• Tidak ada hasil yang ditemukan

[jurnal artikel-shubuha] PRODUKSI KULTURAL KAMPUNG SENI DI KAMPUNG BUMEN.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "[jurnal artikel-shubuha] PRODUKSI KULTURAL KAMPUNG SENI DI KAMPUNG BUMEN."

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

Produksi Kultural Kampung Seni di Kampung Bumen, Kelurahan Purbayan, Kecamatan Kotagede, Kota Yogyakarta

Shubuha Pilar Naredia Program Studi Sosiologi

Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret

Dosen Pembimbing: Dr. Argyo Demartoto, M.Si.

Dr. Bagus Haryono, M.Si.

Abstrak

Modernisasi hadir melanda kota sebagai arenanya, hal ini menjadikan budaya pop turut mendominasi kebudayaan baru di Kota Yogyakarta. Kondisi tersebut memicu tumbuhnya produksi kultural berupa kesenian yang bermunculan dalam kelompok-kelompok kolektif masyarakat dan komunitas seni, salah satunya berada di Kampung Bumen dengan identitasnya sebagai Kampung Seni. Kampung Seni di Kampung Bumen merupakan bentuk dari praktik Produksi Kultural di bidang kesenian. Maka, penelitian ini berfokus pada

Produksi Kultural Kampung Seni di Kampung Bumen. Penelitian ini bertujuan

menggambarkan Produksi Kultural Kampung Seni di Kampung Bumen melalui teori Produksi Kultural Pierre Bourdieu.

Penelitian ini merupakan studi kasus tunggal yang membahas Produksi Kultural Kampung Seni di Kampung Bumen, Kelurahan Purbayan, Kotagede, Yogyakarta. Data bersumber dariinformasi yang diperoleh langsung dari informan,studi pustaka, dokumen tertulis, arsip dan data visual. Teknik pengumpulan data menggunakanwawancara, observasi, dan dokumentasi. Pemilihan informan dipilih secara purposiveberdasarkan klasifikasi usia, kepengurusan organisasi, dan status sosial dalam masyarakat. Adapun masyarakat sekitar di luar Kampung Bumen seperti pejabat/pegawai instansi pemerintahan Kelurahan Purbayan maupun wisatawan dari masyarakat umum dengan klasifikasi usia tua dan muda sebagai validitas data dengan teknik triangulasi sumber. Data dianalisis dengan analisis model interaktif melalui reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan dan verifikasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Produksi Kultural Kampung Seni di Kampung Bumen dilakukan melalui hubungan antara aktor dan struktur yang dijelaskan melalui habitus, modal, dan arena untuk menggambarkan perjuangan aktor dalam memperoleh posisi pada ruang sosial. Arena Produksi Kultural dalam penelitian ini adalah Kampung Seni di Kampung Bumen. Kesenian tradisional berada dalam arena Kampung Seni di Kampung Bumen. Para aktor yang terdiri dari kelompok Purba Budoyo, kelompok Purba Makuta, dan kelompok Purba Swara dalam aktivitas seni mereka membentuk berbagai habitus. Kelompok Purba Budoyo membentuk habitus nabuh, lakon, nari, ngrawit, pentas, nyeni. Sedangkan kelompok Purba Makuta membentuk habitus nembang, pentas, dan nyeni. Sementara itu kelompok Purba Swara membentuk habitus nembang, mbabarserat, pentas, dan nyeni. Dengan modal berupa modal ekonomi, modal budaya, modal simbolik, dan modal sosial, para aktor tersebut mereproduksi kesenian tradisional berupa srandul, karawitan,tari-tarian tradisional kampung, ketoprak, sholawatan,dan macapatan dalam berbagai pementasan kesenian tradisional di Kampung Bumen. Berbagai modal tersebut dapat mendukung bahkan juga menghambat pengelolaan Kampung Seni di Kampung Bumen.

(2)

commit to user A. Pendahuluan

Modernitas hadir melanda kota sebagai arenanya, hal ini menjadikan budaya pop

turut mendominasi kebudayaan baru kota. Perombakan-perombakan yang dilakukan

sistem globalisasi bergerak atas semangat ideologi positivisme berdasar akal, kebenaran

empiris, universalitas, dan alasan-alasan kemajuan yang sangat memihak pada

kepentingan aktivitas materiil (Giddens, 2001: 14). Semua aktivitas kota dalam sistem

globalisasi kemudian dipahami berjalan apa adanya, bahkan tanpa tujuan, manfaat,

praktis, dan dehumanis.Kota sebagai wajah peradaban dunia dan arena lokomotif

modernisasi terus mengalami perubahan dan terkonstruksi berbagai konsepsi baru. Kota

Yogyakarta sebagai salah satu potret kota tua di Indonesia turut mengalami perubahan

baik fisik, sosial, ekonomi maupun kultural.

Modernitas yang sudah berkembang akibat sistem globalisasimulai mendominasi

karakter kebudayaan Kota Yogyakarta. Dalam kondisi tersebut, produksi kultural berupa

kesenian kini bermunculan dalam kelompok-kelompok kolektif masyarakat dan

komunitas seni, salah satunya berada di Kampung Bumen dengan identitasnya sebagai

Kampung Seni. Kampung Seni adalah sebuah konsep pemanfaatan lahan terbuka sesuai

dengan peruntukkannya, dimana pengolahan fungsi-fungsi dan kegiatan di dalamnya

menjadi sebuah langkah untuk mengangkat isu pelestarian kawasan budaya dalam

mengangkat citra kota (Yohannes, 2010: 34). Kampung Bumen adalah salah satu

kampung kota yang ada di Yogyakarta. Kampung Kota diartikan sebagai bentuk

pemukiman di wilayah perkotaan yang khas Indonesia dengan ciri antara lain: penduduk

masih membawa sifat dan prilaku kehidupan pedesaan yang terjalin dalam ikatan

kekeluargaan yang erat, kondisi fisik bangunan dan lingkungan kurang baik dan tidak

beraturan, kerapatan bangunan dan penduduk tinggi, sarana pelayanan dasar serba

kurang, seperti air bersih, saluran air limbah dan air hujan, pembuatan sampah dan

lainnya (Khudori, 2002: 7-8).

