• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KETERSEDIAAN PANGAN POKOK DAN POLA KONSUMSI RUMAH TANGGA PETANI DI KECAMATAN BULU KABUPATEN SUKOHARJO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS KETERSEDIAAN PANGAN POKOK DAN POLA KONSUMSI RUMAH TANGGA PETANI DI KECAMATAN BULU KABUPATEN SUKOHARJO"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

ANALISIS KETERSEDIAAN PANGAN POKOK DAN POLA KONSUMSI RUMAH TANGGA PETANI DI KECAMATAN BULU

KABUPATEN SUKOHARJO

SKRIPSI

Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian

Universitas Sebelas Maret

Jurusan/Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian/Agrobisnis

Oleh : DINA NUR IRONI

H 0307043

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

(2)
(3)

commit to user KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan

penyertaan-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan

judul “Analisis Ketersediaan Pangan Pokok dan Pola Konsumsi Rumah Tangga Petani di Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo” sebagai salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh

karena itu, Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Suntoro, MS selaku Dekan Fakultas Pertanian

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Bapak Ir. Agustono, M.Si. selaku Ketua Jurusan/Program Studi Sosial

Ekonomi Pertanian/Agrobisnis Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

3. Ibu Dr. Ir. Sri Marwanti, MS selaku Pembimbing Utama yang dengan penuh

kesabaran telah memberikan bimbingan, arahan, dan masukan bagi Penulis

dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

4. Ibu Umi Barokah, S.P., M.P. selaku Pembimbing Pendamping yang telah

memberikan bimbingan dan masukan dalam penulisan skripsi ini.

5. Bapak Dr. Ir. Mohd. Harisudin, M.Si. selaku Penguji yang telah memberikan

banyak masukan untuk memperbaiki skripsi ini.

6. Ibu Erlyna Wida Riptanti, S.P., M.P. selaku Pembimbing Akademik yang

telah membimbing serta memberikan arahan dan perhatian selama Penulis

menempuh proses belajar di Fakultas Pertanian UNS.

7. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten

Sukoharjo beserta staf yang telah membantu dalam perijinan penelitian .

8. Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Sokoharjo beserta staf yang telah

membantu menyediakan data yang Penulis butuhkan.

9. Kepala Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Sukoharjo beserta staf yang telah

(4)

commit to user

10. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sukoharjo yang telah membantu

menyediakan data yang Penulis butuhkan.

11. Camat Bulu beserta staf yang telah membantu dan mengijinkan Penulis untuk

melaksanakan penelitian di wilayah Kecamatan Bulu.

12. Kepala Desa Tiyaran beserta seluruh perangkat desa yang telah mendukung

Penulis. Terima kasih khususnya kepada Bapak Sunarno dan Ibu Hariningsih

yang telah memberikan banyak bantuan dan arahan selama proses penelitian.

13. Pak Samsyuri dan Mbak Ira yang telah membantu kelancaran surat-menyurat

dan birokrasi di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian UNS.

Terima kasih untuk bantuan dan kemudahan yang diberikan kepada Penulis.

14. Kedua orang tuaku tercinta, Bapak dan Ibu yang senantiasa memberiku

semangat dan motivasi untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.

15. Adikku tersayang, Putri Dwi Larasati yang senantiasa memberiku perhatian,

menghadirkan keceriaan, dan menjadi saudari yang terbaik bagiku.

16. Ibu Pendeta Retno Ratih Suryaning Handayani, M.Th. yang senantiasa

mendoakan dan mendukung Penulis. Terima kasih telah menjadi pemimpin

rohani yang sangat baik bagi saya.

17. Saudara-saudariku Komisi Remaja GKJ Manahan 2006-2008 dan 2008-2010 :

Aria, Mbak Anik, Mbak Tiva, Mas Antok, Mbak Debora, Warih, Siska, Yosi,

Bary, Arum, Ratih, Redyan, dan Vivin yang selalu ada dalam suka dan duka.

Terima kasih untuk setiap dukungan doa, pengertian, perhatian, dan

persahabatan yang indah selama ini. Kalian adalah sahabat-sahabatku yang

menaruh kasih setiap waktu dan menjadi saudara dalam kesukaran.

