekankan pentingnya moral dalam hidup bermasyarakat, yang berorientasi memberikan pendidikan dan pengajaran keagamaan.”8

Sementara Clifford Geertz berpendapat bahwa kata santri mempunyai arti luas dan sempit. Dalam arti sempit santri adalah seorang murid satu sekolah agama yang disebut pondok atau pesantren. Oleh sebab itu, perkataan pesantren diambil dari perkataan santri yang berarti tempat untuk para santri. Dalam arti luas, santri adalah bagian dari penduduk

5 Dhofier, Zamakhsyari. 1992. Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES. Hlm. 18.

6 Ibid. Hlm. 22

7 Ziemek, Manfred. 1986. Pesantren dalam Perubahan Sosial. Jakarta:P3M.Hlm. 16.

8 Daulay, Haidar Putra. 2001. Historisitas dan Eksistensi Pesantren, Sekolah dan Madrasah. Yogyakarta: Tiara Wacana. Hlm. 8-9.

(4)

JURNAL FALASIFA. Vol. 1 No.1 Maret 2010

Jawa yang memeluk Islam secara benar-benar, bersembahyang, pergi ke masjid dan berbagai aktivitas lainnya.9

Waria merupakan akronim dari wanita pria, yaitu orang yang secara fisik adalah laki-laki normal, namun secara psikis ia merasa dirinya adalah perempuan. Akibatnya, perilaku yang mereka tampilkan dalam kehidupan sehari-hari cenderung mengarah kepada perempuan, baik dari cara berjalan, berbicara maupun berdandan (make up).10

Dengan demikian bahwa kata pesantren waria memiliki makna substantif sebagai tempat bagi santri (dalam hal ini adalah waria) untuk memahami dan mendalami ilmu-ilmu agama, serta mengamalkan ilmu-ilmu tersebut dalam kehidupan sehari-hari, sehingga ilmu-ilmu agama tersebut mampu menjadi way of life atau dengan kata lain, disamping sebagai sebuah lembaga pendidikan, pesantren juga memiliki peran sebagai sebuah lembaga pemberdayaan masyarakat.

Jaelani (1980) mengatakan bahwa dalam kenyataan penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran di pondok pesantren dapat digolongkan tiga bentuk yaitu:

a) Yang dimaksud pondok pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam pada umumnya yang diberikan dengan cara non klasikal (sistem bandungan dan sorogan). Di mana seorang kyai mengajar santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama-ulama besar sejak abad pertengahan, sedang para santri biasanya tinggal dalam pondok/asrama dalam pesantren tersebut. b) Yang dimaksud dengan pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada dasarnya sama dengan Pondok Pesantren tersebut di atas tetapi para santrinya tidak disediakan pemondokan di kompleks Pesantren, namun tinggal tersebar di seluruh penjuru desa sekeliling pesantren (santri kalong), di mana cara dan metode pendidikan dan pengajaran agama Islam diberikan dengan sistem “Waton” yaitu para santri datang berduyun- duyun pada waktu-waktu tertentu (umpama tiap hari Jum‟at, Minggu dan sebagainya), c) Pondok Pesantren dewasa ini adalah merupakan lembaga gabungan antara sistem pondok dan pesantren yang memberikan pendidikan dan pengajaran agama islam dengan sistem bandongan, sorogan, ataupun Watonan. Dengan cara para santri disediakan pondokan atau merupakan santri kalong yang dalam istilah pendidikan Pondok Modern memenuhi

9 Geertz, Clifford. 1983. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta:

Dunia Pustaka Jaya. Hlm. 268.

10 Koeswinarno. 2004. Hidup sebagai Waria. Yogyakarta: LkiS. Hlm. 1.

(5)

kriteria pendidikan non formal berbentuk Madrasah dan bahkan sekolah umum dalam berbagai bentuk tingkatan dan aneka kejuruan menurut kebutuhan masyarakat masing-masing.11

Namun demikian ketiga bentuk tersebut kesemuanya masih memegang ciri-ciri khusus pondok pesantren, yaitu: 1) ada kyai yang mengajar dan mendidik, 2) ada santri yang belajar dari kyai, 3) ada masjid, 4) ada pondok/asrama tempat para santri bertempat tinggal.

Peran dan fungsi pesantren dapat dilihat secara nyata di masyarakat. Baik peran itu berupa usaha dalam bidang pendidikan maupun peran yang tercermin dalam diri para kiai pesantren yang sangat diakui eksistensinya di berbagai lapisan masyarakat. Tujuan pendidikan pesantren bukanlah untuk mengejar kekuasaan, uang dan keagungan duniawi, tetapi ditanamkan kepada para santri bahwa belajar adalah semata- mata kewajiban dan pengabdian kepada Tuhan.12 Perjalanan panjang lembaga pendidikan ini telah banyak memberikan kontribusi positif, selain sosial keagamaan juga bagi pencerahan kehidupan bangsa. Namun, pesantren dalam sejarahnya pernah mengalami kemandegan. Watak emansipatorik hanya sebatas keberdayaan internal dan pendidikan. Baru kemudian setelah tahun 1970-an tampak adanya perubahan-perubahan dilingkungan pesantren. 13 Perubahan yang dimaksud membawa harapan untuk mendorong pesantren menjadi elemen penting dalam pembangunan melalui peran emansipatoriknya.

