• Tidak ada hasil yang ditemukan

MANTRA MENUMBAI PADA MASYARAKAT MELAYU ROKAN :Kajian Struktur Teks,Konteks Sebagai Bahan Ajar Di SMA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MANTRA MENUMBAI PADA MASYARAKAT MELAYU ROKAN :Kajian Struktur Teks,Konteks Sebagai Bahan Ajar Di SMA."

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

MANTRA MENUMBAI LEBAH PADA MASYARAKAT MELAYU ROKAN

(KAJIAN STRUKTUR TEKS, KONTEKS PENUTURAN, FUNGSI, DAN PEMANFAATANNYA SEBAGAI BAHAN AJAR DI SMA)

TESIS

diajukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia

Oleh

MASPURI

NIM 1103975

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG

(2)

Pembimbing I

Prof. Dr. H. Iskandarwassid, M.Pd

Pembimbing II

Dr. Dadang Anshori, M.Si.

NIP 197204031999031002

Mengetahui

Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia

Universitas Pendidikan Indonesia

Dr. Sumiyadi, M.Hum.

(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Mantra Menumbai Lebah pada Masyarakat Melayu Rokan (Kajian Struktur, Konteks Penuturan, Fungsi, dan

Pemanfaatannya Sebagai Bahan Ajar di SMA)” ini beserta seluruh isinya adalah

benar-benar karya saya sendiri, dan saya tidak melakukan penjiplakan atau

pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang

berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung

risiko/sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya

pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau ada klaim dari

pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.

Bandung, Mei 2013

Yang membuat pernyataan,

(4)

ABSTRAK

Judul tesis ini adalah “Mantra dalam Upacara Menumbai Lebah Pada Masyarakat Melayu Rokan: Kajian Struktur Teks, Konteks Penuturan, Fungsi, dan Pemanfaatannya Sebagai Bahan Ajar di SMA”. Pertanyaan-pertanyaan

(5)

ABSTRACT

(6)

DAFTAR ISI

C. Pertanyaan-pertanyaan Penelitian ... 7

D. Tujuan Penelitian ... 7

E. Manfaat Penelitian ... 7

F. Definisi Operasional ... 8

(7)

J. Upaya Pelestarian Mantra Dalam Upacara Menumbai Lebah ... 43

1. Dasar Pemikiran ... 43

2. Alternatif Upaya Pelestarian ... 44

3. Pemilihan Bahan Ajar Berdasarkan Latar Belakang Budaya ... 45

4. Bahan Ajar ... 46

a.Tujuan Pembuatan Bahan Ajar ... 47

b.Bentuk dan Jenis Bahan Ajar ... 49

c.Langkah-langkah Pembuatan Ajar ... 49

d.Handout ... 50

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian... 55

B. Lokasi Penelitian ... 57

1. Lingkungan Budaya Penelitian ... 59

a. Alam Fisik ... 59

BAB IV PROSES UPACARA MENUMBAI LEBAH, STRUKTUR TEKS, KONTEKS PENUTURAN DAN FUNGSI MANTRA DALAM UPACARA MENUMBAI LEBAH

3. Analisis Perihal Menumbai Lebah ... 82

a. Waktu ... 82

b. Pelaku ... 84

c. Alat ... 85

d. Pembagian Madu ... 86

(8)

4. Proses Upacara Menumbai Lebah ... 87

6. Analisis Konteks Penuturan ... 155

7. Analisis Fungsi ... 161

C. Pembahasan Hasil Analisis Data ... 168

(9)

2. Struktur Teks ... 169

3. Konteks Penuturan ... 172

4. Fungsi ... 173

BAB V PEMANFAATAN MANTRA DALAM UPACARA MENUMBAI LEBAH SEBAGAI BAHAN AJAR SASTRA DI SMA A. Upaya Pelestarian Dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Daerah di Sekolah ... 176

B. Dampak yang Diharapkan ... 177

C. Mantra Sebagai Bahan Ajar di SMA ... 178

1. Analisis Kurikulum ... 178

2. Analisis Sumber Bahan Ajar ... 179

3. Peta Bahan Ajar... 180

4. Handout Materi Mantra dalam Upacara Menumbai Lebah ... 181

5. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) ... 184

BAB VI PENUTUP A. Simpulan ... 190

1. Proses Pelaksanaan Upacara Menumbai Lebah ... 190

2. Struktur Mantra Upacara Menumbai Lebah ... 191

3. Konteks Penuturan Mantra Dalam Upacara Menumbai Lebah 192

4. Fungsi Mantra Dalam Upacara Menumbai Lebah ... 192

5. Pemanfaatan Mantra Menumbai Lebah Sebagai Bahan Ajar Di SMA ... 193

B. Saran ... 194

DAFTAR PUSTAKA ... 196 LAMPIRAN

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

Bab I ini berisikan latar belakang penelitian, batasan masalah penelitian,

pertanyaan-pertanyaan penelitian atau rumusan masalah, tujuan penelitian,

manfaat penelitian (manfaat teoretis dan praktis), dan defenisi operasional

penelitian.

A. Latar Belakang Masalah Penelitian

Perubahan zaman yang demikian berkembang mengubah segala sendi

kehidupan masyarakat. Orientasi masyarakat saat ini lebih pada nilai finansial,

segala sesuatu selalu diukur dengan materi dan mengetepikan berbagai norma

serta budaya lokal. Selain itu, zaman globalisasi berdampak negatif pada

kehidupan di tengah masyarakat dengan mengedepankan perbedaan suku, agama,

dan strata sosial. Pada akhirnya perbedaan tersebut menjadi jurang pemisah yang

berdampak pada konflik suku, agama, dan ras (SARA).

Ancaman globalisasi akan terus merambah ke berbagai hal, tidak hanya

mengancam segi ekonomi masyarakat akibat berbondong-bondongnya investor

menanamkan modal ke negeri ini karena mereka melihat demikian subur untuk

memperkaya diri, tetapi juga upah buruh di Indonesia yang sangat murah menjadi

salah satu daya tarik tersendiri bagi investor asing. Tidak berakhir sampai di situ,

budaya lokal yang menjadi jantung dan nadi kehidupan bermasyarakat pun tidak

luput dari masalah tersebut. Budaya yang hidup dan bergantung pada alam seperti

air, tanah, dan hutan keberlansungannya sekarang sudah terancam akibat

keserakahan manusia pada zaman ini.

Apabila tempat keberlangsungan budaya terusik, budaya tersebut tidak akan

bertahan di tengah komunitasnya, dan tidak mempungkiri bahwa budaya tersebut

(11)

2

keberlangsungannya pun akan terganggu, sehingga ekspresi-ekspresi kebudayaan

pun akan mati dengan sendirinya.

Problematik ini merambat hampir seluruh wilayah di negeri ini, mulai dari

perkotaan hingga ke polosok desa, dan salah satu contoh adalah kebudayaan di

Riau. Riau merupakan daerah yang termasuk dalam ruang lingkup semenanjung

Melayu yang terkenal dengan khazanah budaya lokal semenjak dahulu, serta

banyak seniman dan pujangga yang melahirkan karya berkualitas tinggi terlahir di

sana. Kebudayaan lokal tersebut menjadi sebuah kebanggaan bagi tanah Melayu,

seperti menumbai, bokoba, rabab, nyanyian panjang, moambiak onau, dan masih

banyak lain. Demikian juga halnya dengan seniman dan karya sastra yang terlahir

dari tanah Melayu seperti Raja Ali Haji dengan karya Gurindam Dua Belas,

Tennas dengan karya Tunjuk Ajar Melayu, dan lain sebagainya. Selain itu karya

sastra khas Riau seperti, syair, pantun, dan talibun, sekaligus menjadi ciri khas

masyarakat Melayu bagi masyarakat daerah lain.

Namun, yang mencemaskan adalah Riau sekarang tidak lagi seperti dahulu

yang dapat dibanggakan. Pada saat ini sangat jelas terlihat perubahan sejak

masuknya sistem ekonomi kapitalis serta erosi budaya asing. Eksplorasi dan

eksploitasi alam yang membabi buta membawa dampak buruk pada lingkungan

alamiah tempat budaya bergantung, pengundulan hutan, pembangunan

pabrik-pabrik, pencemaran air dan udara sehingga susah untuk mencari air bersih, dan

imigran yang kian hari semakin melonjak angkanya untuk mengeruk hasil alam

semakin mempersempit ruang untuk budaya itu bertahan. Hal lain yang tampak

adalah perubahan pola pikir masyarakat mulai menganaktirikan budaya lokal dan

menganut budaya barat yang sudah barang tentu tidak sesuai dengan karakter

bangsa ini. Tempat ibadah yang seharusnya diramaikan dan menjadi pilar bagi

masyarakat Melayu sekarang sudah mulai sunyi akibat terlena oleh kecanggihan

teknologi seperti siaran TV, cara berpakaian orang Melayu yang tertutup

sekarang sudah mulai seperti orang yang miskin pakaian, acara-acara adat seperti

upacara-upacara, berpantun, bokoba sudah mulai tersisih karena sudah dianggap

(12)

sudah menjamur kepada pola pikir dan cara pandang masyarakat itu sendiri, dan

ini adalah akibat masyarakat sudah kurang memaknai budaya lokal dengan baik.

