• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A."

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Negara Kesejahteraan (Prof. MR. R. Kranenburng).

Terkait dengan pemahaman (Welfare State), Mr. R. Kranenburg, mengungkapkan “Negara harus secara aktif mengupayakan kesejahteraan, bertindak adil yang dapat dirasakan seluruh masyarakat secara merata dan seimbang, bukan menyejahterakan golongan tertentu tapih seluruh rakyat.” Teori Negara Kesejahteraan (Welfare State) tersebut sering kali dimaknai berbeda oleh setiap orang maupun Negara.

Namun, teori tersebut secara garis besar setidaknya mengandung 4 (empat) makna, antara lain sebagai berikut:

(i) Sebagai kondisi sejahtera (well-being), kesejahteraan sosial (social welfare) sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan non-material. Kondisi sejahtera terjadi manakala kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan dapat dipenuhi serta

(2)

manakala manusia memperoleh perlindungan dari risiko- risiko utama yang mengancam kehidupannya;

(ii) Sebagai pelayanan sosial, umumnya mencakup lima bentuk, yakni jaminan sosial (social security), pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan dan pelayanan sosial personal (personal social services);

(iii) Sebagai tunjangan sosial, kesejahteraan sosial yang diberikan kepada orang miskin. Karena sebagian besar penerima kesejahteraan adalah masyarakat miskin, cacat, pengangguran yang kemudian keadaan ini menimbulkan konotasi negatif pada istilah kesejahteraan, seperti kemiskinan, kemalasan, ketergantungan, dan lain sebagainya;

(iv) Sebagai proses atau usaha terencana, sebuah proses yang dilakukan oleh perorangan, lembaga-lembaga sosial, masyarakat maupun badan-badan pemerintah untuk meningkatkan kualitas kehidupan melalui pemberian pelayanan sosial dan tunjangan sosial.

(3)

Pengertian tentang negara kesejahteraan (Welfare State) tidak dapat dilepaskan dari empat definisi kesejahteraan di atas. negara kesejahteraan sangat erat kaitannya dengan kebijakan sosial (social policy) yang di banyak Negara mencakup strategi dan upaya-upaya pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan warganya, terutama melalui perlindungan sosial (social protection) yang mencakup jaminan sosial (baik berbentuk bantuan sosial dan asuransi sosial) maupun jaring pengaman sosial (social safety net).1

Paham negara hukum kesejahteraan sering juga disebut sebagai negara hukum modern dalam arti material. Bagir Manan mengatakan bahwa konsep negara hukum kesejahteraan adalah:

“Negara atau pemerintah tidak semata-mata sebagai penjaga keamanan atau ketertiban masyarakat, tetapi pemikul utama tanggung jawab mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan umum, dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.2

Negara hukum kesejahteraan menurut Bagir Manan terebut menempatkan negara atau pemerintah tidak saja sebagai penjaga

1 Muhammad Yusuf Aldimassarif, Suara.com, Teori Negara Kesejahteraan di

Indonesia dalam penanganan Covid-19,

https://yoursay.suara.com/news/2020/05/13/143239/teori-negara-kesejahteraan-di- indonesia-dalam-penanganan-covid-19?page=all, 14:32 WIB, Rabu, 13 Mei 2020.

2 Bagir Manan, 1996, Politik Perundangundangan dalam Rangka Mengantisipasi Liberalisme Perekonomian, FH UNLA, Bandar Lampung, h. 9.

(4)

keamanan atau ketertiban masyarakat, tetapi memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dan kesejahteraan umum bagi rakyatnya.