2. Waria dan Konstruksi Sosial

Waria dalam bahasa Arab disebut dengan khuntsa, dengan akar kata Al-Khans, bentuk jamaknya khuntsa yang artinya lembut atau pecah. Dari arti di atas, maka khuntsa memiliki pengertian seseorang yang diragukan jenis kelaminnya, apakah laki-laki atau perempuan, karena memiliki alat kelamin laki-laki atau perempuan secara bersamaan ataupun tidak memiliki alat kelamin sama sekali, baik alat kelamin laki-laki atau perempuan.14

Perbedaan kelamin secara biologis memang berasal dari perbedaan karakter, namun perbedaan-perbedaan tersebut dicampur dengan perbedaan yang diproduksi oleh faktor sosial.

11 Jaelani, Timur. 1980. Peningkatan Mutu Pendidikan dan Pembangunan Perguruan Agama. Jakarta: Dermaga.

12 Dhofier. Opcit. Hlm. 41

13 Ziemek, Opcit. Hlm. 250.

14 Munawwir, KH. A. Warson. 1997. Kamus al Munawwir. Surabaya: Pustaka Progresif. Hlm. 370-371.

(6)

JURNAL FALASIFA. Vol. 1 No.1 Maret 2010

Faktor sosial itulah yang agaknya jauh lebih dominan dibanding kelamin secara biologis dalam peran-peran sosial.15 Dengan kata lain, waria harus mengatasi resiko pengucilan masyarakat jika menggunakan bentuk tingkah laku seksual yang secara kultural tidak dapat diterima, sehingga ia dijauhi karena kewariaanya.

Pakar Kesehatan Masyarakat dan pemerhati waria dr.

Mamoto Gultom, juga menambahkan bahwa waria adalah subkomunitas dari manusia normal. Bukan sebuah gejala psikologi, tetapi sesuatu yang biologis. Kaum ini berada pada wilayah transgender: perempuan yang terperangkap dalam tubuh lelaki.16 Hal ini mengindikasikan bahwa dalam diri seorang waria telah terjadi krisis identitas. Krisis identitas yang dialami waria tidak hanya berdampak psikologis, tetapi juga berpengaruh pada perilaku sosial mereka. Akibatnya muncul hambatan-hambatan dalam melakukan hubungan sosial, sehingga umumnya dalam melakukan hubungan sosial secara lebih luas, mereka sulit mengintegrasikan dirinya ke dalam struktur sosial yang ada dalam masyarakat. Bagaimana sebenarnya waria harus dipandang dalam konstruksi sosial yang lebih jelas dan memiliki arti dalam kehidupan sosial umumnya adalah suatu upaya yang selalu dilakukan oleh kaum waria untuk dapat eksis dalam kehidupannya. Hal ini senantiasa dilakukan, karena pembentukan diri senantiasa berkaitan dengan perkembangan organisme yang berlangsung terus dan dengan proses sosial di mana diri itu berhubungan dengan lingkungan manusia.17

Pembahasan

KEHIDUPAN KEAGAMAAN KAUM WARIA DI PESANTREN WARIA AL-FATAH SENIN-KAMIS NOTOYUDAN YOGYAKARTA

Keberadaan pondok pesantren tidak bisa terlepas dari beberapa komponen yang membentuknya, yaitu santri, ustadz dan kyai. Begitu pula dengan Pondok Pesantren Waria Senin-Kamis Al-Fatah Notoyudan Yogyakarta, mereka berupaya sekuat tenaga membangun eksistensi pondok pesantren di tengah masyarakat yang mayoritas masih menganggap waria sebagai komunitas yang perlu dijauhi karena identik dengan dunia pelacuran dan perilaku menyimpang. Sehingga keberadaan lembaga ini seringkali

15 Fromm, erich. 2002. Cinta, Sekualitas, Matriarki, Gender. Yogyakarta: Jalasutra.

Hlm. 221

16 Heuken, A. 1979. Ensiklopedia Etika Medis. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka.

Hlm. 12.

17 Berger, Peter dan Thomas Luckmann. 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan. Jakarta:

LP3ES. Hlm. 71.

(7)

mendapat tekanan dan sorotan negatif dari berbagai pihak.

Meskipun demikian, adapula beberapa orang yang menyambut baik dan mendukung keberadaan pondok pesantren waria ini.