Jika khazanah budaya lokal seperti tradisi lisan sudah mulai menghilang dari

peredaran, maka nilai, ajaran, dan petuah akan pergi bersamanya niscaya krisis

moral dan akhlak akan terjadi. Budaya lokal seperti tradisi lisan sangat

berpengaruh pada kehidupan masyarakat komunitasnya karena mengandung

nilai-nilai luhur. Hal senada diungkapkan Sibarani (2012:2) bahwa tradisi budaya atau

tradisi lisan masa lalu mengandung nilai dan norma yang dapat dimanfaatkan

untuk mendidik anak-anak memperkuat identitas dan karakter mereka dalam

menghadapi masa depan sebagai generasi penerus bangsa. Lebih lanjut beliau

mengatakan bahwa tradisi lisan merupakan (way of life) pedoman dalam

kehidupan. Selanjutnya Sudjiman (1995:15) mengungkapkan bahwa tradisi lisan

banyak sifatnya mendidik bimbingan moral, keteladanan, kearifan hidup yaitu

hidup bermasyarakat dan beragama. Selain itu, tradisi lisan memiliki peran

penting dalam kehidupan masyarakat sebagai media pendidikan dan media

hiburan (Al-Azhar, 2009:15). Budaya seperti tradisi lisan tidak hanya dapat digali

nilainya sebagai pembentukan karakter, tetapi tradisi lisan juga sebagai pelipur

lara dan perisai jiwa ketika dalam keletihan bagi masyarakat komunitasnya.

Mengingat demikian besar manfaat tradisi lisan bagi masyarakat, perlu

kiranya kebudayaan atau tradisi lisan untuk dilestarikan sebagai bentuk

penyelamatan budaya masa lalu, pedoman hidup masa sekarang dan persiapan

pada masa yang mendatang. Berkenaan dengan pelestarian tradisi lisan Sibarani

(2012:11) mengatakan bahwa tradisi lisan tidak hanya kelisanan yang

membutuhkan tuturan seperti pribahasa, dongeng, legenda, mantra, dan pantun,

tetapi juga bagaimana kelisanan itu diwariskan secara epistemologis, untuk apa

diwariskan secara aksiologis, siapa yang mewariskan, kepada siapa diwariskan,

dan segala hal yang berhubungan dengan konteks kelisanan.

Salah satu budaya atau terdisi lisan di tanah Melayu yang membutuhkan

perhatian dan pemertahanan dari keganasan zaman globasisi dan sistem ekonomi

kapitalis adalah tradisi menumbai lebah. Hutan (kepungan sialang) yang tempat

(13)

4

perkebunan sawit, kemudian ditambah lagi pembajakan kayu yang membabi buta

sehingga mempersempit keberlangsungan tradisi menumbai tersebut. Tradisi

menumbai lebah merupakan sebuah tradisi masyarakat Melayu yang diwariskan

oleh nenek moyang terdahulu. Menumbai lebah itu sendiri adalah mengambil

madu lebah yang bersarang pada pohon yang bernama sialang.

Tradisi menumbai lebah tersebar di berbagai daerah di Riau, seperti Siak,

Kampar, Pelalawan, dan Rokan Hulu. Khusus untuk daerah Rokan Hulu tradisi

menumbai lebah lebih banyak dijumpai di kecamatan Rokan IV Koto terutama di

desa Tandikat. Bagi masyarakat setempat budaya tersebut sudah tidak asing lagi

karena sudah berlangsung sejak nenek moyang terdahulu. Menumbai lebah

biasanya dilakukan pada malam gelap dan tidak dibenarkan pada bulan terang

atau di siang hari, karena akan berakibat buruk pada penumbai dan masyarakat

sekitar. Orang yang melakukan menumbai lebah disebut “pawang“ oleh

masyarakat Melayu Rokan, biasanya mereka adalah orang yang sudah profesional

dalam menumbai. Pohon tempat lebah bersarang disebut pohon “sialang”, pohon

tersebut sengaja dibiarkan tumbuh dan dilarang untuk ditebang oleh pemuka adat.

Sistem kepemilikan pohon silang bersifat milik pribadi atau milik persukuan.

Selain itu, pawang menggunakan alat-alat tradisional yang dibuat sendiri untuk

melakukan menumbai lebah seperti lantak, ember, tali, tangga, dan lain-lain.

Upacara atau ritual biasanya tidak terlepas dari mantra, demikian juga

halnya menumbai lebah. Mantra adalah tautan kata-kata yang dipercayai memiliki

kekuatan tersendiri bagi penutur yakni dukun atau pawang. Mantra dipandang

sebagai media bagi pawang untuk menjalankan menumbai lebah, baik media

komunikasi dengan penunggu pohon sialang maupun sebagai media penghubung

dengan lebah yang berupa rayuan dan pujian. Mantra berbeda halnya denga puisi

dan pantun yang tidak memiliki konteks penuturan atau bisa dibacakan di mana

dan kapan saja, tetapi mantra sangat bergantung pada waktu dan tampat ketika

penuturannya agar memiliki kekuatan magis. Hal senada diungkapkan oleh

Djamaris (1990:22) bahwa mantra tidak dituturkan sembarangan tempat dan

waktu namun memiliki konteks dan waktu tertentu agar mantra memiliki kekuatan

(14)

kekuatan majik yang dicapai dengan permainan bahasa, rayuan atau perintah yang

harus diturut oleh hyang atau dewa, dan manjur ketika dituturkan dalam konteks

yang tepat.

Mantra adalah bagian sastra lisan yang sudah tua umurnya, pengarangnya

sudah tidak dikenal karena bentuk pewarisannya secara turun temurun dalam

bentuk lisan. Mantra termasuk bagian dari puisi lama yang keberadaannya

tersebar diseluruh tanah air Indonesia karena masyarakat tempo dahulu sangat

dekat dengan mantra dalam kegiatannya sehari-hari, misalnya pada masyarakat

Melayu dikenal dengan berbagai macam jenis mantra yakni mantra pertanian

(menatau, bertanam, menuai) pengobatan, pengasih, dan lain-lain. Keberadaan

mantra di tengah masyarakat memang agak sedikit tersembunyi karena mantra

dipandang sesuatu yang tabu dan orang-orang tertentu yang bisa

menggunakannya.

Tradisi menumbai lebah yang merupakan khazanah budaya lokal ini, tak

rela rasanya jika semakin hari semakin memudar dikikis kekejaman zaman

apalagi terperosok kepada jurang kepunahan. Oleh karena itu, harus ada perhatian

khusus dari berbagai kalangan untuk melestarikan budaya tersebut. Banyak

bentuk-bentuk pelestarian yang bisa dilakukan terutama dalam dunia pendidikan

baik pendidikan formal maupun nonformal. Pendidikan dipandang sebagai wadah

yang cukup optimal untuk mengenalkan budaya lokal kepada generasi muda

sebagai stafet budaya di masa mendatang. Masyarakat sekolah seperti guru

dipandang sebagai ujung tombak yang mampu memberikan pamahaman kepada

siswa, selanjutnya dengan memasukkan budaya lokal kedalam materi bahan ajar

di sekolah sebuah langkah yang tepat untuk melestarikan budaya. Pendidikan

nonformal juga merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap pelestarian

sebuah budaya. Pelestarian melalui pendidikan nonformal bisa dilakukan dengan

cara memberikan pemahaman kepada masyarakat betapa pentingnya melestarikan

budaya sendiri sebagai bekal dan jati diri anak cucu di masa mendatang.

Penelitian yang berkenaan dengan menumbai sudah pernah diteliti oleh

seorang budayawan Riau yang bernama Tenas Efendi pada tahun 1989 dengan

(15)

6

Penelitian tersebut lebih mengeksplorasi tentang proses upacara menumbai

tersebut, serta hal-hal yang menyokong berlangsungnya upacara menumbai lebah,

namun penelitian tersebut tidak mengkaji unsur dalam upacara seperti mantra.

Kemudian penelitian tentang mantra juga sudah pernah dilakukan pada tahun

(2012) oleh mahasiswa pascasarjana UPI jenjang S2 yang bernama Nazriani yakni

Mantra dalam Upacara Pesondo. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa

mantra memiliki struktur dan memiliki fungsi bagi penuturnya.

Penelitian ini memfokuskan pada proses upacara menumbai lebah pada

masyarakat Melayu Rokan (kajian struktur teks, konteks penuturan, fungsi, dan

pemanfaatannya sebagai bahan ajar di SMA). Tujuan penelitian ini adalah untuk

melestarikan budaya menumbai lebah pada masyarakat Melayu Rokan, dengan

memasukkan salah satu unsur tradisi menumbai lebah yakni mantra sebagai bahan

ajar di SMA.

B. Batasan Masalah Penelitian

Pada hakikatnya penelitian berawal dari sebuah masalah, adanya

ketidaksesuaian antara teori dengan kenyataan, muncullah penelitian untuk

menjawab masalah serta memberikan solusi terhadap masalah tersebut. Pada

penelitian ini, peneliti membatasi masalah pada kajian struktur teks, konteks

penuturan, fungsi, dan pemanfaatan mantra menumbai lebah pada masyarakat

Melayu Rokan sebagai bahan ajar di SMA. Struktur teks meliputi pembahasan

bunyi (rima, asonansi dan aliterasi, irama), dan makna konotatif dan denotatif,

diksi, dan gaya bahasa. Konteks penuturan mengacu pada siapa yang membaca

mantra, di mana dibacakan, siapa yang mendengarkan pembacaan mantra, dan

bagaimana suasana pada saat mantra dibacakan. Fungsi membahas fungsi mantra

bagi masyarakat Melayu Rokan, sedang pemanfaatan mantra adalah membuat

(16)

C. Pertanyaan-pertanyaan Penelitian

Berdasarkan uraian dalam latar belakang dan batasan masalah di atas, maka

dapat dirumuskan masalah yang akan diteliti dengan membuat

pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut ini.

