commit to user
Produksi Kultural Kampung Seni di Kampung Bumen, Kelurahan Purbayan, Kecamatan Kotagede, Kota Yogyakarta
Shubuha Pilar Naredia Program Studi Sosiologi
Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
Dosen Pembimbing: Dr. Argyo Demartoto, M.Si.
Dr. Bagus Haryono, M.Si.
Abstrak
Modernisasi hadir melanda kota sebagai arenanya, hal ini menjadikan budaya pop turut mendominasi kebudayaan baru di Kota Yogyakarta. Kondisi tersebut memicu tumbuhnya produksi kultural berupa kesenian yang bermunculan dalam kelompok-kelompok kolektif masyarakat dan komunitas seni, salah satunya berada di Kampung Bumen dengan identitasnya sebagai Kampung Seni. Kampung Seni di Kampung Bumen merupakan bentuk dari praktik Produksi Kultural di bidang kesenian. Maka, penelitian ini berfokus pada
Produksi Kultural Kampung Seni di Kampung Bumen. Penelitian ini bertujuan
menggambarkan Produksi Kultural Kampung Seni di Kampung Bumen melalui teori Produksi Kultural Pierre Bourdieu.
Penelitian ini merupakan studi kasus tunggal yang membahas Produksi Kultural Kampung Seni di Kampung Bumen, Kelurahan Purbayan, Kotagede, Yogyakarta. Data bersumber dariinformasi yang diperoleh langsung dari informan,studi pustaka, dokumen tertulis, arsip dan data visual. Teknik pengumpulan data menggunakanwawancara, observasi, dan dokumentasi. Pemilihan informan dipilih secara purposiveberdasarkan klasifikasi usia, kepengurusan organisasi, dan status sosial dalam masyarakat. Adapun masyarakat sekitar di luar Kampung Bumen seperti pejabat/pegawai instansi pemerintahan Kelurahan Purbayan maupun wisatawan dari masyarakat umum dengan klasifikasi usia tua dan muda sebagai validitas data dengan teknik triangulasi sumber. Data dianalisis dengan analisis model interaktif melalui reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan dan verifikasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Produksi Kultural Kampung Seni di Kampung Bumen dilakukan melalui hubungan antara aktor dan struktur yang dijelaskan melalui habitus, modal, dan arena untuk menggambarkan perjuangan aktor dalam memperoleh posisi pada ruang sosial. Arena Produksi Kultural dalam penelitian ini adalah Kampung Seni di Kampung Bumen. Kesenian tradisional berada dalam arena Kampung Seni di Kampung Bumen. Para aktor yang terdiri dari kelompok Purba Budoyo, kelompok Purba Makuta, dan kelompok Purba Swara dalam aktivitas seni mereka membentuk berbagai habitus. Kelompok Purba Budoyo membentuk habitus nabuh, lakon, nari, ngrawit, pentas, nyeni. Sedangkan kelompok Purba Makuta membentuk habitus nembang, pentas, dan nyeni. Sementara itu kelompok Purba Swara membentuk habitus nembang, mbabarserat, pentas, dan nyeni. Dengan modal berupa modal ekonomi, modal budaya, modal simbolik, dan modal sosial, para aktor tersebut mereproduksi kesenian tradisional berupa srandul, karawitan,tari-tarian tradisional kampung, ketoprak, sholawatan,dan macapatan dalam berbagai pementasan kesenian tradisional di Kampung Bumen. Berbagai modal tersebut dapat mendukung bahkan juga menghambat pengelolaan Kampung Seni di Kampung Bumen.
commit to user A. Pendahuluan
Modernitas hadir melanda kota sebagai arenanya, hal ini menjadikan budaya pop
turut mendominasi kebudayaan baru kota. Perombakan-perombakan yang dilakukan
sistem globalisasi bergerak atas semangat ideologi positivisme berdasar akal, kebenaran
empiris, universalitas, dan alasan-alasan kemajuan yang sangat memihak pada
kepentingan aktivitas materiil (Giddens, 2001: 14). Semua aktivitas kota dalam sistem
globalisasi kemudian dipahami berjalan apa adanya, bahkan tanpa tujuan, manfaat,
praktis, dan dehumanis.Kota sebagai wajah peradaban dunia dan arena lokomotif
modernisasi terus mengalami perubahan dan terkonstruksi berbagai konsepsi baru. Kota
Yogyakarta sebagai salah satu potret kota tua di Indonesia turut mengalami perubahan
baik fisik, sosial, ekonomi maupun kultural.
Modernitas yang sudah berkembang akibat sistem globalisasimulai mendominasi
karakter kebudayaan Kota Yogyakarta. Dalam kondisi tersebut, produksi kultural berupa
kesenian kini bermunculan dalam kelompok-kelompok kolektif masyarakat dan
komunitas seni, salah satunya berada di Kampung Bumen dengan identitasnya sebagai
Kampung Seni. Kampung Seni adalah sebuah konsep pemanfaatan lahan terbuka sesuai
dengan peruntukkannya, dimana pengolahan fungsi-fungsi dan kegiatan di dalamnya
menjadi sebuah langkah untuk mengangkat isu pelestarian kawasan budaya dalam
mengangkat citra kota (Yohannes, 2010: 34). Kampung Bumen adalah salah satu
kampung kota yang ada di Yogyakarta. Kampung Kota diartikan sebagai bentuk
pemukiman di wilayah perkotaan yang khas Indonesia dengan ciri antara lain: penduduk
masih membawa sifat dan prilaku kehidupan pedesaan yang terjalin dalam ikatan
kekeluargaan yang erat, kondisi fisik bangunan dan lingkungan kurang baik dan tidak
beraturan, kerapatan bangunan dan penduduk tinggi, sarana pelayanan dasar serba
kurang, seperti air bersih, saluran air limbah dan air hujan, pembuatan sampah dan
lainnya (Khudori, 2002: 7-8).
Identitas sebagai Kampung Seni tersebut menjadi arena dari berkembangnya
produksi kultural seni di Kampung Bumen. Produksi kultural di Kampung Bumen
menjadi bentuk reaktif atas kondisi kesenian di Kota Yogyakarta dimana ruang publik
bagi seni pertunjukan yang ada hampir tidak memberikan ruang bagi para pelaku seni di
Kampung Bumen untuk tampil di depan masyarakat luas, karena didominasi oleh
seniman dari institusi-institusi pendidikan seni. Inilah yang menjadikan
commit to user
kesenian tradisional dalam Produksi Kultural Kampung Senisebagai kantong produksi
kebudayaan baru di Kota Yogyakarta.
