• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGELOLAAN HARA TERPADU PADA LAHAN SAWAH DALAM HUBUNGANNYA TERHADAP INOVASI TEKNOLOGINYA MENUNJANG P2BN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGELOLAAN HARA TERPADU PADA LAHAN SAWAH DALAM HUBUNGANNYA TERHADAP INOVASI TEKNOLOGINYA MENUNJANG P2BN"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

DALAM HUBUNGANNYA TERHADAP INOVASI

TEKNOLOGINYA MENUNJANG P2BN

M. Al-Jabri ABSTRAK

Data analisis tanah awal dari contoh tanah komposit yan dianalisis di laboratorium sering terlambat, padahal percoban lapang harus secepatnya di lapang. Tujuan dari makalah karya tulis penelitian ilmiah review ini adalah mengevaluasi hasil penelitian pengelolaan hara terpadu lahan sawah tahun 2006 dan 2007 dalam hubungannya terhadap inovasi pengembangan teknologinya yang harus dipilih supaya produksi beras nasional (P2BN) dapat ditingkatkan. Kasus keterlambatan data analisis tanah awal, peneliti terpaksa mengambil jalan pintas menentukan perlakuan dari unsur hara tanpa melihat atau mempertimbangkan, apakah status ketersediaannya dibawah atau di atas batas kritisnya. Dalam kaitan ini, peneliti justru memberikan hampir semua unsur hara yang sebenarnya tidak harus diberikan, hal ini ditunjukkan data hasil analisis tanah yang terlambat diterima bahwa ketersediaan unsur hara umumnya di atas nilai batas kritisnya, sehingga tanaman tidak respon terhadap perlakuan yang diberikan. Solusi permasalahan keterlambatan hasil analisis awal dapat ditanggulangi dengan memberikan contoh tanah yang sudah siap dianalisis, dan peneliti langsung berkomunikasi dengan penanggungjawab laboratorium untuk memberi tahukan bahwa datanya untuk segera dianalisis, dan akan lebih baik lagi jika peneliti dan analis di laboratorium saling bekerjasama. Setelah data analisis laboratorium sudah diperoleh, kemudian peneliti mengevaluasi unsur-unsur apa saja yang nilainya masih di bawah atau sudah di atas nilai batas kritis dari tanaman yang diuji. Jika status ketersediannya di atas nilai batas kritisnya, maka tidak perlu diberikan. Review hasil penelitian pengelolaah hara terpadu dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Pemberian dolomit pada tanah sawah mineral masam berstatus P dan K sedang dan tinggi di Lampung berpengaruh terhadap peningkatan hasil gabah, selama Mg-dd lebih rendah dari nilai batas kritisnya, yaitu ≤ 0.44 cmol(+) kg

-1

; (2) Pemberian hara S pada tanah sawah mineral masam dan tanah sawah mineral basa tidak berpengaruh nyata terhadap peningkatan hasil gabah; (3) Peranan pupuk KCl yang diberikan pada tanah sawah mineral masam dan tanah sawah mineral basa dapat digantikan dengan jerami padi hasil panen; (4) Teknik perendaman bibit padi ke dalam larutan ZnSO4 0.05% selama

5 – 10 menit cenderung meningkatkan hasil gabah tanaman padi pada ke dua tipologi lahan sawah tersebut. Pada masa depan, penelitian pengelolaan hara terpadu pada lahan sawah sebaiknya, bahwa sebelum perlakuan diputuskan untuk dipilih, data analisis tanah awal harus tersedia lebih dahulu untuk mengetahui ketersediaan hara makro dan mikro secara pasti untuk pemilihan faktor pembatas pertumbuhan tanaman. Temuan inovasi teknologi pengelolaan

(2)

hara adalah pembuatan formulasi pupuk spesifik lokasi untuk kondisi lapang yang mengandung unsur hara yang benar-benar diperlukan tanaman, dan dikombinasikan dengan pembenah tanah dan pupuk organik.

PENDAHULUAN

Laju produktivitas tanah-tanah sawah intensifikasi saat ini mengalami

leveling-off, dimana peningkatan penambahan unit input tidak diikuti dengan

peningkatan produksi secara ekonomis. Fenomena leveling-off sangat erat dengan permasalahan unsur hara yang dibutuhkan tanaman padi antara lain: C, H, O. Melalui proses fotosintesis ketiga unsur tersebut dirubah menjadi karbohidrat. Unsur hara N, P, dan S dari tanah dan pupuk adalah sebagai unsur yang diperlukan untuk pembentukan protein. Sebagai tambahan dari 6 unsur tersebut, ada 14 unsur esensial lain (Ca, Mg, K, Fe, Mn, Mo, Cu, B, Zn, Cl, Na, Co, dan Si) yang diperlukan untuk pertumbuhan dari beberapa tanaman tertentu (Tisdale dan Nelson, 1975). Namun dari ke 14 unsur hara tersebut yang dibutuhkan tanaman padi, terutama K, Ca, Mg, Cu, dan Zn jika ketersediaannya dibawah nilai batas kritisnya. Hara yang diserap tanaman digunakan untuk memformulasikan program rekomendasi pemupukan, jika unsur hara yang hilang tercuci atau difiksasi tanah dapat diprediksi. Jika unsur hara yang hilang tercuci dan difiksasi tanah tidak tersedia, maka unsur hara yang diserap tanaman tidak dapat dijadikan pedoman untuk memformulasikan program pemupukan, sebab takaran pupuknya rendah.

Program peningkatan produksi beras nasional (P2BN) dicanangkan oleh pemerintah pada tahun 2007 dengan harapan bahwa produksi beras dapat ditingkatkan sekitar 5% per tahun. Program P2BN tersebut digalakkan sehubungan swasembada beras Indonesia yang pernah tercapai pada tahun 1984 tidak dapat dipertahankan secara berkelanjutan. Program pembangunan pertanian pada jaman orde baru (tahun 1968 – 1998) menghasilkan prestasi yang patut dibanggakan. Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan produksi padi dari 20,2 juta ton pada tahun 1971 meningkat di atas 50 juta ton pada tahun 1998. Peningkatan produksi padi tersebut sangat erat berhubungan dengan pelaksanaan sistem panca usahatani: (1) pengolahan tanah untuk menciptakan pelumpuran tanah yang sempurna, (2) pengelolaan tata air, (3) pemupukan, (4) penggunaan varietas unggul, (5) pengendalian hama dan penyakit. Namun pada jaman orde reformasi peningkatan produksi padi mengalami gangguan seiring dengan krisis moneter yang berkepanjangan. Hal ini disebabkan sistem panca usahatani tidak dilaksanakan seutuhnya. Petani mengurangi takaran pupuk karena harganya mahal dan sulit diperoleh di pasar, kerusakan jaringan irigasi.

(3)

Perlu diketahui bahwa pelumpuran yang sempurna dan penggenangan terus menerus sejak tanam dengan kondisi macak-macak, kemudian ketinggian air terus dinaikkkan secara bertahap 2 – 10 cm denan semakin tingginya pertumbuhan tanaman dapat meningkatkan efisiensi serapan hara, dan dua minggu sebelum panen tidak perlu diberi air lagi. Pelumpuran tanah bertujuan mendisintegrasikan agregat tanah, sehingga partikel-partikel tanah yang diselaputi air terpisah menjadi media yang lunak dan mudah ditembus akar dan menjamin ketersediaan air (de Geus, 1973).

