• Tidak ada hasil yang ditemukan

REALISASI TINDAK TUTUR POYOK UNGKAL (TTPU) PADA MASYARAKAT DESA UNGKAL KECAMATAN CONGGEANG KABUPATEN SUMEDANG :Kajian Sosiopragmatik dan Pemanfaatannya sebagai Bahan Ajar Gaya Bahasa di SMPN 1 Jatinunggal Kabupaten Sumedang.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "REALISASI TINDAK TUTUR POYOK UNGKAL (TTPU) PADA MASYARAKAT DESA UNGKAL KECAMATAN CONGGEANG KABUPATEN SUMEDANG :Kajian Sosiopragmatik dan Pemanfaatannya sebagai Bahan Ajar Gaya Bahasa di SMPN 1 Jatinunggal Kabupaten Sumedang."

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

i DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR BAGAN ... xv

DAFTAR SKEMA ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 5

1.3 Perumusan Masalah ... 6

1.4 Tujuan Penelitian ... 7

1.5 Manfaat Penelitian ... 8

1.6 Definisi Operasional ... 9

1.7 Asumsi ... 10

BAB II KAJIAN TEORETIS 2.1 Konsep Tindak Tutur ………... 14

2.2 Klasifikasi Tindak Tutur ……….. 19

2.3 Klasifikasi Tindak Ilokusi Komunikasi ……… 26

2.4 Pragmatik dan Konteks Tuturan ……….. 29

2.4.1 Deiksis ………... 30

2.4.2 Presuposisi (Praanggapan) ………. 32

2.4.3 Implikatur ……….. 35

2.4.4 Inferensi ………. 41

(2)

ii

2.5. Prinsip Kerjasama Grice ………. 49

2.6. Strategi Kesantunan Berbahasa... 54

2.6.1. Skala Kesantunan Leech ……… 58

2.6.2 Skala Kesantunan Brown and Levinson ……….. 66

2.6.3 Skala Kesantunan Robin Lakoff ………. 68

2.6.4 Skala Kesantunan Azis ………. 69

2.7 Gaya Bertutur……….. 73

2.7.1 Prinsip Metaforis ……….. 76

2.7.2 Prinsip Ironi (penyiasatan struktur) ……… 80

2.7.3 Prinsip Kelakar ……… 85

2.8 Bahan Ajar dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia ……… 87

2.8.1 Prinsip-prinsip Penyusunan Bahan Ajar ……….. 89

2.8.2 Bahan Ajar Gaya Bahasa Aspek Berbicara ……….. 95

2.8.2.1 Bahan Ajar Berbicara ………. 96

2.8.2.2 Lingkup Bahan Ajar Berbicara ……….. 98

BAB III METODE DAN TEKNIK PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian ……….. 100

3.2 Sumber Data ……….. 102

3.3 Data……… 104

3.3 Teknik Pengumpulan Data ……… 105

3.4 Teknik Analisis Data ………. 108

3.5 Teknik Sistematik Penyusunan Bahan Ajar Bersumber TTPU…… 112

BAB IV KAJIAN SOSIOPRAGMATIK REALISASI TINDAK TUTUR POYOK UNGKAL DAN PENYAJIAN BAHAN AJAR 4.1 Pelaksanaan Penelitian ……… 114

4.1.1 Observasi Pendahuluan ………. 114

4.1.2 Penentuan Informan Penelitian ………. 115

4.2 Deskripsi Geografi Daerah Penelitian ……… 118

4.2.1 Gambaran Umum Kabupaten Sumedang ……… 118

4.2.2 Deskripsi Geografi Desa Ungkal ……… 119

(3)

iii

4.3 Kondisi Masyarakat Ungkal ……….. 123

4.3.1 Kelompok Etnis dan Bahasa ……….. 123

4.3.2 Mata Pencaharian dan Pendidikan ………. 123

4.3.3 Karakteristik Sikap dan Perilaku Masyarakat Ungkal ……… 126

4.4 Perihal Poyok Ungkal ………... 128

4.5 Data dan Analisis Data TTPU ………. 134

4.5.1 Analisis Wujud Struktural dan Wujud Pragmatik TTPU ………….. 135

4.5.2 Analisis Tingkat Kesantunan Pragmatik TTPU... 201

4.5.2.1 Petutur Poyok Ungkal Pengukur Persepsi Kesantunan TTPU... 203

4.5.2.2 Petutur-Penutur Poyok Ungkal Pengukur Persepsi Kesantunan TTPU ... 207

4.5.2.3 Pertimbangan Budaya Ungkal dan Pertimbangan Skala Kesantunan Leech sebagai Pengukur Derajat Kesantunan TTPU…... 213

4.6 Penyajian Kajian Realisasi TTPU sebagai Bahan Ajar Gaya Bahasa .. 221

4.6.1 Sistematik Penyajian TTPU sebagai Bahan Ajar Gaya Bahasa …….. 222

4.6.2 Pemetaan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Pembelajaran Berbicara Bahasa Indonesia Kelas IX ………... 225

4.7 Pembahasan Hasil Analisis ……… 229

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 235

5.2 Saran ... 238

DAFTAR PUSTAKA ... 240

(4)

iv

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1 Perbandingan Unsur Stile Abram dan Leech & Short 73 Tabel 2.2 Aspek-aspek Berbahasa Integratif 94 Tabel 2.3 Hubungan Berbahasa dan Bersastra Indonesia 95 Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Desa Ungkal Menurut Jenis Kelamin 123 Tabel 4.2 Persentase Penduduk Desa Ungkal Menurut Mata Pencaharian 124 Tabel 4.3 Anak Usia Sekolah serta Wajib Belajar di Desa Ungkal 124 Tabel 4.4 Banyaknya Lembaga Pendidikan di Wilayah Desa Ungkal 125 Tabel 4.5 Jumlah Sarana Kesehatan di Wilayah Desa Ungkal 125 Tabel 4.6 Wujud dan Tipe Tindak Tutur Poyok Ungkal Berdasarkan

Struktur-Formal Tuturan 187

Tabel 4.7 Tipe-tipe TTPU Berdasarkan Wujud Struktur-Formal Nilai

Komunikatif 194

Tabel 4.8 Tipe-tipe TTPU Berdasarkan Wujud Struktur-Formal

Unsur Pembentuk dan Urutan Predikat 197

Tabel 4.9 Tipe-tipe TTPU Berdasarkan Struktur-Formal Fungsi Ilokusi 199 Tabel 4.10 Tipe-tipe Pragmatik TTPU Berdasarkan Wujud Pragmatik

dan Struktur-Formal 213

Tabel 4.11 Karakteristik TTPU dan Persepsi Petutur sebagai Pengukur

Peringkat Kesantunan TTPU 220

Tabel 4.12 Pemetaan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar

(5)

v

DAFTAR GAMBAR-DIAGRAM

Halaman

Gambar 1.1 Peta Konsep Sosiopragmatik Tindak Tutur Poyok

Ungkal (TTPU) 12

Gambar 2.1 Hubungan Prinsip Kerjasama Prinsip Kesantunan

dan Prinsip Ironi 85

Diagram 3.1 Faktor Penentu Fokus Observasi TTPU 107 Diagram 3.2 Komponen Analisis Data Model Alir (Flow Model)

(6)

vi

DAFTAR BAGAN

Halaman

Bagan 1.2 Paradigma Model Induktif Penelitian TTPU dan

Pemanfaatannya 13

Bagan 2.1 Hubungan Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar,

Indikator dan Wacana 91

(7)

vii

DAFTAR SKEMA

Halaman

Skema 4.1 Proses Stimulus dan Tanggapan atas Konteks Tuturan Interogatif-Deklaratif dalam Persepsi Interpretasi