Produksi kultural merupakan sebuah proses aktif yang menegaskan
keberadaannya dalam kehidupan sosial sehingga mengharuskan adanya adaptasi bagi
kelompok yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda (Abdullah, 2010: 41).
Produksi Kultural Kampung Seni di Kampung Bumen dilakukan melalui hubungan
antara aktor dan struktur yang dijelaskan melalui habitus, modal, dan arena untuk
menggambarkan perjuangan aktor dalam memperoleh posisi pada ruang sosial. Habitus
menjadi dasar penggerak tindakan dan pemikiran sebagai kecenderungan sikap dan
skema klasifikasi generatif persepsi dan apresiasi atas praktik (Bourdieu, 2011:
174).Aktor memiliki modal yang darinya itulah praktik bisa dimungkinkan. Modal
adalah sekumpulan sumber kekuatan dan kekuasaan yang benar-benar dapat digunakan,
yang terdiri dari modal ekonomi, modal budaya, modal sosial, dan modal simbolik
(Bourdieu, 2012: 114). Berbagai modal tersebut berfungsi sebagai modal pendukung
bahkan juga modal penghambat dalam Produksi Kultural Kampung Seni di Kampung
Bumen khususnya untuk pengelolaan Kampung Seni di Kampung Bumen.
B. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan bentuk penelitian studi kasus tunggal, yaitu sebuah
prosedur penelitian yang terarah pada satu karakteristik, artinya penelitian ini hanya
dilakukan pada satu sasaran/lokasi (Sutopo, 2002: 112). Studi kasus termasuk dalam
jenis penelitian kualitatif, dimana penelitian kualitatif dalam penelitian sosial diartikan
sebagai salah satu pendekatan utama yang pada dasarnya adalah sebuah label atau nama
yang bersifat umum saja dari sebuah rumpun besar metodologi penelitian (Bungin, 2003:
19). Studi kasus relevan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan bersifat eksplanatoris
dan lebih mengarah ke penggunaan strategi-strategi studi kasus (Yin, 2005: 9).
Penelitian ini dilakukan di Kampung Bumen, Kelurahan Purbayan, Kecamatan
Kotagede, Kota Yogyakarta. Data bersumber dari informasi yang diperoleh langsung dari
informan, studi pustaka, dokumen tertulis, arsip dan data visual. Teknik pengumpulan
data menggunakan wawancara, observasi, dan dokumentasi. Pemilihan informan dipilih
secara purposive berdasarkan klasifikasi usia, kepengurusan organisasi, dan status sosial
dalam masyarakat. Adapun masyarakat sekitar di luar Kampung Bumen seperti
pejabat/pegawai instansi pemerintahan Kelurahan Purbayan maupun wisatawan dari
commit to user
teknik triangulasi sumber. Data dianalisis dengan analisis model interaktif melalui
reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan dan verifikasi.
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Penelitian inidilakukan di Kampung Bumen, Kelurahan Purbayan, Kotagede,
Yogyakarta. Kampung Bumen adalah salah satu Kampung Kota yang berada di
kawasan Kotagede. Kampung Bumen memiliki kesenian tradisional yang masih
terjaga eksistensinya hingga sekarang meskipun pernah mengalami berbagai kondisi
sosial ekonomi masyarakat yang silih berganti. Terdapat 5 RT di Kampung Bumen,
di antaranya RT 23, 24, 25, 26, dan 27.
Secara keseluruhan wilayah Kelurahan Purbayan luas wilayahnya meliputi
83,4562 Ha, wilayah Utara dan Timur berbatasan langsung dengan Desa
Banguntapan Bantul, wilayah Selatan berbatasan dengan Desa Singosaren dan
Wirokerten dan wilayah Barat berbatasan dengan Kelurahan Prenggan Kotagede,
sementara Kampung Bumen terletak ±200m dari pusat perekonomian kecamatan, dan
±200m pula dari Ringroad Selatan dan dikelilingi oleh kampung-kampung industri
perak dan kerajinan lainnya sehingga warga Kampung Bumen mata pencaharian
utamanya adalah pekerja pada industri-industri rumahan, selain bekerja sebagai PNS
dan pedagang rumahan. Meskipun tingkat pendidikan rata-rata warganya setara SMP,
Kampung Bumen memiliki angkatan muda yang berpotensi. Kampung Bumen juga
mempunyai para pengrajin perak yang memang menjadi ciri khas Kotagede. Namun,
krisis moneter 1998 berimbas pada merosotnya sektor ini.
2. Hasil Penelitian
Produksi Kultural Kampung Seni di Kampung Bumen dilakukan melalui
hubungan antara aktor dan struktur yang dijelaskan melalui habitus, modal, dan
arena untuk menggambarkan perjuangan aktor dalam memperoleh posisi pada ruang
sosial. Habitus menjadi dasar penggerak tindakan dan pemikiran yang
mengkombinasikan disposisi sebagai kecenderungan sikap dan skema klasifikasi
generatif sebagai basis penilaian sistem skema produksi praktik sekaligus sistem
skema persepsi dan apresiasi atas praktik (Bourdieu, 2011: 174).
Aktor memiliki modal yang darinya itulah praktik bisa dimungkinkan. Modal
adalah sekumpulan sumber kekuatan dan kekuasaan yang benar-benar dapat
digunakan (Bourdieu, 2012: 114). Artinya, istilah modal dipakai untuk memetakan
commit to user
digolongkan ke dalam empat jenis yakni: modal ekonomi, modal budaya, modal
sosial, dan modal simbolik (Bourdieu, 1986: 243-248). Selanjutnya, arena produksi
kultural dalam penelitian ini adalah Kampung Seni di Kampung Bumen. Arena
dalam produksi kultural dipandang sebagai ruang sosial yang merupakan
keseluruhan tempat atau terjadinya proses interaksi sosial yang mana ruang tersebut
menghadirkan diri dalam bentuk aktor-aktor yang dilengkapi dengan berbagai ciri
berbeda namun secara sistematis terkait satu sama lain (Bourdieu, 2011: 176).
