• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELAKSANAAN GADAI EMAS BERDASARKAN FATWA DSN NOMOR 26/DSN-MUI/2002 TENTANG RAHN EMAS PADA PT. BANK SYARIAH MANDIRI CABANG BUKITTINGGI.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PELAKSANAAN GADAI EMAS BERDASARKAN FATWA DSN NOMOR 26/DSN-MUI/2002 TENTANG RAHN EMAS PADA PT. BANK SYARIAH MANDIRI CABANG BUKITTINGGI."

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

1

TESIS

PELAKSANAAN GADAI EMAS BERDASARKAN FATWA DSN NOMOR 26/DSN-MUI/2002 TENTANG RAHN EMAS PADA PT. BANK SYARIAH

MANDIRI CABANG BUKITTINGGI

Oleh

Nailul Husna 1120115013

MAGISTER KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ANDALAS

(2)

3

ABSTRAK

Tesis ini berjudul “Pelaksanaan Gadai Emas berdasarkan Fatwa DSN-MUI No.25/DSNDSN-MUI/III/2002 Tentang Rahn Emas pada Bank Syariah Mandiri Cabang Bukittinggi. Hal ini di latar belakangi bahwa gadai merupakan salah satu katagori dari perjanjian utang piutang untuk suatu kepercayaan dari yang berpiutang, maka yang berhutang menggadaikan barangnya sebagai jaminan terhadap utangnya.

Secara konseptual operasional gadai syari‟ah tidak jauh beda dengan pegadaian konvensional, perbedaan utama antara biaya rahn dan bunga pegadaian adalah dari sifat bunga yang bisa berakumulasi dan berlipat ganda, sedang biaya rahn hanya sekali dan ditetapkan dimuka.

Adapun perumusan masalah adalah: 1. Bagaimana Pelaksanaan Gadai Emas Syariah pada Bank Mandiri Syariah cabang Bukittinggi? Apakah telah sesuai dengan Fatwa Fatwa DSN-MUI No.26/DSN-MUI/III/2002 Tentang Rahn Emas? 2. Bagaimanakah upaya penyelesaian masalah jika terjadi wanprestasi?.Jenis penelitian ini dilihat dari objeknya termasuk penelitian lapangan atau field research yang dilakukan di Bank Syariah Mandiri Bukittinggi. Untuk mendapatkan data yang valid, penulis menggunakan beberapa metode pengumpulan data yaitu dokumentasi dan wawancara. Sumber data dalam penelitian ini ada dua yaitu sumber data primer (secara langsung) hasil dari wawancara dengan para pihak Bank yang terkait dan sumber data sekunder (tidak langsung) berupa dokumen-dokumen, buku, catatan dan sebagainya. Setelah data-data terkumpul maka penulis menganalisis dengan menggunakan metode deskriptif analisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif.

(3)

4 ABSTRACT

The title of this thesis is " The Implementation of Gold Pawn Sharia based on Fatwa DSNDSN-MUI No. 25/DSNMUI/III/2002 About Gold Rahn on BSM branch Bukittinggi". There are a lot of Agreement Form, one of them is Loan. Pawn is a form of loan. In pawn, debitur got loan and trust from creditur and give a collateral to debitur . Conceptually , pawn operations Shari'ah is not much different from a conventional mortgage, the main difference between the cost of Rahn and mortgage interest is of the nature of the interest that could accumulate and multiply, while the cost of rahn just once and specified in advance.

As for the formulation of the problem are: 1. How the implementation of Golden Pawn Sharia at BSM branch bukittinggi? Would have been in accordance with Fatwa DSN-MUI No.26/DSN-MUI/III/2002 about Rahn Gold? 2. How does the problem solving efforts if there is a default? This type of research as seen from its object is field research in BSM Branch Bukittinggi. To get valid data, the author uses several methods of data collection: documentation and interviews. There are two data sorces: primary data sources (directly), results of interviews with bank stakeholders and secondary data sources (indirectly), in the form of documents, books, records, and so on. After data are collected then the author analyze using descriptive analysis method with qualitative approache.

(4)

12 BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Islam merupakan agama yang lengkap dan sempurna karena didalamnya terdapat kaidah-kaidah dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia, baik dalam ibadah dan juga muamalah (hubungan antar makhluk). Setiap orang butuh berinteraksi satu sama lain untuk saling menutupi kebutuhan dan hidup saling membantu, yang kaya harus membantu yang miskin. Bentuk saling membantu ini, dapat berupa pemberian tanpa ada pengembalian dari yang diberi (berfungsi sosial), seperti zakat, infaq, dan shadaqah melalui akad Tabarru1 ataupun berupa pinjaman yang harus dikembalikan kepada yang memberi pinjaman yaitu melalui akad Qardh2 dan Ijarah3.

Seiring berjalannnya proses pembangunan, maka pemerintah bersama rakyat saat ini sedang berupaya keras untuk membangun negara dengan meningkatkan produktivitas agar tercapai kesejahteraan masyarakat. Salah satu cara menuju ke arah

1

Tabarru` adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebaikan dan tolong menolong, bukan semata untuk tujuan komersial.

2

Al-Qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat dibagi atau diminta kembali

atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan”. Secara teknis qardh adalah akad pemberian pinjaman dari seseorang/lembaga keuangan syariah kepada orang lain/nasabah yang dipergunakan untuk keperluan mendesak. Pengembalian pinjaman ditentukan dalam jumlah yang sama dan dalam jangka waktu tertentu (sesuai kesepakatan besama) dan pembayarannya bisa dilakukan

secara angsuran atau sekaligus”.

