ANALISIS STRUKTUR, PROSES PENCIPTAAN, KONTEKS
PENUTURAN,FUNGSI, DAN MAKNA TEKS MITE PELET MARONGGE SERTA PEMANFAATANNYA DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA
TESIS
Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat untuk memperoleh gelar magister pendidikan bahasa Indonesia
Oleh Burhan Sidiq NIM 1302229
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2015
LEMBAR HAK CIPTA
ANALISIS STRUKTUR, PROSES PENCIPTAAN, KONTEKS PENUTURAN, FUNGSI, DAN MAKNA MITE PELET MARONGGE SERTA
PEMANFAATANNYA DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA
Oleh
Burhan Sidiq
Sebuah tesis yang diajukan untuk memenuhi sebagian syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan Bahasa Indonesia pada Sekolah Pascasarjana
© Burhan Sidiq 2015
Universitas Pendidikan Indonesia
Agustus 2015
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang
Tesis ini tidak dapat diperbanyak seluruhnya atau sebagian
ANALISIS STRUKTUR, PROSES PENCIPTAAN, KONTEKS PENUTURAN, FUNGSI DAN MAKNA TEKS MITOS PELET MARONGGE SERTA PEMANFAATANNYA DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA
Burhan Sidiq NIM 1302229
ABSTRAK
ABSTRACT
DAFTAR ISI
PERNYATAAN ... i
ABSTRAK ... ii
KATA PENGANTAR ... iv
UCAPAN TERIMA KASIH ... v
DAFTAR ISI ... vi
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1Latar belakang ... 1
1.2Rumusan Masalah ... 7
1.3Tujuan ... 7
1.4Manfaat Penelitian ... 7
1.5Struktur Organisasi Penelitian ... 8
BAB 2 LANDASAN TEORETIS 2.1 Mitos Pelet Marongge dan Folklor ... 11
2.2 Kerangka Semiotika ... 18
2.3 Aspek Semiotik dalam cerita Rakyat ... 22
2.3.1 Aspek Sintaksis ... 23
2.3.1.1 Alur ... 25
2.3.1.2 Pengaluran ... 27
2.3.2 Aspek Semantik ... 28
2.3.2.1 Tokoh ... 29
2.2.1.2 Latar ... 30
2.3.3 Aspek Pragmatik ... 31
2.3.3.1 Proses Penciptaan ... 35
2.3.3.2 Konteks Penuturan ... 36
2.3.3.3 Ko-Teks ... 38
2.3.3.4 Fungsi ... 38
2.3.4 Perluasan Makna dalam Mitos ... 41
BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Pengertian ... 44
3.2 Rancangan Penelitian ... 47
3.3. Sumber Data ... 49
3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 50
3.5 Instrumen Penelitian ... 53
3.6 Analisis Data ... 55
3.7. Waktu Pelaksanaan Penelitian ... 57
4.1 Sinopsis Cerita ... 59
4.2 Analisis Aspek Sintaksis Model Todorov ... 59
4.2.1 Analisis Pengaluran ... 59
4.1.2 Analisis Alur ... 68
4.2 Analisis Aspek Semantik ... 77
4.2.1 Analisis Tokoh ... 77
4.2.1.1 Mbah Gabug ... 77
4.2.1.2 Setayu ... 81
4.2.1.3 Naidah dan Naibah ... 83
4.2.1.4 Raja Gubangkala ... 84
4.2.1.5Prabu Bubang Gerung ... 86
4.2.1.6 Mbah Putih Jagariksa ... 87
4.2.1.7 Masyarakat ... 89
4.2.1.9 Para Perampok ... 90
4.2.2. Analisis Latar ... 92
4.2.2.1 Latar Tempat ... 93
4.2.2.2. Latar Waktu ... 100
4.3. Analisis Aspek Pragmatik ... 103
4.3.1 Proses Penciptaan dan Pewarisan ... 105
4.3.2 Konteks Penuturan Mitos Pelet Marongge ... 108
4.3.2.1 Konteks Situasi ... 108
4.2.3.2Konteks Budaya ... 122
4.2.3.3Konteks Sosial ... 131
4.2.3.4Konteks Ideologi ... 132
4.3.3 Ko-Teks ... 133
4.3.4 Fungsi Mitos Pelet Marongge ... 134
4.4. Makna Mite Pelet Marongge... 139
4.4.1 Metafora Motif Alam ... 140
4.4.2 Metafora Motif Manusia ... 144
4.4.2.1 Perempuan Mandiri ... 144
4.4.2.2 Menolak Pernikahan ... 147
4.4.2.3 Kecantikan Perempuan ... 150
4.4.2.4Kekuatan Perempuan ... 152
4.4.2.5Makna Kematian ... 156
4.4.3 Metafora Motif Peristiwa ... 162
4.5 Mitos pelet Marongge sebagai Media Pendidikan Karakter ... 164
4.5.1 Kebijaksanaan ... 165
4.4.2 Keadilan ... 167
4.4.3 Keberanian ... 170
4.4.4 Pengendalian diri ... 172
4.4.5 Cinta ... 174
4.4.7 Bekerja Keras ... 178
4.4.8 Integritas ... 180
4.4.9 Syukur ... 182
4.4.10 Kerendahan hati ... 184
BAB 5 RANCANGAN BAHAN AJAR DAN KEGIATAN PEMBELAJARAN DI SMA 5.1 Dasar Pemikiran ... 187
5.2 Bahan Ajar Pembelajaran di SMA ... 188
5.3 Perencanaan Pengajaran ... 189
5.4 Instrumen Modul ... 197
5.4. Rancangan Modul Pembelajaran Sastra ... 202
BAB 6 KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI 6.1 Simpulan ... 202
6.2 Implikasi ... 204
6.3 Rekomendasi ... 204
DAFTAR PUSTAKA ... 206
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
Bab satu pendahuluan ini memaparkan latar bekalang masalah penelitian,
yaitu tentang permitean yang ada di Jawa barat sebagai folklor Indonesia. Kemudian
dipaparkan pula rumusan masalah, tujuan dan manfaat menelitian dan dideskripsikan
pula organisasi penelitian.
1.1. Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang kaya tradisi lisan. Tradisi lisan adalah berbagai
pengetahuan adat dan kebiasaan yang secara turun temurun disampaikan secara lisan
dan mencakup hal-hal yang tidak hanya berisi cerita rakyat, mite dan legenda, tetapi
mencakup sistem kekerabatan, praktik hukum adat, contoh sejarah, dan lain
sebagainya. Menurut Pudentia, Tradisi lisan diartikan sebagai segala wacana yang
diucapkan meliputi yang lisan dan yang beraksara atau dikatakan sebagai sistem
wacana yang bukan aksara.( Pudentia, 1998 hlm vii)
Salah satu bentuk kekayaan tradisi lisan yang masih melekat pada masyarakat
Indonesia adalah sastra lisan. Masyarakat Indonesia masih mempertahankan sastra
lisan sebagai sarana untuk menyampaikan gagasan atau nasihat. Sastra lisan terdapat
hampir di seluruh wilayah di Indonesia yang disebarkan dari mulut ke mulut dari satu
genarasi ke generasi berikutnya secara turun temurun. Namun, seiring perkembangan
zaman, sastra lisan ada yang berkembang atau tetap eksis dan ada sebagian yang
hilang ditelan zaman.
Sastra lisan termasuk dalam katagori sastra lama. Pada awalnya, kelisanan
sastra lama disampaikan dengan menggunakan bahasa daerah tempat sastra itu lahir.
Namun, seiring dengan perkembangan zaman, sastra lama pun mendapat pengaruh
dari kebudayaan lain, maka lahirlah sastra dalam bentuk tulisan atau naskah.
Naskah-naskah tersebut menggunakan bahasa daerah, berisi tentang prosa, puisi, pengobatan
Secara historis, sastra lama dimulai sejak manusia mengenal kebudayaan
dengan hasil yang konkret seperti pepatah, dongeng, mite, legenda yang disampaikan
secara lisan, atau tulisan dengan aksara lama, misalnya sunda kuno. Sastra tidak dapat
dipisahkan dari masyarat tempat sastra itu lahir. Sastra lahir dan berkembang dalam
masyarakat sehingga sastra tersebut menjadi milik masyarakat. Menurut Semi,
“Antara masyarakat, kebudayaan, dan sastra merupakan satu jalinan yang kuat antara
satu dengan yang lain, yang saling berpengaruh, saling membutuhkan, dan saling
mementukan dalam perkembangannnya” (Semi, 1989 hlm 58).
Dalam masyarakat tradisional setiap anggota masyarakat melakukan kegiatan
bersama-sama baik untuk kepentingan individu maupun kepentingan umum. Bagi
masyarakat tradisonal, sastra lisan merupakan ekspresi dan perwujudan budaya yang
mencerminkan sistem sosial, ide, dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Masyarakat tradisonal mempunyai daya simak sangat kuat sehingga para penerusnya
masih mengetahui bentuk-bentuk sastra lisan baik yang berkaitan dengan
kepercayaan maupun pengetahuan. Dengan demikian, sastra lisan merupakan salah
satu hasil budaya milik bersama dan bukti kekayaan budaya sekaligus kekayaan
intelektual suatu masyarakat.