Aktor dalam Produksi Kultural Kampung Seni di Kampung Bumen
merupakan kelompok-kelompok kesenian seperti kelompok Purba Budoyo, Purba
Makuta, dan Purba Swara. Melalui ranah seni mereka masing-masing seperti
srandul, karawitan, tari-tarian tradisional kampung, ketoprak, sholawatan, dan
macapatan, para pelaku seni membentuk habitus masing-masing di ranah seni
tersebut. Habitus-habitus tersebut terbentuk dengan proses panjang dalam kehidupan
mereka masing-masing. Dengan adanya arena Kampung Seni di Kampung Bumen,
modal-modal yang ada kemudian teridentifikasi menyertai Produksi Kultural
Kampung Seni di Kampung Bumen. Modal-modal dalam Produksi Kultural
Kampung Seni di Kampung Bumen meliputi modal budaya, modal sosial, modal
ekonomi, dan modal simbolik.
Kelompok Purba Budoyo di Kampung Bumen dalam perjalanan seninya
membentuk berbagai habitus dari para pelaku seni di dalamnya. Pada ranah kesenian
srandul misalnya, para pelaku seni membentuk habitus nari sebagai habitus yang
dibutuhkan pemain srandul dalam memainkan kesenian srandul. Habitus nari
terbentuk dalam pola-pola latihan rutin para pelaku seni srandul. Setelah habitus
nari terbangun, kemudian muncul pula habitus lakon yaitu habitus yang dibutuhkan
pemain srandul untuk memaknai peran dan cerita dalam memainkan kesenian
srandul. Habitus lakon ini terbentuk dalam pemaknaan para pelaku seni srandul
yang berlatih memaknai tokoh yang dimainkan agar maksimal dapat berada pada
ranah srandul sebagai pemain. Lebih lanjut, aktivitas srandul pada Kampung Seni di
Kampung Bumen membentuk habitus pentas yakni habitus yang dibutuhkan untuk
tampil dalam pementasan kesenian srandul. Habitus ini terbentuk untuk mendukung
rangsangan para pelaku seni yang sudah berlatih dengan baik dan ingin melakukan
pementasan sebagai wujud ekspresi seninya.
Modal budaya pada pelaku seni di kesenian srandul merupakan seperangkat
commit to user
dari pembelajaran di lingkungan keluarga dan kemasyarakatan Kampung Bumen,
serta dari komunitas seni di luar Kampung Bumen.
Pelaku seni di ranah karawitan sendiri membentuk habitus nabuh yaitu
habitus yang dibutuhkan penabuh dalam memainkan gamelan pada karawitan.
Seiring proses latihan dan interaksi yang berlangsung pada ranah ini, para pelaku
seni selanjutnya membentuk habitus ngrawit yaitu habitus yang dibutuhkan
pengrawit dalam bermain kesenian karawitan. Semakin mahirnya para pelaku seni,
kemudian muncul keinginan untuk mengadakan pementasan dari kesenian karawitan
yang kemudian terbentuklah habitus pentas yakni habitus yang dibutuhkan untuk
tampil dalam pementasan kesenian karawitan. Modal budaya pada ranah karawitan
sendiri berwujud seperangkat pengetahuan yang diperoleh para pelaku seni dari
pembelajaran di lingkungan keluarga dan kemasyarakatan Kampung Bumen, serta
dari komunitas seni di luar Kampung Bumen.
Bagi pelaku seni di ranah tari-tarian tradisional kampung sendiri tentunya
dengan berbagai aktivitasnya membentuk habitus nari yaitu habitus yang dibutuhkan
penari dalam menarikan tari-tarian. Setelah mahir dengan kebiasaan menari, maka
terbangun habitus pentas yakni habitus yang dibutuhkan penari untuk tampil dalam
pementasan tari-tarian. Seiring terbiasanya pelaku seni dengan berbagai pementasan,
kemudian beberapa pelaku seni mampu membentuk habitus nyeni yaitu habitus yang
dibutuhkan penari untuk memberikan kreasi dan cipta seni pada tari-tarian di
Kampung Bumen. Habitus ini tidak dimiliki setiap orang, karena membutuhkan
perjalanan yang panjang serta kemahiran dari seorang aktor dalam membentuknya.
Habitus ini dimiliki oleh Bapak Basis Hargito dan Anter Asmorotedjo yang juga
sebagai pelatih di kesenian tari. Bagi pelaku seni tari-tarian tradisional kampung
sendiri memperoleh pengetahuan seni tari bisa dari pendidikan formal di sekolah dan
pendidikan tari di Kampung Bumen berwujud pengetahuan dalam kesenian tari
dalam kegiatan latihan seni tari yang diselenggarakan oleh Kampung Seni di
Kampung Bumen. Dapat dikatakan bahwa latihan di Kampung Bumen sebagai kelas
tambahan bagi pelaku seni yang sudah memiliki modal budaya dari pendidikan
formal.
Para pelaku seni di ranah ketoprak juga membentuk habitus mereka sendiri di
ranahnya, dengan adanya latihan secara teratur para pelaku seni di ranah ini
membentuk habitus lakon yaitu habitus yang dibutuhkan pemain ketoprak untuk
commit to user
membentuk habitus lakon tadi menjadi rangsangan para pelaku seni untuk mulai
ingin berada pada dunia pementasan dengan habitus pentas sebagai habitus yang
dibutuhkan untuk tampil dalam pementasan kesenian ketoprak. Seniman dengan
kemampuan lebih dan perjalanan seni yang panjang selanjutnya mampu membentuk
habitus nyeni yaitu sebuah habitus yang dibutuhkan pelaku seni ketoprak untuk
memberikan kreasi pada cerita pementasan ketoprak. Modal budaya berupa
pengetahuan bagi para pelaku seni di ranah ini diperoleh para pelaku seni dari
pembelajaran di lingkungan keluarga dan kemasyarakatan Kampung Bumen karena
seniman ketoprak banyak dimiliki oleh Kampung Bumen, sedangkan pengetahuan
dari komunitas seni di luar Kampung Bumen sendiri berwujud pengetahuan dan
pembelajaran kesenian ketoprak serta perkembangannya di Kota Yogyakarta.