Sampai saat ini, regenerasi struktur tanah pada lahan sawah yang dilumpurkan masih diperdebatkan. Indikator kemantapan agregat tanah dicirikan dengan regenerasi struktur tanah. Beberapa peneliti melaporkan regenerasi struktur setelah kondisi tanah dilumpurkan (puddled) cepat terjadi (Prihar et al., 1985). Sebaliknya, Tsuitsui (1972), melaporkan bahwa regenerasi struktur tanah yang dilumpurkan adalah tidak balik (irreversible). Namun, harus diingat bahwa pengaruh puddling pada pada regenerasi struktur tanah lapisan tanah atas tergantung pada tekstur tanah dan stabilitas agregat. Stabilitas agregat ditentukan oleh jumlah dan tipe fraksi liat, bahan organik, dan hydrous oxide yang dapat membentuk interparticle bond, dan dan konsentrasi elektrolite dalam larutan tanah. Dalam proses pelumpuran dari tanah yang semula kering kemudian diolah pada keadaan basah, tetapi struktur tanah menempatkan partikel-partikel pada posisinya lagi dan sangat bergantung pada tipe tanahnya, dimana tanah tertentu menjadi langsung lunak setelah pelumpuran dan tipe tanah lainnya menjadi keras dan padat. Pada kondisi tanah menjadi keras dan padat, maka perkolasi dari air dan oksigen dihalangi.

Konsep lama dari pengelolaan tata air pada tanah sawah adalah penggenangan terus menerus yang bertujuan menciptakan ketebalan lapisan air di permukaan tanah pada minggu pertama sejak transplanting setinggi 2 – 3 cm, kemudian pada minggu berikutnya ketinggian air dinaikkan secara bertahap sampai mencapai maksimum 10 cm. Penggenangan air adalah merupakan tindakan water management yang sangat dianjurkan untuk meningkatkan ketersediaan hara dan menekan pertumbuhan gulma. Setelah transplanting, selama panicle initiation, selama pertumbuhan premordia, dan dari dua minggu sebelum pembungaan sampai satu minggu setelah pembungaan ketersediaan air harus dipenuhi. Jika tidak maka produksi gabah akan berkurang.

Pengelolaan tata air sebagai upaya penggenangan tanah sawah mengakibatkan perubahan sifat fisika dan kimia tanah, antara lain: (1) pH dari tanah sawah mineral masam dari ordo Ultisols dan Oxisoils naik karena

(4)

konsentrasi ammonia dan kation meningkat, kemudian diikuti dengan peningkatan aktivitas ion OH-, (2) pH dari tanah sawah mineral alkalin dari ordo Vertisols turun karena konsentrasi CO2 meningkat, kemudian diikuti dengan

peningkatan aktivitas ion H+, (3) ketersediaan P meningkat sebab ferric

phosphate [Fe2(H2PO4)3] direduksi menjadi ferrous phosphate [Fe.H2PO4],

dimana ketersediaan P tersediaan P terjadi melalui pertukaran aniom di antara liat dan anion organik (Patrick dan Mahaputra, 1968), dan fiksasi N oleh

blue-green algae dan mokroorganisme lainnya juga meningkat.

Sehubungan dengan belum dimantapkannya rekomendasi pemupukan berimbang berdasarkan konsep uji tanah untuk tanaman padi sawah, maka akhirnya dikeluarkannya Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 01/Kpts/SR.130/1/2006, tanggal 3 Januari 2006 bahwa rekomendasi pemupukan ditetapkan dengan perangkat uji tanah sawah (PUTS). Kepmentan tersebut kemudian direvisi dalam bentuk Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 40/Permentan/OT.140/4/2007, tanggal 11 April 2007 tentang Rekomendasi Pemupukan, N, P, dan K pada padi sawah spesifik lokasi. Inovasi teknologi PUTS adalah sebagai upaya untuk memprediksi pemupukan P dan K patut dibanggakan. Namun dalam aplikasinya teknologi PUTS sangat beralasan untuk dikawal. Alasan mengapa teknologi PUTS harus dikawal karena hanya pupuk Urea, SP-36, dan KCl saja yang diberikan, sehingga jika unsur hara S tidak diberikan padahal sangat dimungkinkan hasil analisis tanah di laboratorium menunjukkan bahwa ketersediaan unsur hara S lebih rendah dari nilai batas kritisnya dan pupuk S tidak diberikan, atau sebaliknya dapat mengakibatkan tanaman keracunan H2S. Hal yang sama untuk unsur Zn. Demikian juga, fakta

status K menurut PUTS tanah sawah di Sulawesi Tengah dinilai sedang sehingga pupuk KCl yang diberikan 50 kg KCl/ha, namun fakta hasil analisis tanah di laboratorium menunjukkan bahwa status K-HCl 25% dinilai tinggi, tetapi K tersedia dalam bentuk K dapat ditukar dinilai ekstrim sangat rendah pada kisaran 0,03 – 0,14 cmol kg-1 jauh < batas kritisnya (< 0,3 cmol kg-1), sehingga seharusnya pupuk KCl yang diberikan lebih tinggi dibandingkan dengan PUTS (Al-Jabri dan Syafruddin, 2007).

Rendahnya nilai K-dd hasil analisis tanah di laboratorium kemungkinan disebabkan: (1) contoh tanah dikeringkan dulu dan unsur K memasuki fase padat tanah atau difiksasi, sehingga unsur K tidak banyak terekstrak oleh larutan 1 N NH4OAc pH 7.0, (2) kandungan Mg dapat ditukar relatif lebih tinggi dari K dapat

ditukar, sehingga adanya ada perbedaan diameter ke dua ion ditambah perbedaan jumlahnya maka salah satu dari ke duanya menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Monitoring dan evaluasi status hara P dan K dengan PUTS dan hasil

(5)

analisis tanah di laboratorium diharapkan dapat menetapkan rekomendasi pemupukan dengan tepat, sehingga alih teknologi dapat dipandu atau dikawal lebih akurat, fenomena leveling-off dapat diatasi, dan target program P2BN dapat dipenuhi.

Makalah review ini mengevaluasi hasil penelitian pengelolaah hara terpadu lahan sawah tahun 2006 dan 2007 dalam hubungannya terhadap inovasi pengembangan teknologinya yang harus dipilih supaya produksi beras nasional (P2BN) dapat ditingkatkan. Jika pengelolaan hara terpadu tidak dilaksanakan dengan baik dan benar, misal semua jenis pupuk diberikan padahal ketersediaan hara tertentu dalam tanah masih di atas nilai batas kritisnya sehingga konsep teknologi pemupukan berimbang berdasarkan uji tanah dilanggar. Pelanggaran konsep teknologi pemupukan berimbang sama artinya dengan melanggar

scientific rule. Padahal pelanggaran scientific rule mengakibatkan kita tidak

pernah dapat menjawab pertanyaan “how something worked dan why something

happened”.

Pengelolaan Hara pada Tanah Sawah di Margodadi dan Mulyosari (Lampung)

Data analisis tanah awal tanah sawah mineral masam dari Lampung belum diperoleh pada saat percobaan lapang akan dilaksanakan, namun perlakuan hara langsung diberikan. Faktanya tidak satupun dari perlakuan tersebut berpengaruh signifikan terhadap peningkatan hasil gabah dari tanaman padi yang ditanam. Tanaman padi yang ditanam pada tanah sawah mineral masam dengan pH ≥ 4.25 – 5.50 dan kejenuhan Al ≤ 60% tidak harus dikapur, sebab penggenangan pada tanah tersebut dapat meningkatkan pH tanah yang dikenal dengan

self-liming effect. Teknologi kapur hanya digunakan, jika tanaman padi ditanam pada

tanah sawah mineral masam dengan pH ≤ 3.00 yang mengandung Ca < 1 cmol Ca kg-1 atau kejenuhan Ca < 25%, dan % kejenuhan Al ≥ 60%.

