Harmin, 2013
TRADISI BERTANI JAGUNG MASYARAKAT MUNA
(Kajian Struktur Kegiatan, Struktur Teks, Konteks Penuturan, Proses Penciptaan dan Fungsi Mantra serta Model Pembelajarannya di SMA)
TESIS
diajukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia
oleh
Harmin NIM 1103848
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG
ABSTRAK
Tesis ini berjudul “Tradisi Bertani Jagung Masyarakat Muna (Kajian Struktur Kegiatan Bertani, Sruktur Teks, Konteks Penuturan, Proses Penciptaan dan Fungsi Mantra serta Model Pembelajarannya di SMA)”. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kekhawatiran peneliti terhadap keberadaan tradisi bertani jagung masyarakat Muna bergeser dari wujud aslinya yang tidak menutp kemungkinan akan mengalami kepunahan. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah tradisi menanam jagung masyarakat Muna?, Bagaimana struktur bertani jagung pada masyarakat Muna?, Bagaimana struktur mantra dalam tradisi bertani jagung masyarakat Muna?, Bagaimana konteks penuturan dalam tradisi bertani jagung oleh masyarakat Muna?, Bagaimana proses penciptaan mantra dalam tradisi bertani jagung masyarakat Muna?, Adakah fungsi mantra dalam tradisi bertani jagung bagi masyarakat Muna?, bagaimana model pembelajaran sastra di SMA dengan memanfaatkan kajian tradisi bertani jagung dalam masyarakat Muna? Tujuannya secara umum adalah untuk melestarikan salah satu budaya daerah dari kepunahan dan secara khusus adalah untuk menjawab masalah-masalah yang telah dirumuskan dengan cara mendeskripsikan setiap pertanyaan penelitian. Teori yang digunakan untuk menganalisis data yang diperoleh adalah teori kebudayaan, teori folklor dan tradisi setengah lisan yang berupa rangkaian kegiatan bertani beserta mantranya, teori struktural, konteks, proses penciptaan, dan fungsi.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan secara kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik observasi, teknik wawancara mendalam, catatan lapangan, dan teknik dokementasi. Instrumen penelitian yang digunakan adalah peneliti sendiri dan dibantu dengan pedoman wawancara, catatan lapangan, tape recorder, dan
handycam. Sumber datapenelitian adalah rangkaian kegitan bertani jagung mulai
dari pembukaaan lahan sampai pascapanen beserta mantra yang menyertainya. Dalam analisis data dan pembahasan hasil analisis terdapat gambaran umum lokasi penelitian; perihal bertani jagung; struktur bertani jagung, struktur teks mantra bertani jagung, konteks penuturan, proses penciptaan; fungsi; serta model pembelajarannya.
vii
Harmin, 2013
membuat model pembelajaran pada mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah Menengah Atas (SMA).
ABSTRACT
This thesis is about “Tradition of Corn Farming in Muna Society” (Analysis of Activity Structure, Speech Context, Creation and Function of Magic Word, Process as well as Teaching Model in Senior High School). This research is grounded by the worriness of the researcher toward the existence in the tradition of corn farming of Muna society which has changed from its origin in which it may have a big chance to be extinct. The problems which are found in this research are how is the tradition of corn farming of Muna society, how the structure of corn farming of Muna society, how the structure of magic word in the corn farming of Muna society, how is the context of speech in the corn farming of Muna society, how is the process creating the magic word in the corn farming of Muna society, is there any function of the magic word in the corn farming of Muna society, how is the model of teaching the literature in the senior high school by using the analysis of corn farming in Muna society. The general aim is to preserve one of regional cultures from being extinct while specifically it aims to answer the problems having been formulated by describing every question detailly. The theory being used to analyze the data are culture theory, folklore theory, structural theory, context, creation process, and function.
This research uses descriptive qualitative method by employing an approach qualitatively. Technic of collecting data are observation, interview, field note, and documentation. The instrument being used in this research is the researcher himself assisted by interview guidance, field note, tape recorder, and handycam. The source of this research is the sequence of corn farming activity starting from opening the field up to post harvesting as well as the magic word accompanying it. In analyzing and discussing the result of this research, we may find general outline of research location; explanation of corn farming; the structure of corn farming; the structure of magic word in the corn farming; speech context, creation process, function, as well as its teaching model.
vii
3. Gaya Bahasa ... 32
L. Dasar Pemikiran Pelestarian Tradisi Bertani Jagung... 39
M. Model Pembelajaran ... 40
N. Pembelajaran Kontekstual ... 41
ix
Masyarakat Muna ... 252 7. Analisis Proses Penciptaan Mantra Bertani Jagung Masyarakat
xi
BAB V MODEL PEMBELAJARAN TRADISI BERTANI JAGUNG MASYARAKAT MUNA DI SMA
A. Pengantar ... 306
B. Model Pembelajaran Tradisi Bertani Jagung di SMA ... 306
1. Model Pembelajaran Mantra di SMA ... 306
2. Model Pembelajaran Pementasan Drama di SMA ... 315
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 327
B. Saran ... 332
Harmin, 2013
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara kepulauan yang membentang dari Sabang sampai
Merauke dengan ribuan etnik. Ribuan etnik tersebut masing-masing mempunyai
tradisi lisan tersendiri yang membedakan dengan etnik lainnya. Tradisi lisan
tersebut sebagai salah satu unsur budaya yang merupakan kreatifitas manusia
sebagai pendukung dan menjadikannya sebagai pedoman hidup. Meskipun
terdapat perbedaan tradisi lisan, tidak menjadikan komunikasi sosial antara etnik
terputus. Tradisi lisan yang pewarisannya dari generasi ke generasi secara lisan
maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat dari mulut ke mulut lambat
laun dapat saja mengalami pergeseran dari wujud aslinya. Perubahan dari wujud
aslinya tradisi lisan dalam suatu etnik salah satunya dipengaruhi oleh
perkembangan zaman.
Kemampuan tradisi lisan untuk melingkupi segala sendi kehidupan manusia
membuktikan bahwa nenek moyang kita sebagai bangsa Indonesia pada masa
lampau telah mengenal ajaran kehidupan yang terkandung dalam tradisi lisan
yang dapat ditemui di seluruh daerah di nusantara. Oleh karena itu, yang menjadi
tanggung jawab kita sebagai penikmat sekaligus pewaris adalah bagaimana
mendapatkan warisan leluhur itu sebagai salah satu kekayaan yang perlu
diwariskan, dipahami, dinikmati, dan dijadikan renungan dalam kehidupan. Upaya
tersebut dapat dimaknai sebagai pengungkap tirai kehidupan masa lampau untuk
tempat bercermin generasi bangsa pada kehidupan masa sekarang maupun masa
yang akan datang. Kegiatan yang demikian dapat mengingatkan kembali kepada
generasi muda untuk mengetahui budayanya yang silam.
Tradisi lisan yang ada pada suatu etnik mempunyai bentuk yang berbeda
dengan enik yang lainnya. Bruvand dalam Dananjaja (2007: 21) mengemukakan
bahwa tradisi lisan mempunyai tiga bentuk yaitu bentuk yang lisan (verbal
material (non verbal folklore). Secara umum, fungsi dari unsur tradisi lisan
adalah untuk memuaskan sebentuk rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri
kehidupan masyarakat pendukungnya. Dengan demikian, pemenuhan tujuan akan
suatu tradisi lisan sesungguhnya terletak pada kemampuan masyarakatnya untuk
memenuhi kebutuhan disepanjang zaman. Tradisi lisan merujuk kepada segala
bentuk warisan dan tradisi yang lahir dalam suatu kelompok masyarakat pada
masa lampau yang diwariskan secara turun temurun sehingga tidak mengherankan
setiap etnik yang masih bersifat tradisional nusantara masih mempunyai tradisi.
Di Provinsi Sulawesi Tenggara terdapat 32 etnik dengan lima etnik yang
mayoritas. Kelima etnik yang mayoritas tersebut adalah Muna, Wolio, Bugis,
Mornene dan Tolaki dengan ciri budaya masing-masing. Namun sangat
disayangkan banyak generasi muda hampir tidak mengenal lagi asal-usul tradisi
daerahnya. Hal tersebut terjadi karena pengaruh perkembangan zaman serta
pewarisannya dari mulut ke mulut, sehingga lambat laun akan menyimpang dari
wujud aslinya bahkan tidak menutup kemungkinan akan punah.
