Contoh Makalah Al-Qardh
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah S.W.T yang telah melimpahkan
Rahmat serta hidayahnya dan telah mengutus Muhammad
dengan petunjuk din yang benar untuk dimenangkan atas semua
din.Semoga Salawat serta salam selalu di limpah curahkan
kepada junjungan nabi kita Muhammad SAW,beserta segenap
pengikutnya hingga hari akhir.
Syukur alhadulillah makalah ini telah kami susun sesuai
dengan jadwal yang di tetapkan.Makalah ini merupakan
himpunan dari berbagai referensi buku lain.
Atas saran dari beberapa rekan,mengingat isi buku tersebut
masih relevan da actual untuk diketahui oleh mahasiswa,praktisi
dan diperlukan masyarakat umum,maka buku tersebut kami
ambil bagian-bagian yang sangat diperlukan dalam mengerjakan
Kami berterima kasih yang tak terhingga kepada semua
pihak yang telah memberikan bantuan baik moral maupun
materil sehingga makalah yang sederhana ini dapat Kami
selesaikan.
Secara khusus kami sapaikan terimakasih kepada teman-teman
seperjuangan yang telah mensupport dan terimakasih juga
kepada perpustakaan syaria’ah yang telah meminjamkan buku
sehingga dapat tersusun bentuk makalah seperti sekarang ini.
Oleh karena hal-hal yang tersbut dalam makalah ini masih banyak
terdapat kekurangan dan kesempurnaan,baik dari segi teknik
penulisan maupun materi yang disajikan,oleh karena itu kritik dan
saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini dan semoga makalah ini bermanfaat
bagi semua yang membacanya.
PENDAHULUAN
Ajaran Islam mengakui adanya perbedaan pendapatan dan
kekayaan pada setiap orang dengan syarat bahwa perbedaan
tersebut diakibatkan karena setiap orang mempunyai perbedaan
keterampilan, inisiatif, usaha dan resiko. Namun perbedaan itu
tidak boleh menimbulkan kesenjangan yang terlalu jauh antara
yang kaya dengan yang miskin karena kesenjangan yang terlalu
dalam tidak sesuai dengan syariah Islam yang menekankan
bahwa sumber-sumber daya bukan saja karunia dari Allah bagi
semua manusia, melainkan juga merupakan suatu amanah. Oleh
karena itu tidak ada alasan untuk mengkonsentrasikan
Kurangnya program-program efektif untuk mereduksi
kesenjangan sosial yang terjadi selama ini dapat mengakibatkan
kehancuran, bukan penguatan perasaan persaudaraan yang
hendak diciptakan ajaran Islam. Syariah Islam sangat
menekankan adanya suatu distribusi kekayaan dan pendapatan
yang merata sebagaimana yang tercantum dalam Surah Al Hasyr
ayat 7, yakni “… kekayaan itu tidak beredar di kalangan
orang-orang kaya di antara kamu saja.”
Distribusi kekayaan dan pendapatan yang merata bukan
berarti sama rata sebagaimana faham kaum komunisme, tetapi
ajaran Islam mewajibkan setiap individu untuk berusaha
memenuhi kebutuhan hidupnya, dan sangat melarang seseorang
menjadi pengemis untuk menghidupi dirinya.
Dalam literatur Ekonomi Syariah, terdapat berbagai macam
bentuk transaksi
kerjasama usaha, baik yang bersifat komersial maupun sosial,
salah satu berbentuk “qardh”. Qardh adalah pemberian harta
kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali tanpa
transaksi pinjam meminjam tanpa syarat tambahan pada saat
pengembalian pinjaman. Dalam literatur fiqh klasik, qardh
dikategorikan dalam aqd tathawwui atau akad tolong menolong
dan bukan transaksi komersial.
1. Definisi al-Qardh
Secara umum pinjaman merupakan pengalihan hak milik
harta atas harta. dimana pengalihan tersebut merupakan kaidah
dari Qardh.