Identitas sebagai Kampung Seni tersebut menjadi arena dari berkembangnya

produksi kultural seni di Kampung Bumen. Produksi kultural di Kampung Bumen

menjadi bentuk reaktif atas kondisi kesenian di Kota Yogyakarta dimana ruang publik

bagi seni pertunjukan yang ada hampir tidak memberikan ruang bagi para pelaku seni di

Kampung Bumen untuk tampil di depan masyarakat luas, karena didominasi oleh

seniman dari institusi-institusi pendidikan seni. Inilah yang menjadikan

(3)

commit to user

kesenian tradisional dalam Produksi Kultural Kampung Senisebagai kantong produksi

kebudayaan baru di Kota Yogyakarta.

Produksi kultural merupakan sebuah proses aktif yang menegaskan

keberadaannya dalam kehidupan sosial sehingga mengharuskan adanya adaptasi bagi

kelompok yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda (Abdullah, 2010: 41).

Produksi Kultural Kampung Seni di Kampung Bumen dilakukan melalui hubungan

antara aktor dan struktur yang dijelaskan melalui habitus, modal, dan arena untuk

menggambarkan perjuangan aktor dalam memperoleh posisi pada ruang sosial. Habitus

menjadi dasar penggerak tindakan dan pemikiran sebagai kecenderungan sikap dan

skema klasifikasi generatif persepsi dan apresiasi atas praktik (Bourdieu, 2011:

174).Aktor memiliki modal yang darinya itulah praktik bisa dimungkinkan. Modal

adalah sekumpulan sumber kekuatan dan kekuasaan yang benar-benar dapat digunakan,

yang terdiri dari modal ekonomi, modal budaya, modal sosial, dan modal simbolik

(Bourdieu, 2012: 114). Berbagai modal tersebut berfungsi sebagai modal pendukung

bahkan juga modal penghambat dalam Produksi Kultural Kampung Seni di Kampung

Bumen khususnya untuk pengelolaan Kampung Seni di Kampung Bumen.

B. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan bentuk penelitian studi kasus tunggal, yaitu sebuah

prosedur penelitian yang terarah pada satu karakteristik, artinya penelitian ini hanya

dilakukan pada satu sasaran/lokasi (Sutopo, 2002: 112). Studi kasus termasuk dalam

jenis penelitian kualitatif, dimana penelitian kualitatif dalam penelitian sosial diartikan

sebagai salah satu pendekatan utama yang pada dasarnya adalah sebuah label atau nama

yang bersifat umum saja dari sebuah rumpun besar metodologi penelitian (Bungin, 2003:

19). Studi kasus relevan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan bersifat eksplanatoris

dan lebih mengarah ke penggunaan strategi-strategi studi kasus (Yin, 2005: 9).

Penelitian ini dilakukan di Kampung Bumen, Kelurahan Purbayan, Kecamatan

Kotagede, Kota Yogyakarta. Data bersumber dari informasi yang diperoleh langsung dari

informan, studi pustaka, dokumen tertulis, arsip dan data visual. Teknik pengumpulan

data menggunakan wawancara, observasi, dan dokumentasi. Pemilihan informan dipilih

secara purposive berdasarkan klasifikasi usia, kepengurusan organisasi, dan status sosial

dalam masyarakat. Adapun masyarakat sekitar di luar Kampung Bumen seperti

pejabat/pegawai instansi pemerintahan Kelurahan Purbayan maupun wisatawan dari

(4)

commit to user

teknik triangulasi sumber. Data dianalisis dengan analisis model interaktif melalui

reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan dan verifikasi.

C. Hasil Penelitian dan Pembahasan

1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian inidilakukan di Kampung Bumen, Kelurahan Purbayan, Kotagede,

Yogyakarta. Kampung Bumen adalah salah satu Kampung Kota yang berada di

kawasan Kotagede. Kampung Bumen memiliki kesenian tradisional yang masih

terjaga eksistensinya hingga sekarang meskipun pernah mengalami berbagai kondisi

sosial ekonomi masyarakat yang silih berganti. Terdapat 5 RT di Kampung Bumen,

di antaranya RT 23, 24, 25, 26, dan 27.

Secara keseluruhan wilayah Kelurahan Purbayan luas wilayahnya meliputi

83,4562 Ha, wilayah Utara dan Timur berbatasan langsung dengan Desa

Banguntapan Bantul, wilayah Selatan berbatasan dengan Desa Singosaren dan

Wirokerten dan wilayah Barat berbatasan dengan Kelurahan Prenggan Kotagede,

sementara Kampung Bumen terletak ±200m dari pusat perekonomian kecamatan, dan

±200m pula dari Ringroad Selatan dan dikelilingi oleh kampung-kampung industri

perak dan kerajinan lainnya sehingga warga Kampung Bumen mata pencaharian

utamanya adalah pekerja pada industri-industri rumahan, selain bekerja sebagai PNS

dan pedagang rumahan. Meskipun tingkat pendidikan rata-rata warganya setara SMP,

Kampung Bumen memiliki angkatan muda yang berpotensi. Kampung Bumen juga

mempunyai para pengrajin perak yang memang menjadi ciri khas Kotagede. Namun,

krisis moneter 1998 berimbas pada merosotnya sektor ini.

2. Hasil Penelitian

Produksi Kultural Kampung Seni di Kampung Bumen dilakukan melalui

hubungan antara aktor dan struktur yang dijelaskan melalui habitus, modal, dan

arena untuk menggambarkan perjuangan aktor dalam memperoleh posisi pada ruang

sosial. Habitus menjadi dasar penggerak tindakan dan pemikiran yang

mengkombinasikan disposisi sebagai kecenderungan sikap dan skema klasifikasi

generatif sebagai basis penilaian sistem skema produksi praktik sekaligus sistem

skema persepsi dan apresiasi atas praktik (Bourdieu, 2011: 174).

Aktor memiliki modal yang darinya itulah praktik bisa dimungkinkan. Modal

adalah sekumpulan sumber kekuatan dan kekuasaan yang benar-benar dapat

digunakan (Bourdieu, 2012: 114). Artinya, istilah modal dipakai untuk memetakan

(5)

commit to user

digolongkan ke dalam empat jenis yakni: modal ekonomi, modal budaya, modal

sosial, dan modal simbolik (Bourdieu, 1986: 243-248). Selanjutnya, arena produksi

kultural dalam penelitian ini adalah Kampung Seni di Kampung Bumen. Arena

dalam produksi kultural dipandang sebagai ruang sosial yang merupakan

keseluruhan tempat atau terjadinya proses interaksi sosial yang mana ruang tersebut

menghadirkan diri dalam bentuk aktor-aktor yang dilengkapi dengan berbagai ciri

berbeda namun secara sistematis terkait satu sama lain (Bourdieu, 2011: 176).

