• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Dalam setiap penelitian dibutuhkan konsep yang jelas sebagai penjelas gambaran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Dalam setiap penelitian dibutuhkan konsep yang jelas sebagai penjelas gambaran"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep

Dalam setiap penelitian dibutuhkan konsep yang jelas sebagai penjelas gambaran penelitian seperti apa dan bagaimana yang akan dilakukan. Konsep merupakan gambaran mental dari suatu objek, proses atau apapun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memenuhi hal-hal lain (KBBI, 2007: 588).

Konsep-konsep yang dipakai dalam ilmu sosial walaupun kadang-kadang istilahnya sama dengan yang digunakan sehari-hari, namun makna dan pengertiannya dapat berubah (Malo, 1985: 47). Menurut Masri Singarimbun (1982), konsep adalah generalisasi dari sekelompok fenomena tertentu, sehingga dapat dipakai untuk menggambarkan barbagai fenomena yang sama.

Konsep merupakan suatu kesatuan pengertian tentang suatu hal atau persoalan yang dirumuskan. Jika kerangka teori digunakan untuk memberikan landasan atau dasar berpijak penelitian yang akan dilakukan, maka konsep dimaksudkan untuk menjelaskan makna dan maksud dari teori yang dipakai, untuk menjelaskan kata-kata yang mungkin masih abstrak pengertian dalam teori tersebut.

Begitu pula dengan penelitian ini, tentunya membutuhkan konsep yang terarah agar penelitian ini dapat dijabarkan dengan metode yang sesuai dan tepat. Berikut adalah beberapa konsep yang dijalankan untuk memperkuat pijakan dalam penelitian ini.

2.1.1 Sosial dan Politik

Kondisi sosial dan politik Indonesia sebagai negara maupun wilayah kedaulatan dulu dan kini jelas berbeda. Dahulu sebagai wilayah kedaulatan Indonesia belum memiliki cukup modal dalam hal ini pengetahuan untuk membangun sebuah jati diri dalam kehidupan sosial

(2)

dan politik. Hal ini dikarenakan kehidupan bangsa Indonesia yang belum merdeka, belum jelas arah dan tujuan keberdaulatannya. Ketidakmerdekaan bangsa Indonesia kala itu memberi pengaruh sangat buruk bagi status sosial pribumi, apalagi status politiknya. Sehingga stratifikasi sosial di Indonesia pada saat ini berbeda dengan saat berada di bawah pengaruh penjajah atau kolonialis.

Pada masa penjajahan, secara umum terdapat dua golongan masyarakat, yaitu golongan penguasa dan golongan terjajah. Golongan penguasa terdiri atas kaum penjajah, sedangkan golongan terjajah ditempati oleh rakyat.

Pemerintah kolonial Belanda bahkan mengeluarkan undang-undang mengenai status perbedaan kedudukan sosial antar penduduk. Peraturan tersebut adalah Peraturan Hukum Ketatanegaraan Hindia Belanda (Indische Staatsregeling) tahun 1927. Menurut peraturan tersebut, masyarakat Indonesia dibedakan menjadi sebagai berikut.

1. Golongan Eropa atau yang dipersamakan. Golongan ini merupakan golongan tingkat atas dan masih dibedakan lagi menjadi berikut ini:

a. Bangsa Belanda dan keturunannya.

b. Bangsa-bangsa Eropa lainnya yang terdiri atas bangsa Portugis, Prancis dan Inggris.

c. Orang-orang lain (yang bukan bangsa Eropa) dan telah masuk golongan Eropa dan sah dipersamakan dengan golongan Eropa.

2. Golongan Timur Asing. Golongan ini merupakan golongan menengah atau lapisan kedua. Golongan ini terdiri atas orang cina dan bukan cina. Golongan yang bukan cina terdiri atas orang Arab, India, Pakistan, dan orang dari negara Asia lainnya. 3. Golongan Bumiputra. Golongan terakhir ini merupakan golongan tingkat bawah atau

lapisan ketiga. Golongan bumiputra terdiri atas masyarakat pribumi atau bangsa Indonesia asli.

