• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Konsep merupakan gambaran mental dari objek, proses atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan akal budi untuk memahami hal-hal lain (KBBI, 2007:588).

2.2 Campur Kode

Campur kode adalah bila mana orang mencampur dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa (P.W.J. Nababan, 1993:32). Campur kode adalah digunakannya dua bahasa atau lebih, atau dua varian dari sebuah bahasa dalam suatu masyarakat tutur. Di dalam campur kode ada sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi dan keotonomiannya, sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan saja, tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode. Misalnya, seorang penutur berbahasa Indonesia banyak meyelipkan serpihan-serpihan bahasa daerahnya atau bahasa asing, dikatakan telah melakukan campur kode. Dan juga menjelaskan perbedaan alih kode dan campur kode. Kata bilangan di dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa bahasa ke klausa bahasa lain, maka yang terjadi adalah peristiwa alih kode. Tetapi apabila di dalam sebuah peristiwa tutur, kalusa-klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran, dan masing-masing klausa atau frase itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode.

(2)

2.3 Peristiwa Tutur

Peristiwa tutur (Inggris:speechevent) adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur dengan satu pokok tuturan di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu. Jadi interaksi yang terjadi antara seorang penjual dan pembeli di pasar pada waktu tertentu dengan menggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya adalah sebuah peristiwa tutur (Chaer, 2004:47). Dell Hymes (1972), seorang pakar sosiolinguistik terkenal, bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang bila huruf-huruf pertamanya dirangkaikan menjadi akronim SPEAKING. Kedelapan komponen itu adalah (diangkat dari Wardhaugh, 1990) melalui Chaer, 2004:48.

2.4 Masyrakat Tutur

Masyarakat tutur bukanlah hanya sekelompok orang yang menggunakan bahasa yang sama, melainkan kelompok orang yang mempunyai norma yang sama dalam menggunakan bentuk-bentuk bahasa. Kemudian untuk dapat disebut satu masyarakat tutur adalah adanya perasaan diantara para penuturnya, bahwa mereka merasa menggunakan bahasa yang sama (Djokokoentjono melalui Chaer,

2004:36).

Fishman (1976:28) melalui Chaer (2004:36) “Masyarakat tutur adalah suatu masyarakat yang anggota-anggotanya setidak-setidaknya mengenal satu variasi bahasa beserta norma-norma yang sesuai dengan penggunaannya Kata masyarakat dalam istilah masyarakat tutur bersifat relatif dapat menyangkut Masyarakat yang sangat luas dan dapat pula hanya menyangkut sekelompok kecil

(3)

orang. Setiap kali orang yang karena tempat, atau daerahnya, profesinya, hobinya dan sebagainya, menggunakan bentuk bahasa yang sama serta mempunyai penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa itu, mungkin membentuk suatu masyarakat tutur.

Suatu masyarakat tutur itu bukanlah suatu masyarakat yang berbicara dengan bahasa yang sama, melainkan suatu masyarakat yang timbul karena rapatnya komunikasi atau karena integra sisimbolis dengan tetap mengakui kemampuan komunikatif penuturnya tanpa mengingat jumlah bahasa atau variasi bahasa yang digunakan. Dengan demikian dapat dikatakan juga bahwa kompleksnya suatu masyarakat tutur ditentukan oleh banyaknya dan luasnya variasi bahasa didalam jaringan yang didasari oleh pengalaman dan sikap para penuutur dimana variasi itu berada (Chaer dan Leoni Agustina, 2004:38).

2.5 Landasan Teori

Teori adalah pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan,yang didukung oleh data dan argumentasi sebagai bahan pembahasan hasil dari penelitian(Alwi, 2005:1177).

2.5.1 Sosolinguistik

Sosiolinguistik adalah cabang ilmu linguistik yang bersifat interdisipliner dengan ilmu sosiologi, dengan objek penelitian hubungan antara bahasa dengan faktor – faktor sosial didalam suatu masyarakat tutur atau ilmu yang mempelajari ciri dan variasi bahasa atau fungsi variasi bahasa itu di dalam suatu masyarakat bahasa (Kriladaksana 19978 : 94).

