• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS HUKUM PELAKSANAAN PERJANJIAN FRANCHISE SATE TAICHAN KHAS SENAYAN MENURUT HUKUM PERDATA SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS HUKUM PELAKSANAAN PERJANJIAN FRANCHISE SATE TAICHAN KHAS SENAYAN MENURUT HUKUM PERDATA SKRIPSI"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS HUKUM PELAKSANAAN PERJANJIAN FRANCHISE SATE TAICHAN KHAS SENAYAN MENURUT HUKUM PERDATA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

MUHAMMAD TAUFIQ ALDY

140200290

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(2)
(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya :

Nama : MUHAMMAD TAUFIQ ALDY NIM : 140200290

Judul : Analisis Hukum Pelaksanaan Perjanjian Franchise Sate Taichan Khas Senayan Menurut Hukum Perdata.

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah benar hasil karya saya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuat oleh orang lain.

Apabila ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana disebut di atas, maka saya bersedia mempertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku termasuk menerima sanksi pencabutan gelar sarjana yang telah saya peroleh.

Medan, Maret 2018

Muhammad Taufiq Aldy NIM. 140200290

(4)

ABSTRAK

ANALISIS HUKUM PELAKSANAAN PERJANJIAN FRANCHISE SATE TAICHAN KHAS SENAYAN

(Studi Pada Sate Taichan Khas Senayan Komplek Tasbi Medan) Muhammad Taufiq Aldy *1

Prof. Dr. OK. Saidin, S.H., M.Hum **

Syamsul Rizal, S.H., M.Hum ***

Waralaba atau biasa juga disebut dengan franchise adalah merupakan suatu bisnis yang didasarkan kepada perjanjian dua pihak yaitu franchisor (pemilik hak) dan franchise (yang diberikan hak) untuk menjalankan bisnis franchisor menurut sistem yang telah ditentukan oleh franchisor. Permasalahan yang akan diajukan dalam skripsi ini adalah siapakah para pihak yang melaksanakan perjanjian franchise, apakah hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian franchise, dan bagaimana penyelesaian sengketa yang timbul jika terjadi perselisihan di dalam perjanjian franchise pada sate taichan khas senayan.

Di dalam skripsi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Metode penelitian hukum normatif atau biasa disebut penelitian hukum doktriner ditujukan pada peraturan – peraturan tertulis.

Sedangkan, penelitian hukum empiris merupakan metode penelitian lapangan yang di lakukan dalam masyarakat seperti wawancara.

Hasil dari penelitian dan pembahasan menjelaskan bahwa para pihak yang melakukan perjanjian franchise adalah pihak yang pemilik nama franchise yang sering disebut sebagai franchisor dan pihak penerima franchise yang selanjutnya disebut sebagai franchisee. Hak dan kewajiban para pihak di dalam perjanjian franchise dibuat sesuai denga nisi perjanjian yang telah mereka sepakati dalam perjanjian franchise tersebut. Hak dan kewajiban franchise tersebut terjadi secara timbal balik dimana kewajiban satu pihak menjadi hak pihak lainnya, dan demikian juga sebaliknya hak di pihak lain melahirkan kewajiban di pihak lainnya. Penyelesaian sengketa yang timbul jika terjadinya perselisihan di dalam perjanjian franchise pada sate taichan khas senayan yaitu dilakukan dengan cara musyawarah dan mufakat, dan apabila jalan tersebut tidak dapat menyelesaikan masalah maka dilakukan melalui Pengadilan Negeri setempat.

Kata Kunci : Perjanjian, Franchise, KUH Perdata

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

** Dosen Pembimbing I Skripsi Penulis, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

*** Dosen Pembimbing II Skripsi Penulis, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa atas setiap rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam penulis ucapkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang telah menuntun kita semua hingga saat ini dan semoga kita mendapatkan pertolongan di hari kiamat nanti.

Skripsi ini berjudul “Analisis Hukum Pelaksanaan Perjanjian Franchise Sate Taichan Khas Senayan Menurut Hukum Perdata” yang disusun guna memenuhi salah satu syarat untuk memperolah Gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari di dalam proses penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan dan doa dari berbagai pihak, dalam kesempatan ini Penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar – besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. OK. Saidin, SH., M.Hum selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus selaku Dosen Pembimbing I

(6)

penulis yang telah menyediakan waktu, tenaga serta pemikirannya dalam memberikan bimbingan selama proses penyusunan skripsi ini.

4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH., M.Hum selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Dr. Rosnidar Sembiring, SH., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak Syamsul Rizal, SH., M.Hum selaku Dosen Pembimbing II penulis yang telah menyediakan waktu, tenaga serta pemikirannya dalam memberikan bimbingan selama proses penyusunan skripsi ini.

8. Bapak Drs. Nazaruddin, SH, M.A., selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah memberikan bayak ilmu dan nasehat selama penulis menjalani masa perkuliahan.

9. Seluruh Staf dan Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang dengan penuh dedikasi menuntun dan membimbing penulis selama mengikuti masa perkuliahan sampai dengan menyelesaikan skripsi ini.

10. Kakanda Drg. Amirah Natsir Adnan selaku Pimilik Waralaba dari Sate Taichan Khas Senayan yang telah mengizinkan penulis untuk menjadikan usaha waralabanya menjadi sumber penelitian dalam penyusunan skripsi ini.

(7)

11. Terkhusus Kedua Orangtua (Alm.) Mahyunan dan Nismawati, penulis mengahturkan banyak terimakasih dan rasa syukur karena telah membesarkan, merawat, mendidik serta memberikan kasih sayang serta mendoakan penulis dalam menjalani kehidupan ini.

12. Muhammad Fachri Ardian, Amd. Selaku Abangda penulis yang telah memberikan semangat dan dukungan kepada penulis selama menjalani kehidupan ini.

13. Keluarga besar Alm. H. Mahmul Hayat yang telah memberikan dukungan, doa serta kasih sayangnya kepada penulis untuk menjalani kehidupan ini.

14. Kepada seluruh anggota Cucu Kece yang telah memberikan semangat, dukungan serta doa kepada penulis untuk menyelesaikan proses perkuliahan ini.

15. Anggina Putri Pane, Nabhila Nasution, Siti Afrah Afifah selaku sahabat – sahabat penulis yang telah menemani, memberikan masukan serta semangat selama menjalani dunia perkuliahan.

16. Ananda Muhammad Imam, Agus Tri Ichwan, Nanda Ferdianto, Ahmad Suhaimi Nasution, T.M Aulia selaku sahabat – sahabat penulis yang telah menemani selama masa suka dan duka dalam menjalani dunia perkuliahan.

17. Seluruh anggota Destroyer yang berada di Jakarta selaku sahabat – sahabat penulis yang telah memberikan semangat, dukungan serta doa untuk dapat menyelesaikan perkuliahan.

(8)

18. Seluruh anggota One Club yang selaku sahabat – sahabat dari penulis yang telah menemani hari – hari penulis selama 7 tahun terakhir dan memberikan semangat dan doa.

19. Seluruh Keluarga Besar Persatuan Ikatan Mahasiswa Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah menjadi keluarga selama penulis memasuki Departemen Hukum Perdata BW semoga dapat berlanjutnya di kehidupan luar kampus.

20. Seluruh senior – senior, alumni, dan junior mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak bisa penulis sebutkan satu – persatu.

21. Seluruh Civitas Akademika Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Medan, Maret 2018 Penulis,

Muhammad Taufiq Aldy NIM. 140200290

(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 6

C. Tujuan Penulisan ... 6

D. Manfaat Penulisan ... 7

E. Metode Penelitian ... 7

F. Keaslian Penulisan ... 9

G. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian... 11

B. Syarat Sahnya Perjanjian ... 14

C. Jenis-Jenis Perjanjian... 17

D. Asas-Asas Perjanjian ... 21

(10)

E. Akibat Hukum Perjanjian ... 24

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG FRANCHISE A. Sejarah Franchise ... 26

B. Pengertian dan Dasar Hukum Franchise ... 29

C. Jenis-Jenis Franchise ... 33

D. Subjek dan Objek Franchise ... 38

E. Pola Bagi Hasil Dalam Franchise ... 39

BAB IV PERJANJIAN SATE TAICHAN KHAS SENAYAN KOMPLEK TASBI MEDAN A. Para Pihak Yang Melaksanakan Perjanjian Franchise ... 42

B. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Franhcise ... 47

C. Penyelesaian Sengketa Yang Timbul Jika Terjadi Perselisihan Dalam Perjanjian Franchise Pada Sate Taichan Khas Senayan ... 70

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan... 74

B. Saran ... 75

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di tengah pertumbuhan ekonomi yang terasa semakin meningkat, termasuk dengan banyaknya bentuk kerjasama bisnis internasional. Bentuk kerjasama bisnis ini ditandai dengan semakin meningkatnya usaha-usaha asing di Indonesia sebagai dampak dari era globalisasi. Di dalam bidang perdagangan dan jasa, salah satu yang berkembang saat ini yaitu bisnis franchise atau biasa disebut dengan waralaba.

