1
PENDAHULUAN
Menurut Bradburn, dkk (dalam Ryff, 1989) kebahagiaan merupakan hasil dari kesejahteraan psikologis (psychological well-being) dan merupakan tujuan tertinggi yang ingin dicapai oleh setiap manusia. Bagi sebagian besar orang, kebahagiaan dapat dicapai dengan menjalin hubungan dengan lawan jenis (heteroseksual). Namun, sebagian orang tertarik menjalin hubungan dengan sesama jenis atau homoseksual. Homoseksual terbagi menjadi dua, yakni lesbian dan gay. Lesbian adalah perempuan yang memiliki ketertarikan terhadap sesama perempuan, sedangkan gay adalah laki-laki yang juga memiliki ketertarikan terhadap sesama lelaki (Zastrow, dalam Tarigan, 2011).
Di Indonesia yang menganut nilai norma dan budaya yang tinggi, masih banyak keluarga menutup mata dan telinga saat mengetahui anggota keluarganya adalah lesbian (Tarigan, 2011). Russell & Joyner (2001) mengatakan bahwa penolakan yang kuat terhadap kaum lesbian oleh masyarakat terjadi karena kaum lesbian dianggap melawan agama, moral, etika dan kewajaran dalam kehidupan masyarakat. Itulah sebabnya kaum lesbian memiliki psychological distress yang jauh lebih tinggi, jika dibandingkan dengan kaum heteroseksual (King & McKeown, 2003).
2
(2001), hal ini dapat bermuara pada rendahnya psychological well-being pada lesbian, karena hidup dalam keberpura-puraan adalah cerminan dari tidak dapat menikmati dan menerima kehidupan dan keadaan diri mereka.
Psychological well-being merupakan pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki tujuan hidup, mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain, menjadi pribadi yang mandiri, mampu mengendalikan lingkungan, dan terus bertumbuh secara personal (Ryff, 1989). Menurut Kertzner, Meyer, Frost & Stirratt (2009) rendahnya psychological well-being yang dimiliki oleh lesbian disebabkan karena kaum lesbian tidak dapat mengekspresikan dirinya dengan leluasa, mereka juga tidak memiliki keterbukaan diri atau self-disclosure sebagai lesbian karena penolakan masyarakat, sehingga mereka takut kalau ada orang lain yang mengetahui orientasi seksual mereka.
Wheeles (dalam Gainau, 2009) menyatakan self-disclosure merupakan kemampuan seseorang untuk mengungkapkan informasi tentang diri sendiri kepada orang lain. Pengungkapan informasi tentang diri dapat membantu pemahaman diri dan memperkuat konsep diri (Lumsden, dalam Gainau, 2009). Self-disclosure terkait orientasi seksual memiliki pengaruh positif terhadap psychological well-being pada diri kaum lesbian, sebab dapat mengurangi beban stres mereka (Smith, 2011).
self-3
disclosure HIV status terhadap psychological well-being pada 301 gay dan biseksual Latino di New York City, Washington DC dan Boston. Smith (2011) juga menemukan pengaruh positif self-disclosure terkait orientasi seksual terhadap psychological well-being pada LGBT yang sudah bekerja di Australia.
Meskipun sudah ada penelitian sebelumnya mengenai hubungan antara self-disclosure dengan psychological well-being, tetapi penulis tetap tertarik untuk meneliti kembali. Hal ini dikarenakan, pertama, penelitian terdahulu mengenai hubungan antar kedua variabel umumnya dilakukan di luar negeri. Oleh karena itu, ada perbedaan tempat penelitian, serta subjek yang akan diteliti dengan penelitian sebelumnya. Perbedaannya, penulis memilih tempat di Jawa Tengah dan subyek kaum Lesbian di Jawa Tengah. Penulis ingin melakukan penelitian di Jawa Tengah, karena secara mengejutkan fenomena lesbian di Jawa Tengah ibarat gunung es, bahkan di Surakarta sudah ada wadah komunitas LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) yang diberi nama Gessang (Suara Merdeka, 03 Desember 2004). Kedua, penulis ingin meneliti kaum lesbian adalah karena kaum lesbian memiliki psychological distress yang jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan kaum heteroseksual (King & McKeown, 2003).
TINJAUAN PUSTAKA
Lesbian
4
(Zastrow, dalam Tarigan, 2011). Menurut Supratiknya (dalam Nurkholis, 2013) lesbi atau lesbian adalah perempuan yang mempunyai orientasi seksual terhadap perempuan.
