• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Hukum Pelaksanaan Perjanjian Franchise Izzi Kebab Menurut Hukum Perdata (Studi Pada Izzi Kebab Jalan Letda Sujono Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Hukum Pelaksanaan Perjanjian Franchise Izzi Kebab Menurut Hukum Perdata (Studi Pada Izzi Kebab Jalan Letda Sujono Medan)"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS HUKUM PELAKSANAAN PERJANJIAN

FRANCHISE

IZZI KEBAB

MENURUT HUKUM PERDATA

(Studi Pada Izzi Kebab Jalan Letda Sujono Medan)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

M

M

U

U

T

T

I

I

A

A

R

R

A

A

M

M

A

A

D

D

A

A

N

N

I

I

NIM. 100200303

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(2)

ANALISIS HUKUM PELAKSANAAN PERJANJIAN FRANCHISEIZZI

KEBAB MENURUT HUKUM PERDATA (Studi Pada Izzi Kebab Jalan

Letda Sujono Medan)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum Oleh :

M

MUUTTIIAARRAAMMAADDAANNII NIM. 100200303

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum

NIP. 196603031985081001

Pembimbing I

Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum

NIP. 196603031985081001

Pembimbing II

Rabiatul Syahriah, SH, M.Hum

NIP. 195902051986012001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

(3)

KATA PENGANTAR Bismillahirahmanirrahim

Puji dan syukur kehadhirat Allah SWT atas limpahan rahmad, nikmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai tugas akhir untuk menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dan tidak lupa shalawat beriring salam saya sampaikan kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah menuntun umatnya kejalan yang di ridhoi Allah SWT.

Adapun skripsi ini berjudul : “Analisis Hukum Pelaksanaan Perjanjian FranchiseIzzi Kebab Menurut Hukum Perdata (Studi Pada Izzi Kebab Jalan Letda Sujono Medan)”.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih mempunyai banyak kekurangan di dalam penulisannya, oleh karena itu penulis berharap adanya masukan dan saran yang bersifat membangun untuk dimasa yang akan datang.

Pelaksanaan penulisan skripsi ini diakui banyak mengalami kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari dosen pembimbing, maka penulisan ini dapat diselesaikan dengan baik Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang banyak membantu, membimbing, dan memberikan motivasi. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

(4)

SH.MH.DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Bapak Muhammad Husni, SH.M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak membantu penulis, dalam memberikan masukan, arahan-arahan, serta bimbingan didalam pelaksanaan penulisan skripsi ini

3. Ibu Rabiatul Syahriah, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak membantu penulis, dalam memberikan masukan, arahan-arahan, serta bimbingan didalam pelaksanaan penulisan skripsi ini

4. Kepada Papa Dirhamsyah Arsyad, SH dan Mama Dra. Rahmi, atas segala perhatian, dukungan, doa dan kasih sayangnya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum USU dan yang telah memberikan dukungan kepada penulis.

5. Seluruh Bapak dan Ibu staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.

(5)

7. Dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, atas segala kesalahan dan kekurangan saya mohon maaf. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.

Medan, Oktoberr 2013

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 5

C. Tujuan Penulisan ... 6

D. Manfaat Penulisan ... 6

E. Metode Penelitian ... 6

F. Keaslian Penulisan ... 8

G. Sistematika Penulisan ... 8

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN ... 10

A. Pengertian Perjanjian ... 10

B. Syarat Sahnya Perjanjian... 19

C. Jenis-Jenis Perjanjian ... 25

D. Akibat Hukum Perjanjian... 29

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG FRANCHISE ... 32

A. Sejarah Franchise ... 32

B. Pengertian Franchise ... 34

C. Jenis-Jenis Franchise ... 37

(7)

BAB IV PERJANJIAN FRANCHISE IZZI KEBAB JALAN LETDA

SUJONO MEDAN ... 45

A. Para Pihak Yang Melaksanakan Perjanjian Franchise ... 45

B. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Franchise . ... 47

C. Analisis Hukum Pelaksanaan Perjanjian Franchise Menurut KUHPerdata (Studi Pada Izzi Kebab Jl. Letda Sujono Medan)... 51

D. Penyelesaian Sengketa Yang Timbul Dalam Perjanjian Franchise Pada Izzi Kebab ... 65

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 74

A. Kesimpulan ... 74

(8)

ABSTRAK

ANALISIS HUKUM PELAKSANAAN PERJANJIAN FRANCHISE IZZI KEBAB MENURUT HUKUM PERDATA

(Studi Pada Izzi Kebab Jalan Letda Sujono Medan)

Sebagai bahan penelitian dalam skripsi ini maka diajukan penelitian pada perjanjian franchise izzi kebab. Franchise izzi kebab adalah suatu perjanjian berbentuk waralaba dengan produk kebab merek izzi. Artinya terjadinya suatu perjanjian waralaba penjualan produk kebab bermerek izzi. Sebagai suatu perjanjian maka tentunya para pihak diikat dalam suatu hak dan kewajiban.

Permasalahan yang diajukan adalah siapakah para pihak yang melaksanakan perjanjian franchise, apakah hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian franchise, bagaimana analisis hukum pelaksanaan perjanjian franchise menurut KUH Perdata (Studi Pada Izzi kebab Jl. Letda Sujono Medan serta bagaimana penyelesaian sengketa yang timbul dalam perjanjian franchiseizzi kebab.

Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan para pihak yang melaksanakan perjanjian franchise adalah pihak pemilik nama franchise yang sering disebut Franchisor dan pihak penerima Franchise yang selanjutnya disebut Franchisee. Hak dan Kewajiban para pihak dalam perjanjian franchise dibuat sesuai dengan isi perjanjian yang mereka sepakatinya dalam perjanjian franchise tersebut. Hak dan kewajiban para pihak tersebut terjadi secara bertimbal balik dimana kewajiban satu pihak menjadi hak pihak lainnya, demikian pula sebaliknya hak di pihak lain melahirkan kewajiban di pihak lainnya. Pelaksanaan perjanjian franchise menurut KUH Perdata pada izzi kebab Jalan Letda Sujono Medan adalah dengan disepakatinya oleh para pihak isi perjanjian franchise izzi kebab, yang diikuti dengan tindakan penandatangan perjanjian. Sedangkan syarat adalah syarat-syarat umum untuk sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Buku III KUH Perdata.Penyelesaian sengketa yang timbul dalam perjanjian franchise pada Izzi Kebab adalah dilakukan secara musyawarah dan mufakat, dan apabila jalan tersebut tidak menyelesaikan masalah maka dilakukan melalui Pengadilan Negeri Setempat.

(9)

ABSTRAK

ANALISIS HUKUM PELAKSANAAN PERJANJIAN FRANCHISE IZZI KEBAB MENURUT HUKUM PERDATA

(Studi Pada Izzi Kebab Jalan Letda Sujono Medan)

Sebagai bahan penelitian dalam skripsi ini maka diajukan penelitian pada perjanjian franchise izzi kebab. Franchise izzi kebab adalah suatu perjanjian berbentuk waralaba dengan produk kebab merek izzi. Artinya terjadinya suatu perjanjian waralaba penjualan produk kebab bermerek izzi. Sebagai suatu perjanjian maka tentunya para pihak diikat dalam suatu hak dan kewajiban.

Permasalahan yang diajukan adalah siapakah para pihak yang melaksanakan perjanjian franchise, apakah hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian franchise, bagaimana analisis hukum pelaksanaan perjanjian franchise menurut KUH Perdata (Studi Pada Izzi kebab Jl. Letda Sujono Medan serta bagaimana penyelesaian sengketa yang timbul dalam perjanjian franchiseizzi kebab.

Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan para pihak yang melaksanakan perjanjian franchise adalah pihak pemilik nama franchise yang sering disebut Franchisor dan pihak penerima Franchise yang selanjutnya disebut Franchisee. Hak dan Kewajiban para pihak dalam perjanjian franchise dibuat sesuai dengan isi perjanjian yang mereka sepakatinya dalam perjanjian franchise tersebut. Hak dan kewajiban para pihak tersebut terjadi secara bertimbal balik dimana kewajiban satu pihak menjadi hak pihak lainnya, demikian pula sebaliknya hak di pihak lain melahirkan kewajiban di pihak lainnya. Pelaksanaan perjanjian franchise menurut KUH Perdata pada izzi kebab Jalan Letda Sujono Medan adalah dengan disepakatinya oleh para pihak isi perjanjian franchise izzi kebab, yang diikuti dengan tindakan penandatangan perjanjian. Sedangkan syarat adalah syarat-syarat umum untuk sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Buku III KUH Perdata.Penyelesaian sengketa yang timbul dalam perjanjian franchise pada Izzi Kebab adalah dilakukan secara musyawarah dan mufakat, dan apabila jalan tersebut tidak menyelesaikan masalah maka dilakukan melalui Pengadilan Negeri Setempat.