18. Mbak Sinta, Mbak Diana, Mbak Prita, Mas Bonus, dan Priskila yang telah

memberikan dukungan, semangat, dan sukacita secara khusus. Terima kasih

untuk setiap waktu yang telah diberikan selama ini.

19. Keluarga Jetak, Pakdhe Santo, Budhe, Mbak Tiwik, dan Mas Danang. Terima

kasih untuk dukungan yang selalu diberikan kepada Penulis.

20. Eccy Kasih, yang telah bersedia menjadi partner doaku selama

(5)

commit to user

yang diberikan kepada Penulis, sehingga Penulis terus bersemangat untuk

memberikan yang terbaik dalam penyusunan skripsi ini.

21. John Yeremia Gurning, terima kasih atas bantuan dan kesediaannya

meluangkan waktu untuk membantu Penulis mempersiapkan syarat-syarat

yudisium sarjana.

22. Sahabatku, Reny, Dino, Devi, dan Yusrina yang telah bersama-sama berjuang

serta memberikan dukungan dan semangat sejak awal kuliah hingga saat ini.

Terima kasih atas bantuan, kerjasama, serta pengertiannya.

23. Hibitu : Ten Sist, Echa, Aliya, Venti, Sukma, Peppy, Kiky, Ferinika, Marlina,

Riska, Clara, Sendi, Yeni, Ida, Sara, Raras, Lani, Linda, Yuni, Dhea, Salwa,

Mumun, Lala, Ratna, Nita, Nita Yudita, Senkip, Novitri, Wahyu, Helmi, Tyo,

Diki, Rochmad, Adam, Prima, Yoseph, Bella, Joko, Maman, serta seluruh

teman-teman di Fakultas Pertanian. Terima kasih atas kebersamaannya dan

kenangan yang indah di kampus ini.

24. Keluarga besar PMK Fakultas Pertanian UNS. Terima kasih atas doa dan

kesempatan yang diberikan bagi Penulis untuk melayani Tuhan.

25. Semua pihak yang tidak dapat Penulis sebutkan satu per satu, namun telah

memberikan bantuan dan dukungan kepada Penulis.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena

itu, Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak

untuk kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi para

pembaca.

Surakarta, April 2011

(6)

commit to user DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

RINGKASAN ... xii

SUMMARY ... xiii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Kegunaan Penelitian ... 6

II. LANDASAN TEORI ... 8

A. Penelitian Terdahulu ... 8

B. Tinjauan Pustaka ... 9

1. Pangan ... 9

2. Ketersediaan Pangan ... 10

3. Pola Konsumsi Pangan ... 12

4. Kuantitas Konsumsi Pangan ... 14

5. Ketahanan Pangan ... 15

C. Kerangka Berpikir Pendekatan Masalah ... 18

D. Asumsi-Asumsi ... 20

E. Pembatasan Masalah ... 21

F. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ... 21

III.METODE PENELITIAN ... 24

A. Metode Dasar Penelitian ... 24

B. Metode Penentuan Lokasi ... 24

C. Metode Pengambilan Sampel ... 25

D. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data ... 26

E. Metode Analisis Data ... 27

1. Ketersediaan Pangan Pokok Rumah Tangga Petani ... 27

2. Konsumsi Pangan Rumah Tangga Petani ... 28

(7)

commit to user

4. Korelasi Antara Tingkat Konsumsi Gizi (TKG) dengan Keta-

hanan Pangan Rumah Tangga ... 31

IV.KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN ... 33

A. Keadaan Alam ... 33

1. Letak dan Batas Wilayah ... 33

2. Keadaan Iklim ... 33

3. Tata Guna Lahan ... 34

B. Keadaan Penduduk ... 35

1. Perkembangan Penduduk ... 35

2. Jumlah Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin ... 35

C. Keadaan Perekonomian... 37

1. Pertumbuhan Ekonomi ... 37

2. Sarana Perekonomian ... 40

D. Keadaan Pertanian... 40

E. Keadaan Ketahanan Pangan Wilayah ... 41

1. Ketersediaan Pangan ... 41

2. Konsumsi Energi dan Protein ... 44

3. Pola Pangan Harapan (PPH) ... 45

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 47

A. Karakteristik Rumah Tangga Responden ... 47

B. Ketersediaan pangan pokok Rumah Tangga ... 49

C. Konsumsi pangan Rumah Tangga ... 57

1. Pola Konsumsi Pangan ... 57

2. Kuantitas Konsumsi Pangan ... 71

D. Ketahanan Pangan Rumah Tangga ... 75

VI.KESIMPULAN DAN SARAN ... 80

A. Kesimpulan ... 80

B. Saran ... 81

DAFTAR PUSTAKA ... 82

(8)