Franchise atau waralaba adalah kegiatan berwirausaha dengan membeli bisnis yang sudah ada. Waralaba berasal dari kata wara artinya lebih dan laba artinya untung. Jadi seacara harfiah dapat diartikan bahwa waralaba merupakan usaha yang memberikan keuntungan lebih. Franchise atau waralaba pada dasarnya adalah sebuah perjanjian mengenai metode pendistribusian barang dan jasa kepada konsumen, yang dijual kepada pihak lain yang berminat. Berdasarkan pengertian di atas, dapat diketahui bahwa waralaba merupakan salah satu bentuk bisnis dimana pihak pertama yang biasa disebut dengan pemberi waralaba (franchisor) memberikan hak kepada pihak kedua yang biasa disebut dengan penerima waralaba (franchisee) untuk mendistribusikan barang/jasa di dalam daerah tertentu dan dalam waktu tertentu dengan menggunakan merek, logo, dan

(12)

sistem pelaksanaan yang dimiliki dan dikembangkan oleh franchisor. Pemberian hak ini dituangkan dalam sebuah bentuk perjanjian waralaba.

Konsep waralaba atau franchise muncul sejak tahun 200 sebelum Masehi.

Saat itu, seorang pengusaha Cina memperkenalkan konsep rangkaian toko untuk mendistribusikan produk makanan dengan merek tertentu.2 Tetapi, sebenarnya waralaba dengan pengertian yang kita kenal saat ini berasal dari Amerika Serikat.

Di Amerika Serikat, waralaba diperkenalkan pertama kali pada tahun 1850-an oleh Isaac Singer, pembuat mesin jahit, ketika ingin meningkatkan distribusi penjualan mesin jahitnya. Namun ada yang mengatakan waralaba mulai dikenal kurang lebih dua abad yang lalu ketika perusahaan-perusahaan bir memberikan lisensi kepada perusahaan-perusahaan kecil sebagai upaya mendistribusikan produk mereka. Sistem waralaba di Amerika Serikat pertama kali dimulai pada tahun 1851. Pada saat itu, di Amerika Serikat timbul apa yang dinamakan sistem waralaba Amerika generasi pertama, yang disebut sebagai straight product franchising (waralaba produk murni). Pada mulanya, sistem ini berupa pemberian lisensi bagi penggunaan nama pada industri minuman (Coca- Cola), kemudian berkembang sebagai sistem pemasaran pada industri mobil (General-Motors). Kemudian, sistem waralaba ini dikembangkan oleh produsen bahan bakar, yang memberikan hak waralaba kepada pemilik pompa bensin

2 Adrian Sutedi, Hukum Waralaba, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2008, hal. 1.

(13)

sehingga terbentuk jaringan penyediaan untuk memenuhi suplai bahan bakar dengan cepat.3

Di Indonesia saat ini dan seperti di kebanyakan negara berkembang yang lain, juga baerusaha semaksimal mungkin untuk dapat meningkatkan kesejahteraan warganya. Maka dari itu pengembangan pada sektor ekonomi menjadi tumpuan utama agar taraf hidup warganya menjadi lebih baik atau mapan. Banyak saat ini rakyat Indonesia yang memulai bisnis waralaba (franchise) untuk dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Karena bisnis waralaba (franchise) merupakan suatu konsep bisnis pemasaran untuk memperluas jaringan dengan cepat, misalkan saja karena seorang fracnchisee akan menjalankan bisnis waralaba (franchise) dari seorang franchisor yang bisnisnya sudah terkenal di dalam masyarakat.

Waralaba atau franchise bukanlah suatu industri yang baru dikenal, meskipun legalitas yuridisnya baru dikenal di Indonesia pada tahun 1997 dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah RI No.16 Tahun 1997 tanggal 18 Juni 1997 tentang Waralaba, dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 259/MPP/Kep/7/1997 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba.4

Perkembangan franchise sendiri di Indonesia mulai diterapkan oleh perusahaan-perusahaan Indonesia. Di Indonesia sampai dengan bulan Maret tahun

3 Ibid, hal 1.

4 Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Waralaba, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001 Hal. 1.

(14)

1996 diperkirakan telah beroperasi 119 (seratus sembilan belas) franchise asing, sedangkan franchise lokal diperkirakan sekitar 32 (tiga puluh dua) perusahaan dan terus berkembang hingga saat ini.5

Waralaba di Indonesia saat ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba. Di dalam PP No.42 Tahun 2007 tersebut juga menentukan bahwa suatu kontrak harus dibuat secara jelas.

Dan bila kita amati saat ini di Indonesia sudah banyak bisnis waralaba (franchise) di dalam bidang makanan berkembang sangat pesat. Kita dapat dengan mudah menemukan berbagai jenis waralaba (franchise) dalam bidang makanan yang sangat kreatif.

Pertumbuhan bisnis waralaba (franchise) yang demikian pesatnya tentunya memiliki konsekuensi, yaitu membuka peluang bagi masyarakat untuk terlibat di dalam kegiatan bidang ekonomi. Peluang ini tentunya juga membutuhkan proses, pengaturan, pengarahan serta pembahasan untuk dapat menghindari kerugian dan pemutusan kontrak secara sepihak, khususnya dalam bidang waralaba (franchise) ini. Perjanjian waralaba (franchise) merupakan salah satu aspek perlindungan hukum kepada para pihak dari perbuatan merugikan pihak yang lain. Hal ini dikarenakan perjanjian tersebut dapat menjadi dasar hukum yang kuat bagi para pihak untuk menegakkan perlindungan hukum. Perjanjian waralaba (franchise agreement) memuat kumpulan persyaratan, ketentuan serta komitmen yang dibuat dan dikehendaki oleh franchisor untuk para franchisenya. Di dalam suatu

5 Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia Modern, PT Refika Aditama, Bandung, 2003, hal 124.

(15)

perjanjian waralaba memuat ketentuan yang berkaitan dengan hak dan kewajiban franchisor dan franchisee, misalnya seperti hak territorial yang dimiliki seorang franchisee, ketentuan pelatihan, biaya-biaya yang harus dibayarkan oleh franchisee kepada franchisor, ketentuan lain yang mengatur hubungan antara franchisor dengan franchisee.

Hal-hal yang diatur di dalam hukum dan perundang-undangan merupakan das sollen yang harus ditaati oleh para pihak di dalam perjanjian waralaba. Tetapi sering juga terjadi penyimpangan. Penyimpangan ini akibatnya menimbulkan wanprestasi. Akibat dari adanya wanprestasi dapat menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak. Terhadap kerugian yang ditimbulkan di dalam pelaksanaan perjanjian waralaba ini berlaku perlindungan hukum terhadap para pihak yang dirugikan, maka pihak yang dirugikan berhak menuntut ganti rugi kepada pihak yang membuat kerugian.

Bentuk-bentuk wanprestasi yang dilakukan oleh para pihak di dalam perjanjian waralaba tergantung kepada siapa yang melakukan wanprestasi tersebut. Wanprestasi yang timbul dari pihak franchisor dapat berupa tidak melakukan pembinaan kepada franchisee seperti yang telah diperjanjikan, tidak memberikan fasilitas kepada franchisee sesuai yang telah diperjanjikan.

Sedangkan wanprestasi dari pihak franchisee dapat berupa tidak membayar keuntungan bagi hasil waralaba tepat waktu, melakukan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh franchisor, melakukan hal-hal yang dilarang sesuai ketentuan yang telah diatur dalam sistem waralaba tersebut.