Ciri-ciri negara hukum kesejahteraan menurut Muchsan adalah, Negara bertujuan mensejahterakan kehidupan warganya secara merata, dan negara dituntut untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya dan seluas-luasnya kepada masyarakat. Tanpa pelayanan yang baik dan merata mustahil akan terwujud kesejahteraan pada kehidupan masyarakat. Sehubungan dengan ciri- ciri tersebut maka ada dua gejala yang pasti muncul dalam negara kesejahteraan, yakni Pertama campur tangan pemerintah terhadap aspek kehidupan masyarakat sangat luas dan Kedua dalam pelaksanaan fungsi pemerintah sering digunakan asas diskresi. Intervensi pemerintah terhadap aspek kehidupan masyarakat ini dituntut demi terciptanya kesejahteraan masyarakat yang melakukan bukan kesejahteraan menurut konsepsi liberal. Dengan adanya campur tangan ini, dapat dihindari terjadinya free fight liberalism, yang hanya akan menguntungkan pihak yang kuat saja”.3

3 Muchsan, 1992, Sistem Pengawasan Terhadap perbuatan Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, h. 4-5.

(5)

Menurut Mac Iver, negara tidak dipandang lagi sebagai alat kekuasaan (instrument of power) semata, tetapi lebih dari itu, dipandang sebagai alat pelayanan (an agency of services). Paham yang pragmatis ini, kemudian melahirkan konsepsi negara kesejahteraan (welfare state) atau negara hukum modern atau negara hukum material, yang menurutnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:4

1) Dalam negara hukum kesejahteraan, yang diutamakan adalah terjaminnya hak-hak asasi sosial ekonomi rakyat;

2) Pertimbangan- pertimbangan efisiensi dan manajemen lebih diutamakan daripada pembagian kekuasaan yang berorientasi politis, sehingga peran eksekutif lebih besar daripada peran legislatif;

3) Hak milik tidak bersifat mutlak;

4) Negara tidak hanya menjaga ketertiban dan keamanan, tetapi juga turut serta dalam usaha-usaha sosial dan ekonomi;

5) Kaidah- kaidah hukum administrasi semakin banyak mengatur sosial ekonomi dan membebankan kewajiban tertentu kepada warga negara;

6) Peran hukum publik condong mendesak hukum privat, sebagai konsekuensi semakin luasnya peran negara;

7) Lebih bersifat negara hukum material yang mengutamakan keadilan sosial yang material pula.

Dalam teori ini dapat di jelaskan dalam teori yang sudah di kemukakan di atas, bahwa peran negara telah ditempatkan pada posisi yang kuat dan lebih besar dalam menciptakan kesejahteraan umum (public welfare) dan keadilan sosial (social justice).

4 Mac Iver, 1950, The Modern State, Oxford University Press, London, h. 4.

(6)

B. Teori Hukum Sebagai Sarana Pembaharuan Masyarakat (Social Engineering).

Berdasarkan yang di kemukakan oleh Roscoe Pound adalah ahli hukum pertama menganalisis yurisprudensi serta metodologi ilmu-ilmu sosial. Hingga saat itu, filsafat yang telah dianut selama berabad-abad dituding telah gagal dalam menawarkan teori semacam itu, fungsi logika sebagai sarana berpikir semakin terabaikan dengan usaha- usaha yang dilakukan oleh Langdell serta para koleganya dari Jerman. Pound menyatakan bahwa hukum adalah lembaga terpenting dalam melaksanakan kontrol sosial. Hukum secara bertahap telah menggantikan fungsi agama dan moralitas sebagai instrumen penting untuk mencapai ketertiban sosial. Menurutnya, kontrol sosial diperlukan untuk melestarikan peradaban karena fungsi utamanya adalah mengendalikan “aspek internal atau sifat manusia”, yang dianggapnya sangat diperlukan untuk menaklukkan aspek eksternal atau lingkungan fisikal.

Teori tentang perubahan sosial dalam hubungannya dengan sektor hukum merupakan salah satu teori besar dalam ilmu hukum.