Berdasarkan hal di atas, maka perlu diketahui beberapa hal yang berkaitan dengan profil santri, kyai dan pengurus Pondok Pesantren Waria Al-Fatah Senin-Kamis Notoyudan Yogyakarta ini.

Kyai, sosok kyai yang memiliki peran besar atas berdirinya pesantren waria ini adalah KH. Hamroeli Harun M.Sc. Beliau adalah penasihat, pelindung dan pembina Pondok Pesantren dan merupakan pimpinan jama‟ah pengajian Mujahadah Al-Fatah.

Selain itu, juga berprofesi sebagai dosen aktif di Universitas Janabadra Yogyakarta. Keberadaan pondok pesantren bagi KH.

Hamrolie Harun mempunyai niat mulia, yaitu niat waria untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Berangkat dari itulah, KH. Hamrolie memberanikan diri membantu dan merangkul kaum waria dalam bentuk memberikan bimbingan spiritual melalui metode Mujahadah (shalat dan dzikir).

Pak Ham (panggilan akrab KH. Hamrolie Harun, M.Sc) memang prihatin dengan banyaknya masyarakat yang sangat haus bimbingan ibadah, dan belum mendapat perhatian yang cukup dari organisasi dakwah yang ada. Direktur Lembaga Pengkajian dan Pendidikan Ekonomi Regional (LP2ER) khawatir mereka didekati lembaga dakwah yang beraliran sesat. Kalau hal itu sudah terjadi, kita baru sadar atau terkejut seperti kebakaran jenggot atau bahkan menyalahkan.18

Ustadz, di pesantren waria ada 25 ustadz yang dipercaya oleh kyai untuk terjun langsung membina dan membimbing para waria di setiap kegiatan pondok pesantren. Salah satunya adalah ustadz Heri Sucheri, seorang pegawai yang bekerja di bandara Adi sucipto kelahiran Jakarta, merupakan murid/santri generasi pertama dan orang kepercayaan dari KH. Hamroeli Harun. Di tengah kesibukannya sebagai pegawai, ustadz Heri tetap meluangkan waktunya untuk datang ke pondok pesantren.

Santri, santri yang mengikuti kegiatan di pesantren waria Al-Fatah Yogyakarta ini berbeda dengan santri yang mondok di berbagai pondok pesantren lainnya. Di pesantren ini santrinya adalah para waria, guy dan lesbian. Para waria yang aktif sebagai santri sekitar 30 orang. Salah satunya adalah Maryani. Maryani adalah seorang waria yang terlahir dengan nama Maryono 50 tahun yang lalu berasal dari Yogyakarta. Maryani merupakan pencetus, pendiri, ketua dan sekaligus santri Pesantren Waria Al-Fatah Senin- Kamis. Sejak kecil Maryani sudah memilih atau memposisikan dirinya sebagai seorang perempuan, meskipun secara fisik ia adalah seorang pria.

18 Kedaulatan Rakyat, edisi 5 Juli 2008.

(8)

JURNAL FALASIFA. Vol. 1 No.1 Maret 2010

“Ketika Maryani masih kecil, saya sering memberikan mainan laki-laki tapi Maryani selalu menolak dan melemparkan mainan yang saya berikan tersebut. Malah Maryani merengek-rengek untuk dibelikan boneka perempuan. Oleh karena Maryani adalah satu- satunya yang sangat saya sayangi, maka apapun yang Maryani minta selalu saya turuti”, ujar orang tuanya.19 Ketika beranjak dewasa, perilaku Maryani ini sempat dipertanyakan oleh orang tuanya. Namun Maryani tetap kokoh dengan pendiriannya untuk hidup sebagai waria (jiwa perempuan yang terkungkung dalam fisik pria).

Akhirnya, orang tuanya pun memakluminya dan menganggap bahwa itu semua merupakan kehendak (takdir) Tuhan. Maryani tumbuh dengan jiwa dan hati perempuan. Bahkan cintanyapun terpaut kepada seorang pria. Ia tidak pernah menyukai perempuan.

Pada usia 15 tahun, Maryani sudah lepas dari orang tuanya. Ia memutuskan untuk menjadi waria. Ia meninggalkan kota kelahirannya Yogyakarta untuk bekerja apapun dari satu kota ke kota lainnya seperti Jakarta, Bali, Surabaya. Bahkan, maryani juga pernah kerja „malam‟ alias mengamen dan keliling di malam hari. Ia menentukan hidupnya sendiri sebagai seorang perempuan.

Maryani sempat bekerja serabutan di Jakarta, bahkan ia sempat mengadu nasib di Taman Lawang. Selama dua tahun Maryani bekerja sebagai „penjaja cinta‟ di kawasan Taman Lawang, Jakarta. Namun ia semakin sadar bahwa memang bukan di situlah jiwanya. Maryani akhirnya bepindah kerja di sebuah salon di daerah Semarang, dengan alasan ia tidak mau lagi mencari nafkah yang tidak disukai Allah. Namun, hingga Maryani mengadu nasib di jalan halalpun, ternyata masyarakat masih mencemooh dan tidak menganggap keberadaannya. Di situlah Maryani mulai merasa hanya memiliki Allah.