commit to user DAFTAR TABEL

Tabel 1. Produksi dan Produktivitas Padi di Kabupaten Sukoharjo

Tahun 2005 - 2009... 2

Tabel 2. Luas Lahan Sawah Menurut Jenis Pengairan dan Kecamatan di

Kabupaten Sukoharjo Tahun 2009... 3

Tabel 3. Luas Sawah Tadah Hujan dan Proporsinya Terhadap Luas

Total Lahan Sawah di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2009... 3

Tabel 4. Luas Tanah Sawah Berdasar Jenis Irigasi di Kecamatan Bulu

Dirinci Menurut Desa Tahun 2009... 25

Tabel 5. Daftar Angka Kecukupan Energi (AKE) dan Angka Kecukupan Protein (AKP) Berdasar Umur dan Jenis Kelamin

Menurut WKNPG Tahun 2004... 30

Tabel 6. Luas Penggunaan Lahan di Kecamatan Bulu Tahun 2009... 34

Tabel 7. Jumlah Penduduk dan Pertumbuhan Penduduk Kecamatan

Bulu Tahun 2005-2009... 35

Tabel 8. Jumlah Penduduk Menurut Umur di Kecamatan Bulu Tahun

2009... 36

Tabel 9. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Kecamatan Bulu

Tahun 2009... 37

Tabel 10. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) 2000 dan Laju Pertumbuhan Ekonomi

Kecamatan Bulu Tahun 2005-2009... 38

Tabel 11. Pendapatan Per Kapita Penduduk Kecamatan Bulu Tahun

2005-2009... 38

Tabel 12. Pengeluaran Untuk Konsumsi Pangan dan Non Pangan

Penduduk Kabupaten Sukoharjo Tahun 2003-2007... 39

Tabel 13. Sarana Perekonomian di Kecamatan Bulu Tahun 2009... 40

Tabel 14. Luas Panen dan Total Produksi Tanaman Pangan di Kecamatan

Bulu Tahun 2009... 41

Tabel 15. Produksi, Ketersediaan, dan Kebutuhan Pangan di Kabupaten

Sukoharjo Tahun 2009... 42

Tabel 16. Konsumsi Energi dan Protein Menurut Kecamatan di

Kabupaten Sukoharjo Tahun 2009 (Berdasar Hasil Survei)... 44

Tabel 17. Pola Pangan Harapan Kabupaten Sukoharjo Tahun 2009... 45

Tabel 18. Karakteristik Rumah Tangga Responden di Kecamatan Bulu

(9)

commit to user

Tabel 19. Rata-rata Ketersediaan Pangan Pokok Pada Rumah Tangga

Petani di Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo... 50

Tabel 20. Sebaran Ketersediaan Pangan Pokok Rumah Tangga

Responden di Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo... 55

Tabel 21. Distribusi Jenis Bahan Pangan dan Frekuensi Makan Petani

Responden di Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo... 58

Tabel 22. Angka Kecukupan Gizi, Konsumsi Gizi, dan Tingkat Kecukupan Gizi Rumah Tangga Petani di Kecamatan Bulu

Kabupaten Sukoharjo... 72

Tabel 23. Sebaran Kategori Tingkat Konsumsi Energi (TKE) dan Tingkat Konsumsi Protein (TKP) Rumah Tangga Petani di

Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo... 74

Tabel 24. Sebaran Rumah Tangga Menurut Tingkat Ketahanan Pangan Energi dan Protein Pada Rumah Tangga Petani di Kecamatan

(10)

commit to user DAFTAR GAMBAR

(11)

commit to user DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Identitas Responden... 85

