• Tidak ada hasil yang ditemukan

Etos Kerja Masyarakat Melayu Batubara: Kajian Terhadap Mantra Melaut Di Kecamatan Tanjung Tiram

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Etos Kerja Masyarakat Melayu Batubara: Kajian Terhadap Mantra Melaut Di Kecamatan Tanjung Tiram"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “ Etos Kerja Masyarakat Melayu Batubara: kajian Terhadap Mantra Melaut Di Kecamatan Tanjung Tiram”. Skripsi ini membicarakan menganalisis masyarakat Melayu dan mantra melaut yang masih digunakan oleh masyarakat Melayu Batubara. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan mantra melaut dengan masyarakat Melayu Batubara, struktur pembentuk mantra melaut dan nilai-nilai sosiologi etos kerja yang terdapat di dalam mantra melaut.

Metode penelitian yang digunakan, metode deskriptif yakni untuk memaparkan segala sesuatu yang berkaitan dengan mantra melaut baik struktur pembentuk maupun nilai-nilai yang terkandung didalam mantra melaut tersebut. Analisis menggunakan teori sosiologi yang berkaitan dengan nilai-nilai sosial dan etos kerja, juga digunakan teori struktural sebagai landasan penulis.

(2)

DAFTAR INFORMAN

1. Nama : Sofyan

Umur : 45 Tahun

Agama : Islam

Pekerjaan : Nelayan

Pendidikan : Sekolah Dasar (SD)

2. Nama : Rahman

Umur : 60 Tahun

Agama : Islam

Pekerjaan : Nelayan

Pendidikan : Sekolah Dasar (SD)

3. Nama : Syariffudin

Umur : 50 Tahun

(3)

Pekerjaan : Nelayan

Pendidikan : Sekolah Dasar (SD)

4. Nama : Emi

Umur : 55 Tahun

Agama : Islam

Pekerjaan : Nelayan

(4)

DAFTAR PUSTAKA

Bukhori, Mochtar.1989. Spektrum Problematika Pendidikan Indonesia. Jakarta: Tirta Wacana Yogyakarta, hal 73

Damono, Sapardi Djoko. 1999. Sosiologi Sastra. Jakarta. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Endraswara, Suwardi. 2002, Metode Penelitian Sosiologi Sastra. Yogyakarta:FBSU niversitas Negeri Yogyakarta.

Effendy, H. Tenas 2003, Saku Budaya Melayu Yang Mengandung Nilai Ethos Kerja. Pekanbaru: Unri Press.

Farnando, Dicky. 2003. Deskripsi Dan Makna Ritual Jamuan Laut Masyarakat Melayu Jaring Halus Kabupaten Langkat. Skripsi Sarjana. Medan: FS USU.

Faruk, 1994. Pengantar Sosiologi Sastra; Dari Strukturalisme Genetik sampai Post Modernisasi. Yogyakarta: PustakaPelajar.

Hamid, Ismail. 2002. Kesusteraan Indonesia Bercorak Islam, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Harahap, Hamdani. 1990. Orientasi Budaya Masyarakat Nelayan Melayu di PesisirTimur Sumatera Utara. Medn; Lembaga Penelitian Universitas Sumatera Utara, hal 37-39. Luckman sinar, Tengku. 1978. Sumatera Utara Zaman Purbakala. Medan: Perwir, Hlm. 7 Maslinda. 2000. Analisis Struktur Dan Nilai-Nilai Psikologi Dalam Mantra Pekasih Masyarakat

Melayu Aras Kabu.

Lubis, Mochtar. 1978. Etos Pers Indonesia, Jakarta: Prisma, no. 11, hal. 13

Nadila, 2012. Nilai-nilai Sosiologi Sastra Senandung Mengayunkan Anak Pada Masyarakat Melayu Batubara

Nawawi, Hadari. 1987. Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gadjah Mada University. Press.

Piah, Harun Mat.1993. Puisi Melayu Tradisional Suatu Pertimbangan Genre. Kuala Lumpur: Kementrian Pendidikan Malaysia.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2000. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gajah mada University Press. Ratna, Nyoman. 2004. Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

(5)

Syaifuddin, Wan. 2008. Mantra Ritual Membina Fisik dan Mental Jurnal Ilmiah Studia Kultural. Fakultas Sastra USU, Volume 3.

Syaifuddin, Wan dan Lukman Sinar, Tengku. 2002. Upacara Ritual Masyarakat Melayu Pesisir Timur Sumatera Utara dalam kumpulan tulisan yang termuat dalam buku kebudayaan Melayu Pesisir Timur Sumatera Utara Tahun 2002. Medan: USU press.

Syaifuddin, Wan.2005. Mantera dan Upacara Ritual Masyarakat Melayu Pesisir Timur di Sumatera Utara. Pusat Pengkajian Ilmu Kemanusian Universiti Sains Malaysia.

Siahaan, Hotman M. 1986. Pengantar Ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi. Jakarta: Erlangga, hlm.1-13.

Syahprizal, 1999. Fungsi dan Peranan Legenda Kubah Lebai Sonang bagi Masyarakat Desa Pesisir Kecamatan Talawi, Skripsi Sarjana. Medan. FS USU

Taslim, Noriah. 2001. Mekanisme kuasa dalam Mantera, Dewan Sastra; Bil.1.Jil.31, Januari, halm.42

Tasmara, Toto. 2002. Membudayakan Etos Kerja Islami. Jakarta: Gema insani Press, hal.27 Wiyono, Harun. 1974. Hubungan Antara Sastra Dan Masyarakat. Yogyakarta: Pidato

Pengukuhan Lektor Kepala, Tanggal 20 juli.

Waluyo, Herman J. 1991.Teori Dan Apresiasi. Jakarta: Erlangga.

(6)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1Metode Penelitian

Metode dasar yang diterapkan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif adalah pemecahan masalah yang diteliti dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan objek atau dapat diartikan sebagai prosedur objek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya (Nawawi, 1987:63).

Dengan metode ini, data dan informasi dicatat dan dikumpulkan untuk dianalisis sehingga diperoleh gambaran mengenai objek kajian penelitian ini.

3.2Sumber Data

Sumber data utama penelitian ini adalah pemuka adat dan masyarakat selaku informan mantra melaut yang dialkisahkan secara turun-temurun dan bertempat di Batubara (penelitian lapangan). Penulis juga melakukan penelitian kepustakaan dengan tujuan untuk mencari semua bahan dari buku yang berhubungan dengan masalah penelitian sehingga nantinya mendukung penulisan skripsi ini.

3.3Instrumen Penelitian

(7)

3.4 Metode Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data pada penelitian ini, penulis menggunakan beberapa metode dan teknik sebagai berikut:

1. Metode observasi, yaitu penulis langsung turun ke lapangan untuk melakukan pengamatan terhadap objek yang hendak diteliti.

2. Metode kepustakaan, yaitu dengan cara mencari bahan-bahan referensi yang berkaitan dengan judul penelitian data yang dibutuhkan pada saat penelitian lapangan.

3. Metode wawancara, yaitu melakukan wawancara langsung terhadap para informan, sesuai dengan kebutuhan penelitian yang dianggap dapat memberikan informasi atau data-data tentang objek yang diteliti tanpa menggunakan daftar pertanyaan. yaitu dengan menggunakan teknik:

a. Teknik catat, yaitu mencatat semua keterangan yang diperoleh dari informan.

b. Teknik rekam, yaitu merekam informasi atau data yang diberikan oleh informan.

3.5 Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif ini bertujuan untuk memberikan deskriptif mengenai subjek penelitian berdasarkan data atau informasi yang diperoleh berdasarkn fakta yang tampak.

(8)
(9)

BAB IV PEMBAHASAN

4.1Mantra Melaut dalam Masyarakat Melayu Batubara

Mantra terdapat di dalam kesustraan daerah di seluruh Indonesia. Mantra berhubungan dengan sikap religius manusia. Hal ini terlihat seperti pada masyarakat Melayu yang hidupnya selalu berkaitan dengan mantra. Fakta ini terlihat dari kebiasaan pewaris aktif mantra yang memohon sesuatu dari Sang Pencipta dengan menggunakan kata-kata pilihan yang berkekuatan gaib, seperti berkat Lailahaillallah, berkat Muhammaddarasulullah, yang oleh pewaris tersebut dipandang mempermudah kontak atau hubungan dengan Sang Pencipta. Dengan cara demikian, apa yang diminta (dimohon) oleh pengucap mantra itu dapat dipenuhi oleh Sang Pencipta. Syaifuddin, (2005:212)

Mantra tidak hanya digunakan untuk keperluan baik, setidaknya (untuk tujuan baik), tetapi sering juga digunakan untuk tujuan-tujuan tidak baik. Ini tergantung dari niat pengguna mantra tersebut. Karena mantra yang baik sekalipun (mantra aliran putih) dapat digunakan untuk tujuan tidak baik, apalagi mantra yang beraliran buruk (aliran hitam).

Berikut ini adalah mantra yang digunakan masyarakat Melayu Batubara untuk pergi mencari ikan di laut

Di awali dengan Bismillah Nelayan melangkah kan kaki untuk pergi ke laut, setelah sampai

4.2Hubungan Mantra Melaut dengan Agama

(10)

agama terdapaat pula kepercayaan-kepercayaan pada kekuatan supranatural yang diwariskan sebagai peninggalan kebudayaan mereka. Kepercayaan ini menjadikan perlakuan khusus seperti jampi, mantra, serapah yang dilakukan untuk memuja atau memaki “ hantu-hantu” yang ada di permukaan bumi ini.

Sedikit sulit membedakan antara ajaran agama dan peninggalan kepercayaan bagi masyarakat Melayu, karena terdapat penggabungan antara dua unsur tersebut (sinkretisasi) dalam perlakuan keagamaan mereka. Namun demikian, bagi masyarakat Melayu, agama lebih merujuk kepada agama-agama besar yang memiliki dogma-dogma dan memiliki kitab suci seperti agama Islam. Sedangkan kepercayaan kepada hal-hal gaib yang mereka percayai sudah ada sejak zaman dahulu, jadi lebih bersifat warisan budaya.

Masyarakat Melayu Batubara memang sadar bahwa agama lebih tinggi kedudukannya dibandingkan kepercayaan karena agama melibatkan organisasi, nilai sosial, konsep kesucian, hukum, sikap patuh terhadap hukum Allah. Oleh karena itu, kepercayaan bagi mereka tak lebih dari peninggalan nenek moyang yang mereka pikir tidak boleh dihilangkan.

