• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Daya Hasil 6 Genotipe Jagung Pulut (

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Evaluasi Daya Hasil 6 Genotipe Jagung Pulut ("

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Evaluasi Daya Hasil 6 Genotipe Jagung Pulut (Zea mays L. var. ceratina Kulesh) pada Dua Lokasi di Jawa Timur

Evaluation of Yield Trials on 6 Genotypes of Waxy Corn (Zea mays L. var ceratina Kulesh) at Two Locations in East Java

Lesy Nerawati* dan Arifin Noor Sugiharto

Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya Jln. Veteran, Malang 65145 Jawa Timur, Indonesia

Korespondensi: lesynerawati10@gmail.com Diterima 9 Agustus 2020 / Disetujui 17 Agustus 2020

ABSTRAK

Salah satu jenis jagung yang memiliki potensi untuk dikembangkan yaitu jagung pulut, akan tetapi produktivitas dari jagung pulut masih rendah. Oleh karena itu, diperlukan upaya peningkatan produksi jagung pulut melalui pemuliaan tanaman, Sebelum pelepasan varietas jagung hibrida perlu diketahui kemampuan adaptasi tanaman pada berbagai kondisi lingkungan dengan dilakukan uji daya hasil.

Interaksi genotipe dan lingkungan menunjukkan perbedaan respon tanaman terhadap kondisi lingkungan yang berbeda. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari-April 2020 di Desa Suru, Kecamatan Sooko, Kabupaten Ponorogo dan Desa Candipuro, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 3 kali ulangan dan menggunakan beberapa genotipe uji yaitu JPM 01, JPM 02, JPM 03, JPM 04, JPM 05, JPM 06, serta varietas pembanding yaitu Kumala F1. Variabel pengamatan terdiri dari komponen hasil yaitu panjang penutupan kelobot, panjang tongkol, unfilling cob tip, diameter tongkol, jumlah baris biji, jumlah biji per baris, bobot tongkol segar dengan kelobot, bobot tongkol segar tanpa kelobot, bobot tongkol segar dengan kelobot per plot, bobot tongkol segar tanpa kelobot per plot, dan produktivitas hasil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi genotipe dan lingkungan terjadi pada variabel panjang tongkol, panjang penutupan kelobot, unfilling cob tip, jumlah kernel per baris, dan bobot tongkol segar tanpa kelobot. Genotipe yang unggul di Kabupaten Ponorogo ialah JPM 01, sedangkan di lokasi Lumajang ialah JPM 03, dan genotipe yang memiliki keunggulan di kedua lokasi ialah JPM 04.

Kata kunci: genotipe, hasil, interaksi, jagung pulut, lingkungan.

ABSTRACT

One type of corn that has potential to be improved is waxy corn, However the productivity of waxy corn is relatively low. Therefore, it is needed to increase the productivity of waxy corn by plant breeding method, It is important to know the ability of hybrid corn varieties to adapt in various environmental conditions before release by carry out the yield test. The existence of genotype and environment interaction shows the diverse plant responses to different environmental conditions. The research was conducted in January-April 2020 in Suru Village, Sooko District, Ponorogo Regency and Candipuro Village, Candipuro District, Lumajang Regency. This research used RBD (Randomized Block Design) method with 3 replications and JPM 01, JPM 02, JPM 03, JPM 04, JPM 05, JPM 06 as genotype candidates, Kumala F1 as comparative variety. Observation variables consisted of yield components such as husk cover, cob length, unfilling cob tip, ear diameter, number of rows, number of kernels per

(2)

row, fresh cobs weight with husk, fresh cobs weight without husk, fresh cobs weight with husk per plot, fresh cobs weight without husk per plot, productivity. The results show that the genotype and environment interaction occurs on several variables such as cob length, husk cover, unfilling cob tip, number of kernels per row, and fresh cobs weight without husk. The superior genotype in Ponorogo district is JPM 01, while at Lumajang location is JPM 03, and in both locations is JPM 04.

Keywords : genotype, yield, interaction, waxy corn, environment.

PENDAHULUAN

Ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap beras menimbulkan permasalahan kerawanan pangan. Sehingga diperlukan pengembangan pada komoditas lain salah satunya jagung. Jenis jagung yang memiliki potensi untuk dikembangkan yaitu jagung pulut. Jagung pulut memiliki kandungan amilopektin yang tinggi yang dicirikan dari warna aleuron putih susu, yang disebabkan oleh sifat ketan (waxy) gen wx berada pada short arm kromosom 9 (Zhang et al., 2013).

Jagung pulut (Zea mays L. var ceratina Kulesh) merupakan jenis jagung yang memiliki kandungan pati spesial 100% dalam bentuk amilopektin yang memiliki rasa manis, pulen, dan penampilan menarik yang tidak dimiliki jagung jenis lain (Tengah et al., 2017). Akan tetapi, produktivitas dari jagung pulut masih rendah.