Menurut Nasiri sastra lisan memiliki beberapa ciri, diantaranya, yaitu bersifat anonim yakni pencipta sastra lama tersebut tidak diketahui, memiliki kegunaan kolektif, terdiri dari banyak versi, menggunakan kata-kata klise atau rumus berpola (seperti penggunaan kata konon), bersifat pralogis (tidak sesuai dengan penalaran atau logika), bersifat tradisional, penyebarannya secara lisan, menjadi milik bersama, dan cenderung lugu, polos, serta spontan. Sementara fungsi sastra lama yaitu sebagai sistem proyeksi, sebagai pengesahan lembaga kebudayaan masyarakat, sebagai alat pendidikan bagi anak, dan sebagai alat kontrol atas norma yang ada dan berkembang di masyarakat. ( Nasiri, 2012 hlm 35).
Salah satu bentuk sastra lisan yang masih berkembang sampai saat ini adalah
cerita rakyat. Cerita rakyat adalah sebuah karya naratif yang mengisahkan sebuah
peristiwa yang terjadi di sebuah daerah yang berkaitan dengan budaya setempat. Hal
ini diungkapkan Sujiman, “Cerita rakyat adalah kisahan anonym yang beredar secara
lisan yang diceritakan secara turun temurun, bentuknya berupa mite, legenda,
dongeng, ataupun seni tradisi” (Endraswara, 2013 hlm. 47).
Menurut Dananjaya cerita rakyat dibagi menjadi tiga, yaitu mite, legenda, dan dongeng. Mite adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang punya cerita. legenda adalah cerita rakyat yang mempunyai ciri-ciri mirip dengan mite tetapi tidak dianggap suci. Dongeng adalah prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi oleh masyarakat yang punya cerita dan tidak terikat waktu. (Dananjaya, 2007 hlm 50).
Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa ketiga jenis cerita rakyat
tersebut dibedakan atas anggapan masyarakat pemangkunya. Mite dianggap sebagai
kepercayaan suatu masyarakat, legenda dianggap sebagai sesuatu yang fiktif tentang
masa lalu biasanya berkaitan dengan asal usul suatu tempat, sementara dongeng
adalah cerita fiktif yang tidak terikat waktu.
Cerita rakyat adalah salah satu bentuk prosa klasik yang dikenal luas oleh
masyarakat Indonesia. Hal ini dikemukakan Yuwono, “Prosa tertua di Indonesia di
temukan dalam bentuk cerita rakyat. Cerita rakyat dalam bahasa umum disebut
dongeng, adalah salah satu bentuk kesastraan rakyat yang disampaikan dari mulut ke
mulut.” (Nasiri, 2012 hlm 2). Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa, dongeng atau
cerita rakyat disampaikan dari generasi ke generasi secara lisan hingga sangat sulit
ditemukan siapa yang pertama menceritakannya perama kali. Cerita sudah ada di
masyarakat dan menjadi milik masyarakat tesebut.
Menurut Rusyana, cerita rakyat merupakan warisan budaya nasional yang mempunyai nilai-nilai yang harus dikembangkan dan dimanfaatkan untuk kepentingan kehidupan masa kini dan yang akan datang, antara lain hubungannya dengan pembinaan apresiasi sastra. Cerita rakyat juga telah menjadi wahana pemahaman gagasan dan pewarisan tata nilai yang tumbuh dalam masyarakat. Bahkan sastra lisan telah berabad-abad berperan sebagai dasar komunikasi antara pencipta dan masyarakat. Sastra lisan akan lebih mudah dipahami karena adanya unsur yang dikenal dalam masyarakat. (Rusyana, 1987 hlm. 9)
Peryataan di atas mengandung perngertian: Cerita rakyat merupakan bagian
dalam masyarakat daerah yang harus dikembangkan dan diapresiasi dalam kehidupan
masa kini dan kehidupan yang akan datang. Nilai-nilai yang terkandung dalam cerita
rakyat mengajari masyarakat untuk taat pada norma dan adat setempat. Nilai
kepatuhan yang biasanya diterapkan pada cerita rakyat agar para generasi berikutnya
bisa menghadapi kehidupan yang lebih baik. Dengan demikian, cerita rakyat
berfungsi sebagai sarana untuk menyampaikan nilai-nilai moral yang berhubungan
dengan perilaku dan budaya masyarakat setempat, sebagai sistem proyeksi, dan
media pendidikan.
Seperti yang telah dikemukakan di atas, cerita rakyat dapat dibagi menjadi
tiga katagori, yaitu Legenda, dongeng, dan mite. Legenda adalah cerita yang berkisah
tentang asal usul sesuatu biasanya berkaitan dengan nama tempat. Dongeng adalah
cerita yang berkembang dalam masyarakat mengenai cerita cerita yang penuh fantasi
dan keajaiban biasanya dijadikan media hiburan atau nasihat. Mite adalah cerita yang
berkaitan dengan kepercayaan masyarakat tradisional, mengenai tokoh masa lalu
yang diyakini akan kekuatan gaibnya.
Keberadaan mite, legenda, dan dongeng yang berkembang di nusantara
banyak sekali . Setiap cerita di satu daerah akan memiliki kemiripan cerita atau
bentuk varian cerita di daerah lain. Seperti halnya cerita bawang merah dan bawang
putih, ada banyak ragamnya. Dalam distertasi Murti Bunanta, beliau membahas 22
varian dongeng bawang merah bawang putih yang ada di nusantara. Tentunya, di
dalam setiap cerita yang berkembang ada pesan budaya dan pesan moral yang tersirat
yang disesuaikan dengan kepentingan masyarakat pemangkunya.
Mite pun mempunyai banyak varian dan kepentingan. Beberapa mite
dimunculkan sebagai legitimasi kekuasaan agar masyarakat patuh dan tunduk
terhadap penguasanya atau pemerintahan. Seperti halnya, mite Nyi Roro Kidul yang
dihadirkan sebagai kekuasaan Mataram. Sosok Nyi Roro kidul ini muncul sebagai
kekuatan politik Mataram. Ekspresi politik para penguasa diwujudkan dalam
media ekspresi penciptanya agar mendapat perhatian dari banyak pihak. Pada masa
Mataram Islam, Panembahan Senopati telah memunculkan folklor yang sangat
fenomenal, yaitu Kanjeng Ratu Kidul.
Mite Nyi Roro Kidul tersebut berkembang sebagai bentuk legitimasi kekuatan
Mataram. Nyi Roro Kidul hadir sebagai isteri dari raja-raja Mataram dari bangsa jin.
Hal ini dilakukan agar kekuasaan Mataram selalu dihormati meskipun rajanya telah
mati. Karena masih ada kekuatan spiritual melalui sosok Nyi Roro Kidul sebagai ratu
Pantai Selatan Jawa yang tetap berkuasa.
Mite Nyi Roro Kidul hadir dalam berbagai varian, misalnya suku Jawa dan
suku Sunda mempunyai cerita yang berbeda tentang Nyi Roro Kidul, meskipun
tujuanya sama yaitu sebagai legitimasi kekuasaan raja. Jika dalam mite masyarakat
Jawa, Nyai Roro Kidul hadir sebagai isteri raja Mataram, lain halnya dengan
masyarakat Sunda yang menganggap Nyi Roro Kidul sebagai puteri dari Prabu
Siliwangi, yaitu Larasantang. Apa pun itu, Nyi Roro Kidul hadir sebagai perempuan
yang berkuasa dalam sebuah kerajaaan. Hal ini dimunculkn untuk menakut-nakuti
masyarakat agar selalu hormat pada penguasa melalui jalan spiritual.
Legitimasi kekuasan perempuan di Pulau Jawa tidak hanya diceritakan dalam
mite Nyai Roro Kidul, tetapi juga dalam Cerita Pantun Lutung Kasarung. Dalam
cerita pantun tersebut dikisahkan tentang dua orang perempuan yang berebut
kekuasaan, yaitu Purbalarang dan Purbasari. Mereka adalah kakak beradik, yang
tinggal mati oleh orang tuanya. Yang menjadi permasalahannya, pada siapa tahta
kerajaan akan diberikan. Dalam cerita tersebut perempuan direpresentasikan sebagai
penguasa. Hal ini menunjukan bahwa cerita rakyat Sunda, begitu mengagungkan
perempuan. Terbukti dalam cerita tersebut, perempuan diposisikan sebagai
pemimpin.
Mite lain yang mengisahkan keperempuanan dalam tradisi Sunda adalah Dewi
Pohaci, seorang perempuan yang dipercayai sebagai awal mula padi. Dalam cerita
kepentingan masyarakat banyak. Dewi Pohaci yang lahir dari telur naga, Dewa
Antagoba, menolak untuk dipinang batara Indera, dia tidak mau kembali
kekahyangan tempat dia berasal. Dia memilih hidup di bumi bersama rakyat jelata.
Namun, Batara Indera memaksanya. Pohaci tetap tidak mau. Dia memlih mati dengan
caranya sendiri. Pada akhirnya, dari kuburan Dewi Pohaci tumbuh tanaman padi,
aren, bambu dan kelapa yang berguna bagi masyarakat.