A.Pengertian Pinjaman Menurut Bahasa Arab
Qardh secara bahasa, bermakna Al-Qath’u yang berarti
memotong. Harta yang disodorkan kepada orang yang berhutang
disebut Qardh, karena merupakan potongan dari harta orang
yang memberikan hutang. Kemudian kata itu digunakan sebagai
bahasa kiasan dalam keseharian yang berarti pinjam meminjam
orang kaya bersaudara dengan orang kaya, kemudian mereka
saling meminjamkan, sedangkan orang miskin tidak memiliki
saudara”
B. Pengertian Pinjaman Menurut Hukum Syara’
Secara syar’i para ahli fiqh mendefinisikan Qardh:
1. Menurut pengikut Madzhab Hanafi , Ibn Abidin mengatakan
bahwa suatu pinjaman adalah apa yang dimiliki satu orang lalu
diberikan kepada yang lain kemudian dikembalikan dalam
kepunyaannya dalam baik hati.
2. Menurut Madzhab Maliki mengatakan Qardh adalah
Pembayaran dari sesuatu yang berharga untuk pembayaran
kembali tidak berbeda atau setimpal.
3. Menurut Madzhab Hanbali Qardh adalah pembayaran uang ke
seseorang siapa yang akan memperoleh manfaat dengan itu
dan kembalian sesuai dengan padanannya.
4. Menurut Madzhab Syafi’i Qardh adalah Memindahkan
kepemilikan sesuatu kepada seseorang, disajikan ia perlu
membayar kembali kepadanya.
Menurut Syafi’i Antonio (1999), qardh adalah pemberian harta
kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali atau
dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharap imbalan.
Menurut Bank Indonesia (1999), qardh adalah akad pinjaman dari
bank (muqridh) kepada pihak tertentu (muqtaridh) yang wajib
dikembalikan dengan jumlah yang sama sesuai pinjaman.
2. Aspek Syariah Al-Qardh
Transaksi qardh diperbolehkan oleh para ulama berdasarkan
hadits riwayat Ibnu Majjah dan ijma ulama. Sungguhpun demikian
,Allah SWT mengajarjkan kepada kita agar meminjamkan sesuatu
bagi “agama Allah”.
a. Al-Qur’an
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah,
pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka
Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan
melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu
dikembalikan.(Al-Baqarah : 245)
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah,
sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.(Al-Maidah : 2)
Yang menjadi landasan dalil dalam ayat ini adalah kita diseru
untuk “meminjamkan kepada Allah”,artinya untuk
membelanjakan harta di jalan Allah.
Selaras dengan memeinjamkan kepada Allah,kita juga diseru
untuk “meminjamkan kepada sesama manusia”.Sebagai bagian
dari kehidupan bermasyarakat.
b. As-Sunnah
Dari Anas ra, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda :
“Pada malam peristiwa Isra’ aku melihat di pintu surga tertulis
’shadaqoh (akan diganti) dengan 10 kali lipat, sedangkan Qardh
dengan 18 kali lipat, aku berkata : “Wahai jibril, mengapa Qardh
meminta, peminta tersebut memiliki sesuatu, sementara ketika
berutang, orang tersebut tidak berutang kecuali karena
kebutuhan”.
(HR. Ibnu Majah dan Baihaqi dari Abas bin Malik ra, Thabrani dan
Baihaqi meriwayatkan hadits serupa dari Abu Umamah ra).
Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa Nabi saw berkata,”Bukan
seorang muslim (mereka) yang meminjamkan muslim(lainya)dua
kali lipat kecuali yang satunya adalah (senilai)sedekah”(HR Ibnu
Majah,Ibnu Hibban dan Baihaqi).
c. Ijma’
Secara ijma’ juga Para ulama menyatakan bahwa Qardh
diperbolehkan. Qardh bersifat mandub (dianjurkan) bagi muqridh
(orang yang mengutangi) dan mubah bagi muqtaridh (orang yang
berutang) kesepakatan ulama ini didasari tabiat manusia yang
tidak bias hidup tanpa pertolongan dan bantuan
saudaranya.Tidak ada sesoranga pun yang memiliki segala
barangyang ia butuhkan.Oleh karena itu, pinjam meminjam sudah
agama yang sangat memperhatikan segenap kebutuhan
umatnya.