Hubungan antara perubahan sosial dengan sektor hukum tersebut merupakan hubungan interaksi, dalam arti terdapat pengaruh perubahan sosial terhadap perubahan sektor hukum, sementara di pihak lain, perubahan hukum juga berpengaruh terhadap suatu

(7)

perubahan sosial. Perubahan hukum yang dapat mempengaruhi perubahan sosial sejalan dengan salah satu fungsi hukum, yakni fungsi hukum sebagai sarana perubahan sosial, atau sarana merekayasa masyarakat (social engineering). Jadi, hukum merupakan sarana rekayasa masyarakat (a tool of social engineering), suatu istilah yang pertama dicetuskan oleh ahli hukum Amerika yang terkenal yaitu Roscou Pound.5

Roscoe Pound pun mengakui bahwa fungsi lain dari hukum adalah sebagai sarana untuk melakukan rekayasa sosial (social engineering).

Keadilan bukanlah hubungan sosial yang ideal atau beberapa bentuk kebajikan. Ia merupakan suatu hal dari “penyesuaian-penyesuaian hubungan tadi dan penataan perilaku sehingga tercipta kebaikan, alat yang memuaskan keinginan manusia untuk memiliki dan mengerjakan sesuatu, melampaui berbagai kemungkinan terjadinya ketegangan, inti teorinya terletak pada konsep “kepentingan”. Ia mengatakan bahwa sistem hukum mencapai tujuan ketertiban hukum dengan mengakui kepentingan-kepentingan itu, dengan menentukan batasan-batasan pengakuan atas kepentingan-kepentingan tersebut dan aturan hukum yang dikembangkan serta diterapkan oleh proses peradilan memiliki dampak positif serta dilaksanakan melalui prosedur yang berwibawa,

5 Munir Fuadi, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, (Jakarta: Kencana Prennamdeia Group, 2013), h. 248.

(8)

juga berusaha menghormati berbagai kepentingan sesuai dengan batas- batas yang diakui dan ditetapkan.

Terkait dengan penjelasan di atas, maka Roscoe Pound memiliki pendapat mengenai hukum yang menitik beratkan hukum pada kedisiplinan dengan teorinya yaitu: “Law as a tool of social engineering” (Bahwa Hukum adalah alat untuk memperbaharui atau merekayasa masyarakat).

Pendapat yang diuraikan mengenai rumusan-rumusan dan penggolongan-penggolongan dalam social engineering Roscoe Pound dapat di ibaratkan bahwa hukum dianggap sebagai insinyur dalam mengungkapkan dasar-dasar pembaruan dalam masyarakat dan menggerakkan kemana masyarakat akan diarahkan serta bagaimana masyarakat seyogianya diatur. Jadi, hukum berfungsi sebagai alat untuk mengatur dan mengelola masyarakat. Mengatur dan mengelola masyarakat akan membawa kepada pembaharuan- pembaharuan, perubahan-perubahan struktur masyarakat dan penentuan- penentuan pola berpikir menurut hukum yang menuju ke arah pembangunan. Hal ini akan menghasilkan kemajuan hukum, sehingga akan tercapai suatu suasana yang dapat dikategorikan sebagai masyarakat yang beradab.

(9)

Selain pendapat yang sudah diuraikan diatas Mochtar Kusumaatmadja, mengatakan social engineering merupakan teori hukum pembangunan yang alam lingkupnya Mochtar berargumentasi dan menjabarkan aspek tersebut ke beberapa bagian. pertama , Teori Hukum pembangunan sampai saat ini adalah teori hukum yang eksis di Indonesia karena diciptakan oleh orang Indonesia dengan melihat dimensi dan kultur masyarakat Indonesia. Oleh karena itu tolak ukur dimensi teori hukum pembangunan tersebut lahir, tumbuh dan berkembang sesuai dengan kondisi Indonesia maka hakikatnya jikalau diterapkan dalam aplikasinya akan sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat Indonesia yang pluralistik. Kedua, secara dimensional maka Teori Hukum Pembangunan memakai kerangka acuan pada pandangan hidup masyarakat serta bangsa Indonesia berdasarkan asas Pancasila yang bersifat kekeluargaan maka terhadap norma, asas, lembaga dan kaidah yang terdapat dalam Teori Hukum Pembangunan tersebut relatif sudah merupakan dimensi yang meliputi struktur, kultur, dan substansi.