Perlakuan P hanya diberikan jika P larutan tanah < 0.01 ppm P berdasarkan kurva erapan P metode Fox dan Kamprath, dan jika P larutan > 0.01 ppm P maka pupuk P sangat beralasan untuk tidak diberikan. Perlakuan K hanya diberikan jika ketersediaan K dalam bentuk K dapat ditukar < 0.30 cmol(+) kg-1 ,

dan berapa banyak pupuk K yang diberikan harus mempertimbangkan ketersediaan Mg, sebab ketersediaan K sangat ditentukan oleh ketersediaan Mg. Hal ini berarti K mungkin tidak dapat diserap akar tanaman karena ketersediaan Mg terlalu tinggi. Sifat Mg dan K yang antagonisme menunjukkan bahwa ketersediaan Mg terhadap K harus proporsional dengan nisbah Mg/K tidak lebih

(6)

besar 2/1 sebab mengakibatkan kahat K, dan sebaliknya jika nisbah Mg/K tidak lebih kecil dari 2/1 sebab mengakibatkan kahat Mg. Kondisi pertumbuhan tanaman padi optimal menginginkan persen kejenuhan Ca tidak kurang 25%, Mg sekitar 10%, dan K sekitar 5%. Pemberian S hanya diberikan jika ketersediaan S < 10 ppm, jadi jika kadar S terekstrak KH2PO4. 500 ppm P > 10 ppm maka hara S

dari pupuk ZA tidak harus diberikan, sebab jika diberikan pasti tidak akan meningkatkan hasil.

Teknologi pengelolaan hara terpadu tanah sawah di Margodadi dan Mulyosari yang dibahas dalam makalah ini antara lain: pupuk organik, fosfat, kalium, dolomit, hara belerang (S), dan unsur mikro.

Pupuk Organik

Kandungan C-organik tanah sawah di Margodadi dan Mulyosari masing-masing adalah 0.85 dan 1.08% dinilai rendah. Perlakuan pupuk organik dalam bentuk pupuk kandang dan jerami tidak signifikan terhadap peningkatan hasil, kecuali pada perlakuan NP + 5 ton jerami + Dolomit + S(ZA) + Cu + Zn cenderung

meningkatkan bobot gabah sampai 7.70 ton/ha di Margodadi, dan perlakuan N ½ PK + Pukan + Dolomit + S(ZA) + Cu + Zn . meningkatkan bobot gabah sampai 7.34

ton/ha di Mulyosari jika dibandingkan dengan perlakuan NPK, masing-masing meningkat sekitar 300 kg (Tabel 2) (Laporan Akhir Tahun Anggaran 2006;Laporan Tahunan, 2006). Peningkatan tidak signifikan karena tanah sawah yang dugunakan adalah tanah sawah yang sudah puluhan tahun.

Fosfat

Hara P potensial contoh tanah sawah Margodadi dan Mulyosari terekstrak HCl 25% masing-masing adalah 58 dan 128 mg P2O5/100 g dinilai tinggi,

demikian juga P tersedia (P-Bray 1) ke dua contoh tersebut masing-masing adalah 33 dan 42 ppm P2O5 dinilai tinggi (Tabel 1).

(7)

Tabel 1. Hasil analisis tanah sawah berstatus hara P dan K sedang di Margodadi, Metro, Lampung Timur dan Lahan sawah berstatus hara P dan K tinggi di Mulyosari, Metro, Lampung Timur sebelum dilakukan percobaan tahun 2006

Sifat tanah

Tanah sawah mineral masam berstatus hara P dan K sedang di Margodadi, Metro, Lampung

Tanah sawah mineral masam berstatus hara P dan K tinggi di Mulyosari, Metro, Lampung

Pasir (%) 50 38 Debu (%) 35 40 Liat (%) 15 22 pH (H2O) 5.0 5.0 pH (KCl) 3.9 4.0 C-organik (%) 0.85 1.08 N-organik (%) 0.08 0.08 P-HCl 25% (mg P2O5/100 g) 58 128 K-HCl 25% (mg K2O/100 g) 5 6 P-Bray 1 (ppm P2O5 33 42

Ca-dd [cmol(+) kg-1] 1.66 (Kejenuhan Ca* = 55%) 3.36 (Kejenuhan Ca* = 72%)

Mg-dd [cmol(+) kg-1] 0.44 (Kejenuhan Mg* = 14%) 0.77 (Kejenuhan Mg* = 16%)

K-dd [cmol(+) kg-1] 0.05 (Kejenuhan K* = 2%) 0.10 (Kejenuhan K* = 2%)

Na-dd [cmol(+) kg-1] 0.08 (Kejenuhan Na* = 3%) 0.12 (Kejenuhan Na* = 3%)

KTK [cmol(+) kg-1] 4.63 7.10

KTKefektif** [cmol(+) kg-1] 3.03 4.65

KB (%) 48 61

Al-dd [cmol(+) kg-1] 0.32 (Kejenuhan Al = 10%) 0.08 (Kejenuhan Al* = (2%)

H-dd [cmol(+) kg-1] 0.48 (Kejenuhan H = 16%) 0.22 (Kejenuhan Al* = (5%)

Fe-DTPA (ppm) 188 163

Mn-DTPA (ppm) 26 100

Cu-DTPA (ppm) 2.00 2.10

Zn-DTPA (ppm) 6.10 6.70

S-Ca(H2PO4) 500 ppm P(ppm) 25 29

Sumber: Laporan akhir: Teknologi pengelolaan lahan sawah untuk padi VUTB/HIBRIDA. MAK.5036.0459 A;

Status P dikedua lokasi tersebut tinggi karena tanah sawah merupakan tanah sawah bukaan lama yang sudah sering diberi pupuk P (Laporan Akhir Tahun Anggaran 2006). Jika ketersedian P yang ditetapkan dengan Bray 1 sudah tinggi, maka pupuk P tidak harus diberikan lagi selama P larutan≥ 0.01 ppm P. Al-Jabri et al. (1997) memperoleh batas kritis P larutan ekstrak larutan 0.01 M CaCl2

dari kurva erapan P untuk tanaman padi sawah yang ditanam pada tanah mineral masam ordo Ultisols di Lubuk Linggau pada lahan sawah bukaan baru adalah 0.01 ppm P. Oleh karena itu, jika P larutan ekstrak larutan 0.01 M CaCl2 untuk

tanaman padi ≥ 0.01 ppm P maka pupuk P tidak harus diberikan. Demikian juga dilaporkan bahwa hasil percobaan selama 4 musim di Subang menunjukkan bahwa padi tidak respon terhadap pemupukan P, baik pada perlakuan yang tidak diberi maupun yang diberi pupuk P pada awal percobaan, dan tidak terdapat perbedaan diantara 4 tingkat pemupukan P awal (Sri Adiningsih et al., 1988). Tanaman padi juga tidak respon terhadap pemupukan P tambahan yang

(8)

diberikan pada musim tanam berikutnya. Tanaman padi sawah tersebut tidak respon terhadap pemupukan P disebabkan P potensial yang diekstrak dengan larutan asam kuat HCl 25% > 40 mg P2O5/100 g tanah. P potensial yang tinggi

tersebut karena di tanah sawah telah terjadi akumulasi residu P.