Salah satu tradisi lisan yang masih hidup di dalam etnik Muna adalah tradisi
menanam jagung bagi masyarakat yang bermata pencaharian petani yang bersifat
tradisional. Di dalam tradisi tersebut, ada mantra tertentu sebagai syarat sah
jalannya upacara. Namun, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa dengan
perkembangan zaman tradisi tersebut mengalami kepunahan. Oleh karena itu,
perlu mendapatkan perhatian yang serius dari masyarakat pendukungnya,
pemerintah setempat, maupun pemerintah pusat. Salah satu lembaga pusat yang
memberikan perhatinnya terhapat tradisi yang ada di nusantara adalah Asosiasi
Tradisi Lisan (ATL). Asosiasi Tradisi Lisan lahir atas kekawatiran para
budayawan terhadap generasi muda yang seiring akan perkembangan zaman
melupakan tradisi daerahnya. Oleh karena itu, upaya tersebut merupakan salah
satu upaya untuk menyelematkan tradisi daerah dari kepunahan. Generasi
mudalah sebagai penerima dan penerus tongkat estafet yang dapat
Harmin, 2013
etnik Muna sangat beragam jenisnya, diantaranya mantra mendirikan rumah,
mantra Kaasi (mantra untuk memikat lawan jenis), mantra berdagang, mantra
berpergian jauh dan lainnya. Keberagaman jenis mantra tersebut terletak pada
fungsi dan penggunaannya. Etnik Muna sebagain besar bermata pencaharian
sebagai petani tradisonal sangat berpegang teguh pada warisan nenek moyangnya.
Hal tersebut terlihat hampir setiap aktivitas pertanian mulai dari pembukaan lahan
sampai dengan pesta panen tidak terlepas kehadiran mantra. Mantra sebagai suatu
sistem kepercayaan atau keyakinan sebagai hasil ekspresi kejiwaan yang
dilakukan dengan bentuk perbuatan sebagai suatu ungkapan perasaan dan pola
hidup yang ada hubungannya dengan kehidupan manusia. Berdasarkan hal
tersebut, kebudayaan yang berkepribadian dan berkesadaran nasional perlu
ditumbuhkembangkan dalam rangka mendukung proses pembangunan.
Menanam jagung adalah salah satu mata pencaharian masyarakat Muna
dalam melangsungkan kehidupannya. Di dalam mata pencaharian tersebut tidak
terlepas dari tanggung jawab seorang parika (pawang kebun). Parika adalah
orang tua yang dipercayai oleh petani tradisonal masyarakat Muna sebagai petuah
dan mengetahui seluk beluk dalam kegiatan membuka lahan, menentukan waktu
tanam yang baik serta mantra-mantra yang digunakan dalam setiap aktivitas
tersebut.
Mantra dalam menanam jagung maupun mantra lainnya yang hidup dalam
etnik Muna tidak diberikan atau diajarkan kepada sembarang orang begitu saja.
Orang yang ingin mempelajari atau memiliki mantra wajib memenuhi persyaratan
tertentu, namun tidak semua orang mampu memenuhinya. Seseorang dapat
dijadikan parika jagung tidaklah mudah. Oleh karena itu, seorang parika Jagung
harus memenuhi berbagai syarat tertentu.
Salah satu syarat mutlak yang harus dipenuhi agar seorang dapat diangkat
atau dijadikan sebagai parika jagung adalah orang yang mampu menjaga tutur
kata dalam setiap pergaulan dalam masyarakat serta dapat menentukan hari yang
baik dan tidak baik dalam sebulan, seminggu atau paling tidak selama 24 jam
kotika. Pande kutika adalah orang pintar yang dapat menentukan hari yang baik
atau tepat untuk melaksanakan aktivitas pertanian.
Perlu adanya pelestarian sastra daerah terutama mantra bertani jagung dalam
tradisi menanam jagung sebagai bentuk kekayan daerah yang bernilai tinggi
dalam menunjang kehidupan di masa yang akan datang. Selain sebagai salah satu
bentuk pelestarian sastra klasik (puisi lama), dengan adanya penelitian dapat
memberikan kontribusi terhadap pembelajaran terutama perkembangan sastra
daerah dalam pemenuhan materi pada jenjang pendidikan SMA. Pembelajaran
puisi lama di SMA kelas XII berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) memuat standar kompetensi mengungkapan tanggapan terhadap
pembacaan puisi lama.
Penelitian tentang mantra dalam masyarakat Muna khususnya masyarakat
Kecamatan Kabawo pernah dilakukan oleh Harmin (2011) dengan judul Makna,
Tujuan dan Fungsi Mantra Bercocok Tanam Jagung Masyarakat Muna di
Kecamatan Kabawo. Pada penelitian tersebut, dikemukakan tentang makna
mantra bercocok tanam jagung, tujuannya serta fungsinya tanpa mengungkapkan
tradisi menanam jagung yang disertai proses pembacaan mantra dan analisis
kajian struktur, konteks penuturan, proses penciptaannya serta model
pembelajarannya di sekolah yang terutama pada jenjang Sekolah Menegah Atas
(SMA). Oleh karena itu, dengan diadakannya penelitian lanjutan ini, dapat
diungkapkan secara keseluruhan proses bertani jagung masyarakat Muna yang
bermata pencaharian sebagai petani yang masih bersifat tradisonal kepada
generasi muda pada masa yang akan datang.
Berdasarkan kenyataan yang ada tersebut, maka dirasa perlu menyelami
Harmin, 2013
B. Rumusan Masalah Penelitian
Dari uraian latar belakang dan batasan masalah yang telah dikemukakan
sebelumnya, maka yang menjadi masalah penelitian yang akan diteliti dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana tradisi bertani jagung masyarakat Muna?
2. Bagaimana struktur bertani jagung pada masyarakat Muna?
3. Bagaimana struktur mantra dalam tradisi bertani jagung oleh masyarakat
Muna?
4. Bagaimana konteks penuturan dalam tradisi bertani jagung oleh
masyarakat Muna?
5. Bagaimana proses penciptaan mantra dalam tradisi bertani jagung oleh
masyarakat Muna?
6. Adakah fungsi mantra dalam tradisi bertani jagung bagi masyarakat
Muna?
7. Bagaimana model pembelajaran puisi lama di SMA dengan memanfaatkan
kajian mantra dalam tradisi bertani jagung?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan
penelitian ini secara umum adalah untuk melestarikan salah satu budaya daerah
yang hampir terlupakan oleh generasi muda, sedangkan tujuan secara khususnya
adalah untuk mendeskripsikan:
1. tradisi bertani jagung masyarakat Muna
2. struktur bertani jagung oleh masyarakat Muna
3. struktur mantra dalam tradisi bertani jagung oleh masyarakat Muna
4. konteks penuturan mantra dalam tradisi bertani jagung oleh masyarakat
Muna yang bersifat tradisional.
5. proses penciptaan mantra dalam tradisi bertani jagung oleh masyarakat
Muna yang bersifat tradisional.
6. fungsi mantra dalam tradisi bertani jagung oleh masyarakat Muna yang
7. model pembelajaran puisi lama di SMA dengan memanfaatkan kajian
mantra dalam tradisi bertani jagung.
D. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat. Manfaat yang
diharapkan setelah diadakan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Manfaat secara teoretis
Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan
ilmu budaya, khususnya sastra lisan yang salah satu bagiannya adalah mantra.
Hal tersebut sangat penting karena dapat dijadikan sebagai referensi penelitian
yang relevan dengan penelitin ini maupun penelitian-penelitian selanjutnya.
2. Manfaat praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai
berikut:
a. dapat menumbuhkan semangat generasi muda untuk terus melestarikan
budaya bangsa yang sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidup di
masyarakat.
b. dapat menumbuhkan rasa kepemilikan budaya kepada generasi muda yang
masih berjiwa labil dalam menghadapi perkembanagan zaman.
c. bagi para guru sastra, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai
salah satu acuan dalam proses pembelajaran sastra daerah atau sastra lisan.
