• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Putusan Bebas Terdakwa Anggota Polri Dalam Perkara Tertembaknya Warga Sipil Di Mesuji Lampung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Analisis Yuridis Putusan Bebas Terdakwa Anggota Polri Dalam Perkara Tertembaknya Warga Sipil Di Mesuji Lampung"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

V OL. 2 5 N O. 1 / JU N I 2 0 1 8 DATA NASKAH M asuk: 12 Januari 2017 Diterim a: 10 M ei 2018 Terbit: 1 Juni 2018 KORESPONDEN PENULIS:

Program Studi M agister Ilm u Hukum , Program Pascasarjana, Universitas Bandar Lam pung, Jalan Zainal Abidin Pagar Alam No. 26 Labuhan Ratu Kedaton Bandar Lam pung, 35142 E-M ail: ketut1183@ gm ail.com

Analisis Yuridis Put usan Bebas Terdakw a

Anggot a Polri dalam Perkara

Tert em baknya Warga Sipil di M esuji

Lam pung

I Ketut Seregig

DOI: 10.18196/ jmh.2018.0101.48- 59

ABSTRACT

The Free Verdict handed down by the Appellate Court of the Tanjungkarang High Court is a judgment that has fulfilled the sense of justice for the defendant AKP WH as a member of the Police, because the Panel of Judges has shown the authority of this law in the eyes of the public in general and gives appreciation to the Indonesian Police measures in securing the show anarchist feelings that people do. However, the justification justifying the decision of the Tanjungkarang High Court of Appeals Court is the issue that needs to be investigated to determine what is considered by the Panel of Justices so that in its decision to free the Defendant AKP WH from all charges. The conclusion of the research that has been done is that the free judgment handed down by the Appeals Judge to the defendant is based on several considerations that are used as justification reasons, among others; the defendant has performed his duties in accordance with the procedures laid down in the applicable law and the use of firearms to disperse anarchist masses and no longer any party to the act of the defendant, material or moral, as all parties have agreed to make peace. Reviewing the facts presented in the appeals court by the Appeals Panel is used as the Rejection and Forgiveness Reason because there is no longer any legal provisions violated by the defendant AKP WH, the Panel of Judges frees the defendant from all charges.

Keywords: State Duty, Anarchist, Free Verdict.

ABSTRAK

Vonis Bebas yang dijatuhkan Hakim Banding Pengadilan Tinggi Tanjung karang adalah putusan yang di nilai telah memenuhi rasa keadilan bagi terdakwa AKP WH selaku anggota Polri, karena Majelis Hakim telah menunjukan wibawa hukum ini dimata masyarakat secara umum

(2)

dan memberikan apresiasi atas langkah-langkah Polri dalam mengamankan unjuk rasa anarkis yang dilakukan warga masyarakat. Namun, alasan pembenar yang dijadikan sebagai dasar dalam menjatuhkan putusan Maj elis Hakim B anding Pengadilan T inggi Tanjungkarang adalah permasalahan yang perlu diteliti untuk mengetahui apakah yang dijadikan pertimbangan oleh Maj elis Hakim sehingga dalam putusannya membebaskan Terdakwa AKP WH dari segala dakwaan. Kesimpulan hasil penelitian yang telah dilakukan adalah, bahwa vonis bebas yang dijatuhkan oleh Hakim Band-ing kepada terdakwa didasarkan atas beberapa pertimbangan yang dijadikan sebagai alasan pembenar, antara lain; terdakwa telah menjalankan tugas sesuai dengan prosedur yang diatur dalam ketentuan hukum yang berlaku dan penggunaan senjata api miliknya dengan maksud untuk membubarkan massa anarkis dan tidak ada lagi pihak-pihak yang dirugikan atas perbuatan terdakwa, baik materiil atau moril, karena semua pihak telah sepakat untuk melakukan perdamaian. Mengkaji fakta-fakta yang diajukan dalam peradilan banding oleh Maj elis Hakim B anding dijadikan sebagai alasan Pembenar dan Pemaaf karena tidak ada lagi ketentuan hukum yang dilanggar oleh terdakwa AKP WH, maka Majelis Hakim membebaskan terdakwa dari segala dakwaan.

Kata Kunci: Tugas Negara, Anarkis, Vonis Bebas

I. PENDAHULUAN

Put usan bebas dalam perkara Band ing d i Pengadilan Tinggi Tanjungkarang, yang diajukan terdakwa Anggota Polri cukup m eng ang kat cit ra lem b ag a p erad ilan d im at a masyarakat. Betapa tidak, selama ini setiap anggota Polri dalam melaksanakan tugas pengamanan m assa anarkis, selalu berakhir pad a kesalahan dipihak petugas. Apab ila dalam kegiatan pengamanan tersebut ada korban dari warga masyarakat akibat luka tembak, apalagi meninggal dunia, maka pimpinan Polri akan menindak secara internal terlebih dahulu d an kemudian ang gota Polri menjalani proses penyidikan atas p erbuatan pidana yang dipersangkakan kepadanya. Dalam kondisi seperti ini, negara seakan tidak berdaya menghadapi warga masyarakat yang anarkis. Kondisi sosiol selama ini telah tercipta seperti itu d i masyarakat, entah sengaja atau tidak, setiap unjukrasa yang dilakukan

masyarakat berpotensi t erjadinya anarkis dan cend erung menimbulkan bentrokan secara fisik. Dalam sit uasi dan kondisi seperti itu, Polri selalu hadir mew akili Negara dan berusaha mem buat situasi d an kondisi menjadi tent ram dengan cara yang persuasif , tet api apabila cara it u tidak berhasil, maka akan ada langkah berikutnya yaitu tindakan keras dan terukur sesuai dengan pasal 5 Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009.

Kehadiran polisi dalam mengamankan unjukrasa di M esuji, merupakan tuntutan tugas yang harus dijalankan oleh anggota Polri, dalam pengamanan tersebut AKP WH juga diperintah kan oleh Kapolres Tulang Bawang bersama-sama dengan anggota lainnya untuk melaksanaan tugas di M esuji. Dengan demikian kehadiran AKP WH di Kabupaten M esuji bukan atas kehendaknya, tetapi merupakan tugas Neg ara, maka kehadirannya d alam pelaksanaan tugas ditempat tersebut haruslah dipandang sebagai seorang yang mew akili neg ara d alam mew ujudkan keamanan. Dalam menghadapi unjukrasa anarkis, negara tidak boleh kalah oleh para pelanggar hukum yang telah melakukan pengrusakan, pembakaran perusahaan PT BSM I di M esuji Lampung. Terkait dengan peristiwa tertembaknya salah seorang massa anarkis bernama Jaelani yang terjad i pada tanggal 10 November 201 1 sekitar pukul 10.0 0 WIB, yang yang melibat kan anggota Polri yang bertugas untuk mengamankan massa anarkis di PT Barat Selatan M akmur Investindo (PT.BSM I), bila dikaji dari kronologis peristiwa nya, bukanlah kesalahan dari AKP WH, tet api semata-mat a karena situasi yang dihadapi AKP WH, yang mana pada saat itu massa anarkis dan sudah beringas yang berjumlah ratusan orang dengan parang terhunus dan senjata rakitan, termasuk di dalamnya salah seorang bernama Jaelani, m engejar p etugas polisi (termasuk AKP WH) yang ada diat as m obil dobel kab in. Untuk menghindari kejaran massa saat itu, rombongan AKP WH menancap gas d an menghindar, massa yang sudah beringas malah sebaliknya mengejar AKP WH dan kaw an-kawannya

Dalam keadaan dikejar oleh massa anarkis, AKP WH mendengar ada suara tembakan dari arah belakang , lalu AKP WH, bersepekulasi, jangan-jangan suara t embakan tersebut dari massa. Disinilah tolak ukur tind akan polisi, apakah petugas harus berlari atau menghentikan tindakan

(3)

anarkis massa tersebut. Kemudian AKP WH mengeluarkan tembakan peringatan dari atas mobil, kemudian diantara massa anarkis ada yang tersungkur membentur pohon sawit. Atas kejadian tersebut, massa berhenti melakukan pengejaran, ternyata yang jatuh tersungkur tersebut akibat luka tembak, kemudian setelah di bawa ke Rumah Sakit, korban meninggal dunia.

