• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS STRUKTUR, PROSES PENCIPTAAN, KONTEKS PENUTURAN,FUNGSI, DAN MAKNA TEKS MITE PELET MARONGGE SERTA PEMANFAATANNYA DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS STRUKTUR, PROSES PENCIPTAAN, KONTEKS PENUTURAN,FUNGSI, DAN MAKNA TEKS MITE PELET MARONGGE SERTA PEMANFAATANNYA DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA."

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS STRUKTUR, PROSES PENCIPTAAN, KONTEKS

PENUTURAN,FUNGSI, DAN MAKNA TEKS MITE PELET MARONGGE SERTA PEMANFAATANNYA DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA

TESIS

Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat untuk memperoleh gelar magister pendidikan bahasa Indonesia

Oleh Burhan Sidiq NIM 1302229

(2)

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2015

LEMBAR HAK CIPTA

ANALISIS STRUKTUR, PROSES PENCIPTAAN, KONTEKS PENUTURAN, FUNGSI, DAN MAKNA MITE PELET MARONGGE SERTA

PEMANFAATANNYA DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA

Oleh

Burhan Sidiq

Sebuah tesis yang diajukan untuk memenuhi sebagian syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan Bahasa Indonesia pada Sekolah Pascasarjana

© Burhan Sidiq 2015

Universitas Pendidikan Indonesia

Agustus 2015

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang

Tesis ini tidak dapat diperbanyak seluruhnya atau sebagian

(3)
(4)

ANALISIS STRUKTUR, PROSES PENCIPTAAN, KONTEKS PENUTURAN, FUNGSI DAN MAKNA TEKS MITOS PELET MARONGGE SERTA PEMANFAATANNYA DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA

Burhan Sidiq NIM 1302229

ABSTRAK

(5)

ABSTRACT

(6)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iv

UCAPAN TERIMA KASIH ... v

DAFTAR ISI ... vi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1Latar belakang ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 7

1.3Tujuan ... 7

1.4Manfaat Penelitian ... 7

1.5Struktur Organisasi Penelitian ... 8

BAB 2 LANDASAN TEORETIS 2.1 Mitos Pelet Marongge dan Folklor ... 11

2.2 Kerangka Semiotika ... 18

2.3 Aspek Semiotik dalam cerita Rakyat ... 22

2.3.1 Aspek Sintaksis ... 23

2.3.1.1 Alur ... 25

2.3.1.2 Pengaluran ... 27

2.3.2 Aspek Semantik ... 28

2.3.2.1 Tokoh ... 29

2.2.1.2 Latar ... 30

2.3.3 Aspek Pragmatik ... 31

2.3.3.1 Proses Penciptaan ... 35

2.3.3.2 Konteks Penuturan ... 36

2.3.3.3 Ko-Teks ... 38

2.3.3.4 Fungsi ... 38

2.3.4 Perluasan Makna dalam Mitos ... 41

BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Pengertian ... 44

3.2 Rancangan Penelitian ... 47

3.3. Sumber Data ... 49

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 50

3.5 Instrumen Penelitian ... 53

3.6 Analisis Data ... 55

3.7. Waktu Pelaksanaan Penelitian ... 57

(7)

4.1 Sinopsis Cerita ... 59

4.2 Analisis Aspek Sintaksis Model Todorov ... 59

4.2.1 Analisis Pengaluran ... 59

4.1.2 Analisis Alur ... 68

4.2 Analisis Aspek Semantik ... 77

4.2.1 Analisis Tokoh ... 77

4.2.1.1 Mbah Gabug ... 77

4.2.1.2 Setayu ... 81

4.2.1.3 Naidah dan Naibah ... 83

4.2.1.4 Raja Gubangkala ... 84

4.2.1.5Prabu Bubang Gerung ... 86

4.2.1.6 Mbah Putih Jagariksa ... 87

4.2.1.7 Masyarakat ... 89

4.2.1.9 Para Perampok ... 90

4.2.2. Analisis Latar ... 92

4.2.2.1 Latar Tempat ... 93

4.2.2.2. Latar Waktu ... 100

4.3. Analisis Aspek Pragmatik ... 103

4.3.1 Proses Penciptaan dan Pewarisan ... 105

4.3.2 Konteks Penuturan Mitos Pelet Marongge ... 108

4.3.2.1 Konteks Situasi ... 108

4.2.3.2Konteks Budaya ... 122

4.2.3.3Konteks Sosial ... 131

4.2.3.4Konteks Ideologi ... 132

4.3.3 Ko-Teks ... 133

4.3.4 Fungsi Mitos Pelet Marongge ... 134

4.4. Makna Mite Pelet Marongge... 139

4.4.1 Metafora Motif Alam ... 140

4.4.2 Metafora Motif Manusia ... 144

4.4.2.1 Perempuan Mandiri ... 144

4.4.2.2 Menolak Pernikahan ... 147

4.4.2.3 Kecantikan Perempuan ... 150

4.4.2.4Kekuatan Perempuan ... 152

4.4.2.5Makna Kematian ... 156

4.4.3 Metafora Motif Peristiwa ... 162

4.5 Mitos pelet Marongge sebagai Media Pendidikan Karakter ... 164

4.5.1 Kebijaksanaan ... 165

4.4.2 Keadilan ... 167

4.4.3 Keberanian ... 170

4.4.4 Pengendalian diri ... 172

4.4.5 Cinta ... 174

(8)

4.4.7 Bekerja Keras ... 178

4.4.8 Integritas ... 180

4.4.9 Syukur ... 182

4.4.10 Kerendahan hati ... 184

BAB 5 RANCANGAN BAHAN AJAR DAN KEGIATAN PEMBELAJARAN DI SMA 5.1 Dasar Pemikiran ... 187

5.2 Bahan Ajar Pembelajaran di SMA ... 188

5.3 Perencanaan Pengajaran ... 189

5.4 Instrumen Modul ... 197

5.4. Rancangan Modul Pembelajaran Sastra ... 202

BAB 6 KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI 6.1 Simpulan ... 202

6.2 Implikasi ... 204

6.3 Rekomendasi ... 204

DAFTAR PUSTAKA ... 206

LAMPIRAN

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

Bab satu pendahuluan ini memaparkan latar bekalang masalah penelitian,

yaitu tentang permitean yang ada di Jawa barat sebagai folklor Indonesia. Kemudian

dipaparkan pula rumusan masalah, tujuan dan manfaat menelitian dan dideskripsikan

pula organisasi penelitian.

1.1. Latar Belakang

Indonesia adalah negara yang kaya tradisi lisan. Tradisi lisan adalah berbagai

pengetahuan adat dan kebiasaan yang secara turun temurun disampaikan secara lisan

dan mencakup hal-hal yang tidak hanya berisi cerita rakyat, mite dan legenda, tetapi

mencakup sistem kekerabatan, praktik hukum adat, contoh sejarah, dan lain

sebagainya. Menurut Pudentia, Tradisi lisan diartikan sebagai segala wacana yang

diucapkan meliputi yang lisan dan yang beraksara atau dikatakan sebagai sistem

wacana yang bukan aksara.( Pudentia, 1998 hlm vii)

Salah satu bentuk kekayaan tradisi lisan yang masih melekat pada masyarakat

Indonesia adalah sastra lisan. Masyarakat Indonesia masih mempertahankan sastra

lisan sebagai sarana untuk menyampaikan gagasan atau nasihat. Sastra lisan terdapat

hampir di seluruh wilayah di Indonesia yang disebarkan dari mulut ke mulut dari satu

genarasi ke generasi berikutnya secara turun temurun. Namun, seiring perkembangan

zaman, sastra lisan ada yang berkembang atau tetap eksis dan ada sebagian yang

hilang ditelan zaman.

Sastra lisan termasuk dalam katagori sastra lama. Pada awalnya, kelisanan

sastra lama disampaikan dengan menggunakan bahasa daerah tempat sastra itu lahir.

Namun, seiring dengan perkembangan zaman, sastra lama pun mendapat pengaruh

dari kebudayaan lain, maka lahirlah sastra dalam bentuk tulisan atau naskah.

Naskah-naskah tersebut menggunakan bahasa daerah, berisi tentang prosa, puisi, pengobatan

(10)

Secara historis, sastra lama dimulai sejak manusia mengenal kebudayaan

dengan hasil yang konkret seperti pepatah, dongeng, mite, legenda yang disampaikan

secara lisan, atau tulisan dengan aksara lama, misalnya sunda kuno. Sastra tidak dapat

dipisahkan dari masyarat tempat sastra itu lahir. Sastra lahir dan berkembang dalam

masyarakat sehingga sastra tersebut menjadi milik masyarakat. Menurut Semi,

“Antara masyarakat, kebudayaan, dan sastra merupakan satu jalinan yang kuat antara

satu dengan yang lain, yang saling berpengaruh, saling membutuhkan, dan saling

mementukan dalam perkembangannnya” (Semi, 1989 hlm 58).

Dalam masyarakat tradisional setiap anggota masyarakat melakukan kegiatan

bersama-sama baik untuk kepentingan individu maupun kepentingan umum. Bagi

masyarakat tradisonal, sastra lisan merupakan ekspresi dan perwujudan budaya yang

mencerminkan sistem sosial, ide, dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.