Modal sosial pada pelaku seni di kelompok Purba Budoyo merupakan
berbagai bentuk jaringan ataupun koneksi yang dibangun oleh para pelaku seni
kelompok Purba Budoyo dengan berbagai pihak. Modal sosial tersebut meliputi
solidaritas serta gotong royong yang kuat antar pelaku seni dan membangun jaringan
yang baik dengan Pemerintah setempat (Kelurahan Purbayan, Kecamatan Kotagede,
dan Kota Yogyakarta), kelompok seni lain di Kampung Bumen (Purba Makuta dan
Purba Swara), serta komunitas seni di Yogyakarta (YPR dan Ketjilbergerak). Modal
ekonomi sendiri pada kelompok Purba Budoyo nampak pada tempat latihan dan
pementasan (pendopo dan area outdoor), kostum, serta make up rias yang diperoleh
dari milik pribadi warga Kampung Bumen, kemudian alat musik gamelan diperoleh
dari dana kas RW 06 Kampung Bumen, sementara dana latihan diperoleh dari iuran
antar anggota serta dana bantuan dari Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta, untuk
sound pementasan diperoleh dari dana kas RW 06 Kampung Bumen, untuk lampu
pementasan sendiri diperoleh dari milik pribadi warga Kampung Bumen ditambah
dengan sewa dari luar Kampung Bumen. Sebenarnya Kampung Bumen memiliki
kemampuan untuk membeli sendiri lampu untuk pementasan, namun alasan
pemeliharaan dan tanggung jawab terhadap lampu-lampu tersebut yang menjadi
alasan untuk tetap memilih sewa lampu pementasan. Kemudian pendapatan sisa
hasil pementasan akan dikumpulkan sebagai tabungan kelompok Purba Budoyo, hal
ini didasari akan kesadaran para anggota karena sebagian besar kesenian di
kelompok Purba Budoyo adalah kesenian beregu sehingga membutuhkan dana yang
commit to user
Untuk modal simbolik kelompok Purba Budoyo sendiri meliputi mulai dari
keberadaan kesenian srandul yang menjadi kesenian unggulan di Kampung Bumen,
figur pelaku seni seperti Bapak Basis Hargito dan Anter Asmorotedjo sebagai
seniman di tingkat nasional maupun internasional yang memungkinkan adanya
reproduksi kesenian tradisional di Kampung Bumen, serta keberadaan kesenian
tradisional kampung di kelompok Purba Budoyo dengan sejarah Lembaga Kesenian
Rakyat (LEKRA) yang menarik bagi wisatawan karena memiliki nilai historis.
Kuliner khas roti kembang waru juga tergolong sebagai modal simbolik karena
keberadaannya yang hanya terdapat di Kampung Bumen saja dan selalu dijadikan
hidangan wajib pada setiap pementasan kelompok Purba Budoyo.
Bagi pelaku seni di kelompok Purba Makuta dalam ranah sholawatan sendiri
dengan latihan dan aktivitas seninya mulai membentuk habitus nembang yaitu
habitus yang dibutuhkan pelaku seni sholawatan dalam menembangkan naskah
sholawatan. Latihan dan kebiasaan nembang menjadi hal penting dalam kesenian ini
yang berujung pembentukan habitus pentas yaitu habitus yang dibutuhkan pelaku
seni sholawatan untuk tampil dalam pementasan kesenian sholawatan ketika sudah
mulai terbiasa dengan nembang sholawatan pada ranah ini. Lebih lanjut, bagi pelaku
seni yang sudah mahir dan lekat dengan sholawatan dengan kemampuan terlatihnya
dapat membentuk habitus nyeni yaitu habitus yang dibutuhkan pelaku seni
sholawatan untuk memberikan kreasi pada tembang naskah sholawatan. Pada
umumnya pengetahuan mengenai kesenian sholawatan diperoleh para pelaku seni
dari lingkungan sosial Kampung Bumen berwujud pengetahuan tentang kesenian
sholawatan. Pengetahuan ini berawal dari kebiasaan mereka yang tinggal di
Kampung Bumen kemudian terbiasa mendengarkan sholawatan yang sudah lebih
awal dimainkan para generasi tua Kampung Bumen.
Lebih lanjut, pada kelompok Purba Makuta di ranah seni sholawatan,
terdapat modal sosial berupa solidaritas antar pelaku seni dan jaringan yang baik
dengan pemerintah kota. Jaringan dalam hal ini dijaga untuk tetap mendapat
dukungan serta ruang kesenian yang luas dari berbagai pihak bagi kelompok Purba
Makuta di Kampung Bumen. Sedangkan modal ekonomi meliputi dana latihan,
kostum, tempat latihan, serta seperangkat rebana yang diperoleh dari iuran antar
anggota. Untuk modal simbolik pada kelompok ini berupa prestasi kelompok Purba
commit to user
Untuk pelaku seni kelompok Purba Swara pada ranah macapatan juga
dengan aktivitas seninya membentuk habitus nembang yaitu habitus yang
dibutuhkan pelaku seni macapatan dalam menembangkantembang macapat. Jika
telah terbiasa dan mahir dengan tembang macapat, para pelaku seni membangun
kelas mbabar serat dengan habitus mbabarserat yakni habitus yang dibutuhkan
untuk mbabar serat (mengurai pelajaran dan pembelajaran kandungan/isi) dalam
tembang macapat di Kampung Bumen. Dari kelas mbabar serat inilah para pelaku
seni semakin terbiasa dengan macapatan dan semakin percaya diri untuk tampil
pada pementasan Kampung Seni di Kampung Bumen disertai membentuk habitus
pentas sebagai habitus yang dibutuhkan pelaku seni macapatan untuk tampil dalam
pementasan kesenian macapatan. Seiring dengan perjalanannya, maka para pelaku
seni di ranah macapatan mulai membentuk habitus nyeni sebagai habitus yang
dibutuhkan pelaku seni macapatan untuk memberikan kreasi pada tembang dalam
kesenian macapatan dengan kemampuan yang dimilikinya. Pengetahuan mengenai
kesenian macapatan sebagai modal budaya diperoleh para pelaku seni dari
pendidikan formal sekolah dan lingkungan sosial Kampung Bumen berwujud
pengetahuan tentang kesenian macapatan.
Memiliki solidaritas antar pelaku seni dan jaringan yang baik dengan
pemerintah kota serta kampung-kampung lain menjadi modal sosial kelompok
Purba Swara dalam Produksi Kultural Kampung Seni di Kampung Bumen.