E. Defenisi Operasional
Untuk memudahkan pemahaman dalam penelitian, maka di bawah ini
akan dipaparkan beberapa defenisi operasional sebagai berikut.
1. Kajian struktur adalah telaah tahapan-tahapan kegiatan dan mantra bertani
Harmin, 2013
2. Konteks penuturan adalah latar tempat situasi atau keadaan yang
memungkinkan penuturan mantra dalam tradisi bertani jagung berlangsung
oleh parika jagung.
3. Proses penciptaan adalah upaya atau usaha masyarakat Muna terutama
parika jagung dalam melahirkan mantra dalam kegiatan bertani jagung.
4. Fungsi adalah kebermanfaatan mantra dalam tradisi bertani jagung itu
sendiri terhadap masyarakat masyarakat Muna yang bermata pencaharian
sebagai petani jagung.
5. Model pembelajaran adalah suatu pola atau cara untuk membelajarkan
kegiatan bertani jagung beserta mantranya pada jenjang pendidikan
Sekolah Menengah Atas (SMA).
F. Asumsi Penelitian
Asumsi penelitian yang akan digunakan dan menjadi pedoman dalam
peneitian adalah sebagai berikut.
1. Mantra dalam tradisi bertani jagung adalah salah satu unsur budaya dan pula
dapat dikatakan sebagai folklor sebagian lisan oleh masyarakat Muna yang
ikut memperkaya khazanah kebudayaan nasional.
2. Mantra dalam tradisi bertani jagung mengandung nilai-nilai religi,
pendidikan, sejarah, sosial budaya masyarakat Muna yang bermata
pencaharian sebagai petani tradisional. Hal tersebut sangat perlu
dipertahankan demi menjaga kepunahanya seiring dengan perkembangan
zaman.
3. Salah satu upaya dalam melestarikan tradisi yang ada pada etnik Muna
khususnya mantra dalam tradisi bertani jagung dengan jalan
mendokumentasikan seperti dalam bentuk buku serta mengintegrasikan
nilai-nilai religi, pendidikan, sejarah, sosial budaya yang terkandung mantra
dalam tradisi menanam jagung ke dalam proses pembelajaran khususnya
dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
Penelitian yang relevan yang sebelumnya sudah dilakukan adalah penelitian
yang dilakukan oleh Wahidin (2010) dalam bentuk skripsi yang mengambil objek
kajiannya pada Mantra Kaasi Masyarakat Muna, yaitu jenis mantra tradisional
masyarakat Muna yang memfokuskan kajiannya pada bidang makna, tujuan, dan
fungsinya. Di dalam kajian penelitian tersebut dipaparkan beberapa mantra kaasi
yang milik masyarakat Muna yang sering dipakai para pejabat, pemuda maupun
para orang tua yang sesuai dengan konteks dan situasinya.
Selain itu, ada penelitian lain lagi yaitu, penelitian yang dilakukan oleh
Munandar (2011) dalam bentuk skripsi yang mengambil objek kajian
penelitiannya Mantra Mendirikan Rumah Masyarakat Muna dengan fokus kajian
pada bidang makna, tujuan dan fungsinya pula. Nazriani (2012) dengan judul
Mantra dalam Upacara Pesondo: Tradisi Lisan Masyarakat Kulisusu Kabupaten
Buton Utara Provinsi Sulawesi Tenggara (Kajian Struktur Teks, Konteks, Proses
Harmin, 2013
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Ada dua jenis metode penelitian, yaitu penelitian kuantitatif dan kualitatif.
Metode penelitian kuantitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada
filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu,
pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat
kuantitatif/statistik, dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan.
Lebih lanjut lagi bahwa penelitian kualititatif adalah metode penelitian yang
berlandaskan pada filsafat postpositivisme yang digunakan untuk meneliti pada
kondisi objek yang alamiah (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana
peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan
secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil
penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi (Sugiyono,
2011: 8-9).
Berangkat dari kedua metode penelitian tersebut, penelitian ini adalah
penelitian folkor setengah lisan yaitu tentang tradisi menanam jagung masyarakat
Muna beserta segala keperluan yang dibutuhkan dalam kegiatan menanam
tersebut, sehingga peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif untuk
mendeskripsikan fakta-fakta yang ditemukan di lapangan penelitian berdasarkan
apa adanya.
B. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data penelitian tentang mantra dalam tradisi menanam
jagung masyarakat Muna pada bidang kajian struktur, konteks penuturan, proses
penciptaan dan fungsinya, peneliti menggunakan sejumlah teknik, yaitu sebagai
Harmin, 2013
Tradisi Bertani Jagung Masyarakat Muna 1. Observasi
Nasution (1987: 141) mengemukakan bahwa secara garis besarnya,
observasi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan partisipasi
pengamat jadi partisipan dan tanpa partisipasi pengamat jadi sebagai
non-partisipan. Berdasarkan hal tersebut, dalam penelitian ini, peneliti sebagai
partisipan yang artinya bahwa peneliti merupakan bagian dari kelompok
yang diteliti yang berupa rangkaian kegiatan bertani jagung.
2. Wawancara
Sebagaimana yang dikemukakan Danandjaja (2007: 195) bahwa untuk
memperoleh bahan folklor pada umunmnya ada dua macam yaitu
wawancara yang terarah (directed) dan yang tidak terarah (non directed).
Wawancara tidak terarah adalah wawancara yang bersifat bebas atau santai
dan memberikan kesempatan sebesar-besarnya kepada informan untuk
memberikan keterangan yang ditanyakan. Setelah mendapatkan gambaran
umum yang diteliti melalui wawancara tidak terarah, langkah selanjutnya
adalah melakukan wawancara terarah yaitu wawancara yang dalam bentuk
pertanyaan yang diajukan pada informan sudah tersusun sebelumnya dalam
bentuk suatu daftar tertulis
Ada pun instrumen wawancara yang akan digunakan peneliti sebagai
rujukan pertanyaan awal untuk diajukan terhadap informan adalah sebagai
berikut:
INSTRUMEN WAWANCARA
Identitas Informan
Harmin, 2013 Kedudukan dalam Masyarakat : ... Alamat : ...
Tempat dan Waktu : __________, Tanggal___/Jam___
No Daftar Pertanyaan Wawancara
1
Apakah benar Bapak etnik Muna asli? Jawab:
2
Menurut informasi masyarakat di tempat ini, benarkah Bapak seorang parika jagung?
Jawab:
4
Kapan Bapak mulai menjadi parika jagung? Jawab:
5
Siapa saja yang berhak untuk mewariskan mantra tradisi bertani jagung? Jawab:
6
Siapa yang mengajarkan mantra dalam tradisi bertani jagung kepada Bapak? Jawab:
7
Bagaimana proses belajar/diajarkannya mantra dalam tradisi bertani jagung? Jawab:
8
Apakah ada syarat tertentu dalam belajar mantra dalam tradisi bertani jagung?
Jawab:
9
Apakah ada waktu-waktu khusus/sakral yang digunakan dalam kegiatan bertani jagung beserta mantra-mantranya?
Jawab:
10
Bagaimana struktur atau tahapan-tahapan kegiatan bertani jagung masyarakat Muna?
Harmin, 2013
Tradisi Bertani Jagung Masyarakat Muna
11
Apakah dalam membuka lahan sampai pascapanen membutuhkan bahasa tertentu dalam tradisi bertani jagung?
Jawab:
12
Apakah dalam mengajarkan atau mewariskan mantra dalam tradisi bertani jagung, ada syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi?
Jawab:
13
Apakah ada tingkatan umur tertentu yang harus menggunakan/belajar mantra dalam tradisi bertani jagung?
Apakah penggunan mantra mantra dalam tradisi bertani jagung tidak bertentangan dengan ajaran agama masyarakat setempat?
Jawab:
16
Bagaimana tahapan-tahapan kegiatan dalam bertani jagung masyarakat Muna?
Jawab:
17
Apakah dalam setiap tahapan-tahapan dalam kegiatan tradisi bertani jagung membutuhkan mantra sebagai penyertanya?
Jawab:
18
Apa saja hama dan penyakit yang sering mengganggu tanaman jagung? Jawab:
Apa saja pantangan dalam bertani jagung masyarakat Muna? Jawab:
21
Bagaimana bunyi mantra-mantra dalam tradisi bertani jagung pada setiap tahapan penuturannya?