Kisah tentang kepahlawanan perempuan banyak sekali ragamnya dalam
budaya Sunda. Salah satunya, adalah kisah Mbah Gabug, pemilik pelet marongge
yang begitu termasyur yang akan dibahas dalam penelitian ini.
Di daerah Sumedang berkembang mite pelet marongge, yaitu kisah seorang
perempuan yang menaklukan raja-raja Pajajaran dengan kecantikannya. Mite ini telah
melegenda sejak zaman Sumedang Larang. Masyarakat Sumedang percaya bahwa
pada zaman itu pernah hidup seorang perempuan dengan ilmu kanuragan yang luar
biasa.
Sebagai cerita rakyat, mite pelet marongge berfungsi untuk menyampaikan
nilai nilai moral, budaya, adat istiadat, norma, etika, dan lain sebagainya. Mite pelet
marongge mampu memberikan gambaran masa lalu, saat Kerajaan Sumedang Larang
dikuasai Kerajaan Mataram karena tokoh dalam legenda pelet marongge adalah
perempuan asal Mataram. Mite pelet Marongge pun mengandung makna budaya,
yang didalamnya dikisahkan bagaimana sepak terjang seorang perempuan dalam
mempertahan eksistensinya di dunia yang dikuasai laki-laki. Mite pelet Marongge
bisa dipertimbangkan sebagai bahan ajar apresiasi prosa fiksi di tingkat perguruan
tinggi atau di tingkat SMA. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan Rusyana,
“Dalam sastra daerah terkandung muatan nilai-nilai moral. Dari cerita rakyat, berupa mite, legenda, dan dongeng, kita dapat mengapresiasi nilai-nilai moral yang terpadu
secara halus di dalamnya” (Rusyana, 1987 hlm. 6).
Mite pelet marongge adalah cerita milik masyarakat Sumedang, yang
Tomo, Kabupaten Sumedang. Makam ini adalah makam dari empat perempuan
cantik asal Mataram yang pernah menggemparkan raja-raja Pajajaran. Oleh sebab itu,
banyak masyarakat yang memercayai barang siapa yang berziarah ke Makam Kramat
Marongge maka akan terkena safaat dari keilmuan para perempuan yang
dimakamkan di makam tersebut.
Melihat fenomena tersebut, peneliti tertarik untuk menelaah kisah di balik
makam kramat tersebut. Selain itu, peneliti juga berpendapat bahwa cerita rakyat
harus dilestarikan dan dikembangkan bukan hanya sebagai kepercayaan, melainkan
juga sebagai media pendidikan dengan meneladani tokoh-tokoh yang ada di
dalamnya.
Salah satu upaya pelestarian cerita rakyat yang harus dilakukan adalah
penelitian, penerjemahan, dan penerbitan cerita rakyat. Dengan upaya-upaya tersebut
diharapkan dapat menyajikan kepada masyarakat umum bahwa mite pelet marongge
merupakan cerita rakyat yang mengandung nilai-nilai budaya dan moral. Selain itu,
penelitian ini, sebagai upaya memperkenalkan mite pelet marongge adalah bagian
dari folklor nusantara yang harus dikembangkan sebagai media pendidikan.
Mengingat mite pelet Marongge cukup penting sebagai bahan penelitian,
peneliti termotivasi untuk mengkaji mite tersebut. Hasil penelitian ini diharapkan
dapat memberikan sumbangan yang berharga bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, penelitian ini peneliti beri judul, “Analisis
Struktur, Proses Penciptaan, Konteks Penuturan, Fungsi dan Makna Teks Mite Pelet
Marongge serta Pemanfaatannya dalam Pembelajaran di SMA”
1.2. Rumusan masalah
Berdasarkan paparan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan
yang harus dikaji dalam mite pelet marongge.
1. Bagaimana struktur mite pelet marongge?
3. Bagaimana proses penciptaan mite pelet marongge?
4. Bagaimana fungsi mite pelet marongge?
5. Bagaimana makna mite pelet marongge
6. Bagaimana mite pelet Marongge sebagai media pembelajaran di kelas X
SMA?
1.3. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian adalah untuk
mendeskripsikan
1. Struktur mite pelet marongge
2. Proses penciptaan mite pelet marongge
3. Konteks dan ko-teks penuturan mite pelet marongge
4. Fungsi mite pelet marongge
5. Makna mite pelet marongge
6. Menyajikan modul mite pelet Marongge sebagai media pembelajaran di kelas
X SMA
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik yang bersifat
teroritis maupun praktis. Secara teoritis penelitian dapat memberikan sumbangan
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang folklor, kuhususnya kesusastraan
nusantara. Sementara manfaat praktis dari penelitian ini, diharapkan dapat
memberikan manfaat bagi guru guru bahasa Indonesia, mahasiswa ilmu sastra dan
ilmu budaya, bagi sekolah dan perguruan tinggi, juga masyarakat luas.
1) Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu
folklor, khususnya kesusastraan nusantara. Penelitian folklor dapat digunakan sebagai
kehidupan masyarakat di suatu tempat. Bagi penelit lain, tesis ini dapat digunakan
sebagai referensi dalam melakukan dengan kajian yang sama.
2) Manfaat praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini adalah untuk membantu para guru bahasa
Indonesia dalam mengajarkan apresiasi prosa fiksi di sekolah-sekolah. Penelitian bisa
digunakan sebagai bahan inspirasi dalam mengajarkan sastra daerah. Bagi para
mahasiswa ataupun dosen, penelitian bisa dijadikan model penelitian kajian folklor,
khususnya tentang kesusastraan nusantara. Bagi masyarakat luas, penelitian bisa
digunakan sebagai bahan untuk menumbuhkembangkan pemahaman tentang cerita
rakyat, khususnya mite, yang selama ini, dianggap pander oleh masnyarakat awam.
Padahal, dalam sebuah mite terkandung nilai-nilai budaya dan moral yang sangat
berharga.
Nilai-nilai yang terkandung dalam mite merupkan cerminan dari masyarakat
pemangkunya. Mite pelet Marongge merupakan implementasi dari paradigma
masyarakat, pandangan hidup, ekspresi, obsesi, dan ambisi masyarakat sumedang.
Dengan demikian, masyarakat akan mempunyai tanggung jawab untuk memelihara
dan melestarikan mite pelet Marongge sebagai kekayaan budaya daerah dan
khasanah kesusastraan nusantara.
1.4. Struktur organisasi penelitian
Bab 1 Pendahuluan
Bab satu adalah bagian pendahuan yang terdiri atas latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat menelitian dan strukur organisasi
penelitian. Latar belakang masalah mendeskripsikan masalah masalah umum
peneletian kemudian mengerucut pada masalah khusus penelitian yaitu mite pelet
Marongge. Rumusan masalah terdiri atas pertanyaan pertanyaan penelitian yang akan
muncul dalam rumusan masalah penelitian. Manfaat penelitian terdiri atas manfaat
teoritis dan manfaat praktis penelitian.
Latar belakang masalah
Bab 2 Landasan Teoretis
Bab dua terdiri atas uraian teori yang digunakan dalam penelitian. Teori yang
digunakan dalam penelitian ini adalah teori folklor dan teori semiotika. Terori fokllor
memaparkan mite pelet marongge sebagai folklor. Teori semiotika menjabarkan teori
semiotic yang diterapkan pada kajian prosa fiksi. Teori yang digunakan adalah teori
dari todorov yang mengkaji sintaksis, semantik, dan pragmatik dalam karya sastra.
Sintaksis akan membahas mengenai alur dan pengaluran. Semantik akan membahas
tokoh dan latar. Pragmatik akan membahas sistem komunikasi antara pengirim dan
penerima. Kajian ini akan dikhususkan pada proses penciptaan, konteks penuturan,
dan fungsi mite.
Bab 3 Metode penelitian
Bab tiga membahas medode penelitian kajian tradisi lisan. Medote yang
digunakan adalah meode kualitatif. Dalam penelitian ini, pendeskripsian data-data
dilakukan dengan cara mengetengahkan fakta-fakta yang berhubungan dengan
struktur teks mite pelet Marongge dan relasi fungsi terhadap masyarakat
pemangkunya. Kemudian membuat rancangan penelitian, dengan melakukuan studi
lapangan, mengklasifikasi data, menyajikannya dan menganalisisnya. Setelah itu,
data diinterpretasi dengan kajian semiotika. Lalu peneliti membuat modul
pembelajaran. Terakhir, peneliti membuat kesimpulan dan rekomendasi.
Sumber data yang digunakan adalah cerita lisan yang berkembang di wilayah
Sumedamg tentang mite pelet Marongge. Peneliti menggunakan sumber data primer
dan sekunder. Teknik pengumpulan data kualitatif meliputi observasi, wawancara,
angket, daftar pertanyaan,alat perekam, dan kamera. Penelitian ini dilangsungkan
pada bulan Desember 2014 hingga Maret 2015. Penelitian dimulai di daerah
Sumedang
Bab 4 Analisis Struktur
Bab empat penelitian ini membahas hasil analisis struktur mite pelet marongge.
Analisis mite terfokus pada kajian sentaksis, semantik dan pragmatik karya sastra.