3

(5)

13 tersebut adalah dengan membantu masyarakat untuk memenuhi kebutuhan yang terdiri dari :4

1. Kebutuhan akan sandang, pangan dan papan

2. Kebutuhan akan adanya jaminan keselamatan jiwa dan harta benda 3. Kesempatan untuk mengembangkan potensi

4. Kebutuhan akan kasih sayang

Penduduk Indonesia umumnya dalam hal ini, merupakan masyarakat dengan tingkat ekenomi lemah. Hal ini dapat kita lihat pada persentase jumlah penduduk miskin di Sumatera Barat sebesar 9,02%. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Barat, terdapat 441.800 jiwa penduduk miskin dari 4.900.000 jiwa total penduduk di tahun 20125, karena itu, uang atau modal merupakan kebutuhan utama yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan ataupun kebutuhan untuk mengembangkan potensi. Modal berupa uang tersebutlah yang sangat diperlukan oleh masyarakat untuk membuka usaha kecil mandiri dan memenuhi keperluan mendesak lainnya. Untuk itu gadai merupakan salah satu alternatif pemberian pinjaman dalam pemenuhan kebutuhan tersebut.

Indonesia sebagai negara yang berpenduduk mayoritas beragama Islam adalah wajar dan logis apabila kaum muslim memiliki kepentingan ekonomi yang lebih besar. Hal ini bukan berarti menimbulkan spekulasi sentimen suku, agama, ras, melainkan masyarakat muslim di Indonesia saat ini mulai menginginkan perekonomian yang sarat dengan nilai-nilai Islam dengan berdasarkan hukum Islam.

4

Soejono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan , CV. Rajawali, Jakarta, 1982, hal.2.

5

(6)

14 Sistem ekonomi syariah mulai muncul di Indonesia di tahun 1991 dengan didirikannya PT. Bank Muammalat Indonesia (Bank Muammalat) sebagai hasil kerja Tim Perbankan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Bank Muammalat mulai beroperasi pada tanggal 1 Mei 1992 dengan menerapkan Prinsip Syariah. Kemudian terus berkembang, ditandai dengan berdirinya usaha-usaha yang berbasis syariah seperti bank syariah, asuransi syariah, pasar modal syariah serta aktivitas ekonomi syariah lainnya6, dan yang sedang dikembangkan dewasa ini adalah gadai syariah (rahn). Gadai secara konvensional merupakan salah satu kategori dari perjanjian utang piutang, yang mana untuk suatu kepercayaan dari orang yang berpiutang, maka orang yang berutang menyerahkan barangnya sebagai jaminan terhadap hutangnya itu. Barang jaminan tetap milik orang yang menggadaikan (orang yang berutang) tetapi dikuasai oleh penerima gadai (yang berpiutang). Praktek usaha gadai sudah ada sejak jaman Rasulullah SAW, dan Rasulullah SAW sendiri pernah melakukannya,7

“Rasulullah pernah menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi untuk ditukar dengan gandum, lalu orang yahudi berkata: “sungguh Muhammad

ingin membawa hartaku.” Rasulullah SAW kemudian menjawab:”Bohong! Sesungguhnya orang yang jujur diatas bumi ini dan di langit. Jika kamu berikan amanat kepadaku pasti aku tunaikan. Pergilah kalian dengan baju

besiku menemuinya.” (H.R. Bukhari).8

Dewasa ini peningkatan aktivitas ekonomi syariah sangat mengembirakan. Diawali dengan adanya perbankan syariah yang terus berkembang pesat sampai saat ini. Secara perlahan bank syariah mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang

(7)

15 menghendaki layanan jasa perbankan yang sesuai dengan prinsip syariah agama Islam yang dianutnya, khususnya yang berkaitan dengan pelarangan praktik riba, kegiatan yang bersifat spekulatif yang serupa dengan perjudian, ketidakjelasan dan pelanggaran prinsip keadilan dalam bertransaksi, serta keharusan penyaluran pembiayaan dan investasi pada kegiatan usaha yang etis dan halal secara syariah.9

Hal ini dapat dilihat semenjak pemerintah dan Bank Indonesia memberikan komitmen besar dan menempuh berbagai kebijakan untuk mengembangkan bank syariah dengan serius, khususnya sejak lahirnya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Berbagai kebijakan tersebut tidak hanya menyangkut perluasan jumlah kantor dan operasi bank-bank syariah untuk meningkatkan sisi penawaran, tetapi juga pengembangan pemahaman kesadaran masyarakat untuk meningkatkan sisi permintaan. Perkembangan yang pesat terutama tercatat sejak dikeluarkanya ketentuan Bank Indonesia yang memberi izin kepada Bank Konvesional untuk mendirikan suatu unit usaha syariah (UUS). Semenjak itu kantor dan operasi bank syariah tumbuh dimana-mana seperti jamur di musim hujan.10

Sistem perbankan syariah di Indonesia dilakukan dalam kerangka dual banking system atau sistem perbankan ganda dalam kerangka Arsitektur Perbankan Indonesia (API), untuk menghadirkan alternatif jasa perbankan yang semakin lengkap kepada masyarakat Indonesia. Secara bersama-sama, sistem perbankan syariah dan

9

Guntur S Mahardika, Ekonomi Syariah di mata Anwar, Sharia Business, Januari 2007, hal. 9.

10

(8)

16 perbankan konvensional secara sinergis mendukung mobilisasi dana masyarakat secara lebih luas untuk meningkatkan kemampuan pembiayaan bagi sektor-sektor perekonomian nasional. 11

Karekteristik sistem perbankan syariah yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil memberikan alternatif sistem perbankan yang saling menguntungkan bagi masyarakat dan bank, serta menonjolkan aspek keadilan dalam bertransaksi, investasi yang beretika, mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan dalam berproduksi, dan menghindari kegiatan spekulatif dalam transaksi keuangan. Dengan menyediakan beragam produk serta layanan jasa perbankan yang beragam dengan skema keuangan yang lebih bervariatif, perbankan syariah menjadi alternatif sistem perbankan yang kredibel dan dapat dinikmati oleh seluruh golongan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.