Produktivitas jagung pulut yang masih rendah dikarenakan kualitas benih yang digunakan kurang baik. Berdasarkan data dari Balai Penelitian Tanaman Serealia tingkat produktivitas jagung pulut lokal masih rendah antara 2-2,5 t.ha-1 (Suarni et al., 2019). Petani sering menggunakan benih yang berasal dari pertanaman sebelumnya.

Benih tersebut belum tersertifikasi sehingga memiliki mutu yang rendah. Hal ini menyebabkan jagung pulut lokal sulit berkembang dalam skala luas. Oleh karena itu, diperlukan upaya peningkatan produksi jagung pulut melalui pemuliaan tanaman dengan penggunaan varietas unggul.

Upaya peningkatan produksi tanaman dapat dilakukan dengan pemuliaan tanaman dengan mendapatkan tanaman unggul dan berproduksi tinggi. Pemuliaan tanaman

dapat membantu memperoleh genotipe terbaik melalui seleksi pada lingkungan serta mengetahui potensi hasil dan memperhatikan besarnya pengaruh interaksi genotipe dan lingkungan (Burgueno et al., 2012). Karakter hasil menjadi sifat kuantitatif dengan interaksi genotipe lingkungan yang cukup tinggi. Adanya pengaruh genotipe dan lingkungan pada pemuliaan tanaman menjadi analisis penting untuk mengidentifikasi genotipe yang sesuai dengan kondisi lingkungan tertentu. Evaluasi interaksi genotipe dan lingkungan untuk mengetahui produktivitas tanaman jagung perlu dilakukan pada beberapa lokasi sentra penanaman jagung di Jawa Timur. Lokasi pengujian dilakukan di Kabupaten Ponorogo dan Kabupaten Lumajang. Agar dapat diketahui karakter yang dipengaruhi oleh genotipe dan lingkungan sehingga dapat diketahui rekomendasi genotipe jagung pulut yang mempunyai daya hasil tinggi pada dua lokasi tersebut.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan April 2020 di Desa Suru, Kecamatan Sooko, Kabupaten Ponorogo dan Desa Candipuro, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang. Pada lahan percobaan di Desa Suru memiliki tipe agroekosistem sawah tadah hujan dengan tipe terasiring dan merupakan wilayah perbukitan yang berada pada ketinggian ± 470 mdpl. Jenis tanah pada lokasi tersebut ialah latosol. Pada lahan percobaan di Desa Candipuro berada pada ketinggian ±322 mdpl dengan tipe agroekosistem sawah dan jenis tanah regosol.

(3)

Alat yang digunakan dalam penelitian adalah alat pertanian, gunting, timbangan digital, jangka sorong, meteran, penggaris 30 cm, alat tulis, dan kamera digital. Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah 6 genotipe jagung pulut hasil persilangan dan 1 varietas pembanding, alfaboard, pupuk kandang, ZA, TSP, KCl, boron, insektisida berbahan aktif emamektin dan imidakplorit, fungisida berbahan aktif difenokonazol dan azoksistrobin, herbisida kontak berbahan aktif parakuat diklorida dan air.

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 3 kali ulangan. Perlakuan menggunakan 6 galur hasil seleksi Maize Research Center (MRC) yaitu JPM 01, JPM 02, JPM 03, JPM 04, JPM 05, JPM 06 dan varietas pembanding Kumala F1. Plot percobaan memiliki ukuran masing-masing 3 m x 4 m yang terdiri dari empat baris dengan masing-masing baris 28 tanaman dengan jarak tanam 70 cm x 30 cm. Setiap lubang tanam diisi 2 benih sehingga terdapat 112 tanaman per plot.

Variabel pengamatan terdiri dari komponen hasil yaitu panjang penutupan kelobot (cm), panjang tongkol (cm), unfilling cob tip (cm), diameter tongkol (cm), jumlah baris biji per tongkol (baris), jumlah biji per baris (biji), bobot tongkol segar dengan kelobot (g), bobot tongkol segar tanpa kelobot (g), bobot

tongkol segar dengan kelobot per plot (kg), bobot tongkol segar tanpa kelobot per plot (kg), produksi (tongkol segar tanpa kelobot) (ton ha-1). Kemudian data dianalisis ragam, pada masing-masing lokasi, yang selanjutnya dilakukan analisis homogenitas ragam. Analisis homogenitas ragam dilakukan dengan menggunakan presentase rasio ragam maximum dan ragam minimum (Petersen, 1994). Jika ragam galat homogen maka dilanjutkan analisis ragam gabungan beberapa lokasi dan musim dengan fixed population model dan location fixed (McIntosh, 1983). Analisis ragam gabungan dilakukan menggunakan uji F untuk mengetahui interaksi genotipe dan lingkungan. Nilai interaksi genotipe dan lingkungan yang signifikan dilanjutkan dengan uji lanjut BNJ 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengujian di dua lokasi dengan kondisi lingkungan yang berbeda dengan tujuan untuk mengetahui daya adaptasi dan stabilitas suatu genotipe dalam mempertahankan penampilan potensi hasil dari beberapa lokasi. Hasil dari penelitian ini memberikan informasi mengenai adaptasi enam calon varietas jagung pulut di dua lokasi yaitu kabupaten Ponorogo dan kabupaten Lumajang.