Dalam hidupnya, banyak sekali pengalaman hidup yang dialami oleh Maryani. Mulai dari keputusannya untuk meninggalkan bangku sekolah dasar, pindah agama (dari agama Katholik ke Islam), sampai dengan kehidupan malamnya. Akhirnya sekitar tahun 1998, Maryani pulang ke Yogyakarta dan mengontrak sebuah rumah untuk dijadikan sebagai tempat usaha salon kecantikan. Sejak itu pula ia mulai rajin mengikuti pengajian yang diadakan oleh Pengajian Mujahadah Al-Fatah pimpinan KH.

Hamrolie Harun, M.Sc.

Tiap minggu, ia rajin mengikuti pengajian yang diikuti ratusan orang itu. Karena jiwanya perempuan, Maryani merasa nyaman berada di barisan perempuan. Ia senang dipengajian itu. Ia diperlakukan wajar oleh jamaah lainnya. Ia tidak dibedakan, apalagi dicibir. Melihat itu, timbul keinginan dalam hatinya agar

19 Wawancara dengan Harto Wiyardi, orang tua angkat Maryani pada tanggal 30 Nopember 2009.

(9)

temannya sesama waria juga memperoleh perlakuan yang sama.

Pasalnya pada saat itu banyak waria yang memperoleh perlakuan yang kurang baik. Banyak waria yang tidak boleh ikut shalat di masjid umum. Dari segi waria sendiri, kemungkinan mereka juga canggung untuk beribadah bersama dengan orang-orang biasa.

Itulah sebabnya, timbul niat dihatinya untuk mendirikan Pondok Pesantren Khusus Waria. Setelah mengutarakan niatnya pada pimpinan Al-Fatah, tak dinyana ternyata pimpinan Al-Fatah sangat mendukung. Sekarang ini, di samping sibuk mengelola pondok pesantren yang kegiatannya di gelar setiap Senin dan kamis. Maryani juga membuka salonnya kembali yang sudah sekian lama ia tutup. Dari usaha salon inilah, ia menghidupi orang tua dan seorang anak perempuan yang diadopsinya ketika anak tersebut baru berusia 1 jam. Anak tersebut sekarang sudah berusia 8 tahun dan duduk di bangku kelas 3 SD. Anak perempuan yang diadopsi tersebut di beri nama Rizky Ariyani. Menurut Maryani, Aryani adalah rizki terbesar yang dia miliki yang diberikan oleh Tuhan.

Tampak kegiatan yang dilaksanakan di pondok pesantren waria antara lain:

1. Pelatihan dan pelaksanaan shalat wajib lima waktu, shalat sunnah dan tahajud, membaca Al-Qur‟an, dan puasa.

Dengan pelatihan dan pelaksanaan shalat wajib dan sunnah dimaksudkan juga agar tumbuh semangat ibadah dalam diri waria, sehingga waria mampu mengaplikasikan semangat ibadah itu dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, jika semangat ibadah itu akan mampu menjadi self control bagi waria bahwa tujuan manusia hidup bukan hanya sekedar untuk mengejar materi, tapi tujuan utama manusia hidup adalah beribadah kepada Allah.

Pelatihan membaca dan menulis Al-Qur‟an di pondok pesantren waria ini di bagi dua kelompok. Kelompok untuk yang sudah bisa baca Al-Qur‟an dan kelompok yang belum bisa baca atau baru sampai pada tahap iqro’. Masing-masing kelompok dibimbing satu ustadz. Metode pembelajarannya menggunakan model pembelajaran sorogan. Kemudian Pelatihan puasa dilaksanakan sebagai bentuk latihan pengendalian diri waria terhadap hawa nafsu yang dapat menjerumuskan ke dalam perbuatan tercela/dzalim.

2. Mujahadah, yang meliputi: dzikir ekonomi, dzikir kesehatan dan dzikir keluarga bahagia.

Pelatihan dzikir dilakukan sebagai media untuk mengingat Allah. Materi dzikir dari ketiga jenis dzikir tersebut kebanyakan diambil dari asmaul husna yang berjumlah 99. Sesuai dengan namanya, ketiga jenis dzikir tersebut memiliki fungsi/tujuan yang berbeda-beda.

