• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Pengaruh Kadar dan Ukuran Kapur dalam Netralisasi Potensi Keasaman Tailing dari Kegiatan Pertambangan Emas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Kajian Pengaruh Kadar dan Ukuran Kapur dalam Netralisasi Potensi Keasaman Tailing dari Kegiatan Pertambangan Emas"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Kajian Pengaruh Kadar dan Ukuran Kapur dalam Netralisasi Potensi Keasaman Tailing dari Kegiatan Pertambangan Emas

Plucheria Pritta Aquila1*, Candra Nugraha2

1,2Program Studi Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Nasional Bandung, Jawa Barat Indonesia

*Koresponden email: [email protected]

Diterima: 11 Desember 2022 Disetujui: 21 Desember 2022

Abstract

Mineral mining activities will leave waste rock known as tailings, which has small particle sizes and can trigger an oxidation reaction of the sulfide minerals contained therein and produce AMD. Laboratory tests have been carried out to determine the effect of the additional lime in terms of rate and particle size to neutralize the acid water formed through qualitative and quantitative mineral testing and static geochemical testing for various combinations of lime rates and sizes. This study used lime with a CaO content of 90.9%

and tailings with a sulfur content of 4.88%. Subsequently, the pasta pH-EC, ABA, and NAG tests were conducted on a mixture of lime and tailings with lime sizes ranging from 8-16 to 50-100 mesh and a lime:

tailings ratio of 2.5 to 15 kg/ton tailings. The test results show lime with a size of 50–100 mesh with a lime:

tailings composition of 15 kg/ton tailings provides the most optimal effect in neutralizing potential acidity from tailings indicated by a pH value of 7.18. This study is expected to provide input in the management of tailings in mining to avoid acidic water which has the potential to dissolve metal content in tailings that have a negative impact.

Keywords: AMD, lime content, grain size, Ph, tailing

Abstrak

Kegiatan penambangan mineral akan menyisakan limbah batuan yang dikenal sebagai tailing, yang memiliki ukuran partikel kecil dan dapat memicu reaksi oksidasi mineral sulfida yang terkandung di dalamnya dan menghasilkan AAT. Pengujian laboratorium telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh penambahan kadar dan ukuran kapur untuk menetralkan air asam yang terbentuk melalui uji mineral kualitatif dan kuantitatif serta uji geokimia statis untuk berbagai kombinasi kadar dan ukuran kapur.

Penelitian ini menggunakan kapur dengan kandungan CaO 90,9% dan tailing dengan kandungan sulfur sebesar 4,88%. Selanjutnya dilakukan uji pasta pH-EC, ABA, dan NAG terhadap campuran kapur dan tailing dengan ukuran kapur mulai dari 8-16 sampai 50-100 mesh serta rasio tailing mulai dari 2,5 sampai 15 kg/ton tailing. Hasil pengujian menunjukkan kapur dengan ukuran 50–100 mesh dengan komposisi kapur : tailing 15 kg/ton tailing memberikan pengaruh paling optimal dalam menetralkan potensi keasaman dari tailing yang ditunjukkan dengan nilai pH sebesar 7,18. Kajian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam pengelolaan tailing di pertambangan untuk menghindari air asam yang berpotensi melarutkan kandungan logam dalam tailing yang berdampak negatif.

Kata Kunci: AAT, kadar kapur, ukuran butiran, pH, tailing

1. Pendahuluan

Pertambangan merupakan salah satu sektor perekonomian negara kita, mengingat kekayaan akan barang tambang yang tersedia. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri aktivitas pertambangan juga dapat memberikan dampak negatif bagi kehidupan manusia dan lingkungan hidup apabila tidak dikelola dengan baik. Contoh potensi dampak negatif yang dapat ditimbulkan dengan adanya aktivitas pertambangan adalah keberadaan residu atau batuan sisa kegiatan pertambangan mineral setelah kandungan berharganya diambil, yang dikenal sebagai tailing. Berdasarkan KLHL tahun 2018 [1] dalam suatu kegiatan pertambangan emas akan dihasilkan residu tailing sebesar 99,99%. Merupakan limbah pertambangan sisa dari proses pemisahan dan pengikisan logam mulia dan mineral bijih tambang, secara fisik tailing memiliki ukuran partikel yang sangat kecil dan secara kimia dapat mengandung mineral sulfida dan logam berat [2]. Mineral sulfida yang terdapat dalam tailing apabila teroksidasi oleh air dan udara akan menghasilkan air asam tambang (AAT), yaitu air dengan tingkat keasaman tinggi dimana kadar pH kurang dari 5 [3]. Sifatnya yang asam membuat AAT dapat dengan mudah melarutkan logam-logam yang terkandung pada batuan sisa, dan apabila permasalahan tidak ditangani dengan baik maka pada konsentrasi tertentu dapat mengubah kualitas