(16)

Sebagai bahan penelitian di dalam skripsi ini, maka diajukan penelitian pada perjanjian franchise sate taichan khas senayan. Franchise sate taichan khas senayan merupakan suatu perjanjian waralaba penjualan produk sate merek taichan khas senayan. Akibat dari adanya perjanjian waralaba penjualan produk tersebut maka para pihak diikat di dalam suatu hak dan kewajiban.

Berdasarkan latar belakang di atas maka merasa tertarik untuk memilih judul tentang “Analisis Hukum Pelaksanaan Perjanjian Franchise Sate Taichan Khas Senayan (Studi pada Sate Taichan Khas Senayan Komplek Tasbi Medan)”.

B. Permasalahan

Permasalahan yang di ambil dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Siapakah para pihak yang melaksanakan perjanjian franchise?

2. Apakah hak dan kewajiban para pihak di dalam perjanjian franchise?

3. Bagaimana penyelesaian sengketa yang terjadi di dalam perjanjian franchise sate taichan khas senayan?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan yang ingin dicapai di dalam penelitian ini adalah untuk : 1. Untuk mengetahui para pihak yang melaksanakan perjanjian franchise.

2. Untuk mengetahui hak dan kewajiban para pihak di dalam perjanjian franchise.

(17)

3. Untuk mengetahui bagaimana proses penyelesaian sengketa yang terjadi di dalam perjanjian franchise sate taichan khas senayan.

D. Manfaat Penulisan

Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis mau secara praktis, yaitu :

a. Secara teoritis yaitu untuk menambah literatur mengenai hukum bisnis khususnya bisnis franchise atau yang lebih dikenal dengan istilah bisnis waralaba di Indonesia.

b. Secara praktis yaitu sebagai sumbangan pemikiran dan masukan untuk para pihak yang berkepentingan yaitu masyarakat mengenai aspek hukum di dalam bisnis waralaba (franchise).

E. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini, yaitu : 1. Sifat Peneltian

Sifat penelitian yang digunakan di dalam menyelesaikan skripsi ini yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Penelitian hukum normatif merujuk pada Undang – Undang dan Peraturan Pemerintah yang berkaitan dengan skripsi ini. Sedangkan penelitian hukum empiris yaitu merujuk pada penelitian di dalam masyarakat.

(18)

2. Sumber Data

Sumber data yang dipergunakan di dalam penelitian ini didapatkan melalui data primer dan data sekunder. Data primer di dapatkan melalui penelitian lapangan pada Sate Taichan Khas Senayan Komplek Tasbi Medan, sedangkan data sekundernya diperoleh dari :

a. Bahan hukum primer yang digunakan di dalam penelitian ini adalah KUH Perdata.

b. Bahan hukum sekunder yang digunakan berupa bacaan yang relevan dengan materi yang diteliti.

c. Bahan hukum tertier yaitu menggunakan kamus hukum dan kamus umum serta website internet melalui Google.

3. Alat Pengumpul Data

Alat yang digunakan utnuk mengumpulkan data di dalam penelitian ini yaitu melalui studi dokumen dengan penelusuran kepustakaan serta penelitian lapangan melalui wawancara pada Sate Taichan Khas Senayan Komplek Tasbi Medan.

4. Analisis Data

Di dalam mengolah data yang di dapatkan dari penelusuran kepustakaan, studi dokumen dan penelitian lapangan pada Sate Taichan Khas Senayan Komplek Tasbi Medan, maka hasil penelitian ini menggunakan analisa kualitatif.

Analisis kualitatif ini pada dasarnya merupakan pemaparan dari hasil penelitian

(19)

selanjutnya dianalisis dengan menggunakan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta menarik kesimpulan.

F. Keaslian Penulisan

Di dalam penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Hukum Pelaksanaan Perjanjian Franchise Sate Taichan Khas Senayan Menurut Hukum Perdata (studi pada Sate Taichan Khas Senayan Komplek Tasbi Medan)” ini merupakan suatu luapan dari hasil pemikiran penulis sendiri. Di dalam penulisan skripsi ini tidak sama dengan penulisan skripsi lainnya. Sehingga penulisan skripsi ini masih asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan akademik.

G. Sistematika Penulisan

Untuk menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasan harus diuraikan secara sistematis. Untuk memudahkan penulisan skripsi ini maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur yang terbagi dalam bab-bab yang saling berangkai satu sama lain, adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

Bab I Pendahuluan

Di dalam bab ini berisikan latar belakang, permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penelitian, keaslian penulisan serta sistematika penulisan.

(20)

Bab II Tinjauan Umum Tentang Perjanjian

Bab ini berisikan mengenai pengertian perjanjian, syarat sahnya perjanjian, jenis-jenis perjanjian, asas-asas perjanjian dan akibat hukum perjanjian.

Bab III Tinjauan Umum Tentang Franchise

Dalam bab ini berisikan tentang Sejarah franchise, pengertian dan dasar hukum franchise, jenis-jenis franchise, subjek dan objek franchise dan pola bagi hasil dalam franchise.

Bab IV Perjanjian Sate Taichan Khas Senayan Komplek Tasbi Medan Di dalam bab ini diuraikan tentang para pihak yang melaksanakan perjanjian franchise, hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian franchise, serta penyelesaian sengketa yang timbul jika terjadi perselisihan dalam perjanjian franchise pada sate taichan khas senayan.

Bab V Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan dan saran merupakan bagian penutup dalam penulisan skripsi ini untuk menyimpulkan pembahasan-pembahasan sebelumnya dan dilengkapi dengan saran-saran.

(21)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

A. Pengertian Perjanjian

Pengertian perjanjian telah diatur di dalam pasal 1313 KUHPerdata dimana di dalam pasal tersebut telah disebutkan bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Menurut Subekti, “perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.6 Namun, di dalam pengertian secara umum perjanjian adalah suatu peristiwa dimana apabila seseorang berjanji kepada seorang lainnya atau dimana dua pihak atau lebih saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu ataupun tidak untuk melakukan sesuatu.

Perjanjian biasa juga disebut dengan persetujuan. Dalam bentuknya, perjanjian merupakan suatu rangkaian perkataan yang mengandung kesepakatan ataupun persetujuan para pihak yang membuatnya, baik secara lisan maupun secara tertulis. Maka, dari suatu perjanjian itu timbulah suatu hubungan antara para pihak yang dinamakan dengan perikatan.

Perikatan memiliki pengertian yaitu “suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak yang lain berkewajiban atas sesuatu. Suatu perikatan lahir karena suatu persetujuan atau karena undang – undang. Semua kesepakatan yang dibuat sesuai dengan undang –

6 Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2005, hal. 1.

(22)

undang, berlaku sebagai undang – undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu persetujuan/perjanjian tidak dapat ditarik kembali kecuali dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan – alasan yang telah ditentukan oleh undang – undang.

Mengenai batasan tentang pengertian perjanjian yang telah diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata, para sarjana hukum perdata berpendapat bahwa definisi atau batasan atau juga dapat disebut rumusan perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan pasal 1313 KUHPerdata kurang lengkap dan bahkan dikatakan terlalu luas dan banyak mengandung kelemahan – kelemahan.7 Kelemahan – kelemahan mengenai definisi perjanjian itu ada beberapa yaitu hanya menyangkut perjanjian sepihak saja. Dikatakan terlalu luas dikarenakan mencakup hal-hal janji kawin, yaitu perbuatan di dalam hukum keluarga yang mengakibatkan perjanjian juga.8

Dari beberapa uraian mengenai pengertian tentang perjanjian yang telah diuraikan di atas terdapat beberapa unsur di dalamnya yang memberikan wujud dari perjanjian yaitu hubungan hukum (rechtbetrekking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang atau lebih, yang memberikan hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi.

Jika dari unsur tersebut maka, perjanjian merupakan hubungan hukum (rechtbetrekking) yang oleh perjanjian itu sendiri diatur dan disahkan cara perhubungannya. Maka, perjanjian yang mengandung hubungan hukum antara perseorangan merupakan sesuatu hal yang berada di dalam lingkungan hukum dan perjanjian yang telah dibuat itu adalah hukum yang harus dilaksanakan.