3. Aplikasi dalam Perbankan
Akad qard biasanya diterapkan sebagai berikut:
a. Sebagai produk perlengkapan kepada nasabah yang telah
terbukti loyalitas dan bonafiditasnya,yang membutuhkan dana
talangan segera untuk masa yang rlatif pendek. Nasabah
tersebut akan mengembalikan secepatnya sejumlah uang yang
dipinjamnya itu.
b. Sebagai fasilitas nasabah yang memerlukan dana
cepat,sedangkan ia tidak bisa menarik dananya
karena,misalnya tersimpan dalam bentuk deposito.
c. Sebagai produk untuk menyumbang usaha yang sangat kcil
atau memebayar sektor sosial. Guna pemenuhan skema
khusus ini telah dikenal suatu produk khusus yaitu al-qardh
Al-hasan
Madzhab Hanafi berpendapat, Qardh dibenarkan pada harta
yang memiliki kesepadanan, yaitu harta yang perbedaan nilainya
tidak meyolok, seperti barang-barang yang ditakar, ditimbang,
biji-bijian yang memiliki ukuran serupa seperti kelapa, telur. Tidak
diperbolehkan melakukan qardh atas harta yang tidak memiliki
kesepadanan, baik yang bernilai seperti binatang, kayu dan
agrarian, dan harta biji-bijian yang memiliki perbedaan menyolok,
karena tidak mungkin mengembalikan dengan semisalnya.
Madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali berpendapat,
diperbolehkan melakukan qardh atas semua harta yang bisa
diperjualbelikan objek salam, baik ditakar, atau ditimbang, seperti
emas, perak dan makanan atau dari harta yang bernilai, seperti
barang-barang dagangan, binatang dan sebagainya, seperti
harta-harta, biji-bijian.
4. Hukum Qardh
Hak kepemilikan dalam Qardh menurut Abu Hanifah dan
Muhammad – berlaku melalui Qabdh (penyerahan).Jika seseorang
berhak menggunakan dan mengembalikan dengan semisalnya
meskipun muqridh meminta pengembalian gandum itu sendiri,
karena gandum itu bukan lagi miliki muqridh. Yang menjadi
tanggung jawab muqtaridh adalah gandum yang semisalnya dan
bukan gandum yang telah diutangnya, meskipun Qardh itu
berlangsung.
Abu yusuf berkata : muqtaridh tidak memiliki harta yang
menjadi objek Qardh selama Qardh itu berlangsung.
Mazhab hanafi berpendapat, Qardh dibenarkan pada harta
yang memiliki kesepadanan, yaitu harta yang perbedaan nilainya
tidak menyolok, seperti barang-barang yang ditakar, ditimbang,
biji-bijian yang memiliki ukuran serupa seperti kelapa dan telur,
dan yang diukur, seperti kain bahan. Di perbolehkan juga
meng-qardh roti, baik dengan timbangan atau biji.
Mazhab Maliki, Syafi’I, dan Hambali berpendapat,
diperbolehkan melakukan qardh atas semua harta yang bias
dijualbelikan obyek salam, baik itu ditakar, ditimbang, seperti
emas, perak dan makanan atau dari harta yang bernilai, seperti
harta-harta biji-bijian, karena pada riwayat Abu Rafi’ disebutkan
bahwa Rasulullah SAW berutang unta berusia masih muda,
padahal untuk bukanlah harta yang ditakar atau ditimbang, dan
karena yang menjadi obyek salam dapat di hakmiliki dengan jual
beli dan ditentukan dengan pensifatan. Maka bisa menjadi obeyek
qardh. Sebagaimana harta yang ditakar dan ditimbang.