(2)

lingkungan khususnya air tanah dan air permukaan di sekitar pertambangan yang dapat membahayakan kesehatan manusia terutama masyarakat yang tinggal disekitar wilayah tambang [4].

Perlu dilakukan upaya untuk mencegah terbentuknya AAT dengan cara mencampurkan tailing dengan material penetral seperti batu kapur (limestone/CaCO3). Pemilihan kapur sebagai material penetral karena selain mudah didapat dan harganya yang terjangkau, kapur juga dapat dilarutkan dalam air dan bereaksi dengan berbagai asam yang terkandung dalam tailing sehingga dapat menetralisir pH air limbah pertambangan dengan mudah [4]. Kehadiran kapur memiliki peranan yang penting sebagai material penetral dalam kegiatan penimbunan dan untuk mengoptimumkan proses penetralan, kadar serta ukuran butiran kapur yang akan dibubuhkan perlu diperhatikan karena efektivitas material kapur bergantung dari tingkat kehalusannya atau ukuran butirannya [5].

Studi terdahulu yang dilakukan di Tambang Bankok Barat PT Bukit Asam Tbk Tanjung Enim, menunjukkan bahwa penggunaan kapur tohor (CaO) sebagai penetral asam dinilai kurang efisien dikarenakan dalam proses pengapurannya tidak menggunakan pertimbangan yang tepat, hanya berdasarkan perkiraan dan perlu dilakukan perhitungan ulang untuk mengetahui seberapa banyak jumlah kapur yang dibutuhkan untuk dapat menetralkan potensi air asam tambang [6]. Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui pengaruh dari penambahan kapur dengan adanya variasi terhadap kadar serta ukuran kapurnya, sehingga diketahui kadar dan ukuran kapur yang optimum untuk menetralkan potensi AAT. Dengan diketahuinya pengaruh dari kadar dan ukuran kapur diharapkan dapat memberi masukan tentang pengelolaan tailing pada pertambangan emas agar AAT tidak terbentuk sehingga kesehatan masyarakat dan kondisi air tanah alami dapat terlindungi.

2. Metode Penelitian Objek Penelitian

Material yang menjadi objek utama dalam penelitian ini adalah tailing dari hasil kegiatan pertambangan emas, dan kapur. Untuk mengetahui pengaruh dari kadar dan ukuran kapur, kapur yang akan digunakan dibagi ke dalam beberapa variasi kadar dan ukuran butirannya dengan rincian sebagai berikut:

Kadar : 0 kg/ton tailing (tailing saja tanpa menggunakan penetral), 2,5 kg/ton tailing, 5 kg/ton tailing, 7,5 kg/ton tailing, 10 kg/ton tailing, dan 15 kg/ton tailing

Ukuran : lolos saringan 8 mesh dan tertahan pada 16 mesh (K), lolos saringan 16 mesh dan tertahan pada 30 mesh (L), lolos saringan 30 mesh dan tertahan pada 50 mesh (M), dan lolos saringan 50 mesh dan tertahan pada 100 mesh (N)

Melalui banyaknya variasi dapat diketahui apakah terdapat pengaruh dari perbedaan kadar serta ukuran kapur dalam menetralkan potensi AAT dan bagaimana komposisi optimumnya. Adapun deskripsi dan kode variasi sampel yang digunakan tersaji dalam Tabel 1.