Melihat perkembangan ekonomi syariah di Indonesia yang cukup baik tersebut, maka Bank Syariah Mandiri (BSM) sebagai salah satu Bank Usaha Milik Negara (BUMN), anak perusahaan dari Bank Mandiri, melihat hal tersebut sebagai suatu peluang bisnis yang cukup menarik dan menjanjikan. Oleh karena itu Bank Syariah Mandiri (BSM) membuka unit usaha syariah, yang salah satu produknya adalah BSM Gadai Emas atau disebut juga pembiyaan Rahn yaitu salah satu produk pembiayaan pada Bank Syariah Mandiri (BSM) atas pinjaman berupa uang dengan jaminan berupa emas berdasarkan prinsip syariah. Dasar hukum dari pelaksanaan gadai secara syariah ini adalah Al-qur‟an Surat Al-Baqarah Ayat 283 yang berbunyi,

11

(9)

17

“jika kamu dalam perjalanan (dan bermu‟amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang

dipegang oleh yang berpiutang”, serta As-Sunnah dan Ijma‟ para ulama.

Selain itu, dasar hukum pelaksanaan gadai sebagai salah satu kegiatan usaha di bank syariah juga diatur dalam pasal 19 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Pasal 36 Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, Fatwa DSN No. 25/DSN-MUI/III/2002 Tentang Rahn, Fatwa DSN No. 26/DSN-MUI/III/2002 Tentang Rahn Emas. 12

Secara umum, operasional gadai emas syariah mirip dengan jasa gadai konvensional, yaitu menggadaikan barang untuk memperolah pinjaman uang dalam jumlah tertentu. Untuk jasa ini dalam gadai konvensional dikenakan beban bunga, layaknya sistem keuangan yang diterapkan perbankan. Sementara dalam gadai emas syariah, nasabah tidak dikenakan bunga tetap, yang dipungut dari nasabah adalah biaya penitipan, pemeliharaan, penjagaan serta penaksiran barang yang digadaikan. Perbedaan utama antara biaya gadai emas syariah dan bunga pegadaian konvensional adalah dari sifat bunga yang bisa berakumulasi dan berlipat ganda, sementara biaya gadai emas syariah hanya sekali dan ditetapkan di muka13. Disamping itu, sistem bunga dipandang memberatkan dan dapat mengarahkan kepada sistem riba, dan riba dalam Islam diharamkan. seperti yang terdapat dalam Al-quran surah Al-Baqarah

12

Ibid, hal. 6

13

(10)

18

ayat 275, disebutkan dalam ayat tersebut bahwa “Allah menghalalkan jual beli dan

mengharamkan riba.” 14

Sistem gadai emas ini sangat menguntungkan ketika ada kebutuhan mendesak yang sebenarnya bisa kita atasi dengan mudah pada waktu mendatang. Sistem gadai juga sangat bermanfaat bagi sebagian orang yang senang memanfaatkan momentum tren sebuah bisnis. Misalnya, menyambut liburan keagamaan terutama Idul Fitri, dengan menggunakan sistem gadai emas ini dapat digunakan sebagai modal pembelian barang dagangannya. Sistem gadai lebih menguntungkan daripada menjual emas tersebut. Gadai emas bisa dilakukan di berbagai macam tempat, tetapi yang paling umum ditemukan di Indonesia adalah melalui pegadaian syariah dan bank syariah.

Munculnya gadai emas syariah pada Bank Syariah Mandiri (BSM) ini merupakan sebuah alternatif penyediaan dana dengan sistem gadai secara syariah. Namun, dalam prakteknya masih terdapat beberapa bank syariah yang memberi peluang melakukan spekulasi (transaksi yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan) terhadap produk gadai emas kepada para nasabahnya. Oleh karena itu diperlukan adanya pembahasan lebih lanjut mengenai gadai emas syariah ini agar dapat berjalan sesuai dengan ajaran-ajaran agama Islam yang berpedoman kepada Al-Quran dan Al-Hadits. Guna mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia secara keseluruhan serta khususnya untuk kaum muslim melalui bentuk penyaluran pinjaman.

14

(11)

19 Berdasarkan uraian tersebut di atas, peneliti ingin mengetahui lebih lanjut tentang pelaksanaan gadai emas syariah di Bank Syariah Mandiri Cabang Bukittinggi bagian BSM Gadai Emas. Dengan melakukan penelitian yang berjudul,

“Pelaksanaan Gadai Emas Syariah Berdasarkan Fatwa DSN Nomor 26/DSN

-MUI/2002 Tentang Rahn Emas Pada PT. Bank Syariah Mandiri Cabang

Bukittinggi”.

B.

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana yang telah diuraikan di atas, ada beberapa pokok permasalahan yang penulis kaji dalam penelitian ini, yaitu: 1. Bagaimana proses pelaksanaan pemberian gadai emas syariah kepada nasabah

Bank Syariah Mandiri Cabang Bukittinggi berdasarkan Fatwa DSN Nomor 26/DSN-MUI/2002 Tentang Rahn Emas.

2. Bagaimana upaya penyelesaian masalah pihak Bank Syariah Mandiri Cabang Bukittinggi terhadap nasabah yang melakukan resiko tak terbayarnya hutang (wanprestasi).

C.

Tujuan Penelitian

Dari permasalahan yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan dari pada diadakannya penelitian ini adalah sebagai berikut:

(12)

20 2. Untuk mengetahui upaya penyelesaian masalah pihak Bank Syariah Mandiri Cabang Bukittinggi terhadap nasabah yang melakukan resiko tak terbayarnya hutang (wanprestasi).

D.