Dari sini, menurut jumhur ahli fiqih, diperbolehkan melakukan
qardh atas semua benda yang boleh diperjualbelikan kecuali
manusia, dan tidak dibenarkan melakukan qardh atas
manfaat/jasa, berbeda dengan pendapat Ibnu Taimiyah, seperti
membantu memanen sehari dengan imbalan ia akan dibantu
memenen sehari, atau menempoati rumah orang lain dengan
imbalan orang tersebut menempati rumahnya.
5. Manfaat Al-Qardh
a. Memungkinkan nasabah yang sedang dalam kesulitan
mendesak untuk mendapat talangan jangka pendek.
b. Al-qardh al-hasan juga merupakan salah satu ciri syariah dan
bank konvensional yang didalamnya terkandung pembeda
c. Adanya misi kemasyarakatan ini akan meningkatkan citra baik
dan meningkatkan loyalitas masyarakat kepada bank syariah. d. Risiko al-qardh terhitung tinggi karena ia di anggap
pembiayaan yang tidak ditutup dengan jaminan.
Dilihat dari definisi diatas, maka pinjaman dapat dibagi
menjadi dua bagian, yaitu pinjaman seorang hamba untuk
Tuhan-Nya dan pinjaman seorang muslim untuk saudaranya.
a. Pinjaman seorang hamba untuk Tuhan-Nya
Yaitu apa yang diberikan oleh seorang muslim untuk
membantu saudaranya tanpa mengharap kembalinya barang
tersebut karena semata-mata untuk mengharapkan balasan di
akhirat nanti.
Hal ini mencakup infaq untuk berjihad, infaq untuk anak-anak
orang-orang miskin. Jenis ini telah disebutkan di dalam Al-Qur’an
dengan kata ‘al-qardh’, sebagaimana tersebut dalam firman Allah
SWT “Dan berperanglah kamu sekalian di jalan Allah, dan
ketahuilah sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.”
(Q.S Al-Baqarah : 244)
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman
yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan
meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda
yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki)
dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.”(Q.S Al-Baqarah :
245)
Sebagaimana yang kita lihat ayat di atas, jelaslah bahwa
pinjaman yang dimaksud disini berbeda dengan apa yang sering
kita lihat didalam kehidupan bermasyarakat, yang mana
seseorang meminjam dari temannya karena didorong oleh
adanya suatu kebutuhan. Karena pinjaman yang dimaksud dalam
ayat ini sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah SWT.
Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan masalah
ini.Madzhab Abu Hanifah berkata, “Pinjaman yang diperbolehkan
adalah sesuatu yang mempunyai persamaan yang mungkin dapat
digantikan dengan sesuatu yang seruoa, akan tetapi menyangkut
barang-barang bernilai seperti hewan, property, kayu bakar dan
segala sesuatu yang tidak mungkin ditemukan barang yang
serupa dan persis dengannya waktu pengembalian barang
pinjaman tersebut, maka tidak boleh dipinjamkan. Karena
menurut golongan ini, bahwa pinjam meminjam dengan sesuatu
yang tidak dapat digantikan dengan yang serupa tidak
diperbolehkan.
Madzhab Imam Malik menambahkan definisi ini dengan
beberapa point berikut :
• Hendaklah barang yang dipinjamkan mempunyai nilai jual,
dengan begitu tidak dibenarkan meminjamkan sepotong api. • Orang yang meminjam harus mengembalikan barang
pinjamannya.
• Pengembalian pinjaman hendaklah diberikan sesudah
menerima pinjamannya.
• Hendaklah orang yang memberikan pinjaman tersebut berniat
saja, dan tidak berniat untuk mendapatkan keuntungan pribadi
maupun untuk mendapatkan keuntungan bersama.