Tabel 1. Deskripsi dan kode variasi sampel

Ukuran kapur (mesh) Kadar kapur Payakumbuh (A) dalam kg/ton tailing

0 2,5 5 7,5 10 15

Lolos #8 tertahan #16 (K)

tailing

AK (2,5) BK (5) AK (7,5) AK (10) AK (15) Lolos #16 tertahan #30 (L) AL (2,5) AL (5) AL (7,5) AL (10) AL (15) Lolos #30 tertahan #50 (M) AM (2,5) AM (5) AM (7,5) AM (10) AM (15) Lolos #50 tertahan #100 (N) AN (2,5) AN (5) AN (7,5) AN (10) AN (15)

Sumber: Hasil pengolahan data, 2021

Persiapan Penelitian

Persiapan sampel dilakukan agar sampel dalam keadaan optimum untuk bereaksi dengan material dan bahan lainnya. Untuk sampel tailing dikarenakan pada kondisi eksistingnya tailing memiliki komposisi berupa batuan dan air dan berbentuk seperti lumpur (slurry), maka tailing perlu dikeringkan terlebih dahulu dengan cara dijemur. Hal ini dilakukan guna mengurangi kandungan air yang masi tersisa. Setelah kadar air berkurang dan sampel kering sempurna, selanjutnya sampel akan dihaluskan dengan menggunakan crusher dan dilakukan pengayakan menggunakan electromechanical sieve shaker atau mesin pengayak otomatis dengan ukuran saringan sebesar 200 mesh. Untuk sampel kapur akan diayak dengan ukuran bukaan yang disesuaikan dengan kebutuhan penelitian.

Metode Penelitian

(3)

yang digunakan dapat dilihat dari hasil pengukuran pH akhir. Adapun uraian mengenai serangkaian uji karakteristik yang dilakukan adalah sebagai berikut:

A. Uji mineralogi guna mengetahui kandungan mineral dan unsur yang terkandung dari suatu batuan atau material uji. Melalui uji ini dapat diketahui apakah terdapat mineral sulfida pembentuk asam berupa pirit (FeS2) maupun kandungan mineral penetral alaminya berupa karbonat dan silikat dalam suatu material uji. Terdapat 2 (dua) metode uji yang dilakukan yang melibatkan sinar X yang dihamburkan oleh sudut kristal batuan yang saling melengkapi [8]:

• Pengujian mineral kualitatif, XRD (X-ray Diffraction), untuk mengetahui keberadaan dan jumlah mineral yang terkandung dalam sampel batuan; dikarenakan hasil uji ini tidak dapat digunakan untuk menghitung kuantitas dan kadar dari mineral material uji maka harus dilengkapi dengan uji mineral kuantitatif;

• Pengujian mineral kuantitatif, XRF (X-ray Fluorescence), untuk mengetahui informasi tentang komposisi unsur kimia apa saja yang terkandung dalam batuan.

Pengujian mineralogi dilakukan di Laboratorium Metalurgi ITB, dimana pengujian X-Ray Diffraction (XRD) menggunakan mesin Rigaku SmartLab sedangkan pengujian X-Ray Fluorescence (XRF) menggunakan mesin Rigaku Supermini 200.

B. Uji statik dilakukan untuk mengetahui karakteristik material uji yang terdiri dari serangkaian pengujian dengan satuan dari hasil uji akan dinyatakan dalam jumlah kg H2SO4/ton [9]. Adapun penjelasan mengenai rangkaian uji statik adalah sebagai berikut:

• Uji pasta pH dan pasta EC guna mengetahui kandungan asam dari reaksi yang terjadi pada material uji saat pertama kali kontak [10].

• Uji ABA (Acid Base Accounting) untuk mengetahui hubungan keseimbangan antara pembentukan asam yang terbentuk berdasarkan hasil oksidasi material yang mengandung mineral sulfida dengan penetralan asam yang terbentuk. Terdiri dari uji:

1. Perhitungan MPA (Maximum Potential Acid) yang dilakukan untuk mengetahui potensi terbentuknya asam yang dilakukan dengan menghitung total sulfur dari batuan yang didapatkan dari nilai hasil uji XRF dengan rumus sebagai berikut:

MPA (kg H2SO4/ton) = Total S (%) x 30,6 (1) Dimana apabila ditemukan 1% sulfur dalam bentuk pirit pada sampel, artinya terkandung 30,6 kg H2SO4/ton tailing [10];

2. Uji ANC (Acid Neutralizing Capacity) untuk mengetahui kadar penetral yang terkandung dalam batuan;

3. Perhitungan NAPP (Net Acid Producing Potential) merupakan nilai kesetimbangan antara pembentuk asam dan penetralnya yang dicari dengan rumus sebagai berikut:

ANC (kg H2SO4/ton) = MPA – ANC (2) Dimana apabila nilai MPA > ANC artinya sampel tidak memiliki penetral alami yang cukup untuk menetralkan keasaman sehingga berpotensi membentuk AAT [11].