Meskipun dalam percobaan ini tidak ada pembanding antara perlakuan NPK dengan NK, tetapi jika perlakuan NP + 5 ton jerami + Dolomit + S(ZA) + Cu +

Zn dapat meningkatkan hasil gabah 7.70 ton/ha pada tanah sawah di Margodadi 0.26 ton/ha lebih tinggi dari perlakuan NPK (7.44 ton/ha), dan meningkatkan hasil gabah 7.15 ton/ha pada tanah sawah di Mulyosari 0.15 ton/ha lebih tinggi dari perlakuan NPK (7.00 ton/ha), maka peningkatannya kemungkinan lebih disebabkan oleh pemberian Zn melalui teknik perendaman bibit padi dalam larutan ZnSO4 0.05% (Tabel 2).

Tabel 2. Pengaruh pemupukan terhadap berat gabah kering panen pada lahan sawah berstatus hara P - dan K -sedang dan –tinggi di Lampung, MK 2006

Berat gabah kering panen (ton/ha) Perlakuan* Lahan sawah berstatus hara P dan K sedang

di Margodadi, Metro

Lahan sawah berstatus hara P dan K tinggi di Mulyosari, Metro NPK 7.44 a 7.00 a NP + 5 ton jerami 7.22 a 7.00 a N ½ PK + Pukan 7.44 a 7.18 a NPK + Dolomit 7.93 a 6.89 a NPK + Dolomit + S(ZA) 7.41 a 7.15 a NPK + Dolomit + S(ZA) + Cu 7.26 a 7.78 a NPK + Dolomit + S(ZA) + Zn 7.85 a 7.39 a NPK + Dolomit + S(ZA) + Cu + Zn 7.26 a 7.22 a

NP + 5 ton jerami + Dolomit + S(ZA) +

Cu + Zn 7.70 a 7.15 a

N ½ PK + Pukan + Dolomit + S(ZA) +

Cu + Zn 7.30 a 7.34 a

Keterangan: * = Pupuk urea awal = 75 kg/ha, pupuk uea susulan berdasarkan bagan warna daun (BWD) yang dimulai dari umur padi 21 HST, selanjutnya dimonitor setiap 7 – 10 hari; Bahan organik berupa jerami sisa hasil panen dengan dosis 5 ton/ha; Pupuk ZA diberikan sebagai sumber S dengan dosis 10 kg S/ha; Dolomit diberikan sebagai sumber Mg dengan dosis 20 kg Mg/ha; Pupuk mikro Zn diberikan dengan mencelupkan bibit padi yang siap tanam ke dalam larutan 0,05% ZnSO4 selama 5 menit; Pupuk mikro Cu diberikan dalam bentuk

CuSO4 dengan dosis 5 kg. Sumber: Laporan tahunan 2006

Dalam memahami dinamika hara P tanah sawah dalam rangka P2BN maka ada tiga masalah utama yang harus difahami antara lain: (1) ketersediaan

(9)

P, (2) pendugaan kebutuhan pupuk P, (3) pengelolaan P. Ketersediaan P diukur dengan larutan ekstraktan seperti P-Bray 1, P-Bray 2, P-Truog, dilute double acid yang hanya sesuai untuk tanah mineral masam dengan tipe mineralogi liat 1:1 (kaolinit), dan larutan ekstraktan P-Olsen untuk tanah mineral basa dengan tipe mineralogi liat 2:1 (smektit). Pada kenyataannya uji tanah P sering dihadapkan permasalahan jika diaplikasi untuk tanah sawah sebagaimana ditunjukkan koefisien korelasi yang tidak signifikan terhadap hasil (Chang, 1965), hal ini disebabkan tidak satupun dari ekstraktan dapat mendeteksi reductant-soluble P dengan akurat di laboratorium, padahal akibat penggenangan pada kondisi lapang P mudah tersedia. Larutan ekstraktan Bray, Truog, dilute double acid tidak mendeteksi Fe-P dengan akurat karena adanya interfere konsentrasi ion Fe, Si, Ca, asam-asam organik yang lebih tinggi dari konsentrasi yang diperbolehkan. Demikian juga, meskipun larutan ekstraktan Olsen yang biasanya memberikan koefisien korelasi yang signifikan terhadap hasil, tetapi kurang memuaskan.

Permasalahan uji tanah ini terjadi karena reaksi keseimbangan antara P larutan ÍÎ P labile ÍÎ P non labile pada kondisi di laboratorium dan di lapang tidak sama. Dalam hubungan dengan situasi riil maka P yang ditransfer dari P fase padat ke fase P larutan mungkin dapat dipertimbangkan sebagai proses perubahan bentuk P yang semula tidak tersedia karena diikat oleh Fe, Al, Ca kemudian menjadi tersedia sebagai P desorption (P larutan) yang langsung diserap tanaman. Karakterisasi kimia P yang ditransfer dari P fase padat ke fase P larutan sangat bergantung pada: tipe dan jumlah liat, jumlah Fe, Al, Ca, bahan organik, status P, pH, keadaan oksidasi-reduksi. Penggenangan tanah sawah mineral masam (tipe 1:1, kaolinit) adalah merupakan self liming effect dapat meningkatkan pH tanah dari 4.2 – 5.0, sehingga bentuk Al-P dan Fe-P yang semula tidak tersedia akan berubah menjadi tersedia. Sebaliknya penggenangan tanah sawah mineral basa (tipe 2:1, smektit) justru menurunkan pH tanah dari 8.5 – 6.5, dan selama pH tanah masih > 6.5 maka kelarutan P sangat rendah karena P diendapkan oleh Ca menjadi senyawa Ca-P. Sehubungan dengan permasalahan uji tanah untuk tanah sawah yang didominasi mineral lait 1:1 (kaolinit) dan 2:1 (smektit), maka sangat beralasan jika prosedur analisisnya dimodifikasi, terutama nisbah tanah terhadap larutan ekstraktan supaya diperlebar dan waktu kocok sampai satu jam dengan harapan reaksi keseimbangan sudah tercapai. Pada prinsipnya prosedur uji tanah yang digunakan untuk mengestimasi P tersedia dalam tanah harus akurat, cepat, dan koefisien korelasinya signifikan terhadap respon hasil pada berbagai keadaan.

Penilaian status P dengan uji kimia harus mempertimbangkan hubungan diantara faktor quantity, intensity, capacity, dan diffusion yang mempengaruhi

(10)

ketersediaan P. Faktor quantity dan intensity adalah fungsi dari jumlah dan derajat kristalinitas hidrasi Fe dan Al tanah mineral masam dan tanah netral, serta fungsi Ca dapat ditukar dan CaCO3 tanah berkapur. Dua masalah utama uji tanah

P tanah sawah adalah: (1) P yang diekstrak dengan larutan menggunakan contoh tanah kering di laboratorium tidak mencerminkan ketersediaan P sesungguhnya pada kondisi di lapang setelah penggenangan, (2) ketersediaan P umumnya meningkat setelah penggenangan, tetapi derajat perubahannya bergantung pada sifat-sifat tanah. Metode Olsen sesuai untuk memprediksi respon hasil akibat pemupukan P dan lebih universal penggunaannya untuk semua tipe tanah (Chang, 1978; Goswami dan Benerjee, 1978). Kamprath dan Watson (1980) melaporkan bahwa P adsorption isotherm dapat digunakan untuk memprediksi kebutuhan pupuk P. Meskipun metode P adsorption isotherm tidak sesuai untuk analisis rutin, tetapi berguna untuk karakterisasi tanah dan mengelompokkannya untuk pembuatan rekomendasi pemupukan.

