• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Konsep adalah gambaran mental dari objek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (KBBI, 2007:588). Tujuan adanya konsep dalam penulisan ilmiah yaitu untuk dijadikan sebagai dasar pengembangan penulisan selanjutnya. Penjabaran konsep ini dapat bersumber dari ahli, pengalaman peneliti, dokumentasi, dan nalar yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

2.1.1 Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko

Telah banyak ahli bahasa Jawa yang menulis tentang kata ulang atau reduplikasi dalam bahasa Jawa. Uhlenbeck (dalam Poedjosoedarmo, 1981: 1) membagi reduplikasi bahasa Jawa menjadi tiga yaitu dwi lingga (DL), dwi purwa (DP), dan dwi wasana (DW). Selanjutnya Poedjosoedarmo (1979: 8) yang membagi reduplikasi bahasa Jawa dalam empat golongan, yaitu pengulangan utuh (dwilingga), pengulangan utuh dengan perubahan bunyi (dwilingga salin suara), pengulangan awal (dwipurwa), dan pengulangan akhir (dwiwasana). Kemudian Verhaar (1990: 64) juga memiliki pendapat yang sama dengan Poedjosoedarmo, beliau juga membagi reduplikasi bahasa Jawa

(2)

dalam empat golongan, yaitu dwilingga, dwilingga salin suara, dwipurwa, dan dwiwasana. Pembagian reduplikasi bahasa Jawa yang diungkapkan Poedjosoedarmo inilah yang sekaligus menjadi pembahasan dalam penelitian ini.

2.1.2 Reduplikasi Bahasa Indonesia

Proses reduplikasi banyak terdapat dalam berbagai bahasa di seluruh dunia. Sebagai contoh dalam bahasa Inggris pada kata lamps yang berarti lampu-lampu (banyak lampu), dan pada kata tables yang memiliki arti meja-meja. Selain itu reduplikasi juga terdapat dalam bahasa Moru (Papua Nugini) ada kata tau yang memiliki arti orang laki diredulikasikan menjadi tatau ‘banyak orang laki’; dan kata mero ‘anak laki-laki’ direduplikasikan menjadi memero ‘banyak anak laki-laki-laki’, tetapi bila diulang penuh menjadi mero-mero bermakna ‘anak laki-laki kecil’ (Chaer, 2007:183).

Proses reduplikasi dapat dibagi atas dua sifat, yaitu paradigmatis (infleksional) dan derivasional. Reduplikasi yang bersifat paradigmatis artinya tidak mengubah indentitas leksikal, melainkan hanya memberi makna gramatikal. Misalnya, botol-botol ‘banyak botol’ dan besar-besar ‘banyak yang besar’. Reduplikasi yang bersifat derivasional yaitu membentuk kata baru atau kata identitas leksikalnya berbeda dengan bentuk dasarnya. Misalnya, laba-laba dari kata dasar laba dan pura-pura dari kata dasar pura dapat dianggap sebagai contoh reduplikasi derivasional (Chaer, 2007: 183-184).

(3)

Ramlan (2001: 63) berpendapat bahwa reduplikasi adalah pengulangan satuan gramatikal, baik seluruhnya maupun sebagian, baik dengan variasi fonem maupun tidak. Hasil pengulangan disebut kata ulang, sedangkan satuan yang diulang merupakan bentuk dasar. Bentuk reduplikasi dalam bahasa Indonesia sendiri menurut Ramlan (2001:68-75) terbagi atas empat macam, yaitu (1) pengulangan seluruh, (2) pengulangan sebagian, (3) pengulangan yang berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks, dan (4) pengulangan dengan perubahan fonem. Pengulangan seluruh adalah pengulangan keseluruhan pada bentuk dasar tanpa adanya perubahan afiks.