Sosiopragmatik Tindak Tutur Poyok Ungkal (Percakapan

Tanya Jawab) 156

Skema 4.2 Karakteristik dan Indikator Kesantunan TTPU Berdasarkan

Persepsi Petutur-Penutur 212

Skema 4.3 Alur Penyusunan Bahan Ajar 225

(8)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1: OBSERVASI LAPANGAN DAN HASIL WAWANCARA 1

(Informasi Demografi Desa dan Asal-usulnya)

Lampiran 2: OBSERVASI LAPANGAN DAN HASIL WAWANCARA 2 (Informasi Poyok Ungkal dan Asal-usulnya)

Lampiran 3: OBSERVASI LAPANGAN DAN HASIL WAWANCARA 3 (Informasi Poyok Ungkal dan Asal-usulnya)

Lampiran 4: OBSERVASI LAPANGAN DAN HASIL WAWANCARA 4 (Informasi Ki Nurjali, Ki Sanuhi, dan Poyok Ungkal)

Lampiran 5: OBSERVASI LAPANGAN DAN HASIL WAWANCARA 5 (Informasi Ki Nurjali, Ki Sanuhi, dan Poyok Ungkal)

Lampiran 6: OBSERVASI LAPANGAN DAN HASIL WAWANCARA 6 (Informasi Ki Sanuhi dan Poyok Ungkal)

Lampiran 7: OBSERVASI LAPANGAN DAN HASIL WAWANCARA 7 (Informasi Tradisi Poyok dan Asal-usulnya)

Lampiran 8: OBSERVASI LAPANGAN DAN HASIL WAWANCARA 8 (Informasi Ki Sanuhi dan Poyok Ungkal)

Lampiran 9: PENGODEAN DATA DAN IDENTIFIKASI DATA TTPU Lampiran 10: SKALA KESANTUNAN LEECH SEBAGAI

PENGUKUR PERINGKAT KESANTUNAN TTPU TIPE SINDIRAN DAN KOREKSIAN

Lampiran 11: KONSEP PERSEPSI ASAHAN RASA PETUTUR SEBAGAI PENGUKUR PERINGKAT KESANTUNAN TTPU TIPE SINDIRAN DAN KOREKSIAN

Lampiran 12: WUJUD DAN TIPE-TIPE GAYA BERTUTUR DALAM TTPU DAN MAKSUD TUTURANNYA

(Tindak Ketidaklangsungan Maksud Tuturan dalam TTPU

sebagai Refleksi Kesantunan Penutur)

(9)

sosiopragmatik.poyok ungkal 1

BAB I

PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Penelitian

Salah satu hal yang menarik dari pemakaian bahasa adalah timbulnya pencitraan pada diri penuturnya. Citra atau representasi seseorang terbentuk karena adanya hubungan antara bahasa (ujaran) dan budaya (perbuatan) di sekeliling bahasa tersebut yang ikut menentukan wajah dari bahasa itu. Hal ini menunjukkan bahwa sistem nilai, pola pikir, keyakinan, dan kepercayaan suatu masyarakat terkemas dalam bahasa. Pembicara dan lawan bicara sama-sama menyadari bahwa ada kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan bicaranya. Setiap peserta percakapan (tindak tutur) bertanggung jawab terhadap tindakan dan penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan di dalam interaksi sosial itu. Dengan demikian, bahasa merepresentasikan seseorang dan memproduksi cara kita menentukan identitas diri dan budaya kita.

Hal tersebut di atas tidak dipungkiri berakibat juga pada cara bertutur orang Sunda Ungkal yang terkenal dengan Tindak Tutur Poyok Ungkal (TTPU). Tuturan tersebut bersifat samar-samar (off record), penuh “siloka” (perlambang), penuh sindiran (perkataan yang tidak langsung ditujukan kepada orang yang dimaksud) dengan menggunakan metafor-metafor tertentu yang kadang disertai

seloroh (gurauan, cemoohan, ejekan, moyokan) yang tentu saja memerlukan

(10)

sosiopragmatik.poyok ungkal 2

baris bagian sampiran diulangi lagi pada awal baris bagian isi), paparikan (sindiran yang hanya berdekatan bunyinya antara sampiran dengan isi, jadi tidak harus sama kata awal barisnya), wawangsalan (pada bagian sindir terdapat sampiran dan wangsal ‘hal yang disembunyikan’). Menurut Alwasilah (2008:83), “Masyarakat Sunda, manusianya cenderung diam, kurang ekspresif, gaya retorikanya berbelit dan berputar (ewuh pakewuh) dan memperlihatkan hormat berlebihan.”

(11)

sosiopragmatik.poyok ungkal 3

bahasa dalam arti stile (stylistic of speech). Hal-hal inilah yang mendorong penulis untuk melakukan kajian sosiopragmatik TTPU, baik dilihat dari nilai komunikatif dan kesantunan berdasarkan persepsi petutur serta pemanfaatannya sebagai alternatif bahan ajar keterampilan berbahasa Indonesia khususnya dalam komunitas dwibahasawan.

Selain itu, setidaknya ada dua pertimbangan lainnya yang mendasari dilakukannya penelitian ini. Pertama, TTPU merupakan tradisi tutur yang memiliki gambaran sifat dasar kemahiran kognitif dan pengembangan persepsi bagi penutur dan petuturnya. Sebagai sebuah ‘kemahiran’ bertutur, TTPU sangat penting dikaji secara sosiopragmatik untuk dicari celah bagi pengembangan keterampilan berbahasa siswa di sekolah. Gaya tutur (stile), aksentuasi, intonasi, nuansa makna (asosiatif dan metafora), ruang persepsi merupakan unsur-unsur yang perlu dikuasai penutur.

Kedua, TTPU hadir dalam kehidupan nyata secara reflektif yang muncul

berdasarkan kekuatan persepsi, skemata perseorangan sehingga TTPU dianggap dapat dijadikan alternatif bahan ajar dan diterapkan dalam proses pembelajaran keterampilan berbahasa di sekolah menengah pertama.

(12)

sosiopragmatik.poyok ungkal 4

dengan jargon poyok Ungkal. Kedua, ingin mengukuhkan bahwa poyok dalam ekspreasi bahasa lisan masyarakat Ungkal telah menjadi sebuah kearifan lokal, sebuah aset budaya tatar Sumedang. Ketiga, poyok memiliki nilai rasa tersendiri dan sudah merupakan konvensi-enkulturasi bagi masyarakat Ungkal atau bagi orang yang telah mengenalnya. Akan berbeda nilai rasanya jika dipadankan dengan kata cemooh, sindiran, guyonan, gurauan, atau seloroh meskipun mungkin secara semantik bisa disamakan. ‘Poyok’ lebih memiliki makna netral-lokal-positif dan tidak dimaksudkan untuk mengancam muka atau menyakiti orang yang dipoyok. Sebutan poyok Ungkal sebagai jargon budaya relatif sama dengan jargon kebahasaan lainnya seperti serupa dengan peuyeum bandung, boled Cilembu,

deuleu Cikuleu, Tukuh Cibuluh, pelet marongge.