Terjaganya solidaritas antar pelaku seni menjadi bekal utama untuk menumbuhkan
kecintaan pada Kampung Bumen. Dengan adanya jaringan dengan kampung lain,
maka akan menambah ruang berkesenian dari kelompok Purba Swara di luar
Kampung Bumen. Modal ekonomi di kelompok ini berupa dana latihan yang
diperoleh dari kas RW 06 Kampung Bumen, sedangkan kostum diperoleh dari iuran
antar anggota macapatan. Sementara untuk kostum dari kelompok Purba Swara
iuran dilakukan setiap akan melakukan pembelian bahan kain kostum, tabungan dari
kelompok ini sendiri berfungsi sebagai dana tetap untuk kebutuhan lain.
Figur Bapak Topo Harjono sebagai Ketua RW yang mahir dalam kesenian
macapatan di Kelurahan Purbayan menjadi modal simbolik karena tidak semua
Ketua RW di Kelurahan Purbayan mahir dalam kesenian ini. Hal ini sebagai
keteladanan bagi para pelaku seni tentang bagaimana seorang pemimpin terlibat
langsung dalam kegiatan Kampung Seni di Kampung Bumen, tidak sekedar
commit to user
Adanya berbagai pementasan kesenian tradisional di Kampung Bumen
tersebut merupakan upaya reproduksi kesenian tradisional yang dilakukan oleh para
aktor. Hal ini dilakukan untuk memelihara dan melestarikan kesenian tradisional di
Kampung Bumen. Reproduksi yang dilakukan berupa pementasan kembali kesenian
tradisional yang dahulu pernah berkembang pesat seperti srandul misalnya. Begitu
pula pada ranah ketoprak dan tari-tarian tradisional kampung, kelompok yang tampil
memainkan tema-tema serta tarian yang sudah populer dikenal masyarakat, namun
saat-saat tertentu juga menampilkan tema serta tarian yang sudah mendapat
aransemen baru. Dalam pentas macapatan dan sholawatan sendiri serat-serat kuno
yang sudah jarang dipublikasikan, dibacakan kembali oleh kelompok macapat
Purba Swara dan sholawatan Purba Makuta.
Kampung Seni di Kampung Bumen sebagai arena dari produksi kultural yang
ada di Kampung Bumen berkembang dengan berbagai pementasan kesenian
tradisional yang dipentaskan di dalamnya. Pementasan tersebut dipublikasikan
melalui informasi dari pemerintah kota kepada masyarakat, web Kampung Bumen,
dan juga informasi dari mulut ke mulut secara langsung kepada jaringan yang sudah
dibangun oleh organisasi Kampung Seni di Kampung Bumen sebagai upaya
pemeliharaan relasi untuk mendukung eksistensi dari Kampung Seni di Kampung
Bumen.
3. Pembahasan
Produksi Kultural Kampung Seni di Kampung Bumen tentunya didukung
oleh berbagai modal di dalamnya. Modal dalam produksi kultural dipakai untuk
memetakan hubungan-hubungan kekuatan dan kekuasaan dalam masyarakat
(Jenkins, 2010: 107). Adapun modal tersebut yaitu modal budaya, modal sosial,
modal ekonomi, serta modal simbolik. Modal dalam Produksi Kultural Kampung
Seni di Kampung Bumen tentunya menjadi dimensi pendukung bahkan juga dapat
menjadi dimensi penghambat dalam pengelolaan Kampung Seni di Kampung
Bumen.
Kelompok Purba Budoyo dengan modal budayanya berupa pengetahuan
dalam berkesenian yang dimiliki para pelaku seni di dalamnya dapat menjadi modal
pendukung bagi pengelolaan Kampung Seni di Kampung Bumen karena para pelaku
seni dengan pengetahuan serta pemahamannya akan mampu berperan dalam
Kampung Seni secara maksimal. Di sisi lain, pengetahuan sebagai modal budaya ini
commit to user
seni dipahami serta dimaknai pelaku seni secara kaku sehingga timbul perpecahan
dan menghambat kemajuan kesenian tradisional di Bumen. Misalnya dalam ranah
seni srandul, kesenian ini merupakan kesenian yang sudah hampir punah di
Yogyakarta dan dalam ceritanya hanya terpaku pada beberapa judul cerita yang
baku, apabila kelompok kesenian yang tergabung di dalamnya ini tidak mau
menyesuaikan diri dengan perkembangan seni di Yogyakarta, tentunya hal ini dapat
menghambat pengelolaan Kampung Seni di Kampung Bumen. Cerita yang selalu
ditampilkan akan menjadikan wisatawan dan penonton jenuh sehingga berdampak
pada mundurnya animo masyarakat dalam menyaksikan pementasan Kampung Seni
di Kampung Bumen. Di samping itu, para pelaku seni juga akan merasa jenuh
dengan cerita yang diperankan, bahkan memungkinkan mereka merasa sudah hafal
dengan peran tersebut sehingga mengurangi intensitasnya dalam berlatih yang
berujung pada kurang maksimalnya pementasan yang dilakukan. Nampaknya ini
yang mulai dirasakan para pelaku seni di Kampung Bumen dari golongan muda
yang menganggap dominasi pelaku seni dari golongan tua dengan pengetahuan seni
yang kaku itulah yang menjadikan Kampung Seni di Kampung Bumen sampai pada
tahun 2015 kurang berjalan baik pengelolaannya.