Manfaat Penelitian

Dari perumusan dan tujuan penelitian yang telah disebutkan di atas, adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat:

a. Memberikan sumbangan pemikiran untuk pengembangan hukum perbankan syariah terutama menyangkut masalah pemberian gadai emas syariah.

b. Dijadikan sebagai bahan untuk penelitian lanjutan, baik sebagai bahan awal maupun sebagai bahan perbandingan untuk penelitian yang lebih luas yang berhubungan dengan pemberian gadai emas syariah.

2. Secara praktis hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada pihak yang terkait dengan persoalan gadai emas terutama:

a. Bagi perusahaan, khususnya untuk pemberian gadai emas syariah.

b. Pihak nasabah dapat mempedomani hasil penelitian ini agar dalam mengambil keputusan berkaitan dengan pemberian gadai emas syariah.

E.

Keaslian Penelitian

(13)

21 penelitian yang berkaitan dengan hal tersebut, diantaranya penelitian yang sudah pernah dilakukan adalah sebagai berikut:

1. “Pemanfaatan Barang Gadai Oleh Pemberi Gadai (Rahn) Dalam Perspekif Hukum Islam dan KUH Perdata”. Oleh Nur asyah, Nim 2101171. Mahasiswi

Fakultas Syari‟ah/Muamalah lulus tahun 2006.

Hasil temuan dalam penelitian ini adalah pertama mengenai pemanfaatan barang gadai, bahwa dalam KUH Perdata, pemegang gadai tidak boleh mengambil manfaat dari barang gadai demikian pula dalam hukum Islam. Pemegang gadai tidak boleh mengambil manfaat dari barang gadai, inilah persamaannya. Akan tetapi, dalam hukum Islam ditentukan bahwa pemegang gadai dapat mengambil manfaat terhadap barang gadai apabila barang gadainya berupa binatang ternak yang tentunya memerlukan pembiayaan. Maka sekedar mengambil manfaat untuk membiayai perawatan dan pemeliharaan terhadap barang gadai itu diperkenankan. Kedua gadai (pand) dalam KUH Perdata hanya menyangkut benda bergerak, sedangkan dalam hukum Islam, gadai itu meliputi benda bergerak dan benda tidak bergerak. Dengan demikian, gadai dalam hukum Islam merupakan kombinasi dari gadai dalam KUH Perdata dan Hukum Adat.15

2. “Tinjauan Hukum Islam Pemanfaatan Barang Gadai Sepeda Motor (Studi Kasus Di Desa Karangmulyo Pegandon Kendal), oleh Nur Rif‟ati mahasiswa angkatan 2002 jurusan muamalah Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang.

15

(14)

22 Dalam skripsi tersebut membidik pada pemanfaatan barang gadai (sepeda motor) ditinjau dari segi hukum Islam.16

3. Tinjauan Hukum Terhadap Gadai Emas Syariah oleh PT. Persero Pegadaian menurut hukum Islam dikaitkan dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor : 26/DSN/MUI/III/2002 Tentang Rahn Emas. Oleh Tino Julyanto, NIM 110113080049. Jurnal Hukum Mahasiswa Universitas Padjajaran Bandung tahun 2011. Hasil temuan dalam penelitian ini, bahwa perkembangan praktik penerapan gadai emas syariah lebih digunakan untuk mendatangkan keuntungan yang spekulatif. Kemudian, penegakan hukum Islam (syariat Islam) dalam praktik gadai syariah di Indonesia dan terjadinya dualisme hukum dalam aktivitas ekonomi serta nyata dengan adanya konsep hukum gadai konvensional yang sebelumnya sudah ada, dianggap merupakan implikasi yuridis yang mungkin terjadi.17

4. Pelaksanaan Gadai Syariah Pada Perum Pegadaian Syariah (Studi Kasus Pegadaian Syariah Cabang Ujung Gurun Padang). Oleh Hanisisva, NIM 07.940.211, Program Kekhususan Hukum Perdata Bisnis, Fakultas Hukum Universitas Andalas 2011. Berdasarkan hasil penelitian maka didapat kesimpulan bahwa pelaksanaan gadai syariah sangatlah sederhana dan dapat dilakukan dalam waktu yang relatif singkat, dengan memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan

16Nur Rif‟ati

, Analisis Hukum Islam Pemanfaatan Barang Gadai Sepeda Motor (Studi Kasus Di Desa Karangmulyo Pegandon Kendal), SI Muamalah IAIN Walisongo Semarang, 2006

17

(15)

23 oleh Perum Pegadaian Syariah itu sendiri. Alternatif penyelesaian masalah tentang wanprestasi dalam pelaksanaan gadai syariah dengan beberapa tahap, tahap pertama kreditur akan melakukan pendekatan persuasif dan jika debitur belum memenuhi kewajibannya, maka tahap kedua yaitu dengan memberikan surat peringatan pertama (SP1), masih belum menanggapi maka akan dikeluarkan surat peringatan kedua (SP2) yang menyatakan bila debitur tidak segera melunasi maka barang jaminan akan dieksekusi atau dilelang sebagai bentuk pelunasan utang dari debitur.18

Adapun yang penulis lakukan dalam penelitian ini yaitu gadai syari‟ah dalam produk pembiayaan Gadai Emas di Bank Syariah Mandiri tentang Rahn. dan sepengetahuan penulis, belum ada tulisan yang membahas masalah tersebut. Sehingga penelitian ini berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya seperti yang penulis paparkan di atas.

F.