(3)

Kesadaran kebangsaan mengenyahkan penjajahan merupakan persoalan nasionalisme suatu bangsa (Santosa, 2009: 147). Nasionalisme di wilayah jajahan merupakan reaksi dari tekanan sosial dan politik yang beraneka macam dari para penjajah. Indonesia telah mengalami penjajahan berulang-ulang, seperti penjajahan dari Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang. Dari persoalan tersebut muncul berbagai karya sastra yang menentang penjajahan di Indonesia. Hal itu didasari oleh pertama, yakni adanya suatu semangat kesadaran anak bangsa untuk berdaulat, terbebas dari penjajahan, serta membangkitkan semangat nasionalisme bangsa. Kedua, karya sastra yang menceritakan kisah tentang kepahlawanan anak bangsa terhadap kolonial mampu mempengaruhi kesadaran kebangsaan bangsa Indonesia kala itu.

Perbedaan status sosial atau kelas sosial adalah pembagian anggota masyarakat ke dalam suatu hirarki status kelas yang berbeda, sehingga para anggota setiap kelas secara relatif mempunyai status yang sama dan para anggota kelas lainnya mempunyai status yang lebih tinggi atau rendah. Menurut Karl Marx, kelas sosial dibagi menjadi tiga, yaitu golongan kapitalis, menengah, dan proletar. Masa kolonial di Indonesia jelas bahwa kaum pribumi menempati posisi golongan proletar. Sedangkan Bangsa penjajah dan kaum pendatang Tionghoa masing-masing menempati posisi kapitalis dan menengah.

Aristoteles membagi masyarakat secara ekonomi menjadi kelas atau golongan sangat kaya, golongan kaya, dan golongan miskin. Golongan sangat kaya merupakan kelompok terkecil dalam masyarakat. Mereka terdiri dari pengusaha, tuan tanah, dan bangsawan. Golongan kedua atau kelompok kaya merupakan kelompok yang cukup banyak terdapat di dalam masyarakat. Mereka terdiri dari para pedagang dan sebagainya. Sedangkan kelompok miskin merupakan kelompok terbanyak yang terdapat dalam masyarakat. Mereka kebanyakan rakyat biasa. Secara politik, kelas sosial didasarkan pada wewenang dan kekuasaan. Seseorang yang mempunyai wewenang atau kekuasaan umumnya berada dilapisan tinggi, sedangkan yang tidak memiliki wewenang berada di lapisan bawah.

(4)

2.1.2 Bahasa dan Identitas

Menurut Keith Foulcher dan Tony Day (2008: 5) ada dua topik utama pembicaraan tentang kritik poskolonial dalam sastra Indonesia, yaitu masalah bahasa dan identitas. Masalah bahasa berkaitan dengan pengaruh bahasa kolonial terhadap bahasa terjajah, cara pengungkapan poskolonialitas dalam teks sastra Indonesia, dan cara yang digunakan oleh para penulis bekas jajahan dalam mendekolonisasi (kesadaran kebangsaan) bahasa penjajahan besar.

Identitas berkaitan dengan masalah hibriditas, yakni masalah jati diri bangsa yang berubah karena adanya pengaruh budaya dari bangsa kolonial, termasuk mimikri (tindakan meniru) budaya kolonial oleh bangsa terjajah dan subaltern (kaum yang terpinggirkan atau orang yang terjajah). Kondisi ini sangat jelas berdampak dan terasa pada diri bangsa Indonesia. Misalnya, Bahasa Indonesia banyak sekali menyerap dari bahasa bangsa Eropa (Belanda, Inggris, Portugis) juga bangsa Asia Timur (Jepang dan China).

Bahasa rumpun bangsa tersebut telah banyak menjadi kosa kata bahasa Indonesia baik secara langsung maupun mengalami proses penyerapan bahasa. Begitu pula dengan identitas, banyak orang Indonesia yang mengikat nasab dengan kolonialis, sehingga memiliki keturunan dengan mereka. Maka jadilah identitas baru yang merupakan hasil dari kolonialisme. Hal inipun menjadi sorotan yang sangat berarti bagi kehidupan berbangsa di Indonesia. Tidak sedikit kemudian keturunan campuran pribumi dengan kolonialis menjadi masalah, baik terancam, dihina, dikucilkan ataupun bahkan sebaliknya, yaitu memiliki kehidupan yang cerah, diperhatikan, diperhitungkan, bahkan dihormati.