Aktor dalam Produksi Kultural Kampung Seni di Kampung Bumen

merupakan kelompok-kelompok kesenian seperti kelompok Purba Budoyo, Purba

Makuta, dan Purba Swara. Melalui ranah seni mereka masing-masing seperti

srandul, karawitan, tari-tarian tradisional kampung, ketoprak, sholawatan, dan

macapatan, para pelaku seni membentuk habitus masing-masing di ranah seni

tersebut. Habitus-habitus tersebut terbentuk dengan proses panjang dalam kehidupan

mereka masing-masing. Dengan adanya arena Kampung Seni di Kampung Bumen,

modal-modal yang ada kemudian teridentifikasi menyertai Produksi Kultural

Kampung Seni di Kampung Bumen. Modal-modal dalam Produksi Kultural

Kampung Seni di Kampung Bumen meliputi modal budaya, modal sosial, modal

ekonomi, dan modal simbolik.

Kelompok Purba Budoyo di Kampung Bumen dalam perjalanan seninya

membentuk berbagai habitus dari para pelaku seni di dalamnya. Pada ranah kesenian

srandul misalnya, para pelaku seni membentuk habitus nari sebagai habitus yang

dibutuhkan pemain srandul dalam memainkan kesenian srandul. Habitus nari

terbentuk dalam pola-pola latihan rutin para pelaku seni srandul. Setelah habitus

nari terbangun, kemudian muncul pula habitus lakon yaitu habitus yang dibutuhkan

pemain srandul untuk memaknai peran dan cerita dalam memainkan kesenian

srandul. Habitus lakon ini terbentuk dalam pemaknaan para pelaku seni srandul

yang berlatih memaknai tokoh yang dimainkan agar maksimal dapat berada pada

ranah srandul sebagai pemain. Lebih lanjut, aktivitas srandul pada Kampung Seni di

Kampung Bumen membentuk habitus pentas yakni habitus yang dibutuhkan untuk

tampil dalam pementasan kesenian srandul. Habitus ini terbentuk untuk mendukung

rangsangan para pelaku seni yang sudah berlatih dengan baik dan ingin melakukan

pementasan sebagai wujud ekspresi seninya.

Modal budaya pada pelaku seni di kesenian srandul merupakan seperangkat

(6)

commit to user

dari pembelajaran di lingkungan keluarga dan kemasyarakatan Kampung Bumen,

serta dari komunitas seni di luar Kampung Bumen.

Pelaku seni di ranah karawitan sendiri membentuk habitus nabuh yaitu

habitus yang dibutuhkan penabuh dalam memainkan gamelan pada karawitan.

Seiring proses latihan dan interaksi yang berlangsung pada ranah ini, para pelaku

seni selanjutnya membentuk habitus ngrawit yaitu habitus yang dibutuhkan

pengrawit dalam bermain kesenian karawitan. Semakin mahirnya para pelaku seni,

kemudian muncul keinginan untuk mengadakan pementasan dari kesenian karawitan

yang kemudian terbentuklah habitus pentas yakni habitus yang dibutuhkan untuk

tampil dalam pementasan kesenian karawitan. Modal budaya pada ranah karawitan

sendiri berwujud seperangkat pengetahuan yang diperoleh para pelaku seni dari

pembelajaran di lingkungan keluarga dan kemasyarakatan Kampung Bumen, serta

dari komunitas seni di luar Kampung Bumen.

Bagi pelaku seni di ranah tari-tarian tradisional kampung sendiri tentunya

dengan berbagai aktivitasnya membentuk habitus nari yaitu habitus yang dibutuhkan

penari dalam menarikan tari-tarian. Setelah mahir dengan kebiasaan menari, maka

terbangun habitus pentas yakni habitus yang dibutuhkan penari untuk tampil dalam

pementasan tari-tarian. Seiring terbiasanya pelaku seni dengan berbagai pementasan,

kemudian beberapa pelaku seni mampu membentuk habitus nyeni yaitu habitus yang

dibutuhkan penari untuk memberikan kreasi dan cipta seni pada tari-tarian di

Kampung Bumen. Habitus ini tidak dimiliki setiap orang, karena membutuhkan

perjalanan yang panjang serta kemahiran dari seorang aktor dalam membentuknya.

Habitus ini dimiliki oleh Bapak Basis Hargito dan Anter Asmorotedjo yang juga

sebagai pelatih di kesenian tari. Bagi pelaku seni tari-tarian tradisional kampung

sendiri memperoleh pengetahuan seni tari bisa dari pendidikan formal di sekolah dan

pendidikan tari di Kampung Bumen berwujud pengetahuan dalam kesenian tari

dalam kegiatan latihan seni tari yang diselenggarakan oleh Kampung Seni di

Kampung Bumen. Dapat dikatakan bahwa latihan di Kampung Bumen sebagai kelas

tambahan bagi pelaku seni yang sudah memiliki modal budaya dari pendidikan

formal.

Para pelaku seni di ranah ketoprak juga membentuk habitus mereka sendiri di

ranahnya, dengan adanya latihan secara teratur para pelaku seni di ranah ini

membentuk habitus lakon yaitu habitus yang dibutuhkan pemain ketoprak untuk

(7)

commit to user

membentuk habitus lakon tadi menjadi rangsangan para pelaku seni untuk mulai

ingin berada pada dunia pementasan dengan habitus pentas sebagai habitus yang

dibutuhkan untuk tampil dalam pementasan kesenian ketoprak. Seniman dengan

kemampuan lebih dan perjalanan seni yang panjang selanjutnya mampu membentuk

habitus nyeni yaitu sebuah habitus yang dibutuhkan pelaku seni ketoprak untuk

memberikan kreasi pada cerita pementasan ketoprak. Modal budaya berupa

pengetahuan bagi para pelaku seni di ranah ini diperoleh para pelaku seni dari

pembelajaran di lingkungan keluarga dan kemasyarakatan Kampung Bumen karena

seniman ketoprak banyak dimiliki oleh Kampung Bumen, sedangkan pengetahuan

dari komunitas seni di luar Kampung Bumen sendiri berwujud pengetahuan dan

pembelajaran kesenian ketoprak serta perkembangannya di Kota Yogyakarta.