Kemudian Simatupang (1979: 16) mengatakan bahwa reduplikasi adalah proses morfemis yang mengubah bentuk kata yang dikenainya. Simatupang juga membagi reduplikasi bahasa Indonesia dalam tiga kelompok utama, yaitu (1) reduplikasi penuh, (2) reduplikasi parsial, dan (3) reduplikasi berimbuhan (1979: 137). Teori reduplikasi menurut Simatupang ini yang akan digunakan pada penelitian ini dan hanya membahas reduplikasi bahasa Indonesia tipe-16.

(4)

2.1.3 Bahasa Jawa Ngoko

Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan oleh suku Jawa. Menurut Geertz (dalam Purwoko, 2008: 57) membagi bahasa Jawa menjadi tiga perbedaan tingkat bahasa yakni: krama, madya, dan ngoko. Sedangkan Poedjosoedarmo (1968: 59), memperkenalkan tiga sub-levels lagi yaitu membagi krama menjadi tiga sub-levels, yakni: mudha-krama, kramantara, dan wedha-krama. Sedangkan tingkat bahasa madya dibagi menjadi tiga sub-levels lain lagi, yakni: krama, madyantara, dan madya-ngoko. Kemudian tingkat bahasa ngoko juga dibagi menjadi tiga sub-levels, yakni: basa-antya, antya-basa, dan ngoko-lugu. Pada tahun 1937, Purwoko (2008: 57) mengatakan dalam tingkat bahasa ngoko, dia membuat pembagian menjadi ngokolugu dan ngokoandhap, kemudian bagian kedua ini dibagi lagi menjadi antyabasa dan basaantya. Purwoko (2008: 58) membagi ngoko menjadi lugu dan ngoko-andhap, sedangkan madya menjadi madya-ngoko, madya-antara, dan madya-krama, dan tingkat bahasa karama menjadi mudha-krama, kramantara, wedha-krama, krama-inggil, dan krama-désa. Jadi paling tidak bahasa Jawa memiliki sembilan tingkat bahasa atau sepuluh tingkat bahasa yang berbeda satu sama lain.

Pengguna bahasa Jawa krama (atas) biasanya adalah para priyayi atau keturunan bangsawan, sedangkan bahasa Jawa madya (tengah) penggunanya adalah para abdi dalam dan pengguna bahasa Jawa ngoko (bawah) adalah para buruh , ataupun petani.

(5)

Bahasa Jawa ngoko lebih sering dianggap sebagai media komunikasi yang berkonotasi “kasar”, “kurang sopan”, “langsung”, “terus terang”, “mentah”, “polos”, atau “lugu”, dari pada berkonotasi “netral” (Purwoko, 2008:60). Hal ini terjadi karena pengguna bahasa Jawa ngoko adalah tiyang alit (rakyat kecil) atau sering dikatakan pula sebagai rakyat kebanyakan (Koentjaraningrat, dalam Purwoko, 2008:8). Dan pada masa kini pengguna bahasa Jawa ngoko sudah banyak tersebar di Indonesia karena terjadinya persebaran penduduk yang dilakukan oleh Belanda kepada orang-orang Jawa atau suku Jawa untuk dipekerjakan pada masa penjajahan. Bahasa Jawa ngoko juga dianggap adalah bahasa yang tidak formal karena biasanya bahasa Jawa ngoko digunakan pada saat berkomunikasi dengan orang yang seumuran, kawan akrab ataupun bawahan.

2.1.4 Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bahasa bagi bangsa Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa beranekaragamnya suku bangsa di Indonesia maka hal itu juga berpengaruh pada bahasa yang digunakan. Maka, bahasa Indonesia di sini bertugas sebagai alat pemersatu bahasa dan bahasa Indonesia sendiri berasal dari bahasa Melayu.