Memiliki solidaritas serta gotong royong yang kuat antar pelaku seni dan
jaringan yang baik dengan pemerintah kota setempat, kelompok seni lain di
Kampung Bumen, dan berbagai Komunitas seni di Yogyakarta sebagai modal sosial
bagi kelompok Purba Budoyo tentunya dapat mendukung dari pengelolaan
Kampung Seni di Kampung Bumen karena para pelaku seni dapat lebih memiliki
ruang berkesenian serta tambahan modal ekonomi untuk Kampung Seni di Kampung
Bumen. Sebagai contoh jaringan yang dibangun oleh kelompok ini dengan Yayasan
Pondok Rakyat dan komunitas Ketjilbergerak menjadikan kelompok seni ini sering
dirangkul untuk ikut serta dalam berbagai festival kesenian yang ada di Yogyakarta
sehingga kelompok ini memiliki tambahan pangalaman dan ruang berkesenian yang
lebih luas. Namun di sisi lain, modal ini dapat juga sebagai modal penghambat bagi
pengelolaan Kampung Seni di Kampung Bumen jika hubungan yang dibangun
dengan berbagai pihak tidak disertai kepercayaan dan pemeliharaan hubungan baik
sehingga kelompok seni ini kekurangan materi dana (modal ekonomi) karena
pementasan yang dilakukan tidak didukung oleh berbagai pihak, sehingga
commit to user
Tempat latihan dan tempat pementasan berupa pendopo dan area outdoor,
kostum, make up rias, alat musik gamelan, dana latihan, dana bantuan sosial dari
Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta, sound pementasan, lampu pementasan, serta
tabungan Purba Budoyo dapat sebagi modal ekonomi tentunya dapat mendukung
dari pengelolaan Kampung Seni di Kampung Bumen karena modal inilah yang
menjadi modal utama pementasan Kampung Seni di Bumen. Di sisi lain, berbagai
modal ekonomi yang dimiliki ini tentunya juga dapat berubah menjadi modal yang
menghambat jika disalahgunakan oleh beberapa pelaku seni yang terlibat dalam
pengelolaan Kampung Seni di Bumen karena mudah memicu kerenggangan antar
anggota, sehingga perlu tanggung jawab serta transparansi sistem dari pelaku seni
yang terlibat dalam organisasi pengelolaan Kampung Seni di Kampung Bumen.
Lebih lanjut, modal simbolik kelompok Purba Budoyo yang memiliki
kesenian srandul sebagai kesenian unggulan di Kampung Bumen, prestasi pelaku
seni seperti Bapak Basis Hargito dan puteranya yaitu Anter Asmorotedjo sebagai
seniman dengan prestasi di tingkat nasional maupun internasional, serta sejarah
Lembaga Kesenian Rakyat (LEKRA), dan roti kembang waru juga dapat menjadi
modal simbolik yang mendukung eksistensi Produksi Kultural Kampung Seni di
Kampung Bumen karena menjadi ciri khas penarik wisatawan datang ke Kampung
Bumen. Hal ini dibuktikan dengan berbagai wisatawan yang datang ke Kampung
Bumen karena ketertarikannya terhadap srandul dan keberadaan roti kembangwaru
yang hanya dimiliki Kampung Bumen di Yogyakarta. Di lain hal, modal simbolik ini
dapat juga sebagai modal yang menghambat bagi pengelolaan Kampung Seni di
Kampung Bumen karena dominasi beberapa pelaku seni justru dapat mengancam
reproduksi budaya di bidang kesenian tradisional jika pelaku seni tersebut tiba-tiba
meninggal dunia (wafat) sedangkan regenerasi tidak berjalan baik. Kemudian,
srandul sebagai kesenian unggulan juga dapat memicu munculnya ketergantungan
yang berdampak pada kesenian lain di Kampung Bumen. Hal ini sudah dirasakan
pada kelompok seni di ranah tari-tarian tradisional kampung dengan Anter
Asmorotedjo sebagai pelatih tarinya. Ketika pelatihnya tersebut sedang ada
pementasan di luar negeri, para pelaku seni tari kehilangan pelatih yang akibatnya
penampilan tari menjadi kurang maksimal dan kurang mendapatkan waktu
penampilan yang cukup karena hanya menampilkan penari-penari kampung dengan
commit to user
Bagi kelompok Purba Makuta di ranah sholawatan sendiri pengetahuan
mengenai kesenian sholawatan sebagai modal budaya yang dimiliki para pelaku seni
tentunya dapat mendukung dari pengelolaan Kampung Seni di Kampung Bumen
karena pengetahuan tersebut dapat menjadikan pelaku seni lebih maksimal dalam
beraktivitas di ranah seni ini. Naskah dan ajaran yang ada dalam seni sholawatan
banyak yang mengajarkan tentang tanggung jawab, hal ini jika dimaknai dengan
baik akan mampu mendorong sikap tanggung jawab dari para pelaku seni dan
pengelola Kampung Seni di Kampung Bumen. Di sisi lain, pengetahuan mengenai
seni sholawatan juga dapat menghambat pengelolaan Kampung Seni jika
pengetahuan itu salah dimaknai dan justru dapat memicu ketegangan dengan pelaku
seni lain yang dianggap aktivitas seninya tidak sesuai ajaran agama, atau dalam kata
lain pemaknaan pengetahuan yang kaku akan memicu/memunculkan fanatisme
agama yang berdampak pada munculnya kerenggangan antar kelompok seni di
Kampung Bumen. Hal ini juga mulai nampak terjadi di Kampung Bumen ketika
beberapa pelaku seni di sholawatan sempat beberapa kesempatan tidak ikut serta
dalam pementasan Kampung Seni di Kampung Bumen dikarenakan anggapan
mereka yang menganggap srandul penuh dengan syarat mistis dan tidak sesuai
dengan ajaran agama yang mereka anut yaitu Islam.
Memiliki solidaritas antar pelaku seni untuk menjaga gotong royong dan
memiliki jaringan yang baik dengan pemerintah kota untuk tetap mendapatkan
dukungan serta ruang berkesenian bagi kelompok Purba Makuta sebagai modal
sosial yang tentunya mendukung eksistensi berkesenian kelompok ini serta dapat
pula mendukung dari pengelolaan Kampung Seni di Bumen. Sebagai contoh
keikutsertaan Purba Makuta dalam event-event pariwisata Kota Yogyakarta dan
pemasangan patok di sekaten Yogyakarta secara rutin menjadikan kelompok
sholawatan ini memiliki prestasi dan lebih dikenal masyarakat Kota Yogyakarta
dibanding kelompok seni lain di Kampung Bumen. hal ini berdampak pada
terjaganya eksistensi berkesenian kelompok Purba Makuta karena masih memiliki
aktivitas seni di masyarakat. Namun di sisi lain, modal sosial berupa jaringan yang
tidak disertai dengan upaya pemeliharaan kepercayaan justru dapat menghambat
pengelolaan Kampung Seni di Kampung Bumen karena hal itu dapat
menghilangkan/meruntuhkan relasi dengan berbagai pihak yang sudah menjalin
commit to user
Dana latihan, kostum, tempat latihan, serta seperangkat rebana yang menjadi
modal ekonomi kelompok Purba Makuta dapat mendukung pengelolaan Kampung
Seni di Kampung Bumen karena berbagai fasilitas tersebut merupakan hal mendasar
bagi aktivitas sholawatan Kampung Bumen dan tidak menjadi ketergantungan bagi
kelompok ini pada pihak lain dalam aktivitas seninya karena semuanya diperoleh
dari swadaya anggota dengan sistem iuran anggota. Sebagai contoh suatu ketika ada
pementasan Kampung Seni di Kampung Bumen, beberapa kelompok seni lain
sangat menggantungkan dana bantuan dari pemerintah setempat, namun jika terjadi
penundaan dana karena dana akan diberikan setelah usai pementasan, ini menjadikan
beberapa kelompok seni lain di Kampung Bumen kesulitan mencari modal ekonomi
untuk latihan serta sewa alat, namun hal ini tidak terjadi pada kelompok Purba
Makuta yang selalu memiliki tabungan dari iuran anggota untuk aktivitas seninya.