(11)

Berkaitan dengan hal di atas, dalam mantra melaut sangat jelas tergambar keadaan agama bagi masyarakat Melayu Batubara. Unsur ajaran Islam begitu jelas tergambar, baik melalui kata-kata yang digunakan maupun dalam ajaran keimanan yang terkandung di dalamnya.

Dalam ajaran keimanan itu terdapat perintah kepada manusia agar jangan bertindak takabbur yang merupakan tindakan yang sangat dibenci oleh Allah SWT karena dapat membuat manusia menjadi sombong, angkuh, dan hanya mengakui keberadaan dirinya sendiri tanpa mempertimbangkan orang lain yang ada di sekitarnya. Apabila manusia sudah menjadi sombong dan angkuh maka orang-orang yang ada di sekelilingnya pasti akan membencinya.

Berdasarkan keterangan di atas diketahui bahwa ada hubungan yang erat antara agama dan kepercayaan masyarakat Melayu Batubara dengan mantra melaut.

4.3Struktur Mantra

Di dalam membahas tentang mantra melaut ini, penulis hanya menggunakan struktur batinnya saja. Struktur batin atau hakikat puisi ini merupakan salah satu unsur pembentuk yang paling penting. Istilah lain untuk struktur batin ini adalah hakikat atau makna puisi yang berarti bentuk mental dari sebuah puisi (Semi, 1990;107).

(12)

Tema

Tema merupakan gagasan pokok atau ide (subject matter) yang ingin disampaikan pengarang melalui puisinya (Waluyo,1991:17). Tema adalah ide pokok atau suatu gagasan utama yang mendasari suatu karya sastra.

Tema yang banyak terdapat dalam puisi ada beberapa pendapat (Waluyo,1991:17) adalah tema ketuhanan (religius), tema kemanusian, cinta, patriotisme, perjuangan, kegagalan hidup, alam, keadilan, kritik sosial, demokrasi, dan tema kesetiakawanan.

Bismillahhirahmanirahim

Tempatnya di pusat tasik sungai jenggi Penunggu pulau berhala

Datuk panglima hitam Berkat lailahaillalah

Hai mambang merah, mambang kuning, mambang hijau dan mambang putih Tolong jaga aku disaat pergi dan pulang

Hai mambang merah, jaga aku disaat hujan lebat Hai mambang kuning, jaga aku disaat matahari terbit Hai mambang hijau, jaga akau disaat aku tidur dan Hai mambang putih, jaga aku disaat aku sedang bekerja Semua ini berkat izinmu ya allah

Amin ………

Berpijak dari keterangan di atas, maka dapat diketahui bahwa tema dari mantra melaut adalah “ suatu keyakinan diri terhadap pencipta dan alam semesta”.

(13)

serta alam semesta, hal ini dapat dilihat pada kata-kata berkat lailahaillalah dan semua ini berkat izinMu ya Allah.

Nada atau Suasana (tone)

Nada mengungkapkan sikap penyair terhadap pembaca dan dari sikap terciptalah suasana puisi (Waluyo, 1991:37).

Dalam menulis puisi, penyair mempunyai sikap tertentu terhadap pendengar. Nada mengungkapkan sikap penyair terhadap pembaca, dari sikap itulah tercipta suasana puisi (Waluyo, 1991:37). Nada mempunyai unsur yang penting dalam puisi sebab nada menyangkut masalah sikap penyair kepada pembaca. Terhadap nada penegasan, persuasif dan sebagainya.

Adapun nada yang digunakan pada mantra melaut adalah sebagai berikut: 1. Nada Menegaskan

Nada menegaskan ini bersifat lugas, hanya menceritakan sesuatu kepada pembaca. Nada ini biasanya menegaskan kembali apa yang telah ditetapkan sebelumnya seperti sejarah, dogma-dogma, hukum adat, dan lain-lain.

Nada ini tercermin pada bait berikut: Bismillahirrahmannirrohim

Tempatnya di pusat tasik sungai jenggi Penunggu pulau berhala

(14)

Di dalam mantra di atas ditegaskan bahwa untuk memulai sesuatu haruslah dimulai dengan membaca Bismillah agar mendapat ridho Allah dan syafa’at dari Rasulullah, pembaca mantra juga percaya semuanya akan berjalan dengan lancar sesuai dengan apa yang diinginkannya, yaitu diberikan keselamatan dalam hidupnya.

Secara nyata dapat kita lihat bahwa si pembaca mantra masih selalu menggabungkan unsur agama. Hal ini dapat kita lihat pada setiap awal mantra dan akhir mantra yang selalu terdapat kata Bismillahirahmannirahim dan Lailahaillalah.

2. Nada Persuasif

Menurut KBBI (2005:864) persuasif adalah bersifat membujuk atau ajakan secara halus (agar lebih yakin); yakni dengan cara pendekatan itu dilakukan.

Nada persuasif ini tergambar pada kutipan berikut: Assalamualaikum nabi khidir

Pada bait diatas terlihat bahwa si pembaca mantra mengisyaratkan agar ia tidak menghadapi angin kencang serta berharap segeralah berhenti jika ada angin topan di laut supaya dapat beraktivitas dengan lancar dan tanpa hambatan.

3. Nada Sugesti

(15)

tergerak hatinya untuk melakukan apa yang dimaksudkan penyair. Adapun nada sugesti terdapat pada bait berikut:

Hai-hai anak datuk laut Enyalah engkau, pergilah Jikalau engkau tidak pergi Aku pukul dengan ijuk tunggal Dengan ijuk pusaka

Aku sekal kepalamu dengan sangkalan Aku tau asalmu jadi

dari kun fayakun

Berkat kalimat lailahaillallah Muhammaddarasulullah

Mantra di atas memiliki nada sugesti yang kuat. Nada tersebut terlihat pada kata-kata,”hai anak datuk laut, enyalah engkau, pergilah jikalau engkau tidak pergi aku pukul dengan ijuk tungkal, aku tau asalmu jadi dari kun fayakun” yang mensugesti pembaca atau pendengar untuk segera pergi dan jangan menggangu segala aktifitas para nelayan yang akan melaut.

Perasaan (feeling)

Rasa (feeling) mengungkapkan suasana perasaan penyair ikut di-ekspresikan dan dihayati oleh pembaca (Waluyo:1991:39). Rasa adalah tanggapan atau reaksi pengarang berupa perasaan terhadap fenomena-fenomena yang terjadi disekitarnya, juga merupakan gambaran kejiwaan atau perasaan seorang penyair terhadap segala sesuatu persoalan dalam dirinya.

Sehubungan hal di atas, maka dapat dipaparkan rasa atau perasaan pengarang dalam mantra melaut ini, di sini penyair ingin mengungkapkan keinginan dan permohonannya. Dengan rasa percaya diri dan sugesti yang tinggi membuat penyair benar-benar merasakan bahwa permohonannya akan terkabulkan seperti pada mantra berikut ini:

Hai mambang merah, mambang kuning, mambang hijau, dan mambang putih Tolong jaga aku disaat pergi dan pulang

(16)

Hai mambang kuning, jaga aku disaat matahari terbit Hai mambang hijau, jaga aku disaat aku tidur

Hai mambang putih, jaga aku disaat aku sedang bekerja Semua ini berkat izin- Mu ya Allah

Amin

Bismillahirrahmannirahim Watul ijabah kurawana Berkat lailahaillallah Muhammaddarasulullah

Pada bait pertama “Bismillahirrahmanirahim, berkat Lailahaillallah Muhammaddarasulullah menggambarkan bahwa penyair megharapkan hidayah dan keridhoan dari Allah Swt serta syafaat Rasul dalam memulai sesuatu.

Pada mantra di atas juga tergambar rasa percaya diri penyair terhadap keyakinannya kepada Allah SWT yang akan mengabulkan permohonannya. Penyair merasakan bahwa dengan mantra itu akan membuat dirinya terjaga di saat ia bekerja, di saat pergi kelaut, di saat hujan lebat dan di saat tidur.

Amanat

Amanat yang hendak disampaikan oleh penyair dapat ditelaah setelah kita memahami tema dari pusi tersebut. Amanat atau pesan yang ingin disampaikan penyair itu disebut juga dengan tujuan yang merupakan pendorong atau latar belakang terciptanya sebuah puisi. Amanat sebuah puisi selalu dalam bentuk tersirat di balik kata-kata yang tersusun dan juga berada di balik tema yang diungkapkan.

Amanat puisi sangat berkaitan dengan cara pandang pembaca, amanat tidak lepas dari tema dan isi puisi yang dikemukakan oleh penyair (Waluyo,1991:40).

(17)

SWT, karena Allah yang mengatur semua kehidupan di dunia ini, oleh karena itu setiap perbuatan dan tindakan manusia semuanya akan berjalan dengan lancar apabila keinginan, kemauan dan keyakinan mendapatkan izin dari Allah SWT.

Mantra melaut ini mempunyai amanat penanaman rasa percaya diri manusia dan keyakinan yang mendalam terhadap sesuatu yang dikerjakan, serta tidak melupakan Allah SWT. Hal ini dapat dilihat pada mantranya yang menanamkan rasa percaya diri dan semangat seperti pada kata berikut ini:

“hai mambang merah, mambang kuning, mambang hijau dan mambang putih Tolong jaga aku disaat aku pergi dan pulang

Hai mambang merah, jaga aku disaat hujan lebat Hai mambang kuning, jaga aku disaaat matahari terbit Hai membang hijau, jaga aku disaat aku tidur

Hai mambang putih, jaga aku disaat aku sedang bekerja Semua ini berkat izin- Mu ya Allah

Amin………

Dalam memulai suatu pekerjaan hendaklah kita selalu mengucapkan Bismillah agar pekerjaan yang kita lakukan selalu diberikan keridhoan oleh Allah SWT. Hal ini terlihat pada mantra berikut ini:

Tempatnya di pusat sungai jenggi Penunggu pulau berhala

Datuk panglima hitam Berkat lailahaillallah

(18)

4.4Etos Kerja dalam Hakikat Kehidupan

Pada bab ini akan dibicarakan tentang etos kerja yang merujuk kepada kehidupan sosial masyarakat Melayu Batubara, dan juga akan dibahas tentang mantra melaut yang berhubungan dengan hakikat kehidupan masyarakat Melayu Batubara.