(10)

JURNAL FALASIFA. Vol. 1 No.1 Maret 2010

a) Dzikir ekonomi, bertujuan agar Allah senantiasa memberikan limpahan rizki yang halal dan baik serta terhindar dari segala lilitan hutang,

b) Dzikir kesehatan bertujuan agar Allah senantiasa memberikan kesehatan sehingga mampu untuk tetap istiqamah dalan beribadah kepada Allah SWT.

c) Dzikir keluarga bahagia bertujuan agar para waria dikaruniai oleh Allah SWT keluarga yang bahagia di dunia maupun di akherat. Kebahagiaan yang diharapkan tersebut akan bermuara pada wujud pengabdian manusia kepada Allah SWT melalui media ibadah, baik ibadah mahdhah maupun yang ghairu mahdhah.

3. Pengajian umum dan pengajian keliling

Kegiatan ini biasanya diselenggarakan pada saat memperingati hari besar Islam, seperti isra’ mi’roj, maulid Nabi, malam tahun baru Islam (1 muharram) dan sebagainya. Di samping itu, pondok pesantren waria juga mempunyai program pengajian keliling, yaitu pengajian yang diselenggarakan dengan berkeliling dari tempat komunitas waria satu ke tempat komunitas waria lain. Kegiatan ini di selenggarakan setiap satu bulan sekali. Kegiatan pengajian keliling ini dilakukan guna memfasilitasi keinginan waria yang tersebar di seluruh kota Yogyakarta. Adapun di kota itu sendiri terdapat beberapa komunitas, seperti komunitas waria LSM Ebenezer (waria pengamen), komunitas waria Kricak, komunitas waria Giwangan, komunitas waria LSM Kebaya dan lain sebagainya.

4. Wisata Religi

Diterapkan dengan cara mengajak waria ke suatu tempat yang memiliki nilai spiritualitas/religiusitas dan sejarah.

Misalnya: masjid Sunan Ampel Surabaya, makam walisongo atau makam ulama-ulama dan sebagainya. Ziarah ke makam para wali dan ulama ini bertujuan agar peserta didik mampun mengambil nilai-nilai positif atau keteladanan dari para wali dan ulama. Di samping itu juga agar mampu merenungkan dan mengintrospeksi diri bahwa setiap manusia pasti akan mengalami kematian.

Pelaksanaan Kegiatan Keagamaan di Pesantren Waria

Di pondok pesantren waria Al-Fatah Senin Kamis Yogyakarta, kegiatan keagamaan diselenggarakan setiap hari senin dan kamis. Sebagaimana dipaparkan oleh Maryani, bahwa alasan pemilihan hari Senin dan Kamis ini dikarenakan kedua hari tersebut adalah hari yang biasa digunakan oleh orang Jawa dan juga umat Islam untuk bertirakat atau beribadah. Namun seiring bergulirnya waktu, jadwal kegiatan yang semula di hari Senin dan Kamis diubah dan dipindah ke hari minggu, dengan alasan menurunnya jumlah santri waria yang hadir karena kesibukan mereka untuk mencari nafkah. Kegiatan pondok pesantren waria

(11)

Al-Fatah Senin-Kamis ini dimulai tiap hari minggu dari jam 17.30 wib dan berakhir sampai hari senin sekitar jam. 06.00. Khusus untuk bulan ramadhan, kegiatan di pondok pesantren waria senin- kamis diadakan setiap hari dengan kegiatan yang porsinya ditambah semakin padat.

Kegiatan di pondok pesantren waria Al-Fatah Senin-Kamis Notoyudan Yogyakarta terdiri dari beberapa kegiatan, yang di awali dengan kegiatan membaca shalawat Nariyah yang biasanya dilaksanakan sebelum shalat Maghrib, dipimpin oleh salah seorang ustadz dan dilantunkan secara bersama-sama. Jumlah bilangan shalawat Nariyah ini tidak ditentukan, namun hanya dibatasi oleh waktu, yaitu ketika seorang waria bernama Novi mengumandangkan adzan maghrib. Tak lama kemudian mereka melaksanakan shalat Maghrib bersama dengan salah satu ustadz yang bertugas atau terkadang oleh kyai sendiri.

Kegiatan shalat inilah yang menarik untuk diperhatikan, pasalnya waria diberi kebebasan untuk memilih menggunakan mukena atau sarung. Atau dengan kata lain Kyai memberi kebebasan kepada waria untuk menentukan pilihan apakah ia memposisikan dirinya sebagai perempuan atau laki-laki. Sehingga bagi waria yang lebih nyaman memakai mukena (memposisikan dirinya sebagai perempuan), maka ia masuk dalam shaf (barisan) perempuan. Begitu pula sebaliknya, bagi waria yang secara sadar memilih untuk mengenakan sarung (memposisikan dirinya sebagai laki-laki), maka ia dipersilahkan masuk shaf laki-laki.

Kebijakan tersebut diambil oleh kyai sebagai langkah awal agar waria mau untuk beribadah. Karena pada dasarnya waria juga manusia yang mempunyai kebutuhan/kewajiban untuk beribadah kepada Tuhannya. Sebagaimana diterangkan dalam al-Qur‟an surat adz-Dzariyat: 56 yang berbunyi:















Artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”

Selain itu, kebijakan pemberian kebebasan waria untuk memilih menggunakan mukena atau sarung adalah sebagai sebuah strategi/pendekatan agar waria mau beribadah terlebih dahulu, setelah memperhatikan karakteristik waria yang tidak bisa dipaksa.