Modal ekonomi yang diperoleh dari swadaya mandiri kelompok Purba Makuta
Kampung Bumen dapat juga menjadi modal yang menghambat karena rentan
memicu kecemburuan sosial, jika terjadi kecemburuan maka dapat memicu
kerenggangan antar pelaku seni dan mengurangi solidaritas dalam mengelola
Kampung Seni di Kampung Bumen dan lebih lanjut dapat berpengaruh pada
integrasi sosial di Kampung Bumen.
Prestasi kelompok Purba Makuta yang sudah banyak diketahui oleh
masyarakat Yogyakarta menjadi modal simbolik yang dapat menarik wisatawan dan
berpengaruh pada pengelolaan Kampung Seni di Kampung Bumen. Namun
sebenarnya prestasi yang kemudian tidak diimbangi latihan rutin akan dapat
memunculkan perasaan tinggi hati yang memungkinkan berdampak pada kurangnya
intensitas latihan dan pementasan yang kurang maksimal. Hal ini dirasakan beberapa
pelaku seni yang menuturkan bahwa ada beberapa pelaku seni di ranah ini yang
merasa senior kurang aktif dalam latihan, sehingga mengakibatkan pementasan
pernah berjalan kurang selaras karena tidak kompak.
Sedangkan pada kelompok Purba Swara, pengetahuan dari macapatan
sebagai wujud modal budaya bagi kelompok ini akan menambah kecintaan para
pelaku seni terhadap kesenian di Kampung Bumen yang dapat membentuk loyalitas
dari pelaku seni sebagai bentuk modal dukungan bagi pengelolaan Kampung Seni di
Kampung Bumen. Hal ini dirasakan oleh Bapak Topo Harjono yang semakin cinta
dengan kampungnya hingga merelakan tanahnya dipergunakan sebagai area outdoor
commit to user
toleransi dan kecintaan pada kampung dari kandungan isi yang ada pada tembang
macapatan. Namun di sisi lain, pengetahuan ini dapat berubah menjadi modal yang
menghambat pengelolaan Kampung Seni jika dipahami secara sempit oleh para
pelaku seni sehingga hanya memikirkan keseniannya sendiri tanpa toleransi pada
kelompok seni lain di Kampung Bumen.
Memiliki solidaritas antar pelaku seni dan jaringan dengan pemerintah kota
serta kampung lain sebagai modal sosial akan mampu mendukung dari pengelolaan
Kampung Seni di Kampung Bumen karena dapat terjaga eksistensi kesenian ini di
Kampung Bumen dan menumbuhkan kecintaan pada Kampung Bumen. Kecintaan
pada Kampung Bumen dengan berbagai keseniannya mulai dirasakan oleh para
pelaku seni macapatan ketika tergabung dalam pementasan Aku Bangga Jadi Anak
Kampung dimana dalam pementasan tersebut merupakan pementasan pertama
kelompok Purba Swara di dunia pementasan kesenian tradisional. Hal inilah yang
menjadi dasar bagi kelompok ini selalu menjaga hubungan yang baik dengan
berbagai pihak dikarenakan kelompok seni ini menyadari bahwa mereka adalah
kelompok baru yang masih membutuhkan kelompok seni lain dalam mendukung
aktivitas seninya. Modal sosial ini dapat menjadi penghambat dari pengelolaan
Kampung Seni di Kampung Bumen ketika tidak disertai tanggung jawab dari
anggota, sehingga yang terjadi pelaku seni macapatan akan kekurangan ruang
berkesenian. Dapat dikatakan bahwa pemeliharaan pada jaringan yang dibangun
oleh kelompok Purba Swara menjadi tantangan yang harus dibuktikan dengan
tindakan karena kelompok ini terbilang sebagai kelompok seni baru di Kampung
Bumen.
Dana latihan dan kostum kelompok ini sendiri diperoleh dari iuran anggota
serta bantuan dana dari kas RW 06 Bumen karena kelompok ini masih baru di
Kampung Bumen, kemudian tabungan kelompok sebagai modal ekonomi berfungsi
sebagai dana tetap untuk kebutuhan lain tentunya dapat mendukung aktivitas
Kampung Seni di Kampung Bumen. Namun, modal ekonomi ini juga mampu
menghambat pengelolaan Kampung Seni di Kampung Bumen jika kelompok ini
selalu menggantungkan diri pada dana kas RW 06 Kampung Bumen saja dan
menjadikan kelompok ini tidak dapat mandiri. Kemudian figur Bapak Topo Harjono
sebagai Ketua RW yang mahir dalam kesenian macapatan di Kelurahan Purbayan
sebagai modal simbolik kelompok Purba Swara tentunya dapat menarik wisatawan
commit to user
di sekitar Kampung Bumen. Modal simbolik berupa figur dan prestasi salah satu
pelaku seni ini juga dapat menghambat pengelolaan Kampung Seni karena
reproduksi kesenian hanya bergantung pada tokoh yang paling berperan di ranah
seni ini dan dapat tentunya mengancam regenerasi serta reproduksi kesenian di
ranah macapatan ini. Hal ini terjadi di Kampung Bumen karena Bapak Topo
Harjono sendiri marasakan adanya ketergantungan dari para anggota pada beberapa
tokoh, sehingga macapatan dalam kelas mbabar serat dalam perjalanannya menjadi
bergantung pada beberapa tokoh sementara regenerasi dalam kesenian ini juga masih
kurang berjalan baik.