Teks mantra yang mengungkapkan kehidupan sosial dalam anggota masyarakat dipertahankan karena antaranya berhubungan dengan aktifitas masyarakat sehari-hari melalui pembinaan institusi sosial masyarakat. Dinyatakan ciri-ciri berbagai aspek prilaku sosial itu ialah suatu fenomena yang tetap dalm kehidupan sosial masyarakat. Walaupun ada perubahan-perubahan tertentu, tetapi secara psikologi individu saja.

Contohnya :

Hai tok mambang putih, tok mambang hitam Melimpahkan sekalian alam

Menyampaikan segala hajatku Melakukan segala kehendak ku Assalamualaikum

Secara kronologi keutuhan sistem sosial itu dinyatakan, sebagai berikut. Pertama, individu-individu yang dimitoskan oleh masyarakat mempunyai keselarasan antara prilaku dengan kedudukannya dalam masyarakat. Kedua, kedudukan kepercayaan, adat dan keyakinan atau agama yang berhubungan dengan aktivitas sehari-hari yang masih berkaitan erat dengan nilai dan normanya. Ketiga, kedudukan institusi adat yang berhubungan dengan tingkah laku sosial anggota masyarakat untuk membina sesama anggota masyarakat.

(19)

Pembicaraan di atas menunjukkan bahwa kecenderungan anggota masyarakat untuk kesopanan dalam bersosial mewujudkan keadaan yang senantiasa terbatas dalam perilaku masyarakat, maka kenyataannya mewujudkan seperti pengulangan prilaku sepanjang masa yang secara terus menerus seperti mantra melaut yang turun temurun.

Persepsi terhadap hakikat kehidupan ialah permasalahan awal orientasi nilai sosial yaitu setiap anggota masyarakat mempunyai pernyataan sama ataupun berbeda tentang hakikat kehidupan. Dalam kalangan mereka ada yang memandang bahwa sesuatu yang wujud di dalam kehidupan itu baik, tetapi ada juga yang beranggapan sebaliknya. Namun setiap anggota masyarakat dapat menentukan kehidupan yang baik maupun yang tidak baik, itu semua kembali lagi kepada masing-masing individu. Bagi masyarakat Melayu Batubara sudahlah pasti mengetahui gambaran tentang hakikat hidup pada mantra melaut. Mantra melaut berhubungan dengan aktivitas kehidupan dan berguna bagi kehidupan masyarakat Melayu Batubara, mantra tersebut digunakan untuk menghadapi cobaan dan kesulitan serta dapat juga berperan mengubah kebaikan dan keburukan dalam kehidupan, menurut persepsi masyarakat Batubara, tetapi masyarakat Melayu Batubara tidak hanya percaya dengan mantra saja tetapi juga mempercayai Allah SWT yang menciptakan langit dan bumi beserta isinya.

(20)

syahadat, menegakkam sholat, selanjutnya seperti yang tercantum dalam rukun Islam. Selain itu termasuk segala perbuatan baik terhadap manusia maupun alam sekitar.

Melalui mantra melaut ini, pengguna mantra memberikan contoh kepada pembaca tentang perbuatan yang mulia sebelum menjalankan aktivitas, seperti pada kutipan berikut:

Bismillahirrahmannirrahim Watul ijabah kurawana Berkat lailahaillallah Muhammaddarasulullah

Assalamualaikum nabi khidir Aku tau pegangan engkau Air laut air darat

Aku sedekah hati Qur’an

Berhentilah topan badai taung rebut gelimut Berkat lailahaillallah

Muhammaddarasulullah

Dalam kehidupan sehari-hari seorang muslim haruslah menjaga segala perbuatan dan ucapannya. Tutur bahasa yang lembut menunjukkan ketinggian budi pekerti seseorang, gaya seseorang berbicara mencerminkan kepribadiannya. Ini sesuai dengan pribahasa yang mengatakan bahwa “bahasa menunjukkan bangsa”.

(21)

mereka ucapkan sebagaimana yang di ajarkan oleh Islam yaitu Assalamualaikum dan Basmallah Bismillahhirrohmanirrohim. Setelah itu barulah mereka menyapa penunggu laut yang mereka yakini sebagai penghormatan kepada makhluk-makhluk gaib atau yang kasat mata. Ucapan-ucapan itu mereka ucapkan bukan ingin menduakan Allah SWT, melainkan kebudayaan yang diwarisi oleh leluhur mereka sejak dahulu. Mereka juga berkeyakinan bahwa segala sumber rezeki dan keselamatan itu datangnya dari Allah SWT. Akan tetapi inilah budaya yang masih mereka warisi dari leluhur mereka sejak dahulu.

4.5Pandangan Orang Melayu terhadap Kerja

Bila ungkapan-ungkapan tradisonal Melayu disimak secara cermat, ditelusuri dengan teliti, ditafsirkan dengan mendalam, dapatlah diketahui bagaimana pandangan orang Melayu terhadap kerja. Setidak-tidaknya, akan diperoleh informasi dan gambaran ke arah itu, yang dapat dipadankan dengan prilaku mereka sehari-hari, dengan adat dan tradisinya.

Ada beberapa ungkapan yang secara jelas dan tegas mencerminkan pandangan orang Melayu terhadap kerja. Di dalam ungkapan adat dikatakan:

Apa tanda orang beradat, wajib bekerja ianya ingat

Apa tanda orang Melayu, wajib bekerja ianya tahu

Ungkapan-ungkapan di atas menunjukkan, bahwa kerja adalah salah satu kewajiban dalam kehidupan orang Melayu. Ungkapan lain mengatakan pula:

(22)

bekerja keras pagi dan petang

Apalah tanda kayu terentang, daunnya lebat senang berteduh, Apalah tanda Melayu terpandang, bekerja berat pantang mengeluh

Ungkapan di atas menunjukkan, bahwa bekerja adalah menunjukkan ciri kemelayuan seseorang. Atau dengan kata lain, orang Melayu adalah pekerja yang tangguh, dan tidak patut seseorang disebut atau mengaku Melayu bila tidak bekerja keras.

Orang Melayu juga memandang kerja bukanlah semata-mata untuk kepentingan hidup di dunia, tetapi lebih mendasar lagi adalah untuk kehidupan di akhirat kelak. Bekerja yang baik dan benar, halal memenuhi ketentuan agama dan di ridhoi Allah, akan memberi manfaat dan pahala sebagai bekal hidup dan akhirat. Bekerja secara baik dan benar itu dianggap sebagi amal saleh, ibadah, yang dapat menyelamatkan dirinya di hari kemudian.

Acuan ini menyebabkan orang Melayu bekerja tidak hanya untuk kepentingan dirinya sendiri saja tetapi juga untuk kepentingan bersama. Kerja yang manfaatnya dapat dirasakan orang ramai dan berkelanjutan, pahala dan manfaatnya besar dan berkelanjutan pula, bahkan setelah ia meninggal dunia pahala dan manfaat kerjanya yang baik itu masih mengalir kepadanya.

Di dalam ungkapan dikatakan antara lain:

(23)

Apabila kerja di jalan Allah, hidup mati pahala melimpah

Apabila bekerja secara halal, dunia akhirat beroleh bekal

Bila di dunia kerja khianat, di akhirat ditimpa laknat

Siapa hidup berbuat jasa, di akhirat aman sentosa

Rajin berusaha, di akhirat bahagia

Bebagai pandangan mengenai kerja di atas, mendorong setiap pribadi Melayu untuk meningkatkan kemampuan kerjanya, meningkatkan ilmu pengetahuan dan tenaga, agar mereka benar-benar dapat hidup melaksanakan kewajiban dan tugasnya dengan baik, benar dan sempurna. Dengan demikian, mereka dapat mengangkat harkat, martabat diri, keluarga, dan bangsanya. Effendy (dalam Syaifuddin 2005:23).

(24)

Contoh mantra berikut ini:

Hai mambang merah, mambang kuning, mambang hijau dan mambang putih Tolong jaga aku disaat aku pergi dan pulang

Hai….mambang merah, jaga aku disaat hujan lebat Hai…mambang kuning, jaga aku disaat matahari terbit Hai…mambang hijau, jaga aku disaat aku tidur, dan Hai…mambang putih, jaga aku disaat aku sedang bekerja Semua ini berkat izinMu ya Allah

Amin……….

Masyarakat Melayu Batubara membuat kehidupan yang lebih baik di- tunjukkan dengan bekerja keras, bertaqwa, serta status sosial yang baik, mereka juga mempunyai akal yang cerdas serta dapat memahami kecanggihan teknologi sehingga dapat mewujudkan kesejahteraan dalam kehidupan. Masyarakat Melayu Batubara memakai mantra melaut ini karena mereka percaya bahwa dengan menggunakan mantra, mereka dapat melakukan aktivitas dengan lancar dalam bekerja, juga menjadikan semangat yang tinggi dalam bekerja.

(25)

Kedudukan hakikat kerja tersebut mempunyai persamaan seperti yang dinyatakan oleh (Syaifuddin:2005:352) bahwa hakikat pekerjaan masyarakat Melayu Batubara membawa arti, yaitu Suatu usaha untuk memenuhi nafkah dalam kehidupan agar sejahtera, memperoleh rezeki yang baik dan menambah semangat kerja.

Mantra dengan hakikat kerja hubungannya adalah mantra menurut masyarakat Melayu Batubara membantu kecakapan bekerja dan kekuatan fisik serta memberikan kemurahan rezeki sehingga mantra dapat menambah semangat kerja. Pada umumnya pekerjaan masyarakat Melayu Batubara bergantung kepada sifat semangat di kawasan mereka. Mantra yang diperlukan dalam aktifitas sehari-hari seperti halnya nelayan ada juga petani yang menggunakan mantra yang bersifat tradisional. Walaupun kehidupan mereka sederhana, tetapi mereka masih mempertahankan keharmonisan dengan alam sekitar, sesama makhluk ciptaan Allah SWT. Namun demikian ini bukan berarti mereka tidak mengerti dengan teknologi, melainkan karena mereka masih belum terlalu mahir dengan teknologi. Keadaan ini tidak mengubah semangat kerja mereka karena sudah diwarisi dari zaman dahulu kala.

4.6Kedudukan Kerja dalam Budaya Melayu

Mengacu kepada etos kerjanya, dapat disimak bahwa kerja yang baik dan benar sesuai menurut ajaran agama, adat dan norma-norma sosialnya menduduki tempat yang teramat penting dalam kehidupan orang Melayu.

