BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1Kepustakaan yang Relevan
Penelitian terhadap karya-karya sastra tradisional masyarakat Melayu Sumatera Timur telah
banyak dilakukan, khususnya karya sastra yang berbentuk puisi. Di antaranya ada beberapa
penelitian yang penulis sebutkan saja seperti Fernando (2003), yang meneliti tentang Ritual
Jamuan Laut. Dalam penelitian tersebut Fernando mengungkapkan tentang Ritual Jamuan Laut
yang berhubungan dengan kepercayaan dan peran pawang, serta mendapatkan makna ritual
Jamuan Laut pada masyarakat Melayu Jaring Halus. Kemudian Maslinda (2000), yang meneliti
tentang Mantra Pekasih. Dalam penelitian tersebut beliau mengungkapkan tentang nilai-nilai
psikologi yang terkandung dalam Mantra Pekasih Masyarakat Melayu Aras Kabu. Kemudian
Syaifuddin (2005), yang meneliti tentang Mantera dan Ritual masyarakat Melayu, ia
mengungkapkan tentang Fungsi dan Nilai-nilai budaya Masyarakat Melayu Pesisir Timur
Sumatera Utara.
2.2 Pengertian Mantra
Syaifuddin (2005:225) mengatakan “Mantra dalam istiadat ritual merupakan sebagian daripada bentuk kesustraan tradisional. Ia dikategorikan sebagai tradisi lisan. Isinya banyak mengandung nilai-nilai kehidupan dan kepercayaan. Fungsi dan kedudukannya berada dalam pewujudan ideal kebudayaan serta berada pada lapisan-lapisan yang wujud dalam adat istiadat. Sejarah kewujudan mantra sukar diketahui dengan tepat. Ada pendapat yang menyatakan bahwa mantra lahir sejak terbentuknya masyarakat. Walaupun demikian kewujudan mantra di dalam masyarakat. Melayu boleh dikaitkan dengan pandangan berdasarkan corak kepercayaan masyarakat Melayu.”
Sebelum kedatangan Hindu-Budha dan Islam, masyarakat Melayu Pesisir Timur Sumatera
makhluk halus. Dipercayai bahwa makhluk halus itu berkuasa mengawal dan mempengaruhi
kejadian di dunia dan kehidupan manusia di alam barzakh. Akhirnya menjadi satu upacara dalam
bentuk persembahan untuk menjamin keselamatan dan kesejahteraan hidup.
Berdasarkan pemahaman dan konsep semacam inilah timbulnya adat-istiadat seperti upacara
ritual yang memuja makhluk halus untuk memperoleh bantuan atau perlindungan. Bagi yang
melaksanakan upacara ritual itu sama juga dengan pemujaan atau persembahan, maka mantra
diwujudkan dan dijadikan sebagai media perantara bagi anggota masyarakat dengan makhluk–
makhluk halus yang dianggap boleh membantu serta memberikan perlindungan tersebut.
2.3 Pengertian Etos Kerja
Etos berasal dari bahasa Yunani etos yang memberikan arti sikap, kepribadian, watak,
karakter, serta keyakinan atas sesuatu sikap ini tidak saja dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh
kelompok bahkan masyarakat. Etos biasa juga diartikan sebagai suatu keyakinan, kepercayaan,
kebiasaan, sikap atau dasar dari etika. Kata lain yang berkaitan erat dengan etos dan etika adalah
profesionalisme. Manusia terdiri dari batin, pikir, dan lahir.
Effendy (2003:25) mengatakan Batin – pikir - lahir secara lebih jelas dapat
dikembangkan menjadi keyakinan – kepercayaan- cara pikir – perbuatan. Keyakinan adalah
sesuatu yang sulit di rubah, termasuk di sini adalah nilai-nilai tentang baik buruk, hati nurani,
dan ajaran agama.