(13)

sosiopragmatik.poyok ungkal 5 1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, ada beberapa karakteristik kajian tindak tutur “poyok Ungkal”. Pertama, parameter pragmatik, yaitu faktor solidaritas (cooperative) sebagai perwujudan retorika interpersonal dan kesantunan (politeness) dalam bertindak tutur. Parameter pragmatik lainnya berkaitan pula dengan fungsi-fungsi bahasa dan pengguna bahasa yang dinyatakan secara konkret dalam wujud TTPU sesuai dengan konteks situasi tuturan. Dengan demikian, analisis parameter pragmatiknya terfokus pada maksud pembicara yang secara tersirat berada di balik tuturan yang dianalisis, tindak tutur bersama validitasnya, presuposisi dan implikatur percakapan. Dengan perkataan lain, maksud tuturan, terutama maksud yang diimplikasikan hanya dapat diidentifikasikan lewat penggunaan bahasa itu secara konkret dengan mempertimbangkan secara saksama komponen situasi tutur kaitannya dengan kesantunan. Kedua, adanya relasi fitur semantik (ruang persepsi, dan relevansi) dengan daya pragmatik (implikatur tuturan, cara-tujuan tutur, maupun peringkat kesantunannya). Ketiga, adanya relasi bahasa tutur (linguistik) dan budaya (sosiologi) yang merepresentasikan citra masyarakat Desa Ungkal Kecamatan Conggeang Kabupaten Sumedang.

(14)

sosiopragmatik.poyok ungkal 6

TTPU dan melihat apakah metodologi ini benar-benar membantu dalam memahami tindak tutur tersebut.

Secara sosiolinguistik, poyok Ungkal akan dibahas dalam kaitan relasi komunikasi antarindividu dalam komunitas tersebut dengan budayanya (sosiokultural). Hal ini bertolak dari asumsi bahwa budaya suatu kelompok manusia tampak dalam bahasa yang digunakannya. ‘Etnis’ Ungkal sebagai komunitas tradisional, dipastikan memiliki tata nilai enkulturatif, dan kebiasaan yang terkemas dalam bentuk realisasi ekspresi lisan berupa ‘poyok Ungkal’ yang reflektif, tanpa modifikasi, dan tidak terlepas dari faktor-faktor kemasyarakatan sebagai dampak dari keadaan komunitasnya masyarakatnya

Dengan demikian, Tesis ini membahas ihwal sosiopragmatik dalam komunikasi lisan pada latar sosial yang menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa pergaulan sehari-hari. Studi ini meneliti perilaku berbahasa dan proses sosial (keseharian) masyarakat Ungkal dalam bertindak tutur (bahasa Sunda). Peneliti mencoba menelaah pemakaian bahasa (parole) yang teramati melalui interaksi langsung (bersemuka) dengan mereka serta bagaimana interpretasi pemaknaan dari implikatur yang tercipta. Selain itu, dikaji juga fungsi sosial dari ujaran ‘poyok’ tersebut.

1.3 Perumusan Masalah

(15)

sosiopragmatik.poyok ungkal 7

Ungkal. Demi lebih memokuskan penelitian ini, penulis merumuskan permasalahan penelitian ini sebagai berikut.

1) Bagaimanakah karakteristik TTPU dilihat dari wujud struktur-formal dan wujud pragmatik itu dapat diperikan?

2) Bagaimanakah daya pragmatik TTPU kaitannya dengan aspek realisasi prinsip kesantunan (politeness) diltinjau dari persepsi petuturnya?

3) Bagaimanakah fungsi sosial TTPU berdasarkan persepsi petutur dan nilai budaya lokal masyarakat Ungkal kaitannya dengan penentuan TTPU sebagai alternatif bahan ajar gaya bahasa di tingkat SMP?

1.4 Tujuan Penelitian

Sebuah penelitian dipastikan memiliki tujuan baik yang bersifat praktis-pragmatis, teoretis maupun terapan. Dalam tradisi penelitian ditunjukkan bahwa tujuan sebuah kajian, haruslah sejalan dengan rumusan-rumusan masalahnya. Hal demikian memang tidak dapat disangkal, karena pada dasarnya tujuan dari sebuah penelitian itu haruslah merupakan upaya pemberian jawaban atas masalah-masalah penelitian yang dirumuskan sebelumnya. Sekait dengan itu maka tujuan penelitian ini secara berturutan dirumuskan sebagai berikut.

1) Mendeskripsikan wujud struktur-formal dan wujud pragmatik TTPU masyarakat Ungkal terutama yang berkaitan dengan tindak ilokusi (the act of

doing something).

(16)

sosiopragmatik.poyok ungkal 8

3) Mendeskripsikan fungsi sosial TTPU berdasarkan persepsi petutur dan nilai budaya lokal masyarakat Ungkal kaitannya dengan penentuan TTPU sebagau alternatif bahan ajar gaya berbahasa di tingkat SMP.

1.5 Manfaat Penelitian

Kebermanfaatan suatu penelitian sangat ditentukan oleh tujuan, persepsi, dan sudut pandang perorangan dalam memahami objek yang diteliti. Disadari atau tidak kebermaknaan dan kebermanfaatan sesuatu memerlukan jaringan (network) antara satu konsep dengan konsep yang lain.

Secara fungsional kajian ini menyingkap hakikat tuturan poyok Ungkal dan kesantunannya. Sekait dengan itu, maka temuan kaidah-kaidah tuturan poyok dan batasan-batasan kesantunan serta peringkatnya dapat digunakan sebagai substansi dasar bagi pengembangan dan pembinaan bahasa Sunda maupun bahasa Indonesia kepada para siswa di jenjang pendidikan dasar dan menengah terlebih khusus berkaitan dengan strategi bertutur (gaya berbahasa)

(17)

sosiopragmatik.poyok ungkal 9 1.6Definisi Operasional

Judul penelitian di atas dilihat dari tiga penekanan khusus, memberikan karakteristik kajian secara keseluruhan yaitu realisasi tindak tutur poyok Ungkal, pragmatik, daya pragmatik TTPU, prinsip kerjasama dan kesantunan. Sesungguhnya, keempatnya sama-sama penting bagi maksud khusus kajian ini. Jadi, penting bagi kita untuk memahami secara jelas relevansi pendekatan sosiopragmatik untuk kajian tindak tutur poyok Ungkal dan melihat apakah pendekatan ini benar-benar membantu dalam memahami tindak tutur poyok Ungkal tersebut.

Agar lebih terfokus, penulis kemukakan beberapa definisi operasional yang akan dijadikan pijakan awal dalam penelitian ini sebagai berikut.

1) Realisasi tindak tutur merupakan wujud faktual suatu tuturan yang berisi perkataan sekaligus tindakan terjadi dalam suatu komunitas secara kontekstual, reflektif, dan tanpa adanya pengondisian yang disengaja.

2) Poyok Ungkal adalah ujaran/tuturan masyarakat etnis Sunda-Ungkal (yang dijadikan sisi material penelitian) dalam berkomunikasi dengan sesamanya secara samar-samar (off record), penuh ‘siloka’ (perlambang), penuh

sindir-sampir (perkataan yang tidak langsung merujuk kepada hal yang dimaksud

oleh penutur) yang kadang disertai cemoohan atau ejekan dengan menggunakan metafor-metafor dan asosiasi tertentu.

(18)

sosiopragmatik.poyok ungkal 10

4) Sosiopragmatik merupakan manifestasi konkret penerapan prinsip kerjasama dan kesantunan dari semangat berbudaya, berbahasa, secara refleksitif-spontanitas-situasional bertujuan menjelaskan perbedaan prinsip kesantunan berbahasa dalam masyarakat yang berbeda sebagai konsepsi tutur masyarakat yang sungguh-sungguh ada.

5) Pemanfaatan merupakan suatu proses mengupayakan hasil penelitian agar memiliki nilai kebermanfaatan, tidak mubajir, khususnya dalam konteks pembelajaran bahasa Indonesia.

6) Gaya bahasa adalah cerminan keunikan, kekhasan tuturan seseorang, baik menggunakan cara bertutur secara langsung ditujukan pada maksud tuturan atau cara bertutur yang tidak langsung diarahkan pada maksud tuturan (menggunakan ujaran berkonotasi).