• Uji NAG (Net Acid Generation) untuk mengidentifikasi apakah suatu batuan masih memiliki sisa asam setelah terjadi reaksi antara pembentuk asam dan penetral [11].

3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Uji Mineralogi

Berdasarkan hasil uji yang dilakukan telah dilakukan didapatkan hasil analisa sebagai berikut:

• Quartz (SiO2) merupakan mineral dominan pada material tailing, sedangkan melalui uji XRF diketahui bahwa tailing memiliki kandungan sulfur sebesar 4,88%. Artinya terdapat senyawa pembentuk asam dalam material. Dibuktikan dengan kehadiran mineral sulfida berdasarkan kuantifikasi hasil uji XRD berupa pirit (FeS2) sebesar 2,2%.

• Kandungan CaO pada material kapur menunjukkan nilai yang tinggi yaitu sebesar 90,8% ini didukung dengan kandungan mineral calcite yang mendominasi. Artinya terdapat kandungan penetral pada material kapur dikarenakan senyawa tersebut merupakan senyawa alkali yang dapat memberi alkalinitas atau dapat menaikkan pH [12]. Adapun rincian nilai hasil uji XRD dan XRF dapat dilihat dalam Tabel 2 dan Tabel 3.

(4)

Tabel 2. Persentase kandungan material tailing dan kapur

Nama Fase Tailing Kapur

Kandungan (%)

Dolomit (Dolomite) - 12,53

Kalsit (Calcite) - 86,3

Kuarsa (Quartz) 69,0 1,19

Dickite (Dikiti) 25,6 -

Alunit (Alunite) 2,86 -

Pirit (Pyrite) 2,2 -

Grup sodalit (Sodalite group) 0,36 - Sumber: Hasil pengukuran, 2020

Tabel 3. Persentase kandungan material tailing dan kapur

Unsur (mass %) Oksida (mass %)

Tailing Kapur Tailing Kapur

Na 0,0300 Trace MgO Trace 2,20

Mg Trace 1,60 MnO 0,0071 -

Al 14,5 1,43 Na2O 0,0416 Trace

Si 66,8 1,92 Al2O3 17,1 2,21

P 0,221 0,0389 SiO2 71,9 3,33

S 4,88 0,0464 P2O5 0,188 0,0715

Cl 0,0276 0,264 SO3 4,48 0,0923

K 1,17 0,152 Cl 0,0101 0,209

Ca 0,311 93,6 K2O 0,501 0,142

Ti 0,935 - CaO 0,152 90,9

Cr 0,0556 - TiO2 0,534 -

Fe 10,4 0,946 Cr2O3 0,0274 -

Cu 0,0551 - Fe2O3 4,78 0,819

Zn 0,0291 - CuO 0,0197 -

As 0,166 - ZnO 0,0103 -

Sr 0,218 0,0443 As2O3 0,0613 -

Zr Trace - SrO 0,0711 0,0315

Pb 0,164 - ZrO2 0,0116 -

Sumber: Hasil pengukuran, 2020

3.1. Uji Statik

Terdiri dari pengujian pasta pH, pasta EC, perhitungan MPA, uji ANC, perhitungan NAPP, dan uji NAG. Untuk uji pasta pH dan EC, pengujian dilakukan baik terhadap objek utama dalam penelitian (tailing dan kapur) maupun campuran dari kedua objek utama (variasi) sedangkan untuk perhitungan MPA, uji ANC dan NAPP, serta uji NAG hanya dilakukan untuk material uji saja. Adapun hasil pengukuran pada material uji didapatkan dalam Tabel 4.