Analisis sintaksis difokuskan pada analisis alur dan pengaluran. Analisis semantik
difokuskan pada analisis tokoh dan latar. Analisis pragmatik difokuskan pada proses
penciptaan, konteks penuturan, dan fungsi mite.
Bab 5 Rancangan Bahan Ajar dan Kegiatan Pembelajaran di SMA
Rencana dan Pelaksanaan Pembelajaran dan rancangan modul mite pelet marongge
sebagai bahan ajar di SMA
Bab 6 Simpulan, Implikasi, dan rekomendasi
Simpulan pelet marongge berdasarkan analisis struktur, proses penciptaan dan
pewarisan, konteks dan ko-teks penuturan, fungsi dan makna mite pelet Marongge
juga konteks pendidikan karakter dalam mite pelet Marongge.
Daftar Pustaka
BAB 3
METODE PENELITIAN
Bab tiga pada penelitian ini membahas metode yang digunakan, yaitu
deskriptif kualitatif. Bab tiga ini membahas, rancangan penelitian, sumber data,
teknik pengumpulan data, instrumen pengumpulan data dan analisis data.
3.1. Pengertian
Penelitian adalah suatu kegiatan sistematis untuk memecahkan masalah
dengan dukungan data sebagai landasan dalam mengambil kesimpulan. Penelitian
tidak pernah lepas dari sebuah metode karena metode adalah suatu cara dalam
penelitian untuk memperoleh gambaran jelas mengenai langkah-langkah yang harus
ditempuh dalam menyelesaikan masalah.Metode merupakan suatu cara untuk
memahami objek penelitian.
Seorang peneliti dapat memilih dari berbagai macam kerangka teori untuk
menerapkan metode dalam penelitiannya. Hal yang pertama dilakukan oleh seorang
peneliti adalah merumuskan metode yang sesuai dengan objek penelitian, tujuan
penelitian, ilmu yang akan digunakan, juga teori yang mendukungnya.
Hal yang menarik dalam menggunakan metode untuk penelitian sastra
adalah adanya distansi, kerja yang objektif, dan terhindarnya unsur prasangka. Gejala
dengan situasi kesastraan inilah yang sering memaksa peneliti untuk memahami
berdasarkan pengertian sendiri. di sinilah keahlian peneliti sastra, bagaimana
menyusun sebuah argumen agar bisa diterima orang banyak dan dianggap sebagai
kebenaran objektif sekaligus ilmiah.
Metode penelitian penelitian dibagi menjadi dua jenis, yaitu metode penelitian
kuantitatif yang melakukan proses verifikasi mengenai pengukuran dan analitis yang
dikuantitatifkan dengan menggunakan data statistik dan model matematika. Kedua,
menggunakan kedalaman penghayatan terhadap interaksi antarkonsep yang sedang
dikaji secara empiris.(Sugiyono, 2008)
Dalam penelitian sastra, seorang peneliti harus memiliki kemampuan memilih
dan menggunakan metode yang sesuai dengan karakteristik karya sastra yang diteliti.
Penerapan metode ilmiah dalam penelitian sastra perlu mempertimbangkan sifat
sastra yang memperhatikan gejala umum dan gejala khusus. Gejala umum pada satra
menyiratkan bahwa karya sastra adalah wujud kreatifitas manusia yang tergolong
dalam konvensi-konvensi yang berlaku bagi wujud ciptaannya. Gejala khusus adalah
keunikan karakteristik sastra pada suatu masyarakat yang bahkan tidak ditemukan
dalam masyarakat lain sehingga karya sastra tersebut bisa menjadi identitas bagi
masyarakat pemiliknya. Tugas penelitilah untuk memilah milah keunikan karya sastra
menjadi lebih terstruktur dan mudah dipahami
Pada dasarnya, penelitian sastra terbagi dalam dua jenis, yaitu penelitian
lapangan dan penelitian perpustakaan (Siswantoro, 2010 hlm. 25). Penelitian
lapangan biasanya berkaitan dengan penelitian folklor atau sosiologi sastra atau
pragmatik sastra. Sementara penelitian perpustakaan adalah penelitian yang
berhubungan teks sastra, atau naskah-naskah sastra.
Penelitian lapangan, khususnya folklor menggunakan instrument yang tidak
jauh berbeda dengan instrument yang digunakan dalam penelitian sosial lainnya,
terutama penelitian antropologi. Hal yang perlu dilakukan oleh peneliti adalah
membaur dengan masyarakat folklor yang sedang diteliti. Menurut Danandjaya
penelitian folklor terdiri atas tiga macam tahap, yaitu pengumpulan data,
pengklasifikasian, dan penganalisisan (Danandjaya, 1984 hlm. 183). Pengumpulan
data adalah mengambilan data dari lapangan atau lokasi yang ditentukan.
Pengklasifikasan adalah proses kerja memilah data mana saja yang bisa dijadikan
sumber. Penganalisan data adalah proses mengkaji data yang telah dideskripsikan
Seperti halnya penelitian yang lain, penelitian folklor pun adalah kegiatan
ilmiah yang harus menggunakan cara yang sistematis dan prosedural. Menurut
Siswantoro, penelitian folklor sebagaimana penelitian lain, haruslah bersandar pada
metode ilmiah dan sistematis. Hanya saja metode yang digunakan adalah metode
desktiptif.( Siswantoro, 2010 hlm. 56). Menurut Nawawi, metode deskriptif adalah
metode yang dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki
dengan menggambarkan atau meluliskan keadaan objek penelitian berdasarkan
fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya ( dalam Nasiri, 2012 hlm. 117). Denifisi
ini mengandung pengertian bahwa penelitian deskriptif adalah suatu cara untuk
menguraikan objek penelitian dalam satuan-satuan struktur yang lebih terperinci.
Metode penelitian deskriptif merupakan prosedur penelitian yang berupaya
memecahkan masalah-masalah penelitian dengan carang mengukapkan dan
menggambarkan objek penelitian dengan fakta yang sebanarnya. Dengan metode
deskriptif seorang peneliti sastra, khususnya folklor dituntut untuk mampu
menjabarkan dan memberikan gambaran sedetail-detailnya fakta-fakta lapangan
dengan apa adanya.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode kualitatif deskriptif, yaitu
peneliti berupaya menggambar sedetail-detailnya data dan fakta yang telah peneliti
kumpulkan di lapangan. Hal ini sejalan dengan pendapat Bodgan Biklen yang
mengungkapkan karakteristik penelitian kualitatif, yaitu 1) menggunakan lingkungan
alamiah sebagai sumber data langsung; 2) sifatnya deskriptif analitik; 3) tekanan
penelitian ada pada proses; 4) sifatnya induktif; 5) mengutamakan makna ( Strinati,
2007 : 34 ). Sementara itu, Data dan fakta yang dikumpulkan dalam penelitian ini
adalah data lapangan murni yang tidak dicampuri pendapat peneliti. Karena seperti
itulah penelitan folklor data yang diambil adalah data apa adanya, sesuai dengan
karakter folklor polos dan lugu.
Setelah peneliti mendeskrifsikan data, data tersebut kemudian peneliti analitis,
dari masyarakat tertentu. Analisisnya berbentuk deskripsi tentang penuturan dan
penafsiran data yang ada, tentang situasi yang dialami, suatu hubungan, pandangan,
sikap yang tampak, atau suatu proses yang meruncing.
Dalam penelitian ini, pendeskripsian data-data dilakukan dengan cara
mengetengahkan fakta-fakta yang berhubungan dengan struktur teks mite pelet
marongge dan relasi fungsi terhadap masyarakat pemangkunya. Etnografi yang
digunakan adalah etnografi mikro yang berfokus pada kelompok budaya yakni
kelompok masyarakat, khususnya masyarakat Sumedang, yang meyakini makam
kramat Marongge mempunyai kekuatan magis dan mengandung nilai-nilai lokalitas
yang harus dipertahankan.
Mite pelet marongge dikaji dengan teori semiotika, yaitu menikikberatkan
pada kajian sintaksis, semantik, dan pragmatik karya sastra. Kemudian peneliti
menginterpretasikan makna mite pelet marongge. Kajian sintaksis digunakan untuk
menganalisis struktur mite pelet marongge. Kajian Semantik digunakan untuk
menganalisis simbol-simbol mite pelet marongge. Kajian pragmatik digunakan untuk
menganalisis proses penuturan, proses penciptaan, proses pewarisan dan proses
implementasi mite pelet marongge bagi masyarakat Sumedang.
3.2. Rancangan penelitian
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, penelitian ini dilakukan seara
deskriptif kualitastif. Dalam pelaksanaannya, penelitian ini menerapkan metode
etnografi yang mendeskripsikan mitos pelet Marongge sebagai karya sastra dan ritual
ziarah kubur di makam kramat Marongge sebagai apresiasi masyarakat lokal terhadap
kehidupan tokoh dalam mite pelet marongge. Kemudian peneliti akan menemukan
makna dan gagasan dari simbol simbol budaya yang muncul dalam ritual ziarah
kubur di makam kramat Marongge.