2.1.3 Pengambil aliahan Kekuasan dan Perbudakan

Kaum orientalis (orang-orang yang berpaham Timur) berpendapat bahwa masalah studi ilmiah Barat mengenai Timur tidaklah semata-mata didorong oleh kepentingan

(5)

pengetahuan, tetapi juga kepentingan kolonialisme. Pengetahuan bagi kaum orientalis adalah untuk mempertahankan kekuasaannya, yakni pengetahuan yang dipenuhi dengan visi dan misi politis ideologis (Said dalam Ratna, 2008: 456).

Pandangan Said tersebut seolah-olah menyuarakan secara eksplisit (tegas) apa yang terpendam dalam kesadaran banyak orang, terutama orang-orang di negara bekas jajahan Barat yang kini disebut sebagai ‘dunia ketiga’, untuk bangkit berjuang menemukan kesadaran dengan menuntut keadilan dan kesetaraan. Gugatan yang menekankan kebebasan dan penolakan atas segala pemikiran atau kekuasaan hibridasi (percampuran).

Artinya, bahwa kolonialisme pada akhirnya mampu melahirkan sebuah kekuatan yang sangat baik bagi bangsa terjajah. Di samping kolonialis menjajah, menjarah, dan memperluas kekuasaan, dalam hal ini mereka memiliki tiga tujuan dalam aksi penjajahannya, yaitu gold (mencari harta), glory (kekuasaan dan kejayaan), dan gospel (menyebarluaskan ajaran agama tertentu/misionaris), mereka juga secara tidak langsung telah melahirkan dan membangun sebuah kekuatan yang dimiliki oleh bangsa terjajah, yaitu persatuan dan kesatuan yang kemudian menjadi kekuatan luar biasa dalam merebut kekuasaan dan kemerdekaan.

Di samping itu, sebelum kekuatan dan kekuasaan tadi digalang tentu proses panjang kehidupan telah dijalani dan dialami oleh bangsa terjajah, salah satunya perbudakan dan perlakuan tidak manusiawi dari bangsa kolonialis.

2.1.4 Latar Belakang Perkebunan di Sumatera Timur

Perkebunan di Sumatera Timur telah muncul sejak paruh kedua abad XIX. Sumatera Timur merupakan daerah perkebunan tembakau, karet, dan kelapa sawit. Daerah tersebut merupakan daerah pertama yang mengalami pertumbuhan perkebunan sejak J. Nienhuys membuka perkebunan tembakau disana, tahun 1864. Tembakau Deli-lah yang menjadi

(6)

komoditas ekspor sehingga menjadi terkenal di pasaran Eropa. Perkebunan yang begitu luas menyebabkan kekurangan tenaga kerja dan sumber daya manusia dalam jumlah yang banyak.

Perkebunan besar (onderneming) di Sumatera Timur yang dirintis oleh Nienhuys, membawa dan menanam tanaman tembakau ke lahan Sumatera Timur melalui kontrak tanah dengan Sultan Deli pada tahun 1863 selama 75 tahun.(1) Keberhasilan yang diperoleh Nienhuys dengan keuntungan besar yang diperoleh telah menarik perhatian para pengusaha perkebunan asing Eropa untuk berlomba-lomba melakukan investasi di sektor agrobisnis Sumatera Timur. Prioritas komoditi yang mereka tanam adalah tembakau yang sangat terkenal di pasaran tembakau Amsterdam, kemudian menyusul karet dan kelapa sawit.

Perkembangan yang didukung dan disertai dengan penegakan kekuasaan kolonial Belanda di Sumatera Timur semakin dipicu oleh keluarnya Agrarische Wet tahun 1870 yang mengatur tentang kepemilikan tanah. Meskipun pada mulanya ditujukan bagi Jawa dan Madura, namun kemudian Undang-Undang ini diterapkan juga dengan peraturan lokal di Sumatra Timur. Kemudahan diperoleh setelah adanya kejelasan tentang status kepemilikan tanah oleh penduduk yang memperlancar persewaan lahan.

Dalam waktu yang singkat maka Sumatera Timur menjadi perkebunan yang besar. tahun 1916 tercatat 320 perusahaan besar (tidak termasuk cabang) yang beroperasi di dareah Deli Serdang sekitar 120 perusahaan, Langkat 67 perusahan, Simalungun 51 perusahaan dan Asahan 82 perusahaan. Begitu pentingnya arti Sumatera Timur bagi Belanda sehingga disemboyankan ”Molken Is Het Verleden, Java is Het Heden en Sumatra is de Toekomst”, artinya Maluku adalah masa lalu, Jawa adalah masa sekarang dan Sumatera adalah masa datang (Damiati: 20-21).