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Franchise adalah merupakan kegiatan berwirausaha dengan membeli bisnis yang sudah ada, dikenal istilah franchise yang sudah di Indonesiakan menjadi waralaba. Waralaba berasal dari kata wara artinya lebih dan laba artinya untung. Dari arti secara harafiah tersebut, maka dapat diketahui bahwa warabala merupakan usaha yang memberikan keuntungan lebih/istimewa. Franchise pada dasarnya adalah sebuah perjanjian mengenai metode pendistribusian barang dan jasa kepada konsumen.

Franchise adalah sebuah metode pendistribusian barang dan jasa kepada masyarakat konsumen, yang dijual kepada pihak lain yang berminat. Pemilik dari metode ini disebut franchisor sedang pembeli yang berhak untuk menggunakan metode itu disebut franchisee. Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, diketahui bahwa waralaba merupakan salah satu bentuk format bisnis dimana pihak pertama yang disebut pemberi waralaba (franchisor) memberikan hak kepada pihak kedua yang disebut penerima waralaba (franchisee) untuk mendistibusikan barang/jasa dalam lingkup area geografis dan periode waktu tertentu dengan mempergunakan merek, logo, dan sistem operasi yang dimiliki dan dikembangkan oleh franchisor. Pemberian hak ini dituangkan dalam bentuk perjanjian waralaba.

(11)

penerima franchise di Indonesia. Setelah itu, usaha franchise mengalami kemerosotan karena terjadi krisis moneter. 1

Para penerima franchise asing terpaksa menutup usahanya karena nilai rupiah yang terperosok sangat dalam. Hingga 2000, franchise asing masih menunggu untuk masuk ke Indonesia. Hal itu disebabkan kondisi ekonomi dan politik yang belum stabil ditandai dengan perseteruan para elit politik. Barulah pada 2003, usaha franchise di tanah air mengalami perkembangan yang sangat pesat.2

Franchise pertama kali dimulai di Amerika oleh Singer Sewing Machine Company, produsen mesin jahit Singer pada 1851. Pola itu kemudian diikuti oleh perusahaan otomotif General Motor Industry yang melakukan penjualan kendaraan bermotor dengan menunjuk distributor franchise pada tahun 1898. Selanjutnya, diikuti pula oleh perusahaan-perusahaan soft drink di Amerika sebagai saluran distribusi di AS dan negara-negara lain. Sedangkan di Inggris franchise dirintis oleh J Lyons melalui usahanya Wimpy and Golden Egg pada dekade 60-an.3

Franchise saat ini lebih didominasi oleh franchise rumah makan siap saji. Kecenderungan ini dimulai pada tahun 1919 ketika A&W Root Beer membuka restaurant cepat sajinya. Pada tahun 1935, Howard Deering Johnson bekerjasama dengan Reginald Sprague untuk memonopoli usaha restauran modern. Gagasan mereka adalah membiarkan rekanan mereka untuk mandiri menggunakan nama yang sama, makanan, persediaan, logo dan bahkan membangun desain sebagai

1

Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu. 2004. Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia Modern. Jakarta: Refika Aditama, hal. 113.

2

Ibid.

3

(12)

pertukaran dengan suatu pembayaran. Dalam perkembangannya, sistem bisnis ini mengalami berbagai penyempurnaan terutama di tahun l950-an yang kemudian dikenal menjadi franchise sebagai format bisnis (business format) atau sering pula disebut sebagai franchise generasi kedua.

Perkembangan sistem franchise yang demikian pesat terutama di negara asalnya, AS, menyebabkan franchise digemari sebagai suatu sistem bisnis diberbagai bidang usaha, mencapai 35 persen dari keseluruhan usaha ritel yang ada di AS. Sedangkan di Inggris, berkembangnya franchise dirintis oleh J. Lyons melalui usahanya Wimpy and Golden Egg, pada tahun 60-an. Bisnis franchise tidak mengenal diskriminasi. Pemilik franchise (franchisor) dalam menyeleksi calon mitra usahanya berpedoman pada keuntungan bersama, tidak berdasarkan Suku, Agama dan Ras (SARA).4

Perjanjian waralaba tersebut merupakan salah satu aspek perlindungan hukum kepada para pihak dari perbuatan merugikan pihak yang lain. Hal ini dikarenakan perjanjian dapat menjadi dasar hukum yang kuat untuk menegakkan perlindungan hukum bagi para pihak. Jika salah satu pihak melanggar isi perjanjian, maka pihak yang lain dapat menuntut pihak yang melanggar tersebut sesuai dengan hukum yang berlaku. Perjanjian waralaba (franchise agreement) memuat kumpulan persyaratan, ketentuan dan komitmen yang dibuat dan dikehendaki oleh franchisor bagi para franchiseenya. Di dalam perjanjian waralaba tercantum ketentuan berkaitan dengan hak dan kewajiban franchisee dan franchisor, misalnya hak teritorial yang dimiliki franchisee, persyaratan lokasi,

4

(13)

ketentuan pelatihan, biaya-biaya yang harus dibayarkan oleh franchisee kepada franchisor, ketentuan berkaitan dengan lama perjanjian waralaba dan perpanjangannya dan ketetentuan lain yang mengatur hubungan antara franchisee dengan franchisor.

Hal-hal yang diatur oleh hukum dan perundang-undangan merupakan das sollen yang harus ditaati oleh para pihak dalam perjanjian waralaba. Jika para pihak mematuhi semua peraturan tersebut, maka tidak akan muncul masalah dalam pelaksanaan perjanjian waralaba. Akan tetapi sering terjadi das sein menyimpang dari das sollen. Penyimpangan ini menimbulkan wanprestasi. Adanya wanprestasi dapat menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak. Terhadap kerugian yang ditimbulkan dalam pelaksanaan perjanjian waralaba ini berlaku perlindungan hukum bagi pihak yang dirugikan, yaitu pihak yang dirugikan berhak menuntut ganti rugi kepada pihak yang menyebabkan kerugian.

Seperti perjanjian pada umumnya ada kemungkinan terjadi wanprestasi di dalam pelaksanaan perjanjian waralaba. Wanprestasi terjadi ketika salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana tertera di dalam perjanjian waralaba. Jika karena adanya wanprestasi, salah satu pihak merasa dirugikan, maka pihak yang dirugikan tersebut dapat menuntut pihak yang wanprestasi untuk memberikan ganti rugi kepadanya. Kemungkinan pihak dirugikan mendapatkan ganti rugi ini merupakan bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh hukum positif di Indonesia.

(14)

Wanprestasi dari pihak franchisee dapat berbentuk tidak membayar biaya waralaba tepat pada waktunya, melakukan hal-hal yang dilarang dilakukan franchisee, melakukan pelayanan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam sistem waralaba, dan lain-lain. Wanprestasi dari pihak franchisor dapat berbentuk tidak memberikan fasilitas yang memungkinkan sistem waralaba berjalan dengan sebagaimana mestinya, tidak melakukan pembinaan kepada franchisee sesuai dengan yang diperjanjikan, tidak mau membantu franchisee dalam kesulitan yang dihadapi ketika melaksanakan usaha waralabanya, dan lain-lain.

Sebagai bahan penelitian dalam skripsi ini maka diajukan penelitian pada perjanjian franchise izzi kebab. Franchise izzi kebab adalah suatu perjanjian berbentuk waralaba dengan produk kebab merek izzi. Artinya terjadinya suatu perjanjian waralaba penjualan produk kebab bermerek izzi. Sebagai suatu perjanjian maka tentunya para pihak diikat dalam suatu hak dan kewajiban.

Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini mengambil judul tentang “Analisis Hukum Pelaksanaan Perjanjian Franchise Izzi Kebab Menurut Hukum Perdata (Studi Pada Izzi Kebab Jalan Letda Sujono Medan)”.

B. Permasalahan

Permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Siapakah para pihak yang melaksanakan perjanjian franchise? 2. Apakah hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian franchise?

(15)

4. Bagaimana penyelesaian sengketa yang timbul dalam perjanjian franchise izzi kebab?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah untuk :

1. Untuk mengetahui para pihak yang melaksanakan perjanjian franchise

2. Untuk mengetahui hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian franchise.

3. Untuk mengetahui analisis hukum pelaksanaan perjanjian franchise menurut KUH Perdata (Studi Pada Izzi kebab Jl. Letda Sujono Medan. 4. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa yang timbul dalam perjanjian

franchiseizzi kebab.