1. Bagaimana proses upacara menumbai lebah pada masyarakat Melayu

Rokan?

2. Bagaimana struktur teks mantra menumbai lebah masyarakat Melayu

Rokan?

3. Bagaimana konteks penuturan mantra menumbai lebah masyarakat Melayu

Rokan?

4. Apa fungsi mantra menumbai lebah bagi masyarakat Melayu Rokan?

5. Bagaimana memanfaatkan mantra dalam upacara menumbai lebah sebagai

bahan ajar Bahasa dan Sastra di SMA.

D. Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan kepahaman

kepada masyarakat untuk melestarikan budaya lokal yang tengah di pintu

kepunahan akibat sunami budaya asing. Secara khusus kiranya dapat

mendeskripsikan beberapa hal dibawah ini, yaitu:

1. mendeskripsikan proses upacara menumbai lebah pada masyarakat Melayu

Rokan;

2. mendeskripsikan struktur mantra menumbai lebah pada masyarakat Melayu

Rokan;

3. mendeskripsikan konteks penuturan mantra menumbai lebah pada

masyarakat Melayu Rokan;

4. mendeskripsikan fungsi mantra bagi masyarakat Melayu Rokan;

5. mendeskripsikan hasil penelitian sebagai bahan ajar sastra di SMA.

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini hendaknya dapat dirasakan dari berbagai kalangan. Manfaat

(17)

8

1. Manfaat Secara Teoretis

“Kegamangan penelitian foklor” diungkapkan oleh Suwardi Endaswara.

Ini menggambarkan bahwa penelitian foklor masih sekadar kepentingan suatu

instansi dan motivasi sesaat. Belum banyak yang bisa diberikan untuk

perkembangan foklor itu sendiri dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan

sejauh ini, dan masih sekadar sebuah hasil tulisan di atas kertas. Oleh karena

itu, penelitian ini diharapkan secara teoretis dapat bermanfaat bagi khazanah

teradsi lisan atau foklor itu sendiri. Dan juga sebagai bahan penelitian

selanjutnya bagi peneliti lain di kemudian hari.

2. Manfaat Secara Praktis

Bukan hanya dampak pada tataran teori, namun dampak secara praktis

jauh akan lebih bermanfaat jika dapat dirasakan di tengah masyarakat. Adapun

dampak secara praktis yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

a) memunculkan rasa kepemilikan bagi masyarakat setempat tehadap budaya

tersebut;

b) memberikan pandangan kepada generasi muda agar dapat melestarikan

budayanya sendiri;

c) bagi masyarakat umum, hasil penelitian ini dapat menyadarkan supaya

mencintai budaya di daerahnya masing-masing;

d) memberikan semangat kepada peneliti selanjutnya untuk mengkaji dan

meneliti budaya di tanah airnya sebagai wujud kepedulian terhadap budaya

sendiri.

F. Definisi Operasional Penelitian

Untuk menghindari kesalahpahaman dalam penelitian ini, perlu kiranya

peneliti merumuskan beberapa batasan definisi operasional yang menyangkut

penelitian ini, yakni sebagai berikut ini.

1. Kajian struktur teks mantra menumbai lebah meliputi kajian bunyi , makna,

dan gaya bahasa. Bunyi dalam konteks penelitian ini akan dibahas rima

(18)

pengulangan konsonan), dan irama (pergantian turun naik, panjang pendek,

keras lembut bunyi bahasa). Kemudian makna yang akan dikaji dalam

struktur ini adalah makna denotatif dan makna konotatif (makna asli atau

sesungguhnya dan makna lain). Selanjutnya gaya bahasa meliputi kajian

diksi (pilihan kata) dan majas.

2. Kajian konteks penuturan mantra menumbai lebah meliputi tempat mantra

dituturkan, waktu mantra dituturkan, penutur mantra, petutur mantra atau

audiens, dan suasana pada saat mantra dibacakan.

3. Kajian fungsi mantra menumbai lebah adalah memaparkan fungsi mantra

bagi masyarakat Petalangan. Fungsi di sini mengacu kepada peran mantra

dalam upacara menumbai lebah.

4. Pemanfaatan mantra menumbai lebah sebagai alternatif bahan bahasa dan

sastra Indonesia di SMA, berdasarkan kurikulim KTSP.

5. Proses upacara menumbai lebah pada masyarakat Melayu Rokan meliputi

kajian waktu pelaksanaan upacara, alat yang digunakan serta fungsinya, dan

pelaku upacara serta makna ginestetiknya dalam upacara tersebut.

(19)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Bab III berisikan metodologi penelitian sebagai acuan dalam penelitian ini.

Metodologi penelitian ini mencakup metode penelitian, lokasi penelitian, data

penelitian (data dan sumber data), teknik pengumpulan data, dan teknik analisis

data.

A. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif.

Metode penelitian kualitatif disebut juga penelitian naturalistik atau penelitian

etnografi karena pada awalnya banyak digunakan untuk penelitian antropologi

budaya. Metode penelitian kualitatif adalah metode yang penelitiannya digunakan

untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah di mana peneliti sebagai

instrumen kunci, teknik pengumpulan data bersifat deduktif, dan hasil trianggulasi

(gabungan), analisis bersifat deduktif, dan hasil penelitiannya lebih menekankan

pada makna daripada generalisasi (Sugiyono, 2010:1). Selanjutnya, Syaodih

(2007:60) mengatakan penelitian kualitatif (qualitative research) adalah penelitian

yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa,

aktivitas sosial, sikap kepercayaan, persepsi, dan pemikiran orang secara

individual atau kelompok.

Di sisi lain, Koentjaraningrat (202:329) melihat penelitian kualitatif sebagai

penelitian yang sifat etnografi yaitu suatu deskripsi mengenai kebudayaan suatu

bangsa dengan pendekatan antropologi. Penekanan yang serupa juga diungkapkan

oleh Fathoni (2005:98) karena bahan mengenai kesatuan kebudayaan suku bangsa

di suatu komunitas dari suatu daerah tertentu menjadi pokok deskripsi sebuah

karangan etnografi, maka dibagi ke dalam bab-bab tentang unsur-unsur

kebudayaan menurut suatu tata urut yang sudah baku. Susunan tata urut tersebut

disebut sebagai kerangka etnografi.

Spradley (Creswel, 1998:487) menguraikan langkah-langkah dalam

(20)

a. menetapkan informasi;

b. mewawancarai informan;

c. membuat catatan etnografis;

d. mengajukan pertanyaan deskriptif;

e. melakukan anilisis wawancara;

f. membuat analisis domain;

g. membuat analisis taksonomik;

h. mengajukan pertanyaan kontras;

i. membuat analisis kontras;

j. menemukan tema-tema budaya; dan

k. menulis suatu etnografi

Hal serupa dilakukan oleh Sukmadinata (2010:95) dengan memaparkan

tentang karakteristik kualitatif, yakni:

1) kajian naturalistik: melihat situasi nyata yang berubah secara alamiah,

terbuka, tidak ada rekayasa pengontrolan variabel;

2) analisis induktif: mengungkap data khsusus, detail, untuk menemukan

kategori dimensi, hubungan penting dan asli, dengan pertanyaan terbuka;

3) data kualitatif: deskripsi rinci-dalam, persepsi-pengalaman orang;

4) holistic: totalitas fenomena dipahami sebagai sistem yang kompleks,

keterkaitan menyeluruh tak dipotong padahal dipisah, sebab-akibat;

5) hubungan dan persepsi pribadi: hubungan akrab peneliti-informan, persepsi

dan pengalaman pribadi peneliti penting untuk pemahaman

fenomena-fenomena;

6) dinamis: perubahan terjadi terus, lihat proses desain fleksibel;

7) orientasi keunikan: tiap situasi khas, pahami sifat khusus dan dalam konteks

sosial-historis, analisis silang kasus, hubungan waktu-tempat;

8) empati netral: subjektif murni, tidak dibuat-buat.

Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan bahwa

penelitian ini adalah penelitian kualitatif atau dapat juga disebut penelitian folklor

karena memiliki salah satu objek kajian yang sama pada awalnya yakni penelitian

(21)

57

B. Lokasi Penelitian

Letak penelitian ini temasuk dalam bagian daerah Kabupaten Rokan Hulu,

kabupaten tersebut adalah salah satu kabupaten dari 12 kabupaten/kota yang ada

di Provinsi Riau. Pada awalnya Kabupaten Rokan Hulu hanya bagian daerah dari

Kabupaten Kampar, namun pada tanggal 12 oktober tahun 1999 terjadi

pemekaran. Kabupaten Kampar dimekarkan menjadi beberapa kabupaten yakni

Kabupaten Pelalawan ibukotanya Kerinci, Kabupaten Kampar ibukotanya

Bangkinang, dan Kabupaten Rokan Hulu ibukotanya Pasir Pengaraian.