Ketiga, pada dasarnya Teori Hukum Pembangunan memberikan dasar fungsi hukum sebagai “sarana pembaharuan masyarakat” (law as a tool

(10)

social engineering) dan hukum sebagai suatu sistem sangat diperlukan bagi bangsa Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang.6

C. Teori Perlindungan Data Pribadi.

Terdapat Teori Interactive Justice :Teori Interactive Justice merupakan teori yang membahas terkait kebebasan negatif seseorang kepada orang lain dalam hubungan interaksinya satu sama lain. Menurut Wright, esensi dari teori interactive justice yaitu adanya kompensasi sebagai perangkat yang melindungi setiap orang dari interaksi yang merugikan (harmful interaction), yang biasanya diterapkan dalam Perbuatan Melawan Hukum (tort law), Hukum Kontrak dan Hukum Pidana.7

Adapun negara yang menggunakan Teori Interactive Justice yaitu negara Amerika Serikat bahwa undang-undang perlindungan data muncul pada tahun 1970an ketika database komputerisasi pertama kali digunakan. Penyimpanan informasi massal individu menimbulkan kekhawatiran mengenai potensi penyalahgunaannya oleh negara atau

6 Lilik Mulyadi, Teori Hukum Pembangunan Prof.DR.Mochtar Kusumaatmadja, h.2.

7 Rizka Nurdinisari, Tesis berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Privasi Dan Data Pribadi Pengguna Telekomunikasi Dalam Penyelenggaraan Telekomunikasi Khususnya Dalam Menerima

Informasi Promosi Yang Merugikkan”, Jakarta, 2013, h. 48.

(11)

pihak lain yang tidak diinginkan, termasuk tindakan seperti pengawasan dan pengumpulan data yang dikumpulkan, yang akan menjamin pelanggaran terhadap privasi terhadap data individu. Untuk melindungi para pengguna dari potensi pelanggaran privasi, perwakilan legislatif mengusulkan pemerintah untuk menjunjung tinggi perlindungan data pribadi milik warga negara AS. Undang-undang AS pertama yang dibuat untuk mengatasi dampak penyimpanan data pribadi adalah Fair Credit Reporting Act (FCRA) pada tahun 1970 yang menjadi dasar penting

dalam perlindungan data AS yang

lebih komprehensif di masa depan. FCRA membuat beberapa terobosan dalam mengatur perlindungan data dengan mempromosikan “akurasi, keadilan dan privasi informasi” yang disimpan oleh agen pelaporan konsumen (consumer reporting agencies). Agensi seperti itu termasuk biro kredit (misalnya, Equifax) dan agen khusus lainnya yang memperjual-belikan data data/informasi pribadi seperti catatan medis dan memeriksa riwayat tulisan. FCRA juga mengatur kondisi dimana pengumpulan data diperbolehkan, serta pentingnya keterbukaan informasi kepada konsumen saat diminta dan pencegahan dari pencurian identitas dan kejahatan potensial lainnya yang berkaitan dengan

(12)

perlindungan data. Selanjutnya, Departemen Kesehatan, Pendidikan

dan Kesejahteraan AS

menerbitkan laporan berjudul Rekaman, Komputer, dan Hak Warga pada tahun 1973. Laporan ini menguraikan secara jelas mengenai efek laten pencatatan dan mekanisme teknis berbasis computer yang diusulkan untuk memberi perlindungan privasi, dan juga menekankan pentingnya hak individu mengenai data pribadi yang mereka miliki.