Harmin, 2013
3. Simak
Teknik simak digunakan ketika proses wawancara berlangsung, sebagai
partisipan, peneliti menyimak berbagai hal yang diperlukan dalam persiapan
menanan jagung sampai panen beserta mantra yang digunakan masyarakat
petani tradisional masyarakat Muna.
4. Teknik Catat
Teknik catat digunakan untuk mencatat hal-hal yang berkaitan dengan
kegiatan bertani jagung beserta mantra-mantranya mulai dari pembukaan
lahan, penanaman, penanggulangan penyakit, pemeliharaan dan pemanenan
serta data-data pendukung penelitian yang lainnya. Catatan lapangan
digunakan untuk mencatat bagian-bagian penting dari observasi dan
wawancara yang dianggap mempengaruhi hasil pengumpulan data yang
diperlukan dalam penelitian yang dilakukan.
5. Dokumentasi
Data ini diperoleh saat proses observasi dan wawancara yang dilakukan saat
penelitian berupa perekaman tuturan mantra yang digunakan parika jagung
serta hal lain yang mendukung kegiatan penelitian yang dilakukan oleh
peneliti yang disertai dengan foto-fotonya. Perekaman digunakan untuk
menghindari kekaburan atau kesalahan penulisan mantra-mantra ketika
wawancara berlangsung.
C. Data dan Sumber Data Penelitian
Sumber data penelitian ini adalah informan/parika jagung yang berjumlah 5
(lima) orang dan telah dipercayai oleh masyarakat dan mengetahui tentang
Harmin, 2013
Tradisi Bertani Jagung Masyarakat Muna
Kabupaten Muna. Dalam pemilihan informan menggunakan kriteria sebagai
berikut:
1. parika jagung yang sangat berperan atau dipercayai oleh masyarakat,
2. tidak mengalami gangguan kejiwaan,
3. memiliki cukup waktu untuk memberikan informasi yang dibutuhkan,
4. bersifat terbuka dan tidak merasa kaku dalam memberikan informasi yang
dibutuhkan.
D. Teknik Analisis Data
Data dalam penelitian ini dianalisis secara deskripitif kualitatif. Data
dideskripsikan dalam bentuk kata-kata atau kalimat yakni menguraikan
struktur kegiatan bertani jagung, struktur teks, konteks penuturan, proses
penciptaan, dan fungsi mantra parika jagung masyarakat Muna mulai dari
pembukaan lahan, pemeliharaaan tanaman sampai dengan pascapanen serta
model pembelajarannya di sekolah terutama pada jenjang SMA (Sekolah
Menegah Atas).
Analisis data menggunakan pendekatan struktural yaitu pendekatan yang
memandang karya sastra terdiri atas seperangkat struktur yang berkaitan satu
sama lainnya dan bersifat otonom. Ada pun prosedurnya adalah sebagai
berikut:
1. mengklasifikasikan data;
2. penyajian data yaitu menyajikan data penelitian berdasarkan klasifikasi
yang sudah diambil dari informan yang telah menuturkan mantra dalam
tradisi bertani jagung;
3. mengubah mantra dalam tradisi bertani jagung yang dari bentuk lisan ke
dalam tulisan.
4. Menerjemahkan hasil wawancara dari bahasa daerah Muna ke dalam teks
Harmin, 2013
5. Analisis struktur bertani jagung, struktur mantra bertani jagung, konteks
penuturan mantra bertani jagung, proses penciptaan mantra bertani jagung,
dan fungsi mantra bertani jagung;
6. Merancang model pembelajaran kontekstual dalam kegiatan bertani
bertani jagung pada jenjang SMA (Sekolah Menengah Atas);
7. Menarik simpulan penelitian.
E. Pedoman Analisis
Pedoman analIsis: Tradisi Bertani Jagung Masyaraat Muna (Kajian Struktur Kegiatan Bertani, Struktur Teks, Konteks Penuturan, Proses penciptaan dan Fungsi Mantra serta Model pembelajarannya di SMA)
No Tujuan penelitian Data temuan Pedoman analisis
1 materi ajar puisi lama di sekolah.
Harmin, 2013
Harmin, 2013
F. Alur Penelitian
Masalah Penelitian
Tujuan Penelitian
Landasan Teoretis
Metodologi Penelitian
Observasi, Simak Catatan Lapangan
Wawancara
Data Penelitian Klasifikasi Data
Analisis Data Penyusunan
Model Pembelajaran
Struktur
Konteks
Proses
Fungsi
Pembacaan puisi
Harmin, 2013
BAB V
MODEL PEMBELAJARAN TRADISI BERTANI JAGUNG MASYARAKAT MUNA DI SMA
A. Pengantar
Pada bagian Bab 4 membahas tentang identitas daerah, keadaan masyarakat,
kebudayaan dan kepercayaan masyarakat, rangkain kegiatan bertani jagung dan
mantranya serta berbagai pantangan yang harus dihindari, maka bagian Bab 5 ini
akan dibahas tentang model pembelajaran tradisi bertani jagung masyarakat Muna
tersebut pada jenjang pendidikan formal yang terutama pada jenjang Sekolah
Menengah Atas (SMA) dan pendidikan nonformal.
B. Model Pembelajaran Tradisi Bertani Jagung di SMA
1. Model Pembelajaran Mantra Bertani Jagung sebagai Puisi Lama di SMA
Membahas secara jauh istilah sastra terutama dalam mantra sebagai puisi
lama, maka kita akan dihadapkan dengan begitu banyaknya batasan sastra yang
dikemukakan oleh para ahli. Meskipun batasan-batasan itu tidak sepenuhnya
memuaskan karena masing-masing ahli memberi batasan dengan versinya
masing-masing, akan tetapi pada umumnya mantra sebagai puisi lama merupakan
gambaran kehidupan manusia dalam kurun waktu tertentu. Pendidikan adalah
salah satu mata rantai sistem pembangunan nasional yang berorientasi pada usaha
pembinaan dan pengembangan manusia yang pada gilirannya akan mempunyai
peranan untuk turut serta dalam pembangunan. Sektor pendidikan sebagai bagian
tumpuan harapan bangsa dapat diletakan untuk melahirkan manusia yang
berkualitas.
Di dalam interaksi belajar sastra terjadi proses yang memungkinkan
terjadinya pengenalan, pemahaman, penghayatan, penikmatan terhadap karya
sastra, hingga akhirnya siswa mampu menerapkan temuannya dalam kehidupan
nyata. Siswa diharapkan dapat memperoleh manfaat dari karya sastra yang
mengenal dan melestarikan budaya atau tradisi daerahnya. Upaya pengenalan dan
pelestarian tradisi daerah tidak terlepas dari peran guru dan keikutasertaan siswa.
Pendidikan adalah salah satu unsur kebudayaan dan peradaban masyarakat suatu
bangsa. Sebagai bagian dari budaya, pendidikan sifatnya selalu dinamis sesuai
dengan perkembangan masyarakatnya. Untuk mengatasi itu, usaha penanaman
budaya atau tradisi daerah kepada siswa akan budaya daerahnya perlu ditanamkan
sejak dini.
Mantra bertani jagung masyarakat Muna sebagai puisi lama yang
merupakan hasil kreasi seni yang imajinatif para leluhur masyarakat Muna sendiri
dalam kegiatan bertani jagung. Oleh karena itu, sebagai generasi muda
masyarakat Muna sudah sepatutnya mewariskan budaya tersebut kepada generasi
selanjutnya terutama melalui bangku pendidikan. Upaya pewarisan budaya
tersebut yang salah satunya dapat dilakukan dengan pembuatan model
pembelajarannya yang pada gilirannya akan diajarkan pada siswa. Hal tersebut
dianggap penting sebagai pintu atau jalan masuk bagi pembelajaran mantra
bertani jagung sebagai puisi lama pada jenjang pendidikan.