Tabel 1. Analisis sidik ragam lokasi Ponorogo

Variabel KTgenotipe Fhitung KV%

Diameter tongkol (cm) 0,17 9,34 * 3,37

Bobot tongkol segar dengan kelobot (g) 10520,43 16,44 * 10,74

Bobot tongkol segar dengan kelobot per plot (kg) 109,08 31,79 * 9,08 Bobot tongkol segar tanpa kelobot per plot (kg) 37097793 26,88* 8,09

Produktivitas (ton ha-1) 29.32 26,91 * 8,09

Keterangan : (*) berbeda nyata.

Berdasarkan analisis sidik ragam (Tabel 1) semua variabel pengamatan menunjukkan hasil yang berbeda nyata (taraf 5%) yaitu diameter tongkol (cm), bobot tongkol segar dengan kelobot (g), bobot tongkol segar dengan kelobot per plot

(kg), bobot tongkol segar tanpa kelobot per plot (kg), produktivitas (ton ha-1). Selain itu, berdasarkan pengamatan yang dilakukan nilai koefisien variasi (KV%) terendah ditunjukkan pada variabel pengamatan diameter tongkol (3,37%) dan nilai koefisien

(4)

Tabel 2. Analisis sidik ragam lokasi Kabupaten Lumajang

Variabel KTgenotipe Fhitung KV%

Diameter tongkol (cm) 0,14 1,60 tn 6,69

Bobot tongkol segar dengan kelobot (g) 1797,80 33,72 * 3,90

Bobot tongkol segar dengan kelobot per plot (kg) 50,98 3,36 * 22,03 Bobot tongkol segar tanpa kelobot per plot (g) 32.16273 3.47* 21,94

Produktivitas (ton ha-1) 25,39 3,46 * 21,94

Keterangan : (tn) tidak berbeda nyata; (*) berbeda nyata.

variasi tertinggi ditunjukkan pada variabel Bobot tongkol segar dengan kelobot (10,74%).

Hasil analisis sidik ragam (Tabel 2) dari penelitian yang dilakukan di Kabupaten Lumajang menunjukkan bahwa dari beberapa variabel pengamatan diameter tongkol menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Sedangkan pada variabel pengamatan bobot tongkol segar dengan

kelobot (g), bobot tongkol segar tanpa kelobot per plot, bobot tongkol segar dengan kelobot per plot, dan produktivitas analisis sidik ragam menunjukkan hasil berbeda nyata (taraf 5%). Hasil koefisien variasi tertinggi yaitu pada variabel bobot tongkol segar dengan kelobot per plot (22,03%) sedangkan terendah yaitu bobot tongkol segar dengan kelobot (3,90%).

Tabel 3. Analisis ragam gabungan dua lokasi

Variabel G L G x L

KT (g) F hitung KT (l) F hitung KT (gxl) F hitung KV%

Panjang

Tongkol 6,54 11,29 * 11,22 7,93* 4,00 6,90 * 4,46

Panjang Penutupan kelobot(cm)

65,37 70,18 * 704,54 1454,99 * 23,47 25,19 * 3,88 Unfilling cob tip

(cm) 2,08 10,82 * 0,00012 0,00035 tn 1,0047 5,22 * 17,78

Jumlah baris

biji (baris) 2,76 10,87 * 1,10095 1,18 tn 0,61 2,40 tn 3,77

Jumlah kernel

per baris (biji) 48,65 18,72 * 20,02 11,48 * 18,03 6,94 * 5,97 Bobot tongkol

segar tanpa kelobot (g)

1967,46 11,33 * 8857,49 72,46 * 2914,76 16,78 * 8,51

F tabel 5 % 2,51 4,26 2,51

Keterangan : G (genotipe); L (lokasi); G x L (genotipe dan lingkungan); (tn) tidak berbeda nyata; (*) berbeda nyata.

Hasil analisis ragam gabungan (Tabel 3) interaksi antara genotipe dan lingkungan (G x L) ditunjukkan oleh variabel panjang tongkol, panjang penutupan kelobot, unfilling cob tip, jumlah kernel per baris, dan bobot tongkol segar tanpa kelobot yang hasilnya berbeda nyata. Interaksi genotipe lingkungan pada variabel jumlah baris biji menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Nilai koefisien variasi tertinggi dari ke

empat variabel yaitu unfilling cob tip (17,78%) sedangkan terendah jumlah baris biji (3,77%).