Masyarakat tradisonal mempunyai daya simak sangat kuat sehingga para penerusnya

masih mengetahui bentuk-bentuk sastra lisan baik yang berkaitan dengan

kepercayaan maupun pengetahuan. Dengan demikian, sastra lisan merupakan salah

satu hasil budaya milik bersama dan bukti kekayaan budaya sekaligus kekayaan

intelektual suatu masyarakat.

Menurut Nasiri sastra lisan memiliki beberapa ciri, diantaranya, yaitu bersifat anonim yakni pencipta sastra lama tersebut tidak diketahui, memiliki kegunaan kolektif, terdiri dari banyak versi, menggunakan kata-kata klise atau rumus berpola (seperti penggunaan kata konon), bersifat pralogis (tidak sesuai dengan penalaran atau logika), bersifat tradisional, penyebarannya secara lisan, menjadi milik bersama, dan cenderung lugu, polos, serta spontan. Sementara fungsi sastra lama yaitu sebagai sistem proyeksi, sebagai pengesahan lembaga kebudayaan masyarakat, sebagai alat pendidikan bagi anak, dan sebagai alat kontrol atas norma yang ada dan berkembang di masyarakat. ( Nasiri, 2012 hlm 35).

Salah satu bentuk sastra lisan yang masih berkembang sampai saat ini adalah

cerita rakyat. Cerita rakyat adalah sebuah karya naratif yang mengisahkan sebuah

peristiwa yang terjadi di sebuah daerah yang berkaitan dengan budaya setempat. Hal

ini diungkapkan Sujiman, “Cerita rakyat adalah kisahan anonym yang beredar secara

(11)

lisan yang diceritakan secara turun temurun, bentuknya berupa mite, legenda,

dongeng, ataupun seni tradisi” (Endraswara, 2013 hlm. 47).

Menurut Dananjaya cerita rakyat dibagi menjadi tiga, yaitu mite, legenda, dan dongeng. Mite adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang punya cerita. legenda adalah cerita rakyat yang mempunyai ciri-ciri mirip dengan mite tetapi tidak dianggap suci. Dongeng adalah prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi oleh masyarakat yang punya cerita dan tidak terikat waktu. (Dananjaya, 2007 hlm 50).

Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa ketiga jenis cerita rakyat

tersebut dibedakan atas anggapan masyarakat pemangkunya. Mite dianggap sebagai

kepercayaan suatu masyarakat, legenda dianggap sebagai sesuatu yang fiktif tentang

masa lalu biasanya berkaitan dengan asal usul suatu tempat, sementara dongeng

adalah cerita fiktif yang tidak terikat waktu.

Cerita rakyat adalah salah satu bentuk prosa klasik yang dikenal luas oleh

masyarakat Indonesia. Hal ini dikemukakan Yuwono, “Prosa tertua di Indonesia di

temukan dalam bentuk cerita rakyat. Cerita rakyat dalam bahasa umum disebut

dongeng, adalah salah satu bentuk kesastraan rakyat yang disampaikan dari mulut ke

mulut.” (Nasiri, 2012 hlm 2). Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa, dongeng atau

cerita rakyat disampaikan dari generasi ke generasi secara lisan hingga sangat sulit

ditemukan siapa yang pertama menceritakannya perama kali. Cerita sudah ada di

masyarakat dan menjadi milik masyarakat tesebut.

Menurut Rusyana, cerita rakyat merupakan warisan budaya nasional yang mempunyai nilai-nilai yang harus dikembangkan dan dimanfaatkan untuk kepentingan kehidupan masa kini dan yang akan datang, antara lain hubungannya dengan pembinaan apresiasi sastra. Cerita rakyat juga telah menjadi wahana pemahaman gagasan dan pewarisan tata nilai yang tumbuh dalam masyarakat. Bahkan sastra lisan telah berabad-abad berperan sebagai dasar komunikasi antara pencipta dan masyarakat. Sastra lisan akan lebih mudah dipahami karena adanya unsur yang dikenal dalam masyarakat. (Rusyana, 1987 hlm. 9)

Peryataan di atas mengandung perngertian: Cerita rakyat merupakan bagian

(12)

dalam masyarakat daerah yang harus dikembangkan dan diapresiasi dalam kehidupan

masa kini dan kehidupan yang akan datang. Nilai-nilai yang terkandung dalam cerita

rakyat mengajari masyarakat untuk taat pada norma dan adat setempat. Nilai

kepatuhan yang biasanya diterapkan pada cerita rakyat agar para generasi berikutnya

bisa menghadapi kehidupan yang lebih baik. Dengan demikian, cerita rakyat

berfungsi sebagai sarana untuk menyampaikan nilai-nilai moral yang berhubungan

dengan perilaku dan budaya masyarakat setempat, sebagai sistem proyeksi, dan

media pendidikan.

Seperti yang telah dikemukakan di atas, cerita rakyat dapat dibagi menjadi

tiga katagori, yaitu Legenda, dongeng, dan mite. Legenda adalah cerita yang berkisah

tentang asal usul sesuatu biasanya berkaitan dengan nama tempat. Dongeng adalah

cerita yang berkembang dalam masyarakat mengenai cerita cerita yang penuh fantasi

dan keajaiban biasanya dijadikan media hiburan atau nasihat. Mite adalah cerita yang

berkaitan dengan kepercayaan masyarakat tradisional, mengenai tokoh masa lalu

yang diyakini akan kekuatan gaibnya.

Keberadaan mite, legenda, dan dongeng yang berkembang di nusantara

banyak sekali . Setiap cerita di satu daerah akan memiliki kemiripan cerita atau

bentuk varian cerita di daerah lain. Seperti halnya cerita bawang merah dan bawang

putih, ada banyak ragamnya. Dalam distertasi Murti Bunanta, beliau membahas 22

varian dongeng bawang merah bawang putih yang ada di nusantara. Tentunya, di

dalam setiap cerita yang berkembang ada pesan budaya dan pesan moral yang tersirat

yang disesuaikan dengan kepentingan masyarakat pemangkunya.

Mite pun mempunyai banyak varian dan kepentingan. Beberapa mite

dimunculkan sebagai legitimasi kekuasaan agar masyarakat patuh dan tunduk

terhadap penguasanya atau pemerintahan. Seperti halnya, mite Nyi Roro Kidul yang

dihadirkan sebagai kekuasaan Mataram. Sosok Nyi Roro kidul ini muncul sebagai

kekuatan politik Mataram. Ekspresi politik para penguasa diwujudkan dalam

(13)

media ekspresi penciptanya agar mendapat perhatian dari banyak pihak. Pada masa

Mataram Islam, Panembahan Senopati telah memunculkan folklor yang sangat

fenomenal, yaitu Kanjeng Ratu Kidul.

Mite Nyi Roro Kidul tersebut berkembang sebagai bentuk legitimasi kekuatan

Mataram. Nyi Roro Kidul hadir sebagai isteri dari raja-raja Mataram dari bangsa jin.

Hal ini dilakukan agar kekuasaan Mataram selalu dihormati meskipun rajanya telah

mati. Karena masih ada kekuatan spiritual melalui sosok Nyi Roro Kidul sebagai ratu

Pantai Selatan Jawa yang tetap berkuasa.

Mite Nyi Roro Kidul hadir dalam berbagai varian, misalnya suku Jawa dan

suku Sunda mempunyai cerita yang berbeda tentang Nyi Roro Kidul, meskipun

tujuanya sama yaitu sebagai legitimasi kekuasaan raja. Jika dalam mite masyarakat

Jawa, Nyai Roro Kidul hadir sebagai isteri raja Mataram, lain halnya dengan

masyarakat Sunda yang menganggap Nyi Roro Kidul sebagai puteri dari Prabu

Siliwangi, yaitu Larasantang. Apa pun itu, Nyi Roro Kidul hadir sebagai perempuan

yang berkuasa dalam sebuah kerajaaan. Hal ini dimunculkn untuk menakut-nakuti

masyarakat agar selalu hormat pada penguasa melalui jalan spiritual.

Legitimasi kekuasan perempuan di Pulau Jawa tidak hanya diceritakan dalam

mite Nyai Roro Kidul, tetapi juga dalam Cerita Pantun Lutung Kasarung. Dalam

cerita pantun tersebut dikisahkan tentang dua orang perempuan yang berebut

kekuasaan, yaitu Purbalarang dan Purbasari. Mereka adalah kakak beradik, yang

tinggal mati oleh orang tuanya. Yang menjadi permasalahannya, pada siapa tahta

kerajaan akan diberikan. Dalam cerita tersebut perempuan direpresentasikan sebagai

penguasa. Hal ini menunjukan bahwa cerita rakyat Sunda, begitu mengagungkan

perempuan. Terbukti dalam cerita tersebut, perempuan diposisikan sebagai

pemimpin.

Mite lain yang mengisahkan keperempuanan dalam tradisi Sunda adalah Dewi

Pohaci, seorang perempuan yang dipercayai sebagai awal mula padi. Dalam cerita

(14)

kepentingan masyarakat banyak. Dewi Pohaci yang lahir dari telur naga, Dewa

Antagoba, menolak untuk dipinang batara Indera, dia tidak mau kembali

kekahyangan tempat dia berasal. Dia memilih hidup di bumi bersama rakyat jelata.