D. Manfaat Penulisan

Sedangkan yang menjadi manfaat penulisan skripsi ini adalah :

a. Secara teoritis untuk menambah literatur tentang hukum bisnis khususnya bisnis franchise atau lebih dikenal dengan istilah bisnis waralaba di Indonesia. b. Secara praktis sebagai sumbangan pemikiran dan masukan para pihak yang

berkepentingan yaitu masyarakat tentang aspek hukum bisnis franchise.

E. Metode Penelitian

(16)

Sifat penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi ini adalah deskriptif analisis yang mengarah penelitian hukum yuridis empiris atau penelitian hukum doktriner, yaitu suatu penelitian yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain serta penelitian lapangan.

2. Sumber Data

Sumber data penelitian ini didapatkan melalui data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan melalui penelitian lapangan pada Izzi Kebab jalan. Letda Sujono Medan, sedangkan data sekunder terdiri dari:

a. Bahan hukum primer, dalam penelitian ini dipakai adalah KUH Perdata.

b. Bahan hukum sekunder, berupa bacaan yang relevan dengan materi yang diteliti.

c. Bahan hukum tertier, yaitu dengan menggunakan kamus hukum maupun kamus umum dan website internet baik itu melalui Google maupun Yahoo.

3. Alat pengumpul data

Alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah melalui studi dokumen dengan penelusuran kepustakaan serta penelitian lapangan melalui wawancara di Izzi Kebab jalan. Letda Sujono Medan.

4. Analisis data

(17)

dianalisis dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta menarik kesimpulan.

F. Keaslian Penulisan

Adapun penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Hukum Pelaksanaan Perjanjian Franchise Izzi Kebab Menurut Hukum Perdata (Studi Pada Izzi Kebab Jalan Letda Sujono Medan)” ini merupakan luapan dari hasil pemikiran penulis sendiri. Penulisan skripsi ini tidak sama dengan penulisan skripsi lainnya. Sehingga penulisan skripsi ini masih asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan akademik.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa Bab, dimana dalam bab terdiri dari unit-unit bab demi bab. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam bentuk uraian:

Bab I. Pendahuluan

Dalam Bab ini akan diuraikan tentang uraian umum seperti penelitian pada umumnya yaitu, Latar Belakang, Permasalahan, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Metode Penelitian, Keaslian Penulisan, serta Sistematika Penulisan.

Bab II. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian

(18)

Hukum Perjanjian.

Bab III. Tinjauan Umum Tentang Franchise

Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang: Sejarah Franchise, Pengertian dan Landasan Hukum Franchise, Jenis-Jenis Franchise serta Pola Bagi Hasil Dalam Franchise.

Bab IV. Perjanjian FranchiseIzzi Kebab Jalan Letda Sujono Medan

Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan terhadap: Para Pihak Yang Melaksanakan Perjanjian Franchise, Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Franchise, Analisis Hukum Pelaksanaan Perjanjian Franchise Menurut KUH Perdata (Studi Pada Izzi Kebab Jl. Letda Sujono Medan), serta Penyelesaian Sengketa Yang Timbul Dalam Perjanjian Franchise Pada Izzi Kebab.

Bab V. Kesimpulan dan Saran

(19)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

A. Pengertian Perjanjian

Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) menyatakan “suatu persetujuan adalah suatu perbuatan yang mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Menurut Subekti, “perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.5

Ada beberapa penulis yang memakai perkataan persetujuan yang tentu saja tidak salah, karena peristiwa termaksud juga berupa suatu kesepakatan atau pertemuan kehendak antara dua orang atau lebih untuk melaksanakan sesuatu dan perkataan persetujuan memang lebih sesuai dengan perkataan Belanda overeenkomst yang dipakai oleh BW, tetapi karena perjanjian oleh masyarakat sudah dirasakan sebagai suatu istilah yang mantap untuk menggambarkan rangkaian janji-janji yang pemenuhannya dijamin oleh hukum.6

Suatu perjanjian adalah semata-mata suatu persetujuan yang diakui oleh hukum. Persetujuan ini merupakan kepentingan yang pokok dalam dunia usaha, dan menjadi dasar dari kebanyakan transaksi dagang seperti jual beli barang, tanah, pemberian kredit, asuransi, pengangkutan, pembentukan organisasi usaha dan

5

R. Subekti, Hukum Perjanjian, (R. Subekti, I),Intermasa, Jakarta,1979, hal. 1 6

(20)

sebegitu jauh menyangkut juga tenaga kerja.7

Mengenai batasan pengertian perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata, Para sarjana hukum perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata kurang lengkap dan bahkan dikatakan terlalu luas banyak mengandung kelemahan-kelemahan.8 Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Terlalu luas karena dapat mencakup hal-hal janji kawin, yaitu perbuatan di dalam hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga. Namun istimewa sifatnya karena dikuasai oleh ketentuan-ketentuan tersendiri. Sehingga hukum ke III KUH Perdata secara langsung tidak berlaku juga mencakup perbuatan melawan hukum, sedangkan di dalam perbuatan melawan hukum ini tidak ada unsur persetujuan.9

Berdasarkan pengertian singkat di atas dijumpai di dalamnya beberapa unsur yang memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain “hubungan hukum (rechtbetrekking) yang menyangkut Hukum Kekayaan antara dua orang (persoon) atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi”.

Kalau demikian, perjanjian/verbintennis adalah hubungan hukum/ rechtbetrekking yang oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara perhubungannya. Oleh karena itu perjanjian yang mengandung hubungan hukum antara perseorangan/person adalah hal-hal yang terletak dan berada dalam

7

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian¸ Alumni, Bandung, 1986, hal. 93. 8

Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian dan Dari Undang-Undang), Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 45.

9

(21)

lingkungan hukum.

Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perjanjian, bukan suatu hubungan yang bisa timbul dengan sendirinya seperti yang dijumpai dalam harta benda kekeluargaan. Dalam hubungan hukum kekayaan keluarga, dengan sendirinya timbul hubungan hukum antara anak dengan kekayaan orang tuanya seperti yang diatur dalam hukum waris. Lain halnya dalam perjanjian. Suatu perjanjian yang mengikat (perikatan) minimal harus ada salah satu pihak yang mempunyai kewajiban karena bila tidak ada pihak yang mempunyai kewajiban, maka dikatakan tidak ada perjanjian yang mengikat.

Hubungan hukum yang terjadi, baik karena perjanjian maupun karena hukum, dinamakan perikatan karena hubungan hukum tersebut mengikat, yaitu kewajiban-kewajiban yang timbul dari adanya perikatan itu dapat dipaksakan ,secara hukum. Jadi, suatu perjanjian yang tidak mengikat atau tidak dapat dipaksakan (unenforceable) adalah bukan perikatan.10 Tindakan/perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihaklah yang menimbulkan hubungan hukum perjanjian, sehingga terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak yang lain untuk memperoleh prestasi. Sedangkan pihak yang lain itupun menyediakan diri dibebani dengan kewajiban untuk menunaikan prestasi.

Berdasarkan hal tersebut maka satu pihak memperoleh hak/recht dan pihak sebelah lagi memikul kewajiban/plicht menyerahkan/menunaikan prestasi. Prestasi ini adalah objek atau voorwerp dari verbintenis. Tanpa prestasi, hubungan hukum

10

Notaris Nurul Muslimah Kurniati, “Kontrak Dan Perikatan”, Melalui

(22)

yang dilakukan berdasar tindakan hukum, sama sekali tidak mempunyai arti apa-apa bagi hukum perjanjian. Pihak yang berhak atas prestasi mempunyai kedudukan sebagai schuldeiser atau kreditur. Pihak yang wajib menunaikan prestasi berkedudukan sebagai schuldenaar atau debitur.

Hukum kebendaan dikatakan bersifat tertutup, dan karenanya tidak boleh ditambah, diubah, dikurangi atau dimodifikasi oleh orang perorangan atas kehendak mereka sendiri, hukum kebendaan, seringkali juga disebut sebagai hukum yang memaksa .11

Akan tetapi seperti yang telah pernah disinggung di atas, karakter hukum kekayaan dalam harta benda keluarga adalah lahir dengan sendirinya, semata-mata karena ketentuan undang-undang. Vermogenrecht/hukum kekayaan yang bersifat pribadi dalam perjanjian/verbintenis baru bisa tercipta apabila ada tindakan hukum/rechthandeling.