1.7Asumsi

Asumsi atau sering juga disebut anggapan dasar merupakan landas tumpu yang tidak menimbulkan keraguan peneliti. Segala kebenaran teori atau pendapat yang dijadikan pegangan tidak lagi dipersoalkan. Surakhmad (1998:107; 2002:8) berpendapat bahwa anggapan dasar atau postulat adalah sebuah titik tolak pemikiran yang kebenaranannya diterima oleh penyelidik.

(19)

sosiopragmatik.poyok ungkal 11

1) Penemuan karakteristik TTPU dalam komunikasi sehari-hari masyarakat Desa Ungkal dapat mengidentifikasi keutuhan sekaligus beragam sikap kelompok penuturnya.

2) TTPU dapat diterima baik oleh petutur jika didukung oleh prinsip kerjasama dan kesantunan dalam bertutur.

3) Penggunaan bahan ajar bilingual yang akrab dengan kehidupan siswa sehari-hari dapat menarik dan membangkitkan minat siswa terhadap pembelajaran yang diikutinya.

1.8 Paradigma Penelitian

(20)

sosiopragmatik.poyok ungkal 12

Gambar 1.1

Peta Konsep Sosiopragmatik Tindak Tutur Poyok Ungkal (TTPU)

Keterangan Gambar 1.1:

= wujud tuturan masyarakat Desa Ungkal

= proses tindak tutur dalam kehidupan masyarakat Ungkal = konteks kemunculan tuturan poyok Ungkal

= subkeilmuan/subteori

= ilmu kebahasaan berkaitan dengan tuturan = wilayah bahan ajar

= bahan ajar

Selanjutnya, untuk menjelaskan alur analisis model induktif terhadap TTPU, dapat dicermati seperti pada bagan berikut.

Retorika & Budaya

(21)

sosiopragmatik.poyok ungkal 13

Bagan 1.2

Paradigma Model Induktif Penelitian TTPU dan Pemanfaatannya

TTPU Pragmatik

Kontak Sosial & Bahasa Masyarakat Ungkal

Intersubjektif TTPU untuk Bahan Ajar

(22)

sosiopragmatik.poyokungkal

BAB III

METODE DAN TEKNIK PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian

Penelitian ini mengkaji fenomena sosiopragmatik tindak tutur ”poyok Ungkal” yang sudah menjadi konvensi budaya tutur masyarakat Ungkal dengan menjadikan peneliti sekaligus sebagai instrumen. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Pertimbangannya adalah, pertama penyesuaian metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan kultural (budaya tutur ”poyok Ungkal”). Kedua, pendekatan ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dengan responden (informan). Ketiga, pendekatan ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama terhadap pola-pola nilai, tradisi, sikap, dan anggapan yang dihadapi di lapangan.

(23)

sosiopragmatik.poyokungkal

ditentukan oleh fokus penelitian, (7) adanya kriteria khusus untuk keabsahan data, dan (8) desain penelitian TTPU bersifat sementara.

Karakteristik lainnya yang mendasari penelitian TTPU khususnya sekaitan dengan pemilihan pendekatan kualitatif ini, pertama, suatu realitas ujaran dibangun secara sosial. Karena realitas (atau pengetahuan) adalah suatu bentukan, maka bisa ada realitas jamak di dunia ini. Kedua, karena realitas (atau pengetahuan) dibentuk secara kognitif (dalam pikiran kita), ini tidak terpisahkan dari peneliti. Ini berarti pula bahwa kita hanya dapat mengerti wujud konstruksi tertentu secara simbolis khususnya melalui bahasa yang digunakan suatu komunitas. Ketiga, seluruh entitas (termasuk manusia) selalu dalam keadaan saling memengaruhi dalam proses pembentukan serentak. Oleh karena itu, sangat musykil kita dapat membedakan secara jelas sebab dari akibat. Keempat, karena peneliti tidak bisa dipisahkan dari yang ditelitinya, penelitian itu selalu terikat nilai budaya, norma, dan etika.

(24)

sosiopragmatik.poyokungkal

konteks tutur, faktor-faktor linguistik dan faktor ekstralinguistik yang menentukan peringkat kesantunan sekait dengan variabel pekerjaan, pendidikan, jenis kelamin, dan usia penuturnya serta nilai budaya tindak tutur ‘poyok’ masyarakat Ungkal.

Dengan demikian, tidak dapat dimungkiri bahwa dalam penelitian ini penulis akan ikut memengaruhi realitas tuturan yang diteliti dan bisa mendistorsi, pemutarbalikan fakta peristiwa tutur yang diamati. Akan tetapi distorsi itu setidaknya diminimalisasikan oleh metode pengamatan yang dipakai yaitu metode

triangulasi (kombinasi metode), metode survai (kesungguhan informan), interviu

(kesungguhan peneliti), analisis bukti-bukti catatan, metode transkripsi dan

translite ujaran yang didapat melalui metode saksikan-simak-catat (SSC) serta

metode cakap-rekam-maknai (CRM).

3.2 Sumber Data

Sumber data dalam kajian TTPU ini berwujud tindak tutur masyarakat Ungkal, baik masyarakat Ungkal yang menetap di Ungkal, orang Ungkal yang berada di luar Ungkal, atau orang yang pernah tinggal, bersemuka dengan orang Ungkal. Tindak tutur pragmatik memoyok tersebut ditengarai memiliki maksud yang diungkapkan secara tidak langsung (indirect speech), samar-samar yaitu tuturan yang berbeda dengan modus kalimatnya, dan maksud dari tindak tutur tidak langsung tersebut dapat beragam bergantung pada konteksnya.

(25)

sosiopragmatik.poyokungkal

linguistik. Sumber yang dimaksud adalah seluruh informan dengan segala situasi dan peristiwa pertuturannya. Dengan perkataan lain ada (1) sumber data yang sifatnya substantif dan (2) sumber data yang sifatnya lokasional.

Dikatakan sebagai sumber data substantif sebab sumber data itu berwujud dan berjenis persis sama dengan data penelitian yang sesungguhnya. Sumber tersebut berupa dialog-dialog atau percakapan yang di dalamnya terkandung wujud dan maksud memoyok beserta wujud-wujud tanggapannya. Tanggapan-tanggapan termaksud dapat merupakan tanggapan yang sifatnya verbal dan dapat pula merupakan tanggapan yang sifatnya nonverbal. Sumber data jenis kedua pada kajian ini bersifat lokasional karena pada dasarnya merupakan tempat asal-muasalnya data. Sumber yang demikian dalam penelitian ini merupakan sosok si penghasil dan si pencipta data itu sendiri. (informan). Dengan perkataan lain, sumber data jenis kedua ini, sesungguhnya adalah penutur bahasa itu sendiri yang dalam kegiatan kesehariannya senantiasa bertutur sapa menggunakan bahasa Sunda. Selanjutnya sumber data jenis kedua disebut narasumber.

(26)

sosiopragmatik.poyokungkal

tidaknya keberlangsungan tradisi poyok pada generasi sekarang. (3) lahir dan besar di desa setempat (penduduk asli) atau sekurang-kurangnya telah tinggal di Desa Ungkal selama 10 tahun di daerah titik pengamatan (TP), (4) dapat berbahasa Sunda, (5) dapat berbahasa Indonesia, dan (6) sehat rohani dan jasmani dalam arti alat bicaranya sempurna.