Modal sosial pada pelaku seni di kelompok Purba Budoyo merupakan

berbagai bentuk jaringan ataupun koneksi yang dibangun oleh para pelaku seni

kelompok Purba Budoyo dengan berbagai pihak. Modal sosial tersebut meliputi

solidaritas serta gotong royong yang kuat antar pelaku seni dan membangun jaringan

yang baik dengan Pemerintah setempat (Kelurahan Purbayan, Kecamatan Kotagede,

dan Kota Yogyakarta), kelompok seni lain di Kampung Bumen (Purba Makuta dan

Purba Swara), serta komunitas seni di Yogyakarta (YPR dan Ketjilbergerak). Modal

ekonomi sendiri pada kelompok Purba Budoyo nampak pada tempat latihan dan

pementasan (pendopo dan area outdoor), kostum, serta make up rias yang diperoleh

dari milik pribadi warga Kampung Bumen, kemudian alat musik gamelan diperoleh

dari dana kas RW 06 Kampung Bumen, sementara dana latihan diperoleh dari iuran

antar anggota serta dana bantuan dari Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta, untuk

sound pementasan diperoleh dari dana kas RW 06 Kampung Bumen, untuk lampu

pementasan sendiri diperoleh dari milik pribadi warga Kampung Bumen ditambah

dengan sewa dari luar Kampung Bumen. Sebenarnya Kampung Bumen memiliki

kemampuan untuk membeli sendiri lampu untuk pementasan, namun alasan

pemeliharaan dan tanggung jawab terhadap lampu-lampu tersebut yang menjadi

alasan untuk tetap memilih sewa lampu pementasan. Kemudian pendapatan sisa

hasil pementasan akan dikumpulkan sebagai tabungan kelompok Purba Budoyo, hal

ini didasari akan kesadaran para anggota karena sebagian besar kesenian di

kelompok Purba Budoyo adalah kesenian beregu sehingga membutuhkan dana yang

(8)

commit to user

Untuk modal simbolik kelompok Purba Budoyo sendiri meliputi mulai dari

keberadaan kesenian srandul yang menjadi kesenian unggulan di Kampung Bumen,

figur pelaku seni seperti Bapak Basis Hargito dan Anter Asmorotedjo sebagai

seniman di tingkat nasional maupun internasional yang memungkinkan adanya

reproduksi kesenian tradisional di Kampung Bumen, serta keberadaan kesenian

tradisional kampung di kelompok Purba Budoyo dengan sejarah Lembaga Kesenian

Rakyat (LEKRA) yang menarik bagi wisatawan karena memiliki nilai historis.

Kuliner khas roti kembang waru juga tergolong sebagai modal simbolik karena

keberadaannya yang hanya terdapat di Kampung Bumen saja dan selalu dijadikan

hidangan wajib pada setiap pementasan kelompok Purba Budoyo.

Bagi pelaku seni di kelompok Purba Makuta dalam ranah sholawatan sendiri

dengan latihan dan aktivitas seninya mulai membentuk habitus nembang yaitu

habitus yang dibutuhkan pelaku seni sholawatan dalam menembangkan naskah

sholawatan. Latihan dan kebiasaan nembang menjadi hal penting dalam kesenian ini

yang berujung pembentukan habitus pentas yaitu habitus yang dibutuhkan pelaku

seni sholawatan untuk tampil dalam pementasan kesenian sholawatan ketika sudah

mulai terbiasa dengan nembang sholawatan pada ranah ini. Lebih lanjut, bagi pelaku

seni yang sudah mahir dan lekat dengan sholawatan dengan kemampuan terlatihnya

dapat membentuk habitus nyeni yaitu habitus yang dibutuhkan pelaku seni

sholawatan untuk memberikan kreasi pada tembang naskah sholawatan. Pada

umumnya pengetahuan mengenai kesenian sholawatan diperoleh para pelaku seni

dari lingkungan sosial Kampung Bumen berwujud pengetahuan tentang kesenian

sholawatan. Pengetahuan ini berawal dari kebiasaan mereka yang tinggal di

Kampung Bumen kemudian terbiasa mendengarkan sholawatan yang sudah lebih

awal dimainkan para generasi tua Kampung Bumen.

Lebih lanjut, pada kelompok Purba Makuta di ranah seni sholawatan,

terdapat modal sosial berupa solidaritas antar pelaku seni dan jaringan yang baik

dengan pemerintah kota. Jaringan dalam hal ini dijaga untuk tetap mendapat

dukungan serta ruang kesenian yang luas dari berbagai pihak bagi kelompok Purba

Makuta di Kampung Bumen. Sedangkan modal ekonomi meliputi dana latihan,

kostum, tempat latihan, serta seperangkat rebana yang diperoleh dari iuran antar

anggota. Untuk modal simbolik pada kelompok ini berupa prestasi kelompok Purba

(9)

commit to user

Untuk pelaku seni kelompok Purba Swara pada ranah macapatan juga

dengan aktivitas seninya membentuk habitus nembang yaitu habitus yang

dibutuhkan pelaku seni macapatan dalam menembangkantembang macapat. Jika

telah terbiasa dan mahir dengan tembang macapat, para pelaku seni membangun

kelas mbabar serat dengan habitus mbabarserat yakni habitus yang dibutuhkan

untuk mbabar serat (mengurai pelajaran dan pembelajaran kandungan/isi) dalam

tembang macapat di Kampung Bumen. Dari kelas mbabar serat inilah para pelaku

seni semakin terbiasa dengan macapatan dan semakin percaya diri untuk tampil

pada pementasan Kampung Seni di Kampung Bumen disertai membentuk habitus

pentas sebagai habitus yang dibutuhkan pelaku seni macapatan untuk tampil dalam

pementasan kesenian macapatan. Seiring dengan perjalanannya, maka para pelaku

seni di ranah macapatan mulai membentuk habitus nyeni sebagai habitus yang

dibutuhkan pelaku seni macapatan untuk memberikan kreasi pada tembang dalam

kesenian macapatan dengan kemampuan yang dimilikinya. Pengetahuan mengenai

kesenian macapatan sebagai modal budaya diperoleh para pelaku seni dari

pendidikan formal sekolah dan lingkungan sosial Kampung Bumen berwujud

pengetahuan tentang kesenian macapatan.

Memiliki solidaritas antar pelaku seni dan jaringan yang baik dengan

pemerintah kota serta kampung-kampung lain menjadi modal sosial kelompok

Purba Swara dalam Produksi Kultural Kampung Seni di Kampung Bumen.

Terjaganya solidaritas antar pelaku seni menjadi bekal utama untuk menumbuhkan

kecintaan pada Kampung Bumen. Dengan adanya jaringan dengan kampung lain,

maka akan menambah ruang berkesenian dari kelompok Purba Swara di luar

Kampung Bumen. Modal ekonomi di kelompok ini berupa dana latihan yang

diperoleh dari kas RW 06 Kampung Bumen, sedangkan kostum diperoleh dari iuran

antar anggota macapatan. Sementara untuk kostum dari kelompok Purba Swara

iuran dilakukan setiap akan melakukan pembelian bahan kain kostum, tabungan dari

kelompok ini sendiri berfungsi sebagai dana tetap untuk kebutuhan lain.