Pengamatan panjang tongkol, panjang penutupan kelobot, dan bobot tongkol segar dengan kelobot (Tabel 3) menunjukkan hasil yang berbeda nyata dalam analisis ragam gabungan. Nilai kuadrat tengah tertinggi yaitu kuadrat tengah lokasi, hal ini menunjukkan bahwa variasi yang terjadi

(5)

pada ketiga variabel lebih dipengaruhi oleh lingkungan. Sesuai dengan pernyataan yang menyatakan bahwa Karakter hasil panen merupakan karakter kompleks yang dihasilkan dari berbagai hubungan internal komponen-komponen pertumbuhan, yang juga sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan (Begum et al., 2016).

Variabel unfilling cob tip, jumlah baris biji, dan jumlah kernel per baris (Tabel 3) menunjukkan bahwa nilai kuadrat tengah genotipe lebih tinggi jika dibandingkan dengan kuadrat tengah lokasi maupun interaksi genotipe dan lingkungan. Nilai kuadrat tengah genotipe yang lebih tinggi artinya faktor genetik lebih berperan dalam mempengaruhi ketiga variabel tersebut.

Ketika faktor genetik lebih berperan dalam satu karakter maka dapat diketahui bahwa karakter tersebut tidak akan terlalu berpengaruh apabila ditanam pada lokasi yang berbeda. Sehingga informasi mengenai interaksi genotipe dan lingkungan dapat digunakan dalam pemilihan genotipe unggul (Anasari et al., 2017). Jika pengaruh interaksi genotipe dan lingkungan kecil maka secara langsung akan meningkatkan kontribusi dari genotipe pada penampilan akhir genotipe tersebut.

Variabel jumlah baris biji menunjukkan bahwa interaksi genotipe dan lingkungan tidak berbeda nyata (Tabel 3) variabel tersebut hanya dipengaruhi oleh faktor genetik saja.. Dengan kata lain, jika suatu genotipe tumbuh baik dengan jumlah baris biji yang tinggi pada suatu lokasi maka dapat diasumsikan genotipe tersebut memiliki jumlah baris biji yang tinggi pula di lokasi lain. Adanya interaksi genotipe dan lingkungan dapat menimbulkan beberapa kesulitan dalam memutuskan galur yang akan diusulkan untuk dilepas sebagai

varietas baru, sehingga diperlukan ketelitian dalam melakukan analisis interaksi genotipe dan lingkungan (Trustinah dan Iswanto, 2013).

Uji lanjut BNJ 5% (Tabel 4) menunjukkan bahwa pada variabel panjang tongkol nilai tertinggi yaitu JPM 01 di Kabupaten Ponorogo (19,38 cm), dibandingkan genotipe lain JPM 01 menunjukkan hasil yang berbeda nyata (JPM 02, JPM 04, JPM 05, JPM 06) serta Kumala F1, sebaliknya jika dibandingkan JPM 03 hasil BNJ 5%

menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Pada lokasi lain JPM 01 menunjukkan hasil berbeda nyata.

Sedangkan nilai terendah yaitu JPM 06 (14,8) di lokasi Kabupaten Ponorogo, jika dibandingkan di lokasi Lumajang JPM 06 menunjukkan hasil tidak berbeda nyata.

Gambar 1a menunjukkan adanya interaksi genotipe dan lingkungan dengan garis yang saling berpotongan.

Berdasarkan hasil uji BNJ 5% (Tabel 4) menunjukkan panjang penutupan kelobot tertinggi terdapat pada JPM 03 (39,87 cm) di Lumajang. Jika dibandingkan genotipe lain dalam JPM 03 menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Pada lokasi yang berbeda, JPM 03 menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Sedangkan panjang penutupan kelobot terendah yaitu JPM 02 (19,18 cm) di lokasi Ponorogo, dibandingkan dengan genotipe lain JPM 02 tidak berbeda nyata dengan JPM 01, JPM 04, JPM 05, JPM 06.

Jika dengan varietas pembanding JPM 02 menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Sedangkan di Kabupaten Lumajang JPM 02 menunjukkan berbeda nyata.

Gambar 1b menunjukkan adanya interaksi genotipe dan lingkungan dan menghasilkan garis saling berpotongan, kecuali pada JPM 03 garis tidak berpotongan.

(6)

Tabel 4. Rerata panjang tongkol, panjang penutupan kelobot, unfilling cob tip di kedua lokasi

Genotipe Panjang Tongkol (cm) Panjang Penutupan

Kelobot (cm) Unfilling cob tip (cm) Ponorogo Lumajang Ponorogo Lumajang Ponorogo Lumajang

JPM 01 19,38 B 17,17 A 21,24 A 26,50 B 3,76 A 2,85 A

(d) (ab) (ab) (a) (c) (bc)

JPM 02 15,13 A 18,11 B 19,18 A 26,93 B 3,03 A 3,28 A

(ab) (ab) (a) (a) (c) (c)

JPM 03 17,59 A 18,90 A 23,56 A 39,87 B 1,56 A 2,49 A

(cd) (b) (b) (c) (a) (abc)

JPM 04 16,68 A 18,25 A 20,72 A 26,27 B 1,40 A 2,04 A

(abc) (ab) (a) (a) (a) (ab)

JPM 05 15,13 A 16,54 A 19,95 A 25,70 B 2,89 B 1,70 A

(ab) (a) (a) (a) (bc) (a)

JPM 06 14,8 A 16,65 A 19,30 A 25,90 B 2,78 A 2,48 A

(a) (a) (a) (a) (bc) (abc)

KUM F1 17,02 A 17,36 A 21,54 A 31,67 B 1,85 A 2,46 A

(bc) (ab) (ab) (b) (ab) (abc)

KV (%) 4,46 3,88 17,78

BNJ 5 % 1,92 2,43 1,11

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf besar yang sama pada baris yang sama dan huruf kecil yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNJ 5%.