Kalium

Hara K potensial contoh tanah sawah Margodadi dan Mulyosari terekstrak HCl 25% masing-masing adalah 5 dan 6 mg K2O/100 g dinilai sangat rendah,

demikian juga K dapat ditukar sebagai bentuk K tersedia ke dua contoh tersebut masing-masing adalah 0.05 dan 0.10 cmol(+) kg-1 dinilai sangat rendah (Tabel 1).

Status K dikedua lokasi tersebut sangat rendah karena cadangan mineral K juga rendah dan tanah sudah mengalami proses pelapukan lanjut, sehingga unsur K sudah banyak yang hilang tercuci.

Yang harus dievaluasi dari ketersediaan K yang sangat rendah adalah % kejenuhan Ca, Mg, dan K. Persen kejenuhan kation-kation basa di Margodadi masing-masing adalah 55% Ca, 14% Mg, dan 2% K (Tabel 1). Sedangkan persen kejenuhan kation-kation basa di Mulyosari masing-masing adalah 72% Ca, 16% Mg, dan 2% K. Persentase Ca dan Mg tanah sawah di kedua lokasi sudah memenuhi syarat untuk pertumbuhan tanaman padi, sedangkan % kejenuhan K 2% masih rendah, sehingga pupuk K mutlak diberikan.

Dosis pupuk K yang direkomendasikan dari percobaan adalah 120 kg KCl/ha rendah jika dibandingkan dengan hitungan agar dicapai nilai K dapat ditukar 0.30 cmol(+) kg-1 sebagai nilai batas kritisnya. Dosis pupuk K berdasarkan

hitungan tersebut untuk tanaman padi sawah di Margodadi 195 K/ha (325 kg KCl/ha) dan di Mulyosari 156 kg K/ha.(260 kg KCl/ha). Karena harga pupuk KCl yang mahal dan perbedaan sifat-sifat tanah, maka takaran pupuk yang diberikan dikalikan faktor koreksi dikalikan 50% untuk tanah dengan kandungan liat tinggi,

(11)

atau dikalikan 75% untuk tanah dengan kandungan pasir tinggi seperti tanah di Margodadi , sehingga takaran pupuk KCl 146 K/ha (244 kg KCl/ha) dan di Mulyosari 117 kg K/ha (195 kg KCl/ha).

Dolomit

Dolomit adalah pembenah tanah yang dapat diberikan pada tanah yang telah terdegradasi terutama sifat fisik dan kimia tanahnya. Dolomit mengkontribusi hara Ca dan Mg karena ketersediaannya ekstrim sangat rendah. Perlu diketahui bahwa Ca dan Mg dapat ditukar tanah sawah di Margodadi masing-masing adalah 1.66 dan 0.44 cmol(+) kg-1 dan nisbah Ca/Mg 3.77/1 (Tabel

1) lebih kecil dari nisbah Ca/Mg ideal 6 ½/1 (Westerman, 1990), seolah-olah hara Ca harus ditambahkan. Demikian juga, Ca dan Mg dapat ditukar tanah sawah di Mulyosari masing-masing adalah 3.36 dan 0.77 cmol(+) kg-1 dan nisbah Ca/Mg

4.36/1 lebih kecil dari nisbah Ca/Mg ideal 6 ½/1, seolah-olah hara Ca harus ditambahkan.

Sebenarnya, dolomit pada tanah sawah di kedua lokasi tersebut tidak harus diberikan, hal ini disebabkan jika dolomit bertujuan untuk meningkatkan pH tanah, maka penggenangan tanah sawah mineral masam secara alamiah sudah meningkatkan pH tanah. Namun, jika dolomit bertujuan untuk mengkontribusi hara Ca dan Mg mungkin dapat dibenarkan. Hanya saja, persen kejenuhan Ca tanah sawah di Margodadi dan Mulyosari masing-masing 55 dan 72%, serta kejenuhan Mg-nya masing-masing 14 dan 16% masih pada batas-batas normal. Faktanya hasil gabah akibat pemberian dolomit + NPK (Tabel 2) pada tanah sawah di Mulyosari hanya 6.89 ton/ha yang tidak signifikan jika dibandingkan dengan perlakuan NPK saja dengan hasil gabah 7.00 ton/ha. Demikian juga, meskipun hasil gabah akibat pemberian dolomit + NPK (Tabel 2) pada tanah sawah di Margodadi 7.93 ton/ha yang secara statistik tidak signifikan, tetapi peningkatan hasil 0.49 ton/ha jika dibandingkan dengan perlakuan NPK saja dengan hasil 7.44 ton/ha memberikan kenaikan hasil cukup berarti selama harga dasar gabah waktu panen raya tidak turun. Pemberian dolomit pada tanah dengan kandungan Mg-dd ≤ 0.44 cmol(+).kg-1 dinilai rendah cukup berarti.

Meskipun Ca dapat ditukar tanah sawah di Margodadi 1.66 cmol(+) kg-1

(332 mg Ca/kg) sangat dimungkinkan terjadi kahat Ca, namun kontribusi Ca dari air irigasi dapat mencegah kahat Ca. Sebaliknya Ca dapat ditukar tanah sawah di Mulyosari 3.66 cmol(+) kg-1 (672 mg Ca/kg), sehingga kahat Ca pada tanah sawah

Mulyosari tidak mungkin terjadi. Perlu diketahui bahwa kahat Ca sering terjadi untuk tanaman padi yang ditanam pada tanah sawah sulfat masam aktual (SMA)

(12)

dengan pH ≤ 3.00 yang mengandung Ca < 400 mg kg-1 (< 2 cmol Ca kg-1) dan

kejenuhan Al ≥ 60% (Liebhardt, 1981). Kejenuhan Al pada tanah sawah Margodadi dan Mulyosari masing-masing 10 dan 2%

Tanaman padi respons terhadap aplikasi Ca pada saat kejenuhan Ca terhadap KTK < 25%, dan faktanya persen kejenuhan Ca pada tanah sawah di Margodadi dan Mulyosari masing-masing 55% dan 72%. Pada tahun-tahun berikutnya maka disarankan jika nilai Mg dapat ditukar sudah lebih kecil dari nilai batas kritisnya yaitu < 0.44 cmol(+) kg-1 maka 25 kg Mg/ha dapat diberikan dalam

bentuk dolomit sebagai nutrisi.

Sulfur

Ketersediaan hara S pada tanah sawah di Margodadi dan Mulyosari masing-masing 25 dan 29 ppm S (Tabel 1) adalah lebih tinggi dari nilai batas kritisnya untuk tanaman padi (10 ppm S). Oleh karena itu, jika ketersediaan S pada tanah sawah > 10 ppm S, maka tanaman padi tidak respon terhadap S. Fakta menunjukkan perlakuan S tidak signifikan terhadap peningkatan bobot gabah (Tabel 2).