Figur Bapak Topo Harjono sebagai Ketua RW yang mahir dalam kesenian

macapatan di Kelurahan Purbayan menjadi modal simbolik karena tidak semua

Ketua RW di Kelurahan Purbayan mahir dalam kesenian ini. Hal ini sebagai

keteladanan bagi para pelaku seni tentang bagaimana seorang pemimpin terlibat

langsung dalam kegiatan Kampung Seni di Kampung Bumen, tidak sekedar

(10)

commit to user

Adanya berbagai pementasan kesenian tradisional di Kampung Bumen

tersebut merupakan upaya reproduksi kesenian tradisional yang dilakukan oleh para

aktor. Hal ini dilakukan untuk memelihara dan melestarikan kesenian tradisional di

Kampung Bumen. Reproduksi yang dilakukan berupa pementasan kembali kesenian

tradisional yang dahulu pernah berkembang pesat seperti srandul misalnya. Begitu

pula pada ranah ketoprak dan tari-tarian tradisional kampung, kelompok yang tampil

memainkan tema-tema serta tarian yang sudah populer dikenal masyarakat, namun

saat-saat tertentu juga menampilkan tema serta tarian yang sudah mendapat

aransemen baru. Dalam pentas macapatan dan sholawatan sendiri serat-serat kuno

yang sudah jarang dipublikasikan, dibacakan kembali oleh kelompok macapat

Purba Swara dan sholawatan Purba Makuta.

Kampung Seni di Kampung Bumen sebagai arena dari produksi kultural yang

ada di Kampung Bumen berkembang dengan berbagai pementasan kesenian

tradisional yang dipentaskan di dalamnya. Pementasan tersebut dipublikasikan

melalui informasi dari pemerintah kota kepada masyarakat, web Kampung Bumen,

dan juga informasi dari mulut ke mulut secara langsung kepada jaringan yang sudah

dibangun oleh organisasi Kampung Seni di Kampung Bumen sebagai upaya

pemeliharaan relasi untuk mendukung eksistensi dari Kampung Seni di Kampung

Bumen.

3. Pembahasan

Produksi Kultural Kampung Seni di Kampung Bumen tentunya didukung

oleh berbagai modal di dalamnya. Modal dalam produksi kultural dipakai untuk

memetakan hubungan-hubungan kekuatan dan kekuasaan dalam masyarakat

(Jenkins, 2010: 107). Adapun modal tersebut yaitu modal budaya, modal sosial,

modal ekonomi, serta modal simbolik. Modal dalam Produksi Kultural Kampung

Seni di Kampung Bumen tentunya menjadi dimensi pendukung bahkan juga dapat

menjadi dimensi penghambat dalam pengelolaan Kampung Seni di Kampung

Bumen.

Kelompok Purba Budoyo dengan modal budayanya berupa pengetahuan

dalam berkesenian yang dimiliki para pelaku seni di dalamnya dapat menjadi modal

pendukung bagi pengelolaan Kampung Seni di Kampung Bumen karena para pelaku

seni dengan pengetahuan serta pemahamannya akan mampu berperan dalam

Kampung Seni secara maksimal. Di sisi lain, pengetahuan sebagai modal budaya ini

(11)

commit to user

seni dipahami serta dimaknai pelaku seni secara kaku sehingga timbul perpecahan

dan menghambat kemajuan kesenian tradisional di Bumen. Misalnya dalam ranah

seni srandul, kesenian ini merupakan kesenian yang sudah hampir punah di

Yogyakarta dan dalam ceritanya hanya terpaku pada beberapa judul cerita yang

baku, apabila kelompok kesenian yang tergabung di dalamnya ini tidak mau

menyesuaikan diri dengan perkembangan seni di Yogyakarta, tentunya hal ini dapat

menghambat pengelolaan Kampung Seni di Kampung Bumen. Cerita yang selalu

ditampilkan akan menjadikan wisatawan dan penonton jenuh sehingga berdampak

pada mundurnya animo masyarakat dalam menyaksikan pementasan Kampung Seni

di Kampung Bumen. Di samping itu, para pelaku seni juga akan merasa jenuh

dengan cerita yang diperankan, bahkan memungkinkan mereka merasa sudah hafal

dengan peran tersebut sehingga mengurangi intensitasnya dalam berlatih yang

berujung pada kurang maksimalnya pementasan yang dilakukan. Nampaknya ini

yang mulai dirasakan para pelaku seni di Kampung Bumen dari golongan muda

yang menganggap dominasi pelaku seni dari golongan tua dengan pengetahuan seni

yang kaku itulah yang menjadikan Kampung Seni di Kampung Bumen sampai pada

tahun 2015 kurang berjalan baik pengelolaannya.

Memiliki solidaritas serta gotong royong yang kuat antar pelaku seni dan

jaringan yang baik dengan pemerintah kota setempat, kelompok seni lain di

Kampung Bumen, dan berbagai Komunitas seni di Yogyakarta sebagai modal sosial

bagi kelompok Purba Budoyo tentunya dapat mendukung dari pengelolaan

Kampung Seni di Kampung Bumen karena para pelaku seni dapat lebih memiliki

ruang berkesenian serta tambahan modal ekonomi untuk Kampung Seni di Kampung

Bumen. Sebagai contoh jaringan yang dibangun oleh kelompok ini dengan Yayasan

Pondok Rakyat dan komunitas Ketjilbergerak menjadikan kelompok seni ini sering

dirangkul untuk ikut serta dalam berbagai festival kesenian yang ada di Yogyakarta

sehingga kelompok ini memiliki tambahan pangalaman dan ruang berkesenian yang

lebih luas. Namun di sisi lain, modal ini dapat juga sebagai modal penghambat bagi

pengelolaan Kampung Seni di Kampung Bumen jika hubungan yang dibangun

dengan berbagai pihak tidak disertai kepercayaan dan pemeliharaan hubungan baik

sehingga kelompok seni ini kekurangan materi dana (modal ekonomi) karena

pementasan yang dilakukan tidak didukung oleh berbagai pihak, sehingga

(12)

commit to user

Tempat latihan dan tempat pementasan berupa pendopo dan area outdoor,

kostum, make up rias, alat musik gamelan, dana latihan, dana bantuan sosial dari

Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta, sound pementasan, lampu pementasan, serta

tabungan Purba Budoyo dapat sebagi modal ekonomi tentunya dapat mendukung

dari pengelolaan Kampung Seni di Kampung Bumen karena modal inilah yang

menjadi modal utama pementasan Kampung Seni di Bumen. Di sisi lain, berbagai

modal ekonomi yang dimiliki ini tentunya juga dapat berubah menjadi modal yang

menghambat jika disalahgunakan oleh beberapa pelaku seni yang terlibat dalam

pengelolaan Kampung Seni di Bumen karena mudah memicu kerenggangan antar

anggota, sehingga perlu tanggung jawab serta transparansi sistem dari pelaku seni

yang terlibat dalam organisasi pengelolaan Kampung Seni di Kampung Bumen.