Namun, Batara Indera memaksanya. Pohaci tetap tidak mau. Dia memlih mati dengan

caranya sendiri. Pada akhirnya, dari kuburan Dewi Pohaci tumbuh tanaman padi,

aren, bambu dan kelapa yang berguna bagi masyarakat.

Kisah tentang kepahlawanan perempuan banyak sekali ragamnya dalam

budaya Sunda. Salah satunya, adalah kisah Mbah Gabug, pemilik pelet marongge

yang begitu termasyur yang akan dibahas dalam penelitian ini.

Di daerah Sumedang berkembang mite pelet marongge, yaitu kisah seorang

perempuan yang menaklukan raja-raja Pajajaran dengan kecantikannya. Mite ini telah

melegenda sejak zaman Sumedang Larang. Masyarakat Sumedang percaya bahwa

pada zaman itu pernah hidup seorang perempuan dengan ilmu kanuragan yang luar

biasa.

Sebagai cerita rakyat, mite pelet marongge berfungsi untuk menyampaikan

nilai nilai moral, budaya, adat istiadat, norma, etika, dan lain sebagainya. Mite pelet

marongge mampu memberikan gambaran masa lalu, saat Kerajaan Sumedang Larang

dikuasai Kerajaan Mataram karena tokoh dalam legenda pelet marongge adalah

perempuan asal Mataram. Mite pelet Marongge pun mengandung makna budaya,

yang didalamnya dikisahkan bagaimana sepak terjang seorang perempuan dalam

mempertahan eksistensinya di dunia yang dikuasai laki-laki. Mite pelet Marongge

bisa dipertimbangkan sebagai bahan ajar apresiasi prosa fiksi di tingkat perguruan

tinggi atau di tingkat SMA. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan Rusyana,

“Dalam sastra daerah terkandung muatan nilai-nilai moral. Dari cerita rakyat, berupa mite, legenda, dan dongeng, kita dapat mengapresiasi nilai-nilai moral yang terpadu

secara halus di dalamnya” (Rusyana, 1987 hlm. 6).

Mite pelet marongge adalah cerita milik masyarakat Sumedang, yang

(15)

Tomo, Kabupaten Sumedang. Makam ini adalah makam dari empat perempuan

cantik asal Mataram yang pernah menggemparkan raja-raja Pajajaran. Oleh sebab itu,

banyak masyarakat yang memercayai barang siapa yang berziarah ke Makam Kramat

Marongge maka akan terkena safaat dari keilmuan para perempuan yang

dimakamkan di makam tersebut.

Melihat fenomena tersebut, peneliti tertarik untuk menelaah kisah di balik

makam kramat tersebut. Selain itu, peneliti juga berpendapat bahwa cerita rakyat

harus dilestarikan dan dikembangkan bukan hanya sebagai kepercayaan, melainkan

juga sebagai media pendidikan dengan meneladani tokoh-tokoh yang ada di

dalamnya.

Salah satu upaya pelestarian cerita rakyat yang harus dilakukan adalah

penelitian, penerjemahan, dan penerbitan cerita rakyat. Dengan upaya-upaya tersebut

diharapkan dapat menyajikan kepada masyarakat umum bahwa mite pelet marongge

merupakan cerita rakyat yang mengandung nilai-nilai budaya dan moral. Selain itu,

penelitian ini, sebagai upaya memperkenalkan mite pelet marongge adalah bagian

dari folklor nusantara yang harus dikembangkan sebagai media pendidikan.

Mengingat mite pelet Marongge cukup penting sebagai bahan penelitian,

peneliti termotivasi untuk mengkaji mite tersebut. Hasil penelitian ini diharapkan

dapat memberikan sumbangan yang berharga bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, penelitian ini peneliti beri judul, “Analisis

Struktur, Proses Penciptaan, Konteks Penuturan, Fungsi dan Makna Teks Mite Pelet

Marongge serta Pemanfaatannya dalam Pembelajaran di SMA”

1.2. Rumusan masalah

Berdasarkan paparan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan

yang harus dikaji dalam mite pelet marongge.

1. Bagaimana struktur mite pelet marongge?

(16)

3. Bagaimana proses penciptaan mite pelet marongge?

4. Bagaimana fungsi mite pelet marongge?

5. Bagaimana makna mite pelet marongge

6. Bagaimana mite pelet Marongge sebagai media pembelajaran di kelas X

SMA?

1.3. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian adalah untuk

mendeskripsikan

1. Struktur mite pelet marongge

2. Proses penciptaan mite pelet marongge

3. Konteks dan ko-teks penuturan mite pelet marongge

4. Fungsi mite pelet marongge

5. Makna mite pelet marongge

6. Menyajikan modul mite pelet Marongge sebagai media pembelajaran di kelas

X SMA

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik yang bersifat

teroritis maupun praktis. Secara teoritis penelitian dapat memberikan sumbangan

terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang folklor, kuhususnya kesusastraan

nusantara. Sementara manfaat praktis dari penelitian ini, diharapkan dapat

memberikan manfaat bagi guru guru bahasa Indonesia, mahasiswa ilmu sastra dan

ilmu budaya, bagi sekolah dan perguruan tinggi, juga masyarakat luas.

1) Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu

folklor, khususnya kesusastraan nusantara. Penelitian folklor dapat digunakan sebagai

(17)

kehidupan masyarakat di suatu tempat. Bagi penelit lain, tesis ini dapat digunakan

sebagai referensi dalam melakukan dengan kajian yang sama.

2) Manfaat praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini adalah untuk membantu para guru bahasa

Indonesia dalam mengajarkan apresiasi prosa fiksi di sekolah-sekolah. Penelitian bisa

digunakan sebagai bahan inspirasi dalam mengajarkan sastra daerah. Bagi para

mahasiswa ataupun dosen, penelitian bisa dijadikan model penelitian kajian folklor,

khususnya tentang kesusastraan nusantara. Bagi masyarakat luas, penelitian bisa

digunakan sebagai bahan untuk menumbuhkembangkan pemahaman tentang cerita

rakyat, khususnya mite, yang selama ini, dianggap pander oleh masnyarakat awam.

Padahal, dalam sebuah mite terkandung nilai-nilai budaya dan moral yang sangat

berharga.

Nilai-nilai yang terkandung dalam mite merupkan cerminan dari masyarakat

pemangkunya. Mite pelet Marongge merupakan implementasi dari paradigma

masyarakat, pandangan hidup, ekspresi, obsesi, dan ambisi masyarakat sumedang.

Dengan demikian, masyarakat akan mempunyai tanggung jawab untuk memelihara

dan melestarikan mite pelet Marongge sebagai kekayaan budaya daerah dan

khasanah kesusastraan nusantara.

1.4. Struktur organisasi penelitian

Bab 1 Pendahuluan

Bab satu adalah bagian pendahuan yang terdiri atas latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat menelitian dan strukur organisasi

penelitian. Latar belakang masalah mendeskripsikan masalah masalah umum

peneletian kemudian mengerucut pada masalah khusus penelitian yaitu mite pelet

Marongge. Rumusan masalah terdiri atas pertanyaan pertanyaan penelitian yang akan

(18)

muncul dalam rumusan masalah penelitian. Manfaat penelitian terdiri atas manfaat

teoritis dan manfaat praktis penelitian.

Latar belakang masalah

Bab 2 Landasan Teoretis

Bab dua terdiri atas uraian teori yang digunakan dalam penelitian. Teori yang

digunakan dalam penelitian ini adalah teori folklor dan teori semiotika. Terori fokllor

memaparkan mite pelet marongge sebagai folklor. Teori semiotika menjabarkan teori

semiotic yang diterapkan pada kajian prosa fiksi. Teori yang digunakan adalah teori

dari todorov yang mengkaji sintaksis, semantik, dan pragmatik dalam karya sastra.

Sintaksis akan membahas mengenai alur dan pengaluran. Semantik akan membahas

tokoh dan latar. Pragmatik akan membahas sistem komunikasi antara pengirim dan

penerima. Kajian ini akan dikhususkan pada proses penciptaan, konteks penuturan,

dan fungsi mite.

Bab 3 Metode penelitian

Bab tiga membahas medode penelitian kajian tradisi lisan. Medote yang

digunakan adalah meode kualitatif. Dalam penelitian ini, pendeskripsian data-data

dilakukan dengan cara mengetengahkan fakta-fakta yang berhubungan dengan

struktur teks mite pelet Marongge dan relasi fungsi terhadap masyarakat

pemangkunya. Kemudian membuat rancangan penelitian, dengan melakukuan studi

lapangan, mengklasifikasi data, menyajikannya dan menganalisisnya. Setelah itu,

data diinterpretasi dengan kajian semiotika. Lalu peneliti membuat modul

pembelajaran. Terakhir, peneliti membuat kesimpulan dan rekomendasi.

Sumber data yang digunakan adalah cerita lisan yang berkembang di wilayah

Sumedamg tentang mite pelet Marongge. Peneliti menggunakan sumber data primer

dan sekunder. Teknik pengumpulan data kualitatif meliputi observasi, wawancara,

(19)

angket, daftar pertanyaan,alat perekam, dan kamera. Penelitian ini dilangsungkan

pada bulan Desember 2014 hingga Maret 2015. Penelitian dimulai di daerah

Sumedang

Bab 4 Analisis Struktur

Bab empat penelitian ini membahas hasil analisis struktur mite pelet marongge.