Pengenalan tradisi bertani dalam tradisi masyarakat Muna melalui
pembelajaran penting mengingat sasaran pembelajaran itu sendiri adalah generasi
muda sebagai penerus bangsa. Salah satu langkah yang dapat ditempuh adalah
pembuatan model pembejaran. Seorang guru yang bertindak sebagai penunjuk
jalan bagi siswanya dalam menemukan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai
kehidupan, dibutuhkan kreativitas untuk mengintegrasikan nilai-nilai budaya
bangsa kepada siswa. Pada mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, terutama
pada aspek kesastraan, tradisi-tradisi masyarakat yang berbentuk sastra lisan
sudah mendapatkan porsinya dalam pembelajaran dan sudah berbentuk silabus.
Bentuk sastra lisan yang telah masuk dalam silabus, misalnya pembelajaran
tentang prosa lama dan puisi lama serta jenis-jenisnya. Dalam silabus, baik SMP
maupun SMA, pengajaran sastra lisan (sastra lama) telah ada, dalam bentuk
Harmin, 2013
Mantra bertani jagung dalam masyarakat Muna sebagai salah satu tradisi
yang berbentuk sastra lisan yang merupakan salah satu bagian dari puisi lama
perlu diperkenalkan dan diajarkan kepada siswa di sekolah melalui mata pelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia. Oleh karena itu, bentuk bahan ajar untuk
mengajarkan mantra bertani jagung perlu dirancang dan diajarkan kepada siswa
melalui suatu model pembelajaran sesuai dengan silabus yang ada.
Dalam pembelajaran, mantra bertani jagung diajarkan sebagai bagian dari
sastra lisan yang berbentuk puisi lama. Hal tersebut berdasarkan silabus yang ada
dalam kurikulum pembelajaran pendidikan bahasa dan sastra Indonesia. Untuk
lebih jelasnya, pada bagian berikut ini dipaparkan sebuah bentuk silabus dan
bentuk RPP pembelajaran puisi lama pada mata pelajaran Bahasa dan Sastra
SILABUS PEMBELAJARAN
Nama Sekolah : SMA/MA
Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia
Kelas : XII
Semester : Satu
Standar Kompetensi : Berbicara
6. Mengungkapkan pendapat tentang pembacaan puisi
Kompetensi Dasar
Materi Pembelajaran
Kegiatan
Pembelajaran Indikator Penilaian
Alokasi
Harmin, 2013
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)
Nama Sekolah : SMA Negeri 1 Kabawo
Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia dan Sastra Indonesia
Kelas : XII
Semester : 1
Alokasi Waktu : 2 x 45 menit
Aspek Berbicara
1. Standar Kompetensi
6. Mengungkapkan pendapat tentang pembacaan puisi
2. Kompetensi Dasar
6.1 Menanggapi pembacaan puisi lama tentang lafal, intonasi, dan ekspresi
yang tepat.
Indikator
a. Mampu membacakan mantra bertani jagung sebagai puisi lama di depan
teman-teman dengan lafal, intonasi, dan ekspresi yang sesuai.
b. Menanggapi pembacaan mantra bertani jagung sebagai puisi lama tentang
lafal, intonasi, dan ekspresi yang tepat.
3. Materi Pembelajaran
a. Mantra dalam tradisi bertani jagung masyarakat Muna sebagai salah satu
puisi lama puisi lama.
b. Menanggapi pembacaan puisi dari segi: lafal, intonasi, dan ekspresi.
4. Model Pembelajaran
Model pembelajaran yang digunakan dalam kegiatan pembacaan mantra
bertani jagung masyarakat Muna sebagai puisi lama adalah model tampil dan
dinilai dengan kerangka pendekatan pembelajaran CTL (Contextual Teaching
5. Kegiatan Pembelajaran
a. Kegiatan awal (10 menit)
- Salam pembuka dan flash back
- Guru menyampaikan informasi tentang standar kompetensi (SK) dan
kompetensi dasar (KD) serta tujuan pembelajaran yang hendak dicapai
b. Kegiatan inti (30 menit)
- Guru membagikan lembaran wacana (handout) kepada siswa yang
berisi tentang konsep umum mantra bertani jagung sebagai puisi lama.
Mantra tersebut terdiri dari beberapa bagian berdasarkan tahapan
dalam kegiatan bertani jagung. Siswa mempelajari dan bertanya
berkaitan dengan isi handout
- siswa membaca dan memahami mantra bertani jagung yang dibagikan
oleh guru
- Guru memberikan salah satu contoh rekaman tentang pembacaan puisi
mantra kepada yang tepat kepada siswa.
- Guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok dan salah satu
diantaranya bertindak sebagai ketua kelompok.
- Perwakilan kelompok dapat tampil membackan puisi mantra bertani
jagung di depan kelas dan siswa.
- Siswa secara bergantian untuk tampil di depan kelas untuk
mewakilkan kelompoknya.
- Setiap kelompok mendapat satu kali kesempatan untuk memberi
tanggapan singkat dan penilaian terhadap setiap tampilan
- Guru juga memberi tanggapan singkat dan penilaian terhadap setiap
tampilan siswa, lalu mengapresiasinya
- Siswa mengumpulkan format penilaian yang telah diisi.
c. Kegiatan akhir (5 menit)
Harmin, 2013
- Guru memberikan tugas: setiap siswa mencari dan menulis mantra
bertani jagung dalam lingkungan masing-masing, lalu dikumpulkan
pada pertemuan selanjutnya
- Guru menutup pembelajaran.
6. Media dan Sumber Belajar
a. Media
- Rekaman mantra bertani jagung
- Lembar Kerja Siswa (LKS)
- Radio
b. Sumber
- Handout tradisi bertani jagung masyarakat Muna
- Buku teks mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
7. Penilaian
Penilaian dapat dilakukan dengan meberikan lembaran penilaian kepada
siswa. Adapun jenis penilaiannya adalah tugas individu dan berbentuk
performansi dengan butir soal evaluasinya. Adapun butir soal yang dimaksud
adalah sebagai berikut.
1. Bacalah salah satu teks mantra bertani jagung sebagai puisi lama salah di
depan teman-temanmu/di depan kelas dengan memperhatikan lafal,
intonasi, dan ekspresi yang tepat!
2. Tanggapi dan berikanlah penilaian mengenai penampilan temanmu yang
berkaitan dengan aspek pelafalan, intonasi, dan ekspresinya!
Pedoman penilaian
No Aspek Deskriptor Skor Skor
Maksimal
1 Lafal
a. Siswa dapat membacakan mantra
bertani jagung sebagai
pembelajaran puisi lama dengan
lafal yang tepat
b. Siswa dapat membacakan mantra
bertani jagung sebagai
pembelajaran puisi lama dengan
lafal yang kurang tepat
c. Siswa dapat membacakan mantra
bertani jagung sebagai
a. Siswa dapat membacakan mantra
bertani jagung sebagai
pembelajaran puisi lama dengan
intonasi yang tepat
b. Siswa dapat membacakan mantra
bertani jagung sebagai
pembelajaran puisi lama dengan
intonasi yang kurang tepat
c. Siswa dapat membacakan mantra
bertani jagung sebagai
a. Siswa dapat membacakan mantra
bertani jagung sebagai
pembelajaran puisi lama dengan
ekspresi yang tepat
b. Siswa dapat membacakan mantra
bertani jagung sebagai
pembelajaran puisi lama dengan
ekspresi yang kurang tepat
c. Siswa dapat membacakan mantra
3
2
Harmin, 2013
pembelajaran puisi lama dengan
ekspresi yang tidak tepat
Guru dan siswa yang menilai : Aspek yang dinilai :
No Aspek Penilaian Penampilan Skor
1 Lafal 2 Intonasi 3 Ekspresi
Jumlah Skor
Tanggapan siswa:
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
2. Model Pembelajaran Pementasan Drama di SMA
Selain model pembelajaran dalam bentuk mantra sebagai puisi lama, tradisi
bertani jagung masyarakat Muna dapat pula dilakukan dalam model yang lain.
Salah satunya adalah dalam bentuk pementasan drama. Kegiatan tersebut
berpedoman pada kurikulum yang berlaku yang diajarkan pada jenjang SMA
pula. Di dalam kurikulum tersebut terdapat pembelajaran drama dengan strandar
kompetensi memerankan tokoh dalam pementasan drama serta kompetensi dasar
menyampaikan dialog disertai gerak-gerik dan mimik, sesuai dengan watak tokoh.