(4)

Abdul Chaer mengatakan bahwa sosiolinguistik merupakan ilmu antar disiplin antara sosiologi dan lunguistik, dua bidang ilmu empiris yang mempunyai hubungan yang sangat erat. Sosioligi berusaha mengetahui bagaimana masyarakat itu terjadi, berlangsung dan tetap ada. Dengan mempelajari lembaga sosial dan segala masalah sosial dalam satu masyarakat akan diketahui cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, bagaimana mereka bersosialisasi, dan menetapkan diri kepada tempatnya masing-masing di dalam masyarakat. Sedangkan linguistik adalah ilmu yang pempelajari bahasa atau bidang ilmu yang mengambil bahasa sebagai objeknya. Namun dengan demikian bahwa sosiolinguistik adalah bidang ilmu antar disiplin yang mempelajari bahasa dengan kaitannya dengan penggunaan bahasa itu di dalam masyarakat.

2.5.2 Bilingualisme

Istilah bilingualisme dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Secara sosiolinguistik, secara umum, bilingualisme diartikan sebagai penguna dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian (Mackey, 1962:12, Fishman, 1975:73). Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai dua bahasa itu. Pertama bahasa ibunya sendiri atau bahas pertamanya (disingkat BI), dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahas keduanya (disingkat B2). Orang yang dapat menggunakan dua bahasa disebut orang yang bilingual, dalam bahasa Indonesia disebut dwikebahasawan. Sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas. Namun bilingualisme bukanlah gejala bahasa, melainkan sifat penggunaan bahasa yang dilakukan penutur bilingual secara bergantian. Bilingual

(5)

juga bukan ciri kode, melainkan ciri ekspresip atau pengungkapan seorang penutur.

2.5.3 Alih Kode

Alih kode (code switching) adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke kode yang lain dalam suatu peristiwa tutur. Misalnya penutur menggunakan bahasa Indonesia beralih menggunakan bahasa daerah. Alih kode merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa (language dependency) dalam masyarakat multilingual. Dalam masyarakat multilingual sangat sulit seorang penutur mutlak hanya menggunakan satu bahasa. Dalam alih kode masing-masing bahasa masih cenderung mendukung fungsi masing-masing dan masing-masing fungsi sesuai dengan konteksnya.

Nababan (1991: 31) menyatakan bahwa konsep alih kode ini mencakup juga kejadian pada waktu kita beralih dari satu ragam bahasa yang satu, misalnya ragam formal ke ragam lain, misalnya penggunaan kromo inggil (bahasa jawa) ke tutur yang lebih rendah, misalnya, bahasa ngoko, dan sebagainya. Kridalaksana (1982:7) mengemukakan bahwa penggunaan variasi bahasa lain untuk menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain, atau adanya partisipasi lain disebut alih kode. Holmes (2001:35) menegaskan bahwa suatu alih kode mencerminkan dimensi jarak sosial, hubungan status, atau tingkat formalitas interaksi para penutur.

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa alih kode merupakan gejala peralihan pemakaian bahasa karena perubahan peran dan situasi. Alih kode

(6)

menunjukkan adanya saling ketergantungan antara fungsi kontekstual dan situasional yang relevan dalam pemakaian dua bahasa atau lebih.

2.5.4 Campur Kode

Campur kode (code-mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristk penutur, seperti latar belakang sosial, tingkat pendidikan, rasa keagamaan. Biasanya ciri menonjolnya berupa kesantaian atau situasi informal. Namun bisa terjadi karena keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada padanannya, sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain, walaupun hanya mendukung satu fungsi. Campur kode termasuk juga konvergense kebahasaan (linguistic convergence).

Kridalaksana (1982:32) memberikan batasan campur kode atau interferensi sebagai penggunaan satuan bahasa dari suatu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa; termasuk di dalamnya pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dan sebagainya. Nababan (1989:32) menyatakan bahwa suatu keadaan berbahasa menjadi lain bilamana orang mencampurkan dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam situasi berbahasa yang menuntut percampuran bahasa itu. Tindak bahasa yang demikian disebut campur kode. Campur kode dapat juga dikatakan sebagai alih kode yang berlangsung cepat dalam masyarakat multilinguistik (Holmes, 2001:42).

(7)

Dalam situasi berbahasa yang formal, jarang terdapat campur kode. Kalau terdapat campur kode dalam keadaan formal biasanya disebabkan karena keterpaksaan tidak adanya ungkapan atau padanan yang tepat dalam bahasa yang dipakai itu, sehingga perlu memakai kata atau ungkapan dari bahasa lain (bahasa asing).