Peristiwa yang menimpa AKP WH menarik untuk diteliti, karena setelah peristiwa tersebut AKP WH dikenakan tindakan disiplin oleh Bidang Propam Polda Lampung dan ditahan selama 1 4 hari. Selanjutnya set elah menjalani hukuman disiplin, AKP WH diajukan dalam sidang perkara pidana dan dinyatakan bersalah oleh M ajelis Hakim Pengadilan Negeri M enggala dan divonis 1 (sat u) t ahun penjara. Kemud ian terdakwa menyatakan banding, yang hasilnya M ejelis Hakim Banding menyatakan terdakw a tidak terbukti bersalah, dan membebaskan terdakwa AKP WH dari segala tuduhan, serta memerintahkan agar terdakwa direbilitasi.

II. RUM USAN M ASALAH

1. Apakah yang dijadikan pertimbangan oleh M ajelis Hakim Band ing Peng adilan Ting g i Tanjung karang d alam menjatuhkan Vonis Bebas terhadap Terdakw a?

III. M ETODE PENELITIAN

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pengertian yurid is norm at if ad alah p enelitian hukum doktriner, d imana sering d iseb ut juga sebagai penelit ian kepustakaan atau studi dokumen, dengan cara menelaah kaidah-kaidah, norma-norma, aturan-aturan yang berkaitan dengan permasalahan-permasalahan yang akan dibahas. Dalam kaitannya dengan penulisan jurnal ini, pendekatan yuridis normatif dimaksudkan sebagai upaya untuk menggali peraturan-p eraturan hukum dalam p ersid angan, yang dijadikan seb agai pertimbangan M ajelis Hakim dalam m en j at u h k an p u t u san , m en g k aj i p er t i m b an g an -pertimbangan M ajelis Hakim yang dijadikan sebagai dasar h u ku m d alam m en g ad ili t erd akw a d alam p erkara tertembaknya warga sipil oleh polisi. Sedangkan pendekatan empiris adalah upaya penulis untuk menggali fakta-fakta lapangan yang bersumber dari informan, yang dilakukan

melalui waw ancara secara langsung, melalui tanya-jawab tehadap informan sebagai objek penelitian. Dalam kaitan dengan w aw an cara terhadap Informan, yang akan di w awancarai oleh peneliti adalah terdakwa dan penasehat hukumnya. Objek penelitian yang telah ditentukan peneliti, sebagai informan penelitian, akan dijadikan sebagai sumber d at a p rim er oleh p enelit i d eng an m et od e ob servasi (pengamatan) dan waw ancara (Sugiono, 2005: 24).

IV. HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

A.

Kronologis Peristiwa

Berdasarkan wawancara dengan penyidik Reskrim Polres Tulang Bawang menyatakan, asal mula terjadinya peristiwa tertembaknya warga masyarakat oleh polisi, beraw al pada tanggal 10 November 2011 sekitar pukul 10.00 WIB telah terjadi unjuk rasa massa yang anarkis dengan cara merusak dan membakar Kantor PT. Barat Selatan M akmur Investindo (BSM I) Kab. M esuji Lampung. Kemudian AKP WH di kirim sebag ai Kasub ag Dalops Polres Tulang Baw ang bersama-sama Kabagops Polres Tulang Bawang menuju lokasi kejadian unt uk membant u pet ugas Brimob meng amankan massa anarkis di PT. BSM I Kabupaten M esuji Lampung. AKP WH d an p asukannya, d alam p elaksanaan t ug as t erseb ut dihadapkan pada ribuan massa bersenjata parang dan senpi rakitan. Pada waktu terdakwa saat itu berusaha menenangkan massa yang melakukan pembakaran kantor PT.BSM I, tetapi kew alahan, bahkan dalam kondisi yang tidak teratur dan teriakan-keriakan emosi, beringas yang dihadapi oleh AKP WH, massa berbalik melaw an pasukan Dalmas, dan AKP WH berada dalam pasukan tersebut, hingga pasukan Dalmas terpecah konsentrasinya, karena dikejar m assa anarkis tersebut.

Kelompok massa anarkis tersebut mengejar AKP WH dan anggota lainnya yang sudah berad a diatas mobil pat roli, menggunakan sepeda motor yang jumlahnya cukup banyak dengan senjata parang terhunus. Dalam kondisi yang tidak tertart ur tersebut, t iba-t iba AKP W H mendengar suara tem bakan dari belakang, lalu ia berpikir bahw a suara tembakan itu adalah senpi rakitan yang dibaw a oleh massa anarkis tersebut, untuk memecah konsentrasi motor yang mengejar nya kemudian AKP WH mengeluarkan tembakan beberapa kali, dan para pengendara sepeda motor ada yang

(4)

terjatuh, lalu sepeda motornya menghantam pohon kelapa sawit, dan kemudian meninggal dunia di rumah sakit. Suara tem bakan yang did engar dari belakang oleh AKP WH, dibenarkan oleh saksi Aipda Dian Permana yang juga berada di dalam kendaraan bersama-sama dengan terdakwa, yang d i d alam ket eran g ann ya m en yat akan , b ahw a saksi mendengar suara tembakan yang diduga berasal dari senpi rakitan milik warga yang anarkis saat melakukan pengejaran t erhad ap kelom poknya, lalu t erd akw a mengeluarkan tembakan, kearah para pengendara sepeda motor, kemudian ada yang terjatuh terkena tembakan petug as dan saksi menduga hal itu dilakukan oleh terdakwa AKP WH. Dalam teori hukum dan teori kriminologi, dinyatakan, bahwa sebab-sebab timbulnya suatu tindak pidana (crime causation) yang mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan itu, perlu diketahui motivasinya.

M otivasi ad alah d orong an yang tim b ul p ad a diri seseorang secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan suatu p erbuatan dengan tujuan tert entu. M otivasi sering jug a diartikan sebagai usaha-usaha yang menyebab kan seseorang atau kelompok tertentu tergerak untuk melakukan suatu p erb uatan karena ing in m encap ai t ujuan yang dikehendakinya atau membuat kepuasan atas perbuatannya. Bentuk dari motivasi dalam teori kriminologi ada dua macam yait u motivasi instrinsik dan ekstrinsik. M otivasi instrinsik adalah dorongan atau keing inan pada diri seseorang, sedangkan motivasi ekstrinsik adalah dorongan yang datang dari luar diri seseorang (Singgih, 2008: 26).