Tabel 5. Rerata jumlah kernel per baris, bobot tongkol segar tanpa kelobot, jumlah baris biji

Genotipe

Jumlah Kernel per Baris (biji)

Bobot Tongkol

Segar tanpa Kelobot (g) Jumlah Baris Biji (baris) Ponorogo Lumajang Ponorogo Lumajang

JPM 01 31,60 B 26,83 A 244,57 B 133,93 A

13,67 bc

(b) (bc) (d) (a)

JPM 02 23,63 A 29,20 B 138,06 A 144,23 A

13,37 b

(a) (c) (ab) (a)

JPM 03 30,50 A 28,87 B 169,52 A 142,07 A

13,60 b

(b) (c) (bc) (a)

JPM 04 29,53 A 26,70 A 165,55 B 128,60 A

14,53 c

(b) (bc) (bc) (a)

JPM 05 23,63 A 22,53 A 147,52 A 159,83 A

13,10 ab

(a) (a) (ab) (a)

JPM 06 23,40 A 22,93 A 129,98 A 137,30 A

12,87 ab

(a) (ab) (a) (a)

KUM F1 31,43 B 27,00 A 191,08 B 136,00 A

12,40 a

(b) (bc) (c) (a)

KV (%) 5,97 8,51 3,77

BNJ 5% 4,07 33,25 0,90

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf besar yang sama pada baris yang sama dan huruf kecil yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNJ 5%.

Variabel unfilling cob tip (cm) uji lanjut BNJ 5% (Tabel 4) hasil tertinggi yaitu JPM 01 (3,76) di lokasi Kabupaten Ponorogo.

JPM 01 menunjukkan hasil tidak berbeda nyata dengan JPM 02 dan JPM 06 pada

lokasi yang sama, di lokasi berbeda JPM 02 menunjukkan hasil berbeda nyata. Hasil terendah yaitu JPM 04 (1,40) di Kabupaten Ponorogo dibandingkan dengan JPM 03 serta Kum F1 menunjukkan hasil yang tidak

(7)

berbeda nyata. Pada lokasi lain JPM 04 menunjukkan hasil tidak berbeda nyata.

Gambar 1c menunjukkan adanya interaksi genotipe dan lingkungan dan garis saling berpotongan.

Uji lanjut BNJ 5% (Tabel 5) pada variabel jumlah kernel per baris nilai tertinggi yaitu JPM 01 (31,60) di Kabupaten Ponorogo. JPM 01 menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan genotipe JPM 03 dan KUM F1. Pada lokasi lain, JPM 01 menunjukkan hasil yang berbeda nyata.

Sedangkan rerata terendah yaitu JPM 05 (22,53) pada lokasi Kabupaten Lumajang dan memiliki hasil yang berbeda nyata dengan genotipe yang lain. Pada lokasi Kabupaten Ponorogo JPM 05. menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Gambar 2d terdapat interaksi genotipe dan lingkungan dan garis saling berpotongan.

Uji lanjut BNJ 5% dengan variabel pengamatan bobot tongkol segar tanpa kelobot (Tabel 5) rerata tertinggi terdapat pada genotipe JPM 01 pada lokasi Kabupaten Ponorogo, dibanding dengan genotipe yang lain JPM 01 menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Pada lokasi yang berbeda, JPM 01 juga menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Uji BNJ 5 % variabel bobot tongkol segar tanpa kelobot (g) rerata terendah ditunjukkan genotipe JPM 04 di Kabupaten Lumajang, jika dibandingkan lokasi yang lain JPM 04 menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Namun, pada lokasi yang sama JPM 04 menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Gambar 1e terdapat interaksi genotipe dan lingkungan dengan garis yang saling berpotongan.

Hasil uji lanjut BNJ 5% (Tabel 5) pengamatan jumlah baris biji (baris) rerata tertinggi ditunjukkan dengan genotipe JPM 04 sedangkan nilai terendah terdapat pada genotipe Kumala F1. Antara JPM 05, JPM 06 dan KUM F1 menunjukkan hasil yang

tidak berbeda nyata hal serupa ditunjukkan oleh JPM 01, JPM 02, dan JPM 04.

Genotipe JPM 04 dan varietas pembanding menunjukkan hasil yang berbeda nyata.