Kerangka Teoritis

1. Tinjauan Umum tentang Akad atau Perjanjian

Perjanjian dalam bahasa Arab diistilahkan dengan janji atau kesepakatan (Mu’ahadah Ittifa’) atau akad. Dalam bahasa Indonesia disebut dengan kontrak, perjanjian atau persetujuan yang artinya adalah suatu perbuatan dimana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seseorang lain atau lebih.19 Dalam

Alqur‟an setidaknya ada dua istilah yang berkaitan dengan perjanjian, yaitu kata

18

Hanisisva, Pelaksanaan Gadai Syariah Pada Perum Pegadaian Syariah (Studi Kasus Pegadaian Syariah Cabang Ujung Gurun Padang), Mahasiswa program Kekhususan Hukum Perdata Bisnis, Fakultas Hukum Universitas Andalas, padang, 2011

19

(16)

24 Akad (al-‘aqadu) dan kata ‘ahd (kata al’ahdu). Alqur‟an memakai kata pertama

dalam arti perikatan atau perjanjian, sedangkan kata yang kedua dalam Alqur‟an

seperti masa, pesan, penyempurnaan dan janji atau perjanjian.20

Dengan demikian, istilah akad dapat disamakan dengan istilah perikatan atau verbintenis, sedangkan kata Al-‘ahdu dapat dikatakan sama dengan istilah perjanjian atau overeenkomst, yang dapat diartikan sebagai suatu pernyataan dari seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu, dan tidak ada sangkut pautnya dengan kemauan pihak lain. Janji hanya mengikat bagi orang

yang bersangkutan, sebagaimana yang telah diisyaratkan dalam Alqur‟an surat Ali

Imran ayat 76.21

Unsur akad itu sendiri terdiri atas pihak-pihak yang berakad (orang atau badan hukum yang memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum, objek akad (barang atau jasa yang dibutuhkan oleh masing-masing pihak), tujuan pokok akad (untuk memenuhi kebutuhan hidup dan pengembangan usaha masing-masing pihak), dan bentuk akad. 22

Rumusan akad di atas mengindikasikan bahwa perjanjian harus merupakan perjanjian kedua belah pihak yang bertujuan untuk saling mengikatkan diri tentang perbuatan yang akan dilakukan dalam suatu hal yang khusus setelah akad secara efektif mulai diberlakukan. Dengan demikian akad diwujudkan dalam ijab dan qabul yang menunjukan adanya kesukarelaan secara timbal balik terhadap

perikatan yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang harus sesuai dengan

20

Ibid. 21

Ibid.

22

(17)

25 kehendak syariat, atinya bahwa seluruh perikatan yang diperjanjikan oleh kedua belah pihak atau lebih baru dianggap sah apabila secara keseluruhan tidak bertentangan dengan agama Islam. Dengan adanya ijab qabul yang didasarkan pada ketentuan syariat, maka suatu akad akan menimbulkan akibat hukum pada objek perikatan, yaitu terjadinya pemudahan kepemilikan atau pengalihan kemamfaatan dan seterusnya.23

Perjanjian adalah hal yang sangat penting pada zaman sekarang ini, karena merupakan langkah awal dalam sebuah perbuatan hukum. Melalui perjanjian akan terlindungi hak para pihak dan dapat meminta ganti rugi karena biasanya dalam suatu perjanjian terdapat klausula seperti itu. Menurut R. Subekti suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal, dari peristiwa ini timbul suatu hubungan perikatan.24

Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Selain perjanjian, perikatan juga lahir dari Undang-undang. Jadi, ada perikatan yang lahir dari perjanjian dan ada perikatan yang lahir karena Undang-undang.25 Dalam pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata disebutkanya syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu : 1) Sepakat mereka yang mengikatkan diri

2) Cakap untuk membuat suatu perjanjian 3) Mengenai suatu hal tertentu

4) Suatu sebab yang halal

23

Abdullah Jayadi, Ibid.,hal. 10

24

R. Subekti, Hukum Perjanjian, Internusa, Jakarta, 1987, hal. 1

25

(18)

26 Setiap perjanjian itu hendaknya dibuat secara tertulis. Ini sesuai dengan asas hukum perjanjian dalam Islam yaitu Al-Kitabah (tertulis), sebagaimana yang

tercantum dalam Alqur‟an surat Al-Baqarah ayat (282-283), yang intinya menyatakan bahwa dalam Islam ketika seorang subjek hukum hendak membuat perjanjian dengan subjek hukum lainya selain harus didasari dengan adanya kata sepakat juga dianjurkan untuk dituangkan dalam bentuk tertulis dan diperlukan kehadiran saksi-saksi.

2. Tinjauan Umum tentang Gadai dan Rahn

Gadai diatur dalam Buku II Titel 20 Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1161 KUHPerdata. Menurut Pasal 1150 KUHPerdata pengertian dari gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang kreditor atas suatu barang bergerak baik bertubuh maupun tidak bertubuh yang diberikan kepadanya oleh debitor atau orang lain atas namanya untuk menjamin suatu hutang. Memberikan kewenangan kepada kreditor untuk mendapatkan pelunasan dari barang tersebut lebih dahulu daripada kreditor-kreditor lainnya terkecuali biaya-biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk memelihara benda itu, biaya-biaya mana harus didahulukan.

(19)

27 pinjam-meminjam uang dengan jaminan benda bergerak. Apabila kreditur lalai dalam melaksanakan kewajibanya, barang yang telah dijaminkan oleh debitur kepada kreditur dapat dilakukan pelelangan untuk melunasi hutang debitur.26

Timbulnya hak gadai, pertama-tama karena diperjanjikan. Perjanjian tersebut memang dimungkinkan berdasarkan ketentuan Pasal 1132 KUHPerdata dan dipertegas dalam Pasal 1133 KUHPerdata yang menyatakan bahwa hak untuk didahulukan diantara orang-orang berpiutang terbit dari hak-hak istimewa, hak gadai, dan hak hipotik. Perjanjian itu melibatkan dua pihak yaitu pihak yang menggadaikan barangnya dan disebut pemberi gadai atau debitur dan pihak yang menerima jaminan gadai dan disebut juga penerima/pemegang gadai atau kreditur.27 Maka secara umum, syarat sahnya gadai yaitu harus ada perjanjian gadai dan benda gadai harus diserahkan pemberi gadai kepada pemegang gadai.