Tabel 4. Hasil uji statik Geokimia

Pengujian Tailing Kapur

Pasta pH 4,98 7,70

Pasta EC 1.475 213

TS (%) 4,88 0,0464

MPA (kg H2SO4/ton) 149,33 1.419,84

ANC (kg H2SO4/ton) 0 1.448,7

NAPP (kg H2SO4/ton) 149,33 -1.447,28

pH NAG 2,47 7,46

Klasifikasi PAF NAF

Sumber: Hasil pengukuran, 2021 Penjelasan/interpretasi terkait hasil uji statik adalah:

• Rerata pH tailing = 4,98 < dari pH 7 artinya sampel bersifat asam [13]. Hasil ini berkorelasi dengan hasil uji XRD dimana kandungan mineral pirit terdeteksi sebesar 2,2%. Untuk kapur, diperoleh nilai

(5)

• Rerata EC Tailing = 1.475 μS/CM menunjukkan sampel memiliki kemampuan menghantarkan arus listrik, sedangkan rerata EC kapur < dari rerata EC tailing, karena pH tailing bersifat asam sehingga dapat melarutkan logam yang terionisasi [13];

• Untuk menghitung nilai pembentuk asam perlu diketahui nilai total sulfur dalam material uji yang didapatkan lewat hasil uji XRF. Nilai MPA tailing > kapur dikarenakan nilai total sulfur tailing > kapur, artinya pembentuk asam dalam tailing lebih besar yang dikonfirmasi oleh hasil uji XRD dimana terdapat keberadaan unsur mineral sulfida dalam bentuk pirit sebesar 2,2%;

• Nilai ANC tailing sebesar -8,9 kg H2SO4/ton. Nilai negatif ini disebabkan karena sampel bersifat asam dan sedikit mengandung kapasitas penetral. Hal ini berkorelasi dengan nilai Ca sebesar 0,311%.

Dikarenakan nilainya yang negatif, maka ANC dianggap 0, sedangkan untuk ANC kapur menunjukkan nilai ANC sebesar 1.448,7 kg H2SO4/ton. Nilai yang besar ini disebabkan karena kapur banyak mengandung kalsium (93,6%) yang berperan sebagai penetral;

• Dari hasil hitung MPA dan ANC dapat diketahui kesetimbangan antara pembentuk asam dan penetralnya. Perhitungan NAPP tailing menunjukkan angka sebesar 149,33 kg H2SO4/ton, sedangkan untuk NAPP kapur menunjukkan nilai sebesar -1.447,28 kg H2SO4/ton. Nilai NAPP kapur yang negatif menunjukkan bahwa kapur lebih banyak memiliki kandungan penetral dibandingkan pembentuk asamnya;

• Uji NAG dilakukan untuk mengidentifikasi apakah material uji memiliki potensi untuk membentuk asam atau tidak dengan cara titrimetri, uji NAG juga dilakukan untuk mengkonfirmasi hasil hitung NAPP. Uji NAPP dan NAG saling berkaitan dimana NAPP menyediakan potensi pembentukan maksimum asam secara teoritis dan NAG adalah pengukuran langsung hasil net dari kedua reaksi.

Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa sampel kapur memiliki pH > 7 sehingga pengujian tidak dapat dilanjutkan dengan titrasi menggunakan NaOH dan diklasifikasikan ke dalam material NAF karena tidak memiliki potensi untuk membentuk asam. Untuk sampel tailing dikarenakan nilai NAG pH nya

< 4,5 maka sampel dikategorikan berpotensi membentuk asam atau PAF.

• Selanjutnya dilakukan pengklasifikasian berdasarkan hasil perhitungan pH NAG dan NAPP.

Karakteristik material dapat dibagi ke dalam 3 (tiga) klasifikasi, yakni Potentially Acid Forming (PAF), Non-Acid Forming (NAF) dan Uncertainty (UC). Penentuan klasifikasi material dapat dilakukan dengan menggunakan 2 (dua) metode. Dimana metode pertama dilakukan dengan mempertimbangkan rasio dari nilai ANC dan MPA. Jika rasio ANC/MPA lebih kecil dari 1 maka sampel batuan dapat dikategorikan sebagai PAF. Apabila ANC/MPA nya lebih besar dari 2 maka sampel dikategorikan sebagai NAF dan apabila berada pada rentang 1-2 maka sampel dinyatakan UC seperti yang terlampir pada Tabel 5 [14]

Tabel 5. Hasil uji statik Geokimia

Kategori PAF UC NAF

ANC/MPA < 1 1 – 2 > 2

Sumber: Sony, 2018

Untuk sampel tailing nilai ANC/MPA nya lebih kecil dari 1 maka sampel dikategorikan sebagai PAF.