Suwito (1985:75) aspek lain dari saling ketergantungan bahasa (language dependency) dalam masyarakat multilingual ialah terjadinya gejala campur kode (code-maxing). Apabila di dalam alih kode fungsi konteks dan relevansi situasi merupakan ciri-ciri ketergantungan ditandai oleh adanya hubungan timbal balik antara peranan dan fungsi kebahasaan. Peranan maksudnya siapa yang menggunakan bahasa itu; sedangkan fungsi kebahasaan berarti apa yang hendak dicapai oleh penutur dengan tuturannya. Jika seorang penutur dalam tuturannya bercampur kode, maka harus dipertannyakan terlebih dahulu siapa dia. Dalam hal ini sifat-sifat khusus si penutur (misalnya : latar belakang sosial, tingkat pendidikan, rasa keagamaan dan sebagainya). Sifat-sifat khusus penutur akan mewarnai campur kodenya.

Ciri lain dari gejala campur kode ialah bahwa unsur-unsur bahasa atau variasi-variasinya yang menyisip di dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai fungsi tersendiri. Unsur-unsur itu telah menyatu dengan bahasa yang disisipinya dan secara keseluruhan hanya mendukung satu fungsi. Dalam kondisi yang maksimal campur kode merupakan konvergensi kebahasaan (linguistic konvergence) yag unsur-unsurnya berasal dari beberapa bahasa yang masing-masing menanggalkan fungsinya dan mendukung fungsi bahasa yang disisipinya

(8)

unsur-unsur demikian dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu: (a) yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasi-variasinya dan (b) bersumber dari bahasa asing. Contoh:

a. penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata : sarkus aur numayis yaha phel hai

sirkus dan pameran di sini gagal adalah

*Di sini sirkus dan pameran tidak (pernah) berhasil* b. penyisipan unsur-unsur yang berujud frase

vipaksh drava vak aut

beroposisi dengan berjalan keluar

*Beroposisidengan meninggalkan sidang*

c. penyisipan unsur-unsur yang berujud bentuk baster: banyak klap malam yang harus ditutup

hendaknya segera diadakan hutanisasi kembali

d. penyisipan unsur-unsur yang berujud pengulangan kata: petrol vetrol bhar liya hai

bensin dan sejenisnya sudah mengisi adalah *Bensin dan sejenisnya telah diisikan*

e. penyisipan unsur-unsur yang berujud ungkapan atau idiom:

yah apa boleh buat, better laat dan noil (lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali)

(9)

f. penyisipan unsur-unsur yang berwujud kalusa:

parhne me sima ki bahut ruci hai vah kahri hai belajar bagi sima dari banyak perhatian adalah ia berkata adalah edukation is necessary for life

pendidikan adalah perlu untuk hidup

*sima sangat menaruh perhatian pada belajar. Ia berkata, ‘pendidikan sangat diperlukan dalam kehidupan’*.

2.5.5 Interferensi

Interferensi adalah perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur bilingual. Penutur bilingual adalah penutur yang menggunakan dua bahasa secara bergantian yaitu antara bahasa Ibu (BI) bahasa lain (B2). Kemampuan terhadap BI dan sangat bervariasi. Dan bertentangan dengan itu untuk mengemukakan interferensi yang terdapat dalam perubahan sistem suatu bahasa, baik mengenai sistem fonelogi, morfologi, maupun sistem lainnya. Dalam bahasa Indonesia yang berasal dari Tapanuli. Fonem // pada kata seperti <dengan> dan <rembes> dilafalkan menjadi [dngan] dan [rmbs]. Penutur bahasa Indonesia yang berasal dari jawa selalu menambahkan bunyi nasal yang homogen di depan kata-kata yang dimulai dengan konsonan /b/, /d/, /g/, /j/. Misalnya pada kata [mBandung], dan [nDepok] (Chaer dan Leoni Agustina, 2004:120).