Kalau dibuka lembaran sejarah, daerah Kabupaten Rokan Hulu pada abad

ke 13 sudah menjadi wilayah kerajaan Majapahit. Hal ini tercatat di dalam kitab “Negara Kertagama” karangan Mpu Prapanca yang ditulis pada tahun 1364 M, dalam syaor 13 disebutkan “seluruh pulau Sumatra (Melayu) telah menjadi daerah yang berada di bawah kekuasaan Majapahit meliputi Rakan (Rokan)…..”. Dalam

sumber yang lain juga disebutkan seperti Kronik Cina. Dari penggalan sejarah di

atas digambarkan bahwa dahulu Kabupaten Rokan Hulu namanya adalah Rokan.

Di Kabupaten Rokan Hulu tempo dulu terdapat beberapa kerajaan yakni

Kerajaan Tambusai ibunegerinya Dalu-dalu, Kerajaan Rambah ibunegerinya

Pasir Pengaraian, Kerajaan Kepenuhan ibunegerinya Koto Tengah, Kerajaan

Rokan IV Koto ibunegerinya Rokan, dan Kerajaan Kuntodarussalam ibunegerinya

Kotolamo. Pada masa kolonial wilayah Rokan Hulu dibagi mejadi dua, pertama

wilayah Rokan Kanan terdiri dari 3 kerajaan yakni Kerajaan Tambusai, Kerajaan

Rambah, dan Kerajaan Kepenuhan. Kedua, wilayah Rokan Kiri yang terdiri dari

dua kerajaan yakni Kerajaan Rokan IV Koto, Kerajaan Kuntodarussalam, dan

ditambah kampung dari Kerajaan Siak yaitu Kewalian Tandun dan Kabun (Syam,

2012). Bangunan kerajaan-kerajaan tersebut masih berdiri megah hingga saat ini

seperti Istana Kerajaan Rokan IV koto di Tepi Sungai Rokan (lihat di lampiran),

namun secara kepemerintahan sudah bergabung seiring dengan kemerdekaan

Negara Republik Indonesia.

(22)

memiliki luas wilayah 7.449,85 kilometer persegi dengan kondisi morfologi

bervariasi dari daratan alluvial sampai vulkanik yang terjal di bagian barat mulai

dari ketinggian 5 sampai 1.125 m dpl, bagian barat kemiringan lebih 40% dengan

luas sekitar 99.135 ha, seluas 53.578 ha dengan kemiringan 15-40%, sedangkan

kemiringan antara 2-15% seluas 13.266 ha, selebihnya 360.943 ha dengan

kemiringan 0-2%.

Kabupaten Rokan Hulu berbatasan dengan beberapa kabupaten lainnya,

batas-batas wilayah Kabupaten Rokan Hulu sebagai berikut:

1. sebelah utara berbatasn dengan Kabupaten Tapanuli Selatan dan Labuhan

Batu Provinsi Sumatra Utara;

2. sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Kampar;

3. sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Pasaman dan Pasaman Barat

Provinsi Sumatra Barat;

4. sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Bengkalis dan Rokan Hilir.

Secara administratif Kabupaten Rokan Hulu memiliki 16 daerah kecamatan,

7 daerah kelurahan, dan 149 daerah desa. Berikut ini nama 16 daerah kecamatan

yang berda di kabupaten Rokan Hulu.

1. Kecamatan Bangun Purba

2. Kecamatan Kabun

3. Kecamatan Kepenuhan

4. Kecamatan Kunto Darussalam

5. Kecamatan Rambah

6. Kecamatan Rambah Hilir

7. Kecamatan Rambah Samo

8. Kecamatan Rokan IV Koto

9. Kecamatan Tambusai

10.Kecamatan Tambusai Utara

11.Kecamatan Tandun

12.Kecamatan Ujungbatu

13.Kecamatan Pagaran Tapah Darussalam

(23)

59

15.Kecamatan Kepenuhan Hulu

16.Kecamatan Pendalian IV Koto.

Dari 16 kecamatan di atas daerah penelitian termasuk dalam kecamatan

Rokan IV Koto, Desa Cipang Kanan, Dusun Tandikat. Untuk lebih jelasnya letak

dusun Tandikat tersebut, dapat dilihat pada pada peta yang telah dilampirkan pada

lampiran.

1. Lingkungan Budaya Penelitian

Lingkungan budaya yang akan dipaparkan dalam tesis ini meliputi alam

fisik, kondisi masyarakat, dan unsur-unsur budaya.

a. Alam Fisik

Alam fisik yang akan dimaksud meliputi kondisi tanah, air, dan udara atau

lebih tepat digunakan kata iklim di Kabupaten Rokan Hulu. Untuk lebih jelas akan

dijabarkan di bawah ini.

1) Tanah

Kabupaten Rokan Hulu terdiri dari satuan dataran rendah dan satuan

perbukitan. Sebagian besar Kabupaten Rokan Hulu terdiri dari dataran

rendah dengan ketinggian 0-50 m dari permukaan laut yang meliputi dataran

banjir sungai, sungai dan terbentuknya endapan permukaan. Kemiringan

lerengnya sekitar 0o – 3o (hampir datar) dan satuan perbukitannya mempunyai ketinggian 50 – 150 m dari daerah sekitarnya dengan

kemiringan antara 3o – 15o. Berdasarkan kondisi geologinya Kabupaten Rokan Hulu tersusun dari batuan pasir, sedimen, batuan lanau, dan lignit.

2) Air

Di derah kabupaten Rokan Hulu terdapat beberapa sungai yang terbesar di

berbagai daerah. Sungai tersebut masih sangat alami, airnya jernih dan

belum tercemari. Adapun sungai-sungai yang ada di Rokan Hulu adalah

Sungai Rokan Kanan hulunya terdapat di Pinarik, Sungai Rokan Kiri

hulunya di Rao Sumatera Barat, Sungai Sosah hulunya berada di Tapung

(24)

dan bermuara di Kualo TukMusolin, Sungai Duo berhulu di Sei Salak

bermuara di Kualo Sungai Duo, Sungai Suligi bermuara di Sungai Siak.

Di antara sungai-sungai yang ada di wilayah Kabupaten Rokan Hulu

terdapat tiga sungai besar yaitu Sungai Rokan Kanan (151,9 km), Sungai

Rokan Kiri (204,1 km) dan Batang Sosah. Sungai besar tersebut adalah

simpul dari beratus-ratus sungai kecil yang ada di Rokan Hulu yang

kemudian bermuara ke Sungai Rokan bahagian hilir dengan panjang lebih

kurang 100 km, kedalaman rata-rata 6-8 meter serta lebar 92 meter dan

13.177km2.

3) Udara (iklim)

Secara umum daerah Riau beriklim tropis basah dengan rata-rata curah

hujan berkisar antara 1000-300mm pertahun yang dipengaruhi oleh musim

kemarau dan musim hujan. Daerah yang paling sering ditimpa hujan setiap

tahun adalah Kota Pekanbaru 193 hari, Kabupaten Indragiri Hulu 178 hari,

Kabupaten Pelalawan 147 hari, Kabupaten Rokan Hulu 136 hari, dan

Kabupaten Kampar dengan jumlah hari hujan 110 hari. Jumlah Curah Hujan

tertinggi pada tahun 2009 terjadi di Kabupaten Kampar dengan curah hujan

sebesar 3 349, 0 mm, disusul Kota Pekanbaru sebesar 3 214, 4 mm,

sedangkan curah hujan terendah terjadi di Kota Dumai sebesar 635,0 mm.

Selanjutnya menurut catatan Stasiun Meteorologi suhu udara rata-rata di

kabupaten Rokan Hulu menunjukkan 28,0 celcius dengan suhu maksimum

36,0 celcius dan suhu minimum 21,0 celcius.

b. Alam Hayati

Alam hayati terdiri dari hewan dan tumbuhan. Secara umum gambaran alam

hayati yang ada di kabupaten Rokan Hulu adalah sebagai berikut:

1) Hewan

Pada umumnya masyarakat Melayu Rokan banyak yang memelihara ternak

seperti ayam, bebek, kambing, sapi, kuda, kerbau dan lain-lain. Dalam

menggembala ternak biasanya masyarakat memiliki lahan tersendiri yang

(25)

61

mengatur bahwa binatang ternak seperti kambing, sapi, kerbau, dan

sejenisnya tidak dibenarkan untuk dilepaskan begitu saja mengingat banyak

masyarakat yang menanam tanaman dan dikhawatirkan hewan ternak tersebut

akan merusak tanaman masyarakat. Selain itu banyak juga masyarakat

pecinta burung seperti burung hijau daun, murai, kuwau, serindit, onggang

dan masih banyak lagi nama-nama burung yang lain yang tak mungkin

disebutkan satu-persatu. Khusus di kecamatan Rokan IV koto di desa Cipang

Kiri setiap tahun disibukkan dengan memukat burung kuaran, burung tersebut

cukup ajaib karena datang sekali dalam enam bulan setelah itu hilang dan

tidak tahu entah kemana perginya. Ukurannya sebesar burung punai dan

dagingnya sangat lezat, burung tersebut bukan saja dikonsumsi oleh

masyarakat setempat tetapi dijual ke luar daerah. Jika ingin menikmati burung

tersebut di rumah makan Riau, maka setiap porsinya ditawarkan dengan harga

yang mahal antara Rp 40.000-50.000.