KETERANGAN
STUDI LAPANGAN 1 STUDI LAPANGAN 2 STUDI LAPANGAN 3
1. Orientasi lapangan
2. Mencari informan
3. Wawancara tak
terarah
Wawancara yang
bersifat bebas dan
acak dalam
mencari informasi,
baik berupa
pertanyaan
maupun informan
yang dipilih
4. Dokumentasi
5. Studi pustaka
1. Menyaksikan
proses ziarah kubur
di makam kramat
Marongge
2. Wawancara terarah
dengan kuncen
makam kramat
Marongge:
Wawancara dengan
pertanyaan yang
telah dirumuskan
sebelumnya dan
informan yang
telah ditentukan
3. Dokumentasi
4. Studi pustaka
1. Berpartisipasi
dalam ziarah kubur
di makam kramat
Marongge
2. Wawancara
bersama mantan
kuncen makam
kramat marongge
3. Wawancara
bersama
paranormal sekitar
lokasi
4. Wawancara dengan
pengguna pelet
marongge
5. Dokumentasi
KLASIFKASI DATA PENYAJIAN DATA ANALISIS DATA
Pemilihhan,
penyederhanaan, dan
pengabstraksian data
sesuai kebutuhan
Penyajian data dalam
bentuk deskripsi lugas dan
mudah dipahami
Penganalisisan aspek
sintaksis, semantik, dan
pragmatik mite pelet
marongge dengan teori
semiotika
Penganalisisan ritual
ziarah kubur di makam
kramat sebagai bentuk
apresiasi masyarakat
terhadap tokoh dalam mite
pelet marongge
INTERPRETASI DATA MODUL
PEMBELAJARAN
KESIMPULAN
Penafsiran makna mite
pelet marongge melalui
simbol simbol yang
muncul dalam struktur
cerita
Penafsiran relasi fungsi
mite pelet marongge
Pembuatan modul
pembelajaran untuk kelas
XI SMA
1. Merumuskan
kesimpulan sebagai
jawaban atas
pertanyaan
penelitian
2. Membuat saran
untuk penelitian
selanjutnya dan
membuat
penelitian
3.3. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini terdiri atas dua macam, yaitu sumber data
primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer adalah sumber data yang
dituturkan langsung oleh informan, yaitu mantan kuncen makam kramat Marongge.
Penuturan tersebut direkam saat peneliti melakukan wawancara. Kemudian setelah
merekam mitos pelet Maronggge. Peneliti mengamati reaksi masyarakat pemangku
mitos tersebut, yang menjadikan makam kramat Marongge sebagai tempat
permohonan doa. Sebagai data sekunder, peneliti mengambil data hanya pada dua
informan yang peneliti mintai keterangan tentang mitos di balik makam kramat
marongge. Hasil dari wawancara tersebut tidak jauh berbeda dengan yang dituturkan
informan pertama. Kedua informan tersebut adalah, kuncen makam kramat marongge
dan salah satu paranormal yang paham tentang pelet Marongge. Data sekunder yang
peneliti dapat, tidak hanya berupa penuturan langsung, melainkan juga sebuah buku
cerita rakyat Jawa Barat yang berjudul Putri Marongge karya A. Setiawan (tidak ada
tahun terbit). Namun, buku cerita tersebut mempunyai silsilah tokoh yang berbeda
dengan penuturan langsung dari para informan. Jadi peneliti tetap memegang teguh
data pada apa yang dituturkan mantan kuncen makam kramat Marongge.
Selain itu peneliti juga melengkapi data penelitian dengan foto, gambar, juga
video. Namun penggunaan data tersebut bukan sebagai bahan analisis, melainkan
[image:26.612.106.534.84.128.2]sebagai data pendukung untuk melengkapi verifikasi data. Adapun foto-foto dan
gambar-gambar yang peneliti lampirkan adalah, foto kuncen, foto makam kramat
marongge, dan foto orang-orang yang sedang ziarah kubur di makam kramat
Data video peneliti analisis namun tidak akan dideskripsikan dengan detail
karena penelitian ini tidak diarahkan dalam kajian tradisi lisan, melainkan kajian
folklor. Jadi peneliti akan memfokuskan penelitian pada struktur cerita mite pelet
marongge. Data vedio digunakan untuk memahami aspek pragmatik karya sastra.
Peneliti menganalisi cara masyarakat dalam mengapresiasi mite pelet marongge.
Tidak hanya video rekaman ritual ziarah kubur sebagai bahan analisis, peneliti juga
mewawancarai beberapa peziarah mengenai mite pelet marongge, tujuan mereka
datang ke makam, dan aplikasi pelet tersebut dalam kehidupan pribadi mereka.
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah cara seorang peneliti dalam mendapatkan
informasi sebagai bahan penelitian. Sugiono (dalam Nasiri 2012 hlm. 120)
mengatakan, dalam penelitian kualitatif pengumpulan data dilakukan pada kondisi
alamiah, sumber data primer, dan teknik pengumpulan data difokuskan pada
observasi peran serta, wawancara mendalam, dokumentasi, dan triangulasi. Nasution
pun mengatakan metode pengumpulan data kualitatif yaitu observasi, wawancara,
dokumentasi, dan membuat catatan lapangan (Nasution, 2010 hlm. 20).
Berdasarkan pendapat tersebut, peneliti berkesimpulan bahwa teknik
pengumpulan data kualitatif meliputi observasi, wawancara, catatan lapangan, dan
dukumentasi. Obervasi dan wawancara digunakan untuk mengumpulkan data primer.
Untuk mendapatkan data sekunder peneliti juga memewancarai informan, namun
bukan informan utama, selain itu peneliti juga menggunakan catatan lapangan dan
dokumentasi.
Sumber data primer adalah bahan utama untuk dianalisis, yaitu tuturan asli
mantan kuncen makam kramat Marongge, tanpa peneliti rekayasa atau
ditambah-tambahkan. Sementara penggunaan data sekunder digunakan untuk melengkapi bahan
analisis dari data primer. Pada tahap awal peneliti bingung untuk menggunakan
dan mengetahui kondisi karakter setiap informan, peneliti memutuskan bahwa yang
menjadi informan primer adalah mantan kuncen makam kramat Marongge.
Penelitian diawali dengan pengamatan lokasi yang akan diteliti untuk
melakukan pencarian mengenai keberadaan informan. Dari pengamatan tersebut,
dipilih beberapa informan, kemudian mewawancarainya. Pengamatan langsung ini
dinamakan obervasi terang-terangan, yaitu peneliti langsung menyatakan terus terang
mengenai tujuan peneliti berada di makam kramat marongge. Namun, sambutan
kuncen atau juru kunci makam kramat Marongge kurang bersahabat. Dengan
sikapnya yang sinis dan kurang ramah peneliti menyimpulan bahwa kedatangan
peneliti sebagai peneliti tidak disukai, kuncen tersebut lebih menyukai tamu-tamu
yang datang sebagai peziarah.
Peneliti menggunakan dua teknik wawancara, yaitu wawancara terarah dan
wawancara tak terarah. Wawancara terarah adalah wawancara yang sifat menyelidiki
dan mengungkap cerita misteri di balik makam kramat Marongge dengan
pertanyaan-pertanyaan yang sudah disiapkan sebelumnya untuk memperoleh jawaban yang
diharapkan. Semantara, wawancara tak terarah adalah peneliti bertanya yang sifat
lebih pribadi, tentang keluarga, keadaan lingkungan makam, tamu-tamu yang datang
dan lain sebagainya sehingga informan dapat memberikan jawaban seluas-luasnya.
Sebelumnya, disiapkan alat bantu untuk kelancaran proses wawancara seperti alat
tulis, alat rekam, dan kamera.
Dalam penelitian ini peneliti akan mengupas legenda pelet marongge yang
dituturkkan secara lisan oleh mantan kuncen Makam Kramat Maronnge, yang terletak
di Desa Marongge, Kecamatan Tomo, Kabupaten Sumedang. Mantan kuncen tersebut
bernama Bapak Suhadi, 56 tahun, dia sudah menjadi kuncen selama sepuluh tahun,
dari tahun 2000 hingga 2010. Beliaulah yang membuat membuat tradisi mandi di
sungai cilutung sebagai media untuk menerapkan ilmu pelet Marongge.
Bapak Suhadi menuturkan legenda pelet Marongge pada tanggal 20 Februari
pemakaman Makam Kramat Marongge. Beliau mengisahkan legenda tersebut sehabis
salat isya hingga pukul sepuluh malam. Tentunya suasana yang dibangun begitu
tenang dan khimat yang selingi dengan rokok dan kopi hitam.
Bahasa yang digunakan oleh Suhadi adalah bahasa Sunda diselingi bahasa
Indonesia. Hal ini mempermudah peneliti memahami setiap kosa kata yang dituturkan
olehnya. Bapak Suhadi Sendiri tidak mahfum benar dengan kisah tersebut karena
beliau pun hanyalah kuncen yang dipercaya oleh kepala desa untuk menjaga dan
merawat makam kramat tersebut. Dia tidak tahu sejak kapan kramat tersebut ada
disana, dia pun tahu kisahnya dari kuncen sebelumnya juga cerita masyarakat yang
memepercayai hal itu.