Berdasarkan Gambar 1f tidak terdapat interaksi genotipe dan lingkungan karena pada JPM 02, JPM 03, dan JPM 05 menunjukkan garis yang saling sejajar.

Hasil penelitian pada lokasi Kabupaten Ponorogo seluruh variabel menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Pada lokasi Kabupaten Ponorogo genotipe yang menunjukkan keunggulan dari beberapa variabel yang diamatai yaitu JPM 01. Hasil uji lanjut BNJ 5% JPM 01 berbeda nyata dengan varietas pembanding (KUM F1) dalam variabel bobot tongkol segar dengan kelobot (Gambar 2b), bobot tongkol segar dengan kelobot per plot (Gambar 2c), bobot tongkol segar tanpa kelobot per plot (Gambar 2d), dan produktivitas hasil (Gambar 2e), kecuali pada variabel diameter tongkol (Gambar 2a). JPM 01 juga unggul dibandingkan dengan genotipe kandidat yang lain. Akan tetapi kelima variabel tersebut tidak dilanjutkan dalam analisis ragam gabungan karena perbedaan nilai koefisien variasi antara lokasi Kabupaten Ponorogo dan Kabupaten Lumajang yang terlalu tinggi. Suatu lokasi dapat dimasukkan dalam analisis ragam gabungan apabila ragam galat dari analisis ragam masing-masing lokasi homogen.

Koefisien Variasi (KV) galat pada suatu percobaan diharapkan bernilai minimum.

Jika koefisien variasi bernilai kecil, maka diindikasikan ragam galat percobaan homogen (Herawan et al., 2013). Koefisien variasi tanaman jagung pada parameter hasil yaitu 10,6% (Waluyo dan Kuswanto, 2010). Pada komponen hasil nilai koefisien variasi antara 11,37-17,51% (Amrullah dan Sugiharto, 2019).Penelitian lain menyatakan nilai koefisien variasi pada karakter-

(8)

(a) (b)

(c) (d)

(e) (f)

Gambar 1. Hubungan antara komponen hasil setiap genotipe dengan kedua Lokasi: (a) Panjang tongkol, (b) Panjang penutupan kelobot, (c) Unfilling cob tip, (d) Jumlah kernel per

baris, (e) bobot tongkol segar tanpa kelobot, (f) jumlah baris biji

12 14 16 18 20

Ponorogo Lumajang

Rerata Panjang Tongkol (cm)

JPM 01 JPM 02 JPM 03 JPM 04

JPM 05 JPM 06 KUM F1

15 20 25 30 35

Ponorogo Lumajang

Rerata Panjang Penutupan Kelobot (cm)

JPM 01 JPM 02 JPM 03 JPM 04

JPM 05 JPM 06 KUM F1

0 1 2 3 4

Ponorogo Lumajang

Rerata unfillling cob tip (cm)

JPM 01 JPM 02 JPM 03 JPM 04

JPM 05 JPM 06 KUM F1

20 23 26 29 32

Ponorogo Lumajang

Rerata Jumlah Kernel per Baris (biji)

JPM 01 JPM 02 JPM 03 JPM 04

JPM 05 JPM 06 KUM F1

125 155 185 215 245

Ponorogo Lumajang

Rerata Bobot Tongkol Segar tanpa Kelobot (g)

JPM 01 JPM 02 JPM 03 JPM 04

JPM 05 JPM 06 KUM F1

11 12 13 14 15

Ponorogo Lumajang

Rerata Jumlah Baris Biji (baris)

JPM 01 JPM 02 JPM 03 JPM 04

JPM 05 JPM 06 KUM F1

(9)

(a) (b)

(c) (d)

(e)

Gambar 2. Rerata komponen hasil di setiap lokasi: (a) Diameter tongkol, (b) Bobot tongkol segar dengan kelobot, (c) Bobot tongkol segar dengan kelobot per plot, (d) Bobot tongkol segar

tanpa kelobot per plot, (e) Produktivitas. Keterangan: = Ponorogo, = Lumajang

0 7.5 15 22.5 30

JPM 01

JPM 02

JPM 03

JPM 04

JPM 05

JPM 06

KUM F1 Produktivitas (ton.ha-1)

Genotipe d

a

c bc

ab ab bc ab ab ab

a b

ab ab

(10)

-agronomi dan hasil pada tanaman jagung yaitu 13,98-14,02% (Azmi dan Sugiharto, 2020). Sehingga nilai Koefisien Variasi (KV) pada komponen hasil tanaman jagung berkisar antara 10,6-17,51%. Nilai KV yang rendah menunjukkan variasi di dalam genotipe kecil dan dapat diasumsikan genotipe tersebut keragaman karakter antar galurnya rendah, karena variasi yang ditimbulkan kecil. Sehingga tidak bisa diketahui proporsi pengaruh faktor genetik, faktor lingkungan, dan faktor interaksi genotipe dan lingkungan terhadap variabel tersebut.