2) Tumbuhan

Mengingat tanah daerah Rokan hulu yang subur sehingga memungkinkan

ditumbuhi oleh berbagai macam tanaman yang tumbuh, baik yang ditanam

secara sengaja maupun yang tumbuh secara alami. Tumbuhan yang ditanam

secara sengaja ada yang bersifat makan pokok sehari-hari dan adapula yang

tanaman untuk sebagai lahan pekerjaan bagi masyarakat. Tumbuhan bersifat

kebutuhan sehari-hari misalnya padi, ubi, talas, kacang tanah, kacang hijau,

labu, sawi, terung, cabe, jagung, dan sebagainya. Kemudian tanaman yang

ditanam sebagai sebagai bentuk usaha adalah gambir, karet, kayu manis,

cengkeh, dan sawit. Selanjutnya tumbuhan yang tumbuh secara alami di tanah

Melayu Rokan seperti kayu gaharu, meranti, tomosu, modang, pulai, dan

sebagainya.

2. Kondisi Masyarakat

Masyarakat di Kabuapten Rokan hulu terdiri atas penduduk asli yakni

Masyarakat Melayu Rokan dan masyarakat pendatang. Masyarakat pendatang

(26)

Nias, Minang, dan sebagainya. Kedatangan pendatang ke kabupaten Rokan Hulu

dikarenakan berbagai alasan, salah satu alasan yang pokok adalah menjalani

peraturan pemerintah orde baru yakni transmigrasi. Alasan lain adalah

penempatan kerja seperti PNS dan karyawan pabrik.

3. Unsur-unsur Budaya

Unsur-unsur kebudayaan pada masyarakat Rokan Hulu pada dasarnya sesuai

dengan tujuh unsur kebudayaan yang dipaparkan pada bab II. Unsur-unsur

kebudayaan Kabupaten Rokan Hulu lebih jelas adalah sebagai berikut:

a. Sistem Pendidikan

Sistem pendidikan formal yang ada di kabuapten Rokan Hulu tidak ada

perbedaan dengan daerah lain, dimulai dari TK, SD, SMP, SMA, dan perguruan

tinggi. Jenjang pendidikan tersebut tersebar di setiap kecamatan di kabupaten

Rokan Hulu kecuali perguruan tinggi hanya ada di ibukota kabuapeten yakni di

Pasir Pengaraian. Perguruan tinggi yang ada di Kabupaten Rokan Hulu adalah

Universitas Pasir Pengarain dan Politeknik Pasir Pengarain. Selain Pendidikan

formal ada juga pendidikan nonformal seperti PAUD (Pendidikan Anak Usia

Dini) dan PDTA (Pendidikan Diniyah Ta’maliyah Awaliyah).

b. Agama dan Kepercayaan

Riau sebelum agama Islam datang agama yang berkembang adalam Hindu,

hal ini ditandai dengan candi Muara Takus yang terletak di XIII Koto Kampar

Kabupaten Kampar. Namun setelah agama Islam datang kepercayaan masyarakat

berubah yakni mengikuti ajaran agama Islam, bahkan orang Melayu identik

dengan Islam. Untuk masyarakat Melayu Rokan Hulu menganut agama Islam 100 persen, bahkan ibukota kabupatennya diberi nama dengan “Negeri Seribu Suluk”. Gelar tersebut diberi karena di Rokan Hulu sangat banyak dijumpai surau tempat

(27)

63

c. Bahasa

Bahasa merupakan media komunikasi yang efektif untuk digunakan

berinteraksi dalam kehidupan. Bahasa asli masyarakat Kabupaten Rokan Hulu

adalah bahasa Melayu dialek Rokan, bahasa tersebut mirip dengan bahasa

masyarakat Minang di Kabupaten Pasaman Timur Provinsi Sumatra Barat. Selain

itu ada juga masyarakat yang menggunakan bahasa Jawa, Batak, dan Minang.

d. Mata Pencaharian

Aktivitas masyarakat Kabupaten Rokan Hulu bervariasi namun sebagian

besar banyak yang berprofesi sebagai petani sawit dan karet. Selain itu,

masyarakat banyak juga yang berprofesi sebagai guru, pegawai, polisi, tentara,

pedagang, peternak, wiraswasta, dan pengusaha.

e. Peralatan dan Perlengkapan Masyarakat

Menggeliatnya zaman merubah pola hidup masyarakat tidak terkecuali

masyarakat Melayu Rokan. Pola hidup masyarakat Melayu Rokan Sudah

mengarah ke pola hidup masyarakat modern, namun tetap saja sebagian masih ada

yang mempertahan pola hidup tradisional. Peralatan yang tampak menonjol

perubahannya adalah model rumah, alat perlengkapan rumah tangga, alat

pertanian, dan transportasi. Pertama, model rumah masyarakat pada awalnya

berbentuk panggung dan berbahan kayu, sekarang berubah menjadi rumah beton.

Kedua, alat rumah tangga yang digunakan pada awalnya sangat tradisional seperti

memasak air, menanak nasi, dan sebagainya dengan kayu, tetapi sekarang sudah

memakai alat yang berlistrik seperti magic com, dispenser, dan sebagainya.

Ketiga, alat transportasi seperti kuda, perahu, dan boat sekarang sekarang muncul

kendaraan seperti mobil, kapal, dan lain-lain. Terakhir alat pertanian seperti

cangkul dan kerbau sebagai alat untuk menggarap sawah, tetapi sekarang sudah

(28)

f. Sistem Kekerabatan

Pepatah adat yang berbunyi “kociak bosubuik namo godang bosubuik gola”

artinya kecil disebutkan nama besar dipanggilkan gelarnya, menunjukkan bahwa

masyarakat Melayu Rokan memiliki sistem kekerabatan di tengah keluarga dan

masyarakat. Adapun sistem kekerabatan pada masyarakat Melayu Rokan adalah

sebagai berikut:

a) omak/ondeik adalah panggilan untuk ibu kandung;

b) ayah/abah adalah panggilan untuk ayah kandung;

c) buyuang adalah panggilan untuk anak laki-laki;

d) upiak adalah panggilan untuk anak perempuan;

e) kawo/uda/ulong adalah panggilan untuk saudara laki-laki tua;

f) uni adalah panggilan untuk panggilan untuk saudara perempuan;

g) mamak adalah panggilan untuk saudara laki-laki ibu;

h) etek adalah panggilan untuk adik ibu perempuan;

i) apak tuo adalah panggilan untuk saudara bapak yang tertua;

j) uci adalah panggilan untuk nenek;

k) datuak/ niniak adalah panggilan untuk kakek;

l) kakak/somondo adalah panggilan untuk kakak ipar atau adik ipar laki-laki;

m) amei adalah panggilan untuk mertua perempuan;

n) mamak adalah panggilan untuk mertua laki-laki;

o) pobisen/abet adalah panggilan untuk anak paman.

4. Adat Monografi Rokan Hulu

Sistem kerajaan yang dulu berkembang di tanah Rokan Hulu tidak hilang

begitu saja, namun masih tetap ada terutama dalam sistem gelar adat dan nama

suku. Adapun adat monografi Rokan Hulu menurut Syam (2012) berikut ini.

a. Adat monografi Luhak Tambusai

1) Suku Melayu grl Dt. Kemalo Kajo Bendaro

2) Suku Ampu, pucuk suku glr. Dt. Kumalo Kayo

3) Suku Kuti, pucuk suku glr. Dt. Paduko Rajo

(29)

65

5) Suku Seberang, pucuk suku glr. Dt. Rangkayo Maharadjo

6) Suku Pungkuik, pucuk suku glr. Dt Majo Laksamano

7) Suku Mais, pucuk suku Dt. Perkaso Rajo

8) Suku Bonuo, pucuk suku glr. Dt. Radjuko Rajo

9) Suku Mondiliang, pucuk suku glr. Dt. Perdana Monti

(tolan musyawaratnya Raja dan membawahi masyarakat sukunya)

Sibah Dalam

10)Induk Dalam, kepala induk glr. Raja Mansur

11)Induk Simajo Rokan, kepala induk glr. Majo Rokan

12)Induk Simajo Lelo, kepala induk glr. Simajo Lelo

13) Induk Seri Marajo, kepala induk glr. Seri Marajo

14) Induk Majo Rajo, kepala induk glr. Majo Rajo

b. Adat monografi Luhak Rambah

1) Suku Ampu, glr Dt. Panduko Simarajo

2) Suku Melayu, glr. Dt. Paduko Maharajo

3) Suku Moniliang, glr. Dt. Rangkayo Maharajo

4) Suku Bonuo, glr. Junu Ampu

5) Suku Pungkuik, glr. Dt. Temenggung

6) Suku Kandang Kopuh, glr. Dt. Peduko Majo Lelo

7) Suku Kuti, glr. Dt. Peduko Besar

8) Suku Anak Raja-raja yang diketuai oleh Sutan Mahmud

9) Suku Nan Seratus, glr. Dt. Setia Raja

10) Suku Non Limo Puluh, glr. Dt. Seramo

c. Adat monografi Luhak Kepenuhan

1) Suku Melayu, glr. Dt. Bendaharo

2) Suku Melayu Induk Naro Beringin, glr. Seri Peduko

3) Suku Melayu Induk Paso, glr. Mentari Lelo

4) Suku Melayu Induk Kepala Badang, glr. Rangkayo Sutan

(30)