Menurut orang tua-tua Melayu, pentingnya kedudukan kerja itu disebabkan palsafah hidup, antara lain

(26)

Maksudnya, kerja disuruh oleh ajaran agama dan diperintahkan oleh adat. Siapa yang tidak mau bekerja, melalaikan kerja, bermalas-malasan, dan berlengah-lengah, diangap tidak menaati ajaran agama dan ketentuan adat- istiadatnya.

b. Kerja membangkitkan tuah, mengangkat marwah

Maksudnya: kerja membangkitkan tuah setiap pribadi, keluarga dan masyarakatnya, mengangkat harkat dan martabat diri dan bangsanya. Pribadi yang rajin bekerja, masyarakat yang bekerja tekun dan tangguh, bangsa yang semangat kerjanya tinggi akan menjadi bangsa yang besar, kuat, dihormati dan disegani bangsa-bangsa lainnya, kehidupan setiap pribadi aman dan sejahtera, kehidupan masyarakatnya aman sentosa, kehidupan bangsanya damai dan bahagia, adil dan makmur. Pribadi masyarakat dan bangsa yang demikian itulah yang disebut bertuah dan bermarwah.

c. Kerja membawa berkah, berkah dunia hidup sejahtera, berkah akhirat beroleh rahmat

Maksudnya, kerja yang baik dan benar, bukan saja membawa berkah, manfaat, faedah, dan kesejahteraan bagi kehidupan di dunia, tetapi juga memberi manfaat dan rahmat yang besar dalam kehidupan di akhirat. Dengan demikian, kerja amat menentukan dalam kehidupan di dunia dan kehidupan di akhirat nantinya.

d. Kerja menjauhkan fitnah, menolak nista

(27)

meningkat, kemampuan dan kesejahteraannya bertambah, sehingga terhindar dari kemiskinan, kemelaratan dan kesengsaraan yang dapat menyebabkan seseorang, atau suatu bangsa terhina.

e. Kerja menunjukkan bangsa

Maksudnya: dengan bekerja tekun, jujur dan benar, dapat pula menunjukkan identitas atau jati diri bangsanya, menunjukkan kemampuan dan kebolehan bangsanya, sesuai dengan ajaran agama, adat dan norma-norma sosial yang mereka anut. Bagi orang Melayu, ciri kemelayuannya adalah dengan menunjukkan kemampuannya untuk bekerja keras membanting tulang, baik di laut maupun di darat. Bila ia pemalas, lalai dan lengah, menurut hakekatnya tidaklah patut disebut Melayu, karenanya dianggap rendah oleh masyarakatnya.

f. Bekerja menyiapkan bekal

Maksudnya, bekerja bermakna menyiapkan bekal untuk kehidupan di dunia dan kehidupan di akhirat. Di dalam ungkapan khusus dikatakan, bekal dunia hidup sejahtera, bekal di akhirat hidup selamat.

g. Bekerja menolak bala

Maksudnya, dengan bekerja seseorang, suatu masyarakat ataupun bangsa akan terhindar dari berbagai malapetaka. Baik bala berupa bencana kelaparan, kemiskinan, kemelaratan, hinaan dan sebagainya.

Contoh mantra

(28)

Muhammaddarasulullah

Hai mambang merah, mambang kuning, mambang hijau dan mambang putih Tolong jaga aku disaat aku pergi dan pulang

Hai….mambang merah, jaga aku disaat hujan lebat Hai…mambang kuning, jaga aku disaat matahari terbit Hai…mambang hijau, jaga aku disaat aku tidur, dan Hai…mambang putih, jaga aku disaat aku sedang bekerja Semua ini berkat izinMu ya Allah

Amin……….

h. Bekerja membayar hutang

Maksudnya, bekerja dianggap sebagai membayar hutang menunaikan kewajiban yang dipukulkan ke bahu setiap pribadi. Sebab itu, ungkapan adat mengatakan, kalau hidup berat tulang, dunia akhirat tak lepas hutang. Ungkapan ini menegaskan, apabila berat tulang (malas, lalai, lengah, lemah semangat kerja), seumur hidupnya tidak akan terbayar hutang, yakni kewajiban dan tanggung jawabnya baik terhadap diri dan keluarganya, maupun terhadap masyarakat. Bangsa dan negara, dan terhadap Allah, Tuhan Yang Maha Esa.

(29)

taat dan setia. Sebaliknya, dengan jelas pula merendahkan orang-orang yang tidak mau berkerja atau bekerja yang tidak sesuai menurut ajaran agama, adat dan norma-norma sosial yang dianut masyarakatnya.

Orang tua-tua juga mengatakan, bahwa berakal atau tidaknya seseorang ditentukan dari sikapnya dan prilakunya dalam bekerja. Orang berakal bekerja dengan tekun dan benar, sedangkan yang tidak berakal, bekerja dengan semena-mena dan tidak bertanggung jawab.

4.7Jenis Pekerjaan dalam Acuan Budaya Melayu

Jenis pekerjaan dalam acuan budaya Melayu yaitu kerja berfaedah atau kerja yang bermanfaat ialah segala jenis pekerjaan yang memberi faedah, baik bagi diri pelakunya, maupun bagi masyarakat bangsa dan negaranya, baik untuk kehidupan di dunia maupun untuk kehidupan di akhirat.

Kelompok ini, hakekatnya disandarkan kepada sesuai tidaknya pekerjaan itu dengan agama Islam, dengan nilai-nilai luhur adat dan norma sosial masyarakatnya. Orang Melayu sangat menghormati dan memuliakan pekerjaan yang bermanfaat atau berfaedah yang membawa kebahagian, kedamaian, adil dan makmur bagi kehidupan manusia dan makhluk lainnya baik di dunia maupun akhirat.

(30)

Keutamaan itu dituangkan dalam berbagai bentuk ungkapan, yang mereka wariskan turun temurun, agar generasi penerusnya sejak dini dapat menyerap dan menghayati nilai-nilai luhur etos kerja yang terkandung di dalamnya. Sikap ini, selama ratusan tahun telah mampu melahirkan putera-puteri Melayu yang tangguh, handal dan memiliki kreativitas tinggi sebagai pekerja, yang ‘bekas tangan” atau karya mereka sebagian masih dapat kita saksikan hingga saat ini. Mereka telah mampu pula mengangkat harkat dan martabat Melayu ke tingkat yang terhormat, tidak kalah dengan bangsa-bangsa atau suku-suku lainnya. Mereka, dengan semangat kerjaa menyala telah mampu merambah belantara menjadikannya sebagai pemukiman dan kebun-kebun yang hasilnya dapat dinikmati anak cucunya turun temurun. Mereka melayari lautan dengan perahu-perahu karyanya sendiri menentang ombak dan badai, mendirikan kerajaan-kerajaan Melayu yang Berjaya menguasai wilayah yang cukup luas, menguasai perdagangan, perekonomian, dan sebagainya, sehingga nama Melayu dapat duduk sama rendah dan tegak sama tinggi dengan bangsa dan suku-suku lainnya di nusantara ini. Semangat keja itu pula yang melahirkan hulubalang-hulubalang Melayu yang handal, yang mampu menegakkan tuah bangsanya, disegani serta dihormati kawan dan lawan.

(31)

sedangkan layak kepada kemampuan pribadinya dalam arti luas, termasuk dalam melaksanakan pekerjaan.

Untuk melihat keutamaan orang bekerja yang baik dan benar sesuai menurut acuan kerja bermanfaat atau kerja berfaedah dapat disimak dari ungkapan –ungkapan berikut:

Apa tanda orang bertuah Terhadap kerja ia tak lengah

Maksudnya, orang yang bertuah, ialah orang yang bekerja dengan rajin dan tekun, tidak lalai dan membuang-buang waktu dan peluang

Apa tanda orang berbangsa Bekerja tidak membuang masa

Maksudnya, orang berbangsa, bermarwah, beradat, ialah orang yang tahu memanfaatkan hidupnya untuk bekerja, berkarya baik untuk manfaat hidup di dunia maupun untuk bekal hidupnya di akhirat. Orang yang tidak membuang-buang masa atau waktu dan usianya inilah yang dikatakan orang berbangsa.

Apa tanda orang beradat Bekerja tidak memilih tempat

Maksudnya, orang yang beradat, antara lain ditandai dengan kemauandan kemampuannya untuk bekerja dimana saja, tidak memilih kerja (asal lurus dan benar) dan mau bekerja dengan sepenuh tenaga dan kemampuannya.

Apa tanda orang terpuji

Bekerja dengan bersungguh hati

(32)

Orang tua-tua melayu menegaskan lagi bahwa dengan bekerja diharapkan setiap anggota masyarakat Melayu mampu memenuhi kewajiban hidupnya, memenuhi tugas dan tanggung jawabnya dalam kehidupan masing-masing. Mereka yang tangguh dan handal , berbudi terpuji inilah yang dapat melaksanakan kerja berfaedah atau kerja yang bermanfaat. Dalam melakukan pekerjaan juga hendaklah menjaga dan memanfaatkan waktu dengan sebaik mungkin, agar waktu tidak terbuang dan pekerjaan tidak terbengkalai.

Contoh mantra:

Bismillahirrahmannirrahim Assalamualaikum

Yang sebelah kanan Nenek putri rahayu Yang sebelah kiri Datuk panglima kuning

Tempatnya di pusat tasik sungai jenggi Penunggu pulau berhala

Datuk panglima hitam

Hai tok mambang putih, tok mambang hitam Melimpahkan sekalian alam asalnya pawang Menyampaikan segala hajatku

Melakukan segala kehendakku Assalamualaikum

(33)
(34)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1Kesimpulan

1. Bab lima atau bagian penutup merupakan kesimpulan hasil penelitian, berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan didapatkan dari penelitian ini, penelitian ini membuat rumusan untuk menjawab hipotesis yang telah di kemukakan dalam bab satu, bab dua, bab tiga dan bab empat. Kesimpulan dari keseluruhan penelitian ini

2. Berdasarkan pembahasan tentang latar belakang Masyarakat Melayu Batubara jelas didapatkan bahwa masyarakat Melayu Batubara merupakan masyarakat yang masih menggunakan mantra dan juga masih memiliki nilai budaya. Hal ini dapat dilihat apabila mereka hidup bersama-sama, beraksi pada waktu yang lama, ada sistem nilai dan norma-norma yang mengatur perilaku sesama mereka dan menetap di satu wilayah, yaitu kawasan yang disebut pesisir. Dapat dibuktikan bahwa keutuhan dan perpaduaan norma-norma masyarakat ini berkaitan erat dengan mantera dan upacara-upacara lainnya. Aspek kebudayaan yang berhubungan dengan unsur-unsur kepercayaan warisan dan keyakinan mereka kepada Islam tentang jin, semangat, roh atau hantu dan penunggu. Hubungan ini lebih jelas lagi diperlihatkan dalam konsep kesusasteraan rakyat dan kosmologi budaya masyarakat.