Di Sumatra Timur sendiri berlaku dua macam sistem kepemilikan tanah, yang pertama adalah sistem Vorstdomein. Menurut sistem ini, raja selaku kepala negara dianggap sebagai pemilik dari semua tanah dan menyerahkan kepada para kawulanya untuk digarap.

(7)

Rakyat yang menggarap tanah-tanah tersebut wajib menyetorkannya kepada raja sebagian besar hasilnya sebagai upeti, sedangkan sisanya digunakan mereka untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Dalam hal ini raja atau sultan mempunyai hak untuk membagi-bagikan hak garap dan hak pakainya, namun tetap menguasai hak milik sepenuhnya atas tanah.

Di sisi lain, berlaku juga prinsip Volksdomein. Menurut prinsip ini tanah merupakan hak milik dari individu yang membuka dan menggarapnya secara rutin. Selama dia menghuni dan mengerjakan tanah tersebut, maka dia masih memegang kepemilikannya yang diakui secara komunal oleh masyarakatnya. Perkembangan lebih lanjut menjadikan tanah-tanah semacam ini sebagai tanah bersama (tanah komunal) dan diakui sebagai tanah adat dengan hak ulayat yang berlaku. Penggunaan tanah tersebut disahkan selama kepentingan adat menuntutnya dan tidak ada pelanggaran atas aturan adat.

Para pengusaha perkebunan besar hanya mengakui raja sebagai kepala negara atau penguasa tanah semuanya. Oleh karena itu negosiasi dan kontrak dibuat dengan raja/sultan yang akan menyerahkan lahan wewenangnya dieksploitasi. Mengingat di wilayah Kesultanan Melayu berlaku juga prinsip vorstdomein maka kontrak sewa yang dibuat oleh sultan dengan para pengusaha perkebunan dianggap sah. Para pengusaha perkebunan berhak juga melakukan pengusiran dan penggusuran terhadap penduduk yang menggarap dan menghuni tanah-tanah yang ditunjuk oleh sultan untuk disewakan. Sebagai gantinya pengusaha perkebunan menggunakan lahan tersebut untuk kepentingan pemukiman kolonisasi kuli kontrak yang didatangkannya dari Jawa sebagai tenaga kerja perkebunan.

Masalah yang timbul pada masa perkebunan di Sumatera Timur adalah kelangkaan tenaga kerja perkebunan. Jumlah tenaga kerja yang kecil sedangkan lahan yang luas menimbulkan keengganan penduduk setempat untuk bekerja sebagai buruh pertanian. Kekurangan tenaga kerja mendorong untuk menarik para pekerja dari luar daerah. Tenaga kerja di ambil dari Cina, Jawa dan daerah yang lainnnya seperti semananjung Melayu

(8)

(Malaysia dan Singapura ) melalui Broker atau Werver (orang Jawa sering menyebut Werek). Kepentingan para pengusaha untuk memperoleh tenaga kerja kemudian di lindungi oleh pasal 2 No. 27 dari Politiestrafrglemet voor Inlander (Daliman: 63). Pada tahun 1871 sekitar 3000 orang Cina bekerja di perkebunan Tembakau Deli.

Sistem perantara yang digunakan dalam pencarian tenaga kerja banyak menimbulkan masalah dan penyelewengan yang dilakukan oleh para Broker/ Werver. Tidak jarang terjadi penculikan dan pembujukan dengan janji-janji yang menyenangkan dengan iming-iming upah yang tinggi. Karena kesulitan dalam menacari tenaga kerja maka pencaraian kerja diserahkan kepada perhimpunan pengusaha perkebunan ( Deli Planters Vereninging).