Sebagian besar masyarakat Indonesia masih menganggap kaum lesbian sebagai penyimpangan seksual yang belum berlaku secara umum dan belum dapat diterima oleh masyarakat (Puspitosari dan Pujileksono, dalam Tarigan, 2011). Tidak semua lesbian dapat dikenali sejak masa kanak-kanak, tetapi beberapa karakteristik dapat memberikan dugaan bahwa mereka akan menjadi homoseks, di antaranya sifat tomboy (Tobing, dalam Tarigan, 2011). Di dalam kelompok lesbian terdapat semacam label yang muncul karena dasar karakter atau penampilan yang terlihat pada seorang lesbian yaitu (Tan, dalam Tarigan, 2011): a. Butch adalah lesbian yang berpenampilan tomboy, kelaki-lakian, lebih suka
berpakaian laki-laki (kemeja laki-laki, celana panjang, dan potongan rambut sangat pendek).
b. Femme adalah lesbian yang berpenampilan feminim, lembut, layaknya perempuan heteroseksual biasanya, berpakaian gaun perempuan.
c. Andro atau Androgyne adalah perpaduan penampilan antara butch dan femme. Lesbian ini bersifat lebih fleksibel, artinya dia bisa saja bergaya tomboy tapi tidak kehilangan sifat feminimnya, tidak risih berdandan dan mengenakan make up, menata rambut dengan gaya feminim, dan sebagainya
5 Psychologycal Well-Being
Ryff (1989), penggagas teori psychological well-being menjelaskan istilah psychological well-being sebagai pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki tujuan hidup, mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain, menjadi pribadi yang mandiri, mampu mengendalikan lingkungan, dan terus bertumbuh secara personal. Menurut Ryff & Singer (1996) psychological well-being muncul dari pengembangan perspektif mental masa kehidupan, yang menekankan tantangan yang berbeda-beda dihadapkan pada berbagai tahapan siklus kehidupan. Psychological well-being dapat ditandai dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasaan hidup dan tidak adanya gejala-gejala depresi (Ryff & Keyes, 1995).
Dapat disimpulkan bahwa psychological well-being adalah pencapaian penuh potensi psikologis seseorang yang ditandai dengan adanya perasaan bahagia, mempunyai kepuasan hidup dan tidak ada gejala-gejala depresi ketika dihadapkan pada berbagai tantangan dalam tahapan siklus kehidupan.
6 a. Penerimaan diri (self-acceptance)
Seseorang yang psychological wellbeing‐nya tinggi memiliki sikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek positif dan negatif dalam dirinya, dan perasaan positif tentang kehidupan masa lalu. b. Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others)
Psychological well‐being seseorang itu tinggi jika mampu bersikap hangat dan percaya dalam berhubungan dengan orang lain, memiliki empati, afeksi, dan keintiman yang kuat, memahami pemberian dan penerimaan dalam suatu hubungan.
c. Kemandirian (autonomy)
Merupakan kemampuan individu dalam mengambil keputusan sendiri dan mandiri, mampu melawan tekanan sosial untuk berpikir dan bersikap dengan cara yang benar, berperilaku sesuai dengan standar nilai individu itu sendiri, dan mengevaluasi diri sendiri dengan standar personal.
d. Penguasaan lingkungan (environmental mastery)
Mampu dan berkompetensi mengatur lingkungan, menyusun kontrol yang kompleks terhadap aktivitas eksternal, menggunakan secara efektif kesempatan dalam lingkungan, mampu memilih dan menciptakan konteks yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai individu itu sendiri.
e. Tujuan hidup (purpose in life)
7 f. Perkembangan pribadi (personal growth)
Merupakan perasaan mampu dalam melalui tahap‐tahap perkembangan, terbuka pada pengalaman baru, menyadari potensi yang ada dalam dirinya, melakukan perbaikan dalam hidupnya setiap waktu.
Ryff (dalam Liwarti, 2013) mengemukakan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi psychological well-being seseorang, yaitu:
a. Usia
Ryff (dalam Liwarti, 2013) menyatakan bahwa usia menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi psychological well-being pada aspek penerimaan diri, otonomi, penguasaan lingkungan dan hubungan baik dengan orang lain. Terdapat peningkatan psychological well-being pada usia yang semakin dewasa.
b. Tingkat pendidikan
Ryff, Magee, Kling & Wling (dalam Liwarti, 2013), menyatakan tingkat pendidikan, salah satu faktor yang mempengaruhi psychological well-being. Individu yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik, maka pengenalan lingkungan lebih baik dan psychological well-being juga lebih baik.