Kuncen yang menjabat sekarang pun, Bapak Maman, 60 tahun, kurang
paham benar tentang kisah dibalik makam kramat yang dia jaga tiap hari. Dia hanya
pendoa, pembaca salawat, yang dibayar para peziarah untuk menyampaikan
harapan-harapannya. Kuncen yang satu ini enggan diwawancari, dia menganggap kisah
dibalik makam kramat marongge adalah kisah sakral yang tidak sembarangan
diceritakan. Namun, setelah peneliti memberikan sejumlah uang barulah dia mau
bercerita. Dia pun tidak tahu sejak kapan makam kramat Marongge itu ada.
Setelah peneliti mengunjungi kepala desa Marongge, peneliti pun medapatkan
data yang tidak jauh berbeda dengan informan sebelumnya. Akhirnya, peneliti
bertemu dengan Aki Pasar, dia adalah tokoh masyarakat di sana, dia juga dewan
penasihat komunitas sepedah ontel di wilayah Majelengka. Dia bertutur legenda pelet
Marongge dengan lebih lengkap, setidaknya dia menyebut prabu Gesan Ulun, dari
sana peneliti berasumsi bahwa tokoh dalam legenda pelet Marongge hidup pada
zaman Prabu Gesan Ulun, raja dari kerajaan Sumedang Larang yang berkuasa sekitar
abad ke-16.
Aki Pasar juga bercerita tentang ilmu pelet dan bagaimana ilmu pelet
menyempurnakan data asli yang peneliti rekam dari pak Suhadi Mantan kuncen
Makam Kramat Marongge.
Setelah melakukan wawancara terarah dan tidak terarah, berlanjut pada tahap
berikutnya, yaitu mendeskripsikan ritual pelet marongge dari hasil pengamatan.
Kemudian mentranskripsikan pelet marongge dari bentuk rekaman ke dalam bentuk
tulisan dan memisahkan antara yang berbentuk wawancara dengan cerita lisan.
Setelah proses pendeskripsian selesai, peneliti menentukan ikon-ikon budaya
yang muncul dalam ritual melalui metode etnografi. Kemudian dilanjutkan pada
proses penerjemahan hasil transkripsi dari bahasa Sunda ke dalam bahasa Indonesia
dengan tidak mengubah atau menghilangkan aslinya.
Kemudian peneliti menganalisis struktur mitos dengan menggunakan
pendekatan semiotika. Analisis difokuskan pada stuktur teks, yaitu dengan
pendekatan sintaksis, pendekatan semantik, dan pendekatan pragmatik. Analisis
difokuskan pada kaitan antara sastra dengan masyarakat pendukungnnya. Terakhir
menyimpulkan hasil yang dikaji, memberikan saran dan merekomendasikan
penelitian. Peneliti juga merancang modul sebagai pembelajaran cerita rakyat di
SMA.
3.5. Instrumen Penelitian
Instrument dalam penelitian lapangan adalah alat yang digunakan seorang
peneliti untuk mengumpulkan data. Penelitian lapangan identik dengan penelitian
kualitatif. Sebuah penelitian kualitatif tidak dapat dilepaskan dari pengamatan dan
peran serta peneliti karena peranan peneliti yang menentukan jalan dan ending dari
sebuah penelitian. Seperti yang diungkapkan oleh Sugiono, “Dalam penelitian
kualitatif instrument utamanya adalah peneliti itu sendiri selanjutnya bisa
dikembangkan instrument sederhana yang diharapkan dapat melengkapi data dan
membandingkan data yang ditemukan melalui observasi dan wawancara.”(Sugiyono,
Pernyataan Sugiono tersebut memberikan kesempatan kepada peneliti
kualitatif untuk mengembangkan instrumensnya selain dirinya sendiri. Bagi
penelitian tradisi lisan, khususnya sastra lisan, diri sendiri sebagai intrumen bukanlah
sebagai bahan eksperimen. Namun, peneliti hanya sekedar mengadakan observasi
lapangan untuk mengendapatkan data yang diinginkan. Seperti halnya dalam
penelitian ini peneliti menggunakan alat pengumpul data, yaitu berbagai hal yang bisa
menunjang proses penelitian berjalan dengan semestinya. Alat pengumpul data yang
peneliti gunakan, diantaranya berupa bahan tertulis, seperti angket, daftar
pertanyaan,alat perekam, dan kamera.
Dalam penelitian kualitatif, seorang peneliti harus terjun ke lapangan untuk
mengumpulkan informasi. Melalui observasi ke lokasi penelitian, data dan informasi
bisa dikumpulkan. Seorang peneliti harus bisa melebur dalam masyarakat agar bisa
berpartisipasi dalam kegiatan kegiatan tradisi. Setelah itu, seorang peneliti harus
mewawancari informan, salah satu tokoh yang berpengaruh dalam masyarakat untuk
mengambil data sebagai sampel penelitian. Wawancara dilakukan dengan cara terarah
dan tak terarah. Wawancara terarah dilalukan untuk memperoleh jawaban-jawaban
terbuka dan pasti. Sementara wawancara tak terarah dilakukan agar peneliti bisa
mengambil simpati dari informan sehingga dia tidak merasa sungkan atau
terintimidasi saat proses wawancara. Dengan wawancara tak terarah, kadang seorang
informan akan memberikan informasi yang lebih lengkap dan akurat karena merasa
ada kedekatan emosional dengan peneliti. Dia akan memberikan rahasia terdalam dari
sebuah tradisi yang dipegang teguh selama ini.
Data dan penelitian kualitatif dapat berubah-ubah sesuai dengan kondisi yang
terjadi di lapangan. Penelitian kualitatif sangat situasional tergantung bagaimana
penerimaan masyarakat dan informan dalam memberikan informasi. Sebab penelitian
lapangan, terutama kajian folklor akan berhubungan dengan masyarakat yang bersifat
dinamis. Sebab itu, sebuah folklor mempunyai banyak versi karena sebuah komunitas
budaya, religi, dan pandangan hidup mereka dalam milihat fenomena yang terjadi di
lingkungannya. Namun demikian, seorang peneliti folklor harus mempunyai peran
sebagai instrument kunci, yaitu memverifikasi data setelah setiap informasi
dikumpulkan dan dianalisis.
Satu hal yang menjadi cacatan dalam penelitian ini adalah menentukan
informan utama yang menjadi sumber data primer untuk dianalisis dengan kajian semiotika. Nasiri berpendapat “Sebagai instrument kunci, peneliti memliki fungsi, yaitu menetapkan focus penelitian, menentukan informan, dan melakukan
pengumpulan data” (Nasiri, 2012 hlm. 123).
Dalam melakukan penelitian, selain melakukan pengamatan dan wawancara,
peneliti juga menganalis data lapangan, melakukan penafsiran dan membuat
kesimpulan. Agar lebih akurat, peneliti tidak hanya mewawancara satu informan saja,
melainkan beberapa informan mengenai subjek penelitian untuk bahan pembanding.
Hal ini dilakukan agar peneliti mendapat data yang akurat setelah melakukan analisis
data, studi pustaka, studi dokumentasi melalui catatan lapangan.
3.6. Analisis Data
Penelitian yang dilakukan ialah penelitian kualitatif, yakni penelitian yang
memusatkan pada kualitas data. Dalam penelitian ini dilakukan penelitian pustaka
yang disertai penelitian lapangan. Analisis yang dilakukan didasarkan pada kajian
semiotika untuk memperoleh makna mite pelet marongge sebagai hakikat hidup
manusia.
Sugiyono mengatakan bahwa analisis data adalah proses mencari dan
menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil observasi, wawancara,
catatan lapangan dan dokumentasi dengan cara mengorganisasikan data kedalam
kagori, menjabarkan ke unit-unit, melakukan sintesis, menyusun ke dalam pola,
sehingga mudah dipahami oleh peneliti sendiri maupun orang lain. (Sugiyono, 2008
hlm. 244)
Definisi tersebut mengandung pengertian bahwa analisis data merupakan
proses menyusun data secara sistematis melalui langkah-langkah procedural. Data
yang telah terkumpul disusun per kategori kemudian dijabarkan pada unit-unit yang
lebih kecil. Melalui unit-unit tersebut, peneliti menyusun pola, memilih data, dan
membuat kesimpulan. Analisis data merupakan cara memahami data untuk
melakukan pengujian dan menentukan hubungan antar bagian dan hubungan
keseluruhan data agar diperoleh makna dan gagasan baik tiap-tiap bagian maupun
keseluruhan data. Dengan demikian, data dapat dipahami baik oleh peneliti maupun
orang lain.
Dalam penelitian kualitatif, proses analisis data dimulai selama proses penelitian berlangsung. Seperti yang diungkapkan Nasution, “Analisis data telah mulai sejak merumuskan dan menjelaskan masalah sebelum terjun ke lapangan dan
terus berlangsung sampai penelitian selesai.” ( Nasuition, 1993 hlm 138). Pendapat
tersebut mengungkapkan bahwa dalam penelitian kualitatif, seorang peneliti harus
mempunyai gambaran umum mengenai data data yang akan diperolehnya sehingga
dia dapat menganilisnya secara kasar mengenai bentuk penelitiannya. Data yang
diperoleh dari lapangan bisa langsung dikaji dan diberi label per katagori.