Lebih lanjut etos dalam arti modern dikembangkan oleh filsuf Immanuel Kant yang
menyatakan etos merupakan kehendak otonom sebagai ciri khas setiap moral, dalam kaitannya
Sementara Lubis (1978:13) menggunakan kata etos dalam arti luas yaitu, suatu sistem
tata nilai moral, tanggung jawab dan kewajiban.
Sedangkan menurut Bukhori (1989:73), kata etos berasal dari Yunani, yaitu ethos yang
berarti ciri, sifat atau kebiasaan, adat istiadat, atau juga kecenderungan moral, pandangan hidup
yang dimiliki seseorang, suatu golongan atau suatu bangsa.
Sedangkan kerja adalah kegiatan melakukan sesuatu. Adapun menurut Tasmara
(2002:27), kerja adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh dengan menyerahkan asset, fikir, dan
dzikir untuk mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah yang harus
menundukkan dunia dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik atau
dengan kata lain bahwa hanya dengan bekerja manusia itu memanusiakan dirinya.
Etos kerja dimasukkan kedalam ketegori kepercayaan, yang bisa berubah sesuai dengan
imputan yang masuk dari pikiran. Etos kerja menjadi dasar dari cara pikir profesionalisme, dan
selanjutnya akan diwujudkan dalam bentuk perbuatan cara kerja.
Dari keterangan di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa kata etos berarti watak atau
karakter seorang individu atau kelompok manusia yang berupa kehendak atau kemauan yang
disertai dengan semangat yang tinggi guna mewujudkan sesuatu keinginan atau cita-cita.
Etos kerja adalah refleksi dari sikap hidup yang mendasar, maka etos kerja pada dasarnya
2.4Sejarah dan Kosmologi Kepercayaan Masyarakat Melayu Batubara
2.4.1 Sejarah Batubara
Wilayah Batubara mulai dihuni penduduk pada tahun 1720 M. Ada lima suku yang
mendiami wilayah itu, yakni Lima Laras, Tanah Datar, Pesisir, Lima Puluh dan Bogak. Kelima
suku tersebut dipimpin seorang datuk yang memiliki wilayah territorial tertentu.
Konon nama Batubara berasal dari nama sebuah lokasi yang dulunya terdapat sebuah
batu yang dapat mengeluarkan cahaya sendiri yang membara sekaligus dijadikan nama daerah
dan tanda (Kubah Batubara).
Batubara masih menjadi bagian dari kerajaan Siak dan Johor. Oleh karena itu setiap
Datuk kepala suku mendapat pengangkatan dan capnya dari Sultan Siak. Untuk mewakili
kepentingan kerajaan Siak dan mengepalai para Datuk di seluruh Batubara, di angkat seorang
bendahara secara turun temurun. Di bawah bendahara dibentuk dewan yang anggotanya dipilih
oleh para Datuk Kepala Suku. Anggota Dewan itu adalah seorang Syahbandar (suku Tanah
Datar). Juru tulis dipilih dari suku Lima Puluh. Mata-mata dipilih dari suku Lima Laras dan
penghulu batangan dipilih tetap dari suku pesisir. Data di kerajaan Haru menyebutkan bahwa
Batubara salah satu daerah yang wajib menyetor upeti kepada kerajaan ini.
Dalam tahun 1885, pemerintah Hindia Belanda membuat Politik kontrak. Perjanjian itu
meliputi beberapa kerajaan seperti Langkat, Serdang, Deli, Asahan, Siak, Palalawan (Riau),
termasuk juga kerajaan-kerajaan kecil seperti Tanah Karo, Simalungun, Indragiri dan Batubara
serta Labuhan Batu.
Pada tahun 1889 Residensi Sumatera Timur terbentuk dengan ibu kota di Medan.
langsung di bawah Residen Medan, Afdeling Batubara berkedudukan di Labuhan Ruku,
Afdeling Asahan berkedudukan di Tanjung balai. Afdeling Labuhan batu berkedudukan di
Labuhan batu dan Afdeling Bengkalis berkedudukan di Bengkalis.