Berdasarkan silabus tersebut dapat dibuat suatu skenario model pembelajaran
dengan membuat sebuah Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang akan
dijarkan. Berdasarkan hal tersebut model pembelajaran yang kontekstual sangat
perlu untuk dilakukan.
Model pembelajaran kontekstual adalah suatu pendekatan pembelajaran
yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat
menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi
kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam
kehidupan mereka. Hal pokok dalam pementasan drama adalah menyampaikan
sebuah cerita umumnya mengenai kemanusiaan atau lingkungan dengan
menggunakan dialog atau gerak sebagai alat untuk diperankan aktor di atas
panggung. Dari hal tersebut, maka model pembelajaran dengan pementasan drama
ini mengambil suatu latar tentang kegiatan bertani jagung. Adapun silabus dan
Rancangan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran yang dimaksud adalah sebagai
SILABUS PEMBELAJARAN
Nama Sekolah : SMA/MA ... Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia
Kelas : XI
Semester : 1
Standar Kompetensi : Berbicara
6. Memerankan tokoh dalam pementasan drama
Harmin, 2013
Berdasarkan silabus tersebut dapat dibuat rancangan Pelaksanaan
pembelajaran (RPP). Adapun rancangan rencana pelaksanaan pembelajaran
dengan memanfaatkan tradisi bertani jagung masyarakat Muna adalah sebagai
berikut:
Rancangan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
Nama Sekolah : SMA Negeri 1 Kabawo
Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia dan Sastra Indonesia Kelas/Semester : XI/I
Alokasi Waktu : 6 x 45 menit (3 x pertemuan)
1. Standar Kompetensi
6. Memerankan tokoh dalam pementasan drama
2. Komptensi Dasar
6.1 Menyampaikan dialog disertai gerak-gerik dan mimik, sesuai dengan
watak tokoh
3. Indikator
a. Memerankan drama kegiatan yang bertani jagung dengan gerak-gerik yang
tepat
b. Memerankan drama bertani jagung dengan lafal; intonasi, dan nada yang
jelas
c. Mengepresikan watak tokoh dalam bertani jagung dengan mimik yang
tepat
4. Tujuan pembelajaran
a. Siswa mampu memerankan drama bertani jagung dengan gerak-gerik yang
tepat
b. Siswa mampu memerankan drama bertani jagung dengan lafal; intonasi,
c. Siswa mampu mengepresikan watak tokoh bertani jagung dengan mimik
yang tepat
5. Materi Pokok
a. Naskah drama
b. gerak (action)
c. mimik/ pantomimik
d. tata panggung
e. tata busana
f. tata bunyi
g. tata lampu
6. Langkah-langkah Kegiatan Pembelajaran
- Pertemuan Pertama
a. Kagiatan Awal
1) Guru dan siswa saling memberi salam
2) Guru mengecek kehadiran siswa
b. Kegiatan Inti
1) Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan diajarkan
2) Guru bercerita tentang ramgkaian kegiatan bertani jagung masyarakat
Muna
3) Guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok secara acak
4) Guru memberikan kesempatan siswa untuk menamai kelompoknya
masing-masing
5) Guru membagikan contoh naskah drama kepada masing-masing
kelompok
6) Siswa membaca dan memahami naskah drama yang dibagikan guru
Harmin, 2013
7) Guru memberikan tugas kepada siswa secara berkelompok untuk
membuat naskah drama dengan topik kegiatan bertani jagung
masyarakat Muna.
c. Kegiatan akhir
1) Guru dan siswa bertanya jawab kejelasan tugas yang diberikan
2) Guru menutup pelajaran dan mengucapkan salam
- Pertemuan Kedua
a. Kegiatan Awal
1) Guru dan siswa saling memberi salam
2) Guru mengecek kehadiran siswa
3) Guru dan siswa bertanya jawab tentang materi pelajaran yang
diajarkan sebelumnya
b. Kegiatan Inti
1) Guru mengecek naskah drama yang dibuat siswa berdasarkan
kelompok yang ada
2) Guru dan siswa melakukan cabut lot, yang jatuh pertama nama
kelompoknya maka akan tampil untuk yang pertama, begitu seterusnya
sampai selesai
3) Kelompok yang mendapat giliran pertama tampil terlebih dahulu salah
seorang anggota kelompok membacakan sinopsis drama yang akan
dipentaskan dan setelah itu melakukan pementasan
4) Guru kelompok lain menyaksikan pementasan sambil memberikan
penilaian.
5) Setelah kelompok yang mendapat giliran pementasan yang pertama,
akan dilanjtkan tampilan kelompok berikutnya berdasarkan hasil cabut
6) Guru dan kelompok lain serta kelompok yang sudah melakukan
pementasan memberikan penilaian.
7) Guru dan siswa membicarakan hal-hal yang harus diperbaiki dalam
pementasan drama.
c. Kegiatan Akhir
1) Guru menyampaikan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
pementasan drama untuk yang akan tampil pada pertemuan berikutnya
2) Guru melakukan refleksi
3) Guru menutup pelajaran
- Pertemuan Ketiga
a. Kegiatan Awal
1) Guru dan siswa saling memberi salam
2) Guru mengecek kehadiran siswa
b. Kegiatan inti
1) Guru mempersilakan kelompok yang belum tampil untuk melakukan
pementasan drama berdasarkan hasil cabut lot yang sebelumnya
2) Guru dan kelompok lain melakukan penilaian
3) Guru dan siswa mengevaluasi naskah drama yang dibuat beserta
pementasannya yang telah dilakukan siswa secara keleluruhan.
c. Kegiatan Akhir
1) Guru dan siswa melakukan refleksi
2) Guru menyampaikan topik pelajaran untuk pertemuan berikutnya
3) Guru dan siswa saling memberikan salam
7. Media dan Sumber Belajar
a. Siswa
b. Naskah Drama
8. Evaluasi
Harmin, 2013
b. Tampilkan naskah drama tersebut di depan kelas dengan memperhatikan
gerak-gerik yang sesuai, lafal, intonasi, dan nada yang jelas, serta ekspresi
dan penghayatan watak tokoh!
c. Berikanlah penilaian terhadap kelompok yang mekalukan pementasan
drama!
9. Penilaian
a. Jenis Tagihan:
1) Tugas kelompok
2) Tugas individu
b. Bentuk Instrumen:
1) Unjuk kerja
2) Pedoman penilaian
Pedoman Penilaian I Secara Berkelompok
No Kegiatan pembelajaran Skor
1
Siswa menulis sebuah naskah drama tentang kegiatan bertani
jagung
2
Siswa mampu mementaskan naskah drama bertani jagung di
depan kelas secara berkelompok dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. Gerak-gerik yang sesuai
b. lafal, intonasi, dan nada yang jelas
c. ekspresi dan penghayatan watak tokoh
3
Kelompok siswa dapat memberikan tanggapan terhadap
kelompok yang tampil
Pedoman Penilaian II Secara Individu
No Nama
Siswa
Aspek yang dinilai
Jum
Gerak Lafal Intonasi Nada Ekspresi Penghayatan
1 ...
2 ...
3 ...
4 ...
dst ...
Salah satu upaya untuk tetap menjaga keaslian dari rangkaian kegiatan
bertani jagung masyarakat Muna pada masa yang akan datang, dapat dibuat suatu
pementasan drama pada suatu sanggar teater. Kegiatan pementasan tersebut
ditampilkan secara apa adanya rangkaian dalam kegaitan bertani dengan
menggunakan bahasa daerah Muna yang apa adanya dalam kegiatan bertani.
Judul : Katumbu Moghuri
Para Pemain :
1. Satu Orang Pawang Kebun
2. Dua Orang Petani Jagung (suami-istri)
Kegiatan pemetasan ini mengambil latar di lokasi kebun jagung dengan
umur tanaman jagung sekitar 60 hari sejak waktu tanam, pondok petani ketika
menjaga tanaman jagungnya dan rumah atau pondok pawang kebun. Di dalam
kebun jagung tersebut terdapat sebuah pondok petani beserta suami dan istri
petani serta seorang pawang kebun.