Unsur Mikro

Kandungan unsur mikro Zn tanah sawah di Margodadi dan Mulyosari masing-masing adalah 6.10 dan 6.70 pm Zn, sedangkan Cu tanah sawah di Margodadi dan Mulyosari masing-masing 2.00 dan 2.10 ppm Cu (Tabel 1). Meskipun Zn (DTPA) tanah sawah di Margodadi dan Mulyosari masing-masing 6.10 dan 6.70 ppm sudah diatas niali batas kritisnya (1 ppm Zn), tetapi karena kemungkinan dipengaruhi sifat-sifat kimia tanah lainnya seperti potensi redoks dan kandungan P tanah yang tinggi, sehingga Zn menjadi sulit tersedia bagi tanaman. Masalah ini dapat diatasi dengan teknik perendaman sebagaimana yang dilakukan dalam percobaan yang terbukti cenderung meningkatkan hasil (Tabel 2). Teknik perendaman bibit padi dalam larutan ZnSO4 0.05% selama 10

menit sebelum tanam dapat meningkatkan hasil (Al-Jabri et al., 1990; 1995).

Pengelolaan Hara pada Tanah Sawah di di Desa Sukowiyono, Kecamatan Padas, Ngawi (Jawa Timur)

Data analisis tanah awal tanah sawah mineral basa Jawa Timur belum diperoleh pada saat percobaan lapang akan dilaksanakan, namun perlakuan hara

(13)

langsung diberikan. Faktanya tidak satupun dari perlakuan tersebut berpengaruh signifikan terhadap peningkatan hasil gabah dari tanaman padi yang ditanam. Hal ini disebabkan ketersedian P-Olsen dinilai sangat tinggi (93 ppm P2O5), K-dd

sedang (0.30 cmol(+) kg-1), S tinggi (39 ppm S) > dari batas kritisnya.

Teknologi pengelolaan hara terpadu tanah sawah di Sukowiyono yang dibahas dalam makalah review ini antara lain: pupuk organik, fosfat, kalium, hara belerang (S), dan unsur mikro.

Pupuk Organik

Kandungan C-organik tanah sawah di Sukowiyono masing-masing adalah 1.33% dinilai rendah (Tabel 3). Perlakuan pupuk organik dalam perlakuan NPK + 5 ton jerami cenderung meningkatkan bobot gabah sampai 6.85 ton/ha di Sukowiyono, yaitu 180 kg lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan NPK (Tabel 4).

Fosfat

Hara P potensial contoh tanah sawah di Sukowiyono terekstrak HCl 25% adalah 1058 mg P2O5/100 g dinilai sangat tinggi, demikian juga P tersedia

(P-Olsen) contoh tersebut adalah 93 ppm P2O5 dinilai tinggi (Tabel 3).

Status P di lokasi tersebut tinggi karena tanah sawah merupakan tanah sawah bukaan lama yang sudah sering diberi pupuk P.Jika P potensial dan P tersedia dinilai sudah tinggi, maka pupuk P tidak harus diberikan lagi. Kasus serupa dengan jenis tanah yan berbeda juga terjadi pada tanaman padi di Bontonompo (Gowa), Gaslesong (Takalar), Sereang (Sidrap), Wonomulyo (Polmas), Manarang (Pinrang) tidak respon terhadap hara P (Al-Jabri, 2007). Sebenarnya, jika status P tanah sawah lebih tinggi dari nilai batas kritisnya, maka untuk beberapa musim ke depan pupuk P tidah harus diberikan dulu. Hasil percobaan selama 4 musim di Subang dengan ordo tanah Inceptisols menunjukkan bahwa padi tidak tanggap terhadap pemupukan P, baik pada perlakuan yang tidak diberi maupun yang diberi pupuk P pada awal percobaan, dan tidak terdapat perbedaan diantara 4 tingkat pemupukan P awal (Sri Adiningsih et al., 1988).

(14)

Tabel 3. Hasil analisis tanah dari Desa Sukowiyono, Kecamatan Padas, Ngawi (Jawa Timur) sebelum dilakukan percobaan tahun 2007

Sifat tanah Tanah sawah mineral basa berstatus hara P dan K tinggi di Desa Sukowiyono, Kecamatan Padas, Ngawi (Jawa Timur)

Pasir (%) 4 Debu (%) 60 Liat (%) 36 PH (H2O) 7.8 PH (KCl) 6.7 C-organik (%) 1.33 N-organik (%) 0.12 P-HCl 25% (mg P2O5/100 g) 1.058 K-HCl 25% (mg K2O/100 g) 251 P-Olsen (ppm P2O5) 93

Ca-dd [cmol(+) kg-1] 69.62 (Kejenuhan Ca = 149%; Ada Ca

bebas)

Mg-dd [cmol(+) kg-1] 3.95 (Kejenuhan Mg = 8.46%)

K-dd [cmol(+) kg-1] 0.30 (Kejenuhan K = 0.64%)

Na-dd [cmol(+) kg-1] 0.41 (Kejenuhan Na = 0.88%)

KTK [cmol(+) kg-1] 46.68

KB (%) >100

Al-dd [cmol(+) kg-1] 0.00 (Kejenuhan Al =0%)

H-dd [cmol(+) kg-1] 0.05 (Kejenuhan H = 0%) Fe-DTPA (ppm) 58 Mn-DTPA (ppm) 9 Cu-DTPA (ppm) 7 Zn-DTPA (ppm) 5 S-Ca(H2PO4) (ppm) 39

Keterangan: * = Kejenuhan kation-kation dapat ditukar terhadap KTK.

Sehubungan dengan P potensial yang diekstrak dengan larutan asam kuat HCl 25% sangat tinggi, yaitu 1054 mg P2O5/100 g (Tabel 3), yaitu dua puluh lima

kali lipat lebih tinggi dari nilai batas kritisnya (> 40 mg P2O5/100 g tanah), maka

tanaman padi sawah tidak respon terhadap pemupukan P (Tabel 4). P potensial yang tinggi tersebut karena telah terjadi akumulasi residu P pada tanah sawah di Desa Sukowiyono sejak 4 dekade yang lalu.

Pada kondisi status P potensial yang sangat tinggi 1058 mg P2O5/100 g,

maka pada masa depan hendaknya dilakukan pengambilan contoh daun padi, kemudian ditetapkan konsentrasi Zn daun sehingga Zn yang diserap ada dalam batas kecukupan atau tidak. Hal ini dapat dilihat bahwa bobot gabah pada perlakuan NPK + S(ZA) + Zn adalah 7.02 ton/ha, yaitu 0.55 ton/ha lebih tinggi dari

bobot gabah pada perlakuan NPK (6.67 ton/ha), diduga diakibatkan oleh peningkatan ketersediaan Zn, sehubungan dengan pemberian hara S dari pupuk ZA.

(15)

Tabel 4. Pengaruh pemupukan terhadap berat jerami dan gabah kering panen pada percobaan neraca hara di Desa Sukowiyono, Kecamatan Padas, Ngawi (Jawa Timur), MK 2007

Perlakuan Berat jerami (ton/ha)

Berat gabah kering panen (ton/ha) NPK 5.80 a 6.67 ab NPK + 5 ton jerami 6.67 a 6.85 ab NP + 5 ton jerami 5.98 a 6.48 ab N ½ PK + Pukan 6.66 a 6.30 b NPK + S(ZA) 6.57 a 7.04 ab NPK + S(ZA) + Cu 6.71 a 6.67 ab NPK + S(ZA) + Zn 7.04 a 7.22 a NPK + S(ZA) + Cu + Zn 6.29 a 6.85 ab

NP + 5 ton jerami + S(ZA) + Cu + Zn 6.47 a 6.85 ab

N ½ PK + pukan + S(ZA) + Cu + Zn 6.52 a 6.67 ab

CV (%) 10.30 6.90 Sumber: Laporam akhir: Penelitian neraca hara lahan sawah untuk padi berpotensi hasil tinggi. MAK. 0459.

