• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG FRANCHISE

D. Pola Bagi Hasil Dalam Franchise

Belakangan, banyak bisnis franchise yang menawarkan ragam pola investasi. Mulai sistem investasi dengan model bagi hasil, syariah, mudhorobah, hingga saham. Seperti apa, dan bagaimana tanggapan AFI serta Pengamat franchise.

Sejatinya, franchise merupakan sebuah model bisnis yang menghajatkan seorang franchisee, sebagai partner bisnis yang ikut terlibat langsung mengelola gerai bisnisnya. Dengan kata lain, calon investor yang menenamkan uang di bisnis tersebut harus terlibat aktif membantu mengembangkan gerai bisnis franchisornya layaknya bisnis sendiri, meski merek dan sistem bisnis secara hak paten dimiliki franchisor.

Setelah itu, dari omset bisnis tersebut, si franchisee dibebani kewajiban membayar royalti fee beberapa persen setiap bulannya kepada franchisor sebagai imbalan menggunakan merek dan sistem bisnis franchisor. Sedangkan franchisor sendiri dituntut untuk memberikan bimbingan serta support kepada para franchisee selama berlangsungnya masa kontrak kerjasama. Itulah format dan kinerja bisnis franchise secara legal formalnya, seperti yang tertuang pada PP No 42. Di luar skema itu, bisnis tersebut bukan disebut franchise.

Namun demikian, seiring berjalannya waktu, belakangan ini banyak bisnis yang menamakan dirinya sebagai franchise malah tidak tidak memberlakukan model bisnis seperti digambarkan diatas. Beberapa dari mereka justru tidak menawarkan sistem invetasi tunggal kepada para calon franchiseenya. Bahkan beberapa merek franchise papan atas sekalipun tidak begitu rigid atau kaku dalam

menerapkan skema investasi waralabanya.

Es Teler 77 misalnya, ketika awalmula difranchisekan merek yang dibesut Sukyatno Nugroho ini memang menerapkan pola franchise murni, dalam artian mewajibkan franchisee terlibat langsung mengelola bisnisnya, dan membebani mereka dengan royalti fee. Namun dalam perkembangannya, seiring banyaknya jumlah gerainya, Es Teler 77 justru menerapkan sistem profit sharing, yaitu franchisee tidak diwajibkan terlibat penuh mengurus bisnisnya. Mereka hanya menerima pembagian hasil usahanya saja. Semua kendali bisnis dipegang oleh franchisor.

Selain itu, yang paling ekstrim lagi adalah franchise asal Korea, yakni BBQ Chicken, yang beberapa waktu lalu mulai masuk ke Indonesia. Waralaba yang sudah ada di 55 negara ini tidak memberlakukan sistem royalti fee maupun profit sharing. Merek ini memberlakukan investasi dengan nama Kontrak Invetasi Kolektif (KIK), yaitu menjual saham bisnis perlot. Setiap lotnya bernilai Rp 60 juta.

Untuk mendirikan satu buah gerai BBQ Chicken. Franchisor harus bisa mengumpulkan sekitar 30 lot dari beberapa calon investor. Calon investor tersebut bisa memiliki lebih dari satu lot. “Konsep investasi seperti ini sengaja kita berlakukan untuk menjaring calon pengusaha dari menengah bawah. Sehingga mitra tidak terbebani dengan investasi besar. Kalau seorang mitra bisnis harus merogoh kocek 1,8 milyar untuk mendirikan satu buah gerai, maka dia akan terbebani,” ujar Nikolas Agung, Komisaris Utama BBQ Chicken.

Hal yang serupa juga dilakukan oleh Ayam Lepass. Usaha yang belum mau disebut franchise, namun bisnisnya yang tengah moncer ini menawarkan peluang bisnis dengan konsep mudhorobah. ”Kalau mudhorobah biasanya kan satu orang, tapi di Ayam Lepaas kita gabungkan beberapa orang sampai modalnya mencukupi untuk buka gerai,” ungkap founder Ayam Lepaas, Suparno, S.TP.

Alasan Suparno menerapkan muhdorobah relatif sama dengan BBQ Chicken. Menurutnya, agak berat jika 1 orang harus investasi diatas 100 juta per gerai. Karena itu, Ayam Lepaas menerapkan batas minimal investasi per gerai sebesar Rp 10 juta, serta batas maksimal Rp 50 juta. ”Kecuali ada orang yang memang meminta khusus, misalnya dia punya tempat, kita bisa share 30% – 40% dari keseluruhan modal,” katanya.