Hal ini sesuai dengan apa yang di ucapkan ustadz Heri bahwa dalam menjalankan ibadah yang penting nyaman bagi mereka. Bagi mereka yang menggunakan sarung, mereka berdiri di barisan pria, bagi yang menggunakan mukena, berdiri dibelakang di barisan perempuan. Kalau mereka tidak nyaman, akan sulit beribadah dengan khusuk. Sebagai manusia, mereka ingin belajar agama serta menjalankan ibadah, sesuai kemampuanya. Ustadz Heri tidak muluk-muluk terhadap kemungkinan mereka jadi lelaki normal

(12)

JURNAL FALASIFA. Vol. 1 No.1 Maret 2010

setelah aktif dalam pengajian, yang penting mereka mau beribadah.

Kalaupun nanti mereka kembali ke kodrat itu merupakan suatu hidayah. 20

Kegiatan selanjutnya yang dilaksanakan setelah selesai shalat Maghrib berjamaah adalah belajar membaca al-Qur‟an.

Kegiatan ini biasanya dibimbing oleh dua orang ustadz, satu ustadz untuk membimbing waria yang sudah bisa baca al-Qur‟an dan ustadz yang lainnya membimbing waria yang belum bisa baca al- Qur‟an atau baru sampai pada tahap iqro’. Metode pembelajaran yang digunakan dalam kegiatan ini sama dengan model pembelajaran sorogan. Dalam kegiatan ini, tampak tidak ada kesan canggung atau jijik dari seorang ustadz untuk membimbing para santri warianya. Baik ustadz maupun santri waria kelihatan begitu antusias dan bersemangat dalam mengikuti setiap proses pembelajaran. Interaksi ustadz dan santri berjalan dengan lancar dan harmonis, penuh dengan rasa hormat-menghormati.

Hubungan yang baik antara ustadz dan santri pun juga terjadi di luar pondok pesantren, saling tegur sapa/ berucap salam ketika bertemu di jalan pun menjadi hal yang biasa, meskipun pada saat itu santri (waria) sedang bekerja di jalan sebagai pengamen.

Kegiatan berikutnya setelah belajar membaca al-Qur‟an adalah shalat Isya‟ berjamaah dan disambung dengan kegiatan belajar menghafal doa sehari-hari dan bacaan shalat, serta tidak jarang pula di isi dengan kegiatan ceramah/siraman rohani dari ustadz yang materinya lebih ditekankan pada pemberian motivasi untuk melakukan ibadah. Materi ceramah yang lebih menekankan pada pemberian motivasi ibadah ini merupakan salah satu kebijakan yang diambil oleh kyai.

Setelah kegiatan menghafal doa sehari-hari, bacaan shalat atau ceramah selesai dilaksanakan, santri dan ustadz istirahat bersama yang biasa dimanfaatkan untuk acara makan bersama yang disertai obrolan-obrolan kecil seputar usaha dan pekerjaan atau bahkan persoalan pribadi waria yang ada kaitannya dengan masalah sosial maupun agama sambil menunggu jadwal kegiatan selanjutnya, yaitu shalat sunnah hajat berjamaah yang biasanya dikerjakan sekitar pukul 21.30. Kegiatan shalat sunnah lain yang juga dijadwalkan di pondok pesantren waria Al-Fatah Senin-Kamis Yogyakarta adalah shalat sunnah tahajud yang biasanya dikerjakan setelah santri istirahat malam, yaitu sekitar pukul 02.00.

Kegiatan yang berupa pembiasaan melaksanakan ibadah shalat 5 waktu dan shalat sunnah, bisa diartikan sebagai suatu upaya untuk menyembuhkan segala rasa cemas, khawatir, frustasi, takut dan kegamangan hati yang seringkali dihadapi oleh waria dalam realitas kehidupan sehari-hari, baik itu yang menyangkut

20 Hasil wawancara yang dikutip dari tabloid Nyata, edisi ke IV September 2009.

(13)

persoalan pribadi maupun yang ada kaitannya dengan masalah sosial keagamaan.

Dari semua kegiatan yang ada di pondok pesantren waria tersebut, merupakan satu kesatuan yang saling menopang dan hanya berlandaskan pada semangat taqarrub illa Allah. Semua kegiatan di pondok pesantren waria ini menurut KH. Hamrolie Harun, merupakan suatu bentuk terapi dzikir (psikoterapi) bagi mereka agar mampu memahami posisi mereka sebagai manusia/hamba..21

MOTIF DAN ARTI PESANTREN BAGI KAUM WARIA

Salah satu pemandangan yang sangat khas terlihat di salah satu rumah di Kampung Notoyudan, Gedong Tengen, Jogjakarta. Di tempat ini berdiri sebuah Pesantren yang dikhususkan bagi para waria di Yogyakarta dan sekitarnya. Di pesantren ini setiap Senin dan Kamis para santri waria mulai dari waria pengamen, salon, sampai yang masih keluar malam (PSK) meneguhkan iman dengan berbagai kegiatan keagamaan.