Kosakata bahasa Indonesia selain dari kosakata bahasa Melayu juga ada sumber lain kosakata bahasa Indonesia sperti bahasa Sanskerta. Bahasa Sanskerta merupakan bahasa yang datang bersama dengan penyebaran agama Hindu di Indonesia. Contoh kosakata bahasa Sanskerta dalam bahasa Indonesia dapat dilihat pada kata antara,asmara,

(6)

agama, bahtera, bumi, dan jaya. Bahasa Sanskerta juga digunakan untuk slogan, lambang, dan semboyan. Misalnya, Bhinneka Tunggal Ika (lambang negara Republik Indonesia), Jales Viva Jayamahe (slogan angkatan Laut), Jalesu Bhumyamcha Jayamahe (Slogan Korps Marinir Angkatan Laut) (Chaer, 2007:14).

Selain dari bahasa Sanskerta kosakata bahasa Indonesia juga bersumber dari bahasa-bahasa Nusantara seperti bahasa-bahasa Jawa, Sunda, Bali, Minangkabau, Banjar, dan lain sebagainya. Juga bahasa asing lain seperti bahasa Parsi, bahasa Tamil, bahasa Arab, bahasa Belanda, bahasa Inggris dan bahasa Cina (Chaer, 2007:15-19).

Selain itu bahasa Indonesia juga memiliki fungsi khusus sesuai dengan kepentingan bahasa Indonesia yaitu (1) sebagai bahasa resmi yang digunakan sebagai alat administrasi negara yang dapat dilihat dalam surat-menyurat resmi, peraturan-peraturan, undang-undang, pidato, dan pertemuan-pertemuan resmi, (2) sebagai bahasa persatuan, sseperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku dan masing-masing memiliki bahasa dan dialeknya sendiri. Maka, dalam mengintegrasikan semua suku tersebut, bahasa Indonesia memiliki peranan penting, dan (3) sebagai bahasa kebudayaan, yakni bahasa Indonesia berperan sebagai wadah penampung kebudayaan. Maksudnya adalah bahasa Indonesia digunakan dalam ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang harus diajarkan dan diperdalam.

(7)

2.2 Landasan Teori 2.2.1 Morfologi

Morfologi (KBBI, 2007:755) adalah cabang linguistik tentang morfem dan kombinasinya. Sedangkan dalam kamus linguistik, morfologi, yaitu (1) bidang linguistik yang mempelajari morfem dan kombinasi-kombinasinya; (2) bagian dari struktur bahasa yang mencakup kata dan bagian-bagian kata, yakni morfem (Kridalaksana, 2008:159). Sedangkan menurut Ramlan (2001:21) morfologi adalah bagian dari ilmu bahasa yang membicarakan atau yang mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap golongan dan arti kata, atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa morfologi mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta fungsi perubahan-perubahan bentuk kata lain, baik fungsi gramatik maupun fungsi semantik. Seperti yang telah dijabarkan pada latar belakang bahwa morfologi merupakan kajian bahasa secara internal atau pengkajian bahasa itu hanya dilakukan terhadap struktur intern bahasa itu saja. Yang menjadi objek daripada morfologi yaitu soal-soal yang berhubungan dengan bentuk kata. Perubahan-perubahan bentuk kata menyebabkan adanya perubahan golongan dan arti kata. Misalnya saja golongan kata sepatu tidak sama dengan golongan kata bersepatu. Kata sepatu termasuk golongan kata nomina sedangkan kata bersepatu termasuk golongan kata verba.

(8)

2.2.2 Reduplikasi Bahasa Indonesia

Menurut Simatupang (1983:19-46) reduplikasi morfemis bahasa Indonesia dapat dibagi dalam beberapa tipe, yaitu:

1) Tipe R-1 (D + R)

R-1 ialah mengulang dasar yang monomorfemis (sepeda-sepeda,besar-besar, dinding-dinding) dan bentuk yang polimorfemis (pendapat-pendapat, perdebatan-perdebatan).