Dari itu, tampak nyata bahwa sejak dahulu Batubara, punya afdeling tersendiri. Batubara
saat itu punya 8 (delapan) landschap (setara dengan kecamatan), yang dipimpin oleh seorang
raja. Ketika Indonesia merdeka, wilayah Batubara berubah statusnya menjadi Kewedanan
membawahi lima Kecamatan yaitu: Kecamatan Talawi, Tanjung Tiram, Lima Puluh, Air Putih
dan Medang Deras. Sementara Ibukota tetap di Labuhan Ruku.
Setelah masa kepemimpinan kewedanan berlangsung 4 (empat) kali pergantian, nama
kewedanan kemudian dicabut, sehingga yang ada hanya 5 (lima) sektor camat. Lalu digabungkan
dengan nama Kabupaten Asahan, ber Ibukota di Kisaran. Hal inilah yang menggugah tokoh,
cerdik pandai dan masyarakat untuk kembali memperjuangkan adanya wilayah otonom
Batubara. Maka pada tahun 1969 dibentuk panitia otonomi Batubara (PPOB) yang di prakarsai
oleh salah seorang tokoh masyarakat yang pernah menjadi anggota DPRD Asahan. Karena
Undang-undang otonom belum dikeluarkan oleh Pemerintah, Perjuangan ini pun tertunda.
Masyarakat Batubara menilai bahwa terbentuknya Kabupaten Batubara adalah hasil
perjuangan masyarakat. Sejak dicetuskannya kembali Asahan melalui Peraturan Daerah nomor 6
Tahun 2001 tentang Program Pembangunan Daerah (Properda) yang bertentangan dengan
aspirasi masyarakat dan peraturan Pemerintah yang lebih tinggi. Isi properda tersebut tertuang
pada angka 2 (dua) pada kegiatan pokok program pembangunan daerah yang menyebutkan “
provokasi memisahkan diri dari wilayah Kabupaten Asahan, serta sosialisasi kepada masyarakat
bahwa sampai tahun 2005 tidak akan pernah ada yaitu apa yang disebut dengan pemekaran”.
Walaupun tidak direstui oleh Pemerintah Asahan, Masyarakat Batubara yang tergabung
dalam Lembaga Swadaya Masyarakat Gerakan Masyarakat Menuju Kabupaten Batubara
(LSM-GEMKARA) menginventarisir Sumber Daya Manusia yang berkompeten dan berasal dari putra
asli Batubara. Atas kesepakatan bersama, ditunjuklah Ok Arya Zulkarnain,SH,MM. menjadi
pemimpin organisasi sekaligus pelaksana perjuangan pemekaran. Usaha-usaha pendekatan
persuasif kepada pemerintah provinsi dan pemerintah pusat, dengan prinsip “Surut Berpantang
Batubara Harus Menjadi Kabupaten”, akhirnya kerja berat ini berhasil diselesaikan dengan hasil
yang memuaskan.
2.4.2 Letak Geografis
Kabupaten Batubara berasal dari sebagian wilayah Kabupaten Asahan, yang terdiri atas
cakupan wilayah:
a. Kecamatan Medang Deras = 6.547 Ha terdiri dari 14 desa, yaitu: Medang Deras, Sei Buah keras,
Pematang Cengkring, Sei Rakyat, Pakam Raya, Sidomulyo, Tanjung Sigoni, Aek Nauli, Lalang,
Nanas Siam, Pakam, Kel. Pangkalan Dodek, Kel. Pangkalan Dodek Baru dan Durian.
b. Kecamatan Sei Suka = 17.147 Ha terdiri dari 13 Desa, yaitu: Kwala Tanjung, Sei Semujur, Sei
Suka Deras, Simodong, Tanjung Kasau, Tanjung Prapat, Tanjung Seri, Kwala Indah, Pematang
Jering, Pematang Kuing, Laut Tador, Perk. Tanjung Kasau dan Kel.Perk. Sipare pare.