Sekalipun yang menjadi objek atau vorwerp itu merupakan benda, namun hukum perjanjian hanya mengatur dan mempermasalahkan hubungan benda/kekayaan yang menjadi objek perjanjian antara pribadi tertentu (bepaalde persoon).

Selanjutnya dapat dilihat perbedaan antara hukum benda/zakenrecht dengan hukum perjanjian.

a. Hak kebendaan melekat pada benda dimana saja benda itu berada, jadi mempunyai droit de suite.

b. Semua orang secara umum terikat oleh suatu kewajiban untuk menghormati

11

(23)

hak seseorang atas benda tadi, in violable et sacre.

c. Si empunya hak atas benda, dapat melakukan segala tindakan sesukanya atas benda tersebut.

Kalau hukum kebendaan bersifat hak yang absolut, hukum kebendaan dalam perjanjian adalah bersifat “ hak relatif “/relatief recht. Dia hanya mengatur hubungan antara pribadi tertentu. Bepaalde persoon, bukan terhadap semua orang pemenuhan prestasi dapat dimintanya. Hanya kepada orang yang telah melibatkan diri padanya berdasar suatu tindakan hukum. Jadi hubungan hukum / recht berrekking dalam perjanjian hanya berkekuatan hukum antara orang-orang tertentu saja.

Hanya saja dalam hal ini perlu diingatkan, bahwa gambaran tentang pengertian hukum benda yang diatur dalam BW dalam Buku II, yang menganggap hak kebendaan itu “inviolable et sacre” dan memiliki droit de suite, tidak mempunyai daya hukum lagi. Sebab dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 sesuai dengan asas unifikasi hukum pertanahan, Buku II Burgelijk Wetboek (BW) tidak dinyatakan berlaku lagi.

Terutama mengenai hubungan tanah dengan seseorang, tidak lagi ditekankan pada faktor hak. Tetapi dititik beratkan pada segi penggunaan dan fungsi sosial tanah, agar selaras dengan maksud dan jiwa pada Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945.

(24)

perbuatan hukum.

Akan tetapi ada beberapa pengecualian:

a. Sekalipun tidak ada hubungan hukum yang mengikat antara dua orang tertentu (bepaalde persoon), verbintenis bisa terjadi oleh suatu keadaan/kenyataan tertentu. Misalnya karena pelanggaran kendaraan.

b. Atau oleh karena suatu kewajiban hukum dalam situasi yang nyata, dapat dikonkritisasi sebagai verbintenis. Sekalipun sebelumnya tidak ada hubungan hukum antara dua orang tertentu, seperti yang dapat dilihat pada Waterkraan Arrest (H.R. 10 Juni 1910).12

Verbintenis/perjanjian mempunyai sifat yang dapat dipaksakan. Dalam perjanjian, kreditur berhak atas prestasi yang telah diperjanjikan. Hak mendapatkan prestasi tadi dilindungi oleh hukum berupa sanksi. Ini berarti kreditur diberi kemampuan oleh hukum untuk memaksa kreditur menyelesaikan pelaksanaan kewajiban/prestasi yang mereka perjanjikan. Apabila debitur enggan secara sukarela memenuhi prestasi, kreditur dapat meminta kepada Pengadilan untuk melaksanakan sanksi, baik berupa eksekusi, ganti rugi atau uang paksa. Akan tetapi tidak seluruhnya verbintenis mempunyai sifat yang dapat dipaksakan.

Pengecualian terdapat misalnya pada natuurlijke verbintenis. Dalam hal ini perjanjian tersebut bersifat tanpa hak memaksa. Jadi natuurlijk verbintenis adalah perjanjian tanpa mempunyai kekuatan memaksa. Dengan demikian, perjanjian dapat dibedakan antara:

12

(25)

a. Perjanjian tanpa kekuatan hukum (zonder rechtwerking).

Perjanjian tanpa kekuatan hukum ialah perjanjian yang ditinjau dari segi hukum perdata tidak mempunyai akibat hukum yang mengikat. Misalnya perjanjian keagamaan, moral, sopan santun dan sebagainya.

b. Perjanjian yang mempunyai kekuatan hukum tak sempurna seperti natuurlijke verbintenis.

Ketidak sempurnaan daya hukumnya terletak pada sanksi memaksanya, yaitu atas keengganan debitur memenuhi kewajiban prestasi, kreditur tidak diberi kemampuan oleh hukum untuk melaksanakan pemenuhan prestasi. Jadi tidak dapat dipaksakan.

c. Verbintenis yang sempurna daya kekuatan hukumnya, Disini pemenuhan dapat dipaksakan kepada debitur jika ia ingkar secara sukarela melaksanakan kewajiban prestasi. Untuk itu kreditur diberi hak oleh hukum menjatuhkan sanksi melalui tuntutan eksekusi pelaksanaan dan eksekusi riel, ganti rugi serta uang paksa.

Hukum adalah rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota suatu masyarakat dan bertujuan mengadakan tata tertib diantara anggota-anggota masyarakat. Ini berarti bahwa unsur hukum baru dapat dianggap ada, apabila suatu tingkah laku seseorang sedikit banyak menyinggung atau mempengaruhi tingkah laku dengan kepentingan orang lain.

(26)

perjanjian seseorang yang berhak, dapat dibilang mempunyai hak tak mutlak yaitu hanya dapat melaksanakan haknya terhadap seorang tertentu yakni orang pihak lain yang turut membikin perjanjian itu ”.13

Suatu perhubungan hukum mengenai suatu benda, hukum perdata membedakan hak terhadap benda dan hak terhadap orang. Meskipun suatu perjanjian adalah mengenai suatu benda, perjanjian itu tetap merupakan perhubungan hukum antara orang dengan orang, lebih tegasnya antara orang tertentu dengan orang lain tertentu. Artinya, hukum perdata tetap memandang suatu perjanjian sebagai hubungan hukum, di mana seorang tertentu, berdasarkan atas suatu janji berkewajiban untuk melakukan suatu hal, dan orang lain tertentu berhak menuntut pelaksanaan kewajiban itu. Misalnya, A dan B membuat perjanjian jual beli, yaitu A adalah penjual dan B adalah pembeli, dan barang yang dibeli adalah sebuah lemari tertentu yang berada di dalam rumah A. Harga pembelian sudah dibayar, tetapi sebelum lemari diserahkan kepada B, ada pencuri yang mengambil lemari tersebut, sehingga lemari tersebut jatuh ke tangan seorang ketiga (C). Dalam hal ini B hanya berhak menegur A supaya lemari diserahkan kepadanya, dan B tidak dapat langsung menegur C supaya lemari tersebut diserahkan kepadanya.

Sifat hukum perjanjian ini berbeda dengan sifat hukum kebendaan. Pada hukum benda, hubungan hukum itu terjadi antara orang dengan benda. Sedangkan pada hukum perjanjian, hubungan hukum itu terjadi antara orang dengan orang berdasarkan perjanjian yang dibuat orang-orang tersebut.

13

(27)

Dengan sifat hukum perjanjian, yakni sifat perorangan, maka para pihak dapat dengan bebas menentukan isi dari perjanjian yang mereka buat, asal saja tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan, yang artinya hukum perjanjian itu menganut sistem terbuka.

Pasal-pasal dari hukum perjanjian ini merupakan hukum pelengkap, yaitu pasal-pasal itu dapat dikesampingkan apabila dikehendaki, oleh para pihak yang membuat perjanjian, mereka diperbolehkan mengatur sendiri sesuatu soal, namun tidak boleh melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.

KUH Perdata, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (1) yang mengatakan bahwa : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Uraian di atas juga dikenal asas kebebasan berkontrak. Hukum tidak pernah berhubungan dan tidak perlu mengetahui apa yang melatar belakangi dibuatnya suatu perjanjian, melainkan cukup bahwa prestasi yang dijanjikan untuk dilaksanakan yang diatur dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak tidak mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. 14

Dikarenakan hukum perjanjian itu adalah merupakan peristiwa hukum yang selalu terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga apabila ditinjau dari segi yuridisnya, hukum perjanjian itu tentunya mempunyai perbedaan satu sama lain dalam arti kata bahwa perjanjian yang berlaku dalam masyarakat itu mempunyai coraknya yang tersendiri pula. Corak yang berbeda dalam bentuk perjanjian itu, merupakan bentuk atau jenis dari perjanjian.

14

(28)

Bentuk atau jenis perjanjian tersebut, tidak ada diatur secara terperinci dalam undang-undang, akan tetapi dalam pemakaian hukum perjanjian oleh masyarakat dengan penafsiran pasal dari KUH Perdata terdapat bentuk atau jenis yang berbeda tentunya.