3. Adapun struktur pada mantra melaut antara lain:

• Tema pada mantra melaut ini adalah suatu keyakinan diri terhadap pencipta dan alam

(35)

• Nada pada mantra melaut adalah nada yang mencerminkan keinginan dan keyakinan

sugesti.

• Perasaan yang digunakan pada mantra melaut adalah keinginan dan permohonan

dengan rasa percaya diri dan sugesti yang tinggi.

• Amanat pada mantra melaut ini adalah untuk lebih meningkatkan semangat dan

percaya diri manusia serta keyakinan mendalam terhadap sesuatu yang dikerjakannya, dan tidak melupakan Allah Swt, karena Allah yang mengatur semua kehidupan di dunia ini. Oleh karena itu, setiap perbuatan dan tindakan manusia semuanya akan berjalan dengan lancar apabila keinginan, kemauan dan keyakinan serta izin dari Allah Swt.

4. Mantra Melaut dalam Masyarakat Melayu Batubara

Mantra terdapat di dalam kesustraan daerah di seluruh Indonesia. Mantra berhubungan dengan sikap religius manusia. Hal ini terlihat seperti pada masyarakat Melayu yang hidupnya selalau berkaitan dengan Mantra. Fakta ini terlihat dari kebiasaan pewaris aktif mantra yang memohon sesuatu dari Sang Pencipta dengan menggunakan kata-kata pilihan yang berkekuatan gaib, seperti berkat Lailahaillallah, berkat Muhammaddarasulullah, yang oleh pewaris tersebut dipandang mempermudah kontak atau hubungan dengan Sang Pencipta. Dengan cara demikian, apa yang diminta (dimohon) oleh pengucap mantra itu dapat dipenuhi oleh Sang Pencipta.

5. Hubungan Mantra Melaut dengan Agama

(36)

diwariskan sebagai peninggalan kebudayaan mereka. Kepercayaan ini menjadikan perlakuan khusus seperti jampi, mantra, serapah yang dilakukan untuk memuja atau memaki “ hantu-hantu” yang ada di permukaan bumi ini.

Sedikit sulit membedakan antara ajaran agama dan peninggalan kepercayaan bagi masyarakat Melayu, karena terdapat penggabungan antara dua unsur tersebut (sinkretisasi) dalam perlakuan keagamaan mereka. Namun demikian bagi masyarakat Melayu agama lebih merujuk kepada agama-agama besar yang memiliki dogma-dogma dan memiliki kitab suci seperti agama Islam. Sedangkan kepercayaan kepada hal-hal gaib yang mereka percayai sudah ada sejak zaman dahulu, jadi lebih bersifat warisan budaya.

Masyarakat Melayu Batubara memang sadar bahwa agama lebih tinggi kedudukannya dibandingkan kepercayaan karena agama melibatkan organisasi, nilai sosial, konsep kesucian, hukum, sikap patuh terhadap hukum Allah. Oleh karena itu kepercayaan bagi mereka tak lebih dari peninggalan nenek moyang yang mereka pikir tidak boleh dihilangkan.

Pengetahuan agam Islam dan kepercayaan terhadap peninggalan leluhur sangat erat kaitannya dengan kehidupan bagi masyarakat Melayu Batubara. Dalam keadaan seperti inilah beberapa kepercayaan lama masih sering dilakukan untuk berkomunikasi kepada alam dan kegiatan hidup sehari-hari, seperti keselamatan di laut, penyakit, serangga atau wabah, peristiwa alam, dan lain-lain. Pengetahuan agama serta kepercayaan dalam menghadapi alam nyata dan gaib tetap ada bagi masyarakat Melayu Batubara selagi mereka tidak mempunyai jawaban yang lebih baik untuk mengatasi segala peristiwa alam, baik alam nyata maupun alam gaib.

(37)

Etos kerja yang merujuk kepada kehidupan sosial masyarakat Melayu Batubara, dan juga akan dibahas tentang mantra melaut yang berhubungan dengan hakikat kehidupan masyarakat Melayu Batubara.

Teks mantra yang mengungkapkan kehidupan sosial dalam anggota masyarakat dipertahankan karena antaranya berhubungan dengan aktivitas masyarakat sehari-hari melalui pembinaan institusi sosial masyarakat. Dinyatakan ciri-ciri berbagai aspek prilaku sosial itu ialah suatu fenomena yang tetap dalm kehidupan sosial masyarakat. Walaupun ada perubahan-perubahan tertentu, tetapi secara psikologi individu saja.

Secara kronologi keutuhan sistem sosial itu dinyatakan, pertama, individu-individu yang dimitoskan oleh masyarakat mempunyai keselarasan antara prilaku dengan kedudukannya dalam masyarakat, kedua, kedudukan kepercayaan, adat dan keyakinan atau agama yang berhubungan dengan aktifitas sehari-hari yang masih berkaitan erat dengan nilai dan normanya, ketiga, kedudukan institusi adat yang berhubungan dengan tingkah laku sosial anggota masyarakat untuk membina sesama anggota masyarakat.

Aktivitas anggota masyarakat cenderung bersifat konsisten terhadap kekuatan sakti itu meneruskan kepercayaan kepada mitos setiap orang berkenaan. Demikian pula dengan peristiwa-peristiwa dalam institusi sosial yaitu adat, seperti acara kenduri, acara kelahiran, perkawinan, kematian dan kedudukannya penting bagi aktifitas kehidupan masyarakat Melayu Batubara.

7. Pandangan Orang Melayu terhadap Kerja

(38)

kerja. Setidak-tidaknya, akan diperoleh informasi dan gambaran ke arah itu, yang dapat dipadankan dengan prilaku mereka sehari-hari, dengan adat dan tradisinya.

Orang Melayu juga memandang kerja bukanlah semata-mata untuk kepentingan hidup di dunia, tetapi lebih mendasar lagi adalah untuk kehidupan di akhirat kelak. Bekerja yang baik dan benar, halal memenuhi ketentuan agama dan di ridhoi Allah, akan memberi manfaat dan pahala sebagai bekal hidup dan akhirat. Bekerja secara baik dan benar itu dianggap sebagi amal saleh, ibadah, yang dapat menyelamatkan dirinya di hari kemudian.

Acuan ini menyebabkan orang Melayu bekerja tidak hanya untuk kepentingan dirinya sendiri saja tetapi juga untuk kepentingan bersama. Kerja yang manfaatnya dapat dirasakan orang ramai dan berkelanjutan, pahala dan manfaatnya besar dan berkelanjutan pula, bahkan setelah ia meninggal dunia pahala dan manfaat kerjanya yang baik itu masih mengalir kepadanya.

8. Kedudukan Kerja dalam Budaya Melayu

Mengacu kepada etos kerjanya, dapat disimak bahwa kerja yang baik dan benar sesuai menurut ajaran agama, adat dan norma-norma sosialnya menduduki tempat yang teramat penting dalam kehidupan orang Melayu.

(39)

taat dan setia, sebaliknya dengan jelas pula merendahkan orang-orang yang tidak mau berkerja atau bekerja yang tidak sesuai menurut ajaran agama, adat dan norma-norma sosial yang dianut masyarakatnya. Yang lebih mengutamakan orang yang bekerja atau bekerja yang menyalah.

9. Jenis Pekerjaan dalam Acuan Budaya Melayu

Jenis pekerjaan dalam acuan budaya Melayu yaitu kerja berfaedah atau kerja yang bermanfaat ialah segala jenis pekerjaan yang memberi faedah, baik bagi diri pelakunya, maupun bagi masyarakat bangsa dan negaranya, baik untuk kehidupan di dunia maupun untuk kehidupan di akhirat.

Kelompok ini, hakekatnya disandarkan kepada sesuai tidaknya pekerjaan itu dengan agama Islam, dengan nilai-nilai luhur adat dan norma sosial masyarakatnya. Orang Melayu sangat menghormati dan memuliakan pekerjaan yang bermanfaat atau berfaedah yang membawa kebahagian, kedamaian, adil dan makmur bagi kehidupan manusia dan makhluk lainnya baik di dunia maupun akhirat.

Sesuai dengan pandangan orang Melayu terhadap kerja, kedudukan kerja dalam budaya Melayu, serta jeniskerja menurut acuannya, maka setiap anggota masyarakatnya yang rajin bekerja menurut acuan kerja yang berfaedah dianggap mulia, terpuji, terhormat, terpilih, ternama, terbilang, berbudi, tahu diri, dan sebaginya, sebagai cerminan rasa hormat masyarakat terhadapnya.

(40)

pekerja, yang ‘bekas tangan” atau karya mereka sebagian masih dapat kita saksikan hingga saat ini. Mereka telah mampu pula mengangkat harkat dan martabat Melayu ke tingkat yang terhormat, tidak kalah dengan bangsa-bangsa atau suku-suku lainnya. Mereka, dengan semangat kerjaa menyala telah mampu merambah belantara menjadikannya sebagai pemukiman dan kebun-kebun yang hasilnya dapat dinikmati anak cucunya turun temurun. Mereka melayari lautan dengan perahu-perahu karyanya sendiri menentang ombak dan badai, mendirikan kerajaan-kerajaan Melayu yang Berjaya menguasai wilayah yang cukup luas, menguasai perdagangan, perekonomian, dan sebagainya, sehingga nama Melayu dapat duduk sama rendah dan tegak sama tinggi dengan bangsa dan suku-suku lainnya di nusantara ini. Semangat keja itu pula yang melahirkan hulubalang-hulubalang Melayu yang handal, yang mampu menegakkan tuah bangsanya, disegani serta dihormati kawan dan lawan.

5.2Saran

1. Dalam melakukan sesutau perbuatan, sebaiknya kita terlebih dahulu menanamkan sebuah keyakinan pada diri kita, dan menambah rasa percaya diri kita akan sesuatu hal, sehingga sesuatu yang ingin kita lakukan dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan apa yang kita harapkan. 2. Dalam melakukan sesuatu aktifitas hendaknya kita harus mengucapkan salam kepada sang

pencipta ataupun kepada setiap makhluk-makhluk ciptaan Allah.