c. Jenis kelamin
8 d. Status sosial ekonomi
Ryff (dalam Liwarti, 2013), menyatakan bahwa faktor status sosial ekonomi menjadi sangat penting dalam peningkatan psychological well-being, bahwa tingkat keberhasilan dalam pendidikan dan pekerjaan yang lebih baik, menunjukkan tingkat psychological well-being juga lebih baik.
e. Dukungan sosial
An dan Cooney (dalam Liwarti, 2013), menyatakan bahwa bimbingan dan arahan dari orang lain memiliki peran yang penting pada psychological well-being.
f. Kepribadian
Individu yang memiliki banyak kompetensi pribadi dan sosial, seperti penerimaan diri dan keterbukaan diri mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan lingkungan, coping skill yang efektif cenderung terhindar dari konflik dan stres (Ryff, 1995).
g. Spiritualitas
Hal ini berkaitan dengan transendensi segala persoalan hidup. Wink dan Dillon (dalam Liwarti, 2013), menyatakan bahwa spiritualitas berkaitan dengan psychological well-being terutama pada aspek pertumbuhan pribadi dan hubungan positif dengan orang lain.
Self-disclosure Sebagai Seorang Lesbian
9
kepada orang lain. Self-disclosure adalah tipe khusus dari percakapan di mana kita berbagi informasi dan perasaan pribadi dengan orang lain (Taylor, Pepplau & Sears, 2009). Menurut Johnson (dalam Supratiknya, 1995), self-disclosure adalah mengungkapkan reaksi atau tanggapan individu terhadap situasi yang sedang dihadapi serta memberikan informasi tentang masa lalu yang relevan atau yang berguna untuk memahami tanggapan individu itu di masa kini tersebut.
Person (dalam Gainau, 2009) mengartikan self-disclosure sebagai tindakan seseorang dalam memberikan informasi yang bersifat pribadi pada orang lain secara sukarela dan disengaja untuk maksud memberi informasi yang akurat tentang dirinya. Calhoun dalam (dalam Gainau, 2009) mengungkapkan tiga manfaat self-disclosure yaitu: (1) keterbukaan diri mempererat kasih sayang, (2) dapat melepaskan perasaan bersalah dan kecemasan; dan (3) menjadi sarana eksistensi manusia yang selalu membutuhkan wadah untuk bercerita.
10
takut, ragu, bahkan malu untuk menunjukkan identitas seksual mereka yang sebenarnya (Tarigan, 2011).
Berdasarkan beberapa pengertian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa self-disclosure sebagai seorang lesbian adalah pengungkapan seorang lesbian terhadap situasi yang sedang dihadapi kepada orang lain sebagai sarana berbagi informasi dan perasaan pribadi dengan orang lain mengenai orientasi seksualnya yang memiliki ketertarikan terhadap sesama perempuan.
Wheeless (dalam Ables, 2013) membuat alat ukur untuk mengukur self-disclosure yaitu The Revised Self-Disclosure Scale yang berisi 32 item. Wheeless, (dalam Ables, 2013) menyatakan dimensi-dimensi untuk mengukur Self-disclosure, yaitu:
1. Intended Disclosure
Kemauan dari individu untuk melakukan pengungkapan diri. Seluas apa individu mengungkapkan tentang apa yang ingin diungkapkan, seberapa besar kesadaran individu untuk mengontrol informasi-informasi yang akan dikatakan pada orang lain.
2. Amount
11 3. Positive/Negativeness
Berfokus pada apakah isi dari pengungkapan dianggap merefleksikan secara positif atau negatif terhadap individu yang mengungkapkan dirinya. Individu dapat menyingkapkan diri mengenai hal-hal yang menyenangkan atau tidak menyenangkan mengenai dirinya, memuji hal-hal yang ada dalam dirinya atau menjelek-jelekkan diri individu sendiri.
4. Control of Depth
Sejauh mana individu dapat mengontrol kedalaman atau keintiman apa yang diungkapkan. Individu dapat mengungkapkan detail yang paling intim dari hidupnya, hal-hal yang dirasa sebagai periperal atau impersonal atau hal yang hanya bohong.
5. Honesty/accuracy
Ketepatan dan kejujuran individu dalam mengungkapkan diri. Ketepatan dari pengungkapan diri individu dibatasi oleh tingkat dimana individu mengetahui dirinya sendiri. Self-disclosure dapat berbeda dalam hal kejujuran. Individu dapat saja jujur secara total atau dilebih-lebihkan, melewatkan bagian penting atau berbohong.