B. Syarat Sahnya Perjanjian

Untuk sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu :

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian c. Mengenai suatu hal tertentu

d. Suatu sebab yang halal.

Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat objektif karena mengenai perjanjian sendiri oleh obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.

Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan, bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal-balik, pembeli mengingini sesuatu barang penjual .15

Persetujuan atau kesepakatan dari masing-masing pihak itu harus dinyatakan dengan tegas, bukan diam-diam. Persetujuan itu juga harus diberikan bebas dari pengaruh atau tekanan yaitu paksaaan.

15

(29)

Suatu kesepakatan dikatakan mengandung cacat, apabila kehendak-kehendak itu mendapat pengaruh dari luar sedemikian rupa, sehingga dapat mempengaruhi pihak-pihak bersangkutan dalam memberikan kata sepakatnya.

Contoh dari paksaan yang dapat mengakibatkan pembatalakan persetujuan ialah ancaman dengan penganiayaan, dengan pembunuhan atau dengan membongkar suatu rahasia. Dalam mempertimbangkan sifat ancaman ini harus diperhatikan kelamin serta kedudukan orang-orang yang bersangkutan.16

Perjanjian yang diadakan dengan kata sepakat yang cacat itu dianggap tidak mempunyai nilai. Lain halnya dalam suatu paksaaan yang bersifat relatif, dimana orang yang dipaksa itu masih ada kesempatan apakah ia akan mengikuti kemauan orang yang memaksa atau menolaknya, sehingga kalau tidak ada persetujuan dari orang yang dipaksa itu maka jelas bahwa persetujuan yang telah diberikan itu adalah persetujuan yang tidak sempurna, yaitu tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata.

Paksaan seperti inilah yang dimaksudkan Undang-undang dapat dipergunakan sebagai alasan untuk menuntut batalnya perjanjian, yaitu suatu paksaaan yang membuat persetujuan atau perizinan diberikan, tetapi secara tidak benar.

Mengenai kekeliruan atau kesilapan Undang-undang tidak memberikan penjelasan ataupun pengertian lebih lanjut tentang apa yang dimaksud dengan kekeliruan. Menurutpendapat doktrin yang mana telah memberikan pengertian terhadap kekeliruan, terhadap sifat-sifat pokok yang terpenting dari obyek perjanjian. Dengan perkataan lain bahwa kekeliruan terhadap unsur pokok dari

16

(30)

barang–barang yang diperjanjikan yang apabila diketahui, seandainya orang tidak silap mengenai hal-hal tersebut perjanjiann itu tidak akan diadakan. Jadi sifat pokok dari barang yang diperjanjikan itu adalah merupakan motif yang mendorong pihak-pihak yang bersangkutan untuk mengadakan perjanjian.

Sesuatu kekeliruan atau kesilapan untuk dapat dijadikan alasan guna menuntut pembatalan perjanjian maka haruslah dipenuhi persyaratan bahwa barang-barang yang menjadi pokok perjanjian itu dibuat, sedangkan sebagai pembatasan yang kedua dikemukakan oleh doktrin adalah adanya alasan yang cukup menduga adanya kekeliruan atau dengan kata lain bahwa kesilapan itu harus diketahui oleh lawan, atau paling sedikit pihak lawan itu sepatutnya harus mengetahui bahwa ia sedang berhadapan dengan seseorang yang silap.

Misalnya sesorang membeli sebuah lukisan yang dikiranya lukisan Basuki Abdullah, tetapi kemudian ternyata hanya turunan saja. Kekhilafan mengenai orang terjadi misalnya jika seorang Direktur Opera mengadakan suatu kontrak dengan orang yang dikiranya seorang penyanui yang tersohor, padahal itu bukan orang yang dimaksudkan, hanyalah namanya saja yang kebetulan sama.17

Kekeliruan atau kesilapan sebagaimana yang dikemukakan diatas adalah kekeliruan terhadap orang yang dimaksudkan dalam perjanjian. Jadi orang itu mengadakan perjanjian justru karena ia mengira bahwa penyanyi tersebut adalah orang yang dimaksudkannya.

Dalam halnya ada unsur penipuan pada perjanjian yang dibuat, maka pada salah satu pihak terdapat gambaran yang sebenarnya mengenai sifat-sifat pokok barang-barang yang diperjanjikan, gambaran dengan sengaja diberikan oleh pihak lawannya.

17

(31)

Perihal adanya penipuan itu harus dibuktikan, demikian hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 1328 ayat 1 KUH Perdata. Yuriprudensi dalam hal penipuan ini menerangkan bahwa untuk dapat dikatakan adanya suatu penipuan atau tipu muslihat tidak cukup jika seseorang itu hanya melakukan kebohongan mengenai suatu hal saja, paling sedikit harus ada sesuatu rangkaian kebohongan. Karena muslihat itu, pihak yang tertipu terjerumus pada gambaran yang keliru dan membawa kerugian kepadanya. Syarat kedua untuk sahnya suatu perjanjian adalah, kecakapan para pihak. Untuk hal ini dikemukakan Pasal 1329 KUH Perdata, dimana kecakapan itu dapat kita bedakan :

a. Secara umum dinyatakan tidak cakap untuk mengadakan perjanjian secara sah. b. Secara khusus dinyatakan bahwa seseorang dinayatakan tidak cakap untuk

mengadakan perjanjian tertentu, misalnya Pasal 1601 KUH Perdata yang menyatakan batalnya suatu perjanjian perburuhan apabila diadakan antara suami isteri.

Perihal ketidak cakapan pada umumnya adalah sebagaimana yang diuraikan oleh Pasal 1330 KUH Perdata ada tiga, yaitu :

a. Anak-anak atau orang yang belum dewasa

b. Orang-orang yang ditaruh dibawah pengampunan c. Wanita yang bersuami

(32)

Ia bertindak dalam lalu lintas hukum harus dibantu atau mendapat izin dari suaminya. Hal ini mengingat bahwa kekuasaan sebagai kepala rumah tangga adalah besar sekali, seperti yang kita kenal dengan istilah maritale macht.

Melihat kemajuan zaman, dimana kaum wanita telah berjuang membela haknya yang kita kenal dengan emansipasi, kiranya sudah tepatlah kebijaksanaan Mahkamah Agung yang dengan surat edarannya No. 3 Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963 telah menganggap Pasal 108 dan Pasal 110 KUH Perdata tentang wewenang seorang isteri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di depan pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya sudah tidak berlaku lagi.

Dalam hal perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh mereka yang tergolong tidak cakap ini, pembatalan perjanjian hanya dapat dilakukan oleh mereka yang dianggap tidak cakap itu sendiri, sebab undang-undang beranggapan bahwa perjanjian ini dibatalkan secara sepihak, yaitu oleh pihak yang tidak cakap itu sendiri, akan tetapi apabila pihak yang tidak cakap itu mengatakan bahwa perjanjian itu berlaku penuh baginya, akan konskuensinya adalah segala akibat dari perjanjian yang dilakukan oleh mereka yang tidak cakap dalam arti tidak berhak atau tidak berkuasa adalah bahwa pembatalannya hanya dapat dimintakan oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan.

(33)

ketertiban hukum dalam masyarakat di pihak lain. Bilamana dari sudut tujuan hukum yang pertama ialah mengejar rasa keadilan memang wajarlah apabila orang yang membuat suatu perjanjian dan nantinya terikat oleh perjanjian itu harus pula mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyapi akan tanggung-jawab yang harus dipikulkan dan tujuan yang satu inilah akan sulit diharapkan apabila orang-orang yang merupakan pihak dalam suatu perjanjian itu adalah orang-orang-orang-orang di bawah umur atau orang sakit ingatan atau pikiran yang pada umumnya dapat dikatakan sebagai belum atau tidak dapat menginsyafi apa sesungguhnya tanggung-jawab itu.

Selanjutnya syarat yang ketiga untuk sahnya satu perikatan adalah adanya hal tertentu yang diperjanjikan maka ini berarti bahwa apa yang diperjanjikan harus cukup jelas dalam arti barang atau benda yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya (Pasal 1333 ayat (1) KUH Perdata) dengan pengertian bahwa jumlahnya barang tidak menjadi syarat, asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan.

Syarat yang ketiga ini menjadi penting, terutama dalam hal terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, guna dapat menetapkan apa-apa saja yang menjadi hak dan kewajiban dari pada pihak-pihak dalam perjanjian yang mereka buat itu.