• Tidak boleh meminjamkan alat fital seorang sahaya perempuan
kepada seseorang untuk dimanfaatkan
• Hendaklah orang yang meminjam sesuatu harus menjamin
bahwa ia akan mengembalikan pinjamannya, sehingga dalam
hal ini masjid dan madrasah tidak bisa dipinjamkan.
Setelah kita memberikan pinjaman kepada seseorang
(saudaranya), hendaklah pinjaman tersebut mengandung unsur
kebaikan, begitu juga apabila pinjaman tersebut telah jatuh
tempo.
Ber-ihsan dalam menagih hutang (Qardh), adakalanya
dilakukan dengan menganggapnya lunas, semua maupun
sebagiannya, atau dengan mengundurkan waktu pembayaran
tersebut yang telah jatuh tempo, ataupun dengan mengurangi
pelbagai persyaratan pembayaran yang telah memberatkan.
Semua itu sangat dianjurkan, Sebagaimana dalam Sabda Nabi
“Rahmat Allah tercurah atas siapa-siapa yang’mudah’ dalam
membeli, ‘mudah’ dalam menjual, ‘mudah dalam membayar dan
‘mudah’ dalam menagih”
Rasulullah SAW, juga pernah menyebutkan tentang seorang
laki-laki yang masa lalunya penuh dengan perbuatan dosa, yang
ketika dihisab, ternyata tidak memiliki cacatan amal kebaikan
yang pernah ia lakukan.
Maka ditanyakan kepadanya, “Apakah anda tidak pernah
melakukan kebaikan apapun ? “Tidak, “jawabnya. “Tetapi saya
dahulu adalah seorang pemberi hutang, dan senantiasa
mengingatkan kepada para pegawai saya : ‘Perlakukanlah yang
mampu diantara para penghutang dengan perlakuan yang baik,
dan undurkanlah waktu pembayaran bagi yang dalam
kesusahan’. (Dalam versi lain : ‘….dan maafkanlah (yakni
anggaplah hutangnya lunas) bagi yang dalam kesusahan’). Lalu
Allah SWT pun menghapus dosa-dosanya dan mengampuninya.
Seandainya semua masyarakat mengetahui hal demikian,
tidak akan terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan seseorang
bantuan. Apalagi ditengah kondisi krisis sekarang ini. Dimana,
kita sebagai orang yang memiliki kelebihan harta hendaklah
menolong saudara-saudara kita yang telah dilanda kesusahan
dengan memberikan bantuan berupa pinjaman yang ihsan,
bahkan tidak sekadar itu dapat memberikan Qardhul Hasan
(menginfakkan, mensedeqahkan sebagaian hartanya tanpa
mengaharapkan imbalan seperserpun tetapi hanya mengharap
ridha Allah SWT). Tetapi kalau hanya memikirkan kehidupan
duniawi manusia takluput akan kerakusan harta, yang diingat
hanyalah berapa besar kelebihan dari kembalian harta yang telah
dipinjamkan.
Pinjaman Berbunga
Bahwa pinjaman yang berbunga adalah haram berdasarkan
Al-Qur’an, Sunnah, ijma’. Keharaman itu meliputi segala macam
bunga yang dijadikan syarat oleh orang yang memberi pinjaman
kepada si peminjam. Karena tujuan dari pemberi pinjaman adalah
mengasihi si peminjam dan menolongnya. Tujuannya bukan
mencari kompensasi atau keuntungan. Oleh sebab itu, pinjaman
orang yang meminjamkan uang itu, mengambil kembali uang
tersebut. Namun, yang diambil kembali bukan uang yang
dipinjamkan, tetapi senilai dengan uang tersebut. Berarti
derajatnya sama dengan orang yang meminjami fasilitas uangnya
kemudian mengambil kembali uangnya. Dengan dasar itu, berarti
pinjaman berbunga yang diterapkan oleh bank-bank maupun
rentenir dimasa sekarang ini jelas-jelas merupakan riba yang
diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. sehingga bisa terkena
ancaman keras baik didunia maupun diakhirat dari Allah SWT.