Ada beberapa efek self-disclosure antara lain (Gainau, 2009): 1. Mengenal diri sendiri
12 2. Adanya kemampuan menanggulangi masalah
Seseorang yang memiliki self-disclosure tinggi dapat mengatasi masalah, karena ia memiliki dukungan, sehingga mampu menyelesaikan atau mengurangi bahkan menghilangkan masalahnya.
3. Mengurangi Beban
Seseorang yang memiliki self-disclosure rendah akan lebih cenderung menyimpan masalahnya dan tidak mengungkapkannya kepada orang lain, maka akan terasa berat sekali memikul masalahnya. Seseorang yang memiliki self-disclosure tinggi memiliki keterbukaan diri kepada orang lain atas masalahnya, sehingga ia akan merasa ringan beban masalah yang dihadapinya.
Kerangka Berpikir
13
terhindar dari konflik dan stres (Ryff, 1995). Hal tersebut berarti keterbukaan diri atau self-disclosure dapat memengaruhi psychological well-being seseorang.
Person (dalam Gainau, 2009) mengartikan self-disclosure sebagai tindakan seseorang dalam memberikan informasi yang bersifat pribadi pada orang lain secara sukarela dan disengaja untuk maksud memberi informasi yang akurat tentang dirinya. Seseorang yang memiliki self-disclosure tinggi dapat mengatasi masalah, karena ia memiliki dukungan, sehingga mampu menyelesaikan atau mengurangi bahkan menghilangkan masalahnya (Gainau, 2009). Hal tersebut berarti self-disclosure dapat meningkatkan psychological well-being seseorang, karena individu dapat mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain melalui self-disclosure, sebab ia akan merasa ringan beban masalah yang dihadapinya dengan mendapatkan dukungan dari orang lain dan memahami dirinya sendiri.
14
New York City, Washington DC dan Boston. Penelitian Smith (2011) juga menemukan pengaruh positif self-disclosure terkait orientasi seksual terhadap psychological well-being pada LGBT yang sudah bekerja di Australia.
Fenomena yang terjadi di Indonesia, wanita lesbian di Indonesia biasanya merahasiakan perilaku mereka (UNDP & USAID, 2013). Sebagian besar masyarakat Indonesia masih menganggap lesbian sebagai penyimpangan seksual yang belum berlaku secara umum dan belum dapat diterima oleh masyarakat (Puspitosari dan Pujileksono, dalam Tarigan, 2011). Pandangan dan keinginan orang tua, yang menginginkan anak berkelakuan ‟normal‟, menjadi salah satu faktor mereka menutup diri (Pontororing, 2012). Penerimaan oleh pihak keluarga dibatasi oleh tekanan budaya yang kuat untuk menikah secara heteroseksual dan mendirikan keluarga, demikian juga pengaruh dari agama (UNDP & USAID, 2013). Penolakan dan marginalitas dari lingkungan sekitar dan lingkup luas membuat kaum lesbian terhimpit rasa takut, ragu, bahkan malu untuk menunjukkan identitas seksual mereka yang sebenarnya (Tarigan, 2011).
15
sebagai penyimpangan seksual yang belum berlaku secara umum dan belum dapat diterima oleh masyarakat.
Hipotesis
Berdasarkan teori yang telah dipaparkan sebelumnya, maka hipotesis yang diuji dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
Ho : rxy≤ 0, maka tidak terdapat hubungan positif dan signifikan antara
self-disclosure sebagai seorang lesbian dengan psychological well-being pada kaum lesbian di Jawa Tengah.
H1 : rxy > 0, maka terdapat hubungan positif dan signifikan antara
self-disclosure sebagai seorang lesbian dengan psychological well-being pada kaum lesbian di Jawa Tengah.
METODE PENELITIAN
Partisipan
Penelitian ini dilakukan di Propinsi Jawa Tengah. Partisipan dalam penelitian ini adalah kaum lesbian di Jawa Tengah. Populasi dalam penelitian ini adalah kaum lesbian yang tinggal di Jawa Tengah yang jumlahnya tidak diketahui secara pasti.
Prosedur Sampling
16
populasi subjek yang tidak diketahui secara pasti. Karena jumlah populasi tidak diketahui secara pasti, maka penulis menggunakan rumus berikut untuk menentukan jumlah sampel (Arikunto, 2010):
� = [� ∝⁄� ] 2
� = [ ,96, ]2
� = 96, 4
Berdasarkan perhitungan sebelumnya, dapat diketahui besarnya sampel dalam penelitian ini adalah 96 responden lesbian yang tinggal di Jawa Tengah. Melalui teknik sampling incidental, penulis akan menemui subjek-subjek yang diindikasi memiliki orientasi seksual lesbian di Jawa Tengah.