Pada tahun 1888 perhimpunan ini mendirikan biro imigrasi yang mengurus secara langsung seleksi calon pekerja di negeri Cina, pengangkutan tenaga kerja ke Sumatera Timur dan mengurusi masalah keuangan. Namun pada kenyataannya para werek tidak menyeleksi para pekerja, melainkan siapa yang mau bahkan melalui bujuk rayu kepada calon pekerja. Pada tahun 1888 terdapat kurang lebih 1.152 tenaga kerja Cina, tahun 1889 sebanyak 5.167, dan tahun 1890 sampai 6666 tenaga kerja (Kartonagoro: 336-338)

Untuk keperluan Hindia Belanda maka tahun 1888 di bentuk suatu peraturan untuk para buruh perkebunan. Mereka diikat dengan suatu kontrak dengan para pengusaha, namun kontrak tersebut tidak bisa diakhiri dengan buruh. Apabila buruh terserbut melarikan diri maka mereka akan dikenakan hukuman yang dikenal dengan sebutan Poenale Santic. Suatu hukuman yang kejam yang bisa berupa hukuman cambuk untuk buruh laki-laki hingga dibunuh.

Dalam tulisan Jan Breman dikatakan bahwa J. Nienhuys, pernah menghukum cambuk pekerja perkebunan sebanyak 7 buruh sampai meninggal. Hal ini yang membuat Nienhuys pergi keluar Sumatera Timur. Kasus lain menimpa pada seorang buruh perempuan yang diikat pada Bungalow Tuan Kebun dan kemaluannnya digosok dengan lada. Para pemilik

(9)

perkebunan memiliki otonomi yang begitu luas sehingga perkebunan itu diibaratkan sebagai negara dalam negara (Soegiri: 112-113)

Dengan menandatangani kontrak tersebut secara tidak langsung telah menjerat pekerja perkebunan dengan jaringan hutan-piutang. Dalam sehari para buruh hanya bisa istirahat 1/20 dari waktu kerjanya. Buruh kontrak dikenakan aturan Ordonantie Koeli maksimum bekerja 12 jam, tapi kenyataannya mereka harus bekerja 13 jam dengan rincian 5 jam menyadap karet, 3 jam menguruh pohon karet muda, 5 jam mengolah lateks menjadi karet mentah.

Poenale Santic sangat melewati batas kewajaran, sehingga timbul protes dari luar perkebunan melalui media massa atau masyarakat Hindia Belanda maupun negeri induk untuk meghapus Peonale Santie. Berita itu akhirnya sampai ke Den Haag, sehingga Ratu Belanda memerintahkan kepada gubernur jenderal untuk melarang tindakan main hakim sendiri. Sejak itu maka pengadilan hanya dilakukan oleh pemerintah.

Begitu gencarnya protes tentang kekejaman tuan kebun di Deli Serdang membuat pemerintah mengganti peraturan peonale santi dengan koeli ordonansi 1880. Namun koeli ordonansi pada kenyataannya sama dengan peonale santie, para buruh tetap mengalami penderitaan dari siksaan Tuan Kebunnya. Koeli ordonansi baru dihapus seiring dengan datangnya bangsa Jepang tahun 1941 (Darmiati: 22).

2.2 Landasan Teori 2.2.1 Kolonialisme

Terdapat banyak pendapat tentang kolonialisme. Pertama, secara umum kolonialisme didefinisikan sebagai penguasaan atas kontrol terhadap tanah dan barang milik pihak lain. Sedangkan, pada kolonialisme modern penguasaan tersebut tidak terbatas pada tindakan perampasan atas benda-benda dan kekayaan milik wilayah yang

(10)

dikuasai, tetapi di dalamnya terdapat upaya penstrukturan kembali bangunan perekonomian bangsa yang dikuasai, yang mengakibatkan adanya aliran sumber daya manusia dan alam di antara penguasa dan wilayah yang dikuasai (Lombaa, 2005: 8-9). Berdasarkan pendapat pertama, dapat dikatakan bahwa kontrol kolonial meliputi teritori atau wilayah, isi dalam wilayah tersebut, serta struktur bangunan perekonomian bangsa yang dijajah. Berkaitan dengan kontrol atas teritori tersebut, pendapat kedua dinyatakan oleh Upstone (2009: 4) bahwa kolonialisme sebagai klaim terhadap wilayah atas nama penyebaran agama, pengembangan perekonomian, dan pengembangan wilayah (labenstrum) melihat kecocokan wilayah jajahannya sebagai empire, dan empire sebagai tujuan klaim atas wilayah tersebut.