c. Kecamatan Air Putih = 7.224 Ha terdiri dari 13 Desa, yaitu: Aras, Limau Sundai, Pasar Lapan,
Pematang Panjang, Sipare pare, Tanah Merah, suka Raja, Tanah Tinggi, Tanjung Harapan,
d. Kecamatan Lima Puluh = 23, 955 Ha terdiri dari 27 desa, yaitu: Mangkai Baru, Mangkai Lama,
Sumber Makmur, Simpang Gambus, Simpang Dolok, Pulau Sejuk, Perupuk, Perk. Dolok Estate,
Tanah Hitam Hilir, Tanah Hitam Hulu, Perk. Tanah Gambus, Limau Manis, Perk. Lima Puluh,
Perk. Kwala Gunung, Pematang Panjang, Lubuk Cuik, Sumber Padi, Lubuk Besar, Kwala
Gunung, Guntung, Gambus Laut, Empat Negeri, Pardomuan, Bulan-Bulan, Air Hitam, Antara
Dan Kel.Lima Puluh Kota.
e. Kecamatan Talawi = 17, 379 Ha terdiri dari 13 Desa, yaitu: Bangun Sari, Karang Baru,
Kel.Labuhan Ruku, Mesjid Lama, Padang Genting, Pahang, Kampung Panjang, Binjai Baru,
Petatal, Perk.Tanah Datar, Perk.Petatal, sei muka dan Dahari Selebar.
f. Kecamatan Tanjung Tiram = 8.980 Ha terdiri dari 12 Desa, yaitu: Bagan Dalam, Bagan Baru,
Bogak, Guntung, Lima Laras, Pematang Rambai, Sei Mentaram, Suka Maju, Tanjung Mulia,
Kel.Tanjung Tiram, Sentang dan Ujung Kubu.
g. Kecamatan Sei Balai = 10.988 Ha terdiri dari 8 desa Yaitu: Perk.Sei Bejangkar, Durian, Kwala
Sikasim, Mekar Mulio, Sei Balai, Suka Ramai, Siajam, dan Perk.Sei Balai.
Kabupaten Batubara mempunyai batas-batas wilayah sebagai berikut:
• Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Bandar Khalifah, Kabupaten Serdang Bedagai dan
Selat Malaka.
• Sebelah Timur berbatasan dengan Selat Malaka dan Kecamatan Air Joman, Kabupaten Asahan
• Sebelah Selatan dengan Kecamatan Bosar Maligas, Kecamatan Bandar, Kecamatan Bandar
Masilam, Kecamatan Batu Nanggar, Kabupaten Simalungun dan Kecamatan Tebing Tinggi,
Kabupaten Batubara memiliki luas wilayah keseluruhan +/- 92.220 Km2, dengan jumlah
penduduk +/- 383.072 jiwa, pada bulan Januari 2011. Data tersebut sesuai dengan data sensus
penduduk Bps ( Badan Pusat Statistik) Batubara Pada Tahun 2011. Data tersebut di atas
diperoleh dari Badan Statistik Sumatera Utara.
2.4.3 Sistem Kepercayaan dan Agama
2.4.3.1 Kepercayaan Masyarakat Melayu Batubara Sebelum Masuk Islam
Masyarakat Melayu, Khususnya masyarakat Melayu Batubara sebelum masuknya agama
Islam menganut kepercayaan kepada roh jahat (mambang) yang dapat mengganggu kehidupan
dan kebahagian manusia dipermukaan bumi. Nadila (2012:31) mengatakan bahwa kepercayaan
orang Melayu Pesisir Sumatera Utara sebelum masuk Islam adalah animisme. Kepercayaan
animisme adalah kepercayaan adanya roh atau kekuatan pada semua benda, baik benda mati
maupun benda hidup. Pemeluk animisme lebih tertarik kepada roh-roh dari benda-benda yang
menimbulkan perasaan hormat dan takut dalam diri pemeluknya, seperti laut, gunung, hutan,
pohon, kayu besar dan peristiwa-peristiwa alam misalnya gempa bumi, gunung meletus, angin
badai, petir dan lain-lain.