Lokasi Kabupaten Lumajang menunjukkan bahwa genotipe yang memiliki keunggulan dibandingkan dengan genotipe lainnya yaitu JPM 03. JPM 03 pada variabel bobot tongkol segar dengan kelobot (Gambar 1b) menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan varietas pembanding dan genotipe kandidat lainnya. Sedangkan pada variabel yang lain menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Hasil yang tidak berbeda nyata galur yang diuji dengan varietas pembanding kemungkinan disebabkan oleh latar belakang genetik untuk potensi hasil galur yang diuji relatif sama, serta pengaruh lingkungan yang sulit dijelaskan karena disebabkan oleh beberapa faktor yang sangat komplek (Sitaresmi et al., 2016). Karakter yang diamati dan memiliki nilai variabilitas sempit merupakan karakter kuantitatif yang dikendalikan oleh banyak gen (poligen) (Safuan et al., 2014). Sifat kuantitatif yang dikendalikan oleh banyak gen diartikan sebagai hasil akhir dari suatu proses pertumbuhan yang berkaitan dengan sifat fisiologi, dengan demikian karakter tersebut tidak efektif untuk kegiatan seleksi.

Variabilitas sempit menyebabkan seleksi terhadap karakter yang diamati relatif sulit dan membutuhkan waktu yang lama untuk generasi selanjutnya. Sifat karakter

kuantitatif yang dikendalikan banyak gen menyebabkan kontribusi masing-masing gen menjadi lebih kecil dan lebih banyak dipengaruhi lingkungan (Fitriani et al., 2013).

Genotipe yang menunjukkan hasil stabil pada uji lanjut BNJ 5% berdasarkan notasi tabel dua arah yaitu JPM 04. JPM 04 menunjukkan hasil yang stabil di dua lokasi pengamatan pada variabel panjang tongkol (Tabel 4), unfilling cob tip (Tabel 4), jumlah kernel per baris (Tabel 5) dan jumlah baris biji (Tabel 5). Hasil pengamatan pada variabel panjang tongkol, unfilling cob tip, jumlah kernel per baris menunjukkan pengaruh interaksi genotipe dan lingkungan kecil dan pada variabel jumlah baris biji hanya dipengaruhi oleh faktor genotipe.Hal ini menunjukkan bahwa kedua lokasi memiliki kondisi agroekologi yang berbeda.

Kondisi agroekologi yang berbeda mampu mengetahui tingkat adaptasi beberapa calon varietas termasuk wilayah adaptasi sempit atau memiliki adaptasi luas (Abduselam et al., 2017). Jika pada lingkungan yang sama terdapat perbedaan antara dua individu dan dapat diukur (sifat kuantitatif) maka perbedaan ini berasal dari variasi genotipe kedua tanaman (Maruapey, 2012).

SIMPULAN

1. Terdapat interaksi genotipe dan lingkungan. Interaksi genotipe dan lingkungan terjadi pada variabel panjang tongkol, panjang penutupan kelobot (cm), unfilling cob tip (cm), jumlah kernel per baris (biji), dan bobot tongkol segar tanpa kelobot (g).

2. Genotipe JPM 01 berdasarkan uji daya hasil di Kabupaten Ponorogo menunjukkan keunggulan pada variabel diameter tongkol (cm), bobot tongkol segar dengan kelobot (g), bobot tongkol segar dengan kelobot per plot (kg),

(11)

3. bobot tongkol segar tanpa kelobot per plot (kg) dan produktivitas (ton.ha-¹, serta hasil analisis ragam gabungan JPM 01 unggul pada variabel panjang tongkol (cm) dan bobot tongkol segar tanpa kelobot (g). Genotipe yang menunjukkan keunggulan pada lokasi Kabupaten Lumajang yaitu JPM 03 karena menunjukkan keunggulan pada variabel bobot tongkol segar dengan

kelobot. Sedangkan genotipe yang unggul di kedua lokasi ialah JPM 04 karena pada empat variabel yang dianalisis ragam gabungan menunjukkan hasil yang stabil pada variabel panjang tongkol, unfilling cob tip, jumlah kernel per baris dan jumlah baris biji di kedua lokasi.

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimakasih ditujukan kepada CV. Blue Akari Batu atas bimbingan dan fasilitas dalam pelaksanaan penelitian yang telah diberikan kepada penulis.

DAFTAR PUSTAKA

Abduselam, F., Z. Lagese, S. Tegene, F.

Tadesse, and A. Biri. 2017.

Performance evaluation and adaptability of improved released maize (Zea mays L.) V. Pelagia Res.

Libr. Asian J. Plant Sci. Res. 7(5): 10–

14.

Amrullah, R.A., dan A.N. Sugiharto. 2019.

Evaluasi interaksi genotip x lingkungan karakter agronomi dan hasil beberapa calon varietas jagung hibrida (Zea mays L .). J. Prod. Tan.

7(5): 912-921.

Anasari, N.R., N. Kendarini, dan L.

Purnamaningsih. 2017. Interaksi genotip x lingkungan pada empat genotip pakchoy ( Brassica rapa L .) di tiga lokasi. 5(1): 54–60.