Selanjutnya, laporan tersebut merekomendasikan penerapan Code of Fair Information Practices (FIPs) tertentu yang harus dipahami oleh semua organisasi yang memanfaatkan penyimpanan data pribadi. Kode praktik ni melarang penanganan informasi pribadi yang bersifat “tidak adil” – seperti penggunaan data yang tidak konsisten untuk tujuan selain dari yang telah dikumpulkan diawal – dan menjadikan kasus tersebut tunduk kepada sanksi sah dari pemerintah. Laporan pada tahun 1973 memiliki pengaruh penting dan membuka ruang bagi evolusi instrument hukum di luar AS, yang semuanya berusaha melindungi individu dari kemungkinan pelanggaran data yang berbahaya. Hal ini termasuk pedoman privasi data yang ditegakkan oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) pada 1980, serta Konvensi Uni

(13)

Eropa 1981 terhadap Perlindungan Individu berkaitan dengan Pengolahan Otomatis Data Pribadi (the European Union's 1981 Convention for the Protection of Individuals with Regard to the Automatic Processing of Personal Data). Sementara itu, di Amerika Serikat, the Code of Fair Information Pratices diusulkan dalam laporan 1973 yang kemudian diterapkan didalam negerinya didalam Privacy Act 1974- tetapi memiliki keterbatasan yang cukup berat. Sedangkan laporan awal mengusulkan sebuah hukum yang komprehensif yang mencakup semua bentuk sistem data pribadi bersifat otomatis, yang dirumuskan dalam Privacy Act yang mempersempit ruang lingkupnya dan hanya mengatur database federal yang dimiliki dan tidak termasuk sektor swasta serta sektor komersial sama sekali. Selanjutnya pengecualian ini terbukti fatal beberapa waktu kemudian dengan biro kredit komersial seperti Equifax gagal memastikan perlindungan sistem data mereka sendiri. Setelah pemerintah federal membentuk Privacy Act 1974, undang-undang terpisah yang masing-masing mencakup tipe tipe tertentu dan beberapa sektor terus dikembangkan. Hal ini termasuk dalam Family Educational Rights and Privacy (FERPA) tahun 1974 yang ditujukan kepada pelindungan pendidikan dan Right to Financial Privacy

(14)

Act (RFPA) tahun 1976 yang mengatur perlindungan terhadap informasi perbankan seseorang. Beberapa decade selanjutnya, pemerintah memperluas cakupan perlindungan data yang mencakup beberapa sektor seperti Electronic Communications Privacy Act 1986 (ECPA), the Health Insurance Portability and Accountability Act 1996 (HIPAA), the Gramm-Leach-Billey Act of 1999 (GLBA), dan the Fair and Credit Transactions Act of 2003 (FACTA) yang merupakan amandemen dari FCRA 1970.

Prinsip Perlindungan Data Pribadi terdapat Basic Principles Of National Application (Implementasi Nasional atas Prinsip-prinsip Dasar), yang dimana beberapa prinsipnya adalah:

a. Use Limitation Principle (Prinsip Pembatasan Penggunaan Data) Prinsip ini menjelaskan tentang data pribadi yang tidak boleh diungkapkan, disediakan atau digunakan untuk tujuan selain yang ditentukan kecuali dengan persetujuan dari pemilik data atau oleh otoritas hukum.

b. Security Safeguards Principle (Prinsip Perlindungan Keamanan Data) Prinsip ini menjelaskan tentang

(15)

keharusan dalam melindungi data pribadi dengan penjagaan keamanan yang wajar terhadap risiko seperti kehilangan atau akses, perusakan, penggunaan, modifikasi atau pengungkapan data yang tidak sah.8

Selain itu kewajiban penyelenggara Aplikasi untuk menjaga keamanan data juga tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.