3.3 Data

Dalam penelitian kualitatif, situasi sosial merupakan salah satu objek penelitian di samping peristiwa alam. Situasi sosial ini identik dengan istilah populasi dalam penelitian kuantitatif. Menurut Spradley dalam Sugiyono (2007:297) situasi sosial memiliki tiga kategori populasi, terdiri atas elemen tempat (place), pelaku (actors), dan aktivitas (activity). Dengan perkataan lain, pemilihan sampel pun bukan saja diterapkan pada manusia sebagai responden, melainkan juga pada latar atau landas tumpu (setting), kejadian dan proses (Alwasilah, 2008:145). Oleh karena itu, data primer atau hal yang dianggap populasi dalam penelitian ini meliputi keseluruhan tempat, pelaku, dan aktivitas orang-orang Ungkal khususnya dalam kegiatan bertutur.

(27)

sosiopragmatik.poyokungkal

menghasilkan teori. Pertimbangan tersebut yaitu: (1) kekhasan atau kerepresentatifan dari latar, individu, dan kegiatannya; (2) mencari beragam perbandingan untuk mencerahkan alasan-alasan perbedaan antara latar, kejadian, atau individu. Oleh karena itu, seleksi sampelnya tidaklah statis, tetapi

dinamis-konstruktif, dari fase ke fase, berurut (sequential), berkembang, dan kontekstual.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik wawancara terbuka sadap-simak dan observasi (pengamatan terlibat pasif). Dalam wawancara terbuka, peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara lebih bebas dan leluasa, tanpa terikat oleh suatu susunan pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya. Tentu saja peneliti menyimpan cadangan masalah tersebut yang biasanya dapat muncul secara spontan sesuai dengan perkembangan situasi wawancara itu sendiri. Teknik observasi digunakan untuk mengenali lokasi dan kondisi masyarakat Ungkal secara umum. Untuk mendapatkan data yang lengkap dari sumber data, penulis mengombinasikan berbagai teknik pengumpulan data dari sumber data yang sama.

Adapun hal penting yang diperhatikan peneliti dengan menggunakan metode pengamatan ini adalah:

1) ruang atau tempat. Peneliti mengamati ruang atau tempat, Desa Ungkal,

(28)

sosiopragmatik.poyokungkal

2) pelaku atau responden atau calon informan. Peneliti mengamati ciri-ciri

pelaku yang ada di ruang atau tempat.Ciri-ciri tersebut dibutuhkan untuk mengategorikan informan yang melakukan interaksi.

3) benda-benda atau alat. Peneliti mencatat semua benda atau alat yang

digunakan oleh informan untuk berhubungan secara langsung atau tidak langsung dengan kegiatan informan.

4) waktu. Peneliti mencatat setiap tahapan-tahapan waktu secara kronologi

dari setiap kegiatan yang dilakukan.

5) tujuan. Peneliti mencatat tujuan dari setiap kegiatan yang ada.

6) perasaan. Peneliti juga mencatat perubahan-perubahan yang terjadi pada

setiap informan baik dalam bahasa verbal maupun nonverbal. Tidak dimungkiri juga, terjadi perubahan perasaan peneliti terhadap apa yang dikemukakan setiap informan.

Selanjutnya, penerapan kedua teknik tersebut di atas, dalam pelaksanaannya difokuskan pada teknik triangulasi yang menekankan pada dua macam teknik, yakni (1) teknik saksikan-simak-catat (SSC), dan (2) teknik

cakap-rekam-maknai (CRM). Sesuai dengan namanya, teknik simak merupakan teknik

(29)

sosiopragmatik.poyokungkal

Adapun pelaksanakan metode simak dilakukan melalui teknik sadap

(tape recorder), teknik simak-libat cakap, dan teknik simak-bebas libat cakap,

teknik rekam (camera), dan teknik catat sebagai teknik yang sifatnya lanjutan. Metode cakap merupakan metode penyediaan data yang dilakukan dengan cara mengadakan percakapan baik melalui teknik pancing, teknik cakap bersemuka, maupun teknik cakapan tidak bersemuka. Teknik pengumpulan data lain yang digunakan adalah dengan kerjasama terkendali (cooperative control) antara peneliti dengan informan.

Proses terakhir dari wawancara terbuka adalah mentransfer hasil wawancara dari kaset atau video rekaman ke dalam bentuk verbatim. Kegiatan dimaksud adalah transkrip data. Pada proses transkrip, peneliti memperhatikan dua hal, yaitu waktu wawancara, dan realibilitas transkrip. Adapun rancangan format transkrip wawancara tersebut dapat dilihat pada lampiran 1.

Keempat wacana fokus observasi dan dua wacana pertanyaan (sebagai instrumen wawancara –terlampir-) tersebut merupakan bentuk pengamatan

Sumber data sama Observasi partisipasif

dan nonpartisipatif

Wawancara mendalam

(30)

sosiopragmatik.poyokungkal

sistematis dan terencana terhadap strategi pragmatik TTPU yang diniati untuk perolehan data agar lebih terkontrol validitas dan reliabilatasnya. Namun, dalam menentukan langkah-langkah observasi, pertanyaan penelitian tetap dijadikan rujukan -meskipun tidak mutlak- sebagai kerangka konseptual (conceptual

framework). Fokus observasi tersebut akan teridentifikasi dari empat hal

sebagaimana tergambar dalam diagram berikut. Diagram 3.1

Faktor Penentu Fokus Observasi TTPU

(Diadopsi dari Alwasilah, 2008:212)

3.5 Teknik Analisis Data

Berdasarkan data yang penulis peroleh melalui proses induktif

(bottom-up) dan berlandaskan data lapangan, analisis data sebenarnya telah dilakukan

sejak sebelum memasuki lapangan penelitian, selama di lapangan penelitian, dan setelah selesai dari lapangan penelitian. Dalam hal ini Nasution dalam Sugiyono (2007:336) menyatakan bahwa analisis telah mulai sejak merumuskan dan menjelaskan masalah, sebelum terjun ke lapangan, dan berlangsung terus sampai

Kerangka konseptual

Fokus Observasi

Data hasil interaksi peneliti di lapangan

Intuisi, ilham peneliti

(31)

sosiopragmatik.poyokungkal

penulisan hasil penelitian. Analisis data ini juga menjadi pegangan bagi penelitian selanjutnya sampai jika mungkin menghasilkan grounded theory.

Analisis data lebih difokuskan selama proses observasi ke Desa Ungkal dan sekitarnya bersamaan dengan pengumpulan data. Usai observasi atau interviu pertama, analisis data dilakukan dengan merujuk pada pertanyaan penelitian. Hal ini berarti, setiap tahapan pengumpulan data terpandu oleh fokus yang jelas dengan sensitivitas teori yang pekat sehingga observasi dan interviu selanjutnya semakin terfokus, menyempit, dan menukik. Lebih lanjut dari itu, jika dimungkinkan memunculkan pengembangan teori (grounded theory). Dengan demikian, teknik seperti ini penulis analogikan dengan teknik pengeboran air tanah (ground water drilling), terfokus, menukik, untuk menghasilkan sesuatu yang jernih meskipun masih memerlukan penyaringan (sharing).

Selanjutnya, dari observasi pendahuluan, peneliti menentukan hubungan-hubungan. Kemudian secara terus-menerus diperhalus sejalan dengan proses pengumpulan dan analisis data. Selanjutnya hubungan atau setiap hipotesis itu secara terus-menerus pula dirujuk balik dalam proses pengkodean kategori. Karena setiap kejadian terus-menerus dibandingkan dengan kejadian sebelumnya, maka dimungkinkan ditemukannya dimensi tipologis dan hubungan-hubungan (hipotesis-hipotesis) baru.