Analisis mite terfokus pada kajian sentaksis, semantik dan pragmatik karya sastra.

Analisis sintaksis difokuskan pada analisis alur dan pengaluran. Analisis semantik

difokuskan pada analisis tokoh dan latar. Analisis pragmatik difokuskan pada proses

penciptaan, konteks penuturan, dan fungsi mite.

Bab 5 Rancangan Bahan Ajar dan Kegiatan Pembelajaran di SMA

Rencana dan Pelaksanaan Pembelajaran dan rancangan modul mite pelet marongge

sebagai bahan ajar di SMA

Bab 6 Simpulan, Implikasi, dan rekomendasi

Simpulan pelet marongge berdasarkan analisis struktur, proses penciptaan dan

pewarisan, konteks dan ko-teks penuturan, fungsi dan makna mite pelet Marongge

juga konteks pendidikan karakter dalam mite pelet Marongge.

Daftar Pustaka

(20)

BAB 3

METODE PENELITIAN

Bab tiga pada penelitian ini membahas metode yang digunakan, yaitu

deskriptif kualitatif. Bab tiga ini membahas, rancangan penelitian, sumber data,

teknik pengumpulan data, instrumen pengumpulan data dan analisis data.

3.1. Pengertian

Penelitian adalah suatu kegiatan sistematis untuk memecahkan masalah

dengan dukungan data sebagai landasan dalam mengambil kesimpulan. Penelitian

tidak pernah lepas dari sebuah metode karena metode adalah suatu cara dalam

penelitian untuk memperoleh gambaran jelas mengenai langkah-langkah yang harus

ditempuh dalam menyelesaikan masalah.Metode merupakan suatu cara untuk

memahami objek penelitian.

Seorang peneliti dapat memilih dari berbagai macam kerangka teori untuk

menerapkan metode dalam penelitiannya. Hal yang pertama dilakukan oleh seorang

peneliti adalah merumuskan metode yang sesuai dengan objek penelitian, tujuan

penelitian, ilmu yang akan digunakan, juga teori yang mendukungnya.

Hal yang menarik dalam menggunakan metode untuk penelitian sastra

adalah adanya distansi, kerja yang objektif, dan terhindarnya unsur prasangka. Gejala

dengan situasi kesastraan inilah yang sering memaksa peneliti untuk memahami

berdasarkan pengertian sendiri. di sinilah keahlian peneliti sastra, bagaimana

menyusun sebuah argumen agar bisa diterima orang banyak dan dianggap sebagai

kebenaran objektif sekaligus ilmiah.

Metode penelitian penelitian dibagi menjadi dua jenis, yaitu metode penelitian

kuantitatif yang melakukan proses verifikasi mengenai pengukuran dan analitis yang

dikuantitatifkan dengan menggunakan data statistik dan model matematika. Kedua,

(21)

menggunakan kedalaman penghayatan terhadap interaksi antarkonsep yang sedang

dikaji secara empiris.(Sugiyono, 2008)

Dalam penelitian sastra, seorang peneliti harus memiliki kemampuan memilih

dan menggunakan metode yang sesuai dengan karakteristik karya sastra yang diteliti.

Penerapan metode ilmiah dalam penelitian sastra perlu mempertimbangkan sifat

sastra yang memperhatikan gejala umum dan gejala khusus. Gejala umum pada satra

menyiratkan bahwa karya sastra adalah wujud kreatifitas manusia yang tergolong

dalam konvensi-konvensi yang berlaku bagi wujud ciptaannya. Gejala khusus adalah

keunikan karakteristik sastra pada suatu masyarakat yang bahkan tidak ditemukan

dalam masyarakat lain sehingga karya sastra tersebut bisa menjadi identitas bagi

masyarakat pemiliknya. Tugas penelitilah untuk memilah milah keunikan karya sastra

menjadi lebih terstruktur dan mudah dipahami

Pada dasarnya, penelitian sastra terbagi dalam dua jenis, yaitu penelitian

lapangan dan penelitian perpustakaan (Siswantoro, 2010 hlm. 25). Penelitian

lapangan biasanya berkaitan dengan penelitian folklor atau sosiologi sastra atau

pragmatik sastra. Sementara penelitian perpustakaan adalah penelitian yang

berhubungan teks sastra, atau naskah-naskah sastra.

Penelitian lapangan, khususnya folklor menggunakan instrument yang tidak

jauh berbeda dengan instrument yang digunakan dalam penelitian sosial lainnya,

terutama penelitian antropologi. Hal yang perlu dilakukan oleh peneliti adalah

membaur dengan masyarakat folklor yang sedang diteliti. Menurut Danandjaya

penelitian folklor terdiri atas tiga macam tahap, yaitu pengumpulan data,

pengklasifikasian, dan penganalisisan (Danandjaya, 1984 hlm. 183). Pengumpulan

data adalah mengambilan data dari lapangan atau lokasi yang ditentukan.

Pengklasifikasan adalah proses kerja memilah data mana saja yang bisa dijadikan

sumber. Penganalisan data adalah proses mengkaji data yang telah dideskripsikan

(22)

Seperti halnya penelitian yang lain, penelitian folklor pun adalah kegiatan

ilmiah yang harus menggunakan cara yang sistematis dan prosedural. Menurut

Siswantoro, penelitian folklor sebagaimana penelitian lain, haruslah bersandar pada

metode ilmiah dan sistematis. Hanya saja metode yang digunakan adalah metode

desktiptif.( Siswantoro, 2010 hlm. 56). Menurut Nawawi, metode deskriptif adalah

metode yang dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki

dengan menggambarkan atau meluliskan keadaan objek penelitian berdasarkan

fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya ( dalam Nasiri, 2012 hlm. 117). Denifisi

ini mengandung pengertian bahwa penelitian deskriptif adalah suatu cara untuk

menguraikan objek penelitian dalam satuan-satuan struktur yang lebih terperinci.

Metode penelitian deskriptif merupakan prosedur penelitian yang berupaya

memecahkan masalah-masalah penelitian dengan carang mengukapkan dan

menggambarkan objek penelitian dengan fakta yang sebanarnya. Dengan metode

deskriptif seorang peneliti sastra, khususnya folklor dituntut untuk mampu

menjabarkan dan memberikan gambaran sedetail-detailnya fakta-fakta lapangan

dengan apa adanya.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode kualitatif deskriptif, yaitu

peneliti berupaya menggambar sedetail-detailnya data dan fakta yang telah peneliti

kumpulkan di lapangan. Hal ini sejalan dengan pendapat Bodgan Biklen yang

mengungkapkan karakteristik penelitian kualitatif, yaitu 1) menggunakan lingkungan

alamiah sebagai sumber data langsung; 2) sifatnya deskriptif analitik; 3) tekanan

penelitian ada pada proses; 4) sifatnya induktif; 5) mengutamakan makna ( Strinati,

2007 : 34 ). Sementara itu, Data dan fakta yang dikumpulkan dalam penelitian ini

adalah data lapangan murni yang tidak dicampuri pendapat peneliti. Karena seperti

itulah penelitan folklor data yang diambil adalah data apa adanya, sesuai dengan

karakter folklor polos dan lugu.

Setelah peneliti mendeskrifsikan data, data tersebut kemudian peneliti analitis,

(23)

dari masyarakat tertentu. Analisisnya berbentuk deskripsi tentang penuturan dan

penafsiran data yang ada, tentang situasi yang dialami, suatu hubungan, pandangan,

sikap yang tampak, atau suatu proses yang meruncing.

Dalam penelitian ini, pendeskripsian data-data dilakukan dengan cara

mengetengahkan fakta-fakta yang berhubungan dengan struktur teks mite pelet

marongge dan relasi fungsi terhadap masyarakat pemangkunya. Etnografi yang

digunakan adalah etnografi mikro yang berfokus pada kelompok budaya yakni

kelompok masyarakat, khususnya masyarakat Sumedang, yang meyakini makam

kramat Marongge mempunyai kekuatan magis dan mengandung nilai-nilai lokalitas

yang harus dipertahankan.

Mite pelet marongge dikaji dengan teori semiotika, yaitu menikikberatkan

pada kajian sintaksis, semantik, dan pragmatik karya sastra. Kemudian peneliti

menginterpretasikan makna mite pelet marongge. Kajian sintaksis digunakan untuk

menganalisis struktur mite pelet marongge. Kajian Semantik digunakan untuk

menganalisis simbol-simbol mite pelet marongge. Kajian pragmatik digunakan untuk

menganalisis proses penuturan, proses penciptaan, proses pewarisan dan proses

implementasi mite pelet marongge bagi masyarakat Sumedang.

3.2. Rancangan penelitian

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, penelitian ini dilakukan seara

deskriptif kualitastif. Dalam pelaksanaannya, penelitian ini menerapkan metode

etnografi yang mendeskripsikan mitos pelet Marongge sebagai karya sastra dan ritual

ziarah kubur di makam kramat Marongge sebagai apresiasi masyarakat lokal terhadap

kehidupan tokoh dalam mite pelet marongge. Kemudian peneliti akan menemukan

makna dan gagasan dari simbol simbol budaya yang muncul dalam ritual ziarah

kubur di makam kramat Marongge.