7 Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 45.

8 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 2011, hal 18.

(23)

Hubungan hukum di dalam suatu perjanjian, bukan merupakan suatu hubungan yang dapat timbul dengan sendirinya seperti yang terdapat dalam harta benda kekeluargaan. Di dalam hubungan hukum kekayaan keluarga, dengan sendirinya timbul hubungan hukum oleh anak dengan kekayaan orang tuanya seperti yang telah diatur di dalam hukum waris. Jika di dalam perjanjian, suatu perjanjian yang mengikat atau biasa disebut perikatan harus ada salah satu pihak yang mempunyai kewajiban., bila tidak ada pihak yang mempunyai kewajiban maka dapat dikatakan tidak ada perjanjian yang mengikat.

Suatu hubungan hukum yang terjadi baik itu karena perjanjian maupun karena hukum itu sendiri, disebut perikatan karena hubungan hukum tersebut mengikat, yaitu kewajiban – kewajiban yang timbul dari adanya suatu perikatan.

Di dalam hukum perjanjian, hubungan hukum harus dilakukan berdasarkan tindakan hukum jika tidak maka sama sekali tidak mempunyai arti sama sekali bagi hukum perjanjian itu. Pihak yang berkedudukan sebagai kreditur (schuldeiser) berhak atas suatu prestasi sedangkan pihak yang berkedudukan sebagai debitur (schuldenaar) wajib melaksanakan prestasi.

Yang menjadi objek dalam hukum perjanjian adalah suatu benda, tetapi hukum perjanjian hanya mengatur dan mempersoalkan hubungan benda atau kekayaan yang menjadi objek perjanjian antara perseorangan. Hukum benda bersifat tertutup, dan karenanya tidak boleh ditambah, diubah, dikurangi atau dimodifikasi oleh orang perorangan atas kehendak mereka sendiri, hukum

(24)

kebendaan seringkali disebut sebagai hukum yang memaksa.9 Sedangkan hukum perjanjian yang karena sifatnya terbuka memungkinkan setiap orang untuk mengaturnya secara independen tetapi syarat sahnya suatu perjanjian harus terpenuhi seperti yang diatur di dalam pasal 1320 KUHPerdata.

B. Syarat Sahnya Perjanjian

Waralaba (franchise) merupakan suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih. Sebagai suatu perjanjian dapat dipastikan bahwa perjanjian terikat pada ketentuan dalam pasal 1313 KUHPerdata tentang perjanjian dan syarat sahnya perjanjian yang terdapat pada pasal 1320 KUHPerdata serta mengenai kebebasan berkontrak pasal 1338 KUHPerdata.

Mengenai syarat sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi ketentuan – ketentuan yang telah diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata yaitu :

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian.

c. Mengenai suatu hal tertentu.

d. Suatu sebab yang halal.

Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat – syarat subyektif, karena mengenai orang – orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat – syarat obyektif karena

9 Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaya, Kebendaan Pada Umumnya, Kencana, Jakarta, 2003, hal. 21.

(25)

mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.10

Kata sepakat atau juga biasa disebut dengan izin atau perizinan ditujukan untuk kedua subyek yang akan mengadakan suatu perjanjian harus sepakat atau setuju mengenai hal – hal pokok dari suatu perjanjian yang akan dilaksanakan.

Sesuatu hal yang dikehendaki oleh pihak yang satu dan juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka yang bersepakat menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik.

Yang diamksud dengan kesepakatan adalah persesuaian kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Sesuai dengan pernyataannya karena kehendak itu tidak dapat diketahui oleh orang lain. Jadi dalam hal ini harus memperhatikan secara seksama kehendak antara kedua pihak yang akan membuat kesepakatan.

Suatu kesepakatan atau persetujuan dari kedua belah pihak harus dinyatakan secara jelas dan tegas. Kesepakatan yang dibuat tidak boleh ada unsur paksaan atau tekanan atau paksaan dari kedua belah pihak. Kesepakatan yang mendapat pengaruh dari pihak yang sehingga sampai mempengaruhi pihak – pihak yang akan bersepakat maka kesepakatan tersebut dikatakan mengandung kecacatan.

Kesepakatan yang mengandung kecacatan dianggap tidak mempunyai nilai. Karena kesepakatan atau persetujuan dari orang yang mendapat paksaan ataupun tekanan terlihat jelas bahwa persetujuan tersebut tidak sempurna

10 Subekti, Op.CIt., hal. 17.

(26)

dikarenakan tidak memenuhi syarat – syarat yang terdapat dalam pasal 1320 KUHPerdata.

Tekanan ataupun paksaan inilah yang dimaksud Undang – Undang dapat digunakan sebagai alasan untuk menuntut batalnya suatu perjanjian, yaitu tekanan atau paksaan yang membuat kesepakatan atau perizinan diberikan tetapi dengan cara yang tidak benar.

Mengenai kecakapan untuk membuat suatu perjanjian adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang dapat menimbulkan akibat hukum. Orang – orang yang akan mengadakan suatu perjanjian atau kesepakatan haruslah orang yang cakap hukum dan mempunyai wewenang untuk dapat melakukan perbuatan hukum, seperti yang sudah diatur di dalam undang – undang cakap (bekwaam) adalah syarat umum untuk dapat melakukan perbuatan hukum secara sah. Orang yang dinyatakan cakap hukum yaitu harus sudah dewasa, sehat akal pikiran dan tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang – undangan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu.

Orang – orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian seperti yang telah diatur dalam pasal 1330 KUHPerdata, yaitu :

1. orang – orang yang belum dewasa.

2. mereka yang ditaruh di bawah pengampuan.

3. orang – orang perempuan, dalam hal – hal yang ditetapkan oleh undang – undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang – undang telah melarang membuat perjanjian – perjanjian tertentu.

(27)

Tentang syarat ketiga dalam syarat sahnya suatu perjanjian yaitu mengenai suatu hal tertentu adalah suatu benda/barang yang menjadi objek dalam suatu perjanjian. Menurut pasal 1333 KUHPerdata, barang yang menjadi obyek suatu kontrak harus tertentu, setidak – tidaknya harus ditentukan jenisnya. Demikian juga jumlahnya perlu ditentukan asal dapat ditentukan dan diperhitungkan.

Syarat ini merupakan syarat yang penting, karena jika terjadi suatu perselisihan diantara kedua belah pihak maka dapat diketahui apa saja yang menjadi hak dan kewajiban dari para pihak yang ada di dalam perjanjian yang telah dibuat.

Syarat yang terakhir dari sahnya suatu perjanjian menurut pasal 1320 KUHPerdata yaitu suatu sebab yang halal (Geoorloofde oorzaak). Di dalam pasal 1335 KUHPerdata ditegaskan bahwa “jika kontrak tanpa sebab, atau kontrak karena sebab palsu atau terlarang maka tidak mempunyai kekuatan.”

Dalam hal ini setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak tidak boleh bertentangan dengan undang – undang, ketertiban umum dan kesusilaan.

C. Jenis – Jenis Perjanjian

Di dalam perjanjian ada dikenal beberapa jenis perjanjian yang tidak diatur secara terperinci di dalam undang – undang, tetapi di dalam praktiknya ada beberapa hukum perjanjian yang ditafsirkan oleh masyarakat dari pasal yang terdapat di dalam KUHPerdata, ada beberapa jenis ataupun bentuk dari perjanjian, yaitu :

(28)

a. Perjanjian Timbal Balik

Perjanjian timbal balik adalah merupakan perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban terhadap kedua belah pihak. Misalnya : perjanjian jual-beli.

b. Perjanjian Cuma – Cuma dan Perjanjian Atas Beban

Perjanjian cuma – cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan terhadap salah satu pihak saja. Misalnya : Perjanjian hibah.

Sedangkan perjanjian atas beban adalah perjanjian terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak yang lainnya dan dari kedua prestasi tersebut ada hubungannya menurut hukum. Misalnya, pihak yang satu menyanggupi memberikan sejumlah uang kepada pihak lain, jika pihak yang lain tersebut melepaskan suatu benda kepada pihak yang satu.

c. Perjanjian Bernama dan Perjanjian Tidak Bernama

Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Yang dimaksud memiliki nama sendiri ialah perjanjian – perjanjian tersebut telah diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang – undang dan merupakan perjanjian yang sering dijumpai di dalam masyarakat. Perjanjian bernama ini terdapat di dalam bab V sampai dengan bab XVIII buku ketiga KUHPerdata. Misalnya : Perjanjian sewa – menyewa, perjanjian pinjam pakai, perjanjian kerja dan lain – lain.

Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian – perjanjian yang belum terdapat pengaturannya secara khusus di dalam undang – undang, karena tidak ada diatur di dalam KUHPerdata dan KUHDagang. Tetapi, lahirnya

(29)

perjanjian ini di dalam prakteknya adalah berdasarkan azas kebebasan berkontrak, mengadakan perjanjian atau yang biasa dikenal dengan partij otonomie, yang berlaku di dalam hukum perikatan.

d. Perjanjian Obligatoir

Perjanjian obligatoir adalah perjanjian antara para pihak yang mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain. Perjanjian ini menimbulkan perikatan. Misalnya, perjanjian jual-beli yang mengakibatkan beralihnya hak milik dari penjual kepada pembeli. Tetapi, dibutuhkan satu lembaga lain yaitu penyerahan. Perjanjian jual-belinya itu dinamakan dengan perjanjian obligatoir karena membebankan kewajiban (obligatoir) kepada para pihak untuk melakukan penyerahan (levering).

e. Perjanjian Kebendaan

Perjanjian kebendaan adalah perjanjian hak atas benda untuk diserahkan kepada pihak yang lain. Perjanjian kebendaan ini merupakan pelaksanaan dari perjanjian obligatoir.

f. Perjanjian Konsensual dan Perjanjian riil.

Perjanjian konsensual adalah perjanjian di antara kedua belah pihak yang telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan. Menurut KUHPerdata, perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan mengikat (pasal 1338 KUHPerdata). Namun demikian di dalam KUHPerdata ada juga perjanjian –

(30)

perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadi penyerahan barang. Misalnya, perjanjian penitipan barang (pasal 1694 KUHPerdata), pinjam-pakai (pasal 1740 KUHPerdata). Perjanjian yang terakhir ini dinamakan perjanjian riil yang merupakan peninggalan hukum Romawi.11

Seperti yang banyak kita ketahui bahwa berakhirnya atau hapusnya suatu perjanjian berdasarkan pasal 1381 KUHPerdata adalah sebagai berikut :

a. Karena pembayaran;

b. karena penawaran pembiayaan tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;

c. Karena pembaharuan utang;

d. karena perjumpaan utang;

e. karena perjumpaan utang dan kompensasi;

f. karena percampuran utang;

g. karena pembebasan utang;

h. karena musnahnya barang yang terutang;

i. karena kebatalan atau pembatalan;

j. karena berlakunya suatu syarat-batal, yang diatur dalam bab kesatu buku ini;

k. karena lewat waktu, akan diatur dalam bab tersendiri.12

Di dalam KUHPerdata telah diatur berbagai cara mengenai hapusnya suatu perikatan, baik perikatan yang bersumber dari perjanjian maupun dari undang – undang. Dari pasal 1381 KUHPerdata oleh pembuat undang – undang tidak

11 Mariam Darus Badrulzaman, Op cit, hal. 21.

12 Ibid., hal. 29-30.

(31)

membatasi para pihak untuk menciptakan cara yang lain untuk menghapuskan suatu perikatan.

Dan di dalam pasal 1381 KUHPerdata tersebut cara hapusnya suatu perikatan tidaklah lengkap, dikarenakan tidak mengatur tentang hapusnya perikatan, misalnya meninggalnya seseorang di dalam suatu perjanjian yang prestasinya hanya dapat dilakukan oleh salah satu pihak saja.

D. Asas – Asas Perjanjian

Di dalam suatu perjanjian haruslah ada dasar – dasar hukum kontrak yang menjadi prinsip yang harus dipegang bagi para pihak yang mengikatkan diri ke dalam hukum kontrak. Menurut hukum perdata ada beberapa dasar hukum utama dalam kontrak, asas penting tersebut yaitu :

1. Asas Kebebasan Berkontrak (Freedom of contract)

Berdasarkan asas kebebasan berkontrak yang tercantum dalam pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata, suatu perjanjian yang dibuat secara sah, mengikat sebagai undang – undang bagi para pihak yang membuatnya.13

Asas kebebasan berkontrak ini memiliki arti setiap orang menurut kehendak bebasnya dapat membuat perjanjian dan mengikatkan diri dengan siapapun yang dikehendakinya. Namun kebebasan tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang – undangan yang bersifat memaksa, mengganggu ketertiban umum dan kesusilaan.

13 Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisis Kasus, Kencana, Jakarta, 2004, hal. 3- 4.

(32)

2. Asas Konsesualisme (Consensualisme)

Pada mulanya suatu kesepakatan ataupun perjanjian harus ditegaskan dengan sumpah, tetapi telah dihapuskan. Kemudian terbentuklah paham bahwa dengan adanya kata sepakat diantara para pihak, suatu perjanjian sudah memiliki kekuatan yang mengikat. Kata sepakat itu sendiri berasal dari kata consesnsus.

Pada asasnya suatu perjanjian timbul sejak saat tercapainya kesepakatan atau consensus atau kehendak yang bebas antara para pihak yang melakukan perjanjian.

Asas ini dapat kita temukan di dalam pasal 1320 KUHPerdata yang mensyaratkan adanya kesepakatan sebagai syarat sahnya suatu perjanjian dengan menyebutkan “sepakat mereka yang mengikatkan diri”. Tetapi perlu diperhatikan bahwa terhadap asas konsesnsualisme ini terdapat pengecualian yaitu dalam perjanjian riil dan perjanjian formil yang mensyaratkan adanya penyerahan (levering) atau untuk memenuhi bentuk yang diisyaratkan oleh undang – undang.

3. Asas Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda)

Asas kepastian hukum atau biasa disebut dengan asas pacta sunt servanda.

Asas ini merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang telah dibuat oleh para pihak, sebagaimana sebuah undang – undang.

Asas ini dapat kita temui dalam pasal 1338 KUHPerdata yang berbunyi

“semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang – undang bagi mereka yang membuatnya”.

(33)

Di dalam asas ini para pihak harus memenuhi apa yang mereka terima sebagai kewajiban masing – masing pihak karena persetujuan merupakan undang – undang bagi para pihak yang mengadakan suatu perjanjian dan kekuatan mengikatnya dianggap sama dengan kekuatan undang – undang.

4. Asas Iktikad Baik

Asas ini menyatakan persetujuan – persetujuan harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Asas iktikad baik ini dalam suatu perjanjian tercermin di dalam pasal 1338 KUHPerdata. Tetapi, di dalam pasal tersebut tidak disebutkan secara rinci apa yang diamksud dengan iktikad baik. Iktikad baik merupakan suatu pengertian yang abstrak yang berhubungan dengan apa yang ada di dalam pikiran manusia.

Dalam prakteknya sendiri pelaksanaan perjanjian sering ditafsirkan sebagai hal yang berhubungan dengan kepatuhan dan kepantasan dalam melaksanakan suatu perjanjian.

Penerapan asas iktikad baik harus sangat diperhatikan terutama pada saat melakukan perjanjian pra kontrak. Suharnoko menyebutkan secara rinci terhadap kemungkinan timbulnya suatu kerugian terhadap pemberlakuan asas iktikad baik ini. Jadi, sebenarnya secara implisit undang – undang perlindungan konsumen sudah mengakui bahwa iktikad baik sudah harus ada sebelum ditandatangani perjanjian, sehingga janji – janji pra kontrak dapat diminta pertanggungjawaban berupa ganti rugi, apabila janji tersebut diingkari.14

14 Ibid., hal. 11.

(34)

5. Asas Keseimbangan

Menurut Herlien Budiono, asas keseimbangan adalah suatu asas yang dimaksudkan untuk menyelaraskan pranata – pranata hukum dan asas – asas pokok hukum perjanjian yang dikenal di dalam KUHPerdata yang berdasarkan pemikiran dan latar belakang individualisme pada satu pihak dan cara pikir bangsa Indonesia pada lain pihak.