(32)

sosiopragmatik.poyokungkal

yang terjadi secara bersamaan, (1) reduksi data ‘data reduction’, (2) penyajian data ‘data display’, dan (3) penarikan simpulan ‘conclusion drawing/verification.

Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data yang muncul dari catatan-catatan lapangan. Selain itu, reduksi data merupakan bagian dari analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa hingga simpulan-simpulan akhirnya dapat ditarik dan diverifikasi.

Penyajian data merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan simpulan dan pengambilan tindakan. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data disajikan bias dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antarkategori, flowchart dan sejenisnya. Dalam hal ini Miles and Huberman dalam Sugiyono, 2007:341) menyatakan, ‘the most frequent form of

display data for qualitative research data in the past has been narrative tex”.

Yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif. Selanjutnya, display data selain dengan teks naratif, juga dapat berupa grafik, matrik, network (jejaring kerja), dan chart (tabel).

(33)

sosiopragmatik.poyokungkal

mencari pembenaran dan persetujuan sehingga validitas tercapai. Dalam kaitan ini, Miles and Huberman memperkenalkan dua model analisis data yakni model alir ‘flow model’ dan model interaktif ‘interactive model’ (Patilima, 2007:97; Sugiyono, 2007:337-338).

Pada setiap tahapan observasi dan wawancara penulis gunakan model alir, yaitu peneliti melakukan kegiatan analisis secara bersamaan antara reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan per sesi observasi. Setelah peneliti melakukan pengumpulan data, peneliti melakukan antisipasi sebelum melakukan reduksi data. Selanjutnya, kegiatan pada reduksi data ini adalah kegiatan-kegiatan analisis dalam bentuk mengorganisasi dan menyusun data menjadi informasi bermakna ke arah simpulan penelitian.

(34)

sosiopragmatik.poyokungkal

Diagram 3.2

Komponen Analisis Data Model Alir (Flow Model) Miles & Huberman*)

Masa pengumpulan data

………. REDUKSI DATA

Atisipasi Selama Setelah

PENYAJIAN DATA

Selama Setelah

PENARIKAN KESIMPULAN/VERIFIKASI

Selama Setelah

(Miles & Huberman dalam Sugiyono, 2007:338; Patilima, 2007:98)

Antisipasi reduksi data terjadi ketika penelitian memutuskan (sering tanpa kesadaran penuh) kerangka konseptualnya, lokasinya, pertanyaan penelitiannya, pendekatan pengumpulan data yang dipilih. Model analisis alir inilah yang penulis gunakan untuk menganalisis data TTPU.

3.6 Teknik Penyusunan Bahan Ajar Gaya Bahasa dengan Menggunakan Data TTPU

Kegiatan pembelajaran bahasa Indonesia dan ataupun bahasa daerah pada hakikatnya berkaitan dengan beberapa komponen antara lain, (1) tujuan, (2) bahan, (3) sarana dan sumber, (4) metodologi, dan (5) evaluasi.

(35)

sosiopragmatik.poyokungkal

Adapun teknik penyusunan TTPU menjadi bahan ajar gaya bahasa tidak terlepas dari (a) konteks tuturan, (b) peserta tuturan, (c) makna tuturan, (d) maksud tuturan. Selain itu, dilakukan pula tahapan sebagai berikut.

1) Mengidentifikasi tuturan yang mengandung gaya bahasa.

2) Penomoran data tuturan dengan menggunakan angka Arab di akhir kode huruf. Misalnya,

STI/NST1.(1)

STI = Situasi Tuturan I (nomor situasi tuturan berdasarkan penuturan

informan ditulis dengan angka Romawi))

NST1 = Nomor Subjek Tutur ke-1 (nomor tuturan dialog atau nomor

contoh dialog tindak tutur poyok Ungkal-TTPU-)

(1) = Nomor tuturan pertama (angka Arab ditulis dalam tanda kurung) 3) Menunjukkan bagian tuturan yang dianggap mengandung gaya bahasa. 4) Menentukan jenis gaya bertutur yang digunakan dalam TTPU dan

mengelompokkannya.

5) Menghitung jumlah gaya bertutur yang muncul dalam TTPU, mempersentasikan (%) kemunculannya, dan menafsirkan maknanya. 6) Menetapkan simpulan berdasarkan langkah ke-5.

(36)

sosiopragmatik.poyokungkal

Bagan 3.1

Alur Umum Penelitian TTPU

Pra- penelitian

Studi Lapangan

Pelaporan

Pengajuan judul dan desain penelitian Tindak Tutur “Poyok Ungkal” (TTPU)

Penyediaan instrumen pemerolehan data (wawancara, catatan, rekaman, kamera)

Pemokusan kajian dengan mengajukan pertanyaan penelitian sekaitan dengan sosiopragmatik TTPU

Konsultasi pemantapan fokus kajian TTPU

Penentuan sejumlah informan & pengumpulan data

Perekaman nirlibat tindak tutur Poyok Ungkal

Transkripsi & transliterasi TTPU ke dalam bahasa tulis

Deskripsi hasil wawancara dan perekaman TTPU Melakukan wawancara-perekaman-pencatatan-pelibatan

Analisis & Interpretasi data TTPU

Mengestimasi wujud pola TTPU

Menyusun pemahaman baru/hipotesisi baru

Usulan hasil kajian TTPU menjadi bahan ajar gaya bahasa Mengembangkan temuan daya sosiopragmatik TTPU

(37)

Sosiopragmatik.poyokungkal

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan

Penelitian ini memokuskan perhatian pada bentuk tuturan keseharian masyarakat Ungkal yang lebih dikenal dengan sebutan tindak tutur poyok Ungkal (TTPU). Ada tiga hal yang disoroti penulis dalam penelitian ini, yaitu: (a) wujud struktur-formal TTPU meliputi: nilai komunikatif TTPU, unsur pembentuk dan letak fungsi predikat tuturan dalam TTPU, dan fungsi ilokusi TTPU; (b) wujud pragmatik TTPU meliputi konteks tuturan dan maksud TTPU; (c) derajat kesantunan TTPU berdasarkan persepsi petutur dan atau petutur-penutur TTPU dalam konteks budaya tutur keseharian masyarakat Ungkal.

Berdasarkan analisis terhadap 37 data TTPU sebagai hasil wawancara dengan 8 informan dan kajian terhadap TTPU yang disandarkan pada metode deskriptif-kualitatif dan pendekatan sosiopragmatik, ditemukan bahwa pada awalnya TTPU hanyalah gaya tuturan milik individual Aki Nurjali (alm) yang dalam konteks sosial sering didengar oleh masyarakat Ungkal lainnya. Aki Nurjali bukanlah orang Ungkal asli, dia berasal dari Ciketug-Ciaseum (sekarang dusun Cimarga Desa Karanglayung) hanya menetap di Ungkal. Semua informan saat ditanya masalah poyok Ungkal, semuanya mengarah kepada figur Aki Nurjali (alm) dan Aki Sanuhi (79) –masih hidup dan tinggal di Cibuluh-Ujungjaya-.

(38)

Sosiopragmatik.poyokungkal

tuturan interogatif (kalimat tanya) sebesar 18,92%, penggunaan tuturan empatik (kalimat penegasan) sebesar 16,22%, dan tuturan imperatif (kalimat suruhan/permintaan) sebesar 5,41%. Artinya, secara potensial tindak tutur poyok Ungkal bersifat informatif, ingin mengabarkan hal-hal yang distimulasi oleh kondisi, perilaku petutur, dan suasana pertuturan walaupun petutur tersebut tidak menyadarinya. Dengan perkataan lain, TTPU menghindari bentuk-bentuk tuturan imperatif dan lebih memilih bentuk-bentuk tuturan deklaratif.