Seseorang yang melakukan perbuatan tindak pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut dengan p id ana, ap abila ia m em p unyai kesalahan. Seseorang mempunyai kesalahan, apabila pada w aktu ia melakukan perbuatan, dilihat dari normatif tentang kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut (Saleh, 1999: 51). Berdasarkan dari uraian tersebut, dapat dianalisis bahw a perkara yang menimpa AKP WH merupakan salah satu contoh terhadap tantangan tug as yang d ihadapi oleh Polri yang bertugas dilapangan.

Akibat dari peristiw a tersebut, AKP WH telah ditindak secara administratif oleh Ankum , sesuai dengan putusan Nomor: Kep/17/XI/2011/ YANM A, dengan hukuman berupa penempat an khusus di Subdit Propam Polda Lamp ung

selam a 14 hari, penundaan kenaikan gaji berkala selama satu periode dan mutasi bersifat demosi. Selain hukuman itu, AKP WH juga diajukan dalam sebagai terdakw a dalam sidang peradilan dan di vonis bersalah oleh Hakim Pengadilan Negeri M enggala dengan putusan Nomor: 817/Pid.B/ 2013/ PN.M gl, yang isinya menyatakan, AKP WH terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, karena kesalahannya (kealpaan), menyebabkan orang lain meninggal, sebagaimana diat ur dalam p asal 359 KUHP dengan vonis pidana penjara 1 (satu) tahun.

Atas putusan tersebut, AKP WH mengajukan Banding pad a Pengadilan Tinggi Tanjungkarang dalam Perkara Nomor: 54/Pid.B/2013/PT.Tjk. Dalam vonis yang dijatuhkan oleh M ajelis Hakim Pengadilan Tinggi Tanjungkarang, dinyatakan “AKP W H tidak terbukti bersalah” melakukan tindak pidana dalam dakw aan primair dan membebaskan terdakwa dari dakwaan primair serta membebaskan AKP WH dari semua t untutan hukum. M ajelis Hakim Pengadilan Tinggi Tanjungkarang yang mengadili perkara AKP WH dalam perkara meninggalnya warga masyarakat bernama Jaelani akibat luka tembak dan 4 (empat) orang luka-luka akibat rekoset peluru petugas, yang dijadikan sebagai saksi yang mengalami peristiw a pada hari Kamis tanggal 10 Novem-ber 2011, ketika terdakw a Novem-bertugas mengamankan massa anarkis di w ilayah M esuji, yaitu; M uslim umur 1 7 tahun, Robin umur 17 tahun, Rang Karno umur 20 tahun dan Haerul umur 17 tahun. Putusan bebas terdakw a AKP WH d ari dakw aan primair dan bebas dari semua tuntutan hukum, yang d ijat u h kan Hakim t erseb u t m en g acu kep ad a pertimbangan yang sangat menguntungkan terdakwa dalam hal bersalah antara lain:

1. Bahw a M ajelis Hakim tingkat banding tidak sependapat dengan M ajelis Hakim tingkat pertama dalam putusannya yang menyatakan, bahwa terdakwa terbukti dengan sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakw akan kepadanya pada dakw aan subsidair yaitu melanggar pasal 359 KUHP.

2. M ajelis Hakim Banding mengambil alih pertimbangan M ajelis Hakim tingkat pert ama dan dijadikan sebagai bahan pertimbangan oleh M ajelis Hakim tingkat band-ing dalam memutus perkara pada tband-ing kat b andband-ing, kecuali terhadap lamanya pidana yang dijatuhkan Majelis

(5)

Hakim tingkat pertama, menurut M ajelis Hakim Band-ing t erlalu b erat b ag i d iri t erd akw a yang d alam menjalankan t ugasnya telah m engam bil keputusan dengan mempertimbangkan situasi membahayakan. 3. Bahwa terdakwa dalam perkara a-quo telah menjalankan

tugas sesuai dengan prosedur dalam ketentuan hukum yang berlaku dan pengg unaan senjata api miliknya dengan maksud untuk membubarkan massa anarkis tidak ada lagi pihak-pihak yang d irugikan atas p erbuatan terdakw a, baik materiil atau moril, dan tidak ada lagi yang dirugikan, karena semua pihak telah sepakat untuk melakukan perdamaian. Berdasarkan pada hal-hal tersebut M ajelis Hakim Peng ad ilan Ting g i Tan jun g karang b erp end ap at , b ahw a p utusan p eng ad ilan t ingkat pertama, tid ak tepat dan t idak benar serta tidak ada ketentuan hukum yang dilanggar atau dengan kata lain sudah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Putusan bebas yang dijatuhkan oleh Hakim Tinggi dalam Peradilan Banding terhadap WH selaku anggota Polri, berdasarkan pengamatan peneliti, ad alah putusan yang sang at sig nif ikan, b erani, t ransp aran d an konsist en mew ujudkan ketentuan-ketentuan hukum yang terdapat dalam KUHP. Berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan dalam persidangan, maka M ajelis Hakim tingkat banding juga menyebutkan, bahwa terdakwa tidak dapat dipersalahkan dan tidak dapat dianggap melalaikan tugas, karena kondisi

sosial security yang terjadi pada saat itu meng haruskan terdakwa melakukan tindakan melumpuhkan kepada setiap orang yang melakukan perbuatan mengancam keselamatan jiw a dari petugas Polri. Terkait dengan fakta sosial yang terjadi dalam penelitian ini, peneliti menilai bahwa terjadinya kealpaan yang dilakukan oleh terdakw a AKP WH dalam menjalankan tugas, dan berdasarkan fakt a-fakta yang terungkap di dalam persidangan, terdakwa AKP WH hendak memberi tembakan peringatan, yang d iarahkan pada kerumunan massa anarkis yang mengejar-ngejarnya dengan senpi rakitan dan senjata parang di PT.Barat Selatan Makmur Invest ind o (BSM I) Kab up at en M esuji, nam un d alam kenyataan tembakan peringatan tersebut mengenai salah seorang massa anarkis nama Jaelani dan meninggal dunia dalam perjalanan ke Rumah Sakit.