E. Akibat Hukum Perjanjian

Di dalam undang – undang sudah ditentukan bahwa perjanjian yang sah berkekuatan hukum sebagai undang – undang. Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang – undang bagi mereka yang membuatnya.

Persetujuan yang telah dibuat tidak dapat ditarik kembali, kecuali dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan – alasan yang diatur oleh undang – undang.

Undang – Undang mengatur tentang isi perjanjian dalam pasal 1329 dan 1327 KUHPerdata. Dan dua ketentuan ini, disimpulkan bahwa isi perjanjian terdiri dari elemen – elemen sebagai berikut :

a. Isi perjanjian;

b. Kepatuhan;

c. Kebiasaan;

Isi perjanjian ialah apa yang dinyatakan secara tegas oleh kedua belah pihak di dalam perjanjian itu.

(35)

Kepatuhan adalah ulangan dari kepatuhan yang terdapat dalam pasal 1338 KUHPerdata.

Kebiasaan adalah yang diatur dalam pasal 1339 KUHPerdata berlainan dengan yang terdapat dalam pasal 1347 KUHPerdata. Kebiasaan yang tersebut dalam pasal 1339 KUHPerdata bersifat umum, sedangkan yang disebut pasal 1327 KUHPerdata ialah kebiasaan yang hidup di tengah masyarakat khusus (bestending gebruikelijk beding), misalnya pedangang.15

15 Mariam Darus Badrulzaman, Op cit, hal. 28.

(36)

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG FRANCHISE

A. Sejarah Franchise

Konsep waralaba (franchise) merupakan suatu konsep bisnis yang mempunyai sejarah yang cukup panjang. Kata franchise berasal dari Bahasa Perancis yaitu affranchir yang memiliki arti bebas atau membebaskan. Menurut Pasal 1 ayat 1 Undang – Undang Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, pengertian dari waralaba yaitu adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.16

Waralaba (franchise) adalah suatu bisnis yang didasarkan pada perjanjian dua pihak, yaitu pemilik hak (franchisor) dan penerima hak (franchisee) untuk menjalankan bisnis dari seorang franchisor menurut sistem yang ditentukan oleh franchisor. Franchisor dan franchisee tentunya berharap melalui kemitraan tersebut dapat memperoleh keuntungan yang lebih besar dan resiko kegagalan yang minimal.

16Sentosa Sembiring, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia Tentang Waralaba, Nuansa Aulia, Bandung, 2008, hal. 134.

(37)

Konsep waralaba (franchise) di Amerika Serikat mulai dikenal kurang lebih dua abad yang lalu ketika perusahaan mesin jahit Singer mulai memperkenalkan konsep franchising sebagai salah satu cara untuk mengembangkan distribusi produknya. Begitu juga dengan perusahaan – perusahaan bir yang memberikan lisensi kepada perusahaan – perusahaan kecil sebagai upaya mendistribusikan produk mereka.

Konsep bisnis waralaba (franchise) mulai saat itu menjadi terkenal dan beberapa perusahaan yang menjadi pelopor franchise di Amerika Serikat, yaitu : 1) Coca Cola pada industri minuman

2) General Motors pada industri mobil

3) Mc Donalds pada industri makanan dan minuman merupakan franchise yang paling sukses di dunia.

Namun dengan semakin menjamurnya konsep waralaba (franchise) ini, banyak terjadi praktik penipuan bisnis yang mengaku sebagai waralaba, yaitu seperti menjual sistem bisnis waralaba (franchise) yang belum terbukti kesuksesannya. Oleh karena itu, menjadi salah satu sebab untuk membentuk IFA (International Franchise Association) pada tahun 1960.

Tujuan didirikannya IFA adalah untuk menciptakan iklim industri bisnis waralaba yang dapat dipercaya karena menciptakan kode etik waralaba bagi para anggotanya. Tetapi kode etik ini masih perlu dilindungi oleh perangkat hukum agar setiap pihak dapat terlindungi. Oleh karena itu, pada tahun 1978, FTC (Federal Trade Comission) mengeluarkan peraturan yang mewajibkan setiap

(38)

franchisor yang akan memberikan penawaran peluang waralaba kepada public untuk memiliki UFOC (Uniform Franchise Offering Circular). UFOC adalah dokumen yang berisi informasi lengkap mengenai peluang bisnis waralaba yang ditawarkan, seperti sejarah bisnis, pengelola, hal yag berkaitan dengan hukum, prakiraan investasi, deskripsi bisnis, dan Salinan dari perjanjian waralaba.17

Di Indonesia sendiri sistem waralaba (franchise) mulai dikenal pada tahun 1950-an, dengan munculnya dealer kendaraan bermotor melalui pembelian lisensi.

Dan pada perkembangannya pada tahun 1970-an, yaitu dengan dimulainya sistem pembelian lisensi plus, seorang franchisor tidak hanya menjadi penyalur namun juga memiliki hak untuk memproduksi produknya, agar waralaba dapat berkembang dengan pesat, maka persyaratan utama yang harus dimiliki suatu teritori adalah kepastian hukum yang mengikat baik bagi franchisor maupun bagi franchisee.

Tonggak kepastian hukum waralaba (franchise) di Indonesia dimulai pada tanggal 18 Juni 1997 yaitu dengan dikeluarkannya peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 16 Tahun 1997 tentang waralaba. Kemudian PP Nomor 16 Tahun 1997 tentang waralaba ini telah dicabut dan diganti dengan PP nomor 42 tahun 2007 tentang waralaba.

Para pihak yang membuat perjanjian bebas untuk menentukan syarat – syarat perjanjian yang diinginkan asal tidak bertentangan dengan undang – undang yang ada. Selain itu perjanjian tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik dan asas kebebasan berkontrak dengan sistem terbuka. Oleh karena itu, hal –

17 Adrian Sutedi, Op cit, hal. 3.

(39)

hal yang berhubungan dengan isi perjanjian waralaba (para pihak pemberi waralaba dan penerima waralaba) dapat merujuk pada pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata dan pasal 1320 KUHPerdata serta pasal 1319 KUHPerdata tentang asas kebebasan berkontrak dan syarat sahnya perjanjian serta termasuk dalam golongan perjanjian tidak bernama. Sifat hukum perjanjian waralaba (franchise) ini adalah hukum perdata. Prestasi yang dilakukan adalah memberi dan menerima suatu hak kelola dari suatu produk berupa barang dan/atau jasa yang nama dan mutunya sudah teruji keberhasilannya dan diakui. Tetapi apabila para pihak dalam perjanjian waralaba tersebut berasal dari negara yang berbeda, maka sifat hukumnya adalah perdata internasional karena terdapat unsur asing di dalamnya.

B. Pengertian dan Dasar Hukum Franchise

Waralaba (franchise) pada dasarnya adalah sebuah perjanjian mengenai metode pendistribusian barang dan/atau jasa kepada konsumen. Pengertian waralaba (franchise) menurut Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 yaitu waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.

Menururt Asosiasi Franchise Indonesia, yang dimaksud dengan waralaba ialah suatu pendistribusian barang atau jasa kepada pelanggan akhir dengan pengwaralaba (franchisor) yang memberikan hak kepada individu atau

(40)

perusahaan untuk melaksanakan bisnis dengan merek, nama, sistem, prosedur dan cara – cara yang telah ditetapkan sebelumnya dalam jangka waktu tertentu meliputi area tertentu.

Di dalam kegiatan bisnis waralaba (franchise) ada yang disebut dengan franchisor dan franchisee. Yang dimaksud dengan franchisor atau biasa juga disebut dengan pemberi waralaba adalah badan usaha atau perorangan yang memberikan hak kepada pihak lain untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan, atau ciri khas usaha yang dimilikinya.

Sedangkan yang dimaksud dengan franchisee atau juga biasa disebut dengan penerima waralaba adalah badan usaha atau perorangan yang diberikan hak untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan, atau ciri khas yang dimiliki oleh pemberi waralaba (franchisor).

Dengan demikian berkembangnya bisnis waralaba yang ada di Indonesia, namun belum ada peraturan yang mengaturnya secara khusus mengenai bisnis waralaba tersebut. Adapun beberapa peraturan yang memiliki hubungan dengan franchise adalah :

1. Pasal 1338 dan pasal 1320 KUHPerdata;

2. Undang – Undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang;

3. Undang – Undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten;

4. Undang – Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek;

5. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba;

6. Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 376/KEP/XI/1988 tentang Kegiatan

(41)

Perdagangan;

7. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 259/MPP/KEP/7/1997 Tanggal 30 Juli 1997 tentang Ketentuan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba.

8. Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No.

31/M-DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba

Di Indonesia pengaturan waralaba diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 42 Tahun 2007 tanggal 23 Juli 2007 tentang Waralaba di Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No. 12/M- DAF/3/2006 tanggal 29 Maret 2006 tentang ketentuan oleh tata cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba.

Saat ini banyak orang masih ragu – ragu dengan kepastian hukum dalam bidang waralaba di Indonesia karena belum ada peraturan khusus yang mengaturnya. Namun saat ini kepastian hukum bisnis waralaba jauh lebih baik dari sebelum tahun 1977. Hal ini dikarenakan banyaknya payung hukum yang dapat melindungi bisnis waralaba tersebut, contohnya dari beberapa peraturan diatas yang berkaitan dengan bisnis waralaba (franchise).

Sekarang juga banyak terdapat asosiasi bisnis waralaba (franchise) di Indonesia yakni :

1. Asosiasi Pengusaha Waralaba Indonesia (APWINDO);

2. Waralaba & License Indonesia (WALI);

3. Asosiasi Franchise Indonesia (AFI).

(42)

Serta juga terdapat beberapa konsultan bisnis waralaba di Indonesia, yakni:

1. IFBM;

2. The Bridge;

3. Hans Consulting;

4. JSI;

5. Dll.

Dari banyaknya asosiasi dan konsultan bisnis waralaba Indonesia juga sering mengadakan roadshow di berbagai daerah dan jangkauannya nasional untuk memberikan pengetahuan kepada seluruh masyarakat Indonesia bahwa bisnis waralaba memiliki banyak peraturan yang mengaturnya meski belum ada peraturan khusus yang dibuat oleh pemerintah Indonesia untuk mengaturnya sehingga masyarakat Indonesia yang ingin menjalankan bisnis waralaba tidak perlu ragu – ragu lagi.

Di Indonesia sendiri bisnis waralaba yang berkembang sangat pesat dan masih sangat menguntungkan adalah waralaba dalam bidang makanan, contohnya saja ada Wong Solo, Papa Rons serta masih banyak lagi. Tetapi sekarang ini waralaba yang berbentuk retail mini outlet juga telah banyak menyebar ke pelosok kampung dan pemukiman padat penduduk, misalnya saja Indomaret, Alfamart dan yang lainnya.

Pada dasarnya dalam bisnis waralaba (franchise) haruslah memuat perjanjian antara pemberi waralaba (franchisor) dengan penerima waralaba (franchisee) yang disepakati bersama. Sebelum membuat perjanjian, pemberi

(43)

waralaba atau franchisor wajib memberikan keterangan tertulis kepada penerima waralaba atau franchise, sekurang – kurangnya mengenai :

1. Identitas pemberi waralaba, berikut keterangan mengenai kegiatan usahanya termasuk neraca dan daftar rugi laba selama dua tahun terakhir;

2. Hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang menjadi objek waralaba;

3. Persyaratan – persyaratan yang harus dipenuhi penerima waralaba;

4. Bantuan atau fasilitas yang ditawarkan pemberi waralaba kepada penerima waralaba;

5. Hak dan kewajiban pemberi waralaba kepada penerima waralaba;

6. Cara – cara dan syarat pengakhiran, pemutusan, dan perpanjangan perjanjian waralaba;

7. Hal – hal lain yang perlu diketahui penerima waralaba dalam rangka pelaksanaan perjanjian waralaba.18

C. Jenis – Jenis Franchise

Pada umumnya, jenis – jenis waralaba (franchise) di dunia dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu sebagai berikut :

1. Distributorships (Product Franchise)

Dalam waralaba (franchise) ini, franchisor memberikan lisensi kepada franchisee untuk menjual barang – brang hasil produksinya. Pemberian lisensi ini

18 Suharnoko, Op.cit, hal. 94.

(44)

bisa bersifat eksklusif ataupun noneksklusif. Seringkali terjadi franchisee diberi hak eksklusif untuk memasarkan di suatu wilayah tertentu.

2. Chain-Style Business

Jenis waralaba (franchise) inilah yang banyak dikenali oleh masyarakat. Dalam jenis ini, franchisee mengoperasikan suatu kegiatan bisnis dengan memakai nama franchisor. Sebagai imbalan dari pengunaan nama franchisor, maka franchisee harus mengikuti metode – metode standar pengoperasian dan berada di bawah pengawasan franchisor dalam hal bahan – bahan yang digunakan, pilihan tempat usaha, desain tempat usaha, jam penjualan, persyaratan para karyawan, dan lain - lain.

3. Manufactuing atau Processing Plants

Pada waralaba (franchise) jenis ini, franchisor memberitahukan bahan – bahan serta tata cara pembuatan suatu produk, termasuk di dalamnya formula – formula rahasianya. Franchisee memproduksi, kemudian memasarkan barang – barang itu sesuai standar yang telah ditetapkan oleh franchisor.19

Di Indonesia sendiri sistem bisnis waralaba (franchise) dibagi menjadi empat jenis yaitu :

1. Waralaba dengan sistem format bisnis

Di dalam waralaba (franchise) dengan sistem format bisnis, sistem waralaba tersebut tidak hanya menawarkan merek dagang dan logo saja, tetapi

19 Adrian Sutedi, Op. cit, hal. 15.

(45)

juga menawarkan sistem yang komplit dan komprehensif mengenai tata cara menjalankan bisnis. Dengan kata lain, waralaba format bisnis adalah pemberian sebuah lisensi dari seorang pemberi waralaba (franchisor) kepada orang yang menerima waralaba (franchisee). Lisensi tersebut diberikan memberikan hak kepada franchisee untuk berusaha menggunakan merek dagang/nama dagang franchisor.

2. Waralaba bagi keuntungan

Pada waralaba bagi keuntungan seorang franchisor memberikan lisensinya kepada seorang franchisee untuk menggunakan merek dagangnya yang kemudian dari penggunaan lisensi tersebut franchisee wajib membayarkan royalty kepada franchisor dari keuntungan barang dan/atau jasa yang dijualnya.

3. Waralaba kerja sama investasi

Pada waralaba kerja sama investasi biasanya melakukan penganekaragaman pengelolaan, tetapi dikarenakan manajemennya tidak berpengalaman di dalam mengelola usaha baru sehingga biasanya seorang franchisee mengambil jenis bisnis waralaba kerja sama investasi. Misalnya saja waralaba usaha hotel.

4. Waralaba produk dan merek dagang

Di dalam waralaba produk dan merek dagang, franchisor memberikan hak kepada franchisee untuk menjual produk yang dikembangkan oleh franchisor

(46)

yang disertai dengan pemberian izin untuk menggunakan merek dagang franchisor. Dari pemberian izin merek dagang tersebut, biasanya franchisor mendapatkan pembayaran royalty di muka dan selanjutnya franchisor memperoleh keuntungan melalui penjualan barang dan/atau jasa yang diwaralabakan kepada franchisee.

Dari keempat jenis sistem waralaba (franchise) yang dikenal di Indonesia ini, jenis waralaba yang sangat berkembang hingga saat ini ialah waralaba sistem format bisnis dan waralaba produk dan merek dagang.

Menurut Martin Mandelson menyimpulkan bahwa dalam waralaba format bisnis terdapat ciri – ciri sebagai berikut :

a. Konsep bisnis yang menyeluruh dari franchisor

Konsep ini berhubungan dengan pengembangan cara untuk menjalankan bisnis secara sukses yang seluruh aspeknya berasal dari franchisor. Franchisor akan mengembangkan suatu cetak biru sebagai dasar pengelolaan waralaba format bisnis tersebut.

b. Adanya proses permulaan dan pelatihan atas seluruh aspek pengelolaan bisnis yang sesuai dengan konsep franchisor. Franchisee akan diberikan pelatihan mengenai metode bisnis yang diperlukan untuk mengelola bisnis sesuai dengan cetak biru yang telah dibuat oleh franchisor. Pelatihan ini biasanya menyangkut pelatihan penggunaan peralatan khusus, metode pemasaran, penyiapan produk, dan penerapan proses. Dalam pelatihan ini diharapkan franchisee menjadi ahli pada seluruh bidang yang diperlukan untuk menjalankan bisnis yang khusus tersebut.