6) Suku Moniliang, glr Dt. Rangkayo Marajo

7) Suku Pungkuik, glr. Dt. Peduko Jolelo

8) Suku Kandang Kopuh, glr. Dt. Bijo Angso

9) Suku Mais, glr Dt. Temenggung

10)Suku Kuti, glr Dt. Maharajo Nando

11)Suku Ampu, glr. Dt. Bidjo Radjo

12)Suku Nan Seratus, glr. Dt. Nindo

13)Suku Anak Rajo, glr St. Ibrahim (Sultan Saidi)

14)Suku Anak raja Induk Tanjung Alam, glr. Rajo Gegar Alam

15)Suku Anak rajo-rajo Induk Pasir Limau Manis, glr. Tengku Besar

d. Adat monografi Luhak Kuntodarussalam

1) Negeri Koto Intan

a) Suku Melayu glr. Dt. Bendaharo

b) Suku Melayu glr. Dt. Gompo Alam

c) Suku Melayu Tiga Induk glr. Dt. Paduko

d) Suku Melayu Panjang, glr. Dt Semarajo

e) Suku Domo. glr. Datuk kayo

f) Suku Melayu Tengah, glr. Dt. Perdana Putra

g) Suku Empat Induk, glr. Dt. Paduko Besar

h) Suku Ciniago, glr. Dt. Rangkayo Mudo

i) Suku Petopang, glr. Dt. Peduko Besar

2) Negeri Kotalama

a) Suku Melayu Besar, glr. Dt. Bendaharo

b) Suku Petopang, glr. Dt. Sripaduko

c) Suku Melayu Tiga Induk, glr. Datuk Tenaro Dirajo

d) Suku Melayu empat Induk, glr. Dt. Lelo Mudo

e) Suku Melayu Glr. Dt. Leksmano

f) Suku Muniliang, glr. Dt. Majo Indo

g) Suku Pungkuik, glr. Dt. Rangkayo Sutan

(31)

67

a) Suku Melayu, glr. Dt. Rajo Kemalo

b) Suku Muniliang, glr. Dt. Rajo Bendaro

c) Suku Domo, glr. Dt. Kemalo Indo

4) Kampung Sungai Murai

a) Suku Melayu, glr. Dt. Laksmano

b) Suku Muniliang, glr. Dt. Rio Tulang gunung

c) Suku Domo, glr. Dt. Batin Majolelo

5) Kampung Kasang Mungkal

a) Suku Melayu, glr. Dt. Ulak Mando

b) Suku Muniliang, glr. Dt. Majo Sinaro

c) Suku Domo, glr. Dt. Laksmano

6) Kampung Titian Gading

a) Suku Melayu glr. Dt. Rangkayo Maharajo

b) Suku Muniliang, glr. Datuk Majo Sinaro

c) Suku Domo, glr. Dt. Paduko Laksmano

7) Kampung Sontang

a) Suku Melayu, glr. Dt. Penghulu Besar

b) Suku Muniliang, glr. Dt. Rangkayo Mudo

c) Suku Muniliang, glr. Dt. Laksmano

8) Kampung Bonai

a) Suku Melayu, glr. Dt. Majo Lelo Pati

b) Suku Muniliang, glr. Dt. Batuah

c) Suku Domo, glr. Dt. Laksmano

9) Kotalamo, Suku yang beradat

a) Suku Melayu. glr. Dt. Bendahara

b) Suku Melayu Besar, glr, Dt. Bendahara

c) Suku Pungkuik, glr. Dt. Tando Dirajo

d) Suku Melayu Tiga Induk, glr. Dt. Sri Paduko

(32)

1) Penghulu Rokan

a) Suku Mais, glr. Dt. Bendaharo

b) Suku Bendang, glr. Dt. Tumogong

c) Suku Melayu Pokomo, glr. Dt. Pokomo

d) Suku Ciniago, glr. Dt. Biji Dirajo

e) Suku Petopang, glr. Dt. Paduko Marajo

f) Suku Petopang, glr. Dt. Rangkayo Marajo

g) Suku Potopang, glr. Dt. Rajo nan Besar

h) Suku Melayu, glr. Dt. Tolanso

i) Suku Muniliang, glr. Dt. Saitamo

j) Suku Melayu , glr. Dt. Setio Rajo

k) Pongulu Pasa (pemerintah sebelum masuk suku)

2) Penghulu Pendalian

a) Suku Mais, glr. Dt. Tomogong

b) Suku Mniliang, glr. Dt. Sijelo

c) Suku Piliang, glr. Dt. Maharajo

d) Suku Petopang, glr. Dt. Rangkayo Bungsu

e) Suku Petopang, glr. Dt. Bimbo Rajo

f) Suku Melayu, glr. Dt. Marajo Besar

3) Penghulu Lubuk Bendahara

a) Suku Melayu, glr. Dt. Bendaharo

b) Suku Piliang, glr. Dt. Tomongong

c) Suku Petopang, glr. Dt. Rangkayo Marajo

d) Suku Moniliang, glr. Dt. Biji Dirajo

e) Suku Piliang, glr. Dt. Paduko Marajo

f) Suku Nan Seratus, glr. Dt. Kemalo Sutan

4) Penghulu Ujungbatu

a) Suku Melayu,glr. Dt. Bendaro

b) Suku Ciniago, glr. Dt. Bimbo

c) Suku Muniliang, glr. Dt. Biji Dirajo

(33)

69

e) Suku Melayu, glr. Dt. Paduko Sinaro

f. Adat monografi Kewalian Negeri Tandun Dan Kabun

1) Suku Domo di Tandun, glr. Bendahara Mudo

2) Suku Melayu di Kabun, glr. Dt. Bendaharo Mudo

3) Suku Melayu di Kota Ranah, glr. Dt. Bendaharo Mudo

4) Suku Petopang di Aliantan, glr. Dt. Bendaharo Mudo

5) Suku Caniago di Tandun, glr. Dt. Maharajo Besar

6) Suku Piliang di Tandun, glr. Dt. Biji Angso

7) Suku Melayu di Tandun, glr. Dt. Penghulu Besar

8) Suku Piliang Kecil, glr. Dt. Majo Kayo

9) Suku Domo Kecil, Dt. Tomonggong

10) Suku Melayu di Kabu, glr. Dt. Setia Angso

11)Suku Melayu di Kabun, glr. Dt. Paduko Rajo

12)Suku Piliang di Kabun, glr. Dt. paduko Tuan

13)Suku Caniago diKabun, glr. Dt. Paduko Simarajo

14)Suku Petopang Kecil, glr. Dt. Podomo

15)Suku melayu Kecil, glr. Dt. Majo Kayo

16)Suku Melayu di Kota Ranah, glr. Dt. Paduko Sinando

17)Suku Domo di Kota Ranah, glr. Dt. Marajo

18)Suku MElayu Bawah, glr. Dt. Sinaro

19)Suku Domo, glr. Dt. Penghulu Besar

20)Suku Melayu Bukit, glr. Dt. Majo Indo

21)Suku Petopang, glr. Dt. Paduko Marajo

22)Suku Aliantan, glr. Dt. Paduko Jolelo

23)Suku Melayu Bukit Gear, glr. Dt. Jelo Sakti

24)Suku Muniliang di Aliantan, glr. Dt. Majo Kayo

25)Suku Muniliang Kecil, glr. Dt. Temenggung

(34)

C. Data Penelitian

1. Sumber Data

Sumber data dapat diartikan sebagai wadah inti data dapat dikumpulkan

oleh peneliti. Sumber data dalam penelitian adalah pelaku menumbai lebah atau

pawang (panggilan oleh masyarakat Melayu rokan), serta orang-orang yang

dianggap memiliki kapasitas tentang data yang dicari seperti pemuka adat.

Dengan kata lain sumber data dalam penelitian ini bersumber dari wawancara

dengan masyarakat yang dianggap memiliki pengetahuan tentang menumbai

lebah, dan yang kedua berasal dari observasi di lapangan atau lebih spesifiknya

adalah observasi pada saat proses upacara menumbai lebah. Informan sebagai

sumber data penelitian ini terdiri atas tiga orang pawang yakni Nusin, Aman, dan

Simeh.

2. Data

Data merupakan jantung dari sebuah penelitian sekaligus sebagai sebuah

alat untuk mengukur kualitas penelitian tersebut. Dalam penelitian kualiatif

kelengkapan data merupakan sesuatu yang harus paling terpenting, meskipun

terkadang kondisi di lapangan yang memaksa untuk bekerja keras agar

terkumpulnya data yang komplit serta mampu menjawab pertanyaan atau masalah

dalam penelitian.

Data pada penelitian ini ada dua, pertama data primer dan data sekunder.

Yang dimaksud dengan data primer dalam penilitian ini adalah teks mantra

menumbai lebah, sedangkan data sekundernya adalah segala aspek untuk sampai

ke mantra. Aspek yang dimaksud seperti ritual, alat yang digunakan dalam ritual,

waktu, dan pelaku ritual.

Proses pengumpulan data pada dasarnya sudah dimulai pada bulan Desember

2012, peneliti melakukan studi pendahuluan di Siak Sri Indrapura pada suku

Petalangan. Hal ini dilakukan mengingat data utama penelitian ini adalah berupa

mantra dan ritual, oleh karenanya dipandang penting untuk melakukan studi

pendahuluan sebagai bentuk perkenalan dan bagian dari sebuah etika yang harus

(35)

71

yakni bapak Hamdan Saily, peneliti menceritakan tujuan dan maksud kedatangan

kepada beliau dan mendapatkan tanggapan yang baik dari beliau sebagai

pemerhati budaya lokal. Beliau juga sebagai media peneliti untuk sampai kepada

juragan, tetapi itu bukanlah nama aslinya karena nama aslinya adalah Nusin.