Pada kolonialisme modern penguasaan tersebut tak terbatas pada tindakan perampasan atas benda-benda, dan kekayaan milik wilayah yang dikuasai, namun di dalamnya termasuk juga upaya penstrukturan kembali bangunan perekonomian bangsa yang dikuasai, sehingga membentuk keterkaitan yang kompleks dengan penguasanya, dan menyebabkan aliran sumber daya manusia dan alam di antara penguasa dan wilayah yang dikuasai (Loomba, 2005: 9). Terkait dengan bentuk kolonialisme di atas, terdapat dua tipe kolonialisme. Tipe yang pertama berupa penaklukan fisik banyak teritori, sedangkan tipe yang kedua berupa penaklukan dan penjajahan pikiran, jiwa, dan budaya (Nandy dalam Gandhi, 2006: 20). Perlu digarisbawahi bahwa penjajahan tak hanya merupakan dominasi politik dari bangsa-bangsa penjajah terhadap bangsa-bangsa terjajah, melainkan juga suatu hegemoni yang bersifat kultural ( Faruk, 2007: 364).

2.2.2 Poskolonialisme

Poskolonial sebagai sebuah kajian muncul pada 1970-an. Studi poskolonial di Barat salah satunya ditandai dengan kemunculan buku Orientalisme (1978) karya Edward Said yang kemudian disusul dengan sejumlah buku lainnya yang masih terkait dengan perspektif

(11)

Barat dalam memandang Timur. Poskolonialisme adalah kontestasi atas dominasi kolonial dan warisan-warisan kolonialisme (Loomba, 2005: 16). Sedangkan bila dikaitkan dengan dunia kajian sastra, poskolonialisme dijelaskan sebagai suatu strategi bacaan yang menghasilkan pertanyaan-pertanyaan yang bisa membantu mengidentifikasi adanya tanda-tanda kolonialisme dalam teks-teks kritis maupun sastra dan menilai sifat dan pentingnya efek-efek tekstual dari tanda-tanda tersebut (Foulcher, 2008: 3).

Dari beberapa pengertian di atas, poskolonial dapat didefinisikan sebagai teori yang lahir sesudah kebanyakan negara-negara terjajah memperoleh kemerdekaannya. Sedangkan kajian dalam bidang kolonialisme mencakup seluruh khazanah tekstual nasional, khususnya karya sastra yang pernah mengalami kekuasaan imperial sejak awal kolonialisasi hingga sekarang.

Ratna (2008: 81—82) mengemukakan lima pokok pengertian poskolonial, yaitu (1) menaruh perhatian untuk menganalisis era kolonial, (2) memiliki kaitan erat dengan nasionalisme, (3) memperjuangkan narasi kecil, (4) membangkitkan kesadaran bahwa penjajahan bukan semata-mata dalam bentuk fisik, melainkan juga psikis, dan (5) bukan semata-mata teori, melainkan kesadaran bahwa banyak pekerjaan besar yang harus dilakukan, seperti memerangi imperialisme, orientalisme, rasialisme, dan berbagai bentuk hegemoni lainnya.

Berkaitan dengan kolonialisme, poskolonialisme mengacu pada praktik-praktik yang berkaitan dengan hirarki sosial, struktur kekuasaan dan wacana kolonialisme (Gilbert dan Tomkins dalam Allan, 2004: 207). Kolonialisme telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan dan kebudayaan masyarakat jajahan. Hal itu berupa pemaksaan bahasa, perbudakan, peniruan dan penggantian budaya dan pemindahan penduduk.

(12)

Teori poskolonial digunakan untuk menganalisis berbagai gejala kultural, seperti sejarah, politik, ekonomi, sastra, dan berbagai dokumen lainnya, yang terjadi di negara-negara bekas koloni Eropa modern (Yulhasni, Waspada 15/4/2012).

Teori poskolonial mencakup tiga kemungkinan pilihan perhatian. Pertama, pada kebudayaan masyarakat-masyarakat yang pernah mengalami penjajahan bangsa Eropa, baik berupa efek penjajahan yang masih berlangsung sampai pada masa pascakolonial maupun kemungkinan transformasinya ke dalam bentuk-bentuk yang disebut neokolonialisme (internal maupun global). Kedua, respons perlawanan atau wacana tandingan dari masyarakat terjajah maupun yang lainnya terhadap penjajahan itu, tanpa menghilangkan perhatian pada kemungkinan adanya ambiguitas atau ambivalensi. Ketiga, segala bentuk marginalitas yang dikaitkan oleh segala bentuk kapitalisme (Lo dan Helen dalam Faruk, 2007: 15). Melalui sudut pandang ini, poskolonial dapat diartikan sebagai suatu perangkat teori untuk menjelaskan relasi antara bangsa penjajah dan bangsa terjajah dalam masa kolonial, serta dampak dari penjajahan tersebut hingga pada masa pascakolonial.