3. Pengkajian terhadap kesustraan Melayu hendaknya lebih ditingkatkan, sebagai salah satu asset kekayaan budaya Indonesia, sekaligus sebagai lambang kebanggaan Nasional.

(41)
(42)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1Kepustakaan yang Relevan

Penelitian terhadap karya-karya sastra tradisional masyarakat Melayu Sumatera Timur telah banyak dilakukan, khususnya karya sastra yang berbentuk puisi. Di antaranya ada beberapa penelitian yang penulis sebutkan saja seperti Fernando (2003), yang meneliti tentang Ritual Jamuan Laut. Dalam penelitian tersebut Fernando mengungkapkan tentang Ritual Jamuan Laut yang berhubungan dengan kepercayaan dan peran pawang, serta mendapatkan makna ritual Jamuan Laut pada masyarakat Melayu Jaring Halus. Kemudian Maslinda (2000), yang meneliti tentang Mantra Pekasih. Dalam penelitian tersebut beliau mengungkapkan tentang nilai-nilai psikologi yang terkandung dalam Mantra Pekasih Masyarakat Melayu Aras Kabu. Kemudian Syaifuddin (2005), yang meneliti tentang Mantera dan Ritual masyarakat Melayu, ia mengungkapkan tentang Fungsi dan Nilai-nilai budaya Masyarakat Melayu Pesisir Timur Sumatera Utara.

2.2 Pengertian Mantra

Syaifuddin (2005:225) mengatakan “Mantra dalam istiadat ritual merupakan sebagian daripada bentuk kesustraan tradisional. Ia dikategorikan sebagai tradisi lisan. Isinya banyak mengandung nilai-nilai kehidupan dan kepercayaan. Fungsi dan kedudukannya berada dalam pewujudan ideal kebudayaan serta berada pada lapisan-lapisan yang wujud dalam adat istiadat. Sejarah kewujudan mantra sukar diketahui dengan tepat. Ada pendapat yang menyatakan bahwa mantra lahir sejak terbentuknya masyarakat. Walaupun demikian kewujudan mantra di dalam masyarakat. Melayu boleh dikaitkan dengan pandangan berdasarkan corak kepercayaan masyarakat Melayu.”

(43)

makhluk halus. Dipercayai bahwa makhluk halus itu berkuasa mengawal dan mempengaruhi kejadian di dunia dan kehidupan manusia di alam barzakh. Akhirnya menjadi satu upacara dalam bentuk persembahan untuk menjamin keselamatan dan kesejahteraan hidup.

Berdasarkan pemahaman dan konsep semacam inilah timbulnya adat-istiadat seperti upacara ritual yang memuja makhluk halus untuk memperoleh bantuan atau perlindungan. Bagi yang melaksanakan upacara ritual itu sama juga dengan pemujaan atau persembahan, maka mantra diwujudkan dan dijadikan sebagai media perantara bagi anggota masyarakat dengan makhluk– makhluk halus yang dianggap boleh membantu serta memberikan perlindungan tersebut.

2.3 Pengertian Etos Kerja

Etos berasal dari bahasa Yunani etos yang memberikan arti sikap, kepribadian, watak, karakter, serta keyakinan atas sesuatu sikap ini tidak saja dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh kelompok bahkan masyarakat. Etos biasa juga diartikan sebagai suatu keyakinan, kepercayaan, kebiasaan, sikap atau dasar dari etika. Kata lain yang berkaitan erat dengan etos dan etika adalah profesionalisme. Manusia terdiri dari batin, pikir, dan lahir.

Effendy (2003:25) mengatakan Batin – pikir - lahir secara lebih jelas dapat dikembangkan menjadi keyakinan – kepercayaan- cara pikir – perbuatan. Keyakinan adalah sesuatu yang sulit di rubah, termasuk di sini adalah nilai-nilai tentang baik buruk, hati nurani, dan ajaran agama.

(44)

Sementara Lubis (1978:13) menggunakan kata etos dalam arti luas yaitu, suatu sistem tata nilai moral, tanggung jawab dan kewajiban.

Sedangkan menurut Bukhori (1989:73), kata etos berasal dari Yunani, yaitu ethos yang berarti ciri, sifat atau kebiasaan, adat istiadat, atau juga kecenderungan moral, pandangan hidup yang dimiliki seseorang, suatu golongan atau suatu bangsa.

Sedangkan kerja adalah kegiatan melakukan sesuatu. Adapun menurut Tasmara (2002:27), kerja adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh dengan menyerahkan asset, fikir, dan dzikir untuk mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah yang harus menundukkan dunia dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik atau dengan kata lain bahwa hanya dengan bekerja manusia itu memanusiakan dirinya.

Etos kerja dimasukkan kedalam ketegori kepercayaan, yang bisa berubah sesuai dengan imputan yang masuk dari pikiran. Etos kerja menjadi dasar dari cara pikir profesionalisme, dan selanjutnya akan diwujudkan dalam bentuk perbuatan cara kerja.

Dari keterangan di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa kata etos berarti watak atau karakter seorang individu atau kelompok manusia yang berupa kehendak atau kemauan yang disertai dengan semangat yang tinggi guna mewujudkan sesuatu keinginan atau cita-cita.

(45)

2.4Sejarah dan Kosmologi Kepercayaan Masyarakat Melayu Batubara

2.4.1 Sejarah Batubara

Wilayah Batubara mulai dihuni penduduk pada tahun 1720 M. Ada lima suku yang mendiami wilayah itu, yakni Lima Laras, Tanah Datar, Pesisir, Lima Puluh dan Bogak. Kelima suku tersebut dipimpin seorang datuk yang memiliki wilayah territorial tertentu.

Konon nama Batubara berasal dari nama sebuah lokasi yang dulunya terdapat sebuah batu yang dapat mengeluarkan cahaya sendiri yang membara sekaligus dijadikan nama daerah dan tanda (Kubah Batubara).

Batubara masih menjadi bagian dari kerajaan Siak dan Johor. Oleh karena itu setiap Datuk kepala suku mendapat pengangkatan dan capnya dari Sultan Siak. Untuk mewakili kepentingan kerajaan Siak dan mengepalai para Datuk di seluruh Batubara, di angkat seorang bendahara secara turun temurun. Di bawah bendahara dibentuk dewan yang anggotanya dipilih oleh para Datuk Kepala Suku. Anggota Dewan itu adalah seorang Syahbandar (suku Tanah Datar). Juru tulis dipilih dari suku Lima Puluh. Mata-mata dipilih dari suku Lima Laras dan penghulu batangan dipilih tetap dari suku pesisir. Data di kerajaan Haru menyebutkan bahwa Batubara salah satu daerah yang wajib menyetor upeti kepada kerajaan ini.

Dalam tahun 1885, pemerintah Hindia Belanda membuat Politik kontrak. Perjanjian itu meliputi beberapa kerajaan seperti Langkat, Serdang, Deli, Asahan, Siak, Palalawan (Riau), termasuk juga kerajaan-kerajaan kecil seperti Tanah Karo, Simalungun, Indragiri dan Batubara serta Labuhan Batu.

(46)

langsung di bawah Residen Medan, Afdeling Batubara berkedudukan di Labuhan Ruku, Afdeling Asahan berkedudukan di Tanjung balai. Afdeling Labuhan batu berkedudukan di Labuhan batu dan Afdeling Bengkalis berkedudukan di Bengkalis.

Dari itu, tampak nyata bahwa sejak dahulu Batubara, punya afdeling tersendiri. Batubara saat itu punya 8 (delapan) landschap (setara dengan kecamatan), yang dipimpin oleh seorang raja. Ketika Indonesia merdeka, wilayah Batubara berubah statusnya menjadi Kewedanan membawahi lima Kecamatan yaitu: Kecamatan Talawi, Tanjung Tiram, Lima Puluh, Air Putih dan Medang Deras. Sementara Ibukota tetap di Labuhan Ruku.

Setelah masa kepemimpinan kewedanan berlangsung 4 (empat) kali pergantian, nama kewedanan kemudian dicabut, sehingga yang ada hanya 5 (lima) sektor camat. Lalu digabungkan dengan nama Kabupaten Asahan, ber Ibukota di Kisaran. Hal inilah yang menggugah tokoh, cerdik pandai dan masyarakat untuk kembali memperjuangkan adanya wilayah otonom Batubara. Maka pada tahun 1969 dibentuk panitia otonomi Batubara (PPOB) yang di prakarsai oleh salah seorang tokoh masyarakat yang pernah menjadi anggota DPRD Asahan. Karena Undang-undang otonom belum dikeluarkan oleh Pemerintah, Perjuangan ini pun tertunda.

(47)

provokasi memisahkan diri dari wilayah Kabupaten Asahan, serta sosialisasi kepada masyarakat bahwa sampai tahun 2005 tidak akan pernah ada yaitu apa yang disebut dengan pemekaran”.

Walaupun tidak direstui oleh Pemerintah Asahan, Masyarakat Batubara yang tergabung dalam Lembaga Swadaya Masyarakat Gerakan Masyarakat Menuju Kabupaten Batubara (LSM-GEMKARA) menginventarisir Sumber Daya Manusia yang berkompeten dan berasal dari putra asli Batubara. Atas kesepakatan bersama, ditunjuklah Ok Arya Zulkarnain,SH,MM. menjadi pemimpin organisasi sekaligus pelaksana perjuangan pemekaran. Usaha-usaha pendekatan persuasif kepada pemerintah provinsi dan pemerintah pusat, dengan prinsip “Surut Berpantang Batubara Harus Menjadi Kabupaten”, akhirnya kerja berat ini berhasil diselesaikan dengan hasil yang memuaskan.

2.4.2 Letak Geografis

Kabupaten Batubara berasal dari sebagian wilayah Kabupaten Asahan, yang terdiri atas cakupan wilayah:

a. Kecamatan Medang Deras = 6.547 Ha terdiri dari 14 desa, yaitu: Medang Deras, Sei Buah keras, Pematang Cengkring, Sei Rakyat, Pakam Raya, Sidomulyo, Tanjung Sigoni, Aek Nauli, Lalang, Nanas Siam, Pakam, Kel. Pangkalan Dodek, Kel. Pangkalan Dodek Baru dan Durian.

b. Kecamatan Sei Suka = 17.147 Ha terdiri dari 13 Desa, yaitu: Kwala Tanjung, Sei Semujur, Sei Suka Deras, Simodong, Tanjung Kasau, Tanjung Prapat, Tanjung Seri, Kwala Indah, Pematang Jering, Pematang Kuing, Laut Tador, Perk. Tanjung Kasau dan Kel.Perk. Sipare pare.