Azmi, M.J., dan A.N. Sugiharto. 2020.

Interaksi genotipe x lingkungan terhadap karakter agronomi dan komponen hasil beberapa calon varietas jagung hibrida (Zea mays L .) di Kabupaten Tuban. J. Prod. Tan.

8(2): 75-84.

Begum, S., A. Ahmed, S. Omy, M. Rohman, and M. Amiruzzaman. 2016. Genetic

variability, character association and path analysis in maize (Zea mays L.).

Bangladesh J. Agric. Res. 41(1): 173–

182.

Burgueno, J., G. de los Campos, K. Weigel, and J. Crossa. 2012. Genomic prediction of breeding values when modeling genotype x environment interaction using pedigree and dense molecular markers. Crop Sci. 52(2):

707-719.

Fitriani, L., Toekidjo, dan S. Purwanti. 2013.

Keragaan lima kultivar cabai (Capsicum annuum L.) di dataran medium. Jurnal Vegetalika. 2(2):50- 63.

Herawan, S.Y., I.M. Sumertajaya, dan P.

Silvianti. 2013. Uji multilokasi melalui analisis ammi multirespon (studi kasus : penelitian galur tanaman tembakau Madura). Xplore J. Stat.

1(1).

Maruapey, A. 2012. Pengaruh pupuk kalium terhadap pertumbuhan dan produksi berbagai jagung pulut (Zea mays ceratina. L). J. Ilmiah Agribisnis dan Perikanan. 5(2): 33-45.

McIntosh, M.S. 1983. Analyses of combined experiment. Agron. J. 75: 153-155.

Petersen, R.G. 1994. Agricultural field experiments design and analysis.

Marcel Dekker Inc. New York, Basel Hongkong.

Safuan, L., D. Boer, T. Wijayanto, and N.

Susanti. 2014. Analisis variabilitas kultivar jagung pulut (Zea masys

(12)

Ceritina Kulesh) lokal Sulawesi Tenggara. Jur. Agroteknos, 4(2) : 108- 112.

Sitaresmi, T., C. Gunarsih, Y. Nugraha, B.

Abdullah, and I. Hanarida. 2016.

Interaksi genotipe x lingkungan untuk hasil gabah padi sawah. Penelit.

Pertan. Tanam. Pangan 35(2): 89-98.

Suarni, S., M. Aqil, dan H. Subagio. 2019.

Potensi pengembangan jagung pulut mendukung diversifikasi pangan. J.

Penelit. dan Pengemb. Pertan. 38(1):

1.

Tengah, J., S. Tumbelaka, dan M.M.

Toding. 2017. Pertumbuhan dan produksi jagung pulut lokal (Zea mays ceratina Kulesh) pada beberapa dosis pupuk NPK. ejurnal unsrat 1(1): 1-10.

Trustinah, dan R. Iswanto. 2013. Pengaruh interaksi genotipe dan lingkungan terhadap hasil kacang hijau. 32(1): 36- 42.

Waluyo, B. and Kuswanto. 2010. Stability and adaptability of nine open pollinated varieties of UB maize.

Agrivita. 32(3): 293-301.

Zhang W., Y. Wenpeng, W. Mingchun, W.

Wei, Z. Guiping, C. Zhiwei, C. Yilin.

2013. Increasing lysine content of waxy maize through introgression Opaque-2 and Opaque-16 genes using molecular assisted and biochemical development. Plos One.

8(2).

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian untuk mengamati aktivitas enzim monooksigenase pada populasi nyamuk Aedes aegypti di Kecamatan Tembalang, Kota Semarang.. Penelitian dilaksanakan

Disamping itu, penerapan QFD dalam proses perancangan produk dapat digunakan untuk memenuhi persyaratan Standar Sistem Mutu ISO 9001, yang mensyaratkan digunakannya

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kompetensi, independensi, dan profesionalisme yang merupakan sikap minimal yang harus dimiliki

Perlu untuk ditegaskan bahwa bukan hanya agama Islam saja yang terdapat di dalamnya syari’at zakat, tetapi nabi-nabi yang diutus kepada umat-umat yang terdahulu ternyata juga

Hasil dari uji hipotesis ini yaitu adanya hubungan antara pelaku ruang dengan daya tarik wisata karena berdasarkan hasil analisis antara jenis pelaku dengan daya

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kinerja keuangan perusahaan apabila dianalisis dengan menggunakan analisis rasio keuangan dengan pendekatan rasio

Amar Putusan M ajelis Hakim Banding pada Pengadilan Tinggi Tanjungkarang yang mengadili Perkara Nomor: 54/ pid.b/2013/Pt.Tjk, menyatakan, bahwa M ajelis Hakim tingkat banding set elah

Semua konsep itu mempunyai makna, bukan saja karena keunikannya secara semantik, melainkan juga karena kaitannya dengan materi struktur normatif dan etik tertentu yang