Lebih lanjut, modal simbolik kelompok Purba Budoyo yang memiliki

kesenian srandul sebagai kesenian unggulan di Kampung Bumen, prestasi pelaku

seni seperti Bapak Basis Hargito dan puteranya yaitu Anter Asmorotedjo sebagai

seniman dengan prestasi di tingkat nasional maupun internasional, serta sejarah

Lembaga Kesenian Rakyat (LEKRA), dan roti kembang waru juga dapat menjadi

modal simbolik yang mendukung eksistensi Produksi Kultural Kampung Seni di

Kampung Bumen karena menjadi ciri khas penarik wisatawan datang ke Kampung

Bumen. Hal ini dibuktikan dengan berbagai wisatawan yang datang ke Kampung

Bumen karena ketertarikannya terhadap srandul dan keberadaan roti kembangwaru

yang hanya dimiliki Kampung Bumen di Yogyakarta. Di lain hal, modal simbolik ini

dapat juga sebagai modal yang menghambat bagi pengelolaan Kampung Seni di

Kampung Bumen karena dominasi beberapa pelaku seni justru dapat mengancam

reproduksi budaya di bidang kesenian tradisional jika pelaku seni tersebut tiba-tiba

meninggal dunia (wafat) sedangkan regenerasi tidak berjalan baik. Kemudian,

srandul sebagai kesenian unggulan juga dapat memicu munculnya ketergantungan

yang berdampak pada kesenian lain di Kampung Bumen. Hal ini sudah dirasakan

pada kelompok seni di ranah tari-tarian tradisional kampung dengan Anter

Asmorotedjo sebagai pelatih tarinya. Ketika pelatihnya tersebut sedang ada

pementasan di luar negeri, para pelaku seni tari kehilangan pelatih yang akibatnya

penampilan tari menjadi kurang maksimal dan kurang mendapatkan waktu

penampilan yang cukup karena hanya menampilkan penari-penari kampung dengan

(13)

commit to user

Bagi kelompok Purba Makuta di ranah sholawatan sendiri pengetahuan

mengenai kesenian sholawatan sebagai modal budaya yang dimiliki para pelaku seni

tentunya dapat mendukung dari pengelolaan Kampung Seni di Kampung Bumen

karena pengetahuan tersebut dapat menjadikan pelaku seni lebih maksimal dalam

beraktivitas di ranah seni ini. Naskah dan ajaran yang ada dalam seni sholawatan

banyak yang mengajarkan tentang tanggung jawab, hal ini jika dimaknai dengan

baik akan mampu mendorong sikap tanggung jawab dari para pelaku seni dan

pengelola Kampung Seni di Kampung Bumen. Di sisi lain, pengetahuan mengenai

seni sholawatan juga dapat menghambat pengelolaan Kampung Seni jika

pengetahuan itu salah dimaknai dan justru dapat memicu ketegangan dengan pelaku

seni lain yang dianggap aktivitas seninya tidak sesuai ajaran agama, atau dalam kata

lain pemaknaan pengetahuan yang kaku akan memicu/memunculkan fanatisme

agama yang berdampak pada munculnya kerenggangan antar kelompok seni di

Kampung Bumen. Hal ini juga mulai nampak terjadi di Kampung Bumen ketika

beberapa pelaku seni di sholawatan sempat beberapa kesempatan tidak ikut serta

dalam pementasan Kampung Seni di Kampung Bumen dikarenakan anggapan

mereka yang menganggap srandul penuh dengan syarat mistis dan tidak sesuai

dengan ajaran agama yang mereka anut yaitu Islam.

Memiliki solidaritas antar pelaku seni untuk menjaga gotong royong dan

memiliki jaringan yang baik dengan pemerintah kota untuk tetap mendapatkan

dukungan serta ruang berkesenian bagi kelompok Purba Makuta sebagai modal

sosial yang tentunya mendukung eksistensi berkesenian kelompok ini serta dapat

pula mendukung dari pengelolaan Kampung Seni di Bumen. Sebagai contoh

keikutsertaan Purba Makuta dalam event-event pariwisata Kota Yogyakarta dan

pemasangan patok di sekaten Yogyakarta secara rutin menjadikan kelompok

sholawatan ini memiliki prestasi dan lebih dikenal masyarakat Kota Yogyakarta

dibanding kelompok seni lain di Kampung Bumen. hal ini berdampak pada

terjaganya eksistensi berkesenian kelompok Purba Makuta karena masih memiliki

aktivitas seni di masyarakat. Namun di sisi lain, modal sosial berupa jaringan yang

tidak disertai dengan upaya pemeliharaan kepercayaan justru dapat menghambat

pengelolaan Kampung Seni di Kampung Bumen karena hal itu dapat

menghilangkan/meruntuhkan relasi dengan berbagai pihak yang sudah menjalin

(14)

commit to user

Dana latihan, kostum, tempat latihan, serta seperangkat rebana yang menjadi

modal ekonomi kelompok Purba Makuta dapat mendukung pengelolaan Kampung

Seni di Kampung Bumen karena berbagai fasilitas tersebut merupakan hal mendasar

bagi aktivitas sholawatan Kampung Bumen dan tidak menjadi ketergantungan bagi

kelompok ini pada pihak lain dalam aktivitas seninya karena semuanya diperoleh

dari swadaya anggota dengan sistem iuran anggota. Sebagai contoh suatu ketika ada

pementasan Kampung Seni di Kampung Bumen, beberapa kelompok seni lain

sangat menggantungkan dana bantuan dari pemerintah setempat, namun jika terjadi

penundaan dana karena dana akan diberikan setelah usai pementasan, ini menjadikan

beberapa kelompok seni lain di Kampung Bumen kesulitan mencari modal ekonomi

untuk latihan serta sewa alat, namun hal ini tidak terjadi pada kelompok Purba

Makuta yang selalu memiliki tabungan dari iuran anggota untuk aktivitas seninya.