Transaksi hukum gadai dalam fikih Islam disebut Ar-rahn yaitu suatu jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai tanggungan utang. Pengertian Ar-rahn dalam bahasa Arab adalah atstsubut wa ad-dawam, yang berarti “tetap” dan

“kekal”, seperti dalam kalimat maun rahin, yang berarti air yang tenang. Hal itu, berdasarkan firman Allah SWT dalam QS. Al-Muddatstsir (74) ayat (38) yaitu,

“Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.” 28 Pengertian

“tetap” dan “kekal” dimaksud, merupakan makna yang tercakup dalam kata al-habsu, yang berarti menahan. Kata ini merupakan makna yang bersifat materiil.

26

H. Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Edisi 1, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 34

27

Ibid,. hal. 23

28

(20)

28 Secara bahasa kata ar-rahn berarti “menjadikan sesuatu barang yang bersifat materi sebagai pengikat utang”.29

Pengertian gadai (rahn) secara bahasa seperti diungkapkan di atas adalah tetap, kekal, dan jaminan, sedangkan dalam pengertian istilah adalah menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, dan dapat diambil kembali sejumlah harta dimaksud sesudah ditebus. Makna gadai (rahn) dalam bahasa hukum perundang-undangan disebut sebagai barang jaminan, agunan, dan rungguhan. Sedangkan pengertian gadai (rahn) dalam hukum Islam (syara') adalah menjadikan suatu barang yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara‟ sebagai jaminan utang, yang memungkinkan untuk mengambil seluruh atau sebagian utang dari barang tersebut.30

Secara umum, persamaan dan perbedaan antara gadai dan Rahn diuraikan sebagai berikut. Persamaanya adalah :

a) Hak gadai berlaku atas pinjaman uang b) Adanya agunan sebagai jaminan hutang

c) Tidak boleh mengambil mamfaat barang yang digadaikan d) Biaya barang yang digadaikan ditanggung oleh pemberi gadai

e) Apabila batas waktu pinjaman uang telah habis, barang yang digadaikan boleh dijual atau dilelang

Sedangkan, perbedaanya adalah :

29

Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal.1

30

(21)

29 1) Rahn dalam hukum Islam dilakukan secara sukarela atas dasar

tolong-menolong tanpa mencari keuntungan, sedangkan gadai menurut hukum perdata disamping berprinsip tolong-menolong juga menarik keuntungan dengan cara mengambil bunga atas sewa modal yang ditetapkan.

2) Dalam hukum perdata, hak gadai hanya berlaku pada benda yang bergerak, sedangkan dalam hukum Islam, Rahn berlaku pada seluruh harta, baik harta bergerak maupun yang tidak bergerak. Pada hukum perdata penjaminan dengan harta tidak bergerak seperti tanah, kapal laut dan pesawat udara disebut dengan hak tanggungan.

Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan beberapa teori :31 1. Teori Efektifitas

Menurut Ravianto, pengertian efektifitas adalah seberapa baik pekerjaan yang dilakukan, sejauh mana orang menghasilkan keluaran sesuai dengan yang diharapkan. Ini berarti bahwa apabila suatu pekerjaan dapat diselesaikan dengan perencanaan, baik dalam waktu, biaya maupun mutunya, dapat dikatakan efektif. Sedangkan menurut Ndraha, efisiensi digunakan untuk mengukur proses efektivitas guna mengukur keberhasilan mencapai tujuan.

Mengutip Ensiklopedia administrasi, menyampaikan pemahaman tentang efektifitas adalah suatu keadaan yang mengandung pengertian mengenai terjadinya suatu efek atau akibat yang dikehendaki, kalau seseorang melakukan suatu perbuatan

31

(22)

30 dengan maksud tertentu yang memang dikehendaki. Maka orang itu dikatakan efektif kalau menimbulkan atau mempunyai maksud sebagaimana yang dikehendaki.

Berdasarkan uraian di atas, maka suatu hal dapat dikatakan efektif apabila hal tersebut sesuai dengan yang dikehendaki. Artinya, pencapaian hal yang dimaksud merupakan pencapaian tujuan dilakukanya tindakan-tindakan untuk mencapai hal tersebut. Efektifitas dapat diartikan sebagai suatu proses pencapaian suatu tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Suatu usaha atau kegiatan dapat dikatakan efektif apabila usaha atau kegiatan tersebut telah mencapai tujuannya.

2. Teori keadilan dalam filsafat hukum Islam

a. Keadilan Ilahiyah: dialektika muktazilah dan asy’ariah32

Gagasan Islam tentang keadilan dimulai dari diskursus tentang keadilan Ilahiyah, apakah rasio manusia dapat mengetahui baik dan buruk untuk menegakan keadilan di muka bumi tanpa bergantung pada wahyu atau sebaliknya manusia itu hanya dapat mengetahui baik dan buruk melalui wahyu (Allah). Pada optik inilah perbedaan-perbedaan teologis di kalangan cendekiawan Islam muncul. Perbedaan-perbedaan tersebut berakar pada dua konsepsi yang bertentangan mengenai tanggung jawab manusia untuk menegakan keadilan Ilahiyah, dan perdebatan tentang itu melahirkan dua

mazhab utama teologi dialektika Islam yaitu mu‟tazilah dan Asy‟ariyah.

Tesis dasar mu’tazilah adalah bahwa manusia, sebagai yang bebas, bertanggung jawab dihadapan Allah yang adil. Selanjutnya, baik dan buruk

32

(23)

31 merupakan kategori-kategori rasional yang dapat diketahui melalui nalar yaitu, tak bergantung pada wahyu. Allah telah menciptakan akal manusia sedemikian rupa sehingga mampu melihat yang baik dan buruk secara obyektif.