Prinsip Tanggung Jawab Mutlak atau disebut Prinsip Tanggung Jawab Absolute (Absolute Liability), dan Strict Liability juga harus dipahami dengan seksama. Namun beberpa ahli menilai bahwa dua istilah tersebut merupakan istilah yang berbeda. Ada yang beranggapan bahwa Strict Liabilty merupakan prinsip tanggung jawab yang tidak melihat kesalahan sebagai faktor utama namun, ada pengecualian sebagaimana force majeur. Selain itu ada juga yang beranggapan bahwa Absolute liability merupakan prinsip tanggung jawab tanpa pengecualian sehingga apapun alasannya memang pelaku usaha harus bertanggung jawab atas

8 Rizkia Nurdinisari, Skripsi, Perlindungan Hukum Terhadap Privasi Dan Data Pribadi Pengguna Telekomunikasi Dalam Penyelenggaraan Telekomunikasi Khususnya Dalam Menerima Informasi Promosi Yang Merugikkan, Jakarta, 2013, Hal 64.

(16)

apa yang sudah diproduksi atau disebarluaskan apabila menimbulkan dapak kerugian. Menurut R.C. Horber et.al., berpendapat biasanya tanggung jawab mutlak ini diterapkan karena:

1) Konsumen tidak dalam kondisi menguntungkan untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang kompleks;

2) Diasusmsikan produsen lebih dapat mengantisispasi jika sewaktu-waktu ada gugatan atas kesalahannya, misalnya dedngan asuransi atau menambah komponen buiya tertentu pada harga produknya;

3) Asas ini dapat memaksa produsen lebih hati-hati.

D. Teori Perlindungan Hak Privasi.

Dalam histori dunia awal pemikiran ini merupakan salah satu ciri khas konsep hukum Amerika. Kecuali di Prancis dan di negara-negara besar lainnya, konsep hukum ini hingga sekaang belum ada. Di Inggris, misalnya, yang memberi tempat bagi gugatan pencemaran nama baik (libel) dan penghinaan (slander) , konsep hukum demikian pun tidak ditemukan. Hal ini tidaklah mengherankan sebab di negara Indonesia,

(17)

pemberitaan yang menyangkut kehidupan pribadi dari perorangan ternyata lebih disukai daripada yang lainnya. Sejarah perlindungan privasi berawal dari perlindungan atas tempat kediaman seseorang (rumah) dan lalu berlanjut pada perlindungan atas informasi dan komunikasi melalui surat menyurat. Pengaturan perlindungan hak atas privasi awalnya memang lebih dikenal di Eropa dan Amerika. Pada saat itu hukum, meski secara terbatas, telah memberikan perlindungan terhadap kegiatan “menguping” pembicaraan didalam rumah dan juga melindungi rumah seorang laki-laki dari kegiatan lain yang tidak sah. Di Amerika Serikat sendiri perlindungan hak atas privasi dimulai dengan disahkannya Bill of Rights dari Konstitusi Amerika Serikat. Amandemen Ketiga Konstitusi Amerika Serikat mencegah pemerintah untuk memerintahkan tentara menetap dirumah-rumah rakyat. Amandemen Keempat Konstitusi Amerika Serikat mencegah pemerintah untuk melakukan penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah. Pejabat pemerintah diwajibkan mendapatkan persetujuan dari Pengadilan untuk melakukan penggeledehan melalui surat penggeledehan yang didukung oleh bukti permulaan yang cukup. Dan Amandemen Kelima Konstitusi Amerika Serikat menjamin setiap orang untuk tidak dapat dipaksa

(18)

memberikan keterangan yang memberatkan dirinya sendiri. Sejarah modern mengenai privasi dimulai dari hadirnya Belanda di Indonesia.

Keputusan Raja Belanda No 36 yang dikeluarkan pada 25 di Indonesia.

Keputusan Raja Belanda No 36 yang dikeluarkan pada 25 Juli 1893, bisa dianggap peraturan tertua mengenai perlindungan privasi komunikasi di Indonesia. Dan sejak 15 Oktober 1915 melalui Koninklijk Besluit No 33 (Stbl. 1915 No. 732) pengaturan perlindungan privasi mulai muncul di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Meski pengaturan perlindungan hak atas privasi sudah cukup lama di Indonesia, namun perlindungan hak atas privasi baru menjadi perlindungan konstitusional sejak disahkannya Amandemen Kedua UUD 1945 melalui Pasal 28 G ayat (1) dan Pasal 28 H ayat (4). Namun peraturan legislasi mengenai perlindungan hak atas privasi masih terjadi dan yang berakibat lemahnya perlindungan warga Negara dari peretasan perlindungan hak atas privasi.