(34)

Akhirnya selalu syarat untuk sahnya suatu perjanjian itu, Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan sebagai syarat ke-empat ialah adanya suatu sebab yang halal. Dengan sebab ini dimaksudkan tiada lain dari pada isi perjanjian itu sendiri. Atau seperti dikemukakan R. Wirjono Prodjodikoro, yaitu “Azas-azas hukum perjanjian, bahwa dengan pengertian causa adalah bukan hal yang mengakibatkan hal sesuatu kedaan belaka. Dalam pandangan saya, causa dalam hukum perjanjian adalah isi dan tujuan suatu persetujuan, yang menyebabkan adanya persetujuan itu”.18

Selaku suatu causa dalam perjanjian, haruslah berupa causa yang halal, dalam arti bahwa isi perjanjian itu harus bukan sesuatu hal yang terlarang. Sebagai contoh dari suatu perjanjian yang mengandung causa yang terlarang, adalah si penjual hanya bersedia menjual pisaunya kalau si pembeli membunuh orang.

C. Jenis-Jenis Perjanjian

Bentuk atau jenis perjanjian tersebut, tidak ada diatur secara terperinci dalam undang-undang, akan tetapi dalam pemakaian hukum perjanjian oleh masyarakat de-ngan penafsiran pasal dari KUH Perdata terdapat bentuk atau jenis yang berbeda tentunya.

Perbedaan tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut:

a. Perjanjian Timbal Balik

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Misalnya : jual beli, sewa-menyewa. Dari contoh ini, dapat diuraikan tentang apa itu jual beli.

18

(35)

Dari sebutan jual-beli ini tercermin kepada kita memperlihatkan dari satu pihak perbuatan dinamakan penjual, sedangkan di pihak lain dinamakan pembeli. Dua perkataan bertimbal balik itu, adalah sesuai dengan istilah Belanda Koop en verkoop yang mengandung pengertian bahwa, pihak yang satu Verkoop (menjual), sedangkan koopt adalah membeli. 19

b. Perjanjian Sepihak

Perjanjian sepihak merupakan kebalikan dari pada perjanjian timbal balik. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya. Contohnya : Perjanjian hibah.

c. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian dengan alasan hak yang membebani Perjanjian cuma-cuma atau percuma adalah perjanjian yang hanya memberi keuntungan pada satu pihak, misalnya: Perjanjian pinjam pakai. Pasal 1740 KUH Perdata menyebutkan bahwa : Pinjam pakai adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu barang kepada pihak yang lainnya, untuk dipakai dengan cuma-cuma dengan syarat bahwa yang menerima barang ini setelah memakainya atau setelah lewatnya waktu tertentu, akan mengembalikannya kembali.

Sedangkan perjanjian atas beban atau alas hak yang membebani, adalah suatu perjanjian dalam mana terhadap prestasi ini dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lainnya, dan antara kedua prestasi ini ada hubungannya menurut hukum. Kontra prestasinya dapat berupa kewajiban pihak lain, tetapi juga pemenuhan suatu syarat potestatif (imbalan). Misalnya A menyanggupi memberikan kepada B sejumlah uang, jika B menyerah lepaskan

19

(36)

suatu barang tertentu kepada A .

d. Perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama

Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, maksudnya bahwa perjanjian itu memang ada diatur dan diberi nama oleh Undang-undang. Misalnya jual-beli; sewa-menyewa; perjanjian pertanggungan; pinjam pakai dan lain-lain. Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah merupakan suatu perjanjian yang munculnya berdasarkan praktek sehari-hari. Contohnya: Perjanjian sewa-beli. Jumlah dari perjanjian ini tidak terbatas banyaknya.

Lahirnya perjanjian ini dalam praktek adalah berdasarkan adanya suatu azas kebebasan berkontrak, untuk mengadakan suatu perjanjian atau yang lebih dikenal Party Otonomie, yang berlaku di dalam hukum perikatan.

e. Perjanjian Kebendaan dan Perjanjian Obligatoir

Perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian kebendaan ini sebagai pelaksanaan perjanjian obligatoir.

Perjanjian obligator adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan, artinya sejak terjadinya perjanjian timbullah hak dan kewajiban pihak-pihak.

f. Perjanjian Konsensual dan Perjanjian Real

(37)

yang hanya berlaku sesudah terjadi penyerahan barang. Misalnya perjanjian penitipan barang (Pasal 1694 KUH Perdata), pinjam pakai (Pasal 1740 KUH Perdata). Perjanjian yang terakhir ini dinamakan perjanjian riil yang merupakan peninggalan hukum Romawi”.20

Dari uraian diatas tergambar bahwa perjanjian penitipan merupakan sauatu perjanjian real, jadi bukan suatu perjanjian yang baru tercipta dengan adanya suatu penyerahan yang nyata yaitu memberikan barang yang dititipkan.

Seperti diketahui secara umum bahwa berakhirnya suatu perjanjian itu menurut Pasal 1381 KUH Perdata ada 10 (sepuluh), yaitu :

1. Karena pembayaran

2. Karena penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan.

3. Karena pembaharuan hutang

4. Karena perjumpaan hutang atau kompensasi. 5. Karena percampuran hutang

6. Karena pembebasan hutang.

7. Karena musnahnya barang yang terutang 8. Karena kebatalan atau pembatalan.

9. Karena berlakunya suatu syarat-syarat batal yang diatur dalam bab kesatu buku ini.

10.Karena lewatnya waktu.21

Bab III dan IV KUH Perdata mengatur berbagai cara tentang hapusnya suatu perikatan, baik perikatan itu bersumber dari perjanjian maupun dari undang-undang. Pada Pasal 1381 KUH Perdata mengatur berbagai cara hapusnya perikatan-perikatan dan cara-cara yang ditunjukkan oleh pembentuk undang-undang itu tidaklah bersifat membatasi para pihak untuk menciptakan cara yang lain untuk menghapuskan suatu perikatan.

20

Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit., hal. 21. 21

(38)

Juga cara-cara yang tersebut dalam Pasal 1381 KUH Perdata itu tidaklah lengkap, karena tidak mengatur misalnya hapusnya perikatan, karena meninggalnya seorang dalam suatu perjanjian yang prestasinya hanya dapat dilaksanakan oleh salah satu pihak.

Lima cara pertama yang tersebut di dalam Pasal 1381 KUH perdata menunjukkan bahwa kreditur tetap menerima prestasi dari debitur. Dalam cara keenam yaitu pembebasan hutang, maka kreditur tidak menerima prestasi, bahkan sebaliknya, yaitu secara sukarela melepaskan haknya atas prestasi. Pada empat cara yang terakhir dari Pasal 1381 KUH Perdata maka kreditur tidak menerima prestasi karena perikatan tersebut gugur ataupun dianggap telah gugur.

D. Akibat Hukum Perjanjian

Undang-undang menentukan bahwa perjanjian yang sah berkekuatan sebagai undang-undang. Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali, selain kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Dengan istilah semua pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa perjanjian yang dimaksud bukanlah semata-mata perjanjian bersama, tetapi juga meliputi perjanjian yang tidak bernama. Di dalam istilah semua itu terkandung suatu asas yang dikenal dengan asas partij autonomie.22

22

(39)

Dengan istilah sesecara sah pembentuk undang-undang hendak menunjukkan bahwa pembuatan perjanjian harus menurut hukum. Semua persetujuan yang dibuat menurut hukum atau secara sah adalah mengikat. Yang dimaksud dengan secara sah disini ialah bahwa perbuatan perjanjian harus mengikuti apa yang ditentukan oleh Pasal 1320 KUH Perdata.

Akibat dari apa yang diuraikan pada ayat 1 tadi melahirkan apa yang disebut pada ayat (2), yaitu perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali secara sepihak kecuali kesepakatan antara keduanya. Dalam ayat 1 dan ayat 3 terdapat asas kedudukan yang seimbang diantara kedua belah pihak.

Undang-undang mengatur tentang isi perjanjian dalam Pasal 1329 KUH perdata. Dari dua ketentuan ini, disimpulkan bahwa isi perjanjian terdiri dari elemen-elemen sebagai berikut :

1. Isi perjanjian, 2. Kepatuhan 3. Kebiasaan.

Isi perjanjian ialah apa yang dinyatakan secara tegas oleh kedua belah pihak di dalam perjanjian itu. Kepatuhan adalah ulangan dari kepatuhan yang terdapat dalam Pasal 1338 KUH Perdata.

(40)

Yang dimaksud dengan undang-undang di atas adalah undang-undang pelengkap, undang-undang yang bersifat memaksa tidak dapat dilanggar oleh para pihak.