Pengukuran
Dalam penelitian ini, metode pengukuran yang digunakan untuk memperoleh data informasi adalah angket. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan try out terpakai, yaitu subjek yang digunakan untuk try out sekaligus digunakan untuk penelitian, guna menghemat waktu tenaga dan biaya.
Angket dalam penelitian ini berdasarkan skala yang telah disusun oleh peneliti sebagai berikut :
1. Skala Psychological Well-Being
17
others), kemandirian (autonomy), penguasaan lingkungan (environmental mastery), tujuan hidup (purpose in life) dan perkembangan pribadi (personal growth). Variabel psychological well-being diukur menggunakan skala yang diadaptasi dari Ryff & Keyes (1995) yaitu Scales of Psychological Well-Being (SPWB) a short version yang berisi 18 item. Alat ukur telah diuji dengan korelasi antar item berkisar 0,70 sampai 0,89 (Ryff & Keyes, 1995). Alternatif pilihan jawaban untuk setiap item Skala Psychological Well-Being yang tersedia, yaitu: Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), serta Sangat Tidak Setuju (STS). Adapun skoring Skala Psychological Well-Being untuk favourable adalah: satu (1) untuk Sangat Tidak Setuju (STS), dua (2) Tidak Setuju (TS), tiga (3) untuk Setuju (S), dan empat (4) untuk Sangat Setuju (SS). Sebaliknya untuk unfavourable adalah: empat (4) untuk Sangat Tidak Setuju (STS), tiga (3) untuk Tidak Setuju (TS), dua (2) untuk Setuju (S), dan satu (1) untuk Sangat Setuju (SS).
Pada uji daya diskriminasi item angket psychological well-being putaran pertama, korelasi antar butir skor bergerak antara 0,207 sampai 0,519, dari 18
item terdapat 14 item yang memiliki daya beda ≥ 0,30 dan 4 item yang
18
2. Skala Self-Disclosure (Sebagai Seorang Lesbian)
Skala Self-Disclosure berasal dari dimensi yang dikemukakan oleh Ables (2013), yaitu: intended disclosure, amount, positive/negativeness, control of depth dan honesty/accuracy. Variabel self-disclosure diukur menggunakan skala yang diadaptasi dari Wheeless (dalam Ables, 2013) yaitu The Revised Self-Disclosure Scale yang berisi 32 item, alat ukur ini dimodifikasi peneliti
dengan menambahkan kata “sebagai lesbian”. Alat ukur sudah pernah diuji
dengan realibiltas intended disclosure α = 0,90, amount α = 0,76, positive/negativeness α = 0,78, control of depth α = 0,89 dan honesty/accuracy
α = 0,77 (Ables, 2013). Alternatif pilihan jawaban untuk setiap item Skala
Self-Disclosure yang tersedia, yaitu: Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), serta Sangat Tidak Setuju (STS). Adapun skoring Skala Self-Disclosure untuk favourable adalah: satu (1) untuk Sangat Tidak Setuju (STS), dua (2) Tidak Setuju (TS), tiga (3) untuk Setuju (S), dan empat (4) untuk Sangat Setuju (SS). Sebaliknya untuk unfavourable adalah: empat (4) untuk Sangat Tidak Setuju (STS), tiga (3) untuk Tidak Setuju (TS), dua (2) untuk Setuju (S), dan satu (1) untuk Sangat Setuju (SS).
Pada uji daya diskriminasi item angket self-disclosure putaran pertama, korelasi antar butir skor bergerak antara 0,149 sampai 0,586, dari 32 item
terdapat 23 item yang memiliki daya beda ≥ 0,30 dan 9 item yang memiliki
daya beda < 0,30. Pada uji daya diskriminasi item putaran kedua, setelah item gugur dibuang, korelasi antar butir skor bergerak antara 0,301 sampai 0,579,
19
uji reliabilitas, maka angket self-disclosure adalah reliabel dengan koefisien reliabilitas yaitu 0,872.
Tabel 1
Hasil Perhitungan Realibilitas Angket
No Instrumen Koefisien Reliabilitas
1 Angket psychological well-being 0,807
2 Angket self-disclosure 0,872
Teknik Analisa Data
Penelitian ini menggunakan teknik analisa data uji korelasi Pearson Product Moment. Uji asumsi meliputi uji normalitas dan uji linieritas bertujuan untuk mengetahui apakah data yang telah memenuhi asumsi analisis sebagai syarat untuk melakukan analisis dengan uji korelasi Pearson Product Moment. Uji Normalitas yang digunakan adalah uji normalitas Kolmogorov-Smirnov. Uji linieritas dilakukan dengan menggunakan anova. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan uji korelasi Pearson Product Moment.