Lampiran 2. Jumlah Input Pangan Pokok (Beras) ... 86

Lampiran 3. Jumlah Output Pangan Pokok (Beras)... 87

Lampiran 4. Jumlah Input, Output, dan Ketersediaan Pangan Pokok

Rata-Rata Per Orang Per Hari... 88

Lampiran 5. Jenis dan Frekuensi Makan... 89

Lampiran 6. AKG, Konsumsi Gizi, dan TKG Rumah Tangga Petani.... 92

Lampiran 7. AKG, Konsumsi Gizi, dan Ketahan Pangan Rumah

Tangga Petani... 93

Lampiran 8. Hasil Analisis Korelasi TKG Dengan Ketahanan Pangan.. 94

Lampiran 9. Kuesioner... 95

Lampiran 10. Peta Kecamatan Bulu ... 100

(12)

commit to user RINGKASAN

Dina Nur Ironi, 2011. “Analisis Ketersediaan Pangan Pokok dan Pola Konsumsi Rumah Tangga Petani di Kecamatan Bulu Kabupaten Sokoharjo”. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Sri Marwanti, MS dan Umi Barokah, S.P., M.P. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat ketersediaan pangan pokok (beras), mengetahui pola konsumsi rumah tangga, dan tingkat ketahanan pangan rumah tangga petani di Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo.

Metode dasar penelitian ini adalah deskriptif analitis dan pelaksanaannya menggunakan teknik survei. Penelitian dilakukan di Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo. Penentuan sampel desa dilakukan dengan sengaja (purposive) dengan pertimbangan luas lahan sawah tadah hujan yang terbesar. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Analisis data yang digunakan yaitu analisis ketersediaan pangan pokok, konsumsi pangan rumah tangga, ketahanan pangan rumah tangga, serta korelasi antara tingkat konsumsi gizi dan ketahanan pangan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata ketersediaan pangan pokok pada rumah tangga petani sebesar 1.257,13 kkal/kap/hari dan termasuk dalam kategori rendah. Beras dalam rumah tangga petani berperan sebagai pangan pokok tunggal. Konsumsi umbi-umbian sebagai pangan sumber energi di samping pangan pokok masih rendah. Pangan sumber protein nabati lebih banyak dikonsumsi daripada pangan sumber protein hewani. Makanan sumber vitamin dan mineral seperti sayur-sayuran lebih sering dikonsumsi daripada buah-buahan. Rumah tangga mengkonsumsi makanan jadi sesuai selera dan kondisi. Rata-rata Tingkat Konsumsi Energi (TKE) rumah tangga petani di Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo yaitu 70,08 % dan tergolong kurang. Rata-rata Tingkat Konsumsi Protein (TKP) rumah tangga yaitu 95,36 % dan tergolong sedang. Sejumlah 60 % rumah tangga termasuk tidak tahan pangan energi dan 53,33 % termasuk rumah tangga tahan pangan protein. Korelasi antara TKE dengan ketahanan pangan energi adalah 0,581 pada tingkat kepercayaan 99 %, sedangkan korelasi antara TKP dengan ketahanan pangan protein adalah 0,917 pada tingkat kepercayaan 99 %.

(13)

commit to user SUMMARY

Dina Nur Ironi, 2011. “Analysis of Staple Food Availability and Consumption Pattern of Farmer’s Household in Sub District Bulu Sukoharjo Regency”. Under the guidance of Dr. Ir. Sri Marwanti, MS and Umi Barokah, S.P., M.P. Faculty of Agriculture, Sebelas Maret University Surakarta.

The aims of this study are to know the level of staple food availability, know the consumption pattern, and the level of food security in farmer’s household in Sub District Bulu Sukoharjo Regency.

The basic method of this study is descriptive analytical, use the survey technique in implementation. The study is conducted in Sub District Bulu Sukoharjo Regency. Sample village is choosen purposively because this village has the largests possess rainfed in Sub District Bulu. This research use primary and secondary data. Data analysis are the analysis of staple food availability, household food consumption pattern, household food security, and the correlation between the consumption level of nutrition and food security. The results showed that the average of staple food availability in farmer’s household is 1257,13 kcal/capita/day and classified in low category. Rice acts as a single staple food. Consumption of tubers as a food source of energy is thin Foods that is contents plant protein are more consumed than foods that is contents animal protein. Food sources of vitamins and minerals like vegetables are more frequently consumed than fruits. Households consume processed food according to taste and condition. Average of Energy Consumption Level in farmer’s household is 70,08 % and classified as less. While the average of Protein Consumption Level is 95,36 % and classified as moderate. Some of 60 % households classified as food insecure of energy and 53,33 % households classified as food secure of protein. Correlation between Energy Consumption Level and food security of energy is 0,581 (significant at 99 % confidence level), while correlation between Protein Consumption Level and food security of protein is 0,917 (significant at 99 % confidence level).