Persoalannya bukan sekedar perlindungan terhadap hak kehidupan pribadi seseorang belaka, namun juga sampai sejauh mana hak pribadi tersebut. Terlebih lagi bagi seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu dalam masyarakat. Apakah dia masih mempunyai hak-hak pribadi tersebut ataukah dia sudah menjadi milik masyarakat, sehingga

(19)

segala sesuatu tindakannya bukan lagi sebagai pribadinya, melainkan sudah menjadi milik masyarakat. Batasan untuk ini pun sulit ditentukan.

Apakah jika seseorang telah mempunyai fungsi tertentu dalam masyarakat, dengan demikian sudah tidak mempunyai lagi hak pribadi, sehingga semua tingkah lakunya juga diawasi.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Hak privasi merupakan kebebasan atau keleluasaan pribadi. Hak privasi merupakan klaim dari individu, kelompok, atau lembaga untuk menentukan sendiri kapan, bagaimana, dan sampai sejauh mana informasi tentang mereka dikomunikasikan kepada orang lain tanpa harus diketahui oleh umum.

Selain itu sejalan dengan pendapatnya Westin (1967), Hak atas privasi sebagai klaim dari individu, kelompok, atau lembaga untuk menentukan sendiri kapan, bagaimana, dan sampai sejauh mana informasi tentang mereka dikomunikasikan kepada orang lain.9 Menurut Pasal 26 Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi Teknologi dan Elektronik, Privasi adalah hak individu untuk mengendalikan penggunaan informasi tentang identitas pribadi baik oleh dirinya sendiri atau oleh pihak lainnya dan penggunaan setiap informasi melalui media

9 William Prosser, The Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2012, h.12.

(20)

elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan. Pasal 28G ayat (1) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menyatakan bahwa:

“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”

Russel Brown mengartikan hak atas privasi sebagai hak yang lahir akibat adanya hak atas milik pribadi terhadap suatu sumber daya tertentu.

Hak privasi atau hak individu untuk menentukan apa, dengan siapa dan seberapa banyak informasi tentang dirinya yang boleh diungkap kepada orang lain. Privasi itu sendiri terbedakan oleh privasi psikologi dan privasi fisik, privasi psikologi merupakan privasi yang berkaitan dengan pemikiran, rencana, keyakinan, nilai dan keinginan. Sedangkan privasi fisik adalah privasi yang berkaitan dengan aktivitas-aktivitas fisik yang mengungkapkan kehidupan pribadi seseorang. Pada dewasa ini, informasi merupakan suatu media yang sangat menentukan bagi perkembangan ekonomi suatu negara baik negara berkembang maupun negara maju.10

satu contoh hak privasi misalnya hak untuk dapat melakukan komunikasi dengan orang lain tanpa harus diketahui oleh umum. Hak

10 Shinta Dewi, Perlindungan Atas Informasi Pribadi dalam E-Commerce Menurut Hukum Internasional, Widya Padjajaran, Bandung, h.53

(21)

privasi ini adalah termasuk derogable rights sehingga dapat dikurangi pemenuhan nya. Sebagai contoh pengurangan hak atas privasi dalam berkomunikasi ini adalah terkait pengaturan tentang penyadapan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 memang tidak menggunakan terminologi hak privasi melainkan “hak pribadi”.

Hak atas privasi yang semestinya menjadi perhatian utama Pemerintah Indonesia dalam menjamin demokrasi yang telah dibangun sejak reformasi, dijamin di dalam Pasal 17 Kovenan, “Tidak boleh seorang pun yang dapat secara sewenang-wenang atau secara tidak sah dicampuri masalah-masalah pribadinya, keluarganya, rumah atau hubungan surat-menyuratnya, atau secara tidak sah diserang kehormatan dan nama baiknya.”