Pertemuan saat itu hanya sebagai pengantar saja karena belum masuk pada

kagiatan inti.

Pada bulan Februari tepatnya tanggal 2 tahun 2013, peneliti turun ke

lapangan setelah menyelesaikan berbagai administrasi mulai dari kampus,

KESBANG Provinsi Riau, KESBANG Kabupaten Siak, kecamatan, dan terakhir

Desa Sungai Mempura. Langkah manis pada studi pendahuluan terkesan sebuah

kenangan, karena kedatangan kedua kalinya tak seperti pada kedatangan pertama

yang kesannya terbuka. Wawancara peneliti dengan pak Nusin kurang lancar

karena dari beberapa pertanyaan yang diajukan cenderung tidak jawab, alasannya

adalah tradisi menumbai lebah tidak dapat diberikan kepada sembarangan orang,

dengan kata lain untuk dapat mengetahui hal-hal seperti mantra harus memenuhi

syarat, salah satu syaratnya adalah orang tempatan yang masih memiliki hubungan

kekerabatan dengan guru. Begitu juga halnya ketika peneliti ingin mengobservasi

proses upacara menumbai lebah berbagai alasan yang berujung pada penolakan

yang beliau lontarkan. Melihat kondisi seperti ini, maka peneliti berkoordinasi

dengan salah tokoh adat atau seniman Riau yakni Bapak S. Berrein SR. Kemudian

beliau menyarankan untuk mengalihkan penelitian ke daerah Rokan kabupaten

Rokan Hulu, karena menurut beliau di kecamatan Rokan IV Koto merupakan

salah satu tempat yang masih banyak dijumpai tradisi menumbai lebah.

Pada tanggal 15 februari 2013 atas saran beliau peneliti mencoba untuk

datang ke kecamatan Rokan IV Koto, desa Cipang Kiri Hilir, dusun Tandikat

untuk menemui bapak Nasir. Pak Nasir adalah salah sorang pengambil madu

sialang, orang Melayu Rokan memanggilnya dengan pawang. Setelah bertemu

dengan beliau, peneliti langsung mengutarakan hajat kedatangan kepadanya,

syukur Alhamdulillah dengan besar hati beliau menerima dan bersedia untuk

memberikan segala hal yang berhubungan dengan menumbai lebah. Kemudian

(36)

yakni desa Cipang Kiri Hulu dusun Seikijang dan Pintukuari. Akhirnya peneliti

dapat menemukan dua pawang dari dua dusun tersebut dengan mudah sebagai

perbandingan dan memperkaya data tentang menumbai lebah.

D. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data penelitian tentang mantra menumbai lebah

masyarakat Melayu Rokan pada bidang kajian struktur, konteks penuturan, dan

fungsinya. Peneliti menggunakan sejumlah teknik, yaitu sebagai berikut:

1. Interview (Wawancara)

Esterberg mendefensikan wawancara “a meeting of two persons to axchange

information and idea thorugh question and responses, resulting in communication and join contruction of meaning about particular topic”. Artinya wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya

jawab, sehingga dapat dikontruksikan makna dalam suatu topik tertentu. Jenis

wawancara yang digunakan pada penelitian adalah wawancara semistruktur.

Wawancara semistruktur temasuk dalam kategori in-dept interview, di mana pihak

yang diwawancarai diminta pendapat dan ide-idenya (Sugiyono, 2010:73).

Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini berpedomankan pada

instrumen, hal ini bertujuan agar wawancara yang dilakukan di lapangan lebih

terarah dan terfokus kepada pokok-pokok permasalahan yang akan dikaji. Selain

itu instrumen juga berperan untuk mengontrol arah dari pembicaraan antara

peneliti dengan informan agar tidak terlalu jauh dari target utama yang ingin

dicapai. Namun satu hal yang harus dipahami bahwa terkadang instrumen

penelitian kualitatif tidak akan sama perkembangannya di lapangan dengan

instrument penelitian kuantitatif, karena sudah menjadi kebiasaan pada penelitian

kualitatif bahwa pertanyaan-pertanyaan yang disiapkan selalu beranak, atau

dengan kata lain satu pertanyaan yang tercantum dalam instrumen bisa

berkembang menjadi beberapa pertanyaan baru. Secara garis besar Poin

wawancara ditanyakan pada penelitian ini meliputi lima hal, yakni berkenaan

pelaku proses upacara menumbai lebah, waktu pelaksanaan, konteks penuturan

(37)

73

Untuk lebih jelas pertanyaan-pertanyaan berkenaan empat poin di atas, dapat

dilihat pada lampiran II.

2. Observasi

Observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan. Para peneliti hanya akan

dapat bekerja berdasarkan data, yaitu fakta mengenai kenyataan yang diperoleh

melalui observasi. Data itu dikumpulkan dengan bantuan alat yang canggih,

sehingga benda-benda yang sangat kecil maupun yang jauh dapat diobservasi

dengan jelas (Nasution, 1988). Observasi dapat dibagi menjadi dua, yakni

observasi partisipatif (participant observation) dan observasi nonpartisipatif.

Observasi partisipatif adalah peneliti terlibat dalam kegiatan sehari-hari orang

yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai sumber penelitian. Sambil

melakukan pengamatan, peneliti ikut mengerjakan apa yang dilakukan oleh

sumber data, dan ikut merasakan suka dan dukanya. Selanjutnya observasi

nonpartisipatif adalah peneliti tidak terlibat langsung dengan aktivitas yang

sedang diamati, namun peneliti hanya sebagai pengamat independen.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan observasi nonpartisipatif untuk

melihat secara langsung tentang kegiatan masyarakat Melayu Rokan untuk

mendapat gambaran eksplisit tentang menumbai lebah masyarakat Melayu

Rokan.Untuk lebih terarah dan terfokusnya observasi yang dilakukan di lapangan,

maka peneliti membuat pedoman observasi sebagai acuan dan pedoman. Kisi-kisi

pedoman observasi tersebut dapat dilihat pada lampiran II.

Selanjutnya, untuk memudahkan dalam pengumpulan data pada penelitian

ini, maka peneliti menggunakan alat teknolgi. Adapun alat teknologi yang

digunakan adalah camera, handycam, tape recorder. Alat teknogi tersebut

diharapkan dapat memudahkan dalam proses pengumpulan data penelitian ini.

(38)

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan pada saat pengumpulan data

berlangsung dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tetentu. Analisis

di lapangan digunakan model Miles dan Huberman melalui tiga tahapan yakni

reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), dan simpulan

(conclusion).

Tahap reduksi data maksudnya adalah merangkum, memilih hal yang

pokok, menfokuskan pada hal yang penting, dan dicari tema dan polanya. Tahap

selanjutnya adalah penyajian data (display data), pada tahap ini penyajian data

yang biasanya dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar

kategori, yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian

kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif. Tahap terakhir dalam analisis

data adalah tahap verifikasi atau mengambil sebuah simpulan (Sugiyono, 2010:

95).

Untuk lebih mudah dipahami dan lebih jelas langkah-langkah dalam analisis

data dalam penelitian ini, dituangkan sebagai berikut:

1. mengumpulkan data yang didapat dari lapangan dengan menggunakan

teknik observasi dan wawancara serta hasil dokumentasi dari beberapa alat

penelitian berupa camera, handycam, dan tape recorder dari ritual

menumbai lebah;

2. menerjemahkan data dari bahasa Melayu ke bahasa Indonesia supaya mudah

dalam menganalisis data;

3. mengelompokkan data dan menguraikannya;

4. menganalisis data sesuai dengan teori yang digunakan. Untuk upacara

menumbai lebah, konteks penuturan, dan fungsi mantra digunakan teori

metode etnografi. untuk menganalisis kajian struktur teks mantra digunakan

teori struktural model Van Djik;

5. menyusun bahan pembelajaran untuk SMA;

(39)

75

Pedoman Analisis

Proses upacara menumbai lebah, struktur teks, konteks penuturan, konteks

penuturan, fungsi, dan pemanfaatan sebagai bahan ajar di SMA.

No Tujuan penelitian Data Teori Analisis

1. Mendeskripsikan upacara

menumbai lebah

Tahapan pelaksanaan

upacara menumbai lebah,

alat yang digunakan pada

proses upacara tersebut,

pelaku menumbai lebah,

dan berdendang mantra.

Teori folklor

2. Mendeskripsikan struktur

teks mantra menumbai

lebah

Bentuk teks mantra,

struktur mantra, bunyi,

makna, dan gaya bahasa.

Teori Pradopo

3. Konteks penuturan mantra Meliputi waktu, suasana,

tempat, tujuan penuturan,

dan listener dari penuturan

mantra menumbai lebah

tersebut.

Struktural

Van Djik

4. Fungsi mantra Fungsi dalam upacara

menumbai lebah, dalam

dunia pendidikan, dan

fungsi sosial bagi

masyarakat Rokan.

Teori Sibarani

5. Upaya pelestarian Pemanfaatan mantra

menumbai lebah sebagai

bahan ajar di sekolah

SMA.