Konsepsi asy‟ariah tentang pengetahuan etika ini dikenal sebagai

subyektivisme teistis, yang berarti bahwa semua nilai etika tergantung pada ketetapan-ketetapan kehendak Allah yang diungkapkan dalam wahyu yang kekal dan tak berubah.

Kedua pengertian teologis tersebut berdasarkan pada penafsiran ayat-ayat Al-Quran, yang mempunyai pandangan kompleks tentang peranan tanggung jawab manusia dalam mewujudkan kehendak ilahiah di muka bumi. Di salah satu pihak, Al-Quran berisikan ayat-ayat yang mendukung penekanan

Mu’tazilah pada tanggung jawab penuh manusia dalam menjawab panggilan bimbingan alamiah maupun wahyu. Di lain pihak, juga memiliki ayat-ayat yang dapat mendukung pandangan Asy’ariah tentang kemahakuasaan Allah yang tak memberi manusia peranan dalam menjawab bimbingan ilahiah. Betapapun, Al-Quran mempertimbangkan keputusan dan kemahakuaasaan ilahiah dalam masalah bimbingan.33

Sesungguhnya, konsep bimbingan natural atau universal mempunyai implikasi-implikasi yang lebih luas daripada mempertunjukkan eksistensi kapasitas kemauan dalam jiwa manusia, dan membuktikan tanggung jawab manusia dalam mengembangkan pengertian tajam persepsi moral dan spiritual

(24)

32 serta motivasi, yang akan membawa kepada penegakan keadilan di muka bumi. Nampak bahwa Al-Quran menganggap bahwa manusia seluruhnya sebagai satu bangsa berhubung dengan bimbingan universal sebelum bimbingan khusus melalui para Nabi diturunkan, dan dengan demikian menganggap mereka semua secara bersama-sama bertanggung jawab untuk menegakkan keadilan.

Karena itu, penting untuk menekankan dalam konteks Al-Quran, bahwa gagasan keadilan menjadi relevan dengan mapannya tatanan sosial, karena secara logis membangkitkan keadilan obyektif universal yang mendarah daging dalam jiwa manusia. Dalam satu ayat yang sangat penting artinya, Al-Quran mengakui watak obyektif dan universitalitas keadilan yang disamakan dengan perbuatan-perbuatan baik (kebajikan-kebajikan moral), yang mengatasi masyarakat-masyarakat agama yang berlainan dan memperingatkan umat manusia untuk tampil dengan perbuatan-perbuatan baik.

Berdasarkan bimbingan universal, maka dapat dibicarakan tentang dasar-dasar natural-moral tingkah laku manusia di dalam Al-Quran. Ayat-ayat tersebut menunjuk kepada watak moral yang universal dan obyektif yang membuat semua manusia diperlakukan secara sama dan sama-sama bertanggung jawab kepada Allah.

b. Muqashid syariah; cita keadilan sosial hukum Islam34

Salah satu konsep penting dan fundamental yang menjadi pokok bahasan dalam filsafat hukum Islam adalah konsep maqasid at-tasyri’ atau

34

(25)

33 maqasid al-syariah yang mengaskan bahwa hukum Islam disyari‟atkan untuk

mewujudkan dan memelihara maslahat umat manusia. Konsep ini telah diakui oleh para ulama dan oleh karena itu mereka memformulasikan suatu kaidah

yang cukup populer, ”Di mana ada maslahat, di sana terdapat hukum Allah”.

Teori maslahat di sini menurut Masdar F. Masudi sama dengan teori keadilan sosial dalam istilah filsafat hukum.

Pembahasan tentang maqasid al-syari’ah secara khusus, sistematis dan jelas dilakukan oleh Syatibi dari kalangan malikiyah. Dalam kitabnya al-muwafaqad yang sangat terkenal itu, ia menghabiskan lebih kurang sepertiga pembahasannya mengenai maqasid al-Syari‟ah. Sudah tentu, pembahasan tentang maslahat pun menjadi bagian yang sangat penting dalam tulisannya. Ia secara tegas mengatakan bahwa tujuan utama Allah menetapkan hukum-hukum-Nya adalah untuk mewujudkan maslahat hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat.

G.

Kerangka Konseptual

Untuk lebih memberi arah dalam penelitian ini penulis merasa perlu memberikan batasan terhadap penelitian ini, sehingga nantinya akan lebih mudah untuk memahami dalam melakukan penelitian. Batasan-batasan tersebut adalah : a) Prinsip syariah adalah bagian-bagian dari prinsip syariah, dalam melaksanakan

(26)

34 prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. Lembaga dimaksud, yakni Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Dimana Dewan Syariah Nasional merupakan lembaga otonom dibawah Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang merupakan payung dari lembaga dan organisasi keislaman di Indonesia. Fungsi DSN sendiri adalah mengawasi produk-produk lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan syariat Islam.35

b) Fatwa adalah pendapat atau keputusan dari alim ulama atau ahli hukum Islam. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan, fatwa adalah jawab (keputusan/pendapat) yang diberikan oleh mufti (ulama) terhadap suatu masalah atau juga dinamakan dengan petuah. Fatwa juga dapat didefinisikan sebagai pendapat mengenai suatu hukum dalam Islam yang merupakan tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa. Peminta fatwa baik perorangan, lembaga maupun masyarakat luas tidak harus mengikuti isi fatwa atau hukum yang diberikan kepadanya. Hal itu, disebabkan fatwa seorang mufti atau ulama di suatu tempat bisa saja berbeda dari fatwa ulama lain di tempat yang sama. Fatwa biasanya cenderung dinamis, karena merupakan tanggapan terhadap perkembangan baru yang sedang dihadapi masyarakat peminta fatwa.36

c) Gadai merupakan salah satu kategori dari perjanjian utang-piutang, yang mana untuk suatu kepercayaan dari orang yang berpiutang, maka orang yang berutang