(24)

KETERANGAN

STUDI LAPANGAN 1 STUDI LAPANGAN 2 STUDI LAPANGAN 3

1. Orientasi lapangan

2. Mencari informan

3. Wawancara tak

terarah

Wawancara yang

bersifat bebas dan

acak dalam

mencari informasi,

baik berupa

pertanyaan

maupun informan

yang dipilih

4. Dokumentasi

5. Studi pustaka

1. Menyaksikan

proses ziarah kubur

di makam kramat

Marongge

2. Wawancara terarah

dengan kuncen

makam kramat

Marongge:

Wawancara dengan

pertanyaan yang

telah dirumuskan

sebelumnya dan

informan yang

telah ditentukan

3. Dokumentasi

4. Studi pustaka

1. Berpartisipasi

dalam ziarah kubur

di makam kramat

Marongge

2. Wawancara

bersama mantan

kuncen makam

kramat marongge

3. Wawancara

bersama

paranormal sekitar

lokasi

4. Wawancara dengan

pengguna pelet

marongge

5. Dokumentasi

(25)

KLASIFKASI DATA PENYAJIAN DATA ANALISIS DATA

Pemilihhan,

penyederhanaan, dan

pengabstraksian data

sesuai kebutuhan

Penyajian data dalam

bentuk deskripsi lugas dan

mudah dipahami

Penganalisisan aspek

sintaksis, semantik, dan

pragmatik mite pelet

marongge dengan teori

semiotika

Penganalisisan ritual

ziarah kubur di makam

kramat sebagai bentuk

apresiasi masyarakat

terhadap tokoh dalam mite

pelet marongge

INTERPRETASI DATA MODUL

PEMBELAJARAN

KESIMPULAN

Penafsiran makna mite

pelet marongge melalui

simbol simbol yang

muncul dalam struktur

cerita

Penafsiran relasi fungsi

mite pelet marongge

Pembuatan modul

pembelajaran untuk kelas

XI SMA

1. Merumuskan

kesimpulan sebagai

jawaban atas

pertanyaan

penelitian

2. Membuat saran

untuk penelitian

selanjutnya dan

membuat

(26)

penelitian

3.3. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini terdiri atas dua macam, yaitu sumber data

primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer adalah sumber data yang

dituturkan langsung oleh informan, yaitu mantan kuncen makam kramat Marongge.

Penuturan tersebut direkam saat peneliti melakukan wawancara. Kemudian setelah

merekam mitos pelet Maronggge. Peneliti mengamati reaksi masyarakat pemangku

mitos tersebut, yang menjadikan makam kramat Marongge sebagai tempat

permohonan doa. Sebagai data sekunder, peneliti mengambil data hanya pada dua

informan yang peneliti mintai keterangan tentang mitos di balik makam kramat

marongge. Hasil dari wawancara tersebut tidak jauh berbeda dengan yang dituturkan

informan pertama. Kedua informan tersebut adalah, kuncen makam kramat marongge

dan salah satu paranormal yang paham tentang pelet Marongge. Data sekunder yang

peneliti dapat, tidak hanya berupa penuturan langsung, melainkan juga sebuah buku

cerita rakyat Jawa Barat yang berjudul Putri Marongge karya A. Setiawan (tidak ada

tahun terbit). Namun, buku cerita tersebut mempunyai silsilah tokoh yang berbeda

dengan penuturan langsung dari para informan. Jadi peneliti tetap memegang teguh

data pada apa yang dituturkan mantan kuncen makam kramat Marongge.

Selain itu peneliti juga melengkapi data penelitian dengan foto, gambar, juga

video. Namun penggunaan data tersebut bukan sebagai bahan analisis, melainkan

[image:26.612.106.534.84.128.2]

sebagai data pendukung untuk melengkapi verifikasi data. Adapun foto-foto dan

gambar-gambar yang peneliti lampirkan adalah, foto kuncen, foto makam kramat

marongge, dan foto orang-orang yang sedang ziarah kubur di makam kramat

(27)

Data video peneliti analisis namun tidak akan dideskripsikan dengan detail

karena penelitian ini tidak diarahkan dalam kajian tradisi lisan, melainkan kajian

folklor. Jadi peneliti akan memfokuskan penelitian pada struktur cerita mite pelet

marongge. Data vedio digunakan untuk memahami aspek pragmatik karya sastra.

Peneliti menganalisi cara masyarakat dalam mengapresiasi mite pelet marongge.

Tidak hanya video rekaman ritual ziarah kubur sebagai bahan analisis, peneliti juga

mewawancarai beberapa peziarah mengenai mite pelet marongge, tujuan mereka

datang ke makam, dan aplikasi pelet tersebut dalam kehidupan pribadi mereka.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah cara seorang peneliti dalam mendapatkan

informasi sebagai bahan penelitian. Sugiono (dalam Nasiri 2012 hlm. 120)

mengatakan, dalam penelitian kualitatif pengumpulan data dilakukan pada kondisi

alamiah, sumber data primer, dan teknik pengumpulan data difokuskan pada

observasi peran serta, wawancara mendalam, dokumentasi, dan triangulasi. Nasution

pun mengatakan metode pengumpulan data kualitatif yaitu observasi, wawancara,

dokumentasi, dan membuat catatan lapangan (Nasution, 2010 hlm. 20).

Berdasarkan pendapat tersebut, peneliti berkesimpulan bahwa teknik

pengumpulan data kualitatif meliputi observasi, wawancara, catatan lapangan, dan

dukumentasi. Obervasi dan wawancara digunakan untuk mengumpulkan data primer.

Untuk mendapatkan data sekunder peneliti juga memewancarai informan, namun

bukan informan utama, selain itu peneliti juga menggunakan catatan lapangan dan

dokumentasi.

Sumber data primer adalah bahan utama untuk dianalisis, yaitu tuturan asli

mantan kuncen makam kramat Marongge, tanpa peneliti rekayasa atau

ditambah-tambahkan. Sementara penggunaan data sekunder digunakan untuk melengkapi bahan

analisis dari data primer. Pada tahap awal peneliti bingung untuk menggunakan

(28)

dan mengetahui kondisi karakter setiap informan, peneliti memutuskan bahwa yang

menjadi informan primer adalah mantan kuncen makam kramat Marongge.

Penelitian diawali dengan pengamatan lokasi yang akan diteliti untuk

melakukan pencarian mengenai keberadaan informan. Dari pengamatan tersebut,

dipilih beberapa informan, kemudian mewawancarainya. Pengamatan langsung ini

dinamakan obervasi terang-terangan, yaitu peneliti langsung menyatakan terus terang

mengenai tujuan peneliti berada di makam kramat marongge. Namun, sambutan

kuncen atau juru kunci makam kramat Marongge kurang bersahabat. Dengan

sikapnya yang sinis dan kurang ramah peneliti menyimpulan bahwa kedatangan

peneliti sebagai peneliti tidak disukai, kuncen tersebut lebih menyukai tamu-tamu

yang datang sebagai peziarah.

Peneliti menggunakan dua teknik wawancara, yaitu wawancara terarah dan

wawancara tak terarah. Wawancara terarah adalah wawancara yang sifat menyelidiki

dan mengungkap cerita misteri di balik makam kramat Marongge dengan

pertanyaan-pertanyaan yang sudah disiapkan sebelumnya untuk memperoleh jawaban yang

diharapkan. Semantara, wawancara tak terarah adalah peneliti bertanya yang sifat

lebih pribadi, tentang keluarga, keadaan lingkungan makam, tamu-tamu yang datang

dan lain sebagainya sehingga informan dapat memberikan jawaban seluas-luasnya.

Sebelumnya, disiapkan alat bantu untuk kelancaran proses wawancara seperti alat

tulis, alat rekam, dan kamera.

Dalam penelitian ini peneliti akan mengupas legenda pelet marongge yang

dituturkkan secara lisan oleh mantan kuncen Makam Kramat Maronnge, yang terletak

di Desa Marongge, Kecamatan Tomo, Kabupaten Sumedang. Mantan kuncen tersebut

bernama Bapak Suhadi, 56 tahun, dia sudah menjadi kuncen selama sepuluh tahun,

dari tahun 2000 hingga 2010. Beliaulah yang membuat membuat tradisi mandi di

sungai cilutung sebagai media untuk menerapkan ilmu pelet Marongge.

Bapak Suhadi menuturkan legenda pelet Marongge pada tanggal 20 Februari

(29)

pemakaman Makam Kramat Marongge. Beliau mengisahkan legenda tersebut sehabis

salat isya hingga pukul sepuluh malam. Tentunya suasana yang dibangun begitu

tenang dan khimat yang selingi dengan rokok dan kopi hitam.

Bahasa yang digunakan oleh Suhadi adalah bahasa Sunda diselingi bahasa

Indonesia. Hal ini mempermudah peneliti memahami setiap kosa kata yang dituturkan

olehnya. Bapak Suhadi Sendiri tidak mahfum benar dengan kisah tersebut karena

beliau pun hanyalah kuncen yang dipercaya oleh kepala desa untuk menjaga dan

merawat makam kramat tersebut. Dia tidak tahu sejak kapan kramat tersebut ada

disana, dia pun tahu kisahnya dari kuncen sebelumnya juga cerita masyarakat yang

memepercayai hal itu.