2) Tipe R-2 (D + Rperf)

R-2 ialah pengulangan dasar yang diikuti dengan perubahan fonem pada konstituen ulang, dan fonem yang berubah dapat berupa hanya vokal, hanya konsonan atau konsonan dan vokal.

Contoh : gerak-gerik, tindak-tanduk, ramah-tamah.

3) Tipe R-3 ((D + R) + ber-)

Kata ulang hasil R-3 dapat terbentuk melalui dua poses yaitu,

(9)

Contoh : ((jalan + ber-) + R) berjalan-jalan

((gerak + ber-) + R) bergerak-gerak

(b) Pengimbuhan dan reduplikasi sekaligus

Contoh: ton (*berton) berton-ton

lembar (*berlembar) berlembar-lembar

4) Tipe R-4 ((D + R) + ber-/-an)

Tipe R-4 ialah pengulangan yang diturunkan dengan imbuhan ber-/-an, dan yang mengandung arti resiprokatif atau bersifat saling berbalasan.

Contoh : berjauh-jauhan

bersahut-sahutan

5) Tipe R-5 (D + (R + ber-))

Tipe R-5 ialah pengulangan yang hasil perulangan dari bentuk dasar dibubuhi dengan imbuhan ber-.

(10)

6) Tipe R-6 ((D + R) + meN-)

Tipe R-6 terdapat dengan kata kerja berprefiks meN- dapat diganti oleh di- atau ter- tergantung dari dapat tidaknya dasar diberi prefiks demikian.

Contoh : melempar-lempar, membawa-bawa, melihat-lihat.

7) Tipe R-7 (D + (R + meN-))

Tipe R-7 dapat dikenakan pada kata kerja yang dasarnya secara intrinsik merupakan kata kerja, dan R-7 dapat dihubungkan dengan arti resiprokatif atau kegiatan yang bertalian dengan D (bentuk dasar).

Contoh : pukul-memukul, tolong-menolong, bantu-membantu,

kait-mengait.

8) Tipe R-8 (D + (R + meN-/-i))

Tipe R-8 ialah pengulangan yang dikenakan pada kata kerja yang terdapat pada R-7 dengan arti resiprokatif dan kata ulang yang terjadi juga mengandung arti demikian.

(11)

9) Tipe R-9 ((D + R) + meN-/-kan)

Tipe R-9 ialah pengulanga yang terbentuk dengan mengulang bentuk dasar kemudian dibubuhi dengan imbuhan meN-/-kan.

Contoh : menggerak-gerakan, membagi-bagikan, mengayun-ayunkan.

10) Tipe R-10 ((D + R) + meN-/-i)

Tipe R-10 ialah pengulangan yang terbentuk dengan mengulang bentuk dasar kemudian dibubuhi dengan imbuhan meN-/-i.

Contoh : menghalang-halangi, menutup-nutupi, memukul-mukuli.

11) Tipe R-11 ((D + R) + se-)

Tipe R-11 ialah pengulangan yang diturunkan dengan prefiks se-.

(12)

12) Tipe R-12 ((D + R) + ke-/-(-nya))

Tipe R-12 ialah pengulangan yang diturunkan dengan prefiks ke-.

Contoh : ketiga-tiga(-nya), ketujuh-tujuh (-nya), kedua-dua (-nya).

13) Tipe R-13 ((D + R) + ke-/-an)

Tipe R-13 ialah pengulangan yang terbentuk dengan mengulang bentuk dasar kemudian dibubuhi dengan imbuhan ke-/-an.

Contoh : kemerah-merahan, kehitam-hitaman, keibu-ibuan.

14) Tipe R-14 ((D + R) + -an)

Tipe R-14 ialah pengulangan yang diturunkan dengan sufiks –an.

Contoh : mobil-mobilan, kartu-kartuan, untung-untungan.

15) Tipe R-15 (D + (R + -em-))

tipe R-15 ialah pengulangan yang diturunkan dengan infiks -em-.