35 Muhammad Syafi‟Antonio,

Bank Syariah dalam Suatu Pengenalan Umum,Cet. 1, Tazkia Institute, Jakarta, 2000, hal. 33

36

(27)

35 menggadaikan barangnya sebagai jaminan terhadap utangnya itu, barang jaminan tetap milik orang yang menggadaikan (orang yang berutang) tetapi dikuasai oleh penerima gadai (yang berpiutang).

d) Gadai syariah (Ar-rahn) adalah menahan salah satu harta milik nasabah (rahin) sebagai barang jaminan (marhum) atas utang/pinjaman (marhun bih) yang diterimanya. Marhun tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan atau penerima gadai (murtahin) memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.37

e) Gadai emas syariah adalah pengadaian atau penyerahan hak penguasa secara fisik atas harta/barang berharga (berupa emas) dari nasabah (Arrahin) kepada bank murhahin) untuk dikelola dengan prinsip Ar-rahnu yaitu sebagai jaminan (Al-Marhun) atas pinjaman/hutang (Al-Marhumbih) yang diberikan kepada nasabah/peminjam tersebut.38

H.

METODE PENELITIAN 1. Metode Pendekatan

Untuk menjawab permasalahan yang ada dalam tulisan ini, maka pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah yuridis sosiologis, yaitu suatu penelitian disamping melihat aspek hukum positif juga melihat pada penerapannya atau praktek di lapangan. Spesifikasi penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif analitis, yaitu suatu bentuk penelitian

37

Muhammad Solikul Hadi, Ibid.,hal. 77

38Zenky Maiiya „

(28)

36 diharapkan mampu memberikan gambaran secara rinci, sistematis dan menyeluruh mengenai segala hal yang berhubungan dengan pelaksanaan pemberian gadai emas syariah di Bank Syariah Mandiri cabang Bukittinggi. Penelitian ini melakukan analitis hanya sampai pada taraf deskripsi yaitu menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematis sehingga dapat lebih mudah untuk dipahami dan disimpulkan. Penelitian dengan spesifikasi penguraian secara deskriptif analitis, dimaksudkan untuk memberi data seteliti mungkin tentang

suatu keadaan atau gejala-gejala lainnya. 2. Jenis dan Sumber Data

Adapun sumber dan jenis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Data primer yaitu data yang diperoleh dari penelitian lapangan. Data primer

ini diperoleh melalui wawancara bebas terpimpin wawancara yaitu cara memperoleh data dengan mempertanyakan langsung pada pihak-pihak yang diwawancarai, terutama orang yang berwenang, mengetahui, dan terkait dengan pelaksanaan dilapangan tentang pelaksanaan pemberian gadai emas syariah di BSM cabang Bukittinggi.

b. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan kepustakaan. Adapun bahan-bahan hukum yang diperlukan adalah sebagai berikut:

1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer)

2) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah 3) Fatwa No.26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas

(29)

37 3. Teknik pengumpulan data

Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data ini adalah dengan dua cara yaitu:

a) Study kepustakaan

Dilakukan dengan mempelajari bahan kepustakaan yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti seperti buku-buku karangan ahli hukum dan peraturan perundang-undangan

b) Wawancara

Dalam wawancara ini penulis mengumpulkan data dengan wawancara bebas yaitu melakukan tanya jawab secara langsung kepada nara sumber dan responden tanpa membuat daftar pertanyaan secara terstruktur untuk mendapatkan keterangan-keterangan yang diperlukan. Pihak-pihak yang menjadi nara sumber adalah pihak-pihak yang memberikan data berdasarkan pengetahuannya seperti wawancara dengan staf karyawan bagian administrasi pembiayaan untuk mengetahui kebijakan dan mekanisme pemberian gadai emas syariah pada BSM Cabang Bukittinggi dan beberapa nasabah existing di bagian gadai emas BSM, yang disebut dengan subyek penelitian. Dan wawancara dilakukan beberapa kali sesuai dengan subyek penelitian dan keperluan penelitian.

(30)

38 Di dalam mengolah dan menganalisis data serta menarik kesimpulan tidak menggunakan rumus matematis, sehingga metode yang digunakan adalah yuridis kualitatif yaitu mencari hukum yang hidup di dalam masyarakat.

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai insektisida nabati ekstrak daun karuk mempunyai senyawa aktif yang dapat mencegah dan mengurangi kerusakan helai daun akibat serangan hama ulat grayak.

Pada kedua lokasi tersebut kurang mendapatkan cahaya sehingga ketika dilakukan perangkap dengan menggunakan cahaya serangga jenis ini langsung mendekat.Secara

a bahwa Presiden dalam menjalankan kewenangannya sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang- Undang Dasar, memerlukan nasihat dan pertimbangan agar kebijakan

«Eski bedestenin Bizans yapısı olma­ sına karşılık Sandal bedesteni denilen yeni bedesten bir Türk eseridir».. Mehmed Zeki Pakalın'ın «Osmanlı Ta­ rih

Sementara itu penelitian lain menemukan bahwa jenis kelamin, usia, masa kerja, dan pendidikan memiliki pengaruh pada kinerja karyawan tapi, jika dilihat berdasarkan

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan ada peningkatan konsentrasi belajar pada subjek (U) setelah diberikan intervensi brain gym , yang mana subjek sudah dapat

“Di tahun 2020 Belanja Bantuan Sosial tumbuh sangat tinggi mencapai 80% (yoy), ditujukan untuk melindungi konsumsi masyarakat miskin dan rentan di masa pandemi.”

Pada rx, sinyal mengalami despreading dan demodulasi, yang selanjutnya dilewatkan pada sebuah rangkaian Matched Filter (MF). Suatu rangkaian MF digunakan oleh satu MS,