Urutan isi perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1339 KUH Perdata, mengenai keputusan peradilan mengalami perubahan sehingga urutan dari elemen isi perjanjian menjadi sebagai berikut :

1. Isi perjanjian 2. Undang-undang 3. Kebiasaan 4. Kepatuhan

(41)

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG FRANCHISE

A. Sejarah Franchise

Konsep waralaba (franchise) bukan merupakan konsep yang baru, bahkan merupakan suatu konsep bisnis yang cukup mempunyai sejarah yang panjang jauh ke belakang. Kata franchise diambil dari bahasa Perancis yang artinya kejujuran, bebas, kebebesan, untuk membebaskan.

Pada abad pertengahan, awal kemunculan franchising di Eropa ditandai oleh hubungan antara para tuan tanah dan buruh atau budak-budak mereka. Para tuan tanah memberikan hak kepada buruh atau budak untuk mengolah lahan, berburu, menjual hasilnya, atau melakukan bisnis para tuan tanah di lahan tersebut.

Isaac M. Singer menandai munculnya franchise di Amerika dengan bisnis mesin jahitnya. Dia menggunakan franchise untuk menambah jangkauan distribusi pasarnya dengan cepat. Format franchisenya adalah dengan memberikan hak penjualan mesin jahitnya dan tanggung jawab pelatihan kepada franchiseenya.

Format bisnis franchising, yaitu dengan memberikan lisensi nama atau trademarks dan konsep bisnis kepada franchisee mulai bermunculan dan menjadi booming setelah Perang Dunia II berakhir. Para pelopor franchise di Amerika, diantaranya:

- John S. Pemberton berhasil mewaralabakan Coca-Cola.

- General Motors Industry ditahun 1898 mewaralabakan industri mobil. - Western Union dengan sistem telegraphnya.

(42)

Dengan semakin banyak franchise yang bermunculan, kebutuhan akan hukum dan perlindungan terhadap konsumen dibutunkan. Terbentuklah Asosiasi Franchise Internasional (International Franchise Association) pada tahun 1960 yang anggotanya terdiri dari franchisor, franchisee dan pemasok. Franchise saat ini didominasi oleh franchise tipe rumah makan siap saji. Kecenderungan ini dimulai pada tahun 1919 ketika A&W Root Beer membuka restauran cepat sajinya.

Pada tahun 1935, Howard Deering Johnson bekerjasama dengan Reginald Sprague untuk memonopoli usaha restauran modern. Gagasan mereka adalah membiarkan rekanan mereka untuk mandiri menggunakan nama yang sama, makanan, persediaan, logo dan bahkan membangun desain sebagai pertukaran dengan suatu pembayaran.

Dalam perkembangannya, sistem bisnis ini mengalami berbagai penyempurnaan terutama di tahun l950-an yang kemudian dikenal menjadi waralaba format bisnis (business format) atau sering pula disebut sebagai waralaba generasi kedua. Perkembangan sistem waralaba yang demikian pesat terutama di negara asalnya, AS, menyebabkan waralaba digemari sebagai suatu sistem bisnis diberbagai bidang usaha, mencapai 35 persen dari keseluruhan usaha ritel yang ada di AS. Sedangkan di Inggris, berkembangnya waralaba dirintis oleh J. Lyons melalui usahanya Wimpy and Golden Egg, pada tahun 60-an.

(43)

di Indonesia.

Kemudian pada tahun 1970-an kehadiran franchise asing semakin mengalir. Masuknya Shakey Pisa, KFC, Swensen dan Burger King merupakan generasi awal franchise di Indonesai. Adanya lisensi franchise plus yang tidak sekedar menjadi penyalur, namun juga memiliki hak untuk memproduksi menandakan perkembangan selanjutnya. Sejak tahun 1995, sistem franchise mulai terlihat sangat pesat. Pada tahun 1997 saja Deperindag mencatat sekitar 259 perusahaan penerima waralaba di Indonesia. Payung hukum sistem waralaba di Indonesia mulai dibuat dan pada tanggal 18 Juni 1997 dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah (PP) RI No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba. Namun karena krisis moneter, banyak penerima waralaba asing terpaksa menutup usahanya karena nilai rupiah yang sangat anjlok.

Butuh waktu 6 tahun, yaitu pada tahun 2003 sampai akhirnya franchise di Indonesia kembali mengalami perkembangan yang dangat pesat. Selanjutnya pemerintah mencabut Peraturan Pemerintah (PP) RI No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba dan diganti dengan PP No 42 tahun 2007 tentang waralaba.

B. Pengertian Franchise

(44)

ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan oleh pihak lain tersebut dalam rangka penyediaan dan atau penjualan barang dan jasa.

Sedangkan menurut Asosiasi Franchise Indonesia, yang dimaksud dengan Waralaba ialah,Suatu sistem pendistribusian barang atau jasa kepada pelanggan akhir, dimana pemilik merek (franchisor) memberikan hak kepada individu atau perusahaan untuk melaksanakan bisnis dengan merek, nama, sistem, prosedur dan cara-cara yang telah ditetapkan sebelumnya dalam jangka waktu tertentu meliputi area tertentu.

Selain pengertian waralaba, perlu dijelaskan pula apa yang dimaksud dengan franchisor dan franchisee. Franchisor atau pemberi waralaba, adalah badan usaha atau perorangan yang memberikan hak kepada pihak lain untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimilikinya.

Franchisee atau penerima waralaba, adalah badan usaha atau perorangan yang diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas yang dimiliki pemberi waralaba.

(45)

Cola, melainkan sebuah industri otomotif AS, General Motors Industry ditahun 1898. Contoh lain di AS ialah sebuah sistem telegraf, yang telah dioperasikan oleh berbagai perusahaan jalan kereta api, tetapi dikendalikan oleh Western Union serta persetujuan eksklusif antar pabrikan mobil dengan dealer.’

Walaupun bisnis waralaba telah berkembang di Indonesia, namum belum ada peraturan yang mengatur secara khusus mengenai bisnis waralaba. Adapun bisnis waralaba diatur secara tersirat atau yang mempunyai hubungan dengan franchise atau peraturan yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan bisnis waralaba dalam:

1. Pasal 1320 dan pasal 1338 KUHPerdata

2. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 3. Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta 4. Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten 5. Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek

6. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang 7. Undang-undang nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

8. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

9. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 tetang Waralaba yang telah diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba

10. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan

(46)

Usaha Kecil dan Menengah

12. Keputusan Presiden Nomor 127 Tahun 2001 tentang Bidang/Jenis Usaha Yang Dicadangkan Untuk Usaha Kecil dan Bidang/Jenis Usaha Yang Terbuka Untuk Menengah atau Besar Dengan Syarat Kemitraan

13. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 12/M-DAG/PER/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba 14. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor

259/MPP/Kep/7/1997 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftran Usaha Waralaba

15. Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 376/Kep/XI/ 1988 tentang Kegiatan Perdagangan

16. Ketentuan tentang perpajakan 17. Ketentuan tentang perizinan

18. Ketentuan tentang penanaman modal asing maupun dalam negeri

Peraturan tersebut di atas telah dapat menjamin kepastian hukum dalam bisnis waralaba, hal ini dapat dilihat dengan semakin banyaknya payung hukum yang dapat melindungi bisnis waralaba tersebut.

C. Jenis-Jenis Franchise

Menurut Mohammad Su’ud bahwa dalam praktek franchise terdiri dari empat bentuk:

1. Product Franchise

(47)

mendistribusikan produk dari petnernya dengan pembatasan areal. 2. Processing or Manufacturing Frinchise

Jenis franchise ini memberikan hak pada suatu badan usaha untuk membuat suatu produk dan menjualnya pada masyarakat, dengan menggunakan merek dagang dan merek franchisor. Jenis franchise ini seringkali ditemukan dalam industri makanan dan minuman.

3. Bussiness Format atau System Franchise

Franchisor memiliki cara yang unik dalam menyajikan produk dalam satu paket, seperti yang dilakukan oleh Mc Donald’s dengan membuat variasi produknya dalam bentuk paket.

4. Group Trading Franchise

Bentuk franchise yang menunjuk pada pemberian hak mengelola toko-toko grosir maupun pengecer yang dilakukan toko serba ada.

Sedangkan menurut organisasi Franchise International yang beranggotakan negara-negara di dunia, ada empat jenis franchise yang mendasar yang biasa digunakan di Amerika Serikat, yaitu:

1. Product Franchise

(48)

ban yang menjual produk dari franchisor, menggunakan nama dagang, serta metode pemasaran yang ditetapkan oleh franchisor.