Jenis-jenis pinjaman yang mengandung riba
1. Pinjaman Konsumtif
Pinjaman-pinjaman semacam ini dilakukan oleh orang-orang
yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan
pribadinya. Pinjaman jenis ini amat biasa di kalangan orang-orang
miskin dan menengah, khususnya di negara-negara yang sedang
berkembang, seperti terjadi di Indonesia sejak dilanda krisis
multidimensi salah satu diantara krisis moneter, dimana terjadi
kenaikan pada semua harga barang, akibatnya masyarakat
mata uang yang menurun disamping itu juga pendapatan
masyarakat yang cenderung tidak meningkat. Sebagian besar
orang mengambil pinjaman ini untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Oleh karena itu, sebagian besar dari pendapatan
mereka diambil alih oleh pemilik modal dalam bentuk bunga.
Jutaan manusia di negara-negara yang sedang berkembang
menggunakan seluruh hidupnya untuk membayar utang yang
diwariskan kepada mereka. Upah dan gaji mereka sangat rendah
sehingga setelah membayar bunga, sangat sedikit yang tersisa
untuk menjadikan mereka mampu mendapatkan satu dua piring
makanan setiap hari.
Pembayaran angsuran bunga yang berat secara terus
menerus ini telah merendahkan standard kehidupan dan
pendidikan anak-anak mereka. Disamping itu, kecemasan yang
terus menerus rupanya mempengaruhi efisiensi kerja mereka
yang pada akhirnya akan memperlemah perekenomian negara
mereka.
Selanjutnya, pembayaran bunga telah mengurangi
industri yang memenuhi permintaan golongan miskin dan
menengah akan memperoleh kesan akan rendahnya permintaan
pada kalangan tersebut. Dan secara berangsur-angsur tetapi
dengan pasti, hal ini akan menurunkan pembangunan industri
serta menghambat kemajuan masyarakat.
1. Pinjaman Produktif
Pinjaman ini dilakukan oleh para pedagang, industrialis dan
para petani untuk tujuan-tujuan yang produktif termasuk dalam
kategori peminjam jenis ini. Kapitalis, dengan malapraktek
mereka, telah menimbulkan banyak kesengsaraan dengan
memungut bunga dari para peminjam, begitu juga terhadap
masyarakat.
6. Aplikasi Qardh
Pinjaman qardh biasanya diberikan oleh bank kepada
nasabahnya sebagai fasilitas pinjaman talangan pada saat
nasabah mengalami overdraft. Fasilitas ini dapat merupakan
bagian dari satu paket pembiayaan lain, untuk memudahkan
nasabah bertransaksi. Aplikasi qardh dalam perbankan ada empat
a. Sebagai pinjaman talangan haji
b. Sebagai pinjaman tunai dari produk kartu kredit syariah c. Sebagai pinjaman kepada pengusaha kecil
d. Sebagai pinjaman kepada pengurus bank
Rukun dan Syarat
1. Rukun :
– Muqridh (pemilik barang)
– Muqtaridh (yang mendapat barang atau peminjam) – Ijab qobul
– Qardh (barang yang dipinjamkan)
2. Syarat sah qardh :
– Qardh atau barang yang dipinjamkan harus barang yang
memiliki manfaat, tidak sah jika tidak ada kemungkinan
pemanfaatan karena qardh adalah akad terhadap harta.
– Akad qardh tidak dapat terlaksana kecuali dengan ijab dan
qobul seperti halnya dalam jual beli.
3. Sumber dana
Sifat qardh tidak memberikan keuntungan finansial. Karena
a. Al-qardh yang diperlukan untuk membantu usaha sangat kecil
dan keperluan social, dapat bersumber dari dana zakat, infaq,
dan sedekah.
b. Al-qardh yang diperlukan untuk membantu keuangan nasabah
secara cepat dan berjangka pendek. Talangan dana di atas
dapat diambilakan dari modal bank.