Dalam m eng im p lement asikan t ug as-t ugas Polri d i

m asyar a k at , an g g o t a Po l r i d i h a r ap k a n m a m p u menghilangkan (menanggulangi) setiap permasalahan sosial yang tim bul di lingkungan m asyarakat . Sekilas harapan tersebut seolah-olah b erleb ihan, karena b erharap Polri mam pu menyelesaikan sem ua p ermasalahan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Namun, apab ila dikaji secara mendalam harapan ini tidak berlebihan, karena pada dasarnya setiap permasalahan sosial berpotensi berkembang menjadi gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat yang akan mengganggu aktivitas masyarakat apabila tidak diselesaikan tuntas. Abdussalam menyatakan, bahwa masyarakat sangat mengharapkan Polri mampu mewujudkan situasi kamtibmas yang kondusif dengan memberantas segala tindak kejahatan, sehingga masyarakat merasa aman dalam menjalankan akt ivitas kehidupan nya sehari-hari. Sejalan dengan era ref ormasi yang d i dalamnya telah diagendakan secara nasional, yaitu reformasi di b idang politik, ekonomi dan hukum, Polri juga menjadi sasaran ut ama d i reformasi, karena reformasi merupakan reaksi dari masyarakat terhadap praktek penyeleng garaan negara (Abdussalam, 2009: 43). Polri sebagai institusi negara yang dikedepan kan dalam menjalankan f ung si dan tugas keam anan yang selalu bersinggungan langsung dengan masyarakat, merupakan suatu hal yang wajar dan dapat dipahami apabila Polri yang paling banyak mendapat kritik dari masyarakat, mulai dari yang paling sopan sam pai d engan kritikan tajam yang mengarah pad a turunnya w ib aw a Polri berupa t indakan pelecehan, dan bentuk lainnya. Pelaksanaan tug as Polri seb ag ai ap arat neg ara p eneg ak hukum , p elind ung , p en g ayo m d an p elayan m asyar akat d en g an t id ak menyampingkan faktor-f aktor yang berp engaruh p ada penegakan hukum sepert i dikemukakan oleh Soerjono Soekanto yaitu: peraturan hukum itu sendiri akan berjalan d eng an b aik di masyarakat , d imana hukum tersebut ditegakan, keteladanan para aparat penegak hukumnya dan sarana dan prasarana penegakan hukum (Soekanto, 1991: 27).

M enurut pandangan Wahyudin Sumpeno, dalam sebuah masyarakat yang otoriter, fungsi kepolisian adalah melayani atasan/penguasa untuk menjaga kemantapan kekuasaan otoriter pemerintah yang berkuasa. Sedangkan dalam masyarakat madani yang demokratis modern dan bercorak

(6)

m ajem uk, sep ert i Ind o nesia m asa kini yang sed ang mengalam i ref ormasi menuju masyarakat mad ani yang dem okrat is, fungsi kep olisian juga harus menyesuaikan deng an corak masyarakat dan keb ud ayaan Ind onesia tersebut . Jika tid ak, m aka p olisi tid ak akan memperoleh tempat dalam hati masyarakat Indonesia sebagai pranata bersifat otonom yang dibutuhkan keberadaannya oleh masyarakat Indonesia. Anggota Polri harus memilih tahapan penggunaan kekuatan sebagai mana dimaksud pada ayat (1), sesuai tingkatan bahaya ancaman dari pelaku kejahatan atau tersang ka d engan memp erhatikan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 (Sumpeno, 2009: 32). Secara teoritis m enurut DPM Sit ompul, ketika terjadi suatu d elik kealp aan pengg unaan Senpi yang dilakukan personil Polri, t erdapat beb erapa kebijakan yang d iambil p im p in an Po lri, m u lai d ari keb ijakan reakt if yan g mem erint ahkan bahw a senjata yang dipinjam pakaikan kepada semua jajaran di lapangan harus segera ditarik dan disimpan, yang dilanjutkan dengan pemeriksaan terhadap kelengkapan administrasi semisal masa berlaku surat tanda ijin senjata, penelit ian ulang terhadap kesehatan mental term asuk ad anya pemeriksaan atas m asalah keluarga anggota yang bersangkutan. Selain kebijakan reaktif yang dilakukan pasca terjadi penyalahgunaan senjata api, terdapat alt ernat if kebijakan yang d apat diterapkan ant ara lain kebijakan proaktif upaya pencegahan dan upaya preventif delik kealpaan Senpi (Sitompul, 2004: 45).

Dalam kajian hukum pidana materiil menurut Awaloedin Djamin, bahw a delik kealpaan (culpa) meskipun dianggap sebagai suatu tindak pidana, namun berbeda dengan tindak pidana yang dilakukan secara sengaja atau ada perencanaan terlebih dahulu. Delik kealpaan (culpa) adalah bentuk yang lebih rendah derajatnya dari pada kesengajaan. Tapi dapat pula dikatakan bahw a kealpaan itu adalah kebalikan dari kesengajaan, karena bila dalam kesengajaan sesuatu akibat yang timbul dari kehendak pelaku, maka dalam kealpaan justru akibat tidak dikehendaki pelaku walaupun pelaku dapat mem perkirakan sebelum nya. Azas yang berlaku dalam hukum pidana “ tiada pidana tanpa kesalahan” adalah suatu indikator untuk membuktikan bahwa seseorang melakukan tindak pidana atau tidak (Djamin, 2007: 39).

Relevansinya d engan penelitian ini adalah polisi yang

didakw a melakukan penembakan yang menimbulkan luka berat, dikategorikan sebagai delik kealpaan (culpa) yaitu delik yang terwujud dimana polisi sejak awal melaksanakan tugas d ilo kasi t erseb u t t id ak p ern ah m en g h en d aki akan terw ujudnya tindak pidana yang didakwa kan kepadanya. Unt uk melihat leb ih jauh penerap an hukum terhadap terdakwa tentang pertanggung jawaban pidana tentang delik yang terjad i ad alah delik culpa, kemudian d ikonstat ir berdasarkan Pasal 359 KUHP dalam pelaksanaan tugas untuk mengamankan sengketa d i PT. BSM I Kabupaten M esuji Lampung. Sanksi pidana yang terdapat dalam ketentuan yang diatur d alam Pasal 359 KUHP merupakan bentuk k ep ast i an h u k u m yan g d i w u j u d k a n d a l am pertanggungjawaban hukum terhadap delik kealpaan yang dilakukan oleh Anggota Polri dalam up aya p engamanan seng ket a d i p erusahaan PT. BSM I Kab up at en M esuji Lampung. Sanksi pidana tersebut bertujuan guna menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum pada modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila b erb ag ai d im ensi kehid up an hukum selalu m enjag a keserasian, keselarasan, dan keseimbangan antara moralitas sip il yang d id asarkan oleh nilai-nilai akt ual d i dalam masyarakat beradab. Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam kerangka p encap aian t ujuan ad alah keharusan unt uk m elihat penegakan hukum pidana sebagai suatu sistem peradilan pidana.

Sanksi pidana terhadap delik kealpaan yang dilakukan Anggota Polri dalam pelaksanaan tugas diterapkan kepada pelaku m elalui proses p erad ilan. Bahw a Hakim dalam menjatuhkan vonis sangat memperhatikan beberapa unsur k esa l ah an yan g t er p en u h i ag ar d a p at m em p er-tanggung jaw ab kan p erbuatannya tersebut. Penjatuhan pid ana oleh Pengadilan Ting kat Pertama terhad ap delik kealpaan yang dilakukan Anggot a Polri d alam Putusan Pengadilan Negeri M eng gala Nomor: 817 /Pid .B/20 13/ PN.M gl dapat dimintai pertanggungjawaban sesuai dengan unsur-unsur tindak pidana, yaitu sehat jiwanya, mengetahui bahw a perbuatannya bertentangan dengan hukum serta m am p u m eng et ahui kehendak sesuai kesad arannya, sehingga dapat dipidana oleh Hakim. Tujuan pemidanaan ini bukan suatu pembalasan melainkan pembinaan b agi

(7)

t erd akw a yan g t elah b erb uat salah d an ag ar d ap at mempertanggungjawabkan perbuatannya.

B.

