8 BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI
2.1Kajian Pustaka
Adapun penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan terkait dengan peparikan, analisis intertekstual dan makna yaitu dari :
1) I Ketut Ngurah Sulibra (2001), Tesisnya berjudul “Parikan Bubuksah
Gagangaking, Analisis Bentuk, Fungsi, dan Makna”. Dalam penelitiannya menggunakan teori struktural dan teori semiotik sosial. Teori yang digunakan merupakan kombinasi pendapat dari para ahli sastra. Metode yang digunakan dalam penelitiannya meliputi tahap penyediaan data yaitu, metode pengumpulan data, metode analisis data, dan metode penyajian hasil analisis
data. Parikan Bubuksah Gagangaking di bentuk oleh 10 pupuh yaitu pucung,
sarkara, sinom, ginanti, durma, pangkur, demungsawit, kumambang, smarandana, dan durma. Jumlah seluruh baitnya sebanyak 641 bait (lebih
kurang 38.911 suku kata). Bahasa yang digunakan untuk menuliskan Parikan
Bubuksah Gagangaking adalah bahasa Bali Kawi yakni bahasa Bali yang bercampur dengan bahasa Jawa Kuna (Kawi). Penggunaan bahasa Bali ini mengikuti kaidah-kaidah pragmatik bahasa Bali yakni penggunaan bahasa
Bali dalam sistem anggah-ungguhing basa. Penggunaan anggah-ungguhing
basa ini sesuai dengan konteks situasi (kapan dan dimana berbicara), siapa yang di ajak berbicara dan hal apa yang dibicarakan. Dalam analisis terhadap Parikan Bubuksah Gagangaking pemanfaatan majas yang digunakan adalah
9
majas perbandingan dengan gaya perumpamaan. Struktur Parikan Bubuksah
Gagangaking disajikan dalam tiga bagian yaitu awal (prolog), isi (confirmation) dan akhir (epilog). Fungsi wacana Parikan Bubuksah Gagangaking dikaitkan dengan fungsi sosial masyarakat sebagai sarana
afirmasi masyarakat Budha Mahayana Wajrayana atau disebut juga
Mahayana Kasogatan di Budakeling yang digolongkan ke dalam wangsa brahmana. Makna wacana Parikan Bubuksah Gagangaking adalah kesetiaan
akan brata (cara berpantangan). Wacana Parikan Bubuksah Gagangaking
menyiratkan keunggulan brata pendeta Budha (Bubuksah) jika dibandingkan
dengan dengan brata Siwa (Gagangaking) namun demikian akhirnya mereka
bertemu dengan Bhatara Guru (Dewa Siwa) sebagai dewa tertinggi dalam
Siwa Siddhanta. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa wacana Parikan Bubuksah Gagangaking mengajarkan doktrin Siwaistik oleh karena
sumbernya ajaran-ajaran dari Bhatara Guru.
Analisis Parikan Bubuksah Gagangaking, Analisis Bentuk, Fungsi dan Makna
ini dijadikan sebagai kajian pustaka karena adanya persamaan dari objek yang
diteliti berupa naskah peparikan dan dari segi analisis maknanya yang
sama-sama memiliki makna tentang kesetiaan akan brata, namun yang membedakan
dengan penelitian yang akan dilakukan adalah kajian intertekstualnya.
2) Dewi Rakhmawati (2007), Skripsinya berjudul “Kakawin Candrabhanu,
Sebuah Kajian Struktur dan Semiotik”. Dalam penyajian skripsi mengenai
10
mengenai struktur dari kakawin dan makna-makna yang terkandung dalam
Kakawin Candrabhanu saja. Analisis Kakawin Candrabhanu, Sebuah Kajian Struktur dan Semiotik ini dijadikan sebagai kajian pustaka karena adanya kesamaan dari judul objeknya yang sama-sama menceritakan sosok Data
Candrabhanu, yang membedakan di sini hanyalah genrenya saja, jika dalam
penelitian sebelumnya berupa kakawin dalam penelitian yang akan dilakukan
ini mengambil genre parwa dan peparikannya. Selain persamaan judulnya
kesamaan lainnya adalah sama-sama menggunakan teori semiotika untuk membedah makna-makna yang terkandung di dalamnya. Penelitian ini akan sangat berbeda dengan yang sudah dilakukan karena analisis pada penelitian ini menggunakan kajian intertekstual.
3) Cokorda Istri Sukrawati (2010), Tesisnya berjudul “Geguritan Candrabhanu,
Karya A.A. Istri Biyang Agung: Kajian Kritik Sastra Feminisme”. Dalam
penyajiannya dijelaskan bahwa Geguritan Candrabhanu merupakan salah satu
wujud penerusan tradisi dan pembaharuan yang telah dilakukan. Dari segi
tradisi penguasaan A.A. Istri Biyang Agung menguasai berbagai jenis metrum
dan prosodi tembang-tembang macapat yang sangat baik. Penguasaannya
dalam aspek bahasa dan budaya Bali sangat mengagumkan. Dari hal tersebut terlihat bahwa A.A. Istri Biyang Agung merupakan wanita pengarang yang
memiliki keistimewaan dan terpelajar. Melalui Geguritan Candrabhanu A.A.
Istri Biyang Agung berupaya mengangkat harkat dan martabat wanita, mendemitifikasi ideologi gender, yang selama ini senantiasa menganggap
11
bahwa wanita selalu kalah bila berhadapan dengan laki-laki. Melalui tokoh Diah Somawati, A.A. Istri Biyang Agung telah menunjukkan wanita bisa memiliki kemampuan yang melebihi kemampuan laki-laki dalam hal penguasaan pengetahuan spiritual dan kesaktian. Diah Somawati dilukiskan sebagai seorang wanita cantik, pintar, teguh, sakti, sopan, dan taat akan agama
yang dianut oleh kedua orang tuanya. Geguritan Candrabhanu ini berkaitan
dengan ajaran Budha Bairawa yang sering dikaitkan dengan praktek-praktek
magis yang mengerikan dan juga dianggap menjijikkan bagi sebagian orang.
Fungsi Geguritan Candrabhanu ini adalah untuk mengingatkan kembali
orang-orang zaman sekarang tentang suatu ajaran yang sangat penting dan
sudah mulai dilupakan orang. Berdasarkan kajian stilistika dalam geguritan ini
banyak ditemukan kata, frasa, dan kalimat yang memiliki kesan arkais (kuna) yang lebih menyerupai bahasa Bali Tengahan.
Analisis Geguritan Candrabhanu, Karya A.A. Istri Biyang Agung: Kajian
Kritik Sastra Feminisme ini dijadikan sebagai kajian pustaka karena kesamaan judul objek dan teks yang digunakan dalam penelitian, yang membedakan di sini hanyalah genre dari karyanya, hal lain yang membedakan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan adalah kajian yang dipergunakan. Dari segi genre yang digunakan, penulis kurang sependapat jika dalam penelitian sebelumnya mengenai kajian feminisme menyebutkan naskah itu sebagai geguritan. Padahal dilihat dari ciri-cirinya, meskipun sama-sama
12
babon yang lebih dahulu ada berupa naskah parwa sehingga sudah
sepantasnya karya tersebut disebut sebagai naskah peparikan.
4) Ni Wayan Anggaraniti (2011), Skripsinya berjudul “Kajian Interteks cerita
Parikesit dalam Adi Parwa dengan Geguritan Parikesit”. Dalam penelitiannya Geguritan Parikesit merupakan saduran yang ditransformasi dari cerita Parikesit dalam Adi Parwa. Hubungan intertekstual antara cerita Parikesit
dalam Adi Parwa dengan Geguritan Parikesit diungkap berdasarkan pertalian
serta perbedaan yang terdapat pada kedua cerita tersebut. Pertalian yang diungkap tersebut meliputi pertalian insiden, pertalian alur, pertalian latar, pertalian tokoh dan penokohan pertalian tema dan pertalian amanat. Dari hasil
perbandingan cerita Paikesit dalam Adi Parwa dengan Geguritan Parikesit
menunjukkan cerita Parikesit dalam Geguritan Parikesit bersumber dari cerita
Parikesit dalam Adi Parwa.
Analisis Kajian Interteks cerita Parikesit dalam Adi Parwa dengan Geguritan
Parikesit ini dijadikan kajian pustaka karena adanya kemiripan kajian yang digunakan yaitu sama-sama mengkaji secara intertekstualitas tetapi perbedaanya dengan penelitian yang akan dilakukan adalah dari analisis maknanya.
5) Ida Ayu Made Adrianita Dewi (2011), Skripsinya berjudul “Kajian Interteks,
Katuturan Pamargan Ida Batur Taskara dengan Geguritan Batur Taskara”. Dalam penelitiannya menggunakan Teori Struktur dan Teori Intertekstualitas. Metode yang digunakan meliputi tahap penyediaan data, analisis data dan
13
penyajian hasil analisis data. Dalam penyajiannya dipaparkan mengenai Teks Katuturan Pamargan Ida Batur Taskara, Teks Geguritan Batur Taskara dan
perkembangan Katuturan Pamargan Ida Batur Taskara dan Geguritan Batur
Taskara. Setelah itu dipaparkan mengenai struktur naratif dari naskah Katuturan Pamargan Ida Batur Taskara dan Geguritan Batur Taskara. Jika dilihat dari pertalian strukturnya keduanya dikatakan memiliki hubungan pertalian struktur yang meliputi pertalian insiden alur, latar, tokoh dan
penokohan, tema dan amanat. Pertalian struktur yang terjadi antara Katuturan
Pamargan Ida Batur Taskara dengan Geguritan Batur Taskara secara umum memiliki hubungan struktur yang sama, namun ada beberapa penambahan
maupun pengurangan yang dilakukan oleh pengarang Geguritan Batur
Taskara.
Analisis “Kajian Interteks, Katuturan Pamargan Ida Batur Taskara dengan
Geguritan Batur Taskara” ini dijadikan kajian pustaka karena adanya kemiripan kajian yang digunakan yaitu sama-sama mengkaji secara intertekstualitas tetapi perbedaanya dengan penelitian yang akan dilakukan adalah dari analisis maknanya.
6) I Nyoman Suwana (2011), Skripsinya berjudul “Tutur Siwagama dan Tantu
Pagelaran, Sebuah Kajian Intertekstualitas”. Dalam penelitiannya menggunakan teori struktur dan intertekstualitas dengan menggunakan metode penyediaan data, pengolahan data dan tahap penyajian hasil analisis data.
14
Siwagama yang berbentuk prosa dan memuat beberapa cerita yang ditampilkan berupa cerita berbingkai. Jika dilihat dari hubungan interteks
dalam hal keterkaitan cerita Tutur Siwagama dengan Tantu Pagelaran sebagai
teks hipogram adalah ekserp. Maka teks Tutur Siwagama tercipta berdasarkan
teks yang ada lebih dahulu, yakni Tantu Pagelaran salah satunya. Dalam teks
Tutur Siwagama terjadi penyalinan dari teks Tantu Pagelaran secara horizontal dan mengalami perubahan berupa ekserp serta adanya pelukisan lebih singkat. Pembahasan kajian interteks pada penelitian ini dilihat dari
cerita dalam Tutur Siwagama yang memiliki keterkaitan dengan cerita dalam
Tantu Pagelaran. Dalam hal ini analisisnya juga melihat pertalian dari segi strukturnya.
Analisis “Tutur Siwagama dan Tantu Pagelaran, Sebuah Kajian
Intertekstualitas” ini dijadikan kajian pustaka karena adanya kemiripan kajian
yang digunakan yaitu sama-sama mengkaji secara intertekstualitas tetapi perbedaanya dengan penelitian yang akan dilakukan adalah analisis maknanya.
Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa penelitian yang telah dilakukan dengan yang akan dilakukan memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaan dari analisis yang sudah dilakukan dan yang akan dilakukan yaitu sama-sama akan mengungkap hubungan intertekstual dengan melihat pertalian struktur dari naskah yang dipakai dengan menggunakan teori struktur dan teori interteks, sedangkan perbedaan dari analisis interteks yang sudah dilakukan
15
sebelumnya, belum membahas mengenai makna yang terkandung pada naskah yang dijadikan objek penelitian. Oleh karena itu penelitian ini harus dilakukan agar dapat mengetahui pertalian dari kedua objek dan makna yang terkandung di dalamnya.
2.2 Konsep
Konsep merupakan unsur-unsur pokok dari suatu pengertian, definisi, batasan secara singkat dari sekelompok fakta, gejala yang merupakan definisi dari apa yang perlu diamati dalam proses penelitian. Dalam penelitian ini akan diuraikan
beberapa konsep yang bermanfat bagi penelitian terhadap Par.DC dengan Pep.DC
yang akan dijelaskan sebagai berikut :
2.2.1 Parwa
Parwa merupakan proses yang diadaptasi dari bagian epos-epos dalam bahasa Sanskerta dan menunjukkan ketergantungannya dengan kutipan dari karya asli dalam bahasa Sanskerta; kutipan-kutipan tersebut tersebar di seluruh teks parwa itu (Zoetmulder, 1974:80). Cara membaca karya sastra parwa sama seperti
cara membaca phalawakya. Phalawakya (prosa liris) merupakan karya sastra yang
tidak diikat oleh labuh suara (guru laghu) dan lain-lain seperti yang terdapat pada
puisi Bali tradisional (Riken, 1996:426--427). Istilah phalawakya digunakan
untuk pembacaan teks-teks prosa (parwa) yang kemudian diterjemahkan. Istilah
phalawakya tidak jelas dari mana asalnya. Apakah berasal dari kata phala dan wakya, yang kalau makna masing-masing unsur kelompok kata tersebut berarti
16
wakya, maka makna yang didukungnya adalah kata-kata atau ucapan yang
berpahala atau berhasil. Namun yang jelas phalawakya ini dimaksudkan untuk
nama suatu kegiatan yaitu pembacaan teks-teks berbahasa Kawi (Jawa Kuna)
yang berbentuk prosa (parwa). Teknik pembacaan phalawakya biasanya
pengambilan suara sama dengan kakawin. Suara di pangkal lidah (bungkahing
jihwa) agak di atas kerongkongan. Pembacaan phalawakya juga memperhatikan guru laghu. Namun pengertian guru laghu di sini lebih mengacu pada intonasi bacaan. Intonasi bacaan dimaksudkan adalah penekanan atau pemenggalan bacaan
sehingga teks yang dibaca sudah ditangkap maknanya oleh penerjemah. Jadi guru
laghu dalam phalawakya tidak dimaksudkan aturan kualitas penekanan pada suku
kata seperti dalam kakawin tetapi hanya berupa penekanan atau pemenggalan
kalimat sehingga menciptakan suatu intonasi dan irama bacaan yang khas
(Warjana, 1997:86--87).
Pada zaman Dharmawangsa Teguh merupakan salah satu tonggak penting bagi perkembangan sastra Jawa Kuna. Raja Dharmawangsa Teguh diketahui
menjadi pelindung suatu proyek besar yang dinamakan Mangjawaken
Byasamanta yang artinya membahasa Jawakan ajaran-ajaran Bhagawan Byasa.
Bhagawan Byasa adalah pengarang kitab Mahabharata atau Astadasa Parwa (18
Parwa). Artinya pada masa itu telah dilakukan kegiatan mengalih-bahasakan kitab-kitab yang semula memakai bahasa Sanskerta menjadibahasa Jawa Kuna
(Agastia, 1994:45). Pada penelitian ini Parwa yang dijadikan objek penelitian
17
Peparikan Data Candrabhanu. Ciri-ciri parwa ini adalah tercerminnya paham
agama Hindu dan Budha, pola cerita dalam parwa ini bersumber pada cerita-cerita
India (terutama pada cerita Mahabharata). Pada parwa ini menceritakan seorang
raja yang memerintah di Negeri Tasikmalaya bernama Prabhu Data Candrabhanu yang memiliki istri bernama Sang Dewi Wirasanti dan memiliki putri cantik yang
bernama Diah Somawati. Ketiganya dikatakan sangat sakti karena
keberhasilannya dalam yoga semedi dan diyakini memegang teguh ajaran Buda
Bairawa. Cerita dalam parwa ini diceritakan sampai kemenangan Hastina melawan Tasikmalaya.
2.2.2 Peparikan
Parikan berasal dari kata pari, pari artinya padi. Zaman dahulu, apabila ada pekerjaan disawah, terutama pada musim panennya. Pada umumnya setelah pekerjaan itu selesai, maka mereka membuat upacara disertai dengan
nyanyian-nyanyian yang gembira. Dari kata pari itu mendapat tekanan suara –k, yang
kemudian menjadi suara parik. Yang akhirnya mendapat akhiran –an. Menjadi
parikan. Selanjutnya pengertian dari kata parikan itu berubah. Kini pengertian
kata parikan itu, khusus yang dimaksud ialah petikan dari kakawin-kakawin serta
dilagukan dengan memakai tembang macapat (Ginarsa, 2009:24).
Peparikan artinya saduran (Anom, 2009:512). Saduran itu hampir sama dengan menterjemahkan, yaitu sama-sama mengalih bahasakan dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain. Bedanya ialah dalam menerjemahkan, si penerjemah tidak mengadakan perubahan apa-apa dari yang aslinya, sedangkan dalam
18
menyadur atau memarik si penyadur bebas. Tak perlu terjemahannya sama benar
dengan aslinya, boleh dikatakan terjemahannya bebas. Si penyadur boleh mengubah, menambah, mengurangi sesuai dengan keinginan/idenya. Dalam menyadur cerita nama tokoh-tokoh boleh diganti, tempat lokasi cerita juga boleh diganti.
Jadi menuliskan kembali sebuah karangan dari satu bentuk ke bentuk lain
juga disebut menyadur (=memarik). Misalnya dari bentuk puisi (tembang)
menjadi prosa (gancaran) atau sebaliknya. Di Bali umumnya yang disebut
peparikan ialah nyanyian-nyanyian yang merupakan petikan dari kekawin-kekawin maupun parwa dan digubah dengan tembang-tembang macapat (Tinggen, 1998:32--33).
Pada penelitian ini peparikan yang dijadikan objek penelitian adalah
Peparikan Data Candrabhanu karya Anak Agung Istri Biyang Agung, naskah ini
mempergunakan campuran bahasa Bali Tengahan, yang mana peparikan ini
dibentuk oleh 6 jenis pupuh yaitu Pupuh Sinom yang terdiri dari 63 pada, Pupuh
Pangkur yang terdiri dari 54 pada, Pupuh Durmma terdiri dari 123 pada, Pupuh Dangdang yang terdiri dari 21 pada, Pupuh Semarandana yang terdiri dari 19
pada, dan Pupuh Ginanti yang terdiri dari 13 pada. Dalam penulisan pupuh
-pupuhnya, terkadang juga menggunakan enjabement sebagai salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan konvensi pupuh tersebut.
Pada peparikan ini ceritanya hampir sama dengan cerita yang terdapat
19
sampai Sang Arjuna kalah berperang, kemudian memutuskan untuk kembali ke Hastina, dan akan menyerang negeri Tasikmalaya.
2.2.3 Intertekstual
Kajian intertekstualitas dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks sastra yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu, misalnya untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik seperti ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan, gaya bahasa, dan lainnya di antara teks yang dikaji. Secara khusus dapat dikatakan bahwa kajian interteks berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya pada karya yang muncul kemudian.
Teori intertekstual memandang setiap teks sastra perlu dibaca dengan latar belakang teks-teks lain, dalam arti bahwa penciptaan dan pembacaan sastra tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks lain sebagai acuan. Hubungan intertekstual adalah hubungan antarkarya dan juga penandaan partisipasinya dalam lingkup diskursif budaya. Dalam pengertian sesungguhnya, interteks pada umumnya dibatasi sebagai hubungan yang bermakna di antara teks-teks sastra, baik lama maupun modern, baik lisan maupun tulisan (Ratna, 2004:131).
2.2.4 Shiwa Buddha
Shiwa dan Buddha adalah dua agama yang lahir di Bharatawarsa, India. Walaupun demikian, catatan sejarah di India dan Indonesia tentang kedua agama ini menunjukkan hal yang sangat bertolak belakang. Di India, kedua agama ini terlibat dalam perdebatan dan pertentangan yang hebat, bahkan menjadi salah satu
20
catatan kelam dalam sejarah India. Sebaliknya, di Indonesia kedua agama ini hidup berdampingan dan mencapai puncak harmonisasi dengan lahirnya agama
baru, yakni Shiwa-Buddha. Perbedaan ini menarik untuk dikaji secara lebih
mendalam terutama dengan pendekatan ilmu sejarah. Pendekatan ilmu sejarah mendasarkan kebenaran pada bukti-bukti sejarah yang otentik dan didukung dengan fakta-fakta keagamaan hasil catatan para ahli sejarah, arkeologi, kesusasteraan, dan Indologi. Sejarah juga mengungkap prinsip-prinsip ajaran yang mempertentangkan dan mendekatkan kedua agama tersebut pada setiap periode. Data sejarah tersebut kemudian dianalisis untuk melihat kemunculan dan
perkembangan ajaran Shiwa-Buddha, baik di India maupun di Indonesia.
Untuk mengungkap perkembangan Shiwa dan Buddha di India tampaknya
tidak dapat dilepaskan dari evolusi agama Hindu terutama pada zaman Brahmana.
Mengingat ajaran Shiwa maupun Buddha sama-sama lahir dan berkembang pada
zaman ini. Ajaran Shiwa merupakan kelanjutan dari agama pra-Weda yang
kemudian berakulturasi dengan agama Weda terutama pada zaman Brahmana (Brahmanical religion). Sebaliknya, ajaran Buddha dibangun oleh Siddharta Gautama untuk menentang sejumlah aspek dari agama Hindu khususnya Brahmanisme. Perbedaan prinsip ajaran ini melahirkan pertentangan keagamaan,
bahkan pergolakan politik di India. Penentangan terhadap ajaran Buddha di India
terutama dilakukan oleh mazhab Shiwa dan Waishnawa, serta golongan Wedantis
lainnya. Selain itu, pengaruh kuat dari ajaran Tantrayana juga turut memberikan
21
India. Sebaliknya, agama Buddha juga mendorong munculnya perbedaan prinsip
ajaran antara Shiwa dan Waishnawa pada masa kemudian. Artinya, kontestasi
keagamaan mewarnai perkembangan ajaran Shiwa-Buddha di India.
Apabila perkembangan ajaran Shiwa dan Buddha di India diwarnai dengan
pertentangan yang hebat, justru di Indonesia menunjukkan hal yang sungguh bertolak belakang. Kedua agama ini berkembang dalam suasana yang toleran dan harmonis. Kedua agama ini sama-sama mengalami perkembangan yang pesat dan hidup berdampingan. Malahan kedua agama ini berhasil membangun koalisi dan
sinkretisme ajaran sehingga melahirkan agama baru, yakni Shiwa-Buddha.
Pengakuan pada ke-Shiwa-an dan ke-Buddha-an sebagai Prinsip Tertinggi yang
tunggal merupakan puncak penyatuan dua agama ini. Perkembangan
Shiwa-Buddha di Indonesia menunjukkan betapa kebijaksanaan leluhur di masa lampau
telah berhasil mempersatukan kebhinekaan beragama. Penyatuan Shiwa-Buddha
ini bahkan tidak pernah terjadi di tanah kelahirannya – India (Phalgunadi, 2013 : 1--2).
2.3 Landasan Teori
Teori berasal dari kata theoria (bahasa Latin). Secara etimologi teori berarti
kontemplasi terhadap kosmos dan realitas. Teori berarti perangkat pengertian, konsep, preposisi yang mempunyai korelasi dan telah teruji kebenarannya. Teori berfungsi untuk mengubah dan membangun pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan (Ratna, 2004:1--2). Dari apa yang akan dianalisis dalam penelitian ini dibutuhkan suatu teori yang akan digunakan untuk mempermudah penelitian
22
terhadap objek ini. Ada tiga teori yang dipakai yaitu teori struktural, teori intertekstual, dan teori semiotika.
Pertama-tama akan dibahas mengenai teori struktural. Secara etimologi
struktur berasal dari kata structura, bahasa Latin, yang berarti bentuk atau
bangunan (Kutha Ratna, 2004:88). Dalam menganalisis karya sastra secara terstruktur yang paling cocok digunakan itu dengan menganalisis secara struktural. Analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetail, dan mendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teuuw, 1984:135). Pada bagian lain, Teeuw mengatakan bahwa pendekatan struktural merupakan langkah awal yang sulit dihindari karena pendekatan struktural merupakan tugas prioritas sebagai pekerjaan pendahuluan (Teeuw, 1984:154). Di dalam strukturalisme terdapat anggapan bahwa teks mempunyai struktur yang bulat dan utuh. Teori struktural adalah teori yang menganalisis unsur-unsur yang terkandung dalam karya sastra. Unsur-unsur tersebut berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya sekaligus membangun struktur sebuah cerita.
Intertekstual pertama kali dikembangkan oleh peneliti Prancis yang bernama Julia Kristeva. Pendekatan intertekstual mempunyai prinsip dasar bahwa setiap teks merupakan satu produktivitas (Suarka, 2007a:20). Secara luas interteks sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks lain. Lebih dari itu, teks
23
tenunan, anyaman, penggabungan, susunan, dan jalinan. Produksi makna terjadi dalam interteks, yaitu melalui proses oposisi, permutasi dan transformasi (Ratna, 2004:172). Dari beberapa pandangan tokoh mengenai pengertian teori struktural yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengertian teori struktural dari Teeuw. Selanjutnya Kristeva (dalam Junus, 1985:88) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan intertekstualitas adalah kehadiran suatu teks dalam teks lain. Langkah kerja intertekstualitas dirumuskan dengan konsep sebagai berikut : (1) Pandangan akan kehadiran secara fisikal suatu teks dalam teks lainnya, (2) pengertian teks bukan hanya sebatas pada cerita, tetapi juga mungkin berupa teks bahasa, (3) kehadiran teks tidak selalu bersifat fisikal dalam teks lainnya seperti dengan menampilkan secara nyata judul yang sama dari teks itu sendiri, namun juga dapat dikesankan melalui adanya petunjuk yang menunjukan bab (persambungan dan pemisahan) antara satu teks dengan teks lainnya yang telah terbit lebih dahulu, (4) dalam membaca suatu teks sebaiknya berdampingan dengan teks-teks lainnya untuk memudahkan dalam interpretasi. Dengan interpretasi itu akan dapat dilihat berbagai kemungkinan yang ada pada teks. Dari beberapa pandangan tokoh mengenai pengertian teori interteks yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengertian teori interteks dari Kristeva.
Semiotika adalah suatu bidang studi yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi melalui sarana tanda-tanda dan berdasarkan pada sistem tanda atau juga bisa berarti ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Artinya semua yang hadir dalam kehidupan kita lihat sebagai tanda, yakni sesuatu
24
yang harus kita beri makna (Hoed, 2008:3). Semiotika adalah studi tentang tanda dan segalanya yang berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya (Sudjiman, 1992:9). Dari beberapa pandangan tokoh mengenai pengertian teori semiotika yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengertian teori semiotika dari Sudjiman.
Dari pemaparan di atas, penelitian terhadap naskah Par.DC dan Pep.DC
menggunakan tiga macam teori yaitu teori struktural, teori intertekstual, dan teori
semiotika. Pada penelitian ini akan ditekankan mengenai hubungan antara Par.DC
dengan Pep.DC melalui kajian interteks dengan melihat pertalian isi dan