HASIL PENELITIAN
Pengambilan Data
20
kotanya masing-masing. Peneliti juga mendatangi tempat tinggal, kos atau kontrakan mereka, peneliti dapat mengetahui tempat tinggal mereka karena peneliti telah mengenal mereka sebelumnya. Hal tersebut memudahkan peneliti untuk mengambil data responden dengan mengadakan janji pertemuan sebelumnya.
Penyebaran angket dilakukan sebanyak lima (5) kali. Pada tanggal 15 November 2014 peneliti menyebar angket sebanyak 27 angket di Salatiga, dan angket kembali sebanyak 27 angket. Pada tanggal 16 November 2014 peneliti menyebar angket sebanyak 10 angket di Ambarawa dan angket kembali sebanyak 10 angket. Pada tanggal 23 November 2014 peneliti menyebar angket sebanyak 15 angket di Solo, dan angket kembali sebanyak 15 angket. Pada tanggal 29 November 2014 peneliti menyebar angket sebanyak 14 angket di Ungaran, dan angket kembali sebanyak 14 angket. Pada tanggal 30 November 2014 peneliti menyebar angket sebanyak 30 angket di Semarang, dan angket kembali sebanyak 30 angket. Maka angket yang digunakan untuk olah data dalam penelitian ini yaitu sebanyak 96 angket.
Hasil Uji Asumsi
Hasil Uji Normalitas
21
Tabel 2
Hasil Uji Normalitas
Berdasarkan hasil pengujian normalitas pada Tabel 4, kedua variabel memiliki signifikansi lebih besar dari 0,05 (> 0,05). Variabel psychological well-being memiliki nilai K-S Z sebesar 0,981 dengan signifikansi sebesar 0,291. Variabel self-disclosure memiliki nilai K-S Z sebesar 0,730 dengan signifikasi sebesar 0,661. Dengan demikian variabel psychological well-being dan variabel self-disclosure memiliki distribusi yang normal karena p > 0,05.
Hasil Uji Linieritas
Uji linieritas dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan bantuan SPSS 16.0, hasilnya dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3 Hasil Uji Linieritas
Sum of
Squares df
Mean
Square F Sig.
Psychological Well-being * Self-Disclosure
Between Groups (Combined) 1716.968 37 46.405 1.316 .171
Linearity 609.540 1 609.540 17.291 .000
Deviation from
Linearity 1107.428 36 30.762 .873 .665
Within Groups 2044.657 58 35.253
Total 3761.625 95
Psychological Well-being Self-Disclosure
N 96 96
Normal Parametersa Mean 38.06 59.42
Std. Deviation 6.293 9.988
Most Extreme Differences Absolute .100 .074
Positive .053 .041
Negative -.100 -.074
Kolmogorov-Smirnov Z .981 .730
Asymp. Sig. (2-tailed) .291 .661
22
Berdasarkan hasil uji linearitas, maka dapat diketahui bahwa variabel self-disclosure dan variabel psychological well-being pada kaum lesbian di Jawa Tengah diperoleh nilai Fbeda sebesar 0,873 dengan signifikansi p = 0,665 (p > 0,05) yang menunjukkan hubungan antara variabel self-disclosure dan variabel psychological well-being pada kaum lesbian di Jawa Tengah adalah linier.
Hasil Deskriptif
a. Psychological well-being
Tabel 4
Kategorisasi Skala Psychological Well-Being
No Interval Kategori Mean N Prosentase
1. 47,6 ≤ x ≤ 56 Sangat Tinggi 5 5,2 %
2. 39,2 ≤ x < 47,6 Tinggi 41 42,7 %
3. 30,8 ≤ x < 39,2 Sedang 38,06 41 42,7 %
4. 22,4 ≤ x < 30,8 Rendah 7 7,3 %
5. 14 ≤ x < 22,4 Sangat Rendah 2 2,1 %
Total 96 100%
Standar Deviasi = 6,293 Skor Minimum = 18 Skor Maksimum = 50
Keterangan : x = Skor psychological well-being; N = Jumlah Subjek.