Analisis data dalam penelitian kualitatif merupakan proses yang sistematis
dan dilakukan secara intensif. Analisis harus dimulai sebelum peneliti terjun ke
lapangan bahkan sejak dia merumuskan masalah. Dengan demikian proses analisis
data kualitatif butuh kerja yang serius dan waktu yang panjang karena analisis terus
berlangsung dari merumuskan masalah hingga membuat kesimpulan.
Menurut Sugiyono, dalam analisis data penelitian kualitatif ada beberapa
tahapan, yaitu, tahap reduksi, display data, dan kunklusi atau verifikasi. Reduksi data
adalah proses merangkum, melilih hal hal pokok, dan menyusun secara sistematis
memberikan gambaran yang jelas dari hasil pengamatan. Display data adalah
menyusun dan menyajikan data dengan berbagai pola, seperti bagan, tabel, dan
grafik. Selain itu, data disajikan dalam bentuk naskah yang bersifat deskriptif atau
naratif. Display data berguna untuk menganalisis dan menafsirkan data. Yang terakhir
adalah proses verifikasi data, yaitu proses mengambil kesimpulan dari data-data yang
telah direduksi dan telah disajikan dalam bentuk display data. kesimpulan merupakan
jawaban dari rumusan masalah di awal penelitian, apakah data yang telah dianalisis
bisa menjawab semua hipotesis yang telah dirumuskan (Sugiyono, 2008 : 250).
Pengertian di atas menyebutkan bahwa penelitian kualitatif membutuhkan
keintensifan dalam pengolahan data, dari mulai merangkum data, memberikan
gambaran yang jelas, kemudian menyusun dan menyajikan data secara objektif
kemudian dianalisis dan yang terakhir adalah membuat kesimpulan.
Pada tahap awal penelitian ini, pemilihan korpus didasarkan pada anggapan
bahwa mitos pelet termasuk ke dalam folklor yang menggunakan cerita rakyat
sebagai media untuk menyampaikan gagasan. Lalu dilakukan pengumpulan data
dalam bentuk dokumentasi berupua video, foto, dan rekaman proses wawancara
dengan narasumber. Selanjutnya, penelitian difokuskan pada aspek struktur teks yang
meliputi aspek sintaksis, semantik, dan pragmatik. Dari hasil analisis teks maka
diperoleh sebuah gagasan yang terkadung dalam mitos tersebut yang memengaruhi
perilaku masyarakat sekitar tempat mitos berkembang.
3.7. Waktu Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini akan dilangsungkan pada bulan Desember 2014 hingga Maret
2015. Penelitian dimulai di daerah Sumedang. Setelah data terkumpul, dilakukan
inventarisasi dan analisis. Pada bulan April 2015 dilakukan pengecekan kembali data
yang telah terkumpul sekaligus memadukan kesesuaian data sebagai bahan ajar teks
BAB 5
RANCANGAN BAHAN AJAR DAN KEGIATAN PEMBELAJARAN SASTRA
DI SMA
Bab lima pada tesis ini akan membahas mengenai penerapan mite pelet
marongge sebagai modul untuk pembelajaran kajian cerpen di SMA kelas XI. Bab
ini juga akan membahas mengenai rancangan pelaksanaan pembelajaran.
5.1. Dasar Pemikiran
Hasil analisis struktur teks mite pelet marongge ini ditindaklanjuti sebagai
cerpen untuk ditawarkan sebagai alternatif bahan ajar pelajaran sastra, khususnya
kelas XI. Hal ini tercermin dalam silabus KTSP KD. 13.1 mengidentifikasi alur,
penokohan, dan latar dalam cerpen yang dibacakan kemudian KD 13.2 menemukan
nilai-nilai dalam cerpen yang dibacakan. Kompetensi ini dipilih karena mite pelet
marongge berbentuk cerita rakyat. Cerita rakyat akan lebih menarik dibaca dalam
bentuk cerpen. Pentransformasian mite pelet marongge kedalam bentuk cerpen perlu
dilakukan agar siswa dapat memahami cerita rakyat bukan sebagai kepercayaan,
melainkan sebagai media pembelajaran. Kebahasaan mite pelet marongge yang
dituturkan dalam bentuk bahasa Sunda pun perlu dialihbahasakan ke dalam bahasa
Indonesia agar cerita dapat dipahami secara nasional. Oleh sebab itu, mite pelet
marongge telah ditransformasi menjadi sebuah cerpen dengan judul Ajian Si Kukuk
Mudik dengan tidak mengubah alur cerita dan tokoh-tokohnya.
Alternatif bahan ajar (cerpen) yang ditawarkan semoga dapat
dipertimbangkan sebagai pedoman bagi para guru mata pelajaran bahasa Indonesia
dalam memilih bahan ajar yang ssesuai dengan tujuan pembelajaran yang akan
dicapai peserta didik. Disusunnya cerpen Ajian Si Kukuk Mudik sebagai bahan ajar
di SMA untuk memudahkan para guru mata pelajaran bahasa Indonesia dalam
menentukan bahan ajar untuk menarik peserta didik terhadap karya sastra. Karya
terhadap daerahnya dan membuat mereka sadar bahwa bangsa Indonesia adalah
bangsa yang kaya dengan budaya.
Pentransformasian cerita rakyat kedalam bentuk cerpen diharapkan dapat
memicu, baik para guru maupun peserta didik untuk melakukan hal yang sama. Saat
ini, banyak sekali cerita rakyat yang belum terekspos ke dalam dunia akademis.
Kebanyakan cerita rakyat hanya berkembang di daerah itu dengan bahasa daerahnya
masing-masing. Jika hal ini dibiarkan saja, cerita rakyat tersebut akan punah ketika
para penuturnya sudah tiada. Karena itu, pengubahan cerita rakyat ke dalam bentuk
cerpen adalah salah satu alternatif untuk melestarikan cerita rakyat tersebut agar tetap
eksis dari zaman ke zaman. Juga salah bentuk alternatif untuk memperkenalkan cerita
daerah ke skala nasional. Cerpen ajian si kukuk mudik yang berasal dari mite pelet
marongge kiranya dapat menjadi pelestarian cerita rakyat yang akan dikenang
sepanjang zaman dan memperkenalkan cerita rakyat Sumedang ke skala nasional.
5.2 Bahan Ajar Pembelajaran Sastra di SMA
Pada bagian ini peneliti menguraikan salah satu jenis bahan ajar cetak yang
disesuaikan dengan kurikulum KTSP. Peneliti memilih modul sebagai alternatif
bahan ajar untuk pembelajaran memahami cerpen di tingkat SMA, khususnya kelas
XI.
Modul adalah bahan ajar yang disusun secara sistematis dengan bahan yang
mudah dipahami oleh peserta didik sesuai tingkat pengetahuan dan usia mereka agar
dapat belajar sendiri dengan bantuan atau bimbingan yang minimal peserta didik
(Prastowo, 2012 hlm 103). Definisi tersebut menyebutkan bahwa modul adalah
bahan ajar untuk peserta didik agar mereka mandiri dalam memahami pelajaran yang
sedang dipelajari. Namun, peserta didik tidak bisa dibiarkan begitu saja dalam
mempelajari modul. Peran guru atau pembimbing juga diperlukan dalam mempelajari
Modul adalah alternatif belajar siswa secara mandiri. Karena itu, modul harus
disusun dengan sistematis, menarik dan mudah dipahami. Menurut Surahman,
struktur pembuatan modul adalah 1) judul modul, yaitu berisi tentang nama modul
dari suatu mata pelajaran; 2) petunjuk umum, yaitu penjelasan tentang
langkah-langkah yang akan ditempuh dalam pembelajaran yang meliputi kompetensi dasar,
pokok bahasan, indikator pencapaian, referensi, strategi pembelajaran, lembar
kegiatan pembelajaran, dan evaluasi; 3) meteri modul, yaitu penjelasan secara rinci
tentang materi yang dipelajari setiap pertememuan; 4) evaluasi semester, yaitu UTS
dan UAS dengan tujuan untuk mengukur kompetensi peserta didik sesuai materi yang
diberikan (dalam Praswoto, 2012)
Berdasarkan struktur pembuatan modul tersebut, peneliti membuat modul
berdasarkan hasil analisis teks mite pelet marongge dalam penelitian ini. Pembuatan
modul tersebut didasarkan pada kelengkapan dan unsur ideal modul, yaitu judul, kata
pengantar, daftar isi, dasar pemikiran, standar kompetensi, kompetensi dasar, tujuan
pembelajaran, uraian materi, soal latihan, rangkuman, tindak lanjut, daftar pustaka,
dan kunci jawaban.
5.3. Perencanaan Pengajaran
Bahasa Indonesia merupakan mata pelajaran sekolah yang mengembangkan
kemampuan peserta didik untuk mengomunikasikan nilai-nilai budaya melalui
perilaku dan penggunaan artefak budaya dalam bentuk berbagai jenis teks. Setiap teks
dihasilkan berdasarkan proses analisis dan evaluasi kritis untuk menyampaikan fungsi
sosial yang bermakna bagi lingkungan sosial-budaya dan alam sekitar atas dasar
prinsip keberagaman, toleransi, empati, serta hubungan dan komunikasi antar-budaya,
baik di tingkat lokal, nasional, regional, maupun global.