Selanjutnya menurut Hamid (dalam Nadila 2002:31) “Roh-roh tersebut memiliki kekuatan dan kehendak, dapat makan dan memiliki usia. Roh juga bisa merasa senang maupun marah, jika roh ia dapat membahayakan hidup manusia, oleh karena itu agar roh tidak marah, manusia harus memberi makan atau sesajen (persembahan) dan mengadakan upacara-upacara khusus untuk roh tersebut.”
Lebih lanjut (Nadila 2002:32) mengatakan, “Pemujaan terhadap arwah atau roh nenek moyang tersebut serta alam gaib yang lain, dilakukan langsung atau melalui perantara pawang/bomoh/guru/dukun, yaitu orang yang dapat berhubungan dengan yang dipuja atau dipercayai memiliki “mana” (adalah kekeuatan gaib yang ada dalam suatu benda atau manusia).”
Pemeluk animisme percaya bahwa orang yang telah meninggal dunia masih tetap
mendatangkan bencana alam, memberikan kesehatan atau penyakit kepada orang yang telah
melakukan kesalahan, memberikan kesaktian, memberikan rezeki, dan lain-lain. Oleh sebab itu,
arwah nenek moyang terus dipuja anak cucunya dengan tujuan agar roh itu jangan marah
sehingga mereka dilindungi dari segala bencana. Untuk itulah mereka harus terus menjaga
hubungan baik dengan arwah para leluhurnya.
Pemeluk animisme juga mempercayai keberadaan hantu-hantu (hantu laut, air, rimba,
kayu, gunung, dan lain-lain) tetapi tidak akan mengganggu kehidupan manusia kecuali jika
manusia melanggar daerah kediaman mereka ataupun mencoba mengganggu ketentraman hidup
mereka. Begitupun, pemeluk animisme tetap menjaga hubungan baik dengan mereka melalui
persembahan korban (sesajen) untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
2.4.3.2 Kepercayaan Masyarakat Melayu Batubara Sesudah Masuk Islam
Agama yang dianut saat ini oleh masyarakat Melayu Batubara adalah agama Islam.
Kedatangan Islam membawa dampak kepercayaan yang besar dalam struktur sosial dan
kebudayaan masyarakat Melayu Batubara. Kepercayaan yang sebelumnya yakni memuja
dewa-dewa, hantu-hantu, dan roh-roh berubah menjadi menyembah Allah Subhanahuwata’ala ( Tuhan
Yang Maha Tunggal).
Puncak penerimaan Islam secara keseluruhan pada masyarakat Melayu ditandai dengan
lahirnya falsafah masyarakat, yaitu adat yang berlandaskan hukum Allah, yang dituangkan lewat
firman-firman-Nya kedalam Al Qur’anul karim dan di ejawatkan lewat hadist-hadist serta
prilaku Nabi Muhammad SAW. Atau yang lebih dikenal dengan falsafah: Adat bersendikan
“Hablumminallah” dan hubungan sesama manusia serta manusia dengan alam
“Hablumminannas”. Manusia dituntut agar dapat menjaga, mengaharmoniskan, dan
melestarikan keseimbangan antara kedua hubungan tersebut.
Agama Islam yang dianut masyarakat Melayu dianggap mereka sebagai petunjuk yang
memadukan kepentingan agama dengan kebudayaan dalam bentuk peraturan yang tetap. Aturan
tentang Agama adalah mengenai prinsip-prinsip dasar kehidupan manusia dan cara
pelaksanaannya. Misalnya bagaimana seseorang mencari nafkah, membina hubungan antar
manusia, melestarikan alam, menikah, melaksanakan sholat serta fardu kifayah, dan lain-lain.