Adegan 1
Harmin, 2013
tempat untuk kegiatan hari-harinya, bagian yang kedua adalah lokasi kebun
jagung yang telah berumur sekitar 60 hari sejak waktu tanam dan bagian yang
ketiga adalah rumah atau pondok pawang kebun. Cerita diawali dengan petani
jagung menuju rumahnya/pondoknya pawang kebun berada dengan tujuan
meminta pawang kebun tersebut menentukan waktu yang tepat sekaligus
memanggilnya untuk melakukan kegiatan pemenanen awal pada jagung yang
ditanamnya.
Petani jagung:
(Mengucapkan salam kepada pawang kebun) Asalamu alaikum
Pawang kebun:
(Menjawab salam sambil mempersilakan petani jagung naik dan duduk di dalam pondoknya)
Wa alaikum salam
Petani jagung:
Netaahi bhara itu ponamisi?
Pawang kebun:
Umbe, pedahae bhahi?
Petani jagung:
Okamaihaku ini bhe patudhuku ne itu?
Pawang kebun:
Pedahae itu?
Petani jagung:
Kahitela netunggu-tungguku maitu ingka nopatamo umuruno nomofulugha, wakutuno hadae damalae kaghuri-ghurino, maka kamaihaku ini aesalo tulumi ne itu daelentu bhe damai datumandaki kanaue.
Sebantara deki bharangka
Pawang kebun menghitung waktu baik pada hari itu dengan menggunakan
jari-jari tangannya. Setelah melakukan perhitungan, dukun kebun melanjutkan
pembicaraanya
Pawang kebun:
Ingka tabea wakutu metahano gheitu ini rambi alumata sebantara itu
Petani jagung:
Umbe, bhe katolala bhara ne itu?
Dukun kebun:
Umbe
Petani jagung:
Ane namedamo anagha bhara ingka naembalimo hadae damopansuremo rampahano nomaho rambi alumata
Petani jagung:
umbe
Petani dan dukun kebun menuju kebun jagung dan lampu secara perlahan mulai
redup
Adengan 2
Sekitar pukul delapan pagi waktu setempat, dukun kebun dan petani telah
tiba di kebun jagung dan segera petani jagung tersebut mempersilakan kepada
dukun kebun untuk menuju penanaman atau kafematai yang pernah dilakukan.
Pawang kebun dibekali dengan parang atau pisau yang tajam untuk memotong
batang jagung yang dipanen di tempat penanaman awal serta keranjang berukuran
sedang yang digunakan untuk menyimpan jagung yang dipanen.
Pawang kebun:
Harmin, 2013
Abhelaikomo hintumu mbusango Bhahi totisele, bhahi totikenda
Maka tokampile-mpilei, maka okampunda-punda Konekakala tonuanaomu
Laloomu mpali kema, mpali suana Kapo ne kahitelaku ini
Mpali sauna, mpali kema Kapo ne kahitelaku ini.
Setelah selesai memanen jagung pada pemananan yang pertama atau
kafematai, pawang kebun melanjutkan pemanenan pada bagian yang lainnya
sampai untuk persiapan sesajian atau kafongkora-ngkora dan untuk dikonsumsi
pertama dianggap cukup. Setelah itu, dukun kebun menuju pondok petani untuk
menyerahkan jagung yang dipanenya. Jagung yang yang telah dipanen tersebut
untuk segera dibuka kulitnya dan seteh itu direbus.
Pawang kebun:
Padamo atandaki okahitela maitua, kahitela katandakiku ini dakumulusiemo, pada aitu dakumantinuwuae rampahano damongkora-ngkorae deki, panaembali
kansuru damakea.
Petani dan Istrinya:
Umbe
Istri petani membuka kulit jagung telah dipanen dukun kebun dan
merebusnya sampai masak. Dalam proses perebusan jagung tersebut, disertakan
dengan telur ayam kampung satu, tiga atau lima butir. Ketika masak dan sebelum
dikonsumsi yang pemilik kebun, istri petani menyediakan untuk
kafongkora-ngkora dan setelah itu mempersilahkan pawang kebun untuk melakukan kegiatan
pembacaan mantra kafongkora-ngkora.
Pawang kebun:
(menuju tempat jagung dan telur yang disediakan untuk melakukan kegiatan pembacaan mantra kafongora-ngkora)
Afongkorangkomo paseleno Kodasaghono aini
Tumbu-tumbuno longkowa aini
Komelilimu padamo awangkomu paseleno Dhaganiemu
Konokororweo Konoangkafio
Setelah selesai pembacaan mantra kafongkora-ngkora. Jagung dan telur yang
telah lengkapi dengan air pencuci tangan dibiarkan atau didiamkan untuk
beberapa saat. Setelah itu, dimulailah acara makan bersama jagung yang telah
disajikan.
Istri petani:
Aitu datumangkahimu deki, damenani kabubuhano ghantitoomu ini
Pawang kebun dan petani:
Umbe
Petani dan pawang kebun menuju makanan yang disediakan dan secara perlahan
lampu mulai redup.
Naskah drama tersebut hanya satu babak. Oleh karena itu, naskah drama
tersebut dapat diteruskan atau dapat ditulis secara lengkap mulai dari pembukaan
lahan sampai dengan pascapanen. Naskah drama yang lengkap kiranya dapat
dipentaskan di atas panggung dengan penataan kostum yang lengkap seperti
halnya kegiatan bertani jagung yang berlangsung di lapangan dengan artistik lain
Harmin, 2013
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan penelitian, dan hasil analisis beserta pembahasan dalam tradisi
yang telah dilakukan, maka dapat diambil suatu simpulam sebagai berikut
1. Tradisi Bertani Jagung Masyarakat Muna
Sebagai besar masyarakat Muna mempunyai mata pencaharian sebagai
petani, terutama petani jagung. Jagung merupakan sumber makanan pokok yang
paling utama yang tinggal di pedesaaan. Sistem pertanian yang diterapkan oleh
masyarakat Muna adalah dengan sistem pindah. Sistem
berpindah-pindah tersebut dikarenakan produktifitas lahan pertanian menurun sehingga
mereka meninggalakannya untuk beberapa lama dengan mencari dan mengolah
lahan pada di tempat yang lain secara berkelompok yang dianggap subur
dibanding dengan yang ditinggalkan. Pola berpindah-pindah diyakini bahwa
lahan-lahan pertanian yang ditinggalkan dalam jangka waktu yang lama dapat
mengurangi perkembangan tanaman-tanaman pengganggu dan mencegah
menurunnya tingkat kesuburan tanah.
Tradisi bertani jagung dengan mengandalkan kekuatan alam dan bertani
dengan sistem berpindah-pindah mencari lahan yang subur masih dianggap
sesuatu yang utuh dan mengikat dalam kehidupan mereka. Keadaan tanah di
lokasi mereka menanam pada umumnya telah dipilh tanah yang baik dalam arti
tidak berbatu-batu, rata, dan tidak mengandung kapur. Dalam waktu satu tahun,
masyarakat Muna hanya mengenal dua musim tanam jagung, yaitu bhara (musim
tanam hujan) yang berlangsung dari bulan November sampai bulan April,
sedangkan musim kalangkari (musim tanam kemarau) yang berlangsung dari Mei
sampai Oktober. Kedua musim tanam yang demikian disebabkan oleh keadaan
iklim yang ada di Kabupaten Muna dengan sistem pertani yang masih
musim tanam tersebut dilakukan dengan sistem yang bersifat tradisional. Di
dalam kegiatan bertani jagung tersebut memiliki pantangan yang tidak boleh
dilanggar. Apabila melanggarnya maka yang bersangkutan akan menerima sanksi
dari yang gaib. Sanksi ringan yang didapatkan berupa akan diserang berbagai
jenis penyakit tanaman yang ditanamnya dan paling yang berat dapat menelan
korban para petani.