(10)

Interferensi dalam bidang morfologi terdapat dalam pembentukan kata dengan afiks. Afiks suatu bahasa digunakan untuk membentuk kata dalam bahasa lain. Misalnya dalam bahasa Belanda dan Inggris mempunyai sifiks-isasi, maka banyak penutur bahasa Indonesia yang menggunakannya dalam pembentukan kata bahasa Indonesia, seperti neonisasi, tendanisasi, turinisasi. Bentuk-bentuk tersebut merupakan penyimpangan dari sistem morfologi bahasa Indonesia, sebab untuk membentuk nomina proses dalam bahasa Indonesia dan konfiks pe-an. Jadi, seharusnya penurian dan penendaan. Contoh lain dalam bahasa Arab sufikswi- dan –ni untuk membentuk abjektif. Seperti kata manisiawi, dan surgawi. Penggunaan bentuk-bentuk kata seperti ketabrak, dan kejebak dalam bahasa Indonesia baku juga termasik interferensi, sebab imbuhan yang digunakan dalam bahasa Jawa dan dialek Jakarta. Bentuk bakunya adalah tertabrak, dan terjebak.

2.5.6 Integrasi

Mackey dalam (Chaer dan Leoni Agustina, 1995:128) menjelaskan bahwa integrasi adalah unsur bahasa lain yang digunakan dalam bahasa tertentu dianggap sudah menjadi warga bahsa tersebut, tidak dianggap lagi sebagai unsur pinjaman atau pungutan.

Penerimaan unsur bahasa lain dalam bahasa tertentu sampaai manjadi berstatus integrasi memerlukan waktu dan tahap yang relatif panjang. Pada mulanya seseorang penutur bahasa menggunakan bahasa lain dalam tuturannya sebagai bahasa pinjaman karena terasa diperlukan. Misalnya, karena dalam BInya unsur tersebut belum ada padanannya (sudah ada namun tidak mengetahuinya).

(11)

Apabila kemudian unsur asingitu bisa diterima dan digunakan juga oleh orang lain, maka unsur tersebut merupakan unsur yang sudah berintegrasi.

Misalnya, kata anticipated pada tahun 60-an sampai tahun 70-an merupakan unsur yang belum berintegrasi. Ucapan dan ejaannya masih menurut bahasa aslinya, tetapi ucapan dan ejaannya mengalami penyesuaian sehingga ditulis antisipasi. Maka, sejak itu kata antisipasi tidak dianggap lagi sebagai unsur peminjam, melainnkan sudah menjadi kosakata bahasa Indonesia, atau kosakata bahasa Inggris yang sudah berintegrasi ke dalam bahasa Indonesia. Proses penerimaan unsur bahasa asing khususnya kosakata, di dalam bahasa Indonesia dilakukan secara audial dan visual. Audial artinya mula-mula penutur Indonesia mendengar butir-butir leksikal yang dituturkan oleh penutur aslinya, lalu mencoba menggunakannya. Apa yang telah didengar maka itulah yang diujarkan pada tulisan. Oleh karena itu, kosakata yang diterima secara audial seringkali memperlihatkan ciri ketidakteraturan bila dibandingkan dengan kosakata aslinya.

Contoh:

- Pikir berasal dari kata fikr

- Dongkrak berasal dari kata demmekrach - Bengkel berasal dari kata winkel

Visual artinya penyerapan itu dilakukan melalui bentuk tulisan dalam bahasa lainnya, lalu bentuk tulisan itu disesuaikan menurut aturan yang terdapat dalam bentuk kebahasaan.

(12)

- Marathon menjadi maraton - Energy menjadi energi

Penyerapan unsur asing dalam rangka pengembangan bahasa Indonesia bukan hanya melalui penyerapan kata asing itu yang disertai dengan penyesuaian lafal dan ejaan, tetapi banyak juga dilakukan dengan cara penerjemah konsep. Penerjemah langsung artinya kosakata itu dicarikan padanannya pada bahasa Indonesia. Misalnya:

- Absorb ‘serap’

- In vitro ‘di dalam tabung’ 2.6 Tinjauan Pustaka

Tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan, pendapat sesudah menyelidiki atau mempelajari (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003:1198). Pustaka adalah kitab, buku, buku primbon (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003:912). Berdasarkan tinjauan pustaka yang dilakukan, maka ada sejumlah sumber yang relevanuntuk di tinjau dalam penelitian ini, adapun sumber tersebut.