Analisis Teori Pertanggungjawaban

Pidana

Bahw a hukum pidana mem beri konsep pemidanaan dalam memenuhi syarat pemidanaan orang yang melakukan tindak pidana yang mempunyai kesalahan. Dalam hal kesala-han yang dapat mengakibatkan di pidananya seorang terdak-w a, maka haruslah mem enuhi krit eria sebagai b erikut; melawan perbuatan pidana; mampu untuk bertanggung-jawab; dengan sengaja atau kealpaan dan tidak ada alasan pemaaf. Definisi pertanggungjawaban adalah suatu perbua-tan yang harus diperperbua-tanggung jawabkan atas perbuaperbua-tan yang telah selesai dilakukan, pertanggungjawaban adalah suatu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan itu dipertang-g u ndipertang-g jaw ab kan p ad a si p em b u at p id ana. Ad an ya pertanggungjaw aban pidana, harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat bertanggungjawab, berarti harus dipastikan dahulu yang dinyatakan seb agai pemb uat suatu tindak pidana (Saleh, 1999: 47-48).

Pertangg ungjaw aban itu diminta atau t idak, adalah p erso alan ked u a, t erg an t u ng keb ijakan p ihak yang berkepentingan untuk memutuskan apakah dirasa perlu atau tidak untuk menuntut pertangg ung jaw aban t ersebut. M asalah ini m enyang kut sub jek t ind ak p id ana yang umumnya telah dirumuskan oleh yang membuat undang-und ang. Kenyataannya, untuk memastikan siapa yang bersalah sesuai d engan proses sistem peradilan pid ana (Sianturi, 1996: 50).

Berdasarkan teori ini dapat diketahui, bahwa perbuatan m elaw an h uku m b elu m cu kup u nt uk m enjat uh kan hukuman. Harus ada sebagai pembuat (dader) pidana yang bertanggungjawab atas perbuatannya. Pembuat harus ada unsur kesalahan dan b ersalah itu ad alah pert angg ung jaw aban yang harus mem enuhi unsur; perbuatan yang melaw an hukum dan pembuat at au pelaku diang gap mampu untuk bertanggungjawab atas perbuatannya (unsur kesalahan). Pertanggung jawaban pidana adalah seseorang itu dapat di pidana atau tidaknya karena kemampuan dalam mempertanggungjaw abkan perbuatannya.Dalam bahasa

asing dikenal deng an Toerekening svat b aarheid dan terdakwa akan dibebaskan dari tanggungjawab pidana jika itu tidak melanggar hukum (Atmasasmita, 2001: 54).

Prinsip Negara Hukum the rule of law, not of man

menurut Sudarto m enyatakan, bahw a hukum sebagai sistem, bukan orang perorang yang bertindak sebagai objek dari sistem yang mengaturnya. Gagasan Negara Hukum itu dibangun dengan mengembangkan perangkat hukum itu sendiri sebagai suatu sistem yang fungsional dan berkeadilan, d ikem b an g kan d en g an m en at a su p rast ru kt u r d an infrastruktur kelembagaan politik, ekonomi dan sosial yang tertib, teratur dan dibina dengan membangun budaya dan kesadaran hukum yang nasional dan imp ersonal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk it u sist em hukum p erlu d ib ang un (law m aking) d an ditegakkan (law enforcing) sebagaimana mesti nya, dimulai deng an konst it usi seb ag ai hukum yang p aling ting gi kedudukannya. Hukum Pidana sebagai salah satu bagian ind ependensi dari hukum publik merupakan salah satu instrumen hukum yang sangat urg en eksistensinya sejak jaman dahulu. Hukum pidana sangat penting eksistensinya dalam menjamin keamanan masyarakat dari ancaman tindak pidana, menjaga stabilitas negara dan bahkan merupakan lembaga moral yang berperan merehabilitasi para pelaku pidana. Hukum pidana terus berkembang sesuai dengan tuntutan tindak pidana yang ad a pad a setiap masanya (Sudarto, 1997: 42).

Hukum pidana terd iri d ari norma-norma yang berisi keharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk UU) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat juga dikatakan, bahwa hukum pidana itu merupakan suatu sistem norm a-norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dimana terdapat suatu keharusan unt uk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan-kead aan bagaimana hukum itu dapat dijatuhkan, serta hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut (Lamintang, 1997: 39).

Bahw a p idana memiliki peng ertian perbuat an yang dilakukan setiap orang/subjek hokum berupa kesalahan dan bersifat melanggar hukum ataupun tidak sesuai dengan

(8)

perundang-undangan. Sedangkan Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-und angan, harus b ersif at melaw an hukum, bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat.Setiap tindak pidana selalu dipandang sebagai suatu perbuatan bersifat melaw an hukum, kecuali ada alasan p embenar (Naw aw i, 2002: 35).

Tind ak p id ana ad alah b ent uk t ing kah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan, yang merugikan masyarakat, asosial, melanggar hukum serta undang-undang pidana. Unsur-unsur perbuatan yang dapat mengkibatkan dipidananya seorang terdakwa adalah mampu bertanggung jaw ab. Tujuan dipidananya seorang terdakw a bukan suatu pembalasan melainkan pembinaan bagi terdakwa yang telah berbuat salah dan agar dapat mempertanggungjawabkan perbuatan nya. Syarat-syarat seorang mampu bertanggung-jaw ab adalah faktor akal dan faktor kehendak. Faktor akal dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbo-lehkan dan tidak diperbodiperbo-lehkan. Faktor kehendak menyes-uaikan ting kah lakunya d eng an keinsaf an at as m ana diperbolehkan dan yang tidak. Seseorang yang melakukan p erb u at an p id an a akan m em p ert ang g un g jaw ab kan perbuatannya tersebut dengan pidana, bila ia mempunyai kesalahan. Seseorang mempunyai kesalahan bila pada saat melakukan suatu p erbuatan dilihat d ari sudut pand ang masyarakat, akan menunjukkan pandangan yang norma-tive mengenai kesalahan yang telah dilakukan oleh orang tersebut (Purnomo, 1996: 63).

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Pert angg ung jaw aban pid ana atau kesalahan seseorang dapat t idaknya seseorang dipid ana haruslah memenuhi rumusan: a) kemampuan bertanggung-jaw ab orang yang melakukan perbuatan; b) hubungan bat hin (sikap psikis) orang yang melakukan perbuatan dengan perbuatannya, berup a kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa); c) t idak ada alasan yang menghapus

pertanggung jawaban pidana atau kesalahan bagi pembuat (Soesilo, 1999: 74).

Berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana dikenal adanya 3 (tiga) unsur pokok, yaitu: pertama, unsur perbuatan: adalah unsur pertama adalah perb uatan at au tind akan seseorang. Perbuat an orang ini adalah titik penghubung dan dasar untuk pemberian pidana; kedua, unsur orang atau pelaku: adalah orang atau pelaku ad alah sub jek t indak p idana at au seorang m anusia. Hubungan ini mengenai hal kebatinan, yaitu hal kesalahan si pelaku tindak pidana. Hanya sengan hubungan batin ini, perbuatan yang dilarang dapat dipertanggung jawabkan pada si pelaku dan baru akan tercapai apabila ada suatu tindak pid ana yang pelakunya dapat dijatuhi hukuman; ketiga, unsur pidana, melihat dari pelaku: Pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat tertentu itu (Sudarto, 1997: 52).