Berbeda dengan sampel kapur, dengan nilai ANC/MPA nya lebih besar dari 2 maka sampel dikategorikan sebagai material NAF. Metode kedua yang dapat dilakukan untuk mengklasifikasikan material yakni dengan menggunakan grafik bantu seperti yang tertera dalam Gambar 1 yang didasarkan pada hasil perhitungan pH NAG dan NAPP. Dikarenakan nilai NAPP tailing > 0 dan pH NAG tailing < 4,5 maka potensi asam dapat terjadi, sehingga tailing diklasifikasikan sebagai PAF.

Nilai NAPP yang positif ini mengindikasikan bahwa nilai MPA lebih besar dari ANC sehingga potensi penetral yang ada tidak cukup untuk menetralkan potensi asam. Berbeda dengan tailing, dikarenakan NAPP < 0 dan pH NAG > 4,5 maka kapur diklasifikasikan sebagai NAF. Baik metode ke-1 maupun ke-2, keduanya sama-sama menunjukan hasil yang serupa dimana material tailing berpotensi untuk membentuk asam sedangkan kapur tidak memiliki potensi untuk membentuk asam.

(6)

Gambar 1. Klasifikasi Geokimia sampel berdasarkan NAPP & NAG Tes Sumber: Hasil analisis, 2021, AMIRA International, 2002

Melalui hasil klasifikasi geokimia dapat diketahui gambaran awal oksidasi sampel pada kondisi lapangan. Setelah mengetahui karakteristik material uji dimana tailing memiliki kemampuan menghasilkan asam dikarenakan adanya mineral sulfida dalam bentuk pirit dan kapur memiliki kemampuan untuk menetralkan asam tersebut, selanjutnya dilakukan pengujian pasta pH dan EC dengan hasil uji untuk tiap variasi adalah sebagai berikut:

Gambar 2. Rekapitulasi nilai pasta pH Sumber: Pengolahan data, 2021

Berdasarkan Gambar 2 dapat disimpulkan bahwa dengan bertambahnya kadar kapur dalam campuran, nilai pH menjadi meningkat. Hal ini dapat dilihat dengan membandingkan nilai pH pada ukuran butiran yang sama dengan kadar kapur yang berbeda. Sebagai contoh adalah kapur dengan ukuran butiran lolos 8 mesh dan tertahan pada 16 mesh antara kadar terendah 2,5 kg/ton tailing dengan kadar tertinggi 15 kg/ton tailing, kadar tertingi memberikan nilai pH yang lebih besar. Artinya senyawa penetral berhasil bereaksi dan semakin tinggi kadar kapur yang dibubuhkan, maka akan semakin besar pula kemampuannya dalam meningkatkan pH. Peningkatan nilai pH ini pula beriringan dengan ukuran butiran kapur, dimana semakin kecil ukuran butirannya maka semakin banyak pula bidang kontaknya [15] sehingga kapur akan lebih cepat bereaksi. Hal ini dikonfirmasi dengan nilai hasil uji. Sebagai contoh, kapur pada kadar tertinggi yaitu 15 kg/ton tailing antara ukuran butiran terbesar yaitu lolos 8 mesh dan tertahan pada 16 dan ukuran butiran terkecil yaitu lolos 50 mesh dan tertahan pada 100 mesh, menunjukkan bahwa ukuran butiran

0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 8,00

Lolos #8 tertahan

#16

Lolos #16 tertahan #30

Lolos #30 tertahan #50

Lolos #50 tertahan #100

Rerata pH

Ukuran Bukaan Kapur A 2.5 5 7.5 10 15

(7)

Untuk hasil uji dan interpretasi nilai pasta EC adalah sebagai berikut:

Gambar 3. Rekapitulasi nilai pasta EC Sumber: Pengolahan data, 2021

Seiring dengan bertambahnya kadar kapur, nilai EC menjadi meningkat. Hal ini karena terjadi penambahan material yang mengandung mineral karena nilai EC berkaitan dengan kandungan mineral yang dapat menghantarkan listrik [13]. Sebagai contoh, dapat dibandingkan kapur dengan ukuran butiran lolos 8 mesh dan tertahan pada 16 mesh antara kadar terendah 2,5 kg/ton tailing dengan kadar tertinggi 15 kg/ton tailing, yang menunjukkan bahwa kadar yang tinggi akan memberikan nilai EC yang lebih besar. Salah satu penyebab anomali pada pengukuran pasta EC yang terdapat pada kapur dengan ukuran butiran lolos 30 mesh dan tertahan pada 50 mesh adalah akibat homogenitas yang dilakukan secara manual.

Sama halnya dengan pasta pH, semakin kecil ukuran kapurnya maka semakin banyak bidang kontaknya yang mengakibatkan kandungan mineral akan terdeteksi lebih banyak, sehingga semakin kecil ukuran butiran kapur nilai EC akan semakin meningkat. Berdasarkan grafik pada Gambar 3, variasi dengan ukuran butiran kapur terkecil menunjukkan nilai EC terbesar.

4. Kesimpulan

Berdasarkan seluruh rangkaian pengujian dapat disimpulkan bahwa kapur terbukti mampu menaikkan nilai pH dan mampu menghambat proses terbentuknya air asam tambang dikarenakan adanya kandungan penetral alami berupa kalsit dalam kapur. Kapur berhasil menyediakan mineral penetral asam untuk mencegah potensi pembentukan air asam tambang dari tailing. Semakin banyak kadar kapur yang dibubuhkan dan semakin kecil ukuran kapurnya, maka kapur akan semakin optimum untuk menaikan nilai pH [11]. Hasil pengujian menunjukkan bahwa kapur dengan ukuran 50–100 mesh dengan kapur : komposisi tailing 15 kg/ton tailing memberikan efek paling optimal dalam menetralkan potensi keasaman dari tailing.

Hal ini ditunjukkan dengan nilai pH akhir sebesar 7,18.

5. Ucapan Terima Kasih

Penulis berterima kasih kepada rekan-rekan dari Institut Teknologi Nasional Bandung yang telah bersedia menyediakan waktu, tenaga, dan memberikan wawasan serta keahlian yang sangat membantu dalam penelitian ini.

6. Referensi

[1] K. L. H. dan K. (KLHK), “KLHK Dorong Pelaku Usaha Lakukan Pengolahan Limbah Ramah Lingkungan,” Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi, 2018.

http://ppid.menlhk.go.id/siaran_pers/browse/1072 (accessed Feb. 02, 2022).

[2] D. Williams et al., Pengelolaan Tailing. Canberra , 2016. [Online]. Available: www.ag.gov.au/cca [3] R. S. Gautama, “Pengelolaan Air Asam Tambang,” Yogyakarta, Jun. 2012.

[4] A. . I. A. Adnyanto, “Analisis Material PAF dan NAF Pada Skala Laboratorium,” Sekolah Tinggi Teknologi Nasional, Yogyakarta, 2017.

1,380 1,400 1,420 1,440 1,460 1,480 1,500 1,520 1,540 1,560 1,580

Lolos #8 tertahan

#16

Lolos #16 tertahan #30

Lolos #30 tertahan #50

Lolos #50 tertahan #100

Rerata EC (mS/cm)

Ukuran Bukaan Kapur A 2.5 5 7.5 10 15

(8)

[5] Rosmaiti, Syukri, and A. Fauzi, “Pengaruh Kehalusan Kapur terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine max (L) Merrill) pada Tingkat Kemasaman Tanah yang Berbeda,” Agrosamudra, J. Penelit. Vol. 6 No. 1 Jan – Jun 2017, vol. 6, no. 1, pp. 74–81, 2017.

[6] I. E. Sari, E. P. S. B. T. Tono, and Guskarnali, “Studi Penggunaan Kapur Tohor Dalam Proses Penetralan Air Asam Tambang Di KPL Pit 3 Barat IUP Tambang Banko Barat PT Bukit Asam Tbk Tanjung Enim Sumatera Selatan,” 2018.