Berdasarkan struktur-formal (bentuk dan letak predikat tuturan), struktur kalimat inversi (dengan variasinya) lebih banyak digunakan yakni sebesar 48,65%, diikuti penggunaan struktur kalimat aktif intransitif sebesar 45,95%, dan penggunaan struktur pasif (ergatif dan persona) sebesar 5,41%. Kenyataan ini menunjukkan bahwa sebagai suatu tuturan, TTPU lebih mengutamakan unsur yang jadi pembicaraan (predikat) daripada unsur fungsi subjek atau pelaku tuturan. Isi dan maksud tuturanlah yang diutamakan bukan siapa atau apa yang menjadi penutur atau pelakunya. Hal ini pulalah yang menjadi dasar pemahaman petutur terhadap penafsiran makna dan maksud TTPU. Dengan perkataan lain, dalam bahasa lisan, unsur fungsional kalimat yang dianggap sudah dipahami petutur seringkali dihilangkan dan selalu ada penekanan pada unsur fungsi predikatif.

(39)

Sosiopragmatik.poyokungkal

16,22%, dan terakhir tuturan asertif-representatif (tuturan teraikat oleh kebenaran proposisi) sebesar 10,81%. Hal ini menunjukkan bahwa stimulus berupa persona insaniah diekspresikan secara spontan untuk dikabarkan (dideklarasikan) secara tidak langsung kepada petutur dengan maksud yang tersembunyi di balik pernyataan tersebut. Dengan demikian, secara ilokusi, TTPU lebih banyak menginformasikan kenyataan faktual-lahiriah petuturnya, dan itu menjadi kesan tersendiri bagi penutur poyok Ungkal terhadap stimulus insaniah petuturnya.

Selanjutnya, berdasarkan wujud pragmatik (konteks dan maksud), TTPU kurang memperhatikan prinsip kerjasama terutama maksim kualitas dan kuantitas sebab lebih banyak menggunakan cara bertutur secara tidak langsung melalui gaya tutur asosiasi dan metafora dengan maksud untuk sesutau efek tertentu (menyindir) secara halus setiap petutur tanpa memperhatikan status sosial, atau status-status lainnya. Meskipun demikian, maksim relevansi tetap tidak diabaikan karena hal itu berpengaruh terhadap makna dan maksud suatu ungkapan TTPU, yang menjadi inti dari implikatur dan juga merupakan faktor yang penting dalam penginterpretasian perlokusi suatu kalimat atau tuturan. Maksim cara pun tetap diperhatikan meskipun tidak sepenuhnya, terutama berkaitan dengan bagaimana TTPU itu diungkapkan dan bukan apa yang dikatakan.

(40)

Sosiopragmatik.poyokungkal

koreksian perilaku yang dianggap kurang pas dengan etika-budaya masyarakat keseharian (penutur) di Ungkal. Semua hal ini dapat dipahami karena etnis Sunda Ungkal khususnya, menyenangi cara komunikasi dengan gurauan sebagai pembuka dan pengakrab komunikasi dengan petuturnya.

Adapun, berkaitan dengan derajat kesantunan TTPU, pun dapat diukur berdasarkan tipe-tipe poyok Ungkal dengan segala ruang persepsi budaya petutur dan atau persepsi petutur-penutur sekaligus. Dapat dikatakan bahwa kesantunan TTPU berada di antara wilayah dan tipe tuturan poyok-sindiran halus untuk

berguyon secara santai dan keakraban (72,97%) dengan poyok-koreksian (8,11%).

Dengan perkataan lain, kesantunan TTPU lebih dicerminkan oleh faktor penyelamatan muka petutur, perlokusi, cara ketidaklangsungan tuturan, maupun otoritas keilmuan petutur, bukan oleh skala untung rugi dan atau faktor banyaknya pilihan yang disediakan penutur seperti pada skala kesantunan Leech.

(41)

Sosiopragmatik.poyokungkal

pemerkaya sikap psikologis, berolah rasa, dan berolah pikir/logika berbahasa Indonesia sebab dalam pertuturan dan pemaknaan TTPU diperlukan ruang persepsi dan skemata yang matang dari petuturnya. Selain itu, sesuai dengan pendapat Littlejohn dan Windeatt, TTPU memenuhi kriteria sebagai bahan ajar, yaitu memuat subjek pengetahuan umum, memiliki gambaran sifat dasar kemahiran kognitif, mempunyai gambaran sifat dasar belajar bahasa, mempunyai hubungan peran, memiliki peluang bagi pengembangan persepsi dan kognisi, dan mempunyai nilai-nilai atau sikap yang terkandung di dalamnya khususnya nilai dan sikap menyamaratakan derajat manusia ’satata’ dimulai dengan pertuturan yang tidak langsung-santun, sikap mengoreksi secara sangat halus, sikap ingin mengabarkan sesuatu dengan penuh keakraban, dan sikap menghormati setiap manusia ciptaan Tuhan dengan cara tidak memoyok, menyindir, dan atau menghina orang-orang yang cacat atau tunadaksa.

5.2 Saran-saran

Penelitian TTPU ini merupakan penelitian lanjutan meskipun masih berfokus pada tataran struktur, karakteristik, tingkat kesantunan, dan asal-usul kemunculan TTPU serta pemanfaatannya dalam bentuk bahan ajar berbicara dalam komunitas siswa dwibahasawan. Oleh karena itu, berpijak atas kesadaran itu, penulis menyampaikan saran sebagai berikut.

Pertama, pembelajaran bilingual dalam PBM di kelas hendaknya juga

(42)

Sosiopragmatik.poyokungkal

penelitian terhadap budaya tutur maupun seni budaya tradisi lisan masih perlu terus dilakukan dan diberdayakan.

Kedua, penelitian ini masih menyisakan pertanyaan mengapa masyarakat

Ungkal mempunyai tradisi bertutur poyok, bukankah hal itu menegasikan suatu tindakan merendahkan orang lain. Hal ini membuka peluang untuk pengkajian TTPU berdasarkan Filsafat Heurmeneutika maupun Psikolinguistik.

Ketiga, pemanfaatan hasil analisis TTPU sebagai bahan ajar perlu

diperluas cakupannya. Pemanfaatan itu tidk hanya sampai pada bahan ajar an sich, tetapi juga dapat diperluas cakupannya hingga pada penerapannya, misalnya keefektifan bahan ajar tersebut dalam memberhasilkan pembelajaran keterampilan berbahasa Indonesia-Sunda.

Keempat, hasil kajian TTPU ini dapat digunakan oleh pemimpin

(43)

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A. C. (2008). Pokoknya Kualitatif: Dasar-dasar Merancang dan

Melakukan Penelitian Kualitatif. Jakarta: Pustaka Jaya.

Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Azis, E.A. (2007). “Tiga Dimensi Kesantunan Berbahasa: Tinjauan Terkini”. Makalah pada Kongres Linguistik Nasional XII MLI, Surakarta.

Bambang, K. P. (Ed.). (2007). PELBBA 17. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Barthes, R. (Trj.). (2007). Petualangan Semiologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Barthes, R. (Trj). (2007). Membedah Mitos-mitos Budaya Massa: Semiotika atau

Sosiologi Tanda, Simbol, dan Representasi. Bandung: Jalasutra

Brown, Gilian and Yule, George. (1985). Discourse Analisys. Cambridge: Cambridge University Press.

Cahyono, B. Y. (1995). Kristal-kristal Ilmu Bahasa. Surabaya: Airlangga University Press.