Kalium

Hara K potensial contoh tanah sawah terekstrak HCl 25% adalah 251 mg K2O/100 g dinilai sangat tinggi, sedangkan K dapat ditukar sebagai bentuk K

tersedia adalah 0.30 cmol(+) kg-1 dinilai sedang (Tabel 3), karena sama seperti

pada nilai batas kritisnya . Status K tanah sawah di lokasi tersebut relatif tinggi, karena cadangan mineral K juga sangat dimungkinkan tingi, sehingga ketersediaannya juga dapat memenuhi kebutuhan tanaman.

Yang harus dievaluasi dari ketersediaan K yang masih dalam batas kecukupan adalah % kejenuhan Ca, Mg, dan K. Persen kejenuhan kation-kation basa tanah sawah di Desa Sukowiyono masing-masing adalah Ca = 149% dan Mg = 8.46%, dan K = 0.64% (Tabel 3).

Persen kejenuhan Ca yang sangat tinggi (149%), hal ini disebabkan banyak Ca bebas di daerah berkapur dari ordo Vertisols. Tingginya persentase kejenuhan Ca, juga diikuti dengan nilai kejenuhan basa (KB) > 100%. Persen kejenuhan Ca yang ekstrim sangat tinggi dapat menekan ketersediaan K, sebagaimana diketahui bahwa kejenuhan persentase kejenuhan K = 0.64% yang lebih kecil dari nilai idealnya (2%). Pada kondisi seperti ini, jika pupuk KCl tidak diberikan, kahat K tidak bisa dihindari. Oleh karena itu, pupuk K mutlak diberikan yang takarannya diatas 120 kg KCl/ha. Hal ini ditunjukkan nisbah Ca/K dapat ditukar 69.62/0.30 = 232/1 dengan nisbah lebih lebar dari nisbah ideal 32 ½ /1.

(16)

Oleh karenaitu, dosis pupuk K yang direkomendasikan dari percobaan diprediksi sekitar 120 kg KCl/ha mungkin belum mencukupi kebutuahan tanaman.

Sulfur

Ketersediaan hara S pada tanah sawah di Desa Sukowiyono adalah 39 ppm S (Tabel 3) adalah tinggi dari nilai batas kritisnya untuk tanaman padi (10 ppm S). Oleh karena itu, jika ketersediaan S pada tanah sawah > 10 ppm S, maka tanaman padi tidak respon terhadap S. Fakta menunjukkan perlakuan S tidak signifikan terhadap peningkatan bobot gabah (Tabel 4).

Unsur Mikro

Kandungan unsur mikro Cu dan Zn tanah sawah di Desa Sukowiyono masing-masing adalah 7 ppm Cu dan 5 ppm Zn (Tabel 3). Meskipun Zn (DTPA) tanah sawah di lokasi tersebut sudah diatas nilai batas kritisnya (1 ppm Zn), tetapi karena kemungkinan dipengaruhi sifat-sifat kimia tanah lainnya seperti potensi redoks dan kandungan P tanah yang tinggi, sehingga Zn menjadi sulit tersedia bagi tanaman. Masalah ini dapat diatasi dengan teknik perendaman sebagaimana yang dilakukan dalam percobaan yang terbukti cenderung meningkatkan hasil (Tabel 4). Teknik perendaman bibit padi dalam larutan ZnSO4

0.05% selama 10 menit sebelum tanam dapat meningkatkan hasil padi (Al-Jabri

et al., 1990; 1995).

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan:

Review hasil evaluasi pengelolaah hara terpadu dapat disimpulkan sebagai

berikut:

1. Pengelolaan hara di penelitian APBN sering dilakukan pada tanah sawah yang sudah jenuh unsur hara, sehingga kesimpulannya sering menyimpang dari hipotesis, tujuan dan keluaran yang dibuat.

2. Waktu tanam lebih cepat dari hasil analisis tanah awal dari laboratorium yang seharusnya sudah diketahui sebelum tanam.

3. Solusi sebagaimana disebut pada (butir 2), maka penelitian pengelolaan hara terpadu, sangat dianjurkan bahwa data hasil analisis tanah awal

(17)

sudah diperoleh sebelum dilakukan percobaan di lapang, sebaiknya dilakukan pada lahan sawah bukaan baru kurang dari 5 tahun.

4. Pemberian dolomit pada tanah sawah mineral masam berstatus P dan K sedang dan tinggi di Lampung sangat dimungkinkan masih berpengaruh terhadap peningkatan hasil gabah, jika kandungan Mg-dd ekstrim sangat rendah ≤ 0.44 cmol(+) kg –1.

5. Peranan pupuk KCl yang diberikan pada tanah sawah mineral masam dan tanah sawah mineral basa dapat digantikan dengan kompos jerami padi hasil panen;

6. Teknik perendaman bibit padi ke dalam larutan ZnSO4 0.05% selama 5 –

10 menit cenderung meningkatkan hasil gabah tanaman padi pada ke dua tipologi lahan sawah tersebut.

Saran:

Saran teknologi pengelolaan hara terpadu masa depan pada lahan sawah: 1. Penelitian pengelolaan hara terpadu pada lahan sawah sebaiknya sebelum

perlakuan diputuskan untuk dipilih, data analisis tanah awal harus tersedia lebih dahulu untuk diketahui ketersediaan hara makro dan mikro secara pasti, sehingga faktor pembatas pertumbuhan tanaman dapat diketahui. 2. Temuan inovasi teknologi pengelolaan hara terpadu adalah pembuatan

formulasi pupuk anorganik yang mengandung unsur hara yang benar-benar diperlukan tanaman spesifik lokasi yang dikombinasikan dengan pembenah tanah dan pupuk organik dengan menyediakan data informasi parameter sifat-sifat fisik, kimia, dan biologi.

3. Pengelolaan lahan sawah terdegradasi yang sudah lama dibuka lebih dari 40 tahun dan, maka harus lebih diutamakan menggunakan pembenah tanah atau soil conditioner.

4. Temuan inovasi teknologi pengelolaan hara adalah pembuatan formulasi pupuk spesifik lokasi untuk kondisi lapang yang mengandung unsur hara yang benar-benar diperlukan tanaman, dan dikombinasikan dengan pembenah tanah dan pupuk organik.

5. Mensosialisasikan pengambilan contoh-contoh tanah komposit setiap 3 – 5 tahun sekali dari setiap kelompok tani dengan luasan minimal 25 ha, dan

(18)

hasil analisisnya digunakan untuk menentukan dosis pupuk yang berimbang berdasarkan uji tanah.

6. Dosis pupuk yang ditetapkan berdasarkan PUTS atau PUTK masih perlu dikawal melalui kerjasama dengan BPTP melalui omission plot.