(13)

16) Tipe R-16 (D + Rp)

Tipe R-16 ialah reduplikasi parsial dimana unsur yang diulang terdiri dari gugus konsonan vokal (KV) dari suku pertama dasar.

Contoh : tetamu, lelaki, tetangga.

17) Reduplikasi semantik, yaitu proses pengulangan arti melalui penggabungan dua bentuk yang bersinonim: cerdik-pandai, arif-bijaksana, tutur-kata, semak-belukar.

18) Bentuk-bentuk residu (bentuk yang sangat terbatas): hal-ihwal, adat-istiadat, alim-ulama, sebab-musabab.

Meskipun tipe reduplikasi bahasa Indonesia yang dikemukakannya cukup banyak tetapi pada dasarnya Simatupang (1983:137) membagi reduplikasi menjadi tiga kelompok utama, yaitu (1) reduplikasi penuh, (2) reduplikasi parsial, dan (3) reduplikasi berimbuhan.

(14)

2.2.3 Reduplikasi Bahasa Jawa Ngoko

Menurut bentuknya (Poedjosoedarmo, 1981:35) kata ulang dalam bahasa Jawa dapat dibedakan menjadi delapan macam yaitu:

(1) Kata ulang penuh atau dwilingga (DL) : siji-siji (satu-satu), nyangking-nyangking (membawa-bawa), lunga-lunga (bepergian).

(2) Kata ulang awal atau dwipurwa (DP) : tetuku (berbelanja), reresik (membersihkan), rerusuh (kekacauan).

(3) Kata ulang akhir atau dwiwasana (DW) : dithuthuk (dipukul), cekakak (tertawa-tawa).

(4) Kata ulang penuh dengan perubahan suara atau dwilingga salin suara (DLS) : celak-celuk (memanggil-manggil), mloya-mlayu (berlari ke sana ke mari), lingak-linguk (menoleh ke kanan kiri).

(5) Kata ulang penuh dengan lingga kata ulang akhir atau dwi dwipurwa (DDP) : gegaman-gegaman (senjata-senjata), wewadi-wewadi (rahasia-rahasia), tetuku-tetuku (membeli).

(6) Kata ulang penuh dengan lingga kata ulang akhir atau dwi dwiwasana (DDW) : pecicil-pecicil, cekikik-cekikik, pthentheng-pethentheng.

(7) Kata ulang penuh dengan lingga kata ulang awal dengan perubahan suara atau dwi dwipurwa salin suara (DDPS) : tetuka-tetuku (membeli-beli), nenongas-nenangis (menangis-nangis), cecowas-cecawis (sesajian).

(15)

(8) Kata ulang penuh dengan lingga kata ulang akhir dengan perubahan suara atau dwi dwiwasana salin suara (DDWS) : kela-keli (selalu hanyut), kola-kolu (selalu tertelan), kelang-kelingan (selalu teringat).

Sedangkan reduplikasi dalam bahasa Jawa menurut Poedjosoedarmo (1979:8) terbagi menjadi empat golongan yaitu pengulangan utuh (dwilingga), pengulangan utuh dengan dibarengi bunyi (dwilingga salin suara), pengulangan awal (dwipurwa), dan pengulangan akhir (dwiwasana).

2.3 Tinjauan Pustaka

Tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan, pendapat (sesudah menyelidiki, mempelajari dan sebagainya) (KBBI, 2007:1198). Pustaka adalah kitab, buku, buku primbon (KBBI, 2007:912). Maka tinjauan pustaka dapat diartikan sebagai hal-hal yang berhubungan dengan penelitian tersebut sebagai bahan referensi yang mendukung penelitian.