Teori poskolonial identik dengan teori posmodernisme dan postrukturalisme. Perbedaannya, teori posmodernisme dan postrukturalisme dimanfaatkan untuk memahami gejala kultural secara menyeluruh, sedangkan teori poskolonial memusatkan perhatian pada visi dan misi kolonial sebagaimana terkandung dalam wacana kolonial. Itu sebabnya, peneliti sangat tertarik untuk menganalisis novel Acek Botak karya Idris Pasaribu yang banyak mengandung unsur-unsur kolonialisme dalam ceritanya.

Menurut Ratna ada lima alasan mengapa sebagian besar karya sastra dianggap tepat apabila dianalisis dengan menggunakan teori poskolonial. Alasan tersebut seperti:

1. Sebagai gejala kultural sastra menampilkan sistem komunikasi yang sangat kompleks, yang secara garis besar terjadi melalui triadik pengarang, karya sastra, dan pembaca.

(13)

Komunikasi ini sekaligus merupakan mediator antara masa lampau dengan masa sekarang.

2. Karya satra menampilkan berbagai problematika kehidupan, emosionalitas dan intelektualitas, fiksi dan fakta, karya sastra adalah masyarakat itu sendiri.

3. Karya sastra tidak terikat oleh ruang dan waktu, kontemporaritas adalah manifestasinya yang paling signifikan.

4. Karya sastra adalah bahasa, sedangkan bahasa itu sendiri adalah satu-satunya cara mentransmisikan ideologi, yaitu ideologi kolonial.

5. Berbagai masalah yang dimaksudkan dilukiskan secara simbolis, terselubung, sehingga tujuan-tujuan yang sesungguhnya tidak tampak. Di sinilah ideologi oriental ditanamkan, di sini pulalah analisis postkolonial memegang peran.

Bill Aschroft (dalam Ratna, 2006: 207) mengatakan bahwa teori poskolonial lahir sesudah kebanyakan negara-negara terjajah memperoleh kemerdekaannya.

Teori poskolonial mencakup seluruh khazanah sastra nasional yang pernah mengalami kekuasaan imperial sejak awal kolonialisasi hingga sekarang. Sastra yang dimaksudkan, di antaranya: Afrika, Australia, Bangladesh, Kanada, Karibia, India, Malaysia, dan Indonesia.

Ratna (2006: 219) mengatakan bahwa bila dikaitkan dengan tujuannya maka wacana poskolonial adalah wacana yang mewakili sistem ideologi Timur untuk menanamkan pemahaman ulang sekaligus memberikan citra diri yang baru terhadap bangsa Timur mengenai hegemoni Barat. Sedangkan wacana orientalisme adalah wacana yang mewakili sistem ideologi Barat dalam kaitannya untuk menenamkan hegemoni terhadap bangsa Timur.

2.3 Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka bertujuan untuk mengetahui keaslian suatu penelitian. AB merupakan karya sastra modern terbitan 2010 sehingga belum banyak yang mengkajinya.

(14)

Peneliti hanya mengkaji dari segi teorinya saja. Tinjauan pustaka yang peneliti jadikan sebagai referensi adalah sebagai berikut:

Sakinah Annisa Mariz (2013) yang berjudul Manifesto Kebudayaan dalam Novel Acek Botak. Artikel yang termuat dalam kolom Rebana Harian Analisa (6/1) ini mengulas tentang andil novel AB dalam manifesto kebudayaan yang memperkaya khazanah sastra di Nusantara. Mulai dari tokoh yang ada hingga tema yang diusung oleh pengarang novel mendeskripsikan tentang masa kolonial. Sakinah mengaitkan Novel AB dengan manikebu.

Harapan dan tekad perjuangan Manikebu yang memaknai kebudayaan sebagai perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia dalam rangka menumbuhkan semangat nasionalisme berfalsafahkan Pancasila, barangkali inilah yang dimaksudkan juga dalam novel Acek Botak. Dari stuktur cerita yang dibangun, koherensi antara plot dan penokohan yang didesain penuh kehati-hatian, mengacu pada satu hal, yakni sila yang ke-3: Persatuan Indonesia.