Aturan tentang kebudayaan adalah mengenai prinsip-prinsip dasar saja, sedangkan cara
pelaksanaan dapat berubah sesuai dengan keinginan manusia sebagai pelaku budaya tetapi tidak
melanggar ketentuan yang telah ditentukan Allah SWT, misalnya saja dalam berkesenian, dalam
Islam diajarkan untuk tidak membuat seni yang menimbulkan khayalan sensual yang dapat
menjerumuskan manusia kedalam keasyikan sehingga melupakan kewajiban dalam
melaksanakan perintah Allah SWT. Begitu pula dalam berpakaian yang dapat menutup segala
auratnya sehingga terhindar dari dosa, sedangkan bagaimana cara memakainya diserahkan
kepada manusianya.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Islam tidak membenarkan
penyembahan yang lain kecuali kepada Allah SWT. Hal ini ditegaskan dengan dua kalimat
syahadat bila seseorang memeluk Islam, yaitu: asyhadu allah illa ha illallah waasyhadu anna
Muhammaddarasulullah, yang artinya: Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah utusan Allah. Ini berarti bahwa manusia harus tunduk dan menyembah
2.5Pendekatan Sosiologi Sastra
Bahagian ini membincangkan kerangka konseptual teori pendekatan sosiologi menerusi
kaidah fungsionalisme dan orientasi nilai budaya. Tumpuan pendekatan fungsionalisme adalah
penekanan kepada kerangka fakta sosial atau nilai budaya, sedangkan orientasi nilai budaya
merujuk kepada kerangka Kluckhon. Kerangka pendekatan tersebut bertitik tolak kepada
anggapan bahwa hubungan antara sastra dengan masyarakat adalah sangat erat. Kedua-duanya
tidak boleh dibicarakan secara bersaingan karena kesustraan adalah satu pengucapan masyarakat.
Kluckhon dalam Syaifuddin (2005:323), Mengatakan:
“Wujud tiga paradigma asas dalam kerangka kajian sosiologi yaitu; pertama, paradigma nilai budaya atau fakta sosial; kedua paradigma defenisi sosial; dan ketiga, paradigma perilaku sosial. Contoh paradigma pertama adalah karya-karya Durkheim melalui kerangka teori fungsionlisme; contoh paradigma kedua adalah karya-karya Weber, antara satu kerangka teori pendekatannya adalah interaksionalisme-simbolik; dan paradigma ketiga, karya-karya Skinner antara satu pendekatannya adalah teori sosiologi prilaku serta teori pertukaran.”
Dalam konteks ketiga-tiga paradigma kajian sosiologi itu, wujud tiga jenis kerangka
kajian sosiologi sastra; i) tumpuan kerangka pendekatan sosial pengarang yang berhubungan
dengan masyarakat pembaca; ii) tumpuan kerangka pendekatan terhadap sastra sebagai cerminan
masyarakat. Dalam hal ini kajian berkaitan dengan persoalan sastra sebagai cerminan daripada
masyarakat dan sifat pribadi individu mempengaruhi gambaran masyarakat serta sastra sebagai
gambaran sosial suatu masyarakat, iii) tumpuan kerangka pendekatan terhadap fungsi sosial
sastra. Berkenaan kajian ini, wujud tiga persoalan yang menjadi perhatian; 1) sastra boleh
Pemahaman ke atas paradigma kerangka kajian sosiologi dan tumpuan dalam kerangka
kajian sosiologi sastra adalah bertolak daripada sistem nilai budaya yang dimiliki oleh kelompok
sosialnya. Sistem nilai budaya adalah suatu rangkaian konsep abstrak yang hidup dalam alam
pikiran anggota suatu masyarakat yang berkebudayaan, mengenai apa yang dianggap penting
dalam hidupnya.