Mengenai perlindungan data pribadi tidak bisa dilepaskan dari konsep privasi. Hukum telah mengenal konsep privasi dalam kaitannya dengan gangguan secara fisik berupa trespass (memasuki pekarangan orang lain tanpa ijin) yang dikenal dalam hukum pidana. Dalam perkembangannya, hukum memberikan pula perlindungan terhadap emosional dan intelektual manusia. Setiap orang pada dasarnya berhak

(22)

memperoleh perlindungan atas data pribadi yang erat kaitannya dengan kehidupan privasi atau personal yang perlu dirahasiakan. Atas pentingnya perlindungan data pribadi tersebut, negara hadir melalui berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan data pribadi.

Sebagai negara hukum, Indonesia menjamin perlindungan atas hak asasi manusia dalam konstitusi negara. Merujuk pada meningkatnya penggunaan teknologi informasi dan komunikasi pada berbagai aktivitas individu memunculkan potensi meningkatnya pelanggaran data pribadi. Di latar belakangi potensi pelanggaran data pribadi di Indonesia, tulisan ini bertujuan memberikan gambaran mengenai perlindungan data pribadi dalam tataran regulasi.11

Konsep privasi sebagai suatu hak asasi manusia yang harus dilindungi diakui dalam Pasal 12 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (1948), yang menyatakan bahwa: “No one shall be subjected to arbitrary interference with his privacy, family, home or correspondence, nor to attacks upon his honour and reputation. Everyone has the right to the protection of the law against such interference or attack (Tidak ada seorang pun dapat diganggu dengan sewenang-wenang urusan pribadi, keluarga, rumah tangga atau hubungan surat menyuratnya, juga tidak diperkenalkan pelanggaran atas kehormatan dan nama baiknya. Setiap orang berhak mendapat perlindungan hukum terhadap gangguan atau pelanggaran itu)”.12

11 Siti Yuniarti, Perlindungan Hukum Data Pribadi Di Indonesia, Jurnal Becoss (Business Economic, Communication, and Social Sciences), Vol.1 No.1 September 2019, h. 148.

12 Ibid., h.149.

(23)

Perlindungan data pribadi dalam sebuah sistem elektronik di Undang- Undang ITE Nomor 19 Tahun 2016 meliputi perlindungan dari penggunaan tanpa izin, perlindungan oleh penyelenggara sistem elektronik, dan perlindungan dari akses dan interfensi illegal.

Referensi

Dokumen terkait

Banyaknya Uang : Tiga Juta Seratus Lima Puluh Ribu Rupiah Keterangan : Pelunasan Piutang.. Jumlah Rp 3.150.000 Bandung, 3 Desember 2010

Maka dari itu penulis mengambil judul “Perbedaan Hasil Belajar Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Dengan Menggunakan Metode Konvensional Dan Metode NHT (Numbered

Gambar 3.12 Usecase Diagram Kegiatan Dosen Tetap Bidang Keahlian Sesuai Program Studi Dalam Seminar

Teori yang dipakai yaitu unsur SPEAKING dari Hymes (1972) digunakan untuk menganalisis tuturan atau tanda verbal dan nonverbal yang terdapat dalam video Younglex

2 Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal, ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut yang ditanam; 3 ada waktu untuk membunuh, ada waktu untuk

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : Tingkat pengetahuan ibu tentang ASI Eksklusif di Puskesmas Ngampilan Yogyakarta tahun

Kegiatan Abdimas ini dilakukan dengan latar belakang dari kewajiban Tri Dharma sebagai dosen menjadi unsur Universitas Telkom yang bermanfaat bagi masyarakat secara tidak

Sejumlah penelitian telah menguraikan tentang meningkatnya prevalensi resistensi pada kuman-kuman patogen enterik seperti yang terjadi pada Shigella, salah satu kuman enterik