Modal ekonomi yang diperoleh dari swadaya mandiri kelompok Purba Makuta

Kampung Bumen dapat juga menjadi modal yang menghambat karena rentan

memicu kecemburuan sosial, jika terjadi kecemburuan maka dapat memicu

kerenggangan antar pelaku seni dan mengurangi solidaritas dalam mengelola

Kampung Seni di Kampung Bumen dan lebih lanjut dapat berpengaruh pada

integrasi sosial di Kampung Bumen.

Prestasi kelompok Purba Makuta yang sudah banyak diketahui oleh

masyarakat Yogyakarta menjadi modal simbolik yang dapat menarik wisatawan dan

berpengaruh pada pengelolaan Kampung Seni di Kampung Bumen. Namun

sebenarnya prestasi yang kemudian tidak diimbangi latihan rutin akan dapat

memunculkan perasaan tinggi hati yang memungkinkan berdampak pada kurangnya

intensitas latihan dan pementasan yang kurang maksimal. Hal ini dirasakan beberapa

pelaku seni yang menuturkan bahwa ada beberapa pelaku seni di ranah ini yang

merasa senior kurang aktif dalam latihan, sehingga mengakibatkan pementasan

pernah berjalan kurang selaras karena tidak kompak.

Sedangkan pada kelompok Purba Swara, pengetahuan dari macapatan

sebagai wujud modal budaya bagi kelompok ini akan menambah kecintaan para

pelaku seni terhadap kesenian di Kampung Bumen yang dapat membentuk loyalitas

dari pelaku seni sebagai bentuk modal dukungan bagi pengelolaan Kampung Seni di

Kampung Bumen. Hal ini dirasakan oleh Bapak Topo Harjono yang semakin cinta

dengan kampungnya hingga merelakan tanahnya dipergunakan sebagai area outdoor

(15)

commit to user

toleransi dan kecintaan pada kampung dari kandungan isi yang ada pada tembang

macapatan. Namun di sisi lain, pengetahuan ini dapat berubah menjadi modal yang

menghambat pengelolaan Kampung Seni jika dipahami secara sempit oleh para

pelaku seni sehingga hanya memikirkan keseniannya sendiri tanpa toleransi pada

kelompok seni lain di Kampung Bumen.

Memiliki solidaritas antar pelaku seni dan jaringan dengan pemerintah kota

serta kampung lain sebagai modal sosial akan mampu mendukung dari pengelolaan

Kampung Seni di Kampung Bumen karena dapat terjaga eksistensi kesenian ini di

Kampung Bumen dan menumbuhkan kecintaan pada Kampung Bumen. Kecintaan

pada Kampung Bumen dengan berbagai keseniannya mulai dirasakan oleh para

pelaku seni macapatan ketika tergabung dalam pementasan Aku Bangga Jadi Anak

Kampung dimana dalam pementasan tersebut merupakan pementasan pertama

kelompok Purba Swara di dunia pementasan kesenian tradisional. Hal inilah yang

menjadi dasar bagi kelompok ini selalu menjaga hubungan yang baik dengan

berbagai pihak dikarenakan kelompok seni ini menyadari bahwa mereka adalah

kelompok baru yang masih membutuhkan kelompok seni lain dalam mendukung

aktivitas seninya. Modal sosial ini dapat menjadi penghambat dari pengelolaan

Kampung Seni di Kampung Bumen ketika tidak disertai tanggung jawab dari

anggota, sehingga yang terjadi pelaku seni macapatan akan kekurangan ruang

berkesenian. Dapat dikatakan bahwa pemeliharaan pada jaringan yang dibangun

oleh kelompok Purba Swara menjadi tantangan yang harus dibuktikan dengan

tindakan karena kelompok ini terbilang sebagai kelompok seni baru di Kampung

Bumen.

Dana latihan dan kostum kelompok ini sendiri diperoleh dari iuran anggota

serta bantuan dana dari kas RW 06 Bumen karena kelompok ini masih baru di

Kampung Bumen, kemudian tabungan kelompok sebagai modal ekonomi berfungsi

sebagai dana tetap untuk kebutuhan lain tentunya dapat mendukung aktivitas

Kampung Seni di Kampung Bumen. Namun, modal ekonomi ini juga mampu

menghambat pengelolaan Kampung Seni di Kampung Bumen jika kelompok ini

selalu menggantungkan diri pada dana kas RW 06 Kampung Bumen saja dan

menjadikan kelompok ini tidak dapat mandiri. Kemudian figur Bapak Topo Harjono

sebagai Ketua RW yang mahir dalam kesenian macapatan di Kelurahan Purbayan

sebagai modal simbolik kelompok Purba Swara tentunya dapat menarik wisatawan

(16)

commit to user

di sekitar Kampung Bumen. Modal simbolik berupa figur dan prestasi salah satu

pelaku seni ini juga dapat menghambat pengelolaan Kampung Seni karena

reproduksi kesenian hanya bergantung pada tokoh yang paling berperan di ranah

seni ini dan dapat tentunya mengancam regenerasi serta reproduksi kesenian di

ranah macapatan ini. Hal ini terjadi di Kampung Bumen karena Bapak Topo

Harjono sendiri marasakan adanya ketergantungan dari para anggota pada beberapa

tokoh, sehingga macapatan dalam kelas mbabar serat dalam perjalanannya menjadi

bergantung pada beberapa tokoh sementara regenerasi dalam kesenian ini juga masih

kurang berjalan baik.

Kondisi-kondisi di atas itulah yang kemudian berusaha dipecahkan para aktor

di Kampung Bumen dengan berbagai cara seperti reproduksi kesenian tradisional,

regenerasi, dan menghadirkan kreasi serta kombinasi di beberapa kesenian

tradisional disertai modal yang dimiliki demi Produksi Kultural Kampung Seni di

Kampung Bumen dapat berjalan dengan baik.

D. Penutup

1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka diperoleh kesimpulan

antara lain:

a. Produksi Kultural Kampung Seni di Kampung Bumen dilakukan oleh aktor

pelaku seni di Kampung Bumen seperti kelompok Purba Budoyo, Purba

Makuta, dan Purba Swara yang didukung oleh berbagai pihak yaitu Pemerintah,

Yayasan Pondok Rakyat (YPR) Yogyakarta, serta Komunitas Ketjilbergerak.