Berdirinya pesantren khusus waria ini menimbulkan pro kontra. Kelompok yang kontra menganggap kegiatan pesantren waria menodai agama karena menjalankan ibadah dengan tidak semestinya. Ini karena Islam membedakan tata cara ibadah bagi pria dan wanita. Berbeda dengan pendapat tersebut, Ketua MUI yogyakarta jauh lebih bijak dalam menyikapi pesantren waria ini.

Menurut beliau kegiatan pesantren waria ini positif adanya.

Setidaknya ada niat baik yang tumbuh dari para waria untuk mendekatkan diri pada-Nya. Sekalipun mereka masih melanggar hukum agama tetapi niat baik tetaplah harus dihargai. Siapa tahu mereka bisa menemukan hidayah Allah dari kegiatan pesantren waria ini dan kembali ke jalan yang benar.

Permasalahan waria tidak hanya sampai di situ saja, dalam praktek peribadatan, seperti shalat berjama‟ah di masjid/mushollah, atau acara pengajian/mujahadah, seringkali waria memperoleh perlakuan yang tidak menyenangkan dari sebagian masyarakat. Hal itu menyebabkan munculnya rasa enggan dan minder waria untuk ikut melaksanakan shalat jama‟ah bersama oranglain yang “normal”, dan secara tidak langsung hal tersebut menjadi kendala bagi waria dalam proses sosialisasi dengan masyarakat mengenai eksistensinya. Meski waria, kami rindu dan tetap ingin dekat dengan Allah. Tidak ada seorangpun yang ingin hidup sebagai waria, kalaupun kemudian terperangkap menjadi waria tidak berarti hak-hak dan kewajiban keagamaan mereka terhapus sama sekali.

Di samping kendala dalam bersosialisasi dengan lingkungan sosialnya, kendala sosial waria juga terjadi ketika waria masuk

21 Harian Jogja, edisi rabu 9 Juli 2008.

(14)

JURNAL FALASIFA. Vol. 1 No.1 Maret 2010

dalam ranah ritual keagamaan, seperti shalat. Pada umumnya, dalam mengerjakan ibadah shalat, waria cenderung menempatkan dirinya sebagai perempuan, sehingga mereka menentukan pilihan untuk memakai mukena dan menempati shaf perempuan. Hal yang demikian ini tentu saja menimbulkan permasalahan. Pasalnya, dalam konteks Islam, waria masuk dalam kategori laki-laki yang semestinya memakai sarung atau celana panjang yang bisa menutupi auratnya, bukan malah memakai mukena.

Permasalahan waria yang begitu kompleks ini, perlu kiranya dipahami dan dilihat dari berbagai sudut pandang. Sulitnya waria diterima oleh pemahaman agama, ini akan dapat berdampak buruk terhadap diri waria sendiri atas pilihan hidup terhadap tubuhnya..

Sehingga tidak jarang seorang waria akan merasa terus berdosa dan merasa bersalah atas pilihannya tersebut. Dampaknya waria akan semakin jauh dari agama (terutama dalam konteks ritualitas keagamaan). Dalam konteks ini, yang dimaksud agama di sini adalah agama secara menyeluruh baik ritualitas (seperti sholat, puasa, sedekah, dan sebagainya) maupun spiritualitas (semangat nilai-nilai keagamaan seperti peduli kepada sesama manusia maupun makhluk hidup lainnya).

Banyak waria karena merasa diri salah dan berdosa akhirnya menjauh dalam hal tindakan-tindakan ritual ditambah lagi sikap masyarakat beragama yang masih berpandangan negatif dan sangat membenci kelompok waria. Hal ini sebagaimana dipaparkan oleh Maryani:

“Seringkali masyarakat memandang kami negatif, yang identik dengan pelacuran. Inilah yang menyebaabkan kami enggan untuk melakukan ibadah bersama mereka. Namun demikian kami tetap manusia yang telah diberi kehidupan dan rezeki oleh-Nya. Oleh karena itu, kami bersyukur atas semua yang Allah berikan kepada kami, yaitu dengan cara beribadah kepada-Nya. Lagipula suatu saat Allah pasti memanggil kami, jadi kami harus mempersiapkan bekal untuk naik krendo (kereta jenazah), sebelum Allah benar- benar memanggil. Waria memang berada pada posisi yang sulit, beribadah salah tidak beribadah malah tambah salah.