2. Struktur Bertani Jagung Masyarakat Muna
Struktu bertani jagung masyarakat Muna merupakan rangkaian kegitan yang
dilakukan secara sistematis. Ada pun rangkaian atau struktur kegiatan bertani
jagung masyarakat Muna yang dimaksud adalah yang pertama adalah katambori
(pembukaan lahan). Kegiatan pembukaan lahan dapat dilakukan oleh pawang
kebun yang dianggap mampu berkomunikasi dengan yang gaib yang mendiami
suatu area yang akan dijadikan lokasi kebun. Pembukaan lahan dapat dimulai ada
hari yang baik dengan dengan membawa perlengkapan berupa parang, dan kotak
yang berisi sesajian yang ditujukan untuk yang gaib. Setelah kegitan pembabatan
selesai dilanjutkan tahapan yang berikutnya yaitu pembabatan. Kegiatan
pembabatan dilakukan oleh oleh petani yang dibantu oleh kerabatnya. Kegiatan
pembakaran dapat dilakukan apabila semak-semak yang telah dibabat dianggap
kering. Keempat adalah pembersihan sisa pembakaran, yaitu membersihkan
sisa-siswa yang tidak habis dibakar pada saat pembakaran. Kelima pemagaran, yaitu
memberikan pagar terhadap lokasi yang digarap dengan menggunakan batu atau
kayu. Keenam adalah kaago-ago, yaitu mengajak dan memberikan sesajian
kepada yang gaib sebagai imbalan dalam mengizinkan area yang mereka tempati.
Ketujuh adalah penanaman jagung yaitu kegiatan menaburkan benih jagung ke
dalam tugalan. Kegiatan penanaman harus didahului oleh pawang kebun yang
dikenal dengan mana kafematai. Kedelapan adalah pemeliharaan tanaman.
Kegiatan pemeliharaan tanaman jagung berupa pembersihan gulma, penangkalan
hama dan penyakit. Kesembilan adalah pemanenan tanaman jagung. Kegiatan
Harmin, 2013
pemanenan jagung dapt dilakukan pada umur yang 35 hari sejak waktu tanam
yang dikenal dengan nama kapasele, pemanenan pada umur 60 hari sejak waktu
tanam yang dikenal dengan nama pemanenan jagung saat menguning, dan
pemanenan jagung pada umur yang 85 hari sampai 90 hari sejak waktu tanam
yang dikenal dengan nama katongka. Tahapan yang terakhir adalah pengolahan
pascapanen. Pengolahan pascapanen dilakukan apabila jagung sudah terkumpul
pada suatu tempat tertentu.
Kegiatan pascapanen meliputi penyortiran jagung menjadi tiga bagian
berdasarkan kelompoknya. Dari sekalin tahapan atau struktur kegiatan bertani
jagung tersebut, hampir semua tahapan atau langkah terdapat bahasa penyertanya
yaitu mantra. Penggunaan mantra dalam rangkaian kegitan bertani jagung sebagai
bentuk komunikasi antara pawang kebun dengan yang gaib atau sang lehuhur,
antara sang pawang kebun dengan tanaman jagung, dan antara pawang kebun
dengan segala jenis penyakit jagung serta hama yang kemungkinan akan datang
menyerang tanaman.
3. Sruktur Mantra Bertani Jagung Masyarakat Muna
Selain srtuktur atau rangkaian kegiatan bertani jagung tersebut, terdapat pula
struktur mantra yang menjadi kajian penelitian ini. Struktur mantra yang
dimaksud adalah formula sintaksis, sistem formula, formula bunyi yang meliputi
rima, asonansi dan aliterasi serta irama, gaya bahasa yang meliputi diksi,
paralelisme, dan majas, serta tema. Struktur mantra tersebut mempunyai gagasan
atau ide dalam bentuk kalimat mantra.
Selain dalam bentuk formula sintaksis, struktur mantra bertani jagung
memiliki formula bunyi yang meliputi rima, asonansi dan aliterasi serta irama.
Rima-rima yang membangun mantra bertani jagung ada yang sempurna dan ada
pula yang tidak sempurna. Selain itu aliterasi dan asonansi yang membangun
mantra tersebut memiliki efek sebagai daya magis ketika dituturkan oleh pawang
Irama penuturan mantra sebagai pola atau aturan penuturan oleh pawang kebun
ddalam berkomunikasi dengan yang gaib.
Penggunaan gaya bahasa dalam kalimat yang membangun mantra bertani
jagung sebagai imajinasi sang lelhur ketika mantra tersebut duciptakan. Hal
tersebut tergantung pada sasaran atau tujuan mantra yang dituturkan dalam
rangkaian kegiatan bertani jagung. Gaya bahasa yang digunakan sebagian besar
merupakan gaya bahasa yang bersifat denotasi. Gaya bahasa tersebut dapat berupa
diksi atau pilihan kata yang digunakan, palalelisme dan majas.
4. Konteks Penuturan Mantra Bertani Jagung Masyarakat Muna
Tradisi bertani jagung masyarakat Muna mempunyai keterkaitan dengan
konteks penuturannya. Konteks penuturan mantra dalam tradisi bertani jagung
masyarakat Muna terletak pada lokasi yang menjadi tujuan penggunaan mantra
tersebut dengan memperhatikan hari yang baik. Setiap rangkaian atau tahapan
kegiatan memiliki perberbedan dengan yang konteks dengan tahapan yang
lainnya. Hal tersebut terjadi karena proses atau struktur bertani jagung memiliki
banyak tahapan dengan perlakukan yang berbeda pula. Untuk menentukan hari
yang baik, masyarakat Muna menggunakan suatu perhitungan yang dikenal
dengan nama kutika.
Dalam penggunaan atau pengucapan mantra pada setiap rangkaian kegiatan
bertani jagung harus memperhatikan waktu yang tepat. Hal tersebut merupakan
suatu bentuk keyakinan bahwa keberhasilan suatu kegiatan apabila dilaksanakan
pada saat yang tepat. Selain itu, kegiatan yang dilaksanakan pada hari atau waktu
yang tepat, maka pelakunya akan jauh dari segala macam bahaya yang mengacam
keselamatn jiwanya, termasuk kegiatan bertani jagung. Rangkaian kegiatan dalam
bertani jagung yang dilakukan secara sistematis tersebut merupakan warisan dari
nenek moyang masyarakat Muna itu sendiri sehingga rangkaian kegiatan tersebut
tetap diperhatikan dan dipertahankan terus sebagai upaya menjaga kesakralannya.
Hal tersebut sangat penting untuk dilakukan sebagai wujud mengharagai jasa
Harmin, 2013
5. Proses Penciptaan Mantra Bertani Jagung Masyarakat Muna
Tradisi bertani jagung masyarakat Muna diciptakan secara bersamaan
dengan kegiatan bertani jagung. Tidak ada waktu yang pasti pertama
digunakannya tradisi tersebut dalam bertani. Rangkaian kegiatan bertani jagung
diturunkan secara turun temurun berdasarkan kebiasaan. Orang yang mewariskan
rangkaian kegiatan bertani beserta mantra-mantra sebagai syaratnya disebut
pawang kebun. Proses tersebut berlangsung secara terstruktur atau sistematis
dengan menggunakan benda atau alat sebagai pengingatnya. Jika salah satu alat
sebagai perlengkapan kegiatan, maka rangkaian kegiatan yang dilakukan tidak
akan membawakan hasil serta akan berakibat fatal, terutama menyakut
keselamatan jiwa.
6. Fungsi Mantra Bertani Jagung Masyarakat Muna
Mantra sebagai syarat sah jalannya dalam tradisi bertani jagung masyarakat
Muna memiliki fungsi yang turut menentukan keberhasilan, keberkahan,
keselamatan dalam beraktivitas. Salah satu fungsi yang dimaksud adalah fungsi
sosial. Fungsi sosial dalam kegiatan bertani merupakan ajang untuk berkumpul
bersama dengan sanak saudara. Dalam ajang berkumpul tersebut, banyak hal yang
dibicarakan yang menyakut pengalaman dalam kehidupan yang dialami. Selain
fungsi sosial, dalam kegiatan bertani jagung masyarakat Muna memiliki fungsi
religi yang berupa kepercayaan atau keyakinan kepada yang gaib atau leluhur.
Selama kegiatan bertani jagung, masyarakat Muna meyakini bahwa yang gaib
atau leluhur turut campur tangan dalam aktivitas manusia terutama dalam
memberikan keselamatan, kesehatan, keberkahan, dan kekuatan dalam menjalani
kehidupan sehari-hari. Sebagai imbalannnya, petani menyediakan sesajian dengan
menggunakan mantra tertentu untuk berkomunikasinya.
7. Model Pembelajaran Tradisi Bertani Jagung di SMA
Untuk melestarikan tradisi bertani jagung masyarakat Muna dari
kepunahannya, maka seorang guru atau pendidik perlu mengambil suatu tindakan