Aktor kesenian tradisional di Kampung Bumen mereproduksi kesenian

tradisional seperti srandul, ketoprak, karawitan, tari-tarian tradisional kampung,

sholawatan, dan macapatan dalam Produksi Kultural Kampung Seni di

Kampung Bumen. Habitus dari aktor kesenian tradisional di Kampung Bumen

tersebut adalah sebagai para pelaku seni dan pencipta seni.

b. Sebagai pelaku seni, para aktor dari kelompok Purba Budoyo, Purba Makuta,

dan Purba Swara membangun habitus nari, lakon, nabuh, ngrawit, nembang,

mbabarserat, dan pentas. Sedangkan sebagai pencipta seni, para aktor dari

kelompok Purba Budoyo, Purba Makuta, dan Purba Swara membentuk habitus

nyeni untuk mendukung eksistensi kesenian tradisional yang ada dalam

Kampung Seni di Kampung Bumen. Berbagai habitus ini terbangun dalam

(17)

commit to user

dengan latihan rutin dan pementasan kesenian tradisional pada Kampung Seni di

Kampung Bumen.

c. Berbagai modal (modal budaya, modal sosial, modal ekonomi, dan modal

simbolik) mengiringi pergerakan aktivitas seni para aktor dalam Produksi

Kultural Kampung Seni di Kampung Bumen. Modal yang dimiliki aktor

kesenian tradisional di Kampung Bumen turut berfungsi sebagai penunjang dan

penghambat dalam pengelolaan Kampung Seni di Kampung Bumen serta

berpengaruh pada reproduksi kesenian tradisional di Kampung Bumen. Modal

budaya berupa pengetahuan tentang kesenian tradisional. Modal sosial berupa

jaringan dan solidaritas yang dibangun aktor kesenian tradisional dengan

berbagai pihak. Sedangkan modal simbolik berupa prestasi dan labelling yang

melekat pada para aktor dalam pengalamannya selama berkesenian. Sementara

modal ekonomi berupa sumber pendanaan yang ada dalam setiap aktivitas seni

para pelaku seni di Kampung Bumen.

d. Kampung Seni di Kampung Bumen menjadi arena perjuangan para aktor dalam

mereproduksi kesenian tradisional sebagai alat Produksi Kultural Kampung Seni

di Kampung Bumen. Melalui habitus dan modal yang dimiliki, para aktor

memposisikan diri dan menentukan struktur arena kesenian tradisional pada

Kampung Seni di Kampung Bumen dengan berbagai ranah kesenian tradisional

yang ada di Kampung Bumen. Aktor kesenian tradisional mereproduksi

kesenian tradisional melalui berbagai pementasan Kampung Seni di Kampung

Bumen. Pentas ini merupakan pentas dengan konsep terbuka untuk umum

sebagai alat Produksi Kultural Kampung Seni di Kampung Bumen.

e. Reproduksi kesenian yang dilakukan berupa pementasan kembali kesenian

tradisional yang sudah ada dan berkembang di masyarakat Kampung Bumen

melalui beberapa tahapan meliputi perencanaan, pengorganisasian, dan

pergerakan. Tahap perencanaan terjadi pada rutinitas aktor dalam berkesenian.

Tahap pengorganisasian berlangsung dengan bentuk kolaborasi antar pelaku

seni di Kampung Bumen dalam penyelenggaraan pementasan Kampung Seni di

Kampung Bumen. sementara tahap pergerakan berupa pementasan berbagai

kesenian tradisional pada Kampung Seni di Kampung Bumen.

2. Saran

Berdasar pentingnya fungsi kesenian tradisional di Kampung Bumen, maka

(18)

commit to user

kandungan yang terdapat dalam setiap aktivitas kesenian tradisional. Meskipun

kesenian tradisional dapat berfungsi sebagai pendukung pariwisata di Yogyakarta,

namun hendaknya tidak perlu adanya kreasi dan kombinasi yang berlebihan dalam

kemasan dan pementasannya, agar nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat

tetap terjaga. Produksi Kultural Kampung Seni di Kampung Bumen dapat menjadi

contoh yang baik bagaimana menggerakkan kesadaran masyarakat serta pelaku seni

untuk melestarikan kesenian tradisional. Bagi kelompok kesenian tradisional, perlu

adanya penguatan jaringan sosial antar pelaku seni agar solidaritas dan

koordinasinya tetap terjaga di mata publik.

Daftar Pustaka

Abdullah, Irwan. 2010. Konstruksi Dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bourdieu, Pierre. 1986. The Form of Capital. dalam J.G Richardson (ed) Handbook of theory and research for the Sociology of Education. New York: Greenwood Press.

. 2011. Choses Dites: Uraian dan Pemikiran. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

. 2012. Arena Produksi Kultural Sebuah Kajian Sosiologi Budaya. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Giddens, Anthony. 2001. Runaway World: Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Jenkins, Richard. 2010. Membaca Pikiran Pierre Bourdieu. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Khudori, Darwis. 2002. Menuju Kampung Pemerdekaan. Yogyakarta: Yayasan Pondok Rakyat.

Sutopo, H. B. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press.

Yin, Robert K. 2005. Studi Kasus Desain & Metode alih bahasa oleh Djauzi Mudzakir. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Referensi

Dokumen terkait

Kendala-kendala yang timbul dalam pelaksanaan pendaftaran tanah pertama kali adalah kurangnya pengetahuan masyarakat tentang pensertifikatan tanah, belum terpasangnya

Strategi indriawi, yaitu dengan mengadakan kegiatan untuk anak-anak yang bisa mengasah potensi dari anak didik lembaga pendidikan Al-Fattah agar masyarakat

Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Permata dkk yang berjudul Analisis Pengaruh Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah terhadap Tingkat Profitabilitas (Return

Pemilihan Panti Asuhan Tunanetra Terpadu ‘Aisyiyah Ponorogo sebagai lokasi penelitian disebabkan karena menunjukkan fenomena yang menarik dalam pelayanan dan pengelolaan

Selain itu apabila dimunculkan mata pelajaran Anti Korupsi maka fungsinya akan menjadi tumpang tindih dengan mata pelajaran PPKn dan Pendidikan Agama serta akan membebani

Berdasarkan uraian dari berbagai teori dan hasil-hasil penelitian yang mendukung penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tidak ada interaksi antara model

Salah satu tujuan tulisan ini bersifat pedagogis yang menguraikan secara sederhana bagaimana memperoleh solusi numerik MSB sebuah PDB.Dengan demikian, seorang

Meningkatnya jumlah layanan penyaluran dana bergulir oleh LPDB-KUMKM dan terjadinya penurunan tingkat klasifikasi pinjaman dalam kategori lancar mendorong perlunya