[7] M. Ramli, N. I. Situru, and M. Thamrin, “Prediksi Laju Pembentukan Air Asam Tambang dengan Metode Column Leaching Test,” J. Penelit. Enj., vol. 23, no. 2, pp. 129–135, 2019, doi:

10.25042/jpe.112019.06.

[8] M. Munasir, T. Triwikantoro, M. Zainuri, and D. Darminto, “Uji XRD dan XRF pada Bahan Meneral (Batuan dan Pasir) sebagai Sumber Material Cerdas (CaCO3 DAN SiO2),” J. Penelit. Fis.

dan Apl., vol. 2, no. 1, p. 20, Jun. 2012, doi: 10.26740/jpfa.v2n1.p20-29.

[9] C. Nugraha and Rolliyah, Pemanfaatan Fly Ash dan Bottom Ash untuk Pengelolaan Batuan dan Air Asam di Tambang Batubara. Direktorat Penilaian Kinerja Pengelolaan Limbah B3 dan Limbah Non B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2021. [Online]. Available:

https://seminar.tekmira.esdm.go.id/index.php/download/category/4-road-to-ismct- 3?download=10:achmad-gunawan-klhk

[10] C. Wu, “Acid Mine Drainage Prediction Techniques and Geochemical Modelling : Case Study on Gold Tailing Dams , West Rand, Witwatersrand Basin Area, South Africa,” University of the Western Cape, 2021.

[11] AMIRA International, ARD Test Handbook : Prediction and Kinetic Control of Acid Mine Drainage, P387A ed. New Zealand: Ian Wark Research Institute, 2002.

[12] M. R. F. Yacub and S. Suliestyah, “Uji Karakterisasi Fly Ash sebagai Campuran Material Non-Acid Forming (NAF),” Indones. Min. Energy, vol. 3, no. 2, pp. 89–96, 2020, [Online]. Available:

https://www.trijurnal.lemlit.trisakti.ac.id/imej/article/view/9191

[13] H. Effendi, Telaah Kualitas Air BagiPengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan.

Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius, 2003.

[14] S. Abfertiawan, “Uji Karakteristik Potensi Pembentukan Air Asam Tambang (4/4),” Ganeca Environmental Services, 2018. https://www.gesi.co.id/uji-karakterisasi-potensi-pembentukan-air- asam-tambang-part-4-of-4/ (accessed Feb. 02, 2022).

[15] Yusuf, F. N., Nawir, A., Zulkifli, Z., Warkito, A. N., Asmiani, N., Said, M. S., ... & Wakila, M. H,

“Analisis Pengaruh Kapasitas Penetralan Batugamping Dengan Menggunakan Metode Acid Buffering Characteristic Curve,” J. Geomine, vol. 9, no. 1, pp. 39–48, 2021, doi:

10.33536/jg.v9i1.852.

Referensi

Dokumen terkait

In both cases, during execution of the task, the Java process passes input key-value pairs to the external process, which runs it through the user-defined map or reduce function and

Analisis Regresi Linear Sederhana Untuk menguji apakah kedua variabel berpengaruh yaitu antara motif menonton acara Indonesia Lawak Klub Trans 7 terhadap kepuasan

Sveučilišta u Splitu, Split 2008, str.. nož i pošla put šamatorja. Društvo je je čekalo, a kako se nije vratila do prvi pitlova, uputili su se na groblje. Iznenadili su se kad su

Penetapan kadar analit, baik unsur, senyawa, maupun bentuk spesi lain, dalam sampel atau contoh dapat dilakukan dengan menggunakan metode analisis kimia kuantitatif secara

(2007) menunjukkan adanya peningkatan pada percabangan duktus laktiferus dan pembentukan tunas alveolar selama awal kehamilan. Diferensiasi pada tahap ini ditandai

If you have connection net in your workplace, house, or gizmo, you can download Legend Of The Christmas Stocking By Rick Osborne, James Griffin it directly. You could not likewise

Hubungan ini menunjukkan bahawa persepsi yang lebih positif terhadap latihan mengajar dalam kalangan guru-guru pelatih dijangka membawa kesan positif dalam usaha mengatasi kesukaran

Akhirnya, dapatan juga menunjukkan bahawa terdapat perbezaan yang signifikan bagi tahap kesediaan guru terhadap pengetahuan kandungan pedagogi berdasarkan