23
lesbian sebesar 38,06 berada pada kategori sedang. Skor psychological well-being yang diperoleh lesbian bergerak dari skor minimum sebesar 18 sampai dengan skor maksimum sebesar 50 dengan standar deviasi 6,293.
b. Self-disclosure
Tabel 5
Kategorisasi Skala Self-Disclosure
No Interval Kategori Mean N Prosentase
1. 78,2 ≤ x ≤ 92 Sangat Tinggi 3 3,1 %
2. 64,4 ≤ x < 78,2 Tinggi 28 29,2 %
3. 50,6 ≤ x < 64,4 Sedang 59,42 45 46,9 %
4. 36,8 ≤ x < 50,6 Rendah 19 19,8 %
5. 23 ≤ x < 36,8 Sangat Rendah 1 1 %
Total 188 100%
Standar Deviasi = 9,988 Skor Minimum = 36 Skor Maksimum = 81 Keterangan : x = Skor self-disclosure; N = Jumlah Subjek.
24
Hasil Uji Korelasi
Dalam penelitian ini uji korelasi antara variabel self-disclosure dan variabel psychological well-being pada kaum lesbian di Jawa Tengah dilakukan dengan bantuan SPSS 16.0. Hasil uji korelasi antara variabel self-disclosure dan variabel psychological well-being pada kaum lesbian di Jawa Tengah dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 6.
Tabel 6
Hasil Uji Korelasi Pearson Product Moment
Psychological Well-being Self-Disclosure
Psychological Well-being Pearson Correlation 1 .403**
Sig. (1-tailed) .000
N 96 96
Self-Disclosure Pearson Correlation .403** 1
Sig. (1-tailed) .000
N 96 96
**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).
Berdasarkan hasil uji korelasi Pearson Product Moment pada Tabel 8 diperoleh korelasi sebesar 0,403 dengan signifikansi sebesar 0,000 pada tingkat taraf kepercayaan sebesar 0,01 atau 99%. Dari hasil perhitungan uji korelasi diperoleh signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,01), maka H1 diterima. Artinya terdapat hubungan signifikan antara self-disclosure dengan psychological well-being pada kaum lesbian di Jawa Tengah. Hubungan ini ditunjukkan dengan nilai korelasi positif sebesar 0,403.
PEMBAHASAN
25
bahwa ada hubungan positif signifikan antara self-disclosure dengan psychological well-being pada kaum lesbian di Jawa Tengah. Artinya semakin tinggi self-disclosure, maka akan semakin tinggi psychological well-being pada kaum lesbian di Jawa Tengah. Begitu juga sebaliknya, semakin rendah self-disclosure, maka akan semakin rendah psychological well-being pada kaum lesbian di Jawa Tengah. Hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yaitu penelitian dari Smith (2011) yang menemukan pengaruh positif self-disclosure terkait orientasi seksual terhadap psychological well-being pada LGBT yang sudah bekerja di Australia.
26
berarti self-disclosure dapat meningkatkan psychological well-being lesbian, karena ia dapat mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain melalui self-disclosure, sebab ia akan mampu menyelesaikan atau mengurangi bahkan menghilangkan masalahnya dengan mendapatkan dukungan dari orang lain. Ketiga, mengurangi beban. Seseorang yang memiliki self-disclosure tinggi memiliki keterbukaan diri kepada orang lain atas masalahnya, sehingga ia akan merasa ringan beban masalah yang dihadapinya (Gainau, 2009). Hal tersebut berarti self-disclosure terkait orientasi seksual memiliki pengaruh positif terhadap psychological well-being pada diri kaum lesbian, sebab dapat mengurangi beban stres mereka (Smith, 2011). Ryff & Keyes (1995) menyatakan psychological well-being dapat ditandai dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasaan hidup dan tidak adanya gejala-gejala depresi.
Selain itu, kemungkinan yang menyebabkan hubungan positif signifikan antara self-disclosure dengan psychological well-being pada kaum lesbian di Jawa Tengah dapat dilihat dari dinamika hasil penelitian ini yaitu rata-rata skor psychological well-being yang diperoleh kaum lesbian di Jawa Tengah sebesar 38,06 berada pada kategori sedang, sedangkan rata-rata self-disclosure yang diperoleh kaum lesbian di Jawa Tengah sebesar 59,42 berada pada kategori sedang.
27
lesbian di Jawa Tengah selain self-disclosure, seperti diungkapkan oleh Liwarti (2013) yaitu: usia, tingkat pendidikan, jenis kelamin, status sosial ekonomi, dukungan sosial, kepribadian, dan spiritualitas.
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Ada hubungan positif signifikan antara self-disclosure dengan psychological well-being pada kaum lesbian di Jawa Tengah. Artinya semakin tinggi self-disclosure, maka akan semakin tinggi psychological well-being pada kaum lesbian di Jawa Tengah. Begitu juga sebaliknya.
2. Self-disclosure memberikan kontribusi sebesar 16,24 % terhadap psychological well-being dan berarti masih terdapat 83,76 % variabel-variabel lain yang mempengaruhi psychological well-being.