(47)

c. Proses bantuan dan bimbingan yang terus – menerus dari pihak franchisor.

Franchisor akan terus – menerus memberikan berbagai jenis pelayanan, tergantung pada tipe format bisnis yang diwaralabakan. Secara umum proses ini dapat dikatakan sebagai proses pemberian bantuan dan bimbingan yang terus – menerus, meliputi :

1) Kunjungan berkala franchisor kepada staf di lapangan guna membantu, memperbaiki atau mencegah penyimpangan – penyimpangan pelaksanaan cetak biru yang diperkirakan dapat menyebabkan kesulitan dagang bagi franchisee;

2) Menghubungkan antara franchisor dan seluruh franchisee secara bersama - sama untuk saling bertukar pikiran dan pengalaman.

3) Inovasi produk atau konsep, termasuk penelitian mengenai kemungkinan - kemungkinan pasar serta kesesuaiannya dengan bisnis yang ada;

4) Pelatihan dan fasilitas pelatihan kembali untuk franchisee dan stafnya;

5) Melakukan riset pasar;

6) Iklan dan promosi pada tingkat lokal;

7) Peluang – peluang pembelian secara besar – besaran;

8) Nasihat dan jasa manajemen dan akunting;

9) Penerbitan newsletter;

10) Riset mengenai materi, proses dan metode bisnis.20

Di Indonesia, saat ini tren waralaba (franchise) sudah maju sangat pesat dengan diperkuat oleh adanya kepastian hukum dan para konsultan hukum serta

20 M. Mendelson, Franchising: Petunjuk Praktis Bagi Franchisor dan Franchisee, Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta, 1997, hal. 87.

(48)

pameran – pameran waralaba di Indonesia dengan skala nasional . Contoh waralaba di Indonesia yang berkembang pesat saat ini hingga ke seluruh penjuru pelosok Indonesia adalah Indomaret dan Alfamart.

D. Subjek dan Objek Franchise

Subjek hukum di dalam perjanjian waralaba (franchise), yaitu :

1. Franchisor/pemberi waralaba, adalah orang perseorangan atau badan usaha yang memberikan hak untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan waralaba yang dimilikinya kepada penerima waralaba. Dengan kata lain, perusahaan yang memberikan lisensi, berupa merek perdagangan, merek jasa maupun hal lainnya kepada franchisee.

2. Franchisee/penerima waralaba, adalah orang perseorangan atau badan usaha yang diberikan hak oleh pemberi waralaba untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan waralaba yang dimiliki pemberi waralaba. Dengan kata lain, perusahaan yang menerima lisensi dari franchisor.

3. Pihak – pihak yang kena dampaknya dari perjanjian franchise :

a. Franchisee lain dalam sistem franchise (franchising system) yang sama.

b. Konsumen atau klien franchisee maupun masyarakat pada umumnya.

Sedangkan objek perjanjian franchise adalah lisensi. Lisensi merupakan izin yang diberikan oleh franchisor kepada franchisee. Berdasarkan kriteria tersebut, maka lisensi dibagi menjadi tiga macam :

(49)

1. License exchange contract, yaitu perjanjian antara para pesaing yang bergerak dalam kegiatan yang sama atau memiliki hubungan erat, sehingga disebabkan masalah – masalah teknis, mereka tidak dapat melakukan kegiatan tanpa adanya pelanggaran hak – hak termasuk hak milik perindustrian dari pihak lain.

2. Return contract, artinya perjanjian ini tampak dari luarnya saja sebagai perjanjian lisensi, namun sebenarnya bukan perjanjian lisensi dalam arti sebenarnya. Perjanjian tersebut dibuat semata – mata untuk tujuan penyelundupan pajak, dengan cara seolah – olah suatu cabang perusahaan di suatu negara teretentu membayar royalti kepada perusahaan induknya di negara lain.

3. Perjanjian lisensi dalam arti sebenarnya, tanpa camouflaging effects sebagaimana diatur diatas. Pemberian lisensi dalam franchise sebaiknya digolongkan sebagai lisensi dalam arti yang sebenarnya. Karena bisnis waralaba (franchise) dilaksanakan berdasarkan perjanjian tertulis antara pemberi waralaba (franchisor) dengan penerima waralaba (franchisee) dengan memperhatikan peraturan hukum yang ada di Indonesia.

E. Pola Bagi Hasil Dalam Franchise

Di dalam bisnis waralaba (franchise) memiliki beberapa keunggulan, yaitu dapat memperluas jaringan usaha dengan cepat, menciptakan kemitraan yang saling menguntungkan, meningkatkan lapangan kerja baru, mampu mempercepat alih teknologi dan meningkatkan peluang berusaha bagi Usaha Kecil dan Menengah (UKM).

(50)

Dalam mengatur hasil usaha, kedua belah pihak yakni franchisor dan franchisee melakukan perjanjian yang terikat oleh hukum sehingga di kemudian hari tidak menimbulkan permasalahan – permasalahan yang rumit dan tanpa adanya penyelesaian. Maka dari itu, di dalam pembayaran royalty atau pola bagi hasil dalam bisnis waralaba (franchise) ini juga ditentukan dalam perjanjian mengenai pola bagi hasil antara franchisor dengan franchisee.

Karena bisnis waralaba (franchise) ini merupakan sebuah model bisnis yang menjadikan seorang franchisee sebagai rekan bisnis yang ikut terlibat langsung dalam mengelola gerai bisnisnya. Dimana seorang franchisor memberikan lisensinya kepada seorang franchisee untuk dapat menjalankan bisnis dari franchisor dan sesuai ketentuan yang telah disepkati. Maka dari keuntungan bisnis waralaba (franchise) tersebut seorang penerima waralaba (franchisee) yang menerima lisensi dari seorang franchisor berkewajiban untuk membayar royalti atas lisensi tersebut sesuai dengan pola bagi hasil yang telah ditetapkan di dalam perjanjian yang dibuat oleh franchisor.

Misalnya saja Corner Kebab. Merek ini menawarkan sistem ganda dalam menawarkan peluang bisnisnya pada calon mitra, yaitu sistem kemitraan berbasis franchise dan kemitraan berbasis syariah. “Dengan adanya dua pilihan jenis investasi ini, maka kita harapkan calon mitra bisnis bisa lebih nyaman menjadi partner bisnis kita. Sebab, ada beberapa orang yang super sibuk, namun dia ingin punya bisnis ini, maka kita yang mengelola nanti hasilnya dibagi dua,” tutur Ardiansyah, pemilik Corner Kebab.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Dalam menjalankan urusan wajib pemerintah daerah dalam bidang komunikasi dan informatika, Diskominfo PDE Provinsi Riau dituntut untuk dapat menyelenggarakan

“Kesultanan Melayu Melaka: Satu Kajian Mengenai Kedatangan, Penerimaan, dan Penyebaran Agama Islam (Tahun 1400-1511).” Disertasi, Jabatan Sejarah Universiti

Misi I: Mewujudkan Kualitas Sumber Daya Manusia Kaltim yang Mandiri dan Berdaya Saing Tinggi 1 Meningkatnya IPM 2 Meningkatnya harapan lama sekolah Strategi 1 : Peningkatan akses

Pengasuhan makanan anak pada fase 6 bulan kedua adalah pemenuhan kebutuhan makanan untuk bayi yang dilakukan ibu, dinyatakan cukup bila anak diberikan ASI plus makanan

online dengan mean world syndrome tetapi disini peneliti menemukan adanya hubungan antara variabel terpaan media pemain game online “Point Blank” terhadap efek

Pada pertemuan pertama metode pembelajaran adalah dalam bentuk ceramah dan diskusi kelas, sedangkan untuk pertemuan lainnya metode pembelajaran adalah dengan

Sampel pelet calf starter yang telah ditambah fermentasi limbah kubis sesuai perlakuan dianalisis untuk diketahui total BAL.. Pengujian total BAL dilakukan dengan

Sumber data utama dalam penelitian kualitatif dalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Kata-kata dan tindakan orang yang