(14)

commit to user I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pangan merupakan kebutuhan dasar yang paling esensial bagi manusia

untuk mempertahankan hidupnya. Pembangunan ketahanan pangan bertujuan

untuk mewujudkan ketersediaan pangan bagi seluruh rumah tangga, dalam

jumlah yang cukup, mutu dan gizi yang layak, aman dikonsumsi, merata serta

terjangkau oleh setiap individu. Istilah ketahanan pangan (food security)

menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan merupakan

kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari

tersedianya pangan yang cukup dalam jumlah, mutu, aman, merata dan

terjangkau. Sebaliknya, kerawanan pangan (food insecurity) diartikan sebagai

keadaan dimana terjadi keterbatasan atau ketidaktentuan persediaan dan

kesanggupan untuk mendapatkan makanan bergizi secara cukup dan aman

(BPOM RI, 1996).

Peningkatan ketahanan pangan merupakan prioritas utama dalam

pembangunan karena pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia.

Pangan sebagai sumber zat gizi (karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral

dan air) menjadi landasan utama manusia untuk mencapai kesehatan dan

kesejahteraan sepanjang siklus kehidupan. Penentu ketahanan pangan pada

tingkat nasional, regional, dan lokal dilihat dari tingkat produksi, permintaan,

persediaan dan perdagangan pangan. Sementara itu, penentu utama di tingkat

rumah tangga adalah akses fisik dan ekonomi terhadap pangan, ketersediaan

pangan dan risiko yang terkait dengan akses serta ketersediaan pangan

tersebut (Sawit dan Ariani, 1997).

Ketersediaan pangan secara makro (tingkat wilayah) sangat

dipengaruhi oleh tinggi rendahnya produksi pangan dan distribusi pangan

pada daerah tersebut. Sedangkan pada tingkat mikro (tingkat rumah tangga)

lebih dipengaruhi oleh kemampuan rumah tangga memproduksi pangan, daya

beli dan pemberian. Menurut Sajogyo dkk. (1996), faktor-faktor yang

mempengaruhi ketersediaan pangan di suatu wilayah diantaranya adalah

(15)

commit to user

persaingan dalam hal lahan (tanah), sumberdaya manusia dan teknologi, impor

dan bantuan pangan, pola keberagaman pangan yang tersedia serta fluktuasi

dalam hal musim dan kondisi alam yang tak terduga. Dalam jalur mata rantai

pangan dan gizi, ketersediaan pangan menempati jalur pertama kemudian ke

jalur kemampuan rumah tangga menjangkau pangan yang tersedia itu, lalu ke

jalur kemauan orang untuk memperoleh pangan yang tersedia tersebut, pola

distribusi pangan dalam keluarga dan berakhir pada status gizi perorangan.

Dengan demikian, ketersediaan pangan menjadi salah satu penentu konsumsi

pangan penduduk.

Ancaman terhadap stabilitas suatu negara dapat terjadi apabila

ketersediaan pangan bagi rakyatnya tidak tercukupi. Oleh karena itu,

ketersediaan pangan khususnya beras sebagai makanan pokok sebagian besar

masyarakat Indonesia menjadi sangat sensitif guna mendukung tercapainya

tujuan pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat. Ketersediaan

pangan pokok di tingkat rumah tangga petani padi salah satunya ditentukan

oleh produksi usahatani.

Kabupaten Sukoharjo merupakan salah satu kabupaten produsen padi

di Jawa Tengah. Perkembangan produksi padi di Kabupaten Sukoharjo dapat

dilihat dapada Tabel 1.

Tabel 1. Produksi dan Produktivitas Padi di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2005-2009

Tahun Produksi (Ton GKG) Produktivitas (Ku/Ha)

2005 299.206 64,43

2006 322.426 65,24

2007 322.426 69,88

2008 337.244 69,90

2009 357.525 70,87

Sumber : Sukoharjo Dalam Angka, 2010

Berdasarkan Tabel 1, produksi dan produktivitas padi di Kabupaten

Sukoharjo selama lima tahun terakhir terus mengalami peningkatan. Meskipun

program peningkatan produksi pangan di tingkat kabupaten menunjukkan

keberhasilan, tetapi hal ini belum menjamin tersedianya pangan pokok di

tingkat rumah tangga dalam jumlah yang cukup dan aman. Produksi padi ini

(16)

commit to user

faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya produksi adalah ketersediaan air.