Penelitian tentang perbandingan reduplikasi sudah pernah dilakukan sebelumnya. Seperti Ronita Rita (1997) dalam skripsinya yang berjudul Perbandingan Reduplikasi antara Bahasa Sunda dengan Bahasa Indonesia dalam isi skripsinya tersebut beliau menjelaskan bahwa dalam bahasa Sunda reduplikasi dibagi atas tiga yaitu dwilingga, dwipurwa, dan dwimadya. Dan bentuk ulang bahasa Sunda tidak selamanya dapat diterjemahkan ke dalam bentuk ulang bahasa Indonesia.

(16)

Begitu juga Poedjosoedarmo (1981) dalam bukunya Sistem Perulangan dalam Bahasa Jawa membagi perulangan dalam bahasa Jawa ke dalam tiga kelas yaitu dwi lingga, dwi purwa dan dwi wasana. Dan dalam penelitian tersebut beliau meneliti semua tingkatan bahasa Jawa yaitu Jawa krama,madya, dan ngoko tidak terfokus pada satu tingkatan saja.

Sibuea (2000) juga pernah meneliti tentang reduplikasi dengan judul Reduplikasi dalam Bahasa Pesisir Sibolga dalam skripsinya tersebut beliau menjelaskan bahwa reduplikasi dalam bahasa Pesisir Sibolga dapat ditentukan dengan reduplikasi seluruh, reduplikasi sebagian, reduplikasi berimbuhan dan reduplikasi dengan perubahan fonem.

Selain itu juga Widyahardani (2010) meneliti tentang Perbandingan Reduplikasi Morfemis dalam Bahasa Korea dan Bahasa Indonesia. Beliau menjelaskan bahwa adanya persamaan reduplikasi penuh tanpa afiks antara bahasa Indonesia dan bahasa Korea, adanya persamaan reduplikasi penuh dengan perubahan fonem baik pada vokal, konsonan, maupun vokal dan konsonan, sedangkan perbedaannya yaitu di dalam bahasa Indonesia terdapat reduplikasi dengan penambahan afiks sedangkan di dalam bahasa Korea tidak, di dalam bahasa Korea tidak ada reduplikasi denngan perubahan fonem dan penambahan afiks sedangkan di dalam bahasa Indonesia ada, dan reduplikasi dalam bahasa Korea tidak selalu mempunyai arti, ada yang merupakan permainan kataagar diperoleh bunyi yang padu dan padan, sebaliknya reduplikasi dalam bahasa Indonesia merupakan pengulangan kata yang mempunyai arti.

Referensi

Dokumen terkait

Walapun keempat langkah diatas merujuk pada penggunaan analisis kontrastif untuk pengajaran, langkah tersebut dapat juga diterapkan dalam kepentingan pengajaran

c. Bahwa pengelolaan lingkungan hidupdilakukan melalui pendekatan terpadu dengan adanya penataan ruang maupun perlindungan unsur- unsur lingkungan hidup. Perubahan

“ Analisis kontrastif merupakan pendekatan dalam pengajaran bahasa yang menggunakan teknik membandingkan antara bahasa ibu (B1) dengan bahasa sasaran (B2) sehingga

Polisemi sering juga diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, biasanya juga frase) yang memiliki makna lebih dari satu (Chaer, 1989) seperti kata kepala dalam Bahasa Indonesia

Endang Rusyani (2008) dalam penelitiannya yang berjudul Pemerolehan Bahasa Indonesia Anak Usia 2,5 Tahun (Studi Kasus Terhadap Pemerolehan Bahasa Anak Usia Dini) menemukan

Penanggalan kata bahasa alay tersebut yaitu menggantikan kedudukan huruf vokal dengan tanda apostrof [‘] yang berfungsi sebagai pengganti kata yang ditanggalkan.. Selanjutnya

Berdasarkan pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa kata bantu bilangan dalam bahasa Indonesia adalah kata-kata yang menghubungkan kata bilangan dan nomina yang digunakan

adanya sikap keislaman penutur Loloan yang tidak akomodatif terhadap guyup, budaya, dan bahasa Bali. Penutur Loloan memiliki loyalitas tinggi terhadap bahasanya,