Dalam konteks pemahaman demikian adalah bersesuaian dengan pandangan bahwa karya
sastra adalah dokumen sosial budaya sesuatu kelompok masyarakat pada masa tertentu. Dalam
pemahaman kerangka konsep kajian sosiologi sastra itu, maka kerangka teori pendekatan
terhadap karya sastra melihat nilai sosial budaya sebagai unsur-unsur yang lepas (daripada
kesatuan cerita). Ia hanya berdasarkan kepada cerita tanpa mempersoalkan struktur karya.
Berkenaan dengan pemahaman konsep pendekatan sosiologi sastra itu Noriah dalam Syaifuddin,
(2005:301) lebih khas membicarakan penerapannya ke atas teks mantra.
“Mantra sama teks sastra yang lain merupakan satu struktur kata atau bunyi. Mantra juga merupakan satu dunia linguistik yang bersifat rujuk kendiri dengan hukum-hukum kewajaran kendiri yang konsisten. Ia juga satu mimesis, satu produk sosial, dicipta, dan wujud dalam satu ruang sosial, yang tentunya mewujudkan satu hubungan timbal balik antara dunia sastra dengan dunia sosial. Ini membenarkan mantra dilihat dari dua prespektif strukturalis dan sosiologi sastra.”
Berdasarkan kerangka konsep kajian dan pendekatan sosiologi sastra tersebut bahagian
ini akan membincangkan mengenai kerangka konseptual teori pendekatan sosiologi sastra
menerusi kaidah fungsionalisme dan orientasi nilai budaya. Pendekatan fungsionalisme
menggunakan kerangka nilai budaya atau fakta sosial, sedangkan orientasi nilai budaya pula
seperti dalam kerangka Kluckhon. Selain itu, sebagai tambahan kepada kedua-dua kerangka teori
Dalam kajian keberkesanan dan hubungan upacara dan mantra ritual dengan orientasi
nilai budaya masyarakat berdasarkan pemahaman bahwa perwujudan aspek-aspek orientasi nilai
budaya masyarakat tidak boleh dipisahkan daripada setiap prilaku individu. Oleh karena itu,
kajian menggunakan soal yang mengandung aspek-aspek orientasi nilai budaya masyarakat.
Hal ini dilakukan berdasarkan pemahaman terhadap pandangan bahwa suatu gejala
sosiologis tidak dapat diukur atas dasar bahwa suatu gejala berlaku secara universal. Namun,
suatu fikiran yang ada di dalam kesadaran setiap individu dan prilaku yang diulang-ulang oleh
individu boleh mewakili perwujudan kolektifnya.
Tidak lepas dari pendekatan sosiologi sastra, dalam membahas mantra melaut ini juga
dianalisis teori strukturalnya yang berhubungan dengan mantra melaut, untuk lebih jelas lagi
berikut di jelaskan di bawah ini teori strukturalnya
Di bidang ilmu sastra, penelitian dirintis jalannya oleh kelompok peneliti Rusia antara
tahun 1915 dan 1930. Mereka biasanya disebut kaum formalis dengan tokoh utama Jakobson.
Yang penting menurut kaum formalis ialah sesuatu yang dalam bahasa Rusia disebut
priem (devises, prosede) atau sarana dibidangnya bunyi (rima, mantra, irama, aliterasi, dan
asonansi), tetapi pula dibidang morfologi, sintaksis dan semantik.
Pada awalnya formalis terutama memperhatikan priem secara lepas dan individual; tetapi
kemudian mereka maju menganggap bahwa karya sastra merupakan sistem sarana. Karya sastra
seluruhnya dipandang sebagai tanda, lepas dari fungsi referensial atau mimetiknya. Karya sastra
Sebuah karya sastra, fiksi/puisi, menurut kaum strukturalisme adalah sebuah totalitas
yang dibangun secara koherensif oleh berbagai unsur pembangunnya. Di satu pihak struktur
karya sastra dapat diartikan sebagai susunan penegasan dan gambaran semua bahan dan bagian
yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang indah, Abrams
dalam Nadila, (2012:19).