Bahasa Indonesia perlu dipelajari sebagai sarana komunikasi untuk
mengindonesiakan orang Indonesia. Proses pengindonesiaan orang Indonesia
negara kebangsaan Indonesia. Berdasarkan ikrar tersebut, setiap orang yang mengaku
berbangsa Indonesia bertekad menjunjung sebuah bahasa persatuan yang disebut
bahasa Indonesia. Tekad berbahasa Indonesia itu menyiratkan bahwa nilai-nilai
kebangsaan Indonesia, antara lain nilai multikutural dan multilingual, mengkristal
dan melembaga dalam bentuk perilaku berkomunikasi dengan menggunakan bahasa
Indonesia.
Penggunaan bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi utama orang
Indonesia itu juga mengisyaratkan tegaknya kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pasal 36)
telah menyatakan bahwa bahasa negara adalah bahasa Indonesia. Pernyataan
konstitusi yang amat tegas tersebut merupakan amanat bagi setiap warga negara
Indonesia agar berbahasa Indonesia untuk menandai keberadaan wilayah Indonesia.
Dengan bahasa Indonesia yang dikomunikasikan oleh seluruh orang Indonesia,
keberadaan negara Indonesia dapat diidentifikasi perbedaannya dari negara lain.
Untuk itu, pelajaran bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi disajikan di sekolah
menengah guna menguatkan identitas negara dan jati diri bangsa Indonesia.
Di kalangan anak bangsa, kekuatan komunikasi berbahasa Indonesia perlu
terus ditingkatkan. Pada saat sekarang, berdasarkan refleksi hasil PISA 2009, anak
Indonesia hanya mencapai penguasaan pelajaran literasi pada peringkat ke-3.
Padahal, dengan keyakinan semua anak manusia diciptakan sama, anak-anak di
negara lain mampu meraih peringkat penguasaan pelajaran sampai peringkat ke-4, 5,
dan 6. Hasil pendidikan itu sangat mungkin disebabkan oleh lemahnya penguasaan
anak dalam hal alat komunikasi berbahasa sebagai pembawa ilmu pengetahuan.
Potret mutu pendidikan Indonesia itu makin diperjelas dengan adanya hasil survei
literasi PIRLS dan TIMSS yang menempatkan 95% anak Indonesia hanya sampai
kemampuan literasi pada anak Indonesia, diperlukan terobosan baru dalam pelajaran
bahasa Indonesia di sekolah menengah.
Pelajaran bahasa Indonesia seharusnya disajikan dalam program pembelajaran
yang sepenuhnya berbasis teks, seperti halnya program dalam PISA dan PIRLS.
Secara teoretis, teks merupakan proses sosial yang berorientasi pada tujuan sosial
tertentu dan dalam konteks situasi tertentu pula. Proses sosial tersebut akan terjadi
jika terdapat sarana komunikasi yang disebut bahasa. Dalam kerangka teori itu,
bahasa Indonesia muncul dalam berbagai situasi pemakaiannya sebagai teks yang
sangat beragam sehingga jenis teks bahasa Indonesia pun beragam. Keragaman teks
itu menunjukkan perbedaan struktur berpikir, unsur kebahasaan, dan fungsi sosial
yang dilaksanakan.
Dalam praktik di sekolah menengah, pembelajaran teks membantu peserta
didik memperoleh wawasan yang lebih luas untuk berpikir kritis menyelesaikan
permasalahan kehidupan nyata yang tidak terlepas dari kehadiran teks. Selain
memperluas wawasan komunikasi berbahasa Indonesia, pembelajaran teks juga
meningkatkan sikap positif peserta didik terhadap bahasa Indonesia, termasuk sikap
bersyukur atas anugrah Tuhan berupa bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa dan
identitas negara. Dengan wawasan yang makin luas dan sikap yang makin positif itu,
peserta didik dapat berperan aktif sebagai orang Indonesia dalam pelestarian bahasa
kebangsaan dan kenegaraan Indonesia.
Dalam paradigma pengajaran, misi sekolah adalah menyajikan intruksi dan menyajikan pengajaran. Metode dan produknya harus sama. Cara pengajaran merupakan tujuan dari sekolah itu sendiri, sedangkan paradigma pembelajaran adalah misi sekolah untuk menghasilkan pembelajaran. Metode dan produknya terpisah. Tujuan pengajaran akan menentukan pembelajaran (Huda, 2013 hlm 12)
Berdasarkan pendapat di atas tujuan pengajaran akan menentukan cara
sebelum materi pelajaran disampaikan. Tujuan tersebut akan menentukan cara
bagaimana materi itu disampaikan kepada siswa. Dalam rencana pelaksanaan
pembelajaran untuk mengaplikasikan materi cerpen mite pelet marongge maka guru
disarankan untuk memakai metode presentasi, diskusi, inquiri, dan demontrasi
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
MATA PELAJARAN Bahasa dan Sastra Indonesia KELAS /SEMESTER XI (sebelas)
PROGRAM Umum
ALOKASI WAKTU 2 x 45 menit TEMA
STANDAR KOMPETENSI
13. Memahami pembacaan cerpen
KOMPETENSI DASAR 13.1Mengidentifikasi alur, penokohan, dan latar dalam cerpen yang dibacakan
ASPEK
PEMBELAJARAN
Mendengarkan
Indikator Pencapaian Kompetensi Nilai Budaya Karakter Bangsa
Kewirausahaan/ Ekonomi Kreatif Mampu mendengarkan pembacaan
cerpen dengan baik
Mampu mengidentifikasi penokohan cerpen dengan baik
Mampu mengidentifikasi latar cerpen dengan baik
Mampu mengidentifikasi alur cerpen dengan baik
Mampu mendiskusikan alur, penokohan, dan latar cerpen yang sudah diidentifikasi
Bersahabat/ komunikatif Mandiri
Kepemimpinan
MATERI POKOK PEMBELAJARAN
Cerpen yang dibacakan atau rekaman pembacaan cerpen Penokohan dalam cerpen
Latar dalam cerpen Alur dalam cerpen
STRATEGI PEMBELAJARAN
KEGIATAN PEMBELAJARAN
TAHAP KEGIATAN PEMBELAJARAN Nilai Budaya Dan
Karakter Bangsa PEMBUKA
(Apersepsi)
Guru-siswa bertanya jawab tentang penokohan, latar, alur cerpen Guru dan siswa bertanya jawab
mengenai cara mengidentifikasi penokohan, latar, alur dalam cerpen
Bersahabat/ komunikatif
INTI Eksplorasi
Siswa mendengarkan pembacaan cerpen
Siswa secara mandiri
mengidentifikasi penokohan cerpen Siswa secara mandiri
mengidentifikasi latar cerpen Siswa secara mandiri
mengidentifikasi alur cerpen Elaborasi
Siswa mendiskusikan alur,
penokohan, dan latar cerpen yang sudah diidentifikasi
Siswa saling memberi masukan kekurangan hasil identifikasinya Siswa mempresentasikan hasil
identifikasi alur, penokohan, dan latar cerpen yang sudah diperbaiki Konfirmasi
Dalam kegiatan konfirmasi, Siswa: Menyimpulkan tentang hal-hal yang
Mandiri
Tatap Muka Terstruktur Mandiri
Memahami pembacaan cerpen
Mengidentifikasi alur, penokohan, dan latar dalam cerpen yang dibacakan
belum diketahui
Menjelaskan tentang hal-hal yang belum diketahui.
PENUTUP (Internalisasi & persepsi)
Siswa diminta menjelaskan
kesulitannya menyimak pembacaan cerpen
Siswa diminta mengungkapkan pengalamannya dalam
mengidentifikasi penokohan, latar, alur dalam cerpen
Siswa mengungkapkan
permasalahan di masyarakat yang sesuai dengan permasalahan dalam cerpen
Siswa mengerjakan uji kompetensi dan menjawab kuis uji teori
Bersahabat/ komunikatif
METODE DAN SUMBER BELAJAR
Sumber Belajar
v Pustaka rujukan Modul buku dari sekolah v Material: VCD, kaset,
poster
Rekaman pengajaran/analisis cerpen
V
Media cetak Modul pembelajaran
Website internet
V
Narasumber Buku dari sekolah atau penulis cerpen
V
Model peraga Siswa yang mempunyai
pengalaman menganalisis cerpen
V
Lingkungan Kejadian di masyarakat yang sesuai dengan penokohan, alur, latar cerpen
Metode
V
Presentasi Perkelompok mempresentasikan temuannya
V
Diskusi Kelompok Guru memantau kegiatan siswa
V
V
Demontrasi
/Pemeragaan Model
PENILAIAN
TEKNIK DAN
BENTUK
V Tes Tertulis V Tes Praktik
V Observasi Kinerja/Demontrasi
V Tagihan Hasil Karya/Produk: tugas, projek, portofolio V Pengukuran Sikap
V Penilaian diri INSTRUMEN /SOAL
Daftar pertanyaan lisan tentang penokohan, latar, alur cerpen
<