Saran yang dapat diajukan peneliti berdasarkan hasil penelitian ini adalah : 1. Bagi lesbian
Self-disclosure memberikan kontribusi terhadap psychological well-being. Oleh sebab itu diharapkan bagi lesbian agar lebih terbuka dalam mengungkapkan jati dirinya terhadap orang-orang terdekatnya, sehingga psychological well-being dirinya dapat meningkat.
28
Orang tua baik ayah maupun ibu diharapkan mampu membangun komunikasi yang baik dengan anak, sehingga anak dapat memiliki keterbukaan diri (self-disclosure) sebagai lesbian dan meningkatkan psychological well-being. 3. Untuk penelitian selanjutnya
29
DAFTAR PUSTAKA
Ables, J. L. (2013). Status, Likes and Pokes: Self-disclosure and Motivations for Using Facebook. Thesis. Baylor University, Texas: Baylor Electronically Accessible Research Documents.
Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Gainau, M. B. (2009). Keterbukaan Diri (Self-Disclosure) Siswa Dalam Perspektif Budaya Dan Implikasinya Bagi Konseling. Jurnal Ilmiah Widya Warta. Volume 33, Nomor 1. Surabaya: Puslit Petra. p. 95-112.
Kertzner, R.M., Meyer, I.H., Frost, D.M., & Stirratt, M.J. (2009). Social and Psychological Well-Being in Lesbians, Gay Men, and Bisexuals: The Effects of Race, Gender, Age, and Sexual Identity. American Journal of Orthopsychiatry. Volume 79, Nomor 4. American Psychological Association. p. 500-510.
King, M & Mckeown, E. (2003). Mental Health And Social Wellbeing of Gay Men, Lesbians And Bisexuals In England And Wales: A Summary Of Findings. London: Mind (National Association for Mental Health).
Liwarti. (2013). Hubungan Pengalaman Spiritual Dengan Psychological Well Being Pada Penghuni Lembaga Pemasyarakatan. Jurnal Sains Dan Praktik Psikologi. Volume I, No 1. Malang: Magister Psikologi UMM. p. 77 – 88. Nurkholis. (2013). Faktor-Faktor Yang Melatarbelakangi Lesbian Dan Kondisi
Psikologisnya. Jurnal Online Psikologi. Volume 01 Nomor 01. Malang: Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang. p. 174-186.
Pontororing, M. Kaum Lesbian di Kota Manado. Skripsi (Tidak diterbitkan).
Manado: FISIP Universitas Sam Ratulangi.
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/holistik/article/download/1235/1003.
Russell, S.T & Joyner K. (2001). Adolescent Sexual Orientation And Suicide Risk: Evidence From A National Study. American Journal of Public Health. Volume 91, Nomor 8. American Public Health Association. p. 1276-1281.
30
Ryff, C. D. (1989). Happiness is Everything, or is It? Explorations on The Meaning of Psychological Well-Being. Journal of Personality and Social Psychology. Volume 57. American Psychological Association. p 1069-1081.
Ryff, C. D. & Keyes, C.L.M. (1995). The Structure of Psychological Well-Being Revisited. Journal of Personality and Social Psychology. Volume 69, Nomor 4. American Psychological Association. p. 719-727.
Ryff, C. D., & Singer, B. (1996). Psychological well-being: Meaning, measurement, and implications for psychotherapy research. Psychotherapy and Psychosomatics Journal. International Federation for Medical Psychotherapy, Blackwell Publishing. Volume 65. p. 14-23.
Smith, I. (2011). Sexual Orientation Disclosure, Concealment and the Effects of Heterosexism. Paper Submission for SBS HDR Conference 2011. New South Wales, Australia: University of Wollongong Research Online.
Suara Merdeka. (03 Desember 2004). Komunitas Gay, Waria, dan Lesbian di Solo. http://www.suaramerdeka.com/harian/0412/03/slo02.htm.
Supratiknya, A. (1995). Komunikasi Antar Pribadi: Tinjauan Psikologis. Yogyakarta: Kanisius.
Tarigan, M. (2011). Komunikasi Interpersonal Kaum Lesbian Di Kota Pontianak Kalimantan Barat. Skripsi (Tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik UPN.
Taylor, S. E., Pepplau, A., & Sears. D. O. (2009). Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga.
UNDP & USAID. (2013). Hidup Sebagai LGBT di Asia: Laporan LGBT Nasional Indonesia. Ikhtisar Eksekutif Dialog Komunitas LGBT Nasional Indonesia. Bali, Indonesia: UNDP & USAID.