Supri Harahap (2012), dalam artikelnya yang berjudul Membaca Ulang Acek Botak di Harian Analisa (5/8) tidak jauh berbeda dengan pembahasan Sakinah Annisa Mariz. Tema yang diusung masih mengangkat mengenai kolonialisme.

Yusrinle (2010) sedikit berbeda dengan Supri dan Sakinah. Yusrinle dalam artikelnya mengusung tema politik yang berjudul Novel “Acek Botak” Mendorong Pembauran Bangsa. Yusrinle menjelaskan bagaimana sikap politik yang diambil oleh setiap tokoh dalam novel AB. Sikap Politik orang Tionghoa pada masa itu, dapat dibagi ke dalam tiga sikap. Pertama, Sikap Politik yang Pro Tiongkok, diwakili oleh Surat Kabar Sin Po. Kedua, Sikap Politik yang Pro Belanda, diwakili oleh golongan Chung Hwa Hui (CHH) dan yang ketiga adalah sikap Politik yang Pro Indonesia, di wakili oleh Partai Tionghoa Indonesia (PTI). Dalam hal ini, Atak dapat digolongkan ke dalam Sikap politik yang pro Indonesia. Barangkali, dapat

(15)

ditambahkan bahwa ada juga sebagian orang Tionghoa yang tidak memiliki sikap Politik. Mereka hanya ingin berdagang, hidup makmur dan bersikap apatis-pasif dalam hal Politik.

Fadmin Prihatin Malau (2011) dalam artikelnya berjudul Budaya Anak Peranakan Tionghoa-Melayu menjelaskan bagaimana pengaruh kebudayaan Tionghoa dapat mempengaruhi kebudayaan lokal.

Budaya lokal saling berinteraksi seperti kebudayaan Tionghoa yang banyak memengaruhi kebudayaan Indonesia lewat interaksi perdagangan dari dahulu sampai hari ini. Dahulu para perantau asal daratan Tiongkok yang datang dan tinggal menetap di Tanah Deli. Para perantau Tiongkok itu menilai Tanah Deli sebagai tanah harapan. Hal inilah dengan gamblang, jelas tergambar dalam novel berjudul, "Acek Botak" yang ditulis Idris Pasaribu.

Tsanin A. Zuhairy (2009) yang berjudul Teori Postkolonial: Melawan Narsisme dan Kekerasan Epistemologi Modern. Penelitian tersebut membicarakan mengenai orientalisme menurut Edward Said. Menurutnya, orientalisme postkolonial, yaitu memandang orientalisme sebagai mode atau paradigma berpikir yang berdasarkan epistemologi dan ontologi tertentu yang secara tegas membedakan anatara Timur dan Barat.

Dohardo M. Harianja (1989), Suatu Tinjauan Sejarah Terhadap Anak Tanahair Karya Ajip Rosidi yang membahas dari segi struktural terutama dari unsur intrinsiknya, seperti tema, alur/plot, penokohan, latar/setting, dan sudut pandang.

Referensi

Dokumen terkait

Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bandung Nomor : 11/Kpts/KPU-Kab-011.329047/ 2015 tentang Pedoman Teknis Tata Kerja Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bandung,

Dengan terbatasnya alat produksi proses pembuatan Bakso Aci juga berdampak pada tidak terpenuhinya target produksi Bakso Aci (Nursalim et al., 2019). Dari uraian diatas maka

Contoh diatas menunjukkan bahwa jika sensor mendeteksi garis sama persis dengan yang kita atur pada index 1, maka ICHIbot akan melakukan action pada index 1.

Pengetahuan berhubungan dengan perilaku, dan perilaku yang dilandasi pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari pengetahuan 5 .Di posyandu desa

· Lepaskan selalu daya listrik AC dengan mencabut kabel daya dari colokan daya sebelum menginstal atau melepaskan motherboard atau komponen perangkat keras lainnya.. ·

Penelitian dengan judul “Pengaruh Bauran Pemasaran Terhadap Keputusan Pembelian Obat Generik di Apotek SAIYO FARMA Jombang” ini dilakukan untuk mengetahui

Yang bukan termasuk perilaku demokrasi yang perlu dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut .... Memaksakan pendapat dalam

 Jumlah penumpang angkutan laut antar pulau yang datang di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada November 2014 tercatat sebanyak 20,18 ribu orang, juga