Chaer A. dan Agustina L. (2004). Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Dardjowidjojo, S., (2005). Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa

Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Depdikbud. (2002) Edisi Ketiga. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Djojosuroto, K. (2007). Filsafat Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher. Effendy, O.U. (2001). Ilmu Komunikasi, Teori dan Praktik. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Fishman, J. A. (1971). Sociolinguistics: A Brief Introduction. Rowley, Massachausetts: Newbury House Publisher.

(44)

Gazdar, G. (1979). Pragmatics: Implicature, Presupposition, and Logical Form. New York: Academic Press.

Gunarwan, A.(1994).“Kesantunan Negatif di Kalangan Dwibahasawan Indonesia-Jawa di Jakarta: kajian sosiopragmatik”. dalam Bambang Kaswanti Purwo (ed.), Analisis klausa, pragmatik wacana, pengkomputeran

bahasa, pp. 81-112. Yogyakarta: Kanisius; Jakarta: Lembaga Bahasa

Unika Atma Jaya.

Gunarwan, A. (2004). “Dari Pragmatik ke Pengajaran Bahasa”. Makalah Seminar Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah. IKIP Singaraja.

Halim, A. (1980). Politik Bahasa Nasional. Jakarta: Balai Pustaka.

Hidayat, K. (1997). “Kebermaknaan Bahasa Tutur Guru dan Siswa dalam Proses

Belajar Mengajar di Sekolah Dasar (Studi Semantik Penggunaan Bahasa Tutur dalam Proses Belajar Mengajar)”. Disertasi SPs UPI:

tidak diterbitkan.

Hudson, R.A. (1985). Sociolinguistics. Cambridge: Cambridge University Press. Ibrahim, A.S. (1994). Panduan Penelitian Etnografi Komunikasi. Surabaya:

Usaha Nasional

Izutsu, T. (2003). Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap

Alquran. Yogyakarta: Tiara Wacana

Keraf, G. (2007). Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.

Leech, G. (Trj.). (1993). Prinsip-prinsip Pragmatik. Jakarta: Universitas Indonesia.

Levinson, S.C. (1995). Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press. Lyons, J. (1984). Semantics 1. Cambridge: Cambridge University Press. Lyons. J. (1985). Semantics 2. Cambridge: Cambridge University Press.

Moleong, L.J. (2007). Edisi Revisi. Metodologi Penelitian Kualitatif.Bandung: Rosda Karya

Moravcsik, E.A. dan Wirth, J.R. (1980). Syntax and Semantics: Current

Approaches to Syntax. Volume 13. Newyork: Academic Press.

(45)

Nasanius, Y. (Ed.). (2008). Konferensi Linguistik Tahunan Atmajaya (KOLITA 6). Jakarta: Unika Atmajaya.

Nunan, D. (1991). Language Teaching Methodology: A Textbook for Teachers. Nurgiyantoro, B. (2005). Teori pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada

University Press.

Parera. J.D. (2004). Teori Semantik. Jakarta: Erlangga.

Pateda, M. (1989). Semantik Leksikal. Ende Flores: Nusa Indah. Patilima, H. (2007). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Pieget, J. (Trj). (1995). Strukturalisme. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Rahardi, R.K. (2005). Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Rakhmat, J. (2008). Psikologi Komunikasi. Bandung: Rosda Karya.

Rani, A. dkk. (2006). Analisis Wacana: Sebuah kajian bahasa dalam Pemakaian. Malang: Bayumedia Publishing

Santana, S. (2007). Menulis Ilmiah: Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Buku Obor.

Sibarani, R., (1993). Makna Nama dalam Bahasa Nusantara: Sebuah Kajian

Antropolinguistik. Bandung: Bumi Siliwangi.

Simanjuntak, M., (1990). Teori Fitur Distingtif Fonologi Generatif:

Perkembangan dan Penerapan. Jakarta: Gaya Media Pratama

Soekanto, S. (1999). Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Perkasa. Spradley, J.P. (Trj). Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Subuki, M. (2006). “Mengapa Pragmatik Perlu Dipelajari dalam Program Studi

Linguistik?” Blog WordPresss.Com

Sudaryanto. (1993). Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Sudaryanto, (1995). Linguistik: identitasnya, cara penanganan objeknya dan hasil

(46)

Indonesia: Perguruan Tinggi Sejawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta EKALAWYA: Duta Wacana University Press.

Sugiyono. (2007). Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif,

Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sujarwanto & Jabrohim. Ed. (2002). Bahasa dan Sastra Indonesia: Menuju Peran

Transformasi Sosial Budaya Abad XXI. Yogyakarta: Gama Media

Sukardi. (2005). Metodologi Penelitian Pendidikan: Kompetensi dan Praktiknya. Jakarta: Bumi Aksara.

Sulyati, E., (2005). Penggunaan Kata-kata Cemooh Masyarakat Ungkal

Kecamatan Conggeang Kabupaten Sumedang sebagai alternatif bahan pembelajaran keterampilan berbicara di SMTA : Studi Deskriptif Perilaku Berbahasa Masyarakat. Tesis UPI: tidak diterbitkan.

Sumarsono. (2007). Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda.

Surakhmad,W. (1998). Pengantar Penelitian Ilmiah.Bandung: Tarsito.

Syamsuddin AR. dan Damaianti V.S. (2006). Metode Penelitian Pendidikan

Bahasa. Bandung: Rosdakarya.

Ullmann, S. (Trj.) (2007). Pengantar Semantik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Universitas Sebelas Maret. (2007). Kumpulan Makalah Ringkas Kongres

Linguistik Nasional XII. Surakarta: MLI

Wahab, A. (1991). Isu Linguistik: Pengajaran Bahasa dan Sastra. Surabaya: Airlangga University Press.

Wardhaugh, R. (1994). An Introduction to Sociolinguistics –second edition-. USA: Cambridge CKWELL

Wijana, I.D.P. & Rohmadi, M., (2006). Sosiolinguistik: Kajian Teori dan

(47)

Gambar

Gambar 2.1  Hubungan Prinsip Kerjasama Prinsip Kesantunan
Gambar 1.1

Referensi

Dokumen terkait

TINDAK TUTUR DIREKTIF DALAM WACANA RAPAT DINAS KE-RT-AN DESA SODONG TENGKLIK TAWANGMANGU KABUPATEN KARANGANYAR DAN IMPLIKASINYA SEBAGAI BAHAN AJAR SEKOLAH MENENGAH

Syukur kehadirat Allah atas segala rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ KAJIAN TINDAK TUTUR DIREKTIF DAN EKSPRESIF TAYANGAN NEGERI ½

Tuturan ekspresif menyanjung atau memuji merupakan tindak tutur yang terjadi karena beberapa faktor, yakni dikarenakan kondisi dari lawan tutur yang sesuai dengan

Ketiga, Penelitian tentang tindak tutur representatif dalam wacana tajuk rencana surat kabar Kompas edisi Maret 2017 dapat dijadikan sebagai alternatif bahan

Hasil yang didapat dalam penelitian ini, terdapat dua hal Wujud makna pragmatik tindak tutur imperatif dalam film berjudul Keluarga Cemara, terdapat 60 satuan

Berdasarkan data penelitian yang telah diperoleh dan dianalisis mengenai bentuk dan fungsi tindak tutur direktif dalam percakapan pada film “Nanti Kita Cerita Tentang Hari

Hasil penelitian ini adalah bentuk dan fungsi tindak tutur ilokusi yang terdapat pada ceramah Ustaz Abdul Somad edisi Ramadan yang berjudul target-target di bulan Ramadan, dan lima

2017 Tindak tutur ilokusi dalam interaksi pembelajaran bahasa Indonesia Kajian Etnografi Komunikasi di sma ehipassiko school bsd.Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra vol 16 No 2, 2017