Kuncen yang menjabat sekarang pun, Bapak Maman, 60 tahun, kurang

paham benar tentang kisah dibalik makam kramat yang dia jaga tiap hari. Dia hanya

pendoa, pembaca salawat, yang dibayar para peziarah untuk menyampaikan

harapan-harapannya. Kuncen yang satu ini enggan diwawancari, dia menganggap kisah

dibalik makam kramat marongge adalah kisah sakral yang tidak sembarangan

diceritakan. Namun, setelah peneliti memberikan sejumlah uang barulah dia mau

bercerita. Dia pun tidak tahu sejak kapan makam kramat Marongge itu ada.

Setelah peneliti mengunjungi kepala desa Marongge, peneliti pun medapatkan

data yang tidak jauh berbeda dengan informan sebelumnya. Akhirnya, peneliti

bertemu dengan Aki Pasar, dia adalah tokoh masyarakat di sana, dia juga dewan

penasihat komunitas sepedah ontel di wilayah Majelengka. Dia bertutur legenda pelet

Marongge dengan lebih lengkap, setidaknya dia menyebut prabu Gesan Ulun, dari

sana peneliti berasumsi bahwa tokoh dalam legenda pelet Marongge hidup pada

zaman Prabu Gesan Ulun, raja dari kerajaan Sumedang Larang yang berkuasa sekitar

abad ke-16.

Aki Pasar juga bercerita tentang ilmu pelet dan bagaimana ilmu pelet

(30)

menyempurnakan data asli yang peneliti rekam dari pak Suhadi Mantan kuncen

Makam Kramat Marongge.

Setelah melakukan wawancara terarah dan tidak terarah, berlanjut pada tahap

berikutnya, yaitu mendeskripsikan ritual pelet marongge dari hasil pengamatan.

Kemudian mentranskripsikan pelet marongge dari bentuk rekaman ke dalam bentuk

tulisan dan memisahkan antara yang berbentuk wawancara dengan cerita lisan.

Setelah proses pendeskripsian selesai, peneliti menentukan ikon-ikon budaya

yang muncul dalam ritual melalui metode etnografi. Kemudian dilanjutkan pada

proses penerjemahan hasil transkripsi dari bahasa Sunda ke dalam bahasa Indonesia

dengan tidak mengubah atau menghilangkan aslinya.

Kemudian peneliti menganalisis struktur mitos dengan menggunakan

pendekatan semiotika. Analisis difokuskan pada stuktur teks, yaitu dengan

pendekatan sintaksis, pendekatan semantik, dan pendekatan pragmatik. Analisis

difokuskan pada kaitan antara sastra dengan masyarakat pendukungnnya. Terakhir

menyimpulkan hasil yang dikaji, memberikan saran dan merekomendasikan

penelitian. Peneliti juga merancang modul sebagai pembelajaran cerita rakyat di

SMA.

3.5. Instrumen Penelitian

Instrument dalam penelitian lapangan adalah alat yang digunakan seorang

peneliti untuk mengumpulkan data. Penelitian lapangan identik dengan penelitian

kualitatif. Sebuah penelitian kualitatif tidak dapat dilepaskan dari pengamatan dan

peran serta peneliti karena peranan peneliti yang menentukan jalan dan ending dari

sebuah penelitian. Seperti yang diungkapkan oleh Sugiono, “Dalam penelitian

kualitatif instrument utamanya adalah peneliti itu sendiri selanjutnya bisa

dikembangkan instrument sederhana yang diharapkan dapat melengkapi data dan

membandingkan data yang ditemukan melalui observasi dan wawancara.”(Sugiyono,

(31)

Pernyataan Sugiono tersebut memberikan kesempatan kepada peneliti

kualitatif untuk mengembangkan instrumensnya selain dirinya sendiri. Bagi

penelitian tradisi lisan, khususnya sastra lisan, diri sendiri sebagai intrumen bukanlah

sebagai bahan eksperimen. Namun, peneliti hanya sekedar mengadakan observasi

lapangan untuk mengendapatkan data yang diinginkan. Seperti halnya dalam

penelitian ini peneliti menggunakan alat pengumpul data, yaitu berbagai hal yang bisa

menunjang proses penelitian berjalan dengan semestinya. Alat pengumpul data yang

peneliti gunakan, diantaranya berupa bahan tertulis, seperti angket, daftar

pertanyaan,alat perekam, dan kamera.

Dalam penelitian kualitatif, seorang peneliti harus terjun ke lapangan untuk

mengumpulkan informasi. Melalui observasi ke lokasi penelitian, data dan informasi

bisa dikumpulkan. Seorang peneliti harus bisa melebur dalam masyarakat agar bisa

berpartisipasi dalam kegiatan kegiatan tradisi. Setelah itu, seorang peneliti harus

mewawancari informan, salah satu tokoh yang berpengaruh dalam masyarakat untuk

mengambil data sebagai sampel penelitian. Wawancara dilakukan dengan cara terarah

dan tak terarah. Wawancara terarah dilalukan untuk memperoleh jawaban-jawaban

terbuka dan pasti. Sementara wawancara tak terarah dilakukan agar peneliti bisa

mengambil simpati dari informan sehingga dia tidak merasa sungkan atau

terintimidasi saat proses wawancara. Dengan wawancara tak terarah, kadang seorang

informan akan memberikan informasi yang lebih lengkap dan akurat karena merasa

ada kedekatan emosional dengan peneliti. Dia akan memberikan rahasia terdalam dari

sebuah tradisi yang dipegang teguh selama ini.

Data dan penelitian kualitatif dapat berubah-ubah sesuai dengan kondisi yang

terjadi di lapangan. Penelitian kualitatif sangat situasional tergantung bagaimana

penerimaan masyarakat dan informan dalam memberikan informasi. Sebab penelitian

lapangan, terutama kajian folklor akan berhubungan dengan masyarakat yang bersifat

dinamis. Sebab itu, sebuah folklor mempunyai banyak versi karena sebuah komunitas

(32)

budaya, religi, dan pandangan hidup mereka dalam milihat fenomena yang terjadi di

lingkungannya. Namun demikian, seorang peneliti folklor harus mempunyai peran

sebagai instrument kunci, yaitu memverifikasi data setelah setiap informasi

dikumpulkan dan dianalisis.

Satu hal yang menjadi cacatan dalam penelitian ini adalah menentukan

informan utama yang menjadi sumber data primer untuk dianalisis dengan kajian semiotika. Nasiri berpendapat “Sebagai instrument kunci, peneliti memliki fungsi, yaitu menetapkan focus penelitian, menentukan informan, dan melakukan

pengumpulan data” (Nasiri, 2012 hlm. 123).

Dalam melakukan penelitian, selain melakukan pengamatan dan wawancara,

peneliti juga menganalis data lapangan, melakukan penafsiran dan membuat

kesimpulan. Agar lebih akurat, peneliti tidak hanya mewawancara satu informan saja,

melainkan beberapa informan mengenai subjek penelitian untuk bahan pembanding.

Hal ini dilakukan agar peneliti mendapat data yang akurat setelah melakukan analisis

data, studi pustaka, studi dokumentasi melalui catatan lapangan.

3.6. Analisis Data

Penelitian yang dilakukan ialah penelitian kualitatif, yakni penelitian yang

memusatkan pada kualitas data. Dalam penelitian ini dilakukan penelitian pustaka

yang disertai penelitian lapangan. Analisis yang dilakukan didasarkan pada kajian

semiotika untuk memperoleh makna mite pelet marongge sebagai hakikat hidup

manusia.

Sugiyono mengatakan bahwa analisis data adalah proses mencari dan

menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil observasi, wawancara,

catatan lapangan dan dokumentasi dengan cara mengorganisasikan data kedalam

kagori, menjabarkan ke unit-unit, melakukan sintesis, menyusun ke dalam pola,

(33)

sehingga mudah dipahami oleh peneliti sendiri maupun orang lain. (Sugiyono, 2008

hlm. 244)

Definisi tersebut mengandung pengertian bahwa analisis data merupakan

proses menyusun data secara sistematis melalui langkah-langkah procedural. Data

yang telah terkumpul disusun per kategori kemudian dijabarkan pada unit-unit yang

lebih kecil. Melalui unit-unit tersebut, peneliti menyusun pola, memilih data, dan

membuat kesimpulan. Analisis data merupakan cara memahami data untuk

melakukan pengujian dan menentukan hubungan antar bagian dan hubungan

keseluruhan data agar diperoleh makna dan gagasan baik tiap-tiap bagian maupun

keseluruhan data. Dengan demikian, data dapat dipahami baik oleh peneliti maupun

orang lain.

Dalam penelitian kualitatif, proses analisis data dimulai selama proses penelitian berlangsung. Seperti yang diungkapkan Nasution, “Analisis data telah mulai sejak merumuskan dan menjelaskan masalah sebelum terjun ke lapangan dan

terus berlangsung sampai penelitian selesai.” ( Nasuition, 1993 hlm 138). Pendapat

tersebut mengungkapkan bahwa dalam penelitian kualitatif, seorang peneliti harus

mempunyai gambaran umum mengenai data data yang akan diperolehnya sehingga

dia dapat menganilisnya secara kasar mengenai bentuk penelitiannya. Data yang

diperoleh dari lapangan bisa langsung dikaji dan diberi label per katagori.