Begitupun langkah yang diambil oleh Corner Kebab. Merek ini menawarkan sistem ganda dalam menawarkan peluang bisnisnya pada calon mitra, yaitu sistem kemitraan berbasis franchise dan kemitraan berbasis syariah. “Dengan adanya dua pilihan jenis invetasi ini, maka kita harapkan calon mitra bisnis bisa lebih nyaman menjadi menjadi partner bisnis kita. Sebab, ada beberapa orang yang super sibuk, namun dia ingin punya bisnis ini, maka kita yang mengeloa nanti hasilnya dibagi dua,” tutur Ardiansyah, Owner Corner kebab.

Sedangkan bagi mitra bisnis yang ingin mengelola bisnis ini sendiri, kata Adiansyah, silahkan saja. “Kita tidak membatasi para calon mitra yang ingin sungguh-sungguh menjalankan bisnis ini sendiri dan meraih keuntungan lebih besar. Akan tetapi, jika dalam satu tahun mitra bisnis tersebut tidak mempau menjalankan bisnisnya dengan baik, maka kita tawarkan pada mereka untuk pindah

ke sistem syariah, kita yang mengelola dan keuntungannya bagi dua. Andaipun merugi maka dibagi dua juga. Jadi kita menawarkan sistem bisnis berlapis,” ujarnya.

Diakui Ardiansyah, sampai saat ini pola investasi dengan sistem syariah yang banyak diminati para mitra bisnisnya. Dari 160 gerai yang telah beroperasi. Sekitar 80% mitra bisnis yang bergabung di Coner Kebab memilih mengambil sistem syariah. Sedangkan, sisanya ada yang ingin mengelola sendiri.

Anang Sukandar, Ketua Asosiasi Franchise Indonesia menangkap fenomena pola invetasi di industri franchise dengan nada yang kurang bagus. Menurutnya, bisnis yang menamakan dirinya sebagai franchise kemudian menawarkan skema investasi yang bermacam-macam, seperti muhdhorobah, bagi hasil, syariah, dan sebagainya sebagai bukan bisnis franchise. “Tidak ada yang namanya personal franchise, mudhorobah, maupun franchise syariah. Yang ada bisnis franchise seperti yang diatur dalam PP No 42 2007,” tuturnya.

Senada dengan Sukandar, Pietra Sarosa, konsultan dari Sarosa Consulting ini menilai bisnis-bisnis yang menawarkan sistem bisnis seperti diatas belum tergolong bisnis franchise. “Saya rasa mereka lebih cocok disebut bisnis kemitaan. Menurut saya jika polanya tidak sesuai dengan pola waralaba ya berarti bukan perusahaan waralaba. Demikian juga sebaiknya tidak usah menyebut diri waralaba. Pede sajalah, investor makin pintar kok, sepanjang bisnisnya memang sehat dan bagus pasti banyak yang investor yang tertarik meskipun tidak menyebut diri waralaba. Demikian juga sebaliknya jika bisnisnya tidak bagus, investor juga ogah masuk meskipun menamakan diri waralaba,” tuturnya.

Walau demikian, Pietra tidak menyalahkan jika beberapa bisnis waralaba ingin menawarkan berbagai sistem invetasi kepada calon franchiseenya. “Wajar-wajar saja sepanjang tidak melanggar hukum/ peraturan yang berlaku dan tidak bertujuan merugikan mitra/investornya baik secara disengaja ataupun dengan kelalaian,” pungkasnya.

Namun ketika disinggung tentang seharusnya waralaba merujuk kepada konsep dasarnya, yaitu ada royalti fee dan franchisee operator dalam mengendalikan roda bisnis franchisenya, Peitra memberikan jawaban dengan lugas. “Betul, sesuai textbook seperti itu. Pada kenyataannya di Indonesia secara populer 'franchise/waralaba' sudah menjadi kata generik untuk sebagian besar skema bagi hasil. MLM saja ada yang menyebut dirinya 'personal franchise'. Kalau mau waralaba yang benar secara hukum ya acuannya PP No. 42 thn 2007.

BAB IV

PERJANJIAN FRANCHISEIZZI KEBAB JALAN LETDA SUJONO MEDAN

Dokumen terkait