(48)

d. Kecamatan Lima Puluh = 23, 955 Ha terdiri dari 27 desa, yaitu: Mangkai Baru, Mangkai Lama, Sumber Makmur, Simpang Gambus, Simpang Dolok, Pulau Sejuk, Perupuk, Perk. Dolok Estate, Tanah Hitam Hilir, Tanah Hitam Hulu, Perk. Tanah Gambus, Limau Manis, Perk. Lima Puluh, Perk. Kwala Gunung, Pematang Panjang, Lubuk Cuik, Sumber Padi, Lubuk Besar, Kwala Gunung, Guntung, Gambus Laut, Empat Negeri, Pardomuan, Bulan-Bulan, Air Hitam, Antara Dan Kel.Lima Puluh Kota.

e. Kecamatan Talawi = 17, 379 Ha terdiri dari 13 Desa, yaitu: Bangun Sari, Karang Baru, Kel.Labuhan Ruku, Mesjid Lama, Padang Genting, Pahang, Kampung Panjang, Binjai Baru, Petatal, Perk.Tanah Datar, Perk.Petatal, sei muka dan Dahari Selebar.

f. Kecamatan Tanjung Tiram = 8.980 Ha terdiri dari 12 Desa, yaitu: Bagan Dalam, Bagan Baru, Bogak, Guntung, Lima Laras, Pematang Rambai, Sei Mentaram, Suka Maju, Tanjung Mulia, Kel.Tanjung Tiram, Sentang dan Ujung Kubu.

g. Kecamatan Sei Balai = 10.988 Ha terdiri dari 8 desa Yaitu: Perk.Sei Bejangkar, Durian, Kwala Sikasim, Mekar Mulio, Sei Balai, Suka Ramai, Siajam, dan Perk.Sei Balai.

Kabupaten Batubara mempunyai batas-batas wilayah sebagai berikut:

• Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Bandar Khalifah, Kabupaten Serdang Bedagai dan

Selat Malaka.

• Sebelah Timur berbatasan dengan Selat Malaka dan Kecamatan Air Joman, Kabupaten Asahan

• Sebelah Selatan dengan Kecamatan Bosar Maligas, Kecamatan Bandar, Kecamatan Bandar

(49)

Kabupaten Batubara memiliki luas wilayah keseluruhan +/- 92.220 Km2, dengan jumlah penduduk +/- 383.072 jiwa, pada bulan Januari 2011. Data tersebut sesuai dengan data sensus penduduk Bps ( Badan Pusat Statistik) Batubara Pada Tahun 2011. Data tersebut di atas diperoleh dari Badan Statistik Sumatera Utara.

2.4.3 Sistem Kepercayaan dan Agama

2.4.3.1 Kepercayaan Masyarakat Melayu Batubara Sebelum Masuk Islam

Masyarakat Melayu, Khususnya masyarakat Melayu Batubara sebelum masuknya agama Islam menganut kepercayaan kepada roh jahat (mambang) yang dapat mengganggu kehidupan dan kebahagian manusia dipermukaan bumi. Nadila (2012:31) mengatakan bahwa kepercayaan orang Melayu Pesisir Sumatera Utara sebelum masuk Islam adalah animisme. Kepercayaan animisme adalah kepercayaan adanya roh atau kekuatan pada semua benda, baik benda mati maupun benda hidup. Pemeluk animisme lebih tertarik kepada roh-roh dari benda-benda yang menimbulkan perasaan hormat dan takut dalam diri pemeluknya, seperti laut, gunung, hutan, pohon, kayu besar dan peristiwa-peristiwa alam misalnya gempa bumi, gunung meletus, angin badai, petir dan lain-lain.

Selanjutnya menurut Hamid (dalam Nadila 2002:31) “Roh-roh tersebut memiliki kekuatan dan kehendak, dapat makan dan memiliki usia. Roh juga bisa merasa senang maupun marah, jika roh ia dapat membahayakan hidup manusia, oleh karena itu agar roh tidak marah, manusia harus memberi makan atau sesajen (persembahan) dan mengadakan upacara-upacara khusus untuk roh tersebut.”

Lebih lanjut (Nadila 2002:32) mengatakan, “Pemujaan terhadap arwah atau roh nenek moyang tersebut serta alam gaib yang lain, dilakukan langsung atau melalui perantara pawang/bomoh/guru/dukun, yaitu orang yang dapat berhubungan dengan yang dipuja atau dipercayai memiliki “mana” (adalah kekeuatan gaib yang ada dalam suatu benda atau manusia).”

(50)

mendatangkan bencana alam, memberikan kesehatan atau penyakit kepada orang yang telah melakukan kesalahan, memberikan kesaktian, memberikan rezeki, dan lain-lain. Oleh sebab itu, arwah nenek moyang terus dipuja anak cucunya dengan tujuan agar roh itu jangan marah sehingga mereka dilindungi dari segala bencana. Untuk itulah mereka harus terus menjaga hubungan baik dengan arwah para leluhurnya.

Pemeluk animisme juga mempercayai keberadaan hantu-hantu (hantu laut, air, rimba, kayu, gunung, dan lain-lain) tetapi tidak akan mengganggu kehidupan manusia kecuali jika manusia melanggar daerah kediaman mereka ataupun mencoba mengganggu ketentraman hidup mereka. Begitupun, pemeluk animisme tetap menjaga hubungan baik dengan mereka melalui persembahan korban (sesajen) untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

2.4.3.2 Kepercayaan Masyarakat Melayu Batubara Sesudah Masuk Islam

Agama yang dianut saat ini oleh masyarakat Melayu Batubara adalah agama Islam. Kedatangan Islam membawa dampak kepercayaan yang besar dalam struktur sosial dan kebudayaan masyarakat Melayu Batubara. Kepercayaan yang sebelumnya yakni memuja dewa-dewa, hantu-hantu, dan roh-roh berubah menjadi menyembah Allah Subhanahuwata’ala ( Tuhan Yang Maha Tunggal).

(51)

“Hablumminallah” dan hubungan sesama manusia serta manusia dengan alam “Hablumminannas”. Manusia dituntut agar dapat menjaga, mengaharmoniskan, dan melestarikan keseimbangan antara kedua hubungan tersebut.

Agama Islam yang dianut masyarakat Melayu dianggap mereka sebagai petunjuk yang memadukan kepentingan agama dengan kebudayaan dalam bentuk peraturan yang tetap. Aturan tentang Agama adalah mengenai prinsip-prinsip dasar kehidupan manusia dan cara pelaksanaannya. Misalnya bagaimana seseorang mencari nafkah, membina hubungan antar manusia, melestarikan alam, menikah, melaksanakan sholat serta fardu kifayah, dan lain-lain.

Aturan tentang kebudayaan adalah mengenai prinsip-prinsip dasar saja, sedangkan cara pelaksanaan dapat berubah sesuai dengan keinginan manusia sebagai pelaku budaya tetapi tidak melanggar ketentuan yang telah ditentukan Allah SWT, misalnya saja dalam berkesenian, dalam Islam diajarkan untuk tidak membuat seni yang menimbulkan khayalan sensual yang dapat menjerumuskan manusia kedalam keasyikan sehingga melupakan kewajiban dalam melaksanakan perintah Allah SWT. Begitu pula dalam berpakaian yang dapat menutup segala auratnya sehingga terhindar dari dosa, sedangkan bagaimana cara memakainya diserahkan kepada manusianya.

(52)

2.5Pendekatan Sosiologi Sastra

Bahagian ini membincangkan kerangka konseptual teori pendekatan sosiologi menerusi kaidah fungsionalisme dan orientasi nilai budaya. Tumpuan pendekatan fungsionalisme adalah penekanan kepada kerangka fakta sosial atau nilai budaya, sedangkan orientasi nilai budaya merujuk kepada kerangka Kluckhon. Kerangka pendekatan tersebut bertitik tolak kepada anggapan bahwa hubungan antara sastra dengan masyarakat adalah sangat erat. Kedua-duanya tidak boleh dibicarakan secara bersaingan karena kesustraan adalah satu pengucapan masyarakat.

Kluckhon dalam Syaifuddin (2005:323), Mengatakan:

“Wujud tiga paradigma asas dalam kerangka kajian sosiologi yaitu; pertama, paradigma nilai budaya atau fakta sosial; kedua paradigma defenisi sosial; dan ketiga, paradigma perilaku sosial. Contoh paradigma pertama adalah karya-karya Durkheim melalui kerangka teori fungsionlisme; contoh paradigma kedua adalah karya-karya Weber, antara satu kerangka teori pendekatannya adalah interaksionalisme-simbolik; dan paradigma ketiga, karya-karya Skinner antara satu pendekatannya adalah teori sosiologi prilaku serta teori pertukaran.”

(53)

Pemahaman ke atas paradigma kerangka kajian sosiologi dan tumpuan dalam kerangka kajian sosiologi sastra adalah bertolak daripada sistem nilai budaya yang dimiliki oleh kelompok sosialnya. Sistem nilai budaya adalah suatu rangkaian konsep abstrak yang hidup dalam alam pikiran anggota suatu masyarakat yang berkebudayaan, mengenai apa yang dianggap penting dalam hidupnya.

Dalam konteks pemahaman demikian adalah bersesuaian dengan pandangan bahwa karya sastra adalah dokumen sosial budaya sesuatu kelompok masyarakat pada masa tertentu. Dalam pemahaman kerangka konsep kajian sosiologi sastra itu, maka kerangka teori pendekatan terhadap karya sastra melihat nilai sosial budaya sebagai unsur-unsur yang lepas (daripada kesatuan cerita). Ia hanya berdasarkan kepada cerita tanpa mempersoalkan struktur karya. Berkenaan dengan pemahaman konsep pendekatan sosiologi sastra itu Noriah dalam Syaifuddin, (2005:301) lebih khas membicarakan penerapannya ke atas teks mantra.