Dalam penelitian tentang campur kode sudah pernah diteliti sebelumnya, seperti Hill dan Hill 1980 (dalam Chaer, 1995) mengatakan tidak ada harapan untuk membedakan antara ahli kode dan campur kode. Namun yang jelas, kalau dalam ahli kode setiap bahasa atau ragam bahasa yang digunakan masih memiliki fungsi otonomi masing-masing. Dilakukan dengan sadar dan dengan sengaja atas sebab-sebab tertentu, sedangkan di dalam sebuah campur kode ada sebuah kode

(13)

utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi, sedangkan kode lain yang terlibat dalm peristiwa tutur itu hanya berupa serpihan-serpihan saja, tanpa fungsi sebagai sebuah kode.

Andrea (2006) dalam skripsinya yang berjudul Campur Kode dalam Novel Edensor Karya, Penelitian ini merupakan kajian tentang campur kode bahasa yang terdapat dalam novel Edensor karya Andrea Hirata. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk campur kode sekaligus untuk mengetahui frekuensi tiap bentuk campur kode.

Rosliana (1998) dalam skripsinya yang berjudul Alih Kode dan Campur Kode Pada Penutur Bahasa Indonesia, mengatakan bahwa alih kode dan campur kode adalah merupakan peristiwa yang lazim terjadi pada masyarakat yang bilingual dan mempunyai kesamaan yang besar, sehingga sering kali sukar dibedakan.

Mayerni (2003) dalam skripsi yang berjudul Campur Kode dalam Majalah Aneka Yees, mengatakan bahawa Campur kode sangat berpengaruh terhadap perkembangan bahasa Indonesia. pengaruh yang ditimbulkan oleh campur kode ada yang bersifat positif dan ada yang bersifat negatif. Bersifat positif disebut integrasi dan bersifat negatif disebut interferensi. Integrasi dikatakan bersifat positif karena dapat menambah perbendaharaan kosakata dalam bahasa Indonesia dan interferensi dikatakan bersifat negatif karena dapat merusak perkembangan bahasa Indonesia. Dalam penelitian ini, baik integrasi maupun interferensi tidak

(14)

banyak terdapat dalam majalah Aneka Yess!. Penelitian ini dikhususkan dibidang kosakata.

Azizah (2006) dalam skripsi yang berjudul Campur Kode dan Alih Kode Tuturran Penjualan dan Pembelian di pasar Johar Semarang, mengatakan bahwa Wujud alih kode tuturan penjual dan pembeli di Pasar Johar Semarang adalah berupa alih bahasa yang meliputi: alih bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa, alih bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia dan alih bahasa Indonesia ke dalam bahasa asing. Alih bahasa Jawa berupa: peralihan antar tingkat tutur yaitu karma, madya dan ngoko.

Referensi

Dokumen terkait

Musim tanam merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi hasil dalam usaha budidaya tanaman padi, penggunaan varietas unggul baru yang adaptif merupakan salah satu

Analisis kinerja jaringan WLAN (Wireless Local Area Network) di RS Surya Asih menekankan pada proses monitoring dan pengukuran parameter jaringan pada infrastruktur jaringan seperti

Hasil simulasi yang didapat yaitu mekanisme spectrum sharing rule C menghasilkan alokasi kanal bagi secondary user yang bebas konflik satu sama lain dengan jumlah kanal

Perbedaan pendekatan audit berpeduli risiko dengan pendekatan audit konvensional adalah pada metodologi yang digunakan dimana auditor mengurangi perhatian pada pengujian transaksi

Susun program yang ditulis dalam Bahasa C++, untuk menginput sebuah nilai integer yang menyatakan waktu (durasi) dalam satuan detik , kemudian cetaklah waktu tersebut dalam satuan Jam

kemiskinan.Sehubungan dengan itu maka urgensi pelatihan ini adalah: (1) Meletakkan masyarakat sebagai penggerak pembangunan di tingkat desa dengan menggunakan modal yang

Dari penelitian yang telah dilaksanakan, orang tua dengan anak HIV/AIDS di poli VCT RSUD Waluyo Jati Kraksaan pada tingkat pendidikan dan pekerjaan orang tua sangat

Kontribusi langsung yang diberikan fokus pada konsumen terhadap kepuasan kerja karyawan ini menjelaskan bahwa perubahan kepuasan kerja karyawan dipengaruhi oleh