• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN. Penelitian tentang arkeologi rumah makan Padang dalam karya Sakai dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN. Penelitian tentang arkeologi rumah makan Padang dalam karya Sakai dalam"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

2.1. Kajian Pustaka

Penelitian tentang arkeologi rumah makan Padang dalam karya Sakai dalam tataran kajian sastra cultural studies sastra dan postpositivistik sejauh ini belum pernah ada, karena kajian ini termasuk baru dalam dekade terakhir ini. Di samping itu, dalam berbagai literatur dapat ditelusuri persoalan kajian lebih luas dan umum dengan konteks kebudayaan Minangkabau (sebagai ranah arkeologi rumah makan Padang) masih merupakan penelitian positivistik. Kajian-kajian positivisme pada hakekatnya merupakan gelombang kebudayaan global terhadap kebudayaan Minangkabau. Apabila ditelusuri jauh sebelum gelombang positivisme, kebudayaan Minangkabau sudah mendapat gempuran yang dahsyat dalam sejarahnya.

Gempuran itu terjadi; pertama oleh persoalan perang Candu/Tuak (1784-1847) yang disebut oleh Belanda dengan perang Padri (Hadler,2010b:14), yang kedua oleh Al Minangkabawi (pada tahun 1852), ulama Minangkabau yang menetap di Mekkah, dikenal dengan nama Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi (Hadler,2010b:13). Menurut Al Minangkabawi; kebudayaan Minangkabau bertentangan dengan Islam terutama persoalan hukum waris, ketiga Hamka (1946) dengan bukunya "Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi" dengan mengatakan bahwa kebudayaan Minangkabau sudah selayaknya

(2)

direvolusi kerana tidak sesuai dengan dunia modern dan Islam (Mansoer dkk., 1970:40-67).

Adapun yang keempat; sudah dapat dikatakan gelombang positivisme, yakni oleh Parlindungan (1964:516), dengan tesisnya, yang mengatakan bahwa bangsa Minangkabau tidak mempunyai sejarah, kemudian dibantah oleh Hamka (pada tahun 1974), selanjutnya terjadi perdebatan. Hamka mengatakan isi buku Tuanku Rao adalah 80 persen bohong, sedangkan sisanya diragukan kebenarannya. Pasalnya, setiap kali Hamka menanyakan data dan fakta buku itu, Parlindungan selalu menjawab, ”Sudah dibakar”, jawaban yang jelas sekali sangat tidak faktual, secara ilmiah modern jawaban itu menghancurkan tesis Parlinduangan itu sendiri. Dari serangan Parlindungan itulah para sejarawan, Mansoer dkk. (1970:38-39), menulis buku Sejarah Minangkabau. Namun pada intinya buku sejarah itu mengukuhkan salah satu tesis Parlindungan, yang merupakan perwujudan dari tesis positivisme, bahwa jati diri bangsa Minangkabau yang tertuang dalam Tambo, hanyalah mitos, karya sastra, khayalan dan dusta belaka.

Parlindungan (1964:516) dengan bangga menjatuhkan bangsa Minangkabau sebagai bangsa barbar, yang tidak mempunyai sejarah, ketika bangsa Minangkabau baru selesai melahirkan generasi pendiri bangsa (faunding father) Indonesia. Hal ini menarik, Parlindungan mementahkan arti keberadaan para faunding father Indonesia. Tindakan Parlindungan itu dapat dibaca sebagai suatu usaha diskursus untuk mengukuhkan bahwa bangsa Minangkabau walau sudah melahirkan faunding father Indonesia, sesungguhnya suatu bangsa yang tidak punya arti apa-apa, barbar, dilukiskan sebagai bangsa biadab. Kendati

(3)

Parlindungan pada akhirnya tidak mampu menjawab argumentasi Hamka, namun tesis Parlindungan kembali dikukuhkan Mansoer dkk., (1970:38-39) dalam buku Sejarah Minangkabau. Begitu juga kelompok intelektual bersama penerbit Lkis kembali mencoba mengukuhkan diskursus ini tahun 2010, dengan menerbitkan kembali dengan jilid keras yang mewah, memberikan stigma seolah ini merupakan fakta yang valid dan ilmiah sekali.

Sampai tahun 2000-an, kekerasan epistemik terhadap kebudayaan Minangkabau semakin kuat. Sebagaimana dilakukan oleh Zubir, dkk. dengan penelitiannya, dan penelitian Bahar (2004:285) yang masih positivistik, dalam penelitian itu dinyatakan bahwa sistem kebudayaan matrilineal (Minangkabau) melakukan kekerasan terhadap perempuan (bukan oknum-oknum yang melakukan penyelewengan terhadap sistem itu). Penelitian itu menyimpulkan bahwa fenomena yang terjadi bukan penyelewengan manusianya tetapi kekejaman sistem, tesis ini sama dengan penelitian Setyawati (dalam Herwandi, ed. 2007:30). Hal itu menjadi aneh, adapun yang menjadi persoalan adalah kasus penyelewengan manusia terhadap sistem, akan tetapi sistem yang disalahkan bukan manusia yang melakukan penyelewengan, melainkan sistem.

Penelitian Nadra (Herwandi,ed.2006:48-64) yang tetap mengukuhkan bahwa inti kebudayaan Minangkabau, yakni Tambo adalah dusta, khayal, dan mitos, dengan mengatakan bahwa Pariangan bukanlah “negeri tertua” di Minangkabau, hal ini sejalan dengan penelitian ilmiah postivistik Herwandi (Herwandi,2006:01-12). Penelitian itu bersikukuh bahwa kata “tua” merupakan pengertian harfiah, atau umur, padahal dalam Tambo pengertian “tua” merupakan

(4)

metafora. Keempat pakar itu, masih dalam paradigma positivistik, dengan demikian, tentu saja masih dalam lingkaran kolonialisme epistemologi.

Puncak dari diskursus kekerasan epistemik itu dilakukan oleh Bahar (2004:284,285,291) dengan tesis yang menjastifikasi bahwa sistem kebudayaan Minangkabau, yakni sistem matrilineal adalah sistem kriminal, sistem yang melanggar hukum Indonesia dan HAM, yang wajib ditukar dengan sistem patrilineal atau sistem parental plus. Bahar dan kawan-kawan dengan organisasi Gebu Minang (Gerakan Seribu Minangkabau) hendak mengambil seluruh kekuasaan kebudayaan Minang dan merobah kebudayaan matrilineal Minangkabau dengan diskursus metode sistematik politis, yakni mengadakan Kongres Kebudayaan Minangkabau. Kongres itu gagal, ditolak di ranah Minangkabau (Singgalang, 9/12/2010).

Di samping itu, kajian-kajian Minangkabau juga dilakukan dalam bentuk disertasi. Adapun kajian itu, antara lain dilakukan Djamaris (1979), dengan disertasinya Tambo Minangkabau, dia membahas persoalan kebudayaan Minangkabau dari kajian filologi modern, yakni kajian struktural. Namun jelas ini pembahasan naskah Tambo yang representatif dalam kajian ilmiah positivisme. Hadler (2010a), dalam disertasinya Muslim and Matriarchs: Cultural Resilience in Indonesia through Jihad and Colonialsm, membahas tentang dinamika politik, dan bagaimana sistem matrilineal bertahan, akan tetapi Hadler tidak berhasil mengungkapkan apa esensi sesungguhnya dari matrilineal secara filosofis, karena Hadler masih terjebak dalam kaitan ilmiah modern positivistik.

(5)

Drakard (1998), dengan disertasinya A Kingdom of Word Language and Power in Sumatra, membahas hakekat kerajaan dalam kebudayaan Minangkabau yang hadir dalam kata-kata (wacana). Dalam kenyataan, kerajaan hanya diperlakukan sebagai simbol namun tidak mempunyai kekuasaan. Sayang Drakard, meligitimasi bahwa realitas masa lalu Minangkabau ditentukan oleh sumber-sumber Eropa. Memang demikian yang banyak dilakukan oleh banyak sarjana sesudah kemerdekaan, barangkali hal itu akibat dari paradigma positivisme, yang selalu melihat dunia timur dari kaca mata Eropa.

Lain lagi dengan Pauka (1995), dengan disertasinya Conflict and Combat in Performance: an Analysis of the Randai Folk Theatre of the Minangkabau in West Sumatra, membahas kebudayaan Minangkabau dari kesenian randai, namun dia masih dalam pembahasan struktural modernisme dan tidak sampai kepada pengungkapan bagaimana filosofi kebudayaan Minangkabau dari pijakan randai yang intinya berdasarkan agama Islam. Johnston-O‟Neill (2000), dengan disertasinya Disenchanting Revolutions from Sati Power to Practical Purpose a Cultural History of the Present of an Indonesian Minangkabau Village, membahas dalam kajian ilmiah modernisme bagaimana terjadi revolusi fisik dan pemikiran gejolak di panggung sejarah, dalam penelitian tentang nagari Kamang. Di samping itu, Evelyn (1993) dengan disertasinya The Politics of Daily life: Gender, kinship, and identity in a Minangkabau Village, West Sumatra, Indonesia, membahas kebudayaan Minangkabau dari kaca mata pendekatan feminis barat, ilmiah positivistik, dia melihat bagaimana terjadi konflik antara kebudayaan Minangkabau dengan modernisasi dan agama dan negara.

(6)

Pergolakan antara muslim tradisional yang disebut dengan kaum Tua dengan muslim modern, dibahas Rais (1994) secara ilmiah modernisme dengan tesisnya The Minangkabau Traditionalists’ Response to the Modernist Movement, di Minangkabau dikatakannya terjadi dinamika harmoni antara adat atau budaya dengan Islam. Krier (1994), dengan disertasinya Displacing distinction: Political Processes in the Minangkabau Backcountry, membahas peranan gender di balik proses kekuasaan politik di Minangkabau, dia masih melihat dari paradigma modern postivistik.

Kajian perspektif ekonomi dalam gejolak politik, adat dan agama, dilakukan Dobbin (2008), dalam bukunya Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam dan Gerakan Padri Minangkabau 1784-1847, Dobbin melihat titik persoalan secara ilmiah postivistik pada perebutan lahan perekonomian, tetapi Dobbin juga melihat pada awalnya gerakan agama sebagai suatu bentuk kekerasan keagamaan, tetapi bukan tidak mungkin ada kepentingan ekonomi juga dibelakangnya, namun Dobbin tidak membicarakan hakekat filosofisnya.

Adapun kajian tentang tradisi merantau dilakukan Kato (2005), dalam penelitiannya; Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah. Kato lebih menekankan bagaimana kelebihan tradisi Merantau sebagai suatu bentuk kekuatan yang lain untuk mempertahankan (resistensi) kebudayaan Minangkabau. Kajiannya lebih mendalam daripada disertasi Naim (1979) yang juga membahas tentang merantau, yakni; Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau, namun sayang bukan kajian postmodernisme.

(7)

Di samping itu, kajian deskriptif yang dapat direkomendasi sebagai bacaan wajib tentang kebudayaan Minangkabau yang representatif merupakan buku Navis (1984), yakni Alam Terkembang jadi Guru Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Di samping itu, paparan yang bersifat menghimpun tentang perkembangan dinamika bangsa Minangkabau dilakukan Kahin (2008) dalam bukunya Dari Pemberontakan ke Integrasi Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926-1998. Namun Zed dan kawan-kawan (1998) dalam penelitiannya yang bertajuk; Sumatra Barat di Panggung Sejarah 1945 -1995, tidak kalah hebatnya.

Dengan kajian pustaka ini dapat dipahami, penelitian disertasi ini jelas melihat persoalan dari perspektif yang sudah berbeda, karena kajian ini merupakan kajian dalam perspektif post-positivistik atau postmodernistik. Posisi kajian ini, lebih tepatnya, merupakan kajian sastra cultural studies, suatu kajian kebudayaan yang sudah berada dalam tataran post-modernisme. Penelitian disertasi yang dilakukan oleh Djamaris (1979), Hadler (2010a), Drakard (1998), Pauka (1995), Johnston-O‟Neill (2000), Evelyn (1993), Evelyn (1993), Rais (1994), Krier (1994), Dobbin (2008), Kato (2005), Naim (1979), Kahin (2008), merupakan kajian dalam paradigma positivistik modernisme.

Belum ada kajian sastra cultural studies (kajian budaya) tentang diskursus arkeologi rumah makan Padang dalam konteks kebudayan Minangkabau, begitu juga kajian sastra cultural studies (kajian budaya) terhadap novel Ular Keempat karya Sakai, hal ini disebabkan karya Sakai merupakan karya yang baru dan terdepan dalam dekade ini. Dengan demikian secara substansi, yakni secara teoritik, empiris, serta lokus dan pokus kajian ini sudah jauh berbeda dengan

(8)

penelitian yang dilakukan sebelum ini. Penelitian sebelumnya dalam kajian postivistik modernisme adapun kajian ini dalam paradigma post-positivistik postmodern.

2.2. Konsep

Konsep memiliki peran penting dalam penelitian terutama pada tataran teoritis, karena pondasi teori dalam kajian berdiri di atas konsep tersebut. Posisi konsep tersebut nantinya secara teoritis merupakan rangkaian pernyataan (proposisi) yang merupakan relasi kajian cultural studies sastra.

2.2.1. Cultural Studies sastra

Konsep dalam cultural studies sastra, antara lain (1) cultural studies (2) tanda, (3) representasi, (4) teks, (5) artikulasi, (6) emansipatoris, (7) diskursus (Sardar dan Loon,1997:9-23, Barker, 2004:8-36). Inilah gambaran mental dari cultural studies sastra, yang menjadi abstraksi atau istilah-istilah yang melambangkan ide, orang, benda atau peristiwa. Cultural studies merupakan kajian budaya dan praktek budaya yang berkaitan dengan kekuasaan, mengungkapkan relasi kekuasaan yang berhubungan dan mempengaruhi kebudayaan, dalam konteks sosial-politik dimana masalah kebudayaan itu tumbuh dan berkembang. Cultural studies berupaya mendamaikan dan mengatasi perpecahan antara bentuk pengetahuan intuitif budaya lokal dan kebudayaan yang lebih luas. Studi kebudayaan cultural studies merupakan praktek signifikasi representasi, dengan mengeksplorasi pembentukan makna pada beragam konteks.

(9)

Analisis praktek budaya pada cultural studies berupaya guna membongkar praktek kuasa yang terkait dengan produksi makna (Barker, 2004:8-12).

Istilah cultural studies diciptakan oleh Richard Hoggart dan Stuart Hall pada tahun 1964 ketika ia mendirikan Birmingham Pusat Studi Kontemporer Budaya atau CCCS. Budaya dikaji dalam cultural studies selalu dalam tradisi kritis, maksudnya kajian itu tidak hanya bertujuan merumuskan formulasi kebudayaan, akan tetapi juga sebagai suatu yang praksis yang bersifat emansipatoris. Secara praksis cultural studies tidak hanya bertujuan memahami realitas kebudayaan, namun juga merubah diskursus epistime struktur dominasi, struktur sosial-budaya yang menindas, terutama pada masyarakat kapitalis-industrial (Sardar & Van Loon, 2001:9)

Kebudayaan dalam cultural studies (Sardar dan Loon,1997:3) adalah permasalahan praktik budaya dan hubungannya dengan kekuasaan, dan bagaimana hubungan tersebut mempengaruhi dan membentuk praktik budaya. Memahami bentuk yang kebudayaan kompleks yang tidak bebas nilai, mengubah struktur dominasi di mana-mana, sebagaimana dalam masyarakat kapitalis industrial.

Secara etimologi dalam konteks ke-Indonesian, budaya dari kata Sanskerta; buddhayah, bentuk jamak dari buddhi yang berarti "budi" atau "kekal". Menurut Bakker kata kebudayaan dari "abhyudaya", "abhyudaya" menurut Sanskrit Dictionary (Macdonell, 1954) : Hasil baik, kemajuan, kemakmuran yang serba Iengkap. Di samping kebudayaan mempunyai nilai “kuasa”, sebagaimana diungkapkan Foucault (Barker,2004a:6,21), dalam cultural studies pemahaman

(10)

kebudayaan bukan dalam tataran obyektif positivistik yang netral, dia selalu berada dalam tataran praktek politik atau kekuasaan. Budaya sudah merupakan pertanyaan bagaimana masyarakat memahami dunia, bersamaan dengan bagaimana mereka dihasilkan melalui tanda-tanda. Bagaimana manusia dibentuk dan diproduksi oleh tanda-tanda itu sendiri, bahwa kekuasan bukan hanya persoalan manusia tetapi bagaimana manusia dikuasai oleh tanda, dan kekuasan berada pada tanda-tanda, bagaimana manusia dipresentasikan atau diartikulasikan. Kebudayaan erat hubungannya dengan sumber daya ekonomi, politik dan kekuasaan dan bagaimana diberi makna dan pemanipulasian, serta kontrol produksi (Barker,2004a:9). Sementara Durkheim dan Saussure (Barker,2004a:17, Ricoeur,2005;16) meletakan budaya dalam kerangka positivistik, sehingga kebudayaan di lihat dalam kerangka mekanik, dan tentu saja kerangka fakta sosial dan struktural anti-humanis. Sementara kebudayaan dalam cultural studies sudah berada dalam paradigma post-positivistik, bahwa kebudayaan bukan dalam wacana adi luhung, agung, obyektif dan pasti, yang lebih ditekankan pada persoalan artefak atau benda konkret.

Segala sesuatu yang hadir dan dihadirkan sebagai sesuatu yang bukan dirinya, inilah konsep tanda (Danesi, 2010:7). Tanda bisa merupakan isyarat, kode, warna, kedipan mata, bahasa dan matematik, bahkan ilmu pengetahuan dikomunikasikan dengan tanda, tanpa tanda ilmu pengetahuan menjadi lumpuh. Tanda menghadirkan sesuatu yang tidak hadir, tanda mengganti apa yang tidak hadir (Berten, 1985:494). Kehadiran segala sesuatu bukanlah untuk dirinya tetapi untuk yang lain sebelum dirinya. Dengan demikian kehadiran segala sesuatu

(11)

merupakan tanda (pengganti kehadiran) untuk yang lain. Tanda pada hakekatnya menjadi konsep dasar dalam ilmu pengetahuan postmodern, dan ini salah satu menjadi pembeda dengan ilmu pengetahuan modern atau positivistik. Pada awalnya tanda diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Pierce, di samping dapat ditelusuri akarnya pada filsafat Yunani. Rumah ilmu dari tanda adalah semiotika, linguistik dan sastra, kemudian baru hadir ke ranah filsafat dan postmodernisme, yang di dalamnya termasuk cultural studies.

Konsep teks merupakan persoalan bagaimana kehadiran tanda sebagai suatu jaringan (Berten, 1985:496). Teks sebagaimana dalam bahasa latin disebut dengan tenun (texere), dengan demikian tidak ada suatu teks yang terisolir, selalu berkaitan dengan teks lain, suatu intertekstualitas. Teks merupakan jaringan tanda, yang menyatakan bahwa kehadirannya baru berarti atau bermakna dengan bersama dengan jaringan, tanpa jaringan (teks), tanda tidak berarti apa-apa, dan itu mustahil untuk hadir.

Representasi merupakan konsep bagaimana dunia dikonstruksi dan dihadirkan kembali dengan sesuatu yang mewakili dirinya. Kehadiran ulang atau kehadiran yang diwakilkan (Said, 1996:27,28). Representasi dapat juga disebut praktik pembingkaian makna, suatu proses pembentukan tafsir secara kontekstual dalam beragam konteks, ia bisa berupa bunyi, prasasti, buku, majalah, tanda, televisi. Semua itu juga dikaji dalam persoalan bagaimana ditampilkan (dibingkai), disajikan, diproduksi, digunakan, dipahami dan diperlakukan sebagai proses pemaknaan. Represenatsi juga suatu kekuasaan, strategi, relasi, sehingga dia sebut juga dengan politik represntasi (Barker, 2014:255).

(12)

Artikulasi (Barker, 2004:86) merupakan konsep yang begitu rapi, ia berarti mengujarkan, mengemukakan, yang pada mulanya merupakan konsep linguistik, namun dalam konsep cultural studies mengusung suatu logika pembahasan, pengekspresian berupa suatu kesatuan dari dua unsur yang berbeda namun dapat bermakna ganda pada kondisi-kondisi tertentu, maka representasi sesuatu ditentukan dengan bagaimana ia diartikulasikan dalam suatu kondisi budaya. Bagaimana diartikualsikan itulah yang yang disebut dengan politik artikulasi, terutama menyangkut identitas, ras, agama, ideologi, budaya dan bangsa. Cultural studies menganalisis bagaimana artikulasi direpresentasikan, diilustrasikan dalam berbagai parktik yang saling berkait sebagai suatu jaringan kekuasaan.

bersatunya konsep-konsep diskursus yang bersifat sementara tetapi tidak berjalan bersama sehingga menjadi suatu hubungan yang bisa jadi (atau tidak) membentuk suatu kesatuan dari dua unsur yang berbeda dalam kondisi tertetnu (Barker, 2014:12). Suatu kondisi yang berupa mengekpresikan, merepresentasikan sekaligus menyatukan, dapat juga dipahami proses pemahaman realitas yang ditimbulkan oleh banyak sumber ini. Sebagaimana artikulasi kesatuan identitas hadir dalam berbagai unsur yang berbeda atau terpisah dalam kondisi bersamaan, atau konteks histris dan budaya tertentu dengan berbagain cara.

Inilah yang merupakan salah satu konssep dasar dari Cultural Studies bahwa pengetahuan tidaklah hadir sebagai sesuatu yang netral, paling tidak keberpihakan merupakan hal yang tidak dapat dihindari, tidak berpihak merupakan suatu keberpihakan juga. Konsep ini tentang posisi dan bagaimana bersikap pada kelompok sosial budaya yang terpinggirkan, kelas, gender dan ras,

(13)

dan banyak hal dalam sosial budaya tertindas dan terpinggirkan (Berker, 2004:6). Sesungguhnya konstruksi pengetahuan pada hakekatnya merupakan praktik politik menuju katarsis inilah yang disebut dengan emansipatoris (Hardiman, 2009:22).

Kerangka seperti inilah yang membuat cultural studies berada dalam tataran paradigma postmodernisme, sebagaimana juga teori-teori kritis yang menerima emansispasi kemanusiaan dalam dunia ilmu pengetahuan. Emansipatoris hadir mempunyai relasi yang kuat sebagai akibat dari karakter teks yang merupakan suatu jaringan tanda dengan berbagai tanda dalam referensial dan kontekstual. Inilah pengayaan estetika yang tidak mungkin diperoleh oleh epistime estetika tubuh kaum struktural (Enin, 2002:176).

Kosep diskursus dalam pengertian cultural studies, merupakan konsep Foucault, yakni menyatukan bahasa dengan praktik kekuasaan, mengacu kepada produksi pengetahuan melalui operasi kekuasaan dalam praktik sosial (Barker, 2004:81). Semua itu berkaitan erat secara langsung dengan persoalan kekuasan politik sejarah dan waktu dibalik itu pada penggunaan bahasa menindas dan memenjarakan manusia. Oleh sebab itu dapat dipahami, konsep diskursus di sini dibedakan dengan konsep wacana dalam tataran linguistik (Piliang, 1999:55).

Adapun yang membedakannya dengan tataran linguistik, konsep diskursus adalah persoalan relasi dan strategi kekuasaan dalam praktik-praktik konstruksi subyek dan dunia, sehingga dunia mengkonstruksi ulang subyek secara sistematis. Kekuasaan di sini tidak mengacu pada apa yang dimaksud oleh sistem politik pada umumnya, melainkan kekuasaan dalam pengertian strategi dan relasi, serta

(14)

kompleksitas yang tersebar dalam masyarakat yang berhubungan erat dengan pengetahuan. Karena diskursus bekarja dengan pengetahuan sebagai kekuasaan maka ia merupakan sebuah mekanisme pengaturan yang bekerja sangat rapi yang memproduksi objek pengetahuan dan melibatkan disiplin, institusi, dan bahkan profesionalisme (Piliang,1999:151,153). Namun kepermukaan budaya ia hanya mungkin hadir dalam bentuk representasi tanda kecil yang sepele dan simbol yang seperti tidak berguna, tetapi sesungguhnya gunung es persoalan ide, prilaku, tindakan, kepercayaan, ideologi, relasi, strategi, praktek, kepemilikan, identitas, simbol dll., dikonstruksi dalam mengkonstruksi, yang tidak terlepas dari relasi kekuasaan (Aur,2007:150).

2.2.2. Arkeologi

Arkeologi konsep pemikiran Foucault yang merupakan praktik diskursus, ekplorasi kondisi historis bagi terbentuknya dan diaturnya sejumlah diskursus untuk membangun sebuah kekuasaan epistime. Penggalian masa lalu di situs (lokasi) tertentu dan berarti menggali “tempat-tempat lokal” terjadinya praktik-praktik diskursif, dan ini mebuktikan adanya diskusuf yang terputus (Barker, 2004:11). Arkeologi mempelajari tentang berbagai praktik diskursus, beserta aturan-aturan main yang ada di baliknya (Piliang, 2003:15,2011:19).

Eksplorasi sejumlah kondisi historis nyata dan spesifik di mana berberbagai kenyataan dikombinasikan dan diatur untuk membentuk, mendefenisikan, membentuk episteme, menghapus kebenaran. Pembentukan cara bertutur yang teratur dan menetukan nilai-nilai, bagaimana obyek dikonseptualisasi dan

(15)

dipahami. Arkeologi merupakan penggalian masa lalu di tempat tertentu, menggali situs lokal, dan praktik diskursuf (Barker, 2004:147).

Konsep arkeologi ini mempunyai tiga konsep yang berkaitan, yakni konsep genealogi, panoptikon, dan diskontiniu. Geneologi merupakan konsep relasi-relasi kekuasaan dan pengetahuan dari diskursus yang dibentuk dan membentuk, tentang proses menguasai, mengontrol serta menundukkan manusia-manusia dalam suatu disiplin. Pada geneologi nampak bagaimana diskursus berusaha mendudukkan antara kekuasaan dan pengetahuan dan bagaimana tubuh manusia diregulasi, mengontrol diri di bawah kendali kekuasaan yang direpresentasikan oleh pengetahuan. Geneologi juga cara menganalisis bagaimana diskursus berkembang dan dimainkan dalam kondisi historis yang spesifik dan tidak dapat direduksi melalui operasi kekuasaan. Suatu konsep taktis yang berdasarkan atas lokus dekripsi diskursus, seperti penjara, rumah sakit, sekolah, bagaimana membuktikan tentang beroperasinya kekuasaan dan pengguna pengetahuan yang mengkonstruksi subjek (Foucault, 1980:85). Dengan demikian konsep geneologi tidak hanya persoalan relasi kekuasaan akan tetapi juga bentuk pencarian kontiniutas dan diskontiniutas historis dari diskursus yang dititikberatkan kepada kondisi material dan institusional diskursus dan operasi kekuasaan (Piliang, 2003:111).

Adapun panoptikon merupakan konsep Foucault tentang bagaimana manusia diawasi secara diskursus dan terbentuk dalam disiplin yang tidak disadari. Kondisi itu terjadi pada sekolah, rumah sakit, kantor, pasar, negara, seperti sel-sel penjara, sistem pengawasan yang terus menerus dilakukan oleh

(16)

petugas-petugas dalam suatu ruangan. Semua orang terdisipilini dan terbentuk (sadar atau tidak) dalam suatu pola kehidupan akibat pengawasan dan pengamatan terus menerus. Menurut Foucault, diskursus panoptikon berdampak besar untuk menstimulasi kesadaran dan pandangan masyarakat yang yang berlangsung secara otomatis tanpa disadari dalam kehidupan sehari-hari (Foucault, 1977:200).

Ilmu pengetahuan juga merupakan panoptikon, disamping teknologi dan diskursus yang dibangun oleh kekuasaan politik dan kebudayaan, ekonomi dan terutama kebudayaan populer. Salah satu panoptikon itu adalah diskursus yang dibangun dalam suatu geneologi ekonomi kekuasaan. Panoptikon pada hakekatnya memproses manusia secara sistemik menjadi suatu bentuk patron, disadari atau tidak, ini yang lakukan oleh dunia sekolah dan kebudayaan (Barker, 2004:82).

Konsep diskontinuitas merupakan padangan Foucault tentang sejarah yang yang tidak berkesinambungan, tetapi menurut Foucault, sebagai suatu realitas „diskontinuitas‟. Suatu keterputusan, diskontinuitas, sebelumnya lebih dahulu terjadi sebuah proses distribusi tipologi pengetahuan baru. Terdapat perubahan-perubahan episteme yang mendasarinya diskontiniu itu pada setiap perubahan-perubahan jaman. Dalam konsep diskontinuitas itu nampak perubahan episteme tidak secara radikal. Dalam proses itu terjadi distribusi multiplikasi serta formasi-formasi diskursif baru.

Dengan demikian, diskursus tidak berusaha mencari korelasi linier atau gradual antar diskursus, tapi berusaha mencari dan melihat kekuasaan di balik diskursus itu sendiri. Diskontiniu tidak menyelidiki kelahiran diskursus tapi lebih

(17)

pada diskursus sistematik sebagai sebuah subyek kekuasaan, representasi yang tersembunyi atau tampak dalam diskursus.

2.2.3. Rumah Makan Padang

Rumah makan Padang, dalam konteks ini dikaji sebagai suatu diskursus dan dilihat sebagai teks, teks populer dalam kebudayaan Indonesia. Teks rumah makan Padang, dalam karya sastra novel UK karya Sakai yang berhubungan dengan budaya, politik, kekuasaan. Dalam novel UK, teks rumah makan Padang merupakan teks yang terpinggirkan, bukan teks yang dikisahkan dan pusat cerita, tema, alur dan tokoh. Sebagaimana teks kari (gulai rempah) dan balti (wadah, kendi) yang dipinggirkan sebagai tanda representasi diskursus kolonialis Inggris terhadap bangsa India. Teks kari dan balti representasi ketertindasan dan artikulasi emansipatoris, keterpinggiran, hal ini sejalan dengan teks rumah makan Padang yang terpinggirkan dan tanda representasi diskursus kolonialis Belanda dan diskursus pasca-kolonialisme.

Kajian cultural studies sastra dimulai pada teks yang terpinggirkan sebagai tanda, tanda dalam pengertian teks representasi, artikulasi, emansipatoris. Cultural studies sastra melakukan kajian pada diskursus teks kecil dan terpinggirkan, yang populer. Kriteria untuk pengambilan teks terkecil dan dipinggirkan itu adalah pekerjaan dan profesi tokoh yang sering tidak begitu dibicarakan sebagai masalah utama, dan hal ini dilihat sebagai tanda. Dengan demikian konsep teks rumah makan Padang sebagai diskursus yang dikaji secara arkeologis cultural studies sastra.

(18)

2.2.4. Novel Ular Keempat

Novel Ular Keempat karya Sakai, dalam cultural studies merupakan produksi pesan (encoding), sementara khalayak menerima pesan disebut dengan decoding. Produser mengonstruksi pesan, yakni Novel UK, agar dapat bermakna bagi khalayak dengan pengalaman dan ide‐ide dalam konteks sosial, ekonomi, dan budaya tertentu. Saat proses encoding, khalayak memiliki konteksnya sendiri ketika menafsirkan pesan‐pesan. Bagaimana konstruksi pesan (encoding), inilah persoalan intelektual suatu karya seni sastra, dalam pihak lain disebut juga bagaimana framing (pembingkaian) sastrawi, adapun apa yang dibingkai (framing) tetaplah data dan fakta sosial budaya, framing atau pembingkaian inilah realitas yang sering disebut orang fiksi. Namun bagaimana khalayak menerima pesan (decoding) akan ada tiga tipe dalam penerimaan pesan.

Tipe dominan, khalayak menerima pesan dari media secara penuh dan memaknai pesan tersebut seperti yang diinginkan oleh media maka khalayak berada pada posisi yang yang dominan, dalam hal ini berlangsung pertukaran komunikasi yang sempurna. Tipe negosiasi, yakni khalayak cukup memahami apa yang ditampilkan oleh media, tetapi tidak semua dimaknai sama. Penerimaan dalam tipe ini mengandung dua hal, yaitu unsur adaptif dan oposisi. Hal ini menunjukkan bahwa pesan dinegosiasikan. Tipe ketiga alternatif atau oposisi, yakni khalayak sama sekali menolak pesan yang disampaikan media maka khalayak tersebut berada pada posisi oposisi Mereka menolak pesan tersebut karena tidak sesuai dengan pengetahuan atau nilai yang dianutnya.

(19)

Dalam dasar pandangan inilah posisi novel UK dalam kajian cultural studies. Posisi novel dalam kajian cultural studies dapat menggambarkan realitas sosial, politik, dan kepribadian dari suatu tempat dan periode waktu dengan kejelasan dan detail yang tidak ditemukan dalam tulisan-tulisan sejarah. Fiksi adalah sebuah Prosa naratif yang bersifat imajiner, meskipun imajiner sebuah karya fiksi tetaplah masuk akal dan mengandung kebenaran yang dapat mendramatisasikan hubungan-hubungan antar manusia.

Tidak ada sebuah karya seni sastra yang tumbuh otonom, tetapi selalu pasti berhubungan secara ekstrinsik dengan luar sastra, dengan sejumlah faktor kebudayaan dan kemasyarakatan, politik, kekuasaan, ekonomi, agama, kejiwaan. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa unsur ekstrinsik ialah unsur yang membentuk karya sastra dari luar sastra itu sendiri, tetapi mempengaruhi bangunan atau system organisme karya sastra. Unsur-unsur yang dimaksud antara lain adalah keadaan subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang kesemuanya itu akan mempengaruhi karya yang ditulisnya, unsur berikutnya adalah psikologi, baik yang berupa psikologi pengarang seperti ekonomi,politik, dan social juga akan mempengaruhi karya sastra. Pandangan hidup suatu bangsa, berbagai karya seni yang lain, dan sebagainya. Umumnya sebuah novel bercerita tentang tentang tokoh-tokoh dan kelakuan mereka dalam kehidupan, dengan latar budaya, politik, kekuasaan, ekonomi, agama, kejiwaan. Adapun pada realitasnya novel adalah sebuah karya seni sastra yang berbentuk prosa ditulis naratif. Kata novel berasal dari bahasa

(20)

Italia, novella yang berarti “sebuah kisah, sepotong berita” dan novel memiliki cerita yang lebih kompleks dari cerpen.

2.3. Landasan Teori

Sebagaimana dikatakan oleh Hasan dan Koentjaraningrat (1980:19) bahwa teori merupakan alat yang terpenting dari suatu ilmu pengetahuan. Lebih lanjut dikatakannya, tanpa teori hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu pengetahuan. Teori memberi kerangka orientasi untuk analisis dan klasifikasi dari fakta-fakta yang dikumpulkan dari penelitian. Teori perupakan pengetahuan yang tersistematis yang rasional dalam tataran akademik, oleh sebab itu sebagaimana dikatakan Ratna (2010:48) merupakan penuntun, jalan masuk untuk memahami subyek penelitian, dan setiap sesuatu mempunyai jalannya. Adapun penggunaan teori memang ditentukan oleh subyek penelitian (Ratna, 2010:55). Adapun subyek penelitian ini adalah persoalan cultural studies sastra, yakni diskursus kebudayaan, dan ranah subyek penelitian berada dalam paradigma cultural studies sastra, maka inilah alasan mengapa mengambil teori-teori postmodern.

Salah satu teori yang kuat untuk cultural studies sastra adalah diskursus Foucault dan dekonstruksi Derrida, hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan Barker (2004a:29,33). Di dalam teori pemikiran Foucault inilah kajian cultural studies sastra mengungkapkan estetika proporsional yang akan membedakannya dengan kajian strukturalisme yang lebih bersifat estetika tubuh yang materialistik. Teori pemikiran diskursus Foucault dan Derrida memang melingkupi

(21)

konsep-konsep inti dari cultural studies, antara lain konsep-konsep tanda, teks, representasi, artikulasi, di samping itu di dalam teori pemikiran Foucault itu sudah termasuk di dalamnya konsep semiotik, intekstualitas dan dekonstruksi.

Sebagai kajian teks tidak lagi menjadi yang asing adalam kajian teks sastra. Adapun teori untuk mengoperasionalkannya menurut Barker (2008:31,32,35) adalah teori dekonstruksi Derrida. Adapun teori pemikiran diskursus Foucault dengan teori dekonstruksi Derrida, bukanlah dua aliran pemikiran yang bertentangan tetapi merupakan aliran pemikiran yang saling melengkapi, karena kedua episteme pemikiran itu merupakan episteme poststruktural dan postmodern, dan diadopsi oleh cultural studies.

2.3.1. Diskursus

Diskursus sebagai kerangka rumusan teori penelitian cultural studies sastra antara lain dapat dirumusan dalam rangkaian kerja sistematik prososisi-proposisi epistemik postpostivistik. (1) Sebagai teori diskursus cultural studies, dimulai dari tanda yang sepele, sebagai teks terpinggirkan, tidak terdepan atau menjadi teks utama atau pusat, tetapi di pinggir atau di belakang. (3) Tanda atau teks yang kecil itu, diungkapkan, bagaimana teks itu direprentasikan dan bagaimana diartikulasikan dalam relasi atau dengan jaringan teks di luar dirinya. (4) Proposisi ini berlanjut dengan dilihat bagaimana teks sebagai jejak dari kebudayaan, kekuasaan dan politik diproduksi menjadi representasi epistemik arkeologi, genealogi, dan panoptikon. (5) Dengan dilakukan dekonstruksi proposisi- proposisi itu maka akan ditemukan suatu diskursus kebudayaan.

(22)

Kerangka rumusan teoritis itulah konstruk penelitian cultural studies sastra dilakukan pada karya Sakai. Untuk lebih lanjut memang diperlukan penjelasan lebih luas dan jelas istilah proposisi diskursus Foucault dalam cultural studies, bahwa diskursus (Hardiman, 2003:185), bukan bersifat linguistik, melainkan luas dan juga politis, sebab diskursus dilaksanakan dalam ilmu-ilmu sosial. Meskipun istilah diskursus sering dianggap sebagai sesuatu yang sederhana, akan tetapi pada kenyataannya istilah ini mempunyai arti yang cukup kompleks. Hal ini tidak saja disebabkan istilah diskursus merupakan kawasan dari bahasa, akan tetapi juga disebabkan ia berkaitan langsung dengan praktek sosial dan kehidupan sehari-hari.

Seterusnya, menurut Foucault (dalam Piliang,1999: 56) 'diskursus' sebagai teori tidak dalam konteks 'kontinuitas' sejarah, tetapi di dalam konteks 'diskontinuitas'. Apa yang dilihat Foucault di dalam satu rentang waktu adalah sesuatu yang 'terputus' atau sesuatu yang kontradiktif. Foucault mengemukakan, bahwa di dalam satu masyarakat, peristiwa-peristiwa berbeda (misalnya praktek bahasa), badan pengajaran berbeda, gagasan filsafat, opini sehari-hari, berbagai institusi, praktek komersial, penggunaan ruang dan obyek dan penggunaan tubuh, semuanya berlandaskan pada pengetahuan implisit yang khusus pada masyarakat tersebut, yang disebutnya savoir. Foucault melihat bahwa ada keberkaitan antara peristiwa tertentu dengan peristiwa (-peristiwa) sebelumnya. Peristiwa tertentu berfungsi dalam kaitannya dengan situasi awalnya. Peristiwa-peristiwa ini meninggalkan 'jejak' (traces) di belakangnya, yang menentukan hubungannya

(23)

dengan peristiwa sebelumnya. Adalah melalui jejak-jejak inilah Foucault melihat apa yang disebutnya 'keterputusan' atau 'diskontinuitas'.

Keterputusan dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya, menurut Foucault (1972:45), menghasilkan apa yang disebutnya 'diferensi'. Dalam konteks produksi teks, apa yang ditekankan Foucault adalah 'diskontinuitas' di antara teks, misalnya diskontinuitas antara teks modernisme dan post-modernisme. Foucault menyebut kajian praktek diskursus sebagai 'arkeologi', bukan 'sejarah'. 'Arkeologi', menurutnya, adalah "... deskripsi tentang arsip". Arsip-arsip itu sendiri —sebagai kumpulan dari sesuatu atau peristiwa— diucapkan, disusun, diakui, digunakan kembali, diulang, dan ditransformasikan di dalam kebudayaan. Arsip sebagai satu 'praktek besar' diskursus yang terdiri dari pernyataan, peristiwa, penggunaan fisik dan ruang, mempunyai aturan main, kondisi, fungsi dan akibat-akibatnya sendiri.

Diskursus, dengan demikian, bukanlah semata penerapan sistem tanda untuk merepresentasikan sesuatu. Meskipun diskursus (Piliang,1999:58) melingkupi tanda-tanda dan semiotika, akan tetapi, ia lebih dari sekadar sistem pertandaan atau semiotika. Dikatakan lebih, karena ada relasi lain yang melekat pada diskursus di luar sistem pertandaan. Salah satu relasi yang paling penting adalah apa yang disebut Foucault 'relasi kekuasaan' (power relation) - bahwa, dibalik pengucapan atau pengungkapan, dibalik pengaturan ruang dan obyek, dibalik penggunaan tubuh dan kesenangan, terdapat bentuk kekuasaan(-kekuasaan) tertentu yang beroperasi, yang menentukan eksistensi dan bentuknya. Dengan perkataan lain, dalam melihat diskursus, permasalahan yang penting bukanlah bagaimana satu peristiwa dan obyek dipahami maknanya, dengan menyingkap

(24)

kode-kodenya yang tersembunyi —meskipun ia merupakan lingkupan diskursus juga—, melainkan permasalahan jenis 'kekuasaan' apa yang beroperasi di baliknya, serta efek apa yang dihasilkannya.

Di dalam bukunya, Power/Knowledge Foucault (1980:155) mengemukakan, bahwa, disebabkan munculnya disiplin di dalam diskursuslah yang memberikan kemungkinan untuk mengatur subyek di dalam masyarakat modern yang individualistik. Meskipun kekuasaan menyebar melalui beberapa mekanisme, apa yang disebutnya 'pengawasan hirarkis' sangatlah penting dalam kekuasaan yang berjalan atas dasar disiplin. Di dalam bukunya Discipline and Punish (1977:204) Foucault menggunakan konsep Jeremy Bentham 'panopticon' untuk menggambarkan bentuk artikulasi kekuasaan melalui disiplin. 'Panopticon' adalah struktur bangunan khusus yang terdiri dari sel-sel yang berjejer berbentuk lingkaran, yang melingkari menara pengawasan di tengah, yang di dalamnya para tahanan diisolasi dan dikurung di dalam sel-sel, yang seluruhnya berada di dalam jangkauan pengawasan langsung para pengawas di menara. Keterlihatan langsung dari menara ini menimbulkan kesadaran sekaligus kegelisahan terus-menerus, yang pada akhirnya menjamin kepatuhan.

Dalam pengertian inilah, menurut Piliang (1999:58,60) diskursus tidak dapat disamakan dengan kajian bahasa dan semiotika, yang tidak kuasa dalam berhadapan dengan masalah kekuasaan dan relasi diskursif lainnya. Bukan struktur yang disingkap di dalam pernyataan diskursif, melainkan sistem keterputusan dan regularitas. Bukan tanda yang disingkapkan kode-kodenya dalam diskursus, melainkan kumpulan arsip. Foucault tidak menaruh perhatian

(25)

pada kajian diskursus dalam kerangka struktur pertandaan. Sebagai penggantinya, ia mengkaji diskursus dalam kerangka apa yang disebutnya genealogi relasi kekuasaan, perkembangan strategi dan taktik. Dengan genealogi tidak berarti apa yang dilakukan adalah pencarian asal muasal diskursus, fakta atau peristiwa tertentu, melainkan relasi kekuasaan di baliknya. Di dalam analisisnya mengenai mekanisme dan efek kekuasaan, Foucault menitikberatkan pada diskursus pinggiran (periphery) ketimbang pusat kekuasaan.

Bagi Foucault (dalam Piliang, 2011:149), kekuasaan dan pengetahuan (dan cara tertentu penggunaan bahasa) saling berjalin satu sama lain di dalam diskursus. Penggunaan ruang sebagai satu fenomena bahasa dalam diskursus, tidak terlepas dari bentuk kekuasaan-kekuasaan (plural) yang beroperasi di baliknya. Foucault melihat bahwa diskursus adalah dunia yang dapat dimasuki oleh manusia, yang di dalamnya telah ada; (1) relasi kekuasaan tertentu; (2) bahasa memproduksi dirinya sendiri (dalam imajinasi, memori, perhatian), (3) melalui kedaulatan wacana dalam merepresentasikan (manusia), (4) subjek manusia tidak mempunyai kekuasaan terhadap diskursus itu. Manusia hidup dalam rentang waktu yang terbatas (finiteness), sementara diskursus (telah) ada (dan akan tetap ada) melampaui keberadaan manusia sebagai individu. Inilah yang menyebabkan manusia hanya menumpang hidup di dalam sebuah jaringan diskursus, eksis dalam rentang ruang-waktu yang panjang.

(26)

2.3.2. Dekonstruksi

Dekonstruksi merupakan mengkaji data di balik data dan mengungkapkan kompleksitas hubungan kekuasaan jaringan data-data di balik suatu data yang tampak. Konsep dekonstruksi suatu bentuk kerja analisis pengungkapan tentang fakta (teks) di balik teks penanda, petanda dan makna (Lubis dalam Noehardi, 2013:226,228,229). Konsep tentang penyingkapan dimensi di belakang data dan fakta, kontradiktif, dan inkonsistensi internal dalam teks atau segala sesuatu yang direpresi, atau tersembunyi dalam teks. Lebih sederhananya dekonstruksi merupakan kerja membaca dan mengungkapkan fakta di balik fakta dan bagaimana hubungan, peranan, strategi dan kekuasaan serta mengkritisi logika berpikir dari jaringan data itu. Kerja dekonstruksi itu terpokus juga pada pelucutan hirarkis oposisi biner, sehingga membongkar dan meniadakan pusat, hirarkis dan superior dan inferior (Barker, 2004:79).

Disebabkan data sebagai tanda merupakan konsep mewakili sesuatu yang tidak hadir sebagai kehadiran, inilah disebut dengan konsep bekas (trace) dalam dekonstruksi. Proposisi konsep-konsep ini diajukan dalam aliran pemikiran dekonstruksi (Berten, 1985:495), bahwa bekas tidak dapat dimengerti dengan dirinya sendiri, tetapi sejauh menunjuk kepada yang lain. Ini untuk menyadarkan bahwa sesuatu kehadiran bukanlah tunggal tetapi kahadiran yang berhubungan dengan keseimbangan banyak hal di luar dirinya. Dengan demikian setiap sesuatu merupakan bekas (bukanlah asli) dari banyak hal yang lain dari sebelumnya.

(27)

2.4. Model Penelitian

Penelitian arkeologi rumah makan Padang dalam karya Sakai: dapat digambarkan dalam model penelitian berikut di bawah ini (Gambar 1):

Budaya Global

Pemerintah Kebudayaan

Minangkabau Karya Sastra:

Karya Gus tf Sakai

Arkeologi

Rumah Makan Padang

Arkeologi Teks Rumah Makan Padang Geneologi Identitas Bangsa Perantau Panoptikom pada Teks Surau

Diskursus Kebudayaan Minangkabau

(28)

Gelombang kebudayaan global adalah suatu yang tidak dapat dihindari oleh setiap bangsa. Globalisasi memberikan interaksi kebudayaan kepada setiap bangsa, tidak kecuali bangsa Minangkabau. Interaksi tersebut tidak terlepas dari peran kapitalisme global, sebagaimana sudah tertoreh dalam sejarah tentang bangsa-bangsa Timur dijajah adalah akibat imperialisme global. Resistensi masyarakat dan pemerintah terhadap kebudayaan global tidak hanya dalam tataran realitas tetapi juga dalam pengetahuan dan kekuasaan.

Skema model penelitian (gambar 1) tersebut dapat dibaca, bahwa dari teks kecil, terpinggirkan, yakni rumah makan Padang, teks tersebut sebuah diskursus puncak gunung es, di dalam karya Sakai teks itu tidak menonjol dibicarakan, hanya sedikit, di bagian akhir, artinya terpinggirkan, berkorelasi sama dengan jaringan teks di luar dirinya. Dalam politik artikulasi ternyata tidak ada rumah makan Padang di kota Padang, tidak ada dalam kenyataan adanya bangsa Padang, yang ada hanya kuliner bangsa Minangkabau dan keberadaan bangsa Minangkabau. Korelasi representasi ini berhubungan dengan diskursus politik kekuasaan pemerintah Hindia Belanda yang menghilangkan bangsa Minangkabau serta menggantinya dengan diskursus Padang (Padangsche Bovenlanden [Padang Darat] dan Padangsche Benedenlanden [Padang Pesisir]), dan menghapus artikulasi Minangkabau dengan merepresentasikan Sumatra’s Westkust [Sumatera Barat]. Adapun episteme arkeologi rumah makan Padang terbangun sejak zaman Belanda, dan dalam tradisi perantau orang Minangkabau sejak itu berobah menjadi suatu diskursus orang Padang sebagai perantau, terdesak dan terpinggirkan. Pemerintah Hindia Belanda secara sistemik dan mekanik

(29)

membangun sekolah-sekolah untuk politik artikulasi panoptikon, dimulai dengan sekolah raja, dan mengambil semua naskah dan buku di Minangkabau dan dibawa dan dikontrol dari Belanda. Kekerasan epistemik ponoptikom terjadi secara sistematik dinamik terhadap sistem pendidikan tradisi Minangkabau, yakni surau. Dari rangkaian diskursus episteme arkeologi, representasi geneologi, artikulasi panoptikom, maka diskursus kebudayaan Minangkabau dapat dipahami. Tragisnya diskursus itu dilajutkan oleh pemerintah Indonesia, hal itu dapat dibaca dari tanda, representasi dan politik artikulasi. Dengan demikian dari kajian ini dapat dijawab mengapa tokoh-tokoh nasional tidak lagi lahir di Minangkabau.

Di samping itu serangan kebudayaan global tetap terjadi terutama kepada sistem pengetahuan masyarakat. Dengan penguasaan sistem pengetahuan suatu masyarakat maka akan mudah dilakukan pratik kekuasaan. Sebagaimana yang terjadi pada kebudayaan Minangkabau. Persoalan diskursus ini memang tidak terlihat dengan nyata dalam dinamika kebudayaan. Di sinilah peran penting sastra, sebagai catatan jiwa dan gejolak rohani suatu bangsa dalam pergulatannya dengan kebudayaan. Bentuk-bentuk diskursus, kekerasan epistemik dan pemutarbalikan diskursus, merupakan jejak representasi dari globalisasi. Faktor-faktor yang melatarbelakangi adalah persoalan kapitalisme dan hasrat kekuasaan. Diskursus ini dihadirkan oleh Sakai dalam karyanya, karena karya sastra tidak dapat terlepas dari masyarakat, bangsa dan kemanusiaan.

Dalam dekonstruksi terhadap bentuk-bentuk dan faktor diskursus kebudayaan akan memungkinkan untuk dilihat bentuk kekuasaan yang berperan dalam kekerasan epistemik kebudayaan. Di sini dapat dilihat faktor-faktor dan

(30)

makna kebudayaan berperan dalam masyarakat dalam menghadapi arus perubahan gelombang kebudayaan. Dalam dekonstruksi diskursus ini akan memungkinkan untuk ditemukan (novelty) nilai-nilai inti yang selalu hidup dan dihidupi, sebagaimana setiap kebudayaan mempunyai nilai-nilai inti itu.

Referensi

Dokumen terkait

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... Deskripsi Data Awal ... Deskripsi Hasil Penelitian ... Tindakan Penelitian Siklus 1... Tindakan Penelitian Siklus 2...

Teori Kedaulatan dan pentingnya peran kedaulatan bagi suatu negara, membuat keputusan Duterte untuk mengabaikan kritik dan kecaman dari aktor internasional serta

Isi modul ini : Ketakbebasan Linier Himpunan Fungsi, Determinan Wronski, Prinsip Superposisi, PD Linier Homogen Koefisien Konstanta, Persamaan Diferensial Linier Homogen

Dalam rangka peningkatan pengetahuan dan kemampuan karyawan mengenai Manajemen Mutu Terpadu, perlu adanya pembenahan sistem komunikasi/informasi yang menyeluruh pada semua

Ketahanan nasional bidang sosial budaya adalah suatu kondisi dinamis suatu bangsa, yang berisi keuletan, ketangguhan dari kemampuan suatu bangsa untuk mengembangkan kekuatan

Puji Syukur Kehadirat Allah SWT yang maha Esa karena atas nikmat-Nya penyusunan Laporan Kuliah Kerja Magang (KKM) STIE PGRI Dewantara Jombang dapat diselesaikan tepat

dan smartphone Proses pelatihan google meet dan zoom meeting dilakukan di pendopo dan diikuti oleh peserta yang belum mampu menjalankan aplikasi tersebut saja.

Sedangkan untuk mengetahui tingkat akuntabilitas tersebut, perlu adanya Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LKjIP) yang merupakan bahan utama untuk monitoring dan evaluasi