Fatwa Dewan Syariah Nasional tentang Pembiayaan
Pengurusan Haji Lembaga Keuangan Syariah Di antara keputusan
fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional No.
29/DSN-MUI/VI/2002 tentang Pembiayaan Pengurusan Haji Lembaga
Keuangan Syariah adalah sebagai berikut:
– Dalam pengurusan haji bagi nasabah, Lembaga Keuangan
Syariah (LKS) dapat memperoleh imbalan jasa (ujrah)
dengan menggunakan prinsip al-ijarah sesuai Fatwa DSN-MUI
no. 9/DSN-MUI/IV/2000.
– Besar imbalan jasa al-Ijarah tidak boleh didasarkan pada
jumlah talangan al-Qardh yang diberikan Lembaga Keuangan
Syariah (LKS) kepada nasabah.
– Apabila diperlukan, Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dapat
menggunakan prinsip al-Qardh sesuai dengan Fatwa
DSN-MUI nomor 19/DSN-DSN-MUI/IV/2001.[1][3]
Keputusan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional
ini didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
– Salah satu bentuk jasa pelayanan keuangan yang menjadi
kebutuhan masyarakat adalah pengurusan haji dan talangan
pelunasan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH).
– Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS) perlu merespon
kebutuhan masyarakat tersebut dalam berbagai produknya. – Agar pelaksanaan transaksi tersebut sesuai dengan prinsip
syari’ah, maka Dewan Syariah Nasional memandang perlu
menetapkan fatwa tentang pengurusan dan pembiayaan haji
oleh Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS) untuk dijadikan
pedoman.[1][4]
Berdasarkan pertimbangan di atas itulah, Dewan Syariah
Nasional memberikan ketetapan hukum boleh melakukan ibadah
haji dengan bantuan talangan dari pihak Lembaga Keuangan
Syari’ah (LKS), dengan syarat ia harus mampu melunasinya
Bahkan pendapat yang paling ketat mensyaratkan pihak
peminjam harus melunasinya sebelum pemberangkatan haji,
sebab kalau tidak demikian berarti ia termasuk orang yang tidak
diwajibkan menunaikannya karena belum cukup syarat (mampu).
Telaah terhadap Fatwa Dewan Syariah Nasional tentang
Pembiayaan Pengurusan Haji Lembaga Keuangan Syariah Sistem
keuangan dan perbankan Islam hadir untuk memberikan berbagai
jasa keuangan yang dapat diterima secara religius kepada
komunitas-komunitas muslim.[1][5] Dapat diterima secara religius
artinya tujuan dari sirkulasi keuangan itu sesuai dengan
prinsip-prinsip Islam dan tidak mengandung unsur riba dan pemerasan.
Jadi, aspek utama yang ditekankan di sini adalah kesejahteraan
sosial yang dilihat dari apakah aktivitas tersebut
menambahkegunaan (masalih) atau tidak (mafasid).[1][6]
Bila dikaitkan dengan jasa yang diberikan oleh Lembaga
Keuangan Syari’ah (LKS) untuk menalangi pelunasan Biaya
Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) cukup jelas bahwa kegiatan tersebut
sangatlah membantu kemudahan masyarakat yang ingin
ibadah haji, meski biaya yang mereka butuhkan belum tersedia
secara memadai. Menurut penyusun, faktor inilah yang menjadi
pertimbangan Dewan Syariah Nasional mengeluarkan fatwa
mengenai kebolehan menalanginya bagi Lembaga Keuangan
Masyarakat.