Luas lahan sawah menurut jenis pengairan di Kabupaten Sukoharjo dapat

dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Luas Lahan Sawah Menurut Jenis Pengairan dan Kecamatan di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2009

No. Kecamatan Irigasi Teknis (Ha) Irigasi ½ Teknis (Ha) Irigasi Sederhana (Ha) Tadah Hujan (Ha) Jumlah (Ha)

1. Weru 1.018 20 511 376 1.989

2. Bulu 581 125 0 411 1.117

3. Tawangsari 1.484 0 147 25 1.656

4. Sukoharjo 2.363 0 0 0 2.363

5. Nguter 1.325 15 698 651 2.689

6. Bendosari 1.234 667 0 668 2.569

7. Polokarto 1.127 796 350 303 2.576

8. Mojolaban 2.234 0 0 0 2.234

9. Grogol 413 279 315 0 1.007

10. Baki 1.276 0 0 0 1.276

11. Gatak 1.266 0 0 0 1.266

12. Kartasura 515 0 0 0 515

Jumlah 14.900 1.902 2.021 2.434 21.257

Sumber : Sukoharjo Dalam Angka, 2010

Berdasar Tabel 2, ada enam kecamatan di Kabupaten Sukoharjo yang

memiliki lahan sawah dengan jenis pengairan tadah hujan, yaitu Kecamatan

Weru, Bulu, Tawangsari, Nguter, Bendosari dan Polokarto. Sawah tadah

hujan adalah sawah yang sumber air utamanya berasal dari air hujan. Dalam

satu tahun, sawah tadah hujan hanya mampu ditanami selama dua musim

tanam saja, sedangkan sawah dengan pengairan teknis bisa ditanami hingga

tiga musim tanam. Jenis pengairan ini akan mempengaruhi tinggi rendahnya

produksi padi. Adapun proporsi luas sawah tadah hujan terhadap luas sawah

total di masing-masing kecamatan di Kabupaten Sukoharjo dapat dilihat pada

Tabel 3.

Tabel 3. Luas Sawah Tadah Hujan dan Proporsinya Terhadap Luas Total Lahan Sawah di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2009

No. Kecamatan Luas Total Lahan Sawah

(Ha)

Sawah Tadah Hujan Luas

(Ha)

Proporsi dari luas total lahan sawah (%)

1. Weru 1.989 376 18,90

2. Bulu 1.117 411 36,79

3. Tawangsari 1.656 25 1,51

4. Nguter 2.689 651 24,21

5. Bendosari 2.569 668 26,00

(17)

commit to user

Berdasar Tabel 3, dapat diketahui bahwa proporsi lahan sawah tadah

hujan terhadap luas total lahan sawah di Kecamatan Bulu paling tinggi

dibandingkan dengan lima kecamatan lain di Kabupaten Sukoharjo yang juga

memiliki lahan sawah tadah hujan. Sawah tadah hujan memiliki

ketergantungan yang tinggi pada alam, sehingga pada musim kemarau tidak

dapat ditanami. Akibatnya, produksi padi menjadi rendah rendah karena

pemenuhan kebutuhan air bergantung pada curah hujan. Apabila pergantian

musim tidak menentu, maka produksi juga akan terganggu. Rendahnya

produksi akan berdampak pada ketersediaan pangan pokok dan pendapatan

petani. Apabila produksi rendah, maka pendapatan petani menjadi rendah

sehingga daya beli rumah tangga akan menurun.

Besar kecilnya pendapatan akan menentukan jenis pangan yang

dikonsumsi suatu rumah tangga. Jenis pangan yang dikonsumsi rumah tangga

menentukan pola konsumsi pangan rumah tangga tersebut. Pola konsumsi

pangan sendiri juga sangat ditentukan oleh faktor sosial ekonomi rumah

tangga yang lain seperti harga pangan, selera dan kebiasaan makan. Pola

konsumsi