Dalam menjatuhkan pidana, hukum pidana hanya dapat dijatuhkan apabila perbuatan tersebut telah diatur dalam ketentuan perundang-undangan. Undang-Undang Nomor: 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebut kan, hakim wajib memutuskan setiap perkara, menafsirkan atau menjelaskan undang-undang jika tid ak jelas dan melengkapinya jika tidak lengkap. Tetapi penafsiran hakim mengenai undang-undang dan ketentuan yang dibuatnya itu, tidak mempunyai kekuatan mengikat secara umum, tapi hanya berlaku dalam peristiw a-peristiw a tertentu karena secara p rinsip, hakim t idak terikat oleh putusan-putusan hakim lainnya. Pidana pada hakikatnya hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan, maka konsep pertama-tama ad al ah m er u m u skan t u j u an p em i d an aan . Dal am mengidentifikasikan tujuan pemidanaan, konsep bertitik tolak dari keseimbangan 2 (dua) sasaran pokok, yaitu; perlin-dungan masyarakat dan perlinperlin-dungan/pembinaan individu pelaku tindak pidana (Rifai, 2011: 47).

Pelaksanaan hukum mem erlukan kontrol sosial untuk menguatkan peradaban masyarakat manusia, karena kontrol sosial mengendalikan perilaku anti sosial yang bertentangan dengan kaidah-kaidah ketert iban sosial. Hukum, sebagai mekanism e kontrol sosial, m erup akan fungsi ut ama d ari neg ara d an bekerja melalui penerapan kekuatan yang

(9)

dilaksanakan secara sistematis dan teratur oleh agen yang d itunjuk unt uk m elakukan f ung si it u. Roscoe Pound menambahkan p enjelasannya, bahw a hukum saja tidak cukup, ia membutuhkan dukungan dari institusi keluarga, pendidikan moral dan agama. Hukum adalah sistem ajaran dengan unsur ideal dan empiris, yang menggabungkan teori hukum kodrat dan positivistik.

Dalam teori law as a tool of sosial engineering dijelaskan, hukum sebagai alat pembaharuan dalam masyarakat, dalam istilah ini hukum diharapkan dapat berperan merubah nilai-nilai sosial dalam masyarakat, yang d isesuaikan dengan sit uasi dan kondisi di Indonesia. Dengan adanya fungsi hukum sebagai sarana pembaharu an masyarakat, dapat pula diartikan, bahwa hukum digunakan sebagai alat oleh agent of change yang merup akan pelop or p erubahan yaitu seseorang atau sekelom pok orang yang mend apat kan kepercayaan masyarakat sebagai pemimpin dari satu atau leb ih lembag a kemasya rakatan. Law as a tool of social engineering dapat p ula d iartikan sebagai sarana yang ditujukan untuk mengubah perilaku warga masyarakat, sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Teori Roscoe Pound, sejalan dengan pandangan dari M ochtar Ku su m aat m ad ja yan g m en yat akan h u ku m ad al ah keseluruhan azas-azas dan kaedah-kaedah yang mengatur masyarakat, termasuk didalamnya lembaga dan proses untuk mew ujud kan hukum itu ke dalam kenyataan. Ked ua ahli hukum ini memiliki pandangan sama terhadap hukum.

M enurut Law rence M eir Fried m an d alam Ant hon F.Susanto menyatakan, bahw a hukum mempunyai empat unsur yakni: p ertam a, di dalam nya harus termuat aturan atau ketentuan; kedua, bentuk nya dapat tertulis dan tidak tertulis; ketiga, aturan atau ketentuan tersebut mengatur kehidupan masyarakat; dan keempat, tersedia sanksi bagi para pelanggarnya. Jika keempat unsur tersebut dirangkai, maka menurut Anthon F.Susanto hukum dapat didefinisikan sebagai semua peraturan maupun ketentuan tertulis maupun tidak tertulis yang mempunyai materi mengatur kepentingan masyarakat, dan apabila terjadi pelanggaran, maka sanksi hukum akan dikenakan pada sipelanggar. Tujuan hukum sesuatu yang ingin dicapai oleh hukum, yakni keadilan dan k ep ast i an h u ku m (p erl i n d u n g an h u k u m ). Tu j u an mempertahankan ketertiban masyarakat dicapai dengan cara

melindungi kepentingan-kepentingan yang ada di lingkungan masyarakat secara seimbang . Imp lementasi dari tujuan hukum tersebut dap at dilaksanakan dalam suat u neg ara berdasarkan atas hukum.

Dalam mencapai tujuannya, hukum haruslah ditegakkan. Dalam hal ini hukum diasumsikan sebagai hukum yang baik (w alau f aktanya ada juga hukum yang tidak baik). Jika membicara kan penegakan hukum, maka itu berarti harus membahas sistem hokum itu sendiri. Law rence M eir Fried-man menyatakan ada tiga unsur yang terkait dalam sistem hukum yaitu: pert ama, struktur hukum (legal structure); ked ua, subst ansi hukum (legal substance); ketiga, kultur hukum (legal culture). M enurut Fried man dalam Ant hon F.Susanto, bahwa struktur adalah kerangka atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Substansi adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sist em itu. Sub stansi jug a berart i p roduk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup living law (hukum yang hidup), d an b ukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang undang atau law books (Susanto, 2010: 31-46).

Hal-hal yang harus dipertimbangkan oleh hakim dalam memutus perkara adalah tujuan hukum, yaitu: pertama, Teori Kepastian Hukum: Teori ini memberikan penjelasan bahwa seg ala macam bentuk kejahatan dan p elanggaran harus diberikan sanksi tegas berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang mengaturnya; kedua, Teori Kemanfaatan:

Teori ini memberikan penjelasan, ap abila dalam suatu persidangan hakim memandang perbuatan terdakwa bukan karena murni melawan hukum, tetapi dari segi kemanfaatan bertujuan untuk menjalankan norma dalam masyarakat dan dipandang apabila dijatuhi hukuman berupa pidana penjara maka dari elemen m asyarakat merasa keberat an, m aka pert imbang an hakim dengan melihat segi kemanfaatan, terdakw a tidak dib erikan sanksi, tetapi hanya d iberikan tindakan rehabilitasi kepada terdakwa agar tidak mengulangi perbuatannya; ketiga, Teori Keadilan: Teori ini menjelaskan, d alam m en eg akkan h u ku m seo ran g Hakim h ar u s memperhatikan teori keadilan hukum dan harus melihat fakta

(10)

kongkret dalam persidangan, karena tidak tepat apab ila terdakwa semata-mata bukan atas dasar niat jahat dan sudah berusia lanjut, dibaw ah umur atau karena suatu keadaan tertentu yang sepatutnya tidak diganjar dengan hukuman pid ana p enjara, m aka hakim harus dapat memberikan pertimbangan sesuai dengan rasa keadilan (Rifai, 2011: 47). Dari ket ig a t eori yang d ikem ukakan oleh Gust av Rad bruch diatas, untuk menganalisis put usan band ing M ajelis Hakim Banding Pengadilan Tinggi Tanjungkarang, penulis hanya mengacu pada pandangannya tentang teori kemanfaatan hukum, karena dalam peristiw a tersebut AKP WH tidak melakukan perbuatan melawan hukum, melainkan secara sadar melaksanakan tugas dan kewajibannya selaku aparat penegak hukum, dan memberikan tembakan untuk melumpuhkan massa anarkis yang mengejar dan menyerang petugas dengan senjata parang, senpi rakitan secara beringas dan akibat tembakan tersebut salah seorang massa anarkis bernama Jaelani tertembak, kemudian meninggal dunia di rumah sakit.