7. Omission plot untuk monitoring dan evaluasi bahwa PUTS atau PUTK

hanya mengetahui status serta rekomendasi N, P, K, pH, C organik, sedangkan unsur lainnya seperti S dan unsur mikro Zn dan Cu belum ada.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Jabri, M., M. Soepartini, dan Didi Ardi. 1990. Status hara Zn dan pemupukannya di lahan sawah. Prosiding Lokakarya Nasional efisiensi penggunaan pupuk V. p. 427-464. Cisarua, 12 dan 13 November 1990. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.

Al-Jabri, M., dan M. Soepartini. 1995. Teknik pemupukan hara Zn pada tanah sawah. Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. No. 2:1-6. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Al-Jabri, M., Sholeh, R. W. Ladyani, A. Hamid, J. Sri Adiningsih, dan IPG. Widjaja-Adhi. 1997. Penelitian uji fosfat tanah dan analisis tanaman sebagai dasar rekomendasi pemupukan sawah bukaan baru. Pros. No. 13/ Pen. Tanah. Puslittanak, Badan Litbang Pertanian.

Al-Jabri, M. 2007. Respon tanaman padi sawah terhada pemupukan fosfat dan kalium di Sulawesi Selatan. J. Wacana Pertanian Vol. 6 (2): 59-63.

Al-Jabri, M. dan Syafruddin. 2007 Perangkat uji tanah sawah versus analisis tanah di laboratorium untuk rekomendasi pemupukan padi di Sulawesi Tengah. Prosiding: Seminar Nasional BPTP Sulawesi Tengah diselenggarakan di Palu pada tanggal 24-25 Juli 2007 ISBN: 978-979-98577-3-6.

Chang, S. C. 1965. Phosphorus and potassium tests for soils. Pp. 373-381. In IRRI. Symposium on the Mineral Nutrition of the rice Plant. Joihns Hopkins Press. Baltimore.

Chang, S. C. 1978. Evaluation of the fertility of rice soils. Pages 521-541. In Soils and rice. IRRI., Los Banos, Philippines.

Christenson, D.R., and E. C. Doll. 1973. Release of magnesium from soil clay and silt fractions during cropping. Soil Sci. 116:59-63.

De Geus, Jan G. 1973. Fertlizer guide for the tropics and subtropics. Centre d’Etude de l’Azote, Zurich. Second Edition. 774 p.

(19)

Goswami, N. N., and N. K. Benerjee. 1978. Phosphorus, potassium, and other other macroelements. Pages 561-580. In Soils and rice. IRRI., Los Banos, Philippines.

Haby, V. A., M. P. Russelle, Earl O. Skogley. 1990. Testing Soils for Potassium, Calcium, and Magnesium. In Westerman (Ed.) Soil Testing and Plant Analysis. Third Edition:p, 181 – 228. Soil Science Society of America, Inc. Madison, Wisconsin, USA.

Kamprath, E. J., and M. E. Watson. 1980. Conventional soil and tissue test for assessing the phosphorus status of soil. In Khasawneh, F. E., E. C. Sample, and E. J. Kamprath (Eds.). The Role of Phosphorus in Agriculture. p. 433-469. Soil. Sci. Soc. Amer. Madison. Wisconsin. USA.

Laporan Akhir 2006. Teknologi Pengelolaan Lahan Sawah untuk Padi VUTB/HIBRIDA. Tahun Anggaran 2006. MAK. 5036.0459 A. Satker 648680. Balai Penelitian Tanah. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Deptan.

Laporan Tahunan. 2006. Inventarisasi dan Penelitian Pengelolaan Tanah. Balai Penelitian Tanah. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Deptan.2007. ISSN 1693-6035.

Liebhardt, 1981. The basic cation saturation concept of lime and potassium recommendation on Delaware’s Coastal Plain Soils. Soil Sci. Soc. Am. J. 45: 544 –549.

Patrick, W. H. Jr. and I. C. Mahapatra. 1968. Transformation and availability to rice of nitrogen and phosphorus in waterlogged soils. Advances in Agronomy 20: 323-359.

Prihar, S. S., B. P. Ghildyal, D. K. Painuli, and H. S. Sur. 1985. Physical properties of mineral soils affecting rice-based cropping system.. In Soil physics and rice: p. 57-70. International Rice Research Institute.

Sri Adiningsih, J., S. Rochayati, D. Setyorini, dan M. Sudjadi. 1988. Efisiensi penggunaan pupuk pada lahan sawah. Makalah disajikan dalam Symposium Penelitian Tanaman Pangan II, Puncak (Bogor) 21-23 Maret 1988 (Mimeograf).

Tisdale, S. L., and W. L. Nelson. 1975. Soil fertility and fertilizer. 3th. Ed.

MacMillan Publishing., Inc. New York. Collier MacMillan Publishers. London. 694 p.

Tsuitsui, H. 1972. Water management and requirement for rice cultivation under different irrigation methods and cultivation technique, UN FAO Irrig. Drainage Pap. 12.

Westerman, R. L. 1990. Soil Testing and Plant Analysis. Third Edition. Soil Science Society of America, Inc. Madison, Wisconsin, USA. 784 p.

Gambar

Tabel 1.  Hasil analisis tanah sawah berstatus hara P dan K sedang di  Margodadi, Metro, Lampung Timur dan Lahan sawah berstatus hara P  dan K tinggi di Mulyosari, Metro, Lampung Timur sebelum dilakukan  percobaan tahun 2006
Tabel 2.  Pengaruh pemupukan terhadap berat gabah kering panen pada lahan  sawah berstatus hara P - dan K -sedang dan –tinggi di Lampung, MK  2006
Tabel 3.  Hasil analisis tanah dari Desa Sukowiyono, Kecamatan Padas, Ngawi  (Jawa Timur) sebelum dilakukan percobaan tahun 2007
Tabel 4.  Pengaruh pemupukan terhadap berat jerami dan gabah kering panen  pada percobaan neraca hara di Desa Sukowiyono, Kecamatan Padas,  Ngawi (Jawa Timur), MK 2007

Referensi

Dokumen terkait

Seiring perkembangan teknologi pada bidang otomotif, memicu perkembangan teknologi pada pelumas mesin kendaraan. Sehingga hal ini memicu para produsen- produsen oli

Wiroatmodjo dan Zulkifli (1988), dalam penelitiannya menyatakan bahwa pembenah tanah mampu memperbaiki sifat fisik tanah, sehingga memacu pertumbuhan akar sekaligus dapat

Pelatihan Perencanaan Pendidikan Tingkat Dasar Angkatan V sangat diperlukan khususnya dalam menyusun perencanaan pendidikan di daerah masing-masing agar sinkron

Penelitian lainnya dilakukan Panjares dan Schunk [11] menemukan bahwa mahasiswa dengan tingkat self- efficacy yang tinggi juga menunjukan tingkat pengaturan

Secara garis besar pelaksanaan pengawasan mutu dengan cara diperiksanya semua produk yang dihasilkan berdasarkan standar yang telah ditentukan oleh perusahaan dan

Setelah melakukan proses penelitian melalui proses observasi dengan mengamati kedua objek penelitian pada film “ Cinderell a” versi live action tahun 2015 dengan film versi

Model yang sesuai menurut penulis dan dapat diterapkan di Indonesia untuk meningkatkan mutu pendidikan, mampu mencetak tamatan SMK yang siap kerja, mampu menciptakan

Masalah bahasa berkaitan dengan pengaruh bahasa kolonial terhadap bahasa terjajah, cara pengungkapan poskolonialitas dalam teks sastra Indonesia, dan cara yang digunakan oleh