Analisis data dalam penelitian kualitatif merupakan proses yang sistematis

dan dilakukan secara intensif. Analisis harus dimulai sebelum peneliti terjun ke

lapangan bahkan sejak dia merumuskan masalah. Dengan demikian proses analisis

data kualitatif butuh kerja yang serius dan waktu yang panjang karena analisis terus

berlangsung dari merumuskan masalah hingga membuat kesimpulan.

Menurut Sugiyono, dalam analisis data penelitian kualitatif ada beberapa

tahapan, yaitu, tahap reduksi, display data, dan kunklusi atau verifikasi. Reduksi data

adalah proses merangkum, melilih hal hal pokok, dan menyusun secara sistematis

(34)

memberikan gambaran yang jelas dari hasil pengamatan. Display data adalah

menyusun dan menyajikan data dengan berbagai pola, seperti bagan, tabel, dan

grafik. Selain itu, data disajikan dalam bentuk naskah yang bersifat deskriptif atau

naratif. Display data berguna untuk menganalisis dan menafsirkan data. Yang terakhir

adalah proses verifikasi data, yaitu proses mengambil kesimpulan dari data-data yang

telah direduksi dan telah disajikan dalam bentuk display data. kesimpulan merupakan

jawaban dari rumusan masalah di awal penelitian, apakah data yang telah dianalisis

bisa menjawab semua hipotesis yang telah dirumuskan (Sugiyono, 2008 : 250).

Pengertian di atas menyebutkan bahwa penelitian kualitatif membutuhkan

keintensifan dalam pengolahan data, dari mulai merangkum data, memberikan

gambaran yang jelas, kemudian menyusun dan menyajikan data secara objektif

kemudian dianalisis dan yang terakhir adalah membuat kesimpulan.

Pada tahap awal penelitian ini, pemilihan korpus didasarkan pada anggapan

bahwa mitos pelet termasuk ke dalam folklor yang menggunakan cerita rakyat

sebagai media untuk menyampaikan gagasan. Lalu dilakukan pengumpulan data

dalam bentuk dokumentasi berupua video, foto, dan rekaman proses wawancara

dengan narasumber. Selanjutnya, penelitian difokuskan pada aspek struktur teks yang

meliputi aspek sintaksis, semantik, dan pragmatik. Dari hasil analisis teks maka

diperoleh sebuah gagasan yang terkadung dalam mitos tersebut yang memengaruhi

perilaku masyarakat sekitar tempat mitos berkembang.

3.7. Waktu Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini akan dilangsungkan pada bulan Desember 2014 hingga Maret

2015. Penelitian dimulai di daerah Sumedang. Setelah data terkumpul, dilakukan

inventarisasi dan analisis. Pada bulan April 2015 dilakukan pengecekan kembali data

yang telah terkumpul sekaligus memadukan kesesuaian data sebagai bahan ajar teks

(35)
(36)

BAB 5

RANCANGAN BAHAN AJAR DAN KEGIATAN PEMBELAJARAN SASTRA

DI SMA

Bab lima pada tesis ini akan membahas mengenai penerapan mite pelet

marongge sebagai modul untuk pembelajaran kajian cerpen di SMA kelas XI. Bab

ini juga akan membahas mengenai rancangan pelaksanaan pembelajaran.

5.1. Dasar Pemikiran

Hasil analisis struktur teks mite pelet marongge ini ditindaklanjuti sebagai

cerpen untuk ditawarkan sebagai alternatif bahan ajar pelajaran sastra, khususnya

kelas XI. Hal ini tercermin dalam silabus KTSP KD. 13.1 mengidentifikasi alur,

penokohan, dan latar dalam cerpen yang dibacakan kemudian KD 13.2 menemukan

nilai-nilai dalam cerpen yang dibacakan. Kompetensi ini dipilih karena mite pelet

marongge berbentuk cerita rakyat. Cerita rakyat akan lebih menarik dibaca dalam

bentuk cerpen. Pentransformasian mite pelet marongge kedalam bentuk cerpen perlu

dilakukan agar siswa dapat memahami cerita rakyat bukan sebagai kepercayaan,

melainkan sebagai media pembelajaran. Kebahasaan mite pelet marongge yang

dituturkan dalam bentuk bahasa Sunda pun perlu dialihbahasakan ke dalam bahasa

Indonesia agar cerita dapat dipahami secara nasional. Oleh sebab itu, mite pelet

marongge telah ditransformasi menjadi sebuah cerpen dengan judul Ajian Si Kukuk

Mudik dengan tidak mengubah alur cerita dan tokoh-tokohnya.

Alternatif bahan ajar (cerpen) yang ditawarkan semoga dapat

dipertimbangkan sebagai pedoman bagi para guru mata pelajaran bahasa Indonesia

dalam memilih bahan ajar yang ssesuai dengan tujuan pembelajaran yang akan

dicapai peserta didik. Disusunnya cerpen Ajian Si Kukuk Mudik sebagai bahan ajar

di SMA untuk memudahkan para guru mata pelajaran bahasa Indonesia dalam

menentukan bahan ajar untuk menarik peserta didik terhadap karya sastra. Karya

(37)

terhadap daerahnya dan membuat mereka sadar bahwa bangsa Indonesia adalah

bangsa yang kaya dengan budaya.

Pentransformasian cerita rakyat kedalam bentuk cerpen diharapkan dapat

memicu, baik para guru maupun peserta didik untuk melakukan hal yang sama. Saat

ini, banyak sekali cerita rakyat yang belum terekspos ke dalam dunia akademis.

Kebanyakan cerita rakyat hanya berkembang di daerah itu dengan bahasa daerahnya

masing-masing. Jika hal ini dibiarkan saja, cerita rakyat tersebut akan punah ketika

para penuturnya sudah tiada. Karena itu, pengubahan cerita rakyat ke dalam bentuk

cerpen adalah salah satu alternatif untuk melestarikan cerita rakyat tersebut agar tetap

eksis dari zaman ke zaman. Juga salah bentuk alternatif untuk memperkenalkan cerita

daerah ke skala nasional. Cerpen ajian si kukuk mudik yang berasal dari mite pelet

marongge kiranya dapat menjadi pelestarian cerita rakyat yang akan dikenang

sepanjang zaman dan memperkenalkan cerita rakyat Sumedang ke skala nasional.

5.2 Bahan Ajar Pembelajaran Sastra di SMA

Pada bagian ini peneliti menguraikan salah satu jenis bahan ajar cetak yang

disesuaikan dengan kurikulum KTSP. Peneliti memilih modul sebagai alternatif

bahan ajar untuk pembelajaran memahami cerpen di tingkat SMA, khususnya kelas

XI.

Modul adalah bahan ajar yang disusun secara sistematis dengan bahan yang

mudah dipahami oleh peserta didik sesuai tingkat pengetahuan dan usia mereka agar

dapat belajar sendiri dengan bantuan atau bimbingan yang minimal peserta didik

(Prastowo, 2012 hlm 103). Definisi tersebut menyebutkan bahwa modul adalah

bahan ajar untuk peserta didik agar mereka mandiri dalam memahami pelajaran yang

sedang dipelajari. Namun, peserta didik tidak bisa dibiarkan begitu saja dalam

mempelajari modul. Peran guru atau pembimbing juga diperlukan dalam mempelajari

(38)

Modul adalah alternatif belajar siswa secara mandiri. Karena itu, modul harus

disusun dengan sistematis, menarik dan mudah dipahami. Menurut Surahman,

struktur pembuatan modul adalah 1) judul modul, yaitu berisi tentang nama modul

dari suatu mata pelajaran; 2) petunjuk umum, yaitu penjelasan tentang

langkah-langkah yang akan ditempuh dalam pembelajaran yang meliputi kompetensi dasar,

pokok bahasan, indikator pencapaian, referensi, strategi pembelajaran, lembar

kegiatan pembelajaran, dan evaluasi; 3) meteri modul, yaitu penjelasan secara rinci

tentang materi yang dipelajari setiap pertememuan; 4) evaluasi semester, yaitu UTS

dan UAS dengan tujuan untuk mengukur kompetensi peserta didik sesuai materi yang

diberikan (dalam Praswoto, 2012)

Berdasarkan struktur pembuatan modul tersebut, peneliti membuat modul

berdasarkan hasil analisis teks mite pelet marongge dalam penelitian ini. Pembuatan

modul tersebut didasarkan pada kelengkapan dan unsur ideal modul, yaitu judul, kata

pengantar, daftar isi, dasar pemikiran, standar kompetensi, kompetensi dasar, tujuan

pembelajaran, uraian materi, soal latihan, rangkuman, tindak lanjut, daftar pustaka,

dan kunci jawaban.

5.3. Perencanaan Pengajaran

Bahasa Indonesia merupakan mata pelajaran sekolah yang mengembangkan

kemampuan peserta didik untuk mengomunikasikan nilai-nilai budaya melalui

perilaku dan penggunaan artefak budaya dalam bentuk berbagai jenis teks. Setiap teks

dihasilkan berdasarkan proses analisis dan evaluasi kritis untuk menyampaikan fungsi

sosial yang bermakna bagi lingkungan sosial-budaya dan alam sekitar atas dasar

prinsip keberagaman, toleransi, empati, serta hubungan dan komunikasi antar-budaya,

baik di tingkat lokal, nasional, regional, maupun global.