Terkait d eng an t ind ak p id ana kealp aan/lalai yang menyebabkan matinya orang lain (gequalifi ceerde culpa) yang diatur d alam pasal 359 KUHP merupakan bentuk kejahatan yang pelakunya dapat mempertanggungjawabkan kesalahannya, ap ab ila p erb uat an yang d ilakukannya memenuhi unsur-unsur pasal yang dikehendaki dalam pasal tersebut. Ketentuan d alam Pasal 359 KUHP menjelaskan bahwa: “ barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya)

menyebabkan orang lain meninggal, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan pal-ing lama satu tahun” . Unsur terpentpal-ing dalam pasal ini adalah “ kesalahan (kealpaan)” . Terkait dengan unsur ini perlu dikaji lebih mendalam, apakah perbuatan yang dilakukan AKP WH termasuk dalam perbuatan lalai (culva), atau tindakan sengaja dengan alasan untuk mempertahankan diri dari serangan massa anarkis yang menyerang dirinya pada saat itu. Apabila dalam tindakan tersebut unsur kealpaan yang disangkakan kepada terdakw a tidak dapat dibukti kan, maka pasal 359 KUHP yang dipersangkakan terhadap terdakwa akan gugur.

C.

Pertimbangan Hakim dalam

menjatuhkan Putusan

Salah satu permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah pertimbangan hakim banding dalam menjatuhkan vonis terhadap terdakwa AKP WH, dalam pandangan peneliti putusan ini cukup signifikan. Putusan bebas jarang terjadi bag i ang gota Polri yang terlibat perkara tert embaknya masyarakat sipil dalam aksi unjuk rasa anarkis, yang berakibat pad a luka-luka atau meningg al dunia. Pertimbang an-pertimbangan hukum yang dijadikan alasan pembenar oleh M ajelis Hakim unt uk membebas kan terd akw a AKP WH, sangat menarik untuk diteliti dan hasilnya dapat dijadikan seb agai yurisprudensi b agi pembaca dalam m elakukan pembelaan terhadap anggota polisi yang mengalami hal yang sama di kemudian hari.

Amar Putusan M ajelis Hakim Banding pada Pengadilan Tinggi Tanjungkarang yang mengadili Perkara Nomor: 54/ pid.b/2013/Pt.Tjk, menyatakan, bahwa M ajelis Hakim tingkat banding set elah m emp elajari d eng an seksam a b erkas perkara, salinan resmi putusan Pengadilan Negeri M enggala tanggal 10 M aret 2013 dan memori banding yang diajukan terdakwa serta kontra memori banding dari Jaksa Penuntut Umum, berkesimpulan, bahwa “ M ajelis Hakim tingkat band-ing t idak sep endapat dengan M ajelis Hakim t band-ingkat pertama” yang mana dalam putusannya menyatakan, bahwa terdakw a terbukti dengan sah dan meyakinkan b ersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya pada dakwaan subsidair yaitu melanggar pasal 359 KUHP, kecuali itu terhadap “ lamanya pidana yang dijatuhkan M ajelis Hakim tingkat pert ama menurut hemat M ajelis Hakim Band ing terlalu berat bagi diri terd akw a yang dalam menjalankan tug asnya telah mengamb il keputusan dengan memp er-timbangkan situasi dan kondisi yang membahayakan; dan penggunaan senjata ap i miliknya dengan maksud untuk mem bubar kan massa yang anarkis tidak ada lag i pihak-pihak yang dirugikan atas perbuatan terdakwa baik materiil maupun m oril, tid ak ad a lag i yang dirugikan d an semua pihak telah sepakat melakukan perdamaian. Berdasarkan hal-hal terseb ut M ajelis Hakim Ting g i Peng adilan Tingg i Tanjungkarang berpendapat, bahwa terhadap diri terdakwa yang dijatuhi hukuman pidana penjara selam 1 (satu) tahun

(11)

dinyatakan “ t idak tepat dan tidak benar serta t idak ada ket entuan hukum yang dilanggar atau deng an kata lain sudah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku” .

Secara teori putusan M ajelis Hakim Banding Pengadilan Tinggi Tanjungkarang, sudah sesuai dengan pandangan yang disampaikan oleh S.R. Sianturi yang menyatakan bahw a “ pertanggung jawaban pidana itu diminta atau tidak, adalah p ersoalan ked ua, terg ant ung “ keb ijakan p ihak yang berkepentingan untuk memutuskan” apakah dirasa perlu atau tidak menuntut pertanggung jawaban tersebut. M asalah ini menyangkut subjek tindak pidana yang pada umumnya telah d i ru m u sk an o leh p ara p em b u at u n d an g -u n d an g . Kenyataannya, untuk m emastikan tentang siapa yang bersalah, haruslah sesuai dengan proses sistem peradilan pidana.

Aw aloedin Djamin dalam teori pertanggung jaw aban yang dikemukakannya menyatakan, bahw a dalam kajian hukum p idana materil, menurut delik kealpaan (culpa), meskipun dianggap sebagai suatu tindak pidana, namun berbeda dengan tindak pidana yang dilakukan secara sengaja atau ada suatu perencanaan terlebih dahulu. Delik kealpaan (culpa) adalah bentuk yang lebih rendah derajatnya dari pada kesengajaan. Tetapi dapat pula dikatakan bahw a kealpaan itu adalah kebalikan dari kesengajaan, karena bilamana dalam kesengajaan, sesuatu akibat yang tim bul d ari kehendak pelaku, maka dalam kealpaan, justru akibat yang tidak di kehend aki, w alaupun p elaku d apat m em perkira kan sebelumnya. Dengan demikian, putusan yang disampaikan M ajelis Hakim Banding Pengadilan Tinggi Tanjung karang sudah sesuai dengan teori hukum yang telah diuraikan diatas dan putusan untuk membebaskan terdakw a AKP WH dari segala tuduhan adalah sudah tepat dan sesuai dengan tujuan hukum pidana (Djamin, 2007: 39).