“Mantra sama teks sastra yang lain merupakan satu struktur kata atau bunyi. Mantra juga merupakan satu dunia linguistik yang bersifat rujuk kendiri dengan hukum-hukum kewajaran kendiri yang konsisten. Ia juga satu mimesis, satu produk sosial, dicipta, dan wujud dalam satu ruang sosial, yang tentunya mewujudkan satu hubungan timbal balik antara dunia sastra dengan dunia sosial. Ini membenarkan mantra dilihat dari dua prespektif strukturalis dan sosiologi sastra.”

(54)

Dalam kajian keberkesanan dan hubungan upacara dan mantra ritual dengan orientasi nilai budaya masyarakat berdasarkan pemahaman bahwa perwujudan aspek-aspek orientasi nilai budaya masyarakat tidak boleh dipisahkan daripada setiap prilaku individu. Oleh karena itu, kajian menggunakan soal yang mengandung aspek-aspek orientasi nilai budaya masyarakat.

Hal ini dilakukan berdasarkan pemahaman terhadap pandangan bahwa suatu gejala sosiologis tidak dapat diukur atas dasar bahwa suatu gejala berlaku secara universal. Namun, suatu fikiran yang ada di dalam kesadaran setiap individu dan prilaku yang diulang-ulang oleh individu boleh mewakili perwujudan kolektifnya.

Tidak lepas dari pendekatan sosiologi sastra, dalam membahas mantra melaut ini juga dianalisis teori strukturalnya yang berhubungan dengan mantra melaut, untuk lebih jelas lagi berikut di jelaskan di bawah ini teori strukturalnya

Di bidang ilmu sastra, penelitian dirintis jalannya oleh kelompok peneliti Rusia antara tahun 1915 dan 1930. Mereka biasanya disebut kaum formalis dengan tokoh utama Jakobson.

Yang penting menurut kaum formalis ialah sesuatu yang dalam bahasa Rusia disebut priem (devises, prosede) atau sarana dibidangnya bunyi (rima, mantra, irama, aliterasi, dan asonansi), tetapi pula dibidang morfologi, sintaksis dan semantik.

(55)

Sebuah karya sastra, fiksi/puisi, menurut kaum strukturalisme adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagai unsur pembangunnya. Di satu pihak struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan penegasan dan gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang indah, Abrams dalam Nadila, (2012:19).

Hawkes dalam Pradopo, (2000:119) mengatakan bahwa pengertian struktur tersusun atas tiga gagasan kunci, yakni ide kesatuan, ide transformasi, dan ide pengaturan diri sendiri (self regulation): pertama, struktur itu merupakan keseluruhan yang bulat, yaitu, bagian-bagian yang tidak dapat berdiri sendiri diluar struktur itu. Kedua, struktur itu berisi gagasan transformasi dalam arti bahwa struktur itu tidak statis. Struktur mampu melakukan prosedur- prosedur transformasional, dalam arti bahan-bahan baru diproses dengan prosedur dan melalui prosedur itu. Ketiga, struktur itu mengatur diri sendiri dalam arti struktur itu tidak memerlukan pertolongan bantuan dari luar dirinya untuk mensahkan prosedur transformasinya.

Pendekatan struktural hadir karena bertolak dari asumsi dasar yakni bahwa karya sastra sebagai karya kreatif memiliki otonomi penuh yang harus dilihat sebagai sesuatu sosok yang berdiri sendiri, terlepas dari hal-hal lain yang berada diluar dirinya.

Bila hendak dikaji atau diteliti maka yang harus dikaji dan diteliti adalah aspek yang membangun karya sastra tersebut seperti tema, alur, penokohan, gaya penulisan, gaya bahasa, serta hubungan harmonis antara aspek yang mampu membangunnya menjadi sebuah karya sastra, (Semi, 1990:67). Sedangkan untuk bidang puisi yang dikaji adalah struktur pembentuk luar (fisik) dan struktur pembentukan dalam (batin) seperti diksi, majas, versifikasi, tema, nada, rasa dan amanat serta hubungan yang harmonis antara kedua unsur pembentuk tersebut (fisik dan batin). (Semi,1990:67).

(56)

jeam piaget, yang menurut para frase Hawkes dalam Endaswara (2002: 49) menunjukkan tiga aspek konsep struktur :

a. Gagasan keseluruhan, koherensi intrinsik , bagian-bagiannya menyesuaikan diri dengan seperangkat kaidah intrinsik yang menentukan baik keseluruhan struktur maupun bagian-bagiannya.

b. Gagasan transformasi: yang terus menerus memungkinkan pembentukan bahan-bahan baru. c. Gagasan regulasi diri: struktur tidak memerlukan hal-hal di luar dirinya untuk mempertahankan

prosedur transformasinya, struktur itu otonom terhadap rujukan pada sistem-sistem lain.

Tradisi berpuisi merupakan tradisi kuno dalam masyarakat. Puisi yang paling tua adalah mantra (Waluyo, 1991:1). Jika kita menghadapi sebuah puisi, kita tidak hanya berhadapan dengan unsur kebahasaan yang meliputi serangkaian kata-kata indah, namun juga kesatuan bentuk pemikiran atau struktur makna yang hendak diucapkan penyair. Pada pokonya puisi dibangun ke dalam dua unsur pokok, yakni perasaan yang diungkapkan oleh penyair.

Struktur kebahasaan (struktur fisik) puisi disebut pula metode puisi. Medium pengucapan maksudnya yang ingin disampaikan penyair adalah bahasa. Bahasa puisi bersifat khas. Struktur fisik puisi sebagai metode pengucapan puisi.

(57)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Upacara ritual merupakan salah satu kebudayaan yang paling tua yang pernah ada di Indonesia. Setiap kelompok (etnis) di Indonesia ini pasti memiliki upacara-upacara ritual tradisional yang dipercayai oleh pemiliknya masih bersifat gaib.

Salah satu etnis yang paling banyak memiliki upacara ritual tradisional adalah etnis Melayu. Hal ini disebabkan karena masyarakat Melayu merupakan salah satu kelompok masyarakat yang paling banyak mendapat pengaruh kebudayaan dari India, yang merupakan salah satu negara yang paling banyak memiliki upacara ritual.

Seperti diketahui bahwa kehidupan ritual suatu kelompok masyarakat sangat menunjang kebutuhan ilmu pengetahuan saat ini untuk dapat dikembangkan dan dimodifikasi kegunaannya di masa yang akan datang.

Upacara–upacara ritual masyarakat Melayu sangat banyak ragamnya, mulai dari seseorang itu terlahir di dunia sampai pada upacara perkawinan. Upacara ini disebut juga dengan istilah ritus-ritus peralihan (ritas of passages) dan sangat dipercayai oleh masyarakat Melayu dahulu, bahkan saat ini masih sebagian besar diprcayai oleh pemiliknya. Ritus-ritus ini sangat berhubungan dengan kehidupan keseharian masyarakat Melayu.

Hamid (2002:21) berpendapat,

(58)

zaman purba. Di samping itu, upacara peralihan ini juga bertujuan untuk menghapuskan segala angkara dan gangguan makhluk-makhluk halus yang jahat terhadap masyarakat dan mewujudkan keamanan dan kesejahteraan di kalangan anggota-anggotanya. Oleh sebab itu, upacara ritual sangat dekat dengan kehidupan masyarakat pendukungnya.”

Masyarakat Melayu mempunyai banyak kesustraan dan masih berkisar pada sastra lisan, sebagaimana kita ketahui bahwa alat utama dari kesusastraan itu adalah bahasa. Sastra lisan merupakan bagian dari kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat lalu kemudian diwariskan secara turun- temurun dengan menggunakan media lisan yang menjadi milik bersama. Sastra itu sebagian besar tersimpan dalam ingatan orang tua, pawang, tukang cerita yang jumlahnya semakin berkurang karena dimakan usia. Di mana pencipta dan pengarang hasil sastra lisan biasanya tidak diketahui dengan pasti (anonim)

Wellek dan Warren, (1996:47) dalam Endaswara (2002:53) berikut ini, “Sastra lisan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sastra tertulis. Sebelum munculnya sastra tertulis, sastra lisan membentuk apresiasi sastra masyarakat, sedangkan dengan adanya sastra tertulis, sastra lisan terus berdampingan dengan sastra tertulis. Oleh karena itu, studi tentang sastra lisan merupakan hal yang penting bagi para ahli yang ingin memahami peristiwa perkembangan sastra, asal mula timbulnya genre sastra, serta penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Hal ini disebabkan oleh adanya hubungan antara sastra lisan dan sastra tertulis.”

Hamid (2002:76), mengatakan, “Sastra rakyat adalah suatu hasil sastra milik bersama atau milik sekumpulan masyarakat yang diturunkan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi lain secara lisan atau dari mulut ke mulut, sehingga sastra rakyat dikenal sebagai sastra lisan dan sifat lisannya itulah yang menentukan bahwa sastra itu sastra rakyat.”

Referensi

Dokumen terkait

NUR MALASARI, NIM 2113142053, Seni Bordah pada Masyarakat Melayu di Kabupaten Labuhan Batu Utara Kajian Terhadap Bentuk Penyajian dan Perubahan, Jurusan Sendratasik Program Studi

Atas izin Allah SWT penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Pesta Tapai Sebagai Local Brand (Studi Sosiologi terhadap Kearifan Lokal Masyarakat Melayu

1. Secara teoritis hasil penelitian ini mendeksripsikan stereotip budaya Melayu malas dan etos kerja Etnis Melayu sebagai wujud dari keberagaman etnis yang ada di

Kutipan-kutipan tersebutlah yang akan digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian yakni mengidentifikasi simbol dan makna mantra tawar Masyarakat Melayu

PENGARUH PENGETAHUAN DAN KEPATUHAN PASIEN TERHADAP KEBERHASILAN TERAPI HIPERTENSI DI PUSKESMAS DI KECAMATAN TANJUNG TIRAM KABUPATEN BATUBARA SUMATERA UTARA TAHUN

oleh pencerita (orang Melayu) dan juga melalui merekam/data lepas yang dapat. menyanyikan Syair Dendang Siti Fatimah

Namun bagi sebagian masyarakat Melayu di Kabupaten Batubara khususnya, yang berada di pesisir pantai dan di tempat yang jauh dari perkotaan, tradisi ini masih dipegang teguh

Penulisan ini bertujuan untuk melihat dan meneliti bagaimana sebenarnya nilai dan makna kehidupan dan etos kerja dari masyarakat suku Melayu dan juga