Bahasa Indonesia perlu dipelajari sebagai sarana komunikasi untuk

mengindonesiakan orang Indonesia. Proses pengindonesiaan orang Indonesia

(39)

negara kebangsaan Indonesia. Berdasarkan ikrar tersebut, setiap orang yang mengaku

berbangsa Indonesia bertekad menjunjung sebuah bahasa persatuan yang disebut

bahasa Indonesia. Tekad berbahasa Indonesia itu menyiratkan bahwa nilai-nilai

kebangsaan Indonesia, antara lain nilai multikutural dan multilingual, mengkristal

dan melembaga dalam bentuk perilaku berkomunikasi dengan menggunakan bahasa

Indonesia.

Penggunaan bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi utama orang

Indonesia itu juga mengisyaratkan tegaknya kedaulatan Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pasal 36)

telah menyatakan bahwa bahasa negara adalah bahasa Indonesia. Pernyataan

konstitusi yang amat tegas tersebut merupakan amanat bagi setiap warga negara

Indonesia agar berbahasa Indonesia untuk menandai keberadaan wilayah Indonesia.

Dengan bahasa Indonesia yang dikomunikasikan oleh seluruh orang Indonesia,

keberadaan negara Indonesia dapat diidentifikasi perbedaannya dari negara lain.

Untuk itu, pelajaran bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi disajikan di sekolah

menengah guna menguatkan identitas negara dan jati diri bangsa Indonesia.

Di kalangan anak bangsa, kekuatan komunikasi berbahasa Indonesia perlu

terus ditingkatkan. Pada saat sekarang, berdasarkan refleksi hasil PISA 2009, anak

Indonesia hanya mencapai penguasaan pelajaran literasi pada peringkat ke-3.

Padahal, dengan keyakinan semua anak manusia diciptakan sama, anak-anak di

negara lain mampu meraih peringkat penguasaan pelajaran sampai peringkat ke-4, 5,

dan 6. Hasil pendidikan itu sangat mungkin disebabkan oleh lemahnya penguasaan

anak dalam hal alat komunikasi berbahasa sebagai pembawa ilmu pengetahuan.

Potret mutu pendidikan Indonesia itu makin diperjelas dengan adanya hasil survei

literasi PIRLS dan TIMSS yang menempatkan 95% anak Indonesia hanya sampai

(40)

kemampuan literasi pada anak Indonesia, diperlukan terobosan baru dalam pelajaran

bahasa Indonesia di sekolah menengah.

Pelajaran bahasa Indonesia seharusnya disajikan dalam program pembelajaran

yang sepenuhnya berbasis teks, seperti halnya program dalam PISA dan PIRLS.

Secara teoretis, teks merupakan proses sosial yang berorientasi pada tujuan sosial

tertentu dan dalam konteks situasi tertentu pula. Proses sosial tersebut akan terjadi

jika terdapat sarana komunikasi yang disebut bahasa. Dalam kerangka teori itu,

bahasa Indonesia muncul dalam berbagai situasi pemakaiannya sebagai teks yang

sangat beragam sehingga jenis teks bahasa Indonesia pun beragam. Keragaman teks

itu menunjukkan perbedaan struktur berpikir, unsur kebahasaan, dan fungsi sosial

yang dilaksanakan.

Dalam praktik di sekolah menengah, pembelajaran teks membantu peserta

didik memperoleh wawasan yang lebih luas untuk berpikir kritis menyelesaikan

permasalahan kehidupan nyata yang tidak terlepas dari kehadiran teks. Selain

memperluas wawasan komunikasi berbahasa Indonesia, pembelajaran teks juga

meningkatkan sikap positif peserta didik terhadap bahasa Indonesia, termasuk sikap

bersyukur atas anugrah Tuhan berupa bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa dan

identitas negara. Dengan wawasan yang makin luas dan sikap yang makin positif itu,

peserta didik dapat berperan aktif sebagai orang Indonesia dalam pelestarian bahasa

kebangsaan dan kenegaraan Indonesia.

Dalam paradigma pengajaran, misi sekolah adalah menyajikan intruksi dan menyajikan pengajaran. Metode dan produknya harus sama. Cara pengajaran merupakan tujuan dari sekolah itu sendiri, sedangkan paradigma pembelajaran adalah misi sekolah untuk menghasilkan pembelajaran. Metode dan produknya terpisah. Tujuan pengajaran akan menentukan pembelajaran (Huda, 2013 hlm 12)

Berdasarkan pendapat di atas tujuan pengajaran akan menentukan cara

(41)

sebelum materi pelajaran disampaikan. Tujuan tersebut akan menentukan cara

bagaimana materi itu disampaikan kepada siswa. Dalam rencana pelaksanaan

pembelajaran untuk mengaplikasikan materi cerpen mite pelet marongge maka guru

disarankan untuk memakai metode presentasi, diskusi, inquiri, dan demontrasi

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

MATA PELAJARAN Bahasa dan Sastra Indonesia KELAS /SEMESTER XI (sebelas)

PROGRAM Umum

ALOKASI WAKTU 2 x 45 menit TEMA

STANDAR KOMPETENSI

13. Memahami pembacaan cerpen

KOMPETENSI DASAR 13.1Mengidentifikasi alur, penokohan, dan latar dalam cerpen yang dibacakan

ASPEK

PEMBELAJARAN

Mendengarkan

Indikator Pencapaian Kompetensi Nilai Budaya Karakter Bangsa

Kewirausahaan/ Ekonomi Kreatif  Mampu mendengarkan pembacaan

cerpen dengan baik

 Mampu mengidentifikasi penokohan cerpen dengan baik

Mampu mengidentifikasi latar cerpen dengan baik

 Mampu mengidentifikasi alur cerpen dengan baik

 Mampu mendiskusikan alur, penokohan, dan latar cerpen yang sudah diidentifikasi

 Bersahabat/ komunikatif  Mandiri

 Kepemimpinan

MATERI POKOK PEMBELAJARAN

Cerpen yang dibacakan atau rekaman pembacaan cerpen Penokohan dalam cerpen

Latar dalam cerpen Alur dalam cerpen

(42)

STRATEGI PEMBELAJARAN

KEGIATAN PEMBELAJARAN

TAHAP KEGIATAN PEMBELAJARAN Nilai Budaya Dan

Karakter Bangsa PEMBUKA

(Apersepsi)

 Guru-siswa bertanya jawab tentang penokohan, latar, alur cerpen  Guru dan siswa bertanya jawab

mengenai cara mengidentifikasi penokohan, latar, alur dalam cerpen

Bersahabat/ komunikatif

INTI Eksplorasi

 Siswa mendengarkan pembacaan cerpen

 Siswa secara mandiri

mengidentifikasi penokohan cerpen  Siswa secara mandiri

mengidentifikasi latar cerpen  Siswa secara mandiri

mengidentifikasi alur cerpen Elaborasi

 Siswa mendiskusikan alur,

penokohan, dan latar cerpen yang sudah diidentifikasi

 Siswa saling memberi masukan kekurangan hasil identifikasinya  Siswa mempresentasikan hasil

identifikasi alur, penokohan, dan latar cerpen yang sudah diperbaiki Konfirmasi

Dalam kegiatan konfirmasi, Siswa:  Menyimpulkan tentang hal-hal yang

Mandiri

Tatap Muka Terstruktur Mandiri

 Memahami pembacaan cerpen

 Mengidentifikasi alur, penokohan, dan latar dalam cerpen yang dibacakan

(43)

belum diketahui

 Menjelaskan tentang hal-hal yang belum diketahui.

PENUTUP (Internalisasi & persepsi)

 Siswa diminta menjelaskan

kesulitannya menyimak pembacaan cerpen

 Siswa diminta mengungkapkan pengalamannya dalam

mengidentifikasi penokohan, latar, alur dalam cerpen

 Siswa mengungkapkan

permasalahan di masyarakat yang sesuai dengan permasalahan dalam cerpen

 Siswa mengerjakan uji kompetensi dan menjawab kuis uji teori

 Bersahabat/ komunikatif

METODE DAN SUMBER BELAJAR

Sumber Belajar

v Pustaka rujukan Modul buku dari sekolah v Material: VCD, kaset,

poster

Rekaman pengajaran/analisis cerpen

V

Media cetak Modul pembelajaran

Website internet

V

Narasumber Buku dari sekolah atau penulis cerpen

V

Model peraga Siswa yang mempunyai

pengalaman menganalisis cerpen

V

Lingkungan Kejadian di masyarakat yang sesuai dengan penokohan, alur, latar cerpen

Metode

V

Presentasi Perkelompok mempresentasikan temuannya

V

Diskusi Kelompok Guru memantau kegiatan siswa

V

(44)

V

Demontrasi

/Pemeragaan Model

PENILAIAN

TEKNIK DAN

BENTUK

V Tes Tertulis V Tes Praktik

V Observasi Kinerja/Demontrasi

V Tagihan Hasil Karya/Produk: tugas, projek, portofolio V Pengukuran Sikap

V Penilaian diri INSTRUMEN /SOAL

Daftar pertanyaan lisan tentang penokohan, latar, alur cerpen

<

Gambar

gambar-gambar yang peneliti lampirkan adalah, foto  kuncen, foto makam kramat

Referensi

Dokumen terkait