D. Vonis Hakim dan Alasan Pembenar

Beberapa pertimbangan yang dijelaskan M ajelis Hakim Banding Pengadilan Tinggi Tanjungkarang yang dijadikan alasan Pembernar dalam putusannya, yaitu; pertimbangan-pertimbangan yang bersifat yuridis yang didasar kan pada fakta-fakta yuridis yang terungkap dipersidangan dan oleh undang-undang ditetap kan sebagai hal yang harus dimuat did alam putusan, meliputi; dakw aan dan t untut an JPU,

ket erangan t erdakw a, keterangan saksi, b arang bukti, peraturan perundang-undangan, hal-hal yang memberatkan dan meringankan; dan pertimbangan-pertimbangan yang bersifat non yuridis, meliputi; latar belakang terdakwa, akibat perbuatan, kondisi dan situasi yang dialami terdakwa AKP WH di lapangan, d imana ia t idak sengaja m elakukan penembakan itu, karena terdesak oleh ribuan massa anarkis yang meng ancam keselamat an jiw anya. Berd asarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, dalam amar putusan M ajelis Hakim Banding Pengadilan Tinggi Tanjungkarang yang menyidangkan perkara terdakwa AKP WH menyatakan, bahw a “ terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dalam dakwaan primair dan membebaskan terdakw a dari dakw aan Primair, serta M ajelis Hakim Banding sep akat membebaskan terdakw a AKP WH dari semua tuntutan hukum” . Secara lengkap amar putusan M ajelis Hakim Banding adalah sebagai berikut: 1. M enerima permintaan banding dari Terdakw a maupun

Penasihat Hukumnya;

2. M emperbaiki putusan PN M enggala tanggal 10 M aret 2013 Nomor: 817/Pid.B/2013/PN. M gl. yang dimintakan banding oleh terdakwa, sekedar mengenai pidana yang dijatuhkan, sehingga berbunyi sebagai berikut:

a. M enyatakan Terdakwa AKP WH, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dalam dakw aan Primair dan membebaskan Terdakw a dari dakwaan Primair tersebut;

b. M em b eb askan Terd akw a AKP W H d ari sem ua tuntutan hukum;

c. M emulihkan hak-hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya;

d. M emerintahkan agar barang bukti berupa satu pucuk senpi organik Revolver Polri cal.38 dikembalikan kepada pemiliknya.

e. M em bebankan biaya perkara ini kepada Neg ara sebesar Nihil.

Analisis p eneliti terkait d eng an fakta-f akt a d alam pemeriksaan perkara di persidangan, bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa AKP WH, pada saat itu dihadapkan pada situasi dan kondisi ribuan massa anarkis bersenjata parang dan senjata api rakit an. Keterangan saksi di persidangan m enyat akan, b ahw a b enar t erd akw a AKP W H t elah

(12)

melakukan tugasnya sesuai prosedur hukum yang berlaku. Selain itu dapat dipastikan bahwa personil Polri tersebut tidak sen g aja m el aku k an p en em b akan t er h ad ap w arg a masyarakat, karena semata-mata terdesak oleh situasi kondisi anarkis yang mengancam jiw anya dan Hakim d alam memberikan pertimbangan lebih cenderung mempertimbang kan keadaan pelaku, hal ini tent unya menjadi syarat mengenai pertimbangan putusan bebas.

V. KESIM PULAN

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka hasil penelitian ini dapat disimpulkan; bahwa sebagai “ alasan pembenar” atas perbuatan yang dilakukan Terdakw a AKP WH adalah ad anya p ert im b an g an p ert im b an g an yang b ersif at “ pertimbangan non yuridis” yang terungkap dipersidangan, meliputi: latar belakang terdakwa, akibat perbuatan, kondisi yang dihadapi terdakw a yang terdesak oleh situasi kondisi rib uan massa yang anarkis mengancam keselam atan jiw anya. Pertim b ang an d ari Hakim Band ing t ersebut mengacu pada asas proporsionalitas dan asas subsidiaritas dengan mempertimbangkan keadaan overmacht dan darurat sebagaimana diatur dalam pasal 48, pasal 49 dan pasal 51 KUHP yang dialami terdakwa AKP WH pada saat menjalankan tugas di lapangan, sehingga kondisi dan situasi overmacht

tersebut dijadikan sebagai “Alasan Pemb enar” , bahw a Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dalam Dakw aan Primair dan m em b eb askan Terd akw a d ari d akw aan Prim air d an mem bebas kan Terd akw a AKP WH dari semua tuntutan hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Abdussalam, 2009. Hukum kepolisiansebagai hukumpositif

dalam disiplinhokum – Restu Agung, Jakarta.

Atmasasmita, Romli, 2001. Reformasi Hukum, Hak Asasi

Manusia, dan Penegakan Hukum C etakan Pertama – Mandar Maju, Bandung.

Djamin, Awaloedin, 2007. Kedudukan Polri Dalam Sistem

Ketatanegaraan – PTIK Press, Jakarta.

F.Susanto, Anton, 2010. Teori-teori hukum Hukum – Refika

Aditama Bandung.

Lamintang, P.A.F, 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana

Indone-sia – Citra Aditya Bakti, Bandung.

Nawawi Arief, Barda, 2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum

Pidana – Citra Aditya Bakti, Bandung.

Purnomo, Bambang, 1996. Teori pertanggung jawaban Pidana

– Sinar Grafika, Jakarta.

Rifai, Ahmad, 2011. Penemuan Hukum oleh Hakim – Sinar

grafika Jakarta.

S aleh, R oeslan, 19 9 9 . Perbua ta n Pida na da n

Pertanggungjawaban Pidana-Aksara Baru Jakarta.

Sitompul, DPM, 2004. Beberapa Tugas dan Wewenang Polri

Divisi Pembinaan Hukum Polri, Jakarta.

Sianturi, S.R, 1996. Asas-asas Pidana di Indonesia dan

Penerapannya–Alumni Ahaem-Patahaem Jakarta.

Soesilo, R., 1999. KUHP serta komentar-komentar nya lengkap

dengan pasal demi pasal – Politeia Bogor.

Soekanto, Soerjono, 1991. K riminologi Suatu Pengantar,

penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta.

Sudarto, Hukum Pidana, 1997 – Yayasan Sudarto Fakultas

Hukum UNDIP, Semarang.

Sugiono, 2005. Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif – Alfabeta, Bandung.

Sumpeno, Wahyudin, 2 0 0 9 . Polri seba ga i fa silita tor

mendampingi masyarakat, edisi ke-1 – Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Perkapolri Nomor: 1/2009, tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.

Referensi

Dokumen terkait

Terlibat dalam koalisi dominan, mampu memberi rekomendasi rancangan kebijakan, namun ‘g’’’’’]retidak bisa mengelola langsung anggaran dikarenakan posisinya diluar

ERAT dari ASEAN bertujuan untuk membantu organisasi-organisasi penanggulangan bencana nasional dalam tahap paling awal dalam satu keadaan darurat dalam berbagai bidang termasuk (a)

L’étre-pour-soi atau ‘ada untuk diri’ menunjuk cara beradanya manusia yaitu pada kesadaran manusia; sifatnya melebar (extensif) dengan dunia kesadaran dan sifat kesadaran

Berdasarkan data yang valid pada Tabel 3 dan hasil wawancara, menunjukkan bahwa subjek Field Dependent Pertama (FD-1) dapat memikirkan dan membedakan proyeksi

Kriteria Restriksi dalam penelitian ini terdiri dari kriteria inklusi (responden adalah wanita usia subur 15-49 tahun yang menerima KB suntik 3 bulan minimal 1 bulan, datang

Konsep kreatif dalam buku ini adalah memberikan konten edukatif yaitu memberikan pertanyaan–pertanyaan seputar cerita rakyat tersebut, memberikan halaman mewarnai,

Demikian pula dengan penelitian Mahmudah (2011), menyatakan kelainan kongenital mempunyai risiko 2,205 kali lebih besar untuk terjadinya kematian perinatal

Pada setiap layanan tersebut, dirumuskan fungsional, kualitas, sumber daya, dan kemampuan layanan TI pada proses bisnis akademik, yang berbentuk dokumen katalog