Tapi bagi saya masalah ibadah adalah urusan pribadi dengan Allah, yang berhak menilai ibadah saya dan teman- teman adalah Allah, bukan orang-orang yang di luar sana”.22

Berangkat dari kegelisahan Maryani tersebut, maka muncullah keinginan dari Maryani untuk mengajak teman-teman sesama waria agar mau beribadah. Sebagai wujud pembuktian kepada masyarakat bahwa waria tidak semata-mata identik dengan

22 Wawancara dengan Maryani seorang waria dan sekaligus sang pendiri pada tanggal 2 Desember 2009.

(15)

dunia prostitusi dan perilaku menyimpang. Hal ini diwujudkan Maryani dengan mengadakan pengajian di rumahnya yang kala itu masih berada di daerah Surakarsan. Melihat antusiasme teman sesama warianya yang cukup tinggi dalam mengikuti pengajian dan doa bersama, kemudian muncul gagasan untuk mendirikan sebuah pesantren khusus waria sebagai wadah bagi kaum waria untuk beribadah dan memperbaiki ke-Islaman mereka. Waria sama dengan manusia lainnya yang juga mempunyai sisi-sisi positif dalam perilaku kehidupan sehari-hari, seperti shalat, puasa ataupun ibadah-ibadah lainnya.

Melalui pesantren khusus waria ini diharapkan mampu menjadi jembatan emas yang mampu menghubungkan sekat-sekat perbedaan antara waria dengan warga masyarakat sekaligus menjembatani antara waria dan masyarakat agar dapat hidup berdampingan secara harmonis dan dinamis serta dialogis dalam konteks sosio-religius. Dengan demikian waria mampu mengaktualisasikan dirinya sebagai manusia seutuhnya, baik sebagai hamba, khalifah, maupun makhluk sosial tanpa sedikitpun mengurangi hak-hak waria sebagai manusia itu sendiri untuk memperoleh kedamaian, ketentraman, kesejahteraan dan keadilan sosial.

(16)

JURNAL FALASIFA. Vol. 1 No.1 Maret 2010

DAFTAR PUSTAKA

Atmojo, Kemala. 1987. Kami Bukan Lelaki: Sebuah Sketsa Kehidupan Kaum Waria. Jakarta: LP3ES.

Berger, Peter dan Thomas Luckmann. 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan. Jakarta: LP3ES.

Daulay, Haidar Putra. 2001. Historisitas dan Eksistensi Pesantren, Sekolah dan Madrasah. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Dhofier, Zamakhsyari. 1992. Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES.

Fromm, erich. 2002. Cinta, Seksualitas, Matriarki, Gender.

Yogyakarta: Jalasutra.

Geertz, Clifford. 1983. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.

Heuken, A. 1979. Ensiklopedia Etika Medis. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka.

Jaelani, Timur. 1980. Peningkatan Mutu Pendidikan dan Pembangunan Perguruan Agama. Jakarta: Dermaga.

Kartono, Kartini. 1989. Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual. Bandung: Mandar Maju.

Koeswinarno. 2004. Hidup sebagai Waria. Yogyakarta: LkiS.

Munawwir, KH. A. Warson. 1997. Kamus al Munawwir. Surabaya:

Pustaka Progresif.

Rofik A. Dkk. 2005. Pemberdayaan Pesantren, menuju Kemandirian dan Profesionalisme Santri dengan Metode daurah Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.

Ziemek, Manfred. 1986. Pesantren dalam Perubahan Sosial. Jakarta:

P3M.

Referensi

Dokumen terkait

PT Sinar Niaga Sejahtera (SNS) Palembang merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang distribusi produk-produk dari Garuda Food yang memiliki karyawan, sehingga

Setiap karyawan memiliki kinerja yang baik jika selalu termotivasi dengan baik pula, namun hal itu tidak dapat dilaksanakan dengan maksimal jika karyawan memiliki

merupakan kesepakatan bersama antara konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa, selanjutnya dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis, yang ditanda tangani oleh para

Dalam rangka untuk meningkatkan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah dikeluarkan regulasi yang mengatur mengenai perubahan pengelolaan keuangan daerah untuk lebih

Tujuan dari penelitian ini adalah merancang dan menghasilkan suatu aplikasi pengolahan data bimbingan dan pelanggaran siswa pada SMA Lampung Tengah sehingga dapat

Az arany-, ezüst- és színesfém edények, mint a kés ókori mediterrán magaskultúra mvészeti alko- tásai vagy mindennapi kézmves termékei, a Római, majd a Bizánci

Penyesuaian akibat penjabaran laporan keuangan dalam mata uang asing Keuntungan (kerugian) dari perubahan nilai aset keuangan dalam kelompok tersedia untuk dijual. c Bagian

Peranan Manajemen dalam Meningkatkan Kinerja Pegawai Pada Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara ... Perencanaan( Planning