Kondisi-kondisi di atas itulah yang kemudian berusaha dipecahkan para aktor
di Kampung Bumen dengan berbagai cara seperti reproduksi kesenian tradisional,
regenerasi, dan menghadirkan kreasi serta kombinasi di beberapa kesenian
tradisional disertai modal yang dimiliki demi Produksi Kultural Kampung Seni di
Kampung Bumen dapat berjalan dengan baik.
D. Penutup
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka diperoleh kesimpulan
antara lain:
a. Produksi Kultural Kampung Seni di Kampung Bumen dilakukan oleh aktor
pelaku seni di Kampung Bumen seperti kelompok Purba Budoyo, Purba
Makuta, dan Purba Swara yang didukung oleh berbagai pihak yaitu Pemerintah,
Yayasan Pondok Rakyat (YPR) Yogyakarta, serta Komunitas Ketjilbergerak.
Aktor kesenian tradisional di Kampung Bumen mereproduksi kesenian
tradisional seperti srandul, ketoprak, karawitan, tari-tarian tradisional kampung,
sholawatan, dan macapatan dalam Produksi Kultural Kampung Seni di
Kampung Bumen. Habitus dari aktor kesenian tradisional di Kampung Bumen
tersebut adalah sebagai para pelaku seni dan pencipta seni.
b. Sebagai pelaku seni, para aktor dari kelompok Purba Budoyo, Purba Makuta,
dan Purba Swara membangun habitus nari, lakon, nabuh, ngrawit, nembang,
mbabarserat, dan pentas. Sedangkan sebagai pencipta seni, para aktor dari
kelompok Purba Budoyo, Purba Makuta, dan Purba Swara membentuk habitus
nyeni untuk mendukung eksistensi kesenian tradisional yang ada dalam
Kampung Seni di Kampung Bumen. Berbagai habitus ini terbangun dalam
commit to user
dengan latihan rutin dan pementasan kesenian tradisional pada Kampung Seni di
Kampung Bumen.
c. Berbagai modal (modal budaya, modal sosial, modal ekonomi, dan modal
simbolik) mengiringi pergerakan aktivitas seni para aktor dalam Produksi
Kultural Kampung Seni di Kampung Bumen. Modal yang dimiliki aktor
kesenian tradisional di Kampung Bumen turut berfungsi sebagai penunjang dan
penghambat dalam pengelolaan Kampung Seni di Kampung Bumen serta
berpengaruh pada reproduksi kesenian tradisional di Kampung Bumen. Modal
budaya berupa pengetahuan tentang kesenian tradisional. Modal sosial berupa
jaringan dan solidaritas yang dibangun aktor kesenian tradisional dengan
berbagai pihak. Sedangkan modal simbolik berupa prestasi dan labelling yang
melekat pada para aktor dalam pengalamannya selama berkesenian. Sementara
modal ekonomi berupa sumber pendanaan yang ada dalam setiap aktivitas seni
para pelaku seni di Kampung Bumen.
d. Kampung Seni di Kampung Bumen menjadi arena perjuangan para aktor dalam
mereproduksi kesenian tradisional sebagai alat Produksi Kultural Kampung Seni
di Kampung Bumen. Melalui habitus dan modal yang dimiliki, para aktor
memposisikan diri dan menentukan struktur arena kesenian tradisional pada
Kampung Seni di Kampung Bumen dengan berbagai ranah kesenian tradisional
yang ada di Kampung Bumen. Aktor kesenian tradisional mereproduksi
kesenian tradisional melalui berbagai pementasan Kampung Seni di Kampung
Bumen. Pentas ini merupakan pentas dengan konsep terbuka untuk umum
sebagai alat Produksi Kultural Kampung Seni di Kampung Bumen.
e. Reproduksi kesenian yang dilakukan berupa pementasan kembali kesenian
tradisional yang sudah ada dan berkembang di masyarakat Kampung Bumen
melalui beberapa tahapan meliputi perencanaan, pengorganisasian, dan
pergerakan. Tahap perencanaan terjadi pada rutinitas aktor dalam berkesenian.
Tahap pengorganisasian berlangsung dengan bentuk kolaborasi antar pelaku
seni di Kampung Bumen dalam penyelenggaraan pementasan Kampung Seni di
Kampung Bumen. sementara tahap pergerakan berupa pementasan berbagai
kesenian tradisional pada Kampung Seni di Kampung Bumen.
2. Saran
Berdasar pentingnya fungsi kesenian tradisional di Kampung Bumen, maka
commit to user
kandungan yang terdapat dalam setiap aktivitas kesenian tradisional. Meskipun
kesenian tradisional dapat berfungsi sebagai pendukung pariwisata di Yogyakarta,
namun hendaknya tidak perlu adanya kreasi dan kombinasi yang berlebihan dalam
kemasan dan pementasannya, agar nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat
tetap terjaga. Produksi Kultural Kampung Seni di Kampung Bumen dapat menjadi
contoh yang baik bagaimana menggerakkan kesadaran masyarakat serta pelaku seni
untuk melestarikan kesenian tradisional. Bagi kelompok kesenian tradisional, perlu
adanya penguatan jaringan sosial antar pelaku seni agar solidaritas dan
koordinasinya tetap terjaga di mata publik.
Daftar Pustaka
Abdullah, Irwan. 2010. Konstruksi Dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bourdieu, Pierre. 1986. The Form of Capital. dalam J.G Richardson (ed) Handbook of theory and research for the Sociology of Education. New York: Greenwood Press.
. 2011. Choses Dites: Uraian dan Pemikiran. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
. 2012. Arena Produksi Kultural Sebuah Kajian Sosiologi Budaya. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Giddens, Anthony. 2001. Runaway World: Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Jenkins, Richard. 2010. Membaca Pikiran Pierre Bourdieu. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Khudori, Darwis. 2002. Menuju Kampung Pemerdekaan. Yogyakarta: Yayasan Pondok Rakyat.
Sutopo, H. B. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press.
Yin, Robert K. 2005. Studi Kasus Desain & Metode alih bahasa oleh Djauzi Mudzakir. Jakarta: RajaGrafindo Persada.