2. Manufacturing Franchises

Jenis franchise ini memberikan hak pada suatu badan usaha untuk membuat suatu produk dan menjualnya pada masyarakat, dengan menggunakan merek dagang dan merek franchisor. Jenis franchise ini seringkali ditemukan dalam industri makanan dan minuman.

3. Business Oportunity Ventures

Bentuk ini secara khusus mengharuskan pemilik bisnis untuk membeli dan mendistribusikan produk-produk dari suatu perusahaan tertentu. Perusahaan harus menyediakan pelanggan atau rekening bagi pemilik bisnis, dan sebagai timbal baliknya pemilik bisnis harus membayarkan suatu biaya atau prestasi sebagai kompensasinya. Contohnya, pengusahaan mesin-mesin penjualan otomatis atau distributorship.

4. Business Format Franchising

(49)

D. Pola Bagi Hasil Dalam Franchise

Belakangan, banyak bisnis franchise yang menawarkan ragam pola investasi. Mulai sistem investasi dengan model bagi hasil, syariah, mudhorobah, hingga saham. Seperti apa, dan bagaimana tanggapan AFI serta Pengamat franchise.

Sejatinya, franchise merupakan sebuah model bisnis yang menghajatkan seorang franchisee, sebagai partner bisnis yang ikut terlibat langsung mengelola gerai bisnisnya. Dengan kata lain, calon investor yang menenamkan uang di bisnis tersebut harus terlibat aktif membantu mengembangkan gerai bisnis franchisornya layaknya bisnis sendiri, meski merek dan sistem bisnis secara hak paten dimiliki franchisor.

Setelah itu, dari omset bisnis tersebut, si franchisee dibebani kewajiban membayar royalti fee beberapa persen setiap bulannya kepada franchisor sebagai imbalan menggunakan merek dan sistem bisnis franchisor. Sedangkan franchisor sendiri dituntut untuk memberikan bimbingan serta support kepada para franchisee selama berlangsungnya masa kontrak kerjasama. Itulah format dan kinerja bisnis franchise secara legal formalnya, seperti yang tertuang pada PP No 42. Di luar skema itu, bisnis tersebut bukan disebut franchise.

(50)

menerapkan skema investasi waralabanya.

Es Teler 77 misalnya, ketika awalmula difranchisekan merek yang dibesut Sukyatno Nugroho ini memang menerapkan pola franchise murni, dalam artian mewajibkan franchisee terlibat langsung mengelola bisnisnya, dan membebani mereka dengan royalti fee. Namun dalam perkembangannya, seiring banyaknya jumlah gerainya, Es Teler 77 justru menerapkan sistem profit sharing, yaitu franchisee tidak diwajibkan terlibat penuh mengurus bisnisnya. Mereka hanya menerima pembagian hasil usahanya saja. Semua kendali bisnis dipegang oleh franchisor.

Selain itu, yang paling ekstrim lagi adalah franchise asal Korea, yakni BBQ Chicken, yang beberapa waktu lalu mulai masuk ke Indonesia. Waralaba yang sudah ada di 55 negara ini tidak memberlakukan sistem royalti fee maupun profit sharing. Merek ini memberlakukan investasi dengan nama Kontrak Invetasi Kolektif (KIK), yaitu menjual saham bisnis perlot. Setiap lotnya bernilai Rp 60 juta.

(51)

Hal yang serupa juga dilakukan oleh Ayam Lepass. Usaha yang belum mau disebut franchise, namun bisnisnya yang tengah moncer ini menawarkan peluang bisnis dengan konsep mudhorobah. ”Kalau mudhorobah biasanya kan satu orang, tapi di Ayam Lepaas kita gabungkan beberapa orang sampai modalnya mencukupi untuk buka gerai,” ungkap founder Ayam Lepaas, Suparno, S.TP.

Alasan Suparno menerapkan muhdorobah relatif sama dengan BBQ Chicken. Menurutnya, agak berat jika 1 orang harus investasi diatas 100 juta per gerai. Karena itu, Ayam Lepaas menerapkan batas minimal investasi per gerai sebesar Rp 10 juta, serta batas maksimal Rp 50 juta. ”Kecuali ada orang yang memang meminta khusus, misalnya dia punya tempat, kita bisa share 30% – 40% dari keseluruhan modal,” katanya.

Begitupun langkah yang diambil oleh Corner Kebab. Merek ini menawarkan sistem ganda dalam menawarkan peluang bisnisnya pada calon mitra, yaitu sistem kemitraan berbasis franchise dan kemitraan berbasis syariah. “Dengan adanya dua pilihan jenis invetasi ini, maka kita harapkan calon mitra bisnis bisa lebih nyaman menjadi menjadi partner bisnis kita. Sebab, ada beberapa orang yang super sibuk, namun dia ingin punya bisnis ini, maka kita yang mengeloa nanti hasilnya dibagi dua,” tutur Ardiansyah, Owner Corner kebab.

(52)

ke sistem syariah, kita yang mengelola dan keuntungannya bagi dua. Andaipun merugi maka dibagi dua juga. Jadi kita menawarkan sistem bisnis berlapis,” ujarnya.

Diakui Ardiansyah, sampai saat ini pola investasi dengan sistem syariah yang banyak diminati para mitra bisnisnya. Dari 160 gerai yang telah beroperasi. Sekitar 80% mitra bisnis yang bergabung di Coner Kebab memilih mengambil sistem syariah. Sedangkan, sisanya ada yang ingin mengelola sendiri.

Anang Sukandar, Ketua Asosiasi Franchise Indonesia menangkap fenomena pola invetasi di industri franchise dengan nada yang kurang bagus. Menurutnya, bisnis yang menamakan dirinya sebagai franchise kemudian menawarkan skema investasi yang bermacam-macam, seperti muhdhorobah, bagi hasil, syariah, dan sebagainya sebagai bukan bisnis franchise. “Tidak ada yang namanya personal franchise, mudhorobah, maupun franchise syariah. Yang ada bisnis franchise seperti yang diatur dalam PP No 42 2007,” tuturnya.

(53)

Walau demikian, Pietra tidak menyalahkan jika beberapa bisnis waralaba ingin menawarkan berbagai sistem invetasi kepada calon franchiseenya. “Wajar-wajar saja sepanjang tidak melanggar hukum/ peraturan yang berlaku dan tidak bertujuan merugikan mitra/investornya baik secara disengaja ataupun dengan kelalaian,” pungkasnya.

(54)

BAB IV

PERJANJIAN FRANCHISEIZZI KEBAB JALAN LETDA SUJONO MEDAN

A. Para Pihak Yang Melaksanakan Perjanjian Franchise

Izzi Kebab adalah nama suatu produk makanan kebab yang merupakan salah satu jenis makanan siap saji yang berkedudukan di wilayah Hukum Jakarta Barat. Disebabkan pangsa pasar dari izzi kebab demikian signifikan dalam penjualan produk makanan siap saji, maka dibuatlah oleh para pihak perjanjian franchise.

Perjanjian franchise yang dilakukan di Izzi Kebab merupakan perjanjian tidak bernama atau perjanjian innominat. Dikatakan perjanjian tidak bernama karena perjanjian tersebut tidak ada diatur dalam Buku III KUH Perdata.

Perjanjian franchise adalah perjanjian yang diadakan antara pemberi franchise dengan penerima franchise, dimana franchisor memberikan hak kepada franchisee untuk memproduksi atau memasarkan barang (produk) atau jasa dalam jangka waktu dan pada tempat tertentu dan dibawah pengawasan franchisor, sementara franchisee diharuskan membayar sejumlah uang tertentu atas hak yang diperolehnya,23 maka perjanjian franchise telah memenuhi definisi perjanjian waralaba. Dimana dalam perjanjian izzi kebab disebutkan Drs. M. Adung Darmadung, Direktur Izzi Kebab di Jakarta sepakat untuk memberikan hak menggunakan merek dagangnya kepada pengusaha Alamsyah, SE dengan

23

Hasil Wawancara Dengan Bapak M. Adung Darmadung, selaku Pengusaha Izzi Kebab

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis dapat menarik kesimpulan Perjanjian bagi hasil perikanan darat khususnya di desa bolano kecamatan bolano kabupaten parigi moutong sampai

Perjanjian tanpa kekuatan hukum ( zonder rechtwerking ). Perjanjian tanpa kekuatan hukum ialah perjanjian yang ditinjau dari segi hukum perdata tidak mempunyai akibat hukum

Konsep ini berhubungan dengan pengembangan cara untuk menjalankan bisnis secara sukses yang seluruh aspeknya berasal dari franchisor. Franchisor akan mengembangkan