(40)

BAB V

PEMANFAATAN MANTRA DALAM UPACARA MENUMBAI LEBAH

SEBAGAI BAHAN AJAR BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SMA

Sebagaimana yang telah dipaparkan di bab II tentang upaya pelestarian

mantra dalam upacara menumbai lebah, maka dalam bab ini akan dibuat bentuk

konkret upaya pelestarian tersebut dengan memanfaatkan mantra sebagai materi

bahan ajar mata pelajaran Bahasa dan Sastra di sekolah SMA.

A. Upaya Pelestarian dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Daerah di

Sekolah

Sekolah merupakan bengkel yang dipercayai mampu mencetak manusia

berpendidikan dan berpengetahuan yang luas, mampu melihat segala bentuk alam,

perilaku alam, mahluk yang menghuni alam, dan budaya-budaya yang menjadi

aktivitas mahluk tersebut baik yang tersurat maupun yang tersirat. Peran yang

begitu besar dari sekolah menjadi pilihan yang tepat untuk dijadikan sebagai

wadah pelestarian budaya terhadap siswa sebagai pewaris atau penerima tongkat

esatafet budaya pada masa mendatang.

Pengenalan sastra lisan di sekolah juga dipandang sebagai usaha

memperkenalkan kahazanah budaya lokal yang begitu bervariasi yang tersebar

dari Sabang sampai Merouke kepada pemiliknya, karena masih terlalu banyak

generasi saat ini yang belum mamahami budayanya sendiri. Jika pendangkalan

pemahaman budaya lokal dibiarkan maka tidak menepis kemungkinan hari demi

hari budaya lokal akan terus menemui ajalnya dan punah akibat ditinggalkan

masyarakat pendukungnya. Materi sastra lisan seperti puisi lama (mantra, pantun,

syair, gurindam, dll) memperkenalkan sekaligus membuat langkah pelestarian

terhadap generasi muda.

Dalam pengenalan sastra lisan kepada siswa di sekolah sekaligus

mengungkap nilai-nilai yang terkadung di dalamnya, sehingga dapat dijadikan

pelajaran dan pedoman untuk pembentukan watak yang baik di tengah masyarakat

(41)

177

pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya

empat manfaat yaitu membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan

pengetahuan budaya, membangun cipta dan rasa, dan menunjang pembentukan

watak.

Melalui pengenalan sastra lisan seperti mantra dapat menunjang berbagai

kemampuan siswa seperti keterampilan berbahasa dengan mangakaji struktur

yang ada pada mantra tersebut, cipta dan rasa melalui pengatahuan konteks

penggunaan atau ritualnya, dan pembangunan watak dari nilai-nilai yang

terkandung dari segala aspek budaya tersebut. Kemudian sastra lisan seperti

mantra dapat juga memberikan gambaran kepada siswa bahwa meskipun orang

terdahulu terbatas dalam segi infrastruktur, tetapi mereka tetap berkarya dan tidak

mejadikan keterbatasan tersebut sebagai penghalang, apatah lagi kita yang hidup

di zaman yang serba canggih ini yang memungkinkan untuk berkarya lebih dari

orang dahulu dengan memanfaatkan segala fasilitas yang serba lengkap dan

canggih.

B. Dampak yang Diharapkan

Harapan pada hakekat selalau dimunculkan terhadap sesuatu yang positif,

dan begitu juga halnya berkenaan budaya menumbai lebah ini. Pelestarian mantra

dalam upacara menumbai lebah di sekolah pada pembelajaran sastra diharapakan

mampu meberikan sumbangsi yang bermafaat terhadap berbagai kalangan untuk

pemertahanan budaya tersebut di masa sekarang dan keberlangusungan di masa

mendatang. Untuk lebih spesifik dampak yang diharapkan dipaparkan sebagai

berikut ini.

1. Siswa dapat memahami dan mengenali budaya lokal seperti menumbai

lebah dan karya sastra lainnya yang mengandung nilai-nilai kerafian yang

patut untuk diteladani dalam kehidupan sehari-hari.

2. Memperkaya pengetahuan siswa tentang karya sastra terutama puisi lama

(42)

3. Memberikan penyegaran dan pemahaman kepada siswa sebagai stafet

pewaris budaya masa mendatang agar mempertahankan budaya lokal di

tengah erosi budaya asing.

4. Memberikan masukan kepada para guru di sekolah, kususnya guru Bahasa

dan Sastra Indonesia agar memanfaatkan budaya lokal atau sastra lisan

sebagai bahan ajar.

C. Mantra Sebagai Bahan Ajar di SMA

1. Analisis Kurikulum

Pada kurikulum KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pembelajaran) mata

pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia tingkat sekolah menengah atas (SMA)

semester satu memuat standar kompetensi tradisi lisan melalui pokok pembahasan

puisi lama. Dalam hal pembagian puisi lama terbagi kedalam beberapa bentuk

seperti pantun, girindam, syair, dan mantra. Dari beberapa macam karya sastra

yang tergolong kepada puisi lama, maka difokuskan kepada mantra karena

penelitian ini membahas tentang mantra. Untuk lebih jelas mengenai standar

kompetensi yang dimuat dalam silabus berkenaan mantra dapat dilihat pada tabel

di bawah ini.

Mata Pelajaran : Bahasa dan Sastra Indonesia

Kelas/Semester : XII/1

Standar Kompetensi : Berbicara (menaggapi pembacaan tentang puisi lama)

Kompetensi Dasar Materi

Pembelajaran

Kegiatan Pembelajaran Jenis

bahan ajar

pembacaan puisi dari

- Handout

- Audio

(43)

179

temannya dengan

menelaah lafal,

intonasi dan ekspresi.

- Guru dan siswa lain

memberikan masukan

terhadap siswa yang

membacakan puisi.

Silabus di atas memberikan pedoman dan memberikan celah atau

kesempatan terhadap puisi lama seperti mantra menumbai lebah untuk

dimasukkan menjadi salah satu bahan ajar Bahasa dan Sastra dalam bentuk

apresiasi sastra, khususnya sastra lisan. Melalui momen ini juga memberikan

kesempatan terbaik untuk memperkenalkan budaya lokal atau budaya siswa

sendiri secara lebih mendalam agar tumbuh rasa cinta dan tanggung jawab sebagai

pewaris tunggal di masa mendatang.

2. Analisis Sumber Bahan Ajar

Sumber bahan ajar merupakan salah hal yang penting dan penentu

keberhasilan dalam upaya mencapai tujuan dari pembelajaran. Analisis terhadap

bahan ajar pada dasarnya lebih mengacu kepada kesesuaian, ketersediaan, dan

kemudahan dalam pemanfaatan dalam proses pembelajaran di sekolah. Dalam

konteks puisi lama dan pemabahasan mantra menumbai lebah, bahan ajar yang

cocok adalah teks mantra menumbai lebah berupa handout dan rekaman bacaan

mantra dalam upacara menumbai lebah.

Teks mantra merupakan sumber pokok untuk pengajaran mantra tersebut,

sedangkan rekaman dapat dijadikan acuan dan pedoman bagi guru dan siswa

dalam membacakan mantra dengan memperhatikan pelafalan, intonasi serta

eskpresi layaknya seperti sorang pawang dalam membacakannya. Teks dan

rekaman merupakan sumber bahan ajar kontekstual dan mudah dalam

(44)

Sumber bahan ajar yang digunakan dalam hal ini terdiri atas dua bentuk

yakni handout dan rekaman. Handout dipandang dapat menggambarkan tentang

upacara menumbai lebah dan mantra yang digunakan dalam proses upacara

menumbai lebah tersebut, sedangkan rekaman merupakan rujukan bagaimana

pelafalan, intonasi, dan ekspresi dalam membaca mantra seperti yang dicontohkan

pawang dalam membaca mantra menumbai lebah.

3. Peta Bahan Ajar

Peta bahan ajar merupakan potret secara keseluruhan seperti SK, KD,

materi, dan bentuk bahan ajar. Untuk lebih jelas dapat dilihat dari peta bahan ajar

di bawah ini.

Keterangan

SK : Standar Kompetensi

KD : Kompetensi Dasar

MP : Materi Pembelajaran

JBA : Judul Bahan Ajar

SK •

Mengungkapkan pendapat tentang pembacaan puisi

KD

• Menanggapi tentang pembacaan puisi lama (mantra) yang meliputi lafal, intonasi, ekspresi

MP

• Puisi lama (mantra)

• Pengertian lafal, intonasi, dan

JBA •

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku saat ini pada petani pembudidaya patin di Kabupaten Indragiri Hulu mengeluarkan biaya produksi lebih kecil

Experient will forward the credit card information to the relevant hotel, and when the hotel has received all reservation details in May 2018, credit cards will be charged for a

Mengobati Benjolan Wasir Luar Yang Bengkak Mengobati Benjolan Wasir Luar Yang Bengkak, Selamat datang di web Klinik Wasir D-24 dengan Hotline: 085646457211 yang akan memberikan

Seluruh data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan karyawan dan nasabah, pengamatan langsung kepada nasabah, serta laporan keuangan yang dikeluarkan oleh BPRS Bhakti

Parameter yang digunakan dalam pengujian ini adalah jika terdapat perubahan MAC address pada perangkat client yang terhubung pada jaringan maka dapat dipastikan

Title: * Correct the base type and facet pattern for TypeNameListType in the WFS 1.1.0 Schema Source: * City of Vienna. Work

b.Secara praktis penelitian ini dapat menjadi landasan atau dasar pertimbangan dalam upaya membentuk hubungan sosial dan ekonomi yang dinamis antara anggota

[r]