Hawkes dalam Pradopo, (2000:119) mengatakan bahwa pengertian struktur tersusun atas tiga gagasan kunci, yakni ide kesatuan, ide transformasi, dan ide pengaturan diri sendiri (self regulation): pertama, struktur itu merupakan keseluruhan yang bulat, yaitu, bagian-bagian yang tidak dapat berdiri sendiri diluar struktur itu. Kedua, struktur itu berisi gagasan transformasi dalam arti bahwa struktur itu tidak statis. Struktur mampu melakukan prosedur- prosedur transformasional, dalam arti bahan-bahan baru diproses dengan prosedur dan melalui prosedur itu. Ketiga, struktur itu mengatur diri sendiri dalam arti struktur itu tidak memerlukan pertolongan bantuan dari luar dirinya untuk mensahkan prosedur transformasinya.
Pendekatan struktural hadir karena bertolak dari asumsi dasar yakni bahwa karya sastra
sebagai karya kreatif memiliki otonomi penuh yang harus dilihat sebagai sesuatu sosok yang
berdiri sendiri, terlepas dari hal-hal lain yang berada diluar dirinya.
Bila hendak dikaji atau diteliti maka yang harus dikaji dan diteliti adalah aspek yang
membangun karya sastra tersebut seperti tema, alur, penokohan, gaya penulisan, gaya bahasa,
serta hubungan harmonis antara aspek yang mampu membangunnya menjadi sebuah karya
sastra, (Semi, 1990:67). Sedangkan untuk bidang puisi yang dikaji adalah struktur pembentuk
luar (fisik) dan struktur pembentukan dalam (batin) seperti diksi, majas, versifikasi, tema, nada,
rasa dan amanat serta hubungan yang harmonis antara kedua unsur pembentuk tersebut (fisik dan
batin). (Semi,1990:67).
Tetapi struktur pada tataran bahasa sebagai sistem, sebagai kompetensi, dengan istilah
jeam piaget, yang menurut para frase Hawkes dalam Endaswara (2002: 49) menunjukkan tiga
aspek konsep struktur :
a. Gagasan keseluruhan, koherensi intrinsik , bagian-bagiannya menyesuaikan diri dengan seperangkat kaidah intrinsik yang menentukan baik keseluruhan struktur maupun bagian-bagiannya.
b. Gagasan transformasi: yang terus menerus memungkinkan pembentukan bahan-bahan baru. c. Gagasan regulasi diri: struktur tidak memerlukan hal-hal di luar dirinya untuk mempertahankan
prosedur transformasinya, struktur itu otonom terhadap rujukan pada sistem-sistem lain.
Tradisi berpuisi merupakan tradisi kuno dalam masyarakat. Puisi yang paling tua adalah
mantra (Waluyo, 1991:1). Jika kita menghadapi sebuah puisi, kita tidak hanya berhadapan
dengan unsur kebahasaan yang meliputi serangkaian kata-kata indah, namun juga kesatuan
bentuk pemikiran atau struktur makna yang hendak diucapkan penyair. Pada pokonya puisi
dibangun ke dalam dua unsur pokok, yakni perasaan yang diungkapkan oleh penyair.
Struktur kebahasaan (struktur fisik) puisi disebut pula metode puisi. Medium pengucapan
maksudnya yang ingin disampaikan penyair adalah bahasa. Bahasa puisi bersifat khas. Struktur
fisik puisi sebagai metode pengucapan puisi.
Analisis struktur karya sastra pada mantra melaut pada masyarakat Melayu Batubara
dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, mendeskripsikan fungsi unsur insrinsik