Bila ditelaah melalui perspektif ushul fiqh, sikap yang diambil
oleh Dewan Syariah Nasional didasarkan para prinsip li
al-maslahah al-mursalah. Namun yang perlu ditekankan di sini
adalah bahwa orang tersebut tetap berada dalam koridor istitha’
(sanggup atau mampu) untuk melunasinya dalam waktu yang
disepakati, karena bila ia hanya mengandalkan keinginan semata
tanpa disertai kesanggupan untuk melunasi berarti ia telah
memaksakan diri (bukan berdasar keikhlasan) padahal yang
namanya ibadah harus dilaksanakan secara ikhlas dan sesuai
kesanggupannya.
Berkaitan dengan fatwa Dewan Syariah Nasional mengenai
hukum penalangan tersebut apakah masuk dalam hukum ijarah
(menyewa) ataukah qardh (meminjam), maka di bawah ini perlu
a. Al-ijarah (operational lease) adalah akad pemindahan hak
guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa,
tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan
(ownership/milkiyah) atas barang itu sendiri.[1][7]
b. Al-Qardh (soft and benevolent loan) adalah pemberian harta
kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali
atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan
imbalan.
Dalam literatur fiqih klasik, qardh dikategrikan dalam ‘aqd
tathawwu’i atau akad saling membantu dan bukan transaksi
komersial.[1][8]
Dari kedua definisi di atas dapat diketahui bahwa jasa yang
diberikan oleh Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS) untuk
menalangi pelunasan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) kurang
tepat bila digunakan istilah al-Qardh (meminjamkan), karena
dalam Islam, pinjam meminjam adalah akad sosial, bukan akad
komersial. Artinya bila seseorang meminjam sesuatu, ia tidak
boleh disyaratkan untuk memberikan tambahan atas jasa pokok
pinjamannya. Hal ini didasarkan pada hadis Nabi saw yang
adalah riba, sedangkan para ulama sepakat bahwa riba itu haram.
Karena itu, dalam Lembaga Keuangan Syari’ah pinjaman tidak
disebut kredit, tapi pembiayaan (financing).
Dalam kasus ini, bila nasabah datang Lembaga Keuangan
Syari’ah (LKS) dan ingin meminjam uang untuk keperluan naik
haji karena biaya yang tersedia tidak cukup, maka ia harus
melakukan akad ijarah (sewa) dan bukan akad qardh (meminjam).
Karena jika LKS memberikan pinjaman kepada nasabah atas
nama akad qardh untuk membantu menalangi pembiayaan haji,
maka LKS tidak boleh mengambil keuntungan dari pinjaman itu.
7. Al-Qardhul hasan
Allah swt berfirman: dalam al-Baqarah ayat 245 : Siapakah
yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik
(menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat
gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang
banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan
kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.
Secara umum, Qardh Hasan diartikan sebagai infak di jalan
kebenaran dan bersedekah kepada para fakir miskin dan
orang-orang yang membutuhkan. Ada juga yang mengatakan: Qardh
Hasan itu adalah amal shaleh muthlaqon yang mana dia adalah
bentuk transaksi pinjaman yang benar-benar bersih dari
tambahan/bunga.
Pengertian “al-hasan” disini adalah ketika seorang muslim
meminjamkan atau menginfakkan sesuatu yang ada pada dirinya
hendaklah dia mengeluarkan sesuatu yang elok tanpa cela. Maka
Qardh hasan itu pada dasarnya adalah sedekah yaitu pekerjaan
KESIMPULAN
Dari uraian makalah ini, maka dapat disimpulkan bahwa bank
syariah memiliki keunggulan atau nilai lebih dibandingkan dengan
bank konvensional dari segi pembiayaan, karena dalam bank
syari’ah memiliki berbagai macam bentuk pembiayaan yang
meudahkan bagi para nasabah dalam segi pembiayaan. Bank
syariah juga memiliki keuntungan yang lebih dibandingkan
DAFTAR PUSTAKA
• Antonio Syafi’I. Bank Syariah: Dari Teori Ke Praktek, Jakarta:
Gema Insani, 2001
• www.google.com/wiipedia