• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kolonialisme Dan Dampak Kolonialisme Dalam Novel Acek Botak Karya Idris Pasaribu: Tinjauan Postkolonial

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kolonialisme Dan Dampak Kolonialisme Dalam Novel Acek Botak Karya Idris Pasaribu: Tinjauan Postkolonial"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep

Dalam setiap penelitian dibutuhkan konsep yang jelas sebagai penjelas gambaran

penelitian seperti apa dan bagaimana yang akan dilakukan. Konsep merupakan gambaran

mental dari suatu objek, proses atau apapun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh

akal budi untuk memenuhi hal-hal lain (KBBI, 2007: 588).

Konsep-konsep yang dipakai dalam ilmu sosial walaupun kadang-kadang istilahnya

sama dengan yang digunakan sehari-hari, namun makna dan pengertiannya dapat berubah

(Malo, 1985: 47). Menurut Masri Singarimbun (1982), konsep adalah generalisasi dari

sekelompok fenomena tertentu, sehingga dapat dipakai untuk menggambarkan barbagai

fenomena yang sama.

Konsep merupakan suatu kesatuan pengertian tentang suatu hal atau persoalan yang

dirumuskan. Jika kerangka teori digunakan untuk memberikan landasan atau dasar berpijak

penelitian yang akan dilakukan, maka konsep dimaksudkan untuk menjelaskan makna dan

maksud dari teori yang dipakai, untuk menjelaskan kata-kata yang mungkin masih abstrak

pengertian dalam teori tersebut.

Begitu pula dengan penelitian ini, tentunya membutuhkan konsep yang terarah agar

penelitian ini dapat dijabarkan dengan metode yang sesuai dan tepat. Berikut adalah beberapa

konsep yang dijalankan untuk memperkuat pijakan dalam penelitian ini.

2.1.1 Sosial dan Politik

Kondisi sosial dan politik Indonesia sebagai negara maupun wilayah kedaulatan dulu

dan kini jelas berbeda. Dahulu sebagai wilayah kedaulatan Indonesia belum memiliki cukup

(2)

dan politik. Hal ini dikarenakan kehidupan bangsa Indonesia yang belum merdeka, belum

jelas arah dan tujuan keberdaulatannya. Ketidakmerdekaan bangsa Indonesia kala itu

memberi pengaruh sangat buruk bagi status sosial pribumi, apalagi status politiknya.

Sehingga stratifikasi sosial di Indonesia pada saat ini berbeda dengan saat berada di bawah

pengaruh penjajah atau kolonialis.

Pada masa penjajahan, secara umum terdapat dua golongan masyarakat, yaitu

golongan penguasa dan golongan terjajah. Golongan penguasa terdiri atas kaum penjajah,

sedangkan golongan terjajah ditempati oleh rakyat.

Pemerintah kolonial Belanda bahkan mengeluarkan undang-undang mengenai status

perbedaan kedudukan sosial antar penduduk. Peraturan tersebut adalah Peraturan Hukum

Ketatanegaraan Hindia Belanda (Indische Staatsregeling) tahun 1927. Menurut peraturan

tersebut, masyarakat Indonesia dibedakan menjadi sebagai berikut.

1. Golongan Eropa atau yang dipersamakan. Golongan ini merupakan golongan tingkat

atas dan masih dibedakan lagi menjadi berikut ini:

a. Bangsa Belanda dan keturunannya.

b. Bangsa-bangsa Eropa lainnya yang terdiri atas bangsa Portugis, Prancis dan

Inggris.

c. Orang-orang lain (yang bukan bangsa Eropa) dan telah masuk golongan Eropa

dan sah dipersamakan dengan golongan Eropa.

2. Golongan Timur Asing. Golongan ini merupakan golongan menengah atau lapisan

kedua. Golongan ini terdiri atas orang cina dan bukan cina. Golongan yang bukan

cina terdiri atas orang Arab, India, Pakistan, dan orang dari negara Asia lainnya.

3. Golongan Bumiputra. Golongan terakhir ini merupakan golongan tingkat bawah atau

lapisan ketiga. Golongan bumiputra terdiri atas masyarakat pribumi atau bangsa

(3)

Kesadaran kebangsaan mengenyahkan penjajahan merupakan persoalan nasionalisme

suatu bangsa (Santosa, 2009: 147). Nasionalisme di wilayah jajahan merupakan reaksi dari

tekanan sosial dan politik yang beraneka macam dari para penjajah. Indonesia telah

mengalami penjajahan berulang-ulang, seperti penjajahan dari Portugis, Belanda, Inggris, dan

Jepang. Dari persoalan tersebut muncul berbagai karya sastra yang menentang penjajahan di

Indonesia. Hal itu didasari oleh pertama, yakni adanya suatu semangat kesadaran anak bangsa

untuk berdaulat, terbebas dari penjajahan, serta membangkitkan semangat nasionalisme

bangsa. Kedua, karya sastra yang menceritakan kisah tentang kepahlawanan anak bangsa

terhadap kolonial mampu mempengaruhi kesadaran kebangsaan bangsa Indonesia kala itu.

Perbedaan status sosial atau kelas sosial adalah pembagian anggota masyarakat ke

dalam suatu hirarki status kelas yang berbeda, sehingga para anggota setiap kelas secara

relatif mempunyai status yang sama dan para anggota kelas lainnya mempunyai status yang

lebih tinggi atau rendah. Menurut Karl Marx, kelas sosial dibagi menjadi tiga, yaitu golongan

kapitalis, menengah, dan proletar. Masa kolonial di Indonesia jelas bahwa kaum pribumi

menempati posisi golongan proletar. Sedangkan Bangsa penjajah dan kaum pendatang

Tionghoa masing-masing menempati posisi kapitalis dan menengah.

Aristoteles membagi masyarakat secara ekonomi menjadi kelas atau golongan sangat

kaya, golongan kaya, dan golongan miskin. Golongan sangat kaya merupakan kelompok

terkecil dalam masyarakat. Mereka terdiri dari pengusaha, tuan tanah, dan bangsawan.

Golongan kedua atau kelompok kaya merupakan kelompok yang cukup banyak terdapat di

dalam masyarakat. Mereka terdiri dari para pedagang dan sebagainya. Sedangkan kelompok

miskin merupakan kelompok terbanyak yang terdapat dalam masyarakat. Mereka kebanyakan

rakyat biasa. Secara politik, kelas sosial didasarkan pada wewenang dan kekuasaan.

Seseorang yang mempunyai wewenang atau kekuasaan umumnya berada dilapisan tinggi,

(4)

2.1.2 Bahasa dan Identitas

Menurut Keith Foulcher dan Tony Day (2008: 5) ada dua topik utama pembicaraan

tentang kritik poskolonial dalam sastra Indonesia, yaitu masalah bahasa dan identitas.

Masalah bahasa berkaitan dengan pengaruh bahasa kolonial terhadap bahasa terjajah, cara

pengungkapan poskolonialitas dalam teks sastra Indonesia, dan cara yang digunakan oleh

para penulis bekas jajahan dalam mendekolonisasi (kesadaran kebangsaan) bahasa penjajahan

besar.

Identitas berkaitan dengan masalah hibriditas, yakni masalah jati diri bangsa yang

berubah karena adanya pengaruh budaya dari bangsa kolonial, termasuk mimikri (tindakan

meniru) budaya kolonial oleh bangsa terjajah dan subaltern (kaum yang terpinggirkan atau

orang yang terjajah). Kondisi ini sangat jelas berdampak dan terasa pada diri bangsa

Indonesia. Misalnya, Bahasa Indonesia banyak sekali menyerap dari bahasa bangsa Eropa

(Belanda, Inggris, Portugis) juga bangsa Asia Timur (Jepang dan China).

Bahasa rumpun bangsa tersebut telah banyak menjadi kosa kata bahasa Indonesia baik

secara langsung maupun mengalami proses penyerapan bahasa. Begitu pula dengan identitas,

banyak orang Indonesia yang mengikat nasab dengan kolonialis, sehingga memiliki

keturunan dengan mereka. Maka jadilah identitas baru yang merupakan hasil dari

kolonialisme. Hal inipun menjadi sorotan yang sangat berarti bagi kehidupan berbangsa di

Indonesia. Tidak sedikit kemudian keturunan campuran pribumi dengan kolonialis menjadi

masalah, baik terancam, dihina, dikucilkan ataupun bahkan sebaliknya, yaitu memiliki

kehidupan yang cerah, diperhatikan, diperhitungkan, bahkan dihormati.

2.1.3 Pengambil aliahan Kekuasan dan Perbudakan

Kaum orientalis (orang-orang yang berpaham Timur) berpendapat bahwa masalah

(5)

pengetahuan, tetapi juga kepentingan kolonialisme. Pengetahuan bagi kaum orientalis adalah

untuk mempertahankan kekuasaannya, yakni pengetahuan yang dipenuhi dengan visi dan

misi politis ideologis (Said dalam Ratna, 2008: 456).

Pandangan Said tersebut seolah-olah menyuarakan secara eksplisit (tegas) apa yang

terpendam dalam kesadaran banyak orang, terutama orang-orang di negara bekas jajahan

Barat yang kini disebut sebagai ‘dunia ketiga’, untuk bangkit berjuang menemukan

kesadaran dengan menuntut keadilan dan kesetaraan. Gugatan yang menekankan kebebasan

dan penolakan atas segala pemikiran atau kekuasaan hibridasi (percampuran).

Artinya, bahwa kolonialisme pada akhirnya mampu melahirkan sebuah kekuatan yang

sangat baik bagi bangsa terjajah. Di samping kolonialis menjajah, menjarah, dan memperluas

kekuasaan, dalam hal ini mereka memiliki tiga tujuan dalam aksi penjajahannya, yaitu gold

(mencari harta), glory (kekuasaan dan kejayaan), dan gospel (menyebarluaskan ajaran agama

tertentu/misionaris), mereka juga secara tidak langsung telah melahirkan dan membangun

sebuah kekuatan yang dimiliki oleh bangsa terjajah, yaitu persatuan dan kesatuan yang

kemudian menjadi kekuatan luar biasa dalam merebut kekuasaan dan kemerdekaan.

Di samping itu, sebelum kekuatan dan kekuasaan tadi digalang tentu proses panjang

kehidupan telah dijalani dan dialami oleh bangsa terjajah, salah satunya perbudakan dan

perlakuan tidak manusiawi dari bangsa kolonialis.

2.1.4 Latar Belakang Perkebunan di Sumatera Timur

Perkebunan di Sumatera Timur telah muncul sejak paruh kedua abad XIX. Sumatera

Timur merupakan daerah perkebunan tembakau, karet, dan kelapa sawit. Daerah tersebut

merupakan daerah pertama yang mengalami pertumbuhan perkebunan sejak J. Nienhuys

(6)

komoditas ekspor sehingga menjadi terkenal di pasaran Eropa. Perkebunan yang begitu luas

menyebabkan kekurangan tenaga kerja dan sumber daya manusia dalam jumlah yang banyak.

Perkebunan besar (onderneming) di Sumatera Timur yang dirintis oleh Nienhuys,

membawa dan menanam tanaman tembakau ke lahan Sumatera Timur melalui kontrak tanah

dengan Sultan Deli pada tahun 1863 selama 75 tahun.(1) Keberhasilan yang diperoleh

Nienhuys dengan keuntungan besar yang diperoleh telah menarik perhatian para pengusaha

perkebunan asing Eropa untuk berlomba-lomba melakukan investasi di sektor agrobisnis

Sumatera Timur. Prioritas komoditi yang mereka tanam adalah tembakau yang sangat

terkenal di pasaran tembakau Amsterdam, kemudian menyusul karet dan kelapa sawit.

Perkembangan yang didukung dan disertai dengan penegakan kekuasaan kolonial

Belanda di Sumatera Timur semakin dipicu oleh keluarnya Agrarische Wet tahun 1870 yang

mengatur tentang kepemilikan tanah. Meskipun pada mulanya ditujukan bagi Jawa dan

Madura, namun kemudian Undang-Undang ini diterapkan juga dengan peraturan lokal di

Sumatra Timur. Kemudahan diperoleh setelah adanya kejelasan tentang status kepemilikan

tanah oleh penduduk yang memperlancar persewaan lahan.

Dalam waktu yang singkat maka Sumatera Timur menjadi perkebunan yang besar.

tahun 1916 tercatat 320 perusahaan besar (tidak termasuk cabang) yang beroperasi di dareah

Deli Serdang sekitar 120 perusahaan, Langkat 67 perusahan, Simalungun 51 perusahaan dan

Asahan 82 perusahaan. Begitu pentingnya arti Sumatera Timur bagi Belanda sehingga

disemboyankan ”Molken Is Het Verleden, Java is Het Heden en Sumatra is de

Toekomst”, artinya Maluku adalah masa lalu, Jawa adalah masa sekarang dan Sumatera

adalah masa datang (Damiati: 20-21).

Di Sumatra Timur sendiri berlaku dua macam sistem kepemilikan tanah, yang

pertama adalah sistem Vorstdomein. Menurut sistem ini, raja selaku kepala negara dianggap

(7)

Rakyat yang menggarap tanah-tanah tersebut wajib menyetorkannya kepada raja sebagian

besar hasilnya sebagai upeti, sedangkan sisanya digunakan mereka untuk memenuhi

kebutuhan sendiri. Dalam hal ini raja atau sultan mempunyai hak untuk membagi-bagikan

hak garap dan hak pakainya, namun tetap menguasai hak milik sepenuhnya atas tanah.

Di sisi lain, berlaku juga prinsip Volksdomein. Menurut prinsip ini tanah merupakan

hak milik dari individu yang membuka dan menggarapnya secara rutin. Selama dia menghuni

dan mengerjakan tanah tersebut, maka dia masih memegang kepemilikannya yang diakui

secara komunal oleh masyarakatnya. Perkembangan lebih lanjut menjadikan tanah-tanah

semacam ini sebagai tanah bersama (tanah komunal) dan diakui sebagai tanah adat dengan

hak ulayat yang berlaku. Penggunaan tanah tersebut disahkan selama kepentingan adat

menuntutnya dan tidak ada pelanggaran atas aturan adat.

Para pengusaha perkebunan besar hanya mengakui raja sebagai kepala negara atau

penguasa tanah semuanya. Oleh karena itu negosiasi dan kontrak dibuat dengan raja/sultan

yang akan menyerahkan lahan wewenangnya dieksploitasi. Mengingat di wilayah Kesultanan

Melayu berlaku juga prinsip vorstdomein maka kontrak sewa yang dibuat oleh sultan dengan

para pengusaha perkebunan dianggap sah. Para pengusaha perkebunan berhak juga

melakukan pengusiran dan penggusuran terhadap penduduk yang menggarap dan menghuni

tanah-tanah yang ditunjuk oleh sultan untuk disewakan. Sebagai gantinya pengusaha

perkebunan menggunakan lahan tersebut untuk kepentingan pemukiman kolonisasi kuli

kontrak yang didatangkannya dari Jawa sebagai tenaga kerja perkebunan.

Masalah yang timbul pada masa perkebunan di Sumatera Timur adalah kelangkaan

tenaga kerja perkebunan. Jumlah tenaga kerja yang kecil sedangkan lahan yang luas

menimbulkan keengganan penduduk setempat untuk bekerja sebagai buruh pertanian.

Kekurangan tenaga kerja mendorong untuk menarik para pekerja dari luar daerah. Tenaga

(8)

(Malaysia dan Singapura ) melalui Broker atau Werver (orang Jawa sering menyebut Werek).

Kepentingan para pengusaha untuk memperoleh tenaga kerja kemudian di lindungi oleh pasal

2 No. 27 dari Politiestrafrglemet voor Inlander (Daliman: 63). Pada tahun 1871 sekitar 3000

orang Cina bekerja di perkebunan Tembakau Deli.

Sistem perantara yang digunakan dalam pencarian tenaga kerja banyak menimbulkan

masalah dan penyelewengan yang dilakukan oleh para Broker/ Werver. Tidak jarang terjadi

penculikan dan pembujukan dengan janji-janji yang menyenangkan dengan iming-iming

upah yang tinggi. Karena kesulitan dalam menacari tenaga kerja maka pencaraian kerja

diserahkan kepada perhimpunan pengusaha perkebunan ( Deli Planters Vereninging).

Pada tahun 1888 perhimpunan ini mendirikan biro imigrasi yang mengurus secara

langsung seleksi calon pekerja di negeri Cina, pengangkutan tenaga kerja ke Sumatera Timur

dan mengurusi masalah keuangan. Namun pada kenyataannya para werek tidak menyeleksi

para pekerja, melainkan siapa yang mau bahkan melalui bujuk rayu kepada calon pekerja.

Pada tahun 1888 terdapat kurang lebih 1.152 tenaga kerja Cina, tahun 1889 sebanyak 5.167,

dan tahun 1890 sampai 6666 tenaga kerja (Kartonagoro: 336-338)

Untuk keperluan Hindia Belanda maka tahun 1888 di bentuk suatu peraturan untuk

para buruh perkebunan. Mereka diikat dengan suatu kontrak dengan para pengusaha, namun

kontrak tersebut tidak bisa diakhiri dengan buruh. Apabila buruh terserbut melarikan diri

maka mereka akan dikenakan hukuman yang dikenal dengan sebutan Poenale Santic. Suatu

hukuman yang kejam yang bisa berupa hukuman cambuk untuk buruh laki-laki hingga

dibunuh.

Dalam tulisan Jan Breman dikatakan bahwa J. Nienhuys, pernah menghukum cambuk

pekerja perkebunan sebanyak 7 buruh sampai meninggal. Hal ini yang membuat Nienhuys

pergi keluar Sumatera Timur. Kasus lain menimpa pada seorang buruh perempuan yang

(9)

perkebunan memiliki otonomi yang begitu luas sehingga perkebunan itu diibaratkan sebagai

negara dalam negara (Soegiri: 112-113)

Dengan menandatangani kontrak tersebut secara tidak langsung telah menjerat

pekerja perkebunan dengan jaringan hutan-piutang. Dalam sehari para buruh hanya bisa

istirahat 1/20 dari waktu kerjanya. Buruh kontrak dikenakan aturan Ordonantie Koeli

maksimum bekerja 12 jam, tapi kenyataannya mereka harus bekerja 13 jam dengan rincian 5

jam menyadap karet, 3 jam menguruh pohon karet muda, 5 jam mengolah lateks menjadi

karet mentah.

Poenale Santic sangat melewati batas kewajaran, sehingga timbul protes dari luar

perkebunan melalui media massa atau masyarakat Hindia Belanda maupun negeri induk

untuk meghapus Peonale Santie. Berita itu akhirnya sampai ke Den Haag, sehingga Ratu

Belanda memerintahkan kepada gubernur jenderal untuk melarang tindakan main hakim

sendiri. Sejak itu maka pengadilan hanya dilakukan oleh pemerintah.

Begitu gencarnya protes tentang kekejaman tuan kebun di Deli Serdang membuat

pemerintah mengganti peraturan peonale santi dengan koeli ordonansi 1880. Namun koeli

ordonansi pada kenyataannya sama dengan peonale santie, para buruh tetap mengalami

penderitaan dari siksaan Tuan Kebunnya. Koeli ordonansi baru dihapus seiring dengan

datangnya bangsa Jepang tahun 1941 (Darmiati: 22).

2.2 Landasan Teori 2.2.1 Kolonialisme

Terdapat banyak pendapat tentang kolonialisme. Pertama, secara umum kolonialisme

didefinisikan sebagai penguasaan atas kontrol terhadap tanah dan

barang milik pihak lain. Sedangkan, pada kolonialisme modern penguasaan tersebut tidak

(10)

dikuasai, tetapi di dalamnya terdapat upaya penstrukturan kembali bangunan perekonomian

bangsa yang dikuasai, yang mengakibatkan adanya aliran sumber daya manusia dan alam di

antara penguasa dan wilayah yang dikuasai (Lombaa, 2005: 8-9). Berdasarkan pendapat

pertama, dapat dikatakan bahwa kontrol kolonial meliputi teritori atau wilayah, isi dalam

wilayah tersebut, serta struktur bangunan perekonomian bangsa yang dijajah. Berkaitan

dengan kontrol atas teritori tersebut, pendapat kedua dinyatakan oleh Upstone (2009: 4)

bahwa kolonialisme sebagai klaim terhadap wilayah atas nama penyebaran agama,

pengembangan perekonomian, dan pengembangan wilayah (labenstrum) melihat kecocokan

wilayah jajahannya sebagai empire, dan empire sebagai tujuan klaim atas wilayah tersebut.

Pada kolonialisme modern penguasaan tersebut tak terbatas pada tindakan

perampasan atas benda-benda, dan kekayaan milik wilayah yang dikuasai, namun di

dalamnya termasuk juga upaya penstrukturan kembali bangunan perekonomian bangsa yang

dikuasai, sehingga membentuk keterkaitan yang kompleks dengan penguasanya, dan

menyebabkan aliran sumber daya manusia dan alam di antara penguasa dan wilayah yang

dikuasai (Loomba, 2005: 9). Terkait dengan bentuk kolonialisme di atas, terdapat dua tipe

kolonialisme. Tipe yang pertama berupa penaklukan fisik banyak teritori, sedangkan tipe

yang kedua berupa penaklukan dan penjajahan pikiran, jiwa, dan budaya (Nandy dalam

Gandhi, 2006: 20). Perlu digarisbawahi bahwa penjajahan tak hanya merupakan dominasi

politik dari bangsa-bangsa penjajah terhadap bangsa-bangsa terjajah, melainkan juga suatu

hegemoni yang bersifat kultural ( Faruk, 2007: 364).

2.2.2 Poskolonialisme

Poskolonial sebagai sebuah kajian muncul pada 1970-an. Studi poskolonial di Barat

salah satunya ditandai dengan kemunculan buku Orientalisme (1978) karya Edward Said

(11)

Barat dalam memandang Timur. Poskolonialisme adalah kontestasi atas dominasi kolonial

dan warisan-warisan kolonialisme (Loomba, 2005: 16). Sedangkan bila dikaitkan dengan

dunia kajian sastra, poskolonialisme dijelaskan sebagai suatu strategi bacaan yang

menghasilkan pertanyaan-pertanyaan yang bisa membantu mengidentifikasi adanya

tanda-tanda kolonialisme dalam teks-teks kritis maupun sastra dan menilai sifat dan pentingnya

efek-efek tekstual dari tanda-tanda tersebut (Foulcher, 2008: 3).

Dari beberapa pengertian di atas, poskolonial dapat didefinisikan sebagai teori yang

lahir sesudah kebanyakan negara-negara terjajah memperoleh kemerdekaannya. Sedangkan

kajian dalam bidang kolonialisme mencakup seluruh khazanah tekstual nasional, khususnya

karya sastra yang pernah mengalami kekuasaan imperial sejak awal kolonialisasi hingga

sekarang.

Ratna (2008: 81—82) mengemukakan lima pokok pengertian poskolonial, yaitu (1)

menaruh perhatian untuk menganalisis era kolonial, (2) memiliki kaitan erat dengan

nasionalisme, (3) memperjuangkan narasi kecil, (4) membangkitkan kesadaran bahwa

penjajahan bukan semata-mata dalam bentuk fisik, melainkan juga psikis, dan (5) bukan

semata-mata teori, melainkan kesadaran bahwa banyak pekerjaan besar yang harus

dilakukan, seperti memerangi imperialisme, orientalisme, rasialisme, dan berbagai bentuk

hegemoni lainnya.

Berkaitan dengan kolonialisme, poskolonialisme mengacu pada praktik-praktik yang

berkaitan dengan hirarki sosial, struktur kekuasaan dan wacana kolonialisme (Gilbert dan

Tomkins dalam Allan, 2004: 207). Kolonialisme telah menghancurkan sendi-sendi

kehidupan dan kebudayaan masyarakat jajahan. Hal itu berupa pemaksaan bahasa,

(12)

Teori poskolonial digunakan untuk menganalisis berbagai gejala kultural, seperti

sejarah, politik, ekonomi, sastra, dan berbagai dokumen lainnya, yang terjadi di

negara-negara bekas koloni Eropa modern (Yulhasni, Waspada 15/4/2012).

Teori poskolonial mencakup tiga kemungkinan pilihan perhatian. Pertama, pada

kebudayaan masyarakat-masyarakat yang pernah mengalami penjajahan bangsa Eropa, baik

berupa efek penjajahan yang masih berlangsung sampai pada masa pascakolonial maupun

kemungkinan transformasinya ke dalam bentuk-bentuk yang disebut neokolonialisme

(internal maupun global). Kedua, respons perlawanan atau wacana tandingan dari

masyarakat terjajah maupun yang lainnya terhadap penjajahan itu, tanpa menghilangkan

perhatian pada kemungkinan adanya ambiguitas atau ambivalensi. Ketiga, segala bentuk

marginalitas yang dikaitkan oleh segala bentuk kapitalisme (Lo dan Helen dalam Faruk,

2007: 15). Melalui sudut pandang ini, poskolonial dapat diartikan sebagai suatu perangkat

teori untuk menjelaskan relasi antara bangsa penjajah dan bangsa terjajah dalam masa

kolonial, serta dampak dari penjajahan tersebut hingga pada masa pascakolonial.

Teori poskolonial identik dengan teori posmodernisme dan postrukturalisme.

Perbedaannya, teori posmodernisme dan postrukturalisme dimanfaatkan untuk memahami

gejala kultural secara menyeluruh, sedangkan teori poskolonial memusatkan perhatian pada

visi dan misi kolonial sebagaimana terkandung dalam wacana kolonial. Itu sebabnya,

peneliti sangat tertarik untuk menganalisis novel Acek Botak karya Idris Pasaribu yang

banyak mengandung unsur-unsur kolonialisme dalam ceritanya.

Menurut Ratna ada lima alasan mengapa sebagian besar karya sastra dianggap tepat

apabila dianalisis dengan menggunakan teori poskolonial. Alasan tersebut seperti:

1. Sebagai gejala kultural sastra menampilkan sistem komunikasi yang sangat kompleks,

(13)

Komunikasi ini sekaligus merupakan mediator antara masa lampau dengan masa

sekarang.

2. Karya satra menampilkan berbagai problematika kehidupan, emosionalitas dan

intelektualitas, fiksi dan fakta, karya sastra adalah masyarakat itu sendiri.

3. Karya sastra tidak terikat oleh ruang dan waktu, kontemporaritas adalah

manifestasinya yang paling signifikan.

4. Karya sastra adalah bahasa, sedangkan bahasa itu sendiri adalah satu-satunya cara

mentransmisikan ideologi, yaitu ideologi kolonial.

5. Berbagai masalah yang dimaksudkan dilukiskan secara simbolis, terselubung,

sehingga tujuan-tujuan yang sesungguhnya tidak tampak. Di sinilah ideologi oriental

ditanamkan, di sini pulalah analisis postkolonial memegang peran.

Bill Aschroft (dalam Ratna, 2006: 207) mengatakan bahwa teori poskolonial lahir

sesudah kebanyakan negara-negara terjajah memperoleh kemerdekaannya.

Teori poskolonial mencakup seluruh khazanah sastra nasional yang pernah mengalami

kekuasaan imperial sejak awal kolonialisasi hingga sekarang. Sastra yang dimaksudkan, di

antaranya: Afrika, Australia, Bangladesh, Kanada, Karibia, India, Malaysia, dan Indonesia.

Ratna (2006: 219) mengatakan bahwa bila dikaitkan dengan tujuannya maka wacana

poskolonial adalah wacana yang mewakili sistem ideologi Timur untuk menanamkan

pemahaman ulang sekaligus memberikan citra diri yang baru terhadap bangsa Timur

mengenai hegemoni Barat. Sedangkan wacana orientalisme adalah wacana yang mewakili

sistem ideologi Barat dalam kaitannya untuk menenamkan hegemoni terhadap bangsa Timur.

2.3 Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka bertujuan untuk mengetahui keaslian suatu penelitian. AB

(14)

Peneliti hanya mengkaji dari segi teorinya saja. Tinjauan pustaka yang peneliti jadikan

sebagai referensi adalah sebagai berikut:

Sakinah Annisa Mariz (2013) yang berjudul Manifesto Kebudayaan dalam Novel

Acek Botak. Artikel yang termuat dalam kolom Rebana Harian Analisa (6/1) ini mengulas

tentang andil novel AB dalam manifesto kebudayaan yang memperkaya khazanah sastra di

Nusantara. Mulai dari tokoh yang ada hingga tema yang diusung oleh pengarang novel

mendeskripsikan tentang masa kolonial. Sakinah mengaitkan Novel AB dengan manikebu.

Harapan dan tekad perjuangan Manikebu yang memaknai kebudayaan sebagai

perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia dalam rangka menumbuhkan

semangat nasionalisme berfalsafahkan Pancasila, barangkali inilah yang dimaksudkan juga

dalam novel Acek Botak. Dari stuktur cerita yang dibangun, koherensi antara plot dan

penokohan yang didesain penuh kehati-hatian, mengacu pada satu hal, yakni sila yang ke-3:

Persatuan Indonesia.

Supri Harahap (2012), dalam artikelnya yang berjudul Membaca Ulang Acek Botak di

Harian Analisa (5/8) tidak jauh berbeda dengan pembahasan Sakinah Annisa Mariz. Tema

yang diusung masih mengangkat mengenai kolonialisme.

Yusrinle (2010) sedikit berbeda dengan Supri dan Sakinah. Yusrinle dalam artikelnya

mengusung tema politik yang berjudul Novel “Acek Botak” Mendorong Pembauran Bangsa.

Yusrinle menjelaskan bagaimana sikap politik yang diambil oleh setiap tokoh dalam novel

AB. Sikap Politik orang Tionghoa pada masa itu, dapat dibagi ke dalam tiga sikap. Pertama,

Sikap Politik yang Pro Tiongkok, diwakili oleh Surat Kabar Sin Po. Kedua, Sikap Politik

yang Pro Belanda, diwakili oleh golongan Chung Hwa Hui (CHH) dan yang ketiga adalah

sikap Politik yang Pro Indonesia, di wakili oleh Partai Tionghoa Indonesia (PTI). Dalam hal

(15)

ditambahkan bahwa ada juga sebagian orang Tionghoa yang tidak memiliki sikap Politik.

Mereka hanya ingin berdagang, hidup makmur dan bersikap apatis-pasif dalam hal Politik.

Fadmin Prihatin Malau (2011) dalam artikelnya berjudul Budaya Anak Peranakan

Tionghoa-Melayu menjelaskan bagaimana pengaruh kebudayaan Tionghoa dapat

mempengaruhi kebudayaan lokal.

Budaya lokal saling berinteraksi seperti kebudayaan Tionghoa yang banyak

memengaruhi kebudayaan Indonesia lewat interaksi perdagangan dari dahulu sampai hari ini.

Dahulu para perantau asal daratan Tiongkok yang datang dan tinggal menetap di Tanah Deli.

Para perantau Tiongkok itu menilai Tanah Deli sebagai tanah harapan. Hal inilah dengan

gamblang, jelas tergambar dalam novel berjudul, "Acek Botak" yang ditulis Idris Pasaribu.

Tsanin A. Zuhairy (2009) yang berjudul Teori Postkolonial: Melawan Narsisme dan

Kekerasan Epistemologi Modern. Penelitian tersebut membicarakan mengenai orientalisme

menurut Edward Said. Menurutnya, orientalisme postkolonial, yaitu memandang orientalisme

sebagai mode atau paradigma berpikir yang berdasarkan epistemologi dan ontologi tertentu

yang secara tegas membedakan anatara Timur dan Barat.

Dohardo M. Harianja (1989), Suatu Tinjauan Sejarah Terhadap Anak Tanahair

Karya Ajip Rosidi yang membahas dari segi struktural terutama dari unsur intrinsiknya,

Referensi

Dokumen terkait

Journal of English Educators Society is specific journal than another one, because it discusses about Thai Students’ writing skill, and Journal Pedagogia discuss about

Setelah Pukul 09.05 WI TA jumlah peserta yang memasukkan penawaran masih kurang dari 3 (tiga) perusahaan maka pembukaan penawaran ditunda selama 2 (dua) jam yakni

The purpose of this research was to study the effect of various combination of organic fertilizer on shoot production content of vitamin C, flavonoid, and POD activity with

On page 36, the Previous Study section has been amended with the correct recommendation that candidates should previously have studied a history curriculum.. We have not updated

Dimana sistem pakar bila dikaitkan dengan kemampuan dokter dalam mendiagnosis secara dini kondisi kesehatan pasien, dapat diciptakan suatu sistem komputer yang bertugas untuk

LAPORAN REALISASI SEMESTER PERTAMA APBD DAN PROGNOSIS 6 (ENAM) BULAN BERIKUTNYA PEMERINTAH KABUPATEN PESISIR SELATAN. Semester Pertama Semester Pertama Prognosis

Quality assurance in higher education can be defined as systematic management and assessment procedures to monitor performance of higher education institutions.. Source: AUN-QA

Penulisan ini akan membahas tentang pembuatan situs Sistem Informasi Geografis Kabupaten Cianjur, khususnya dalam bidang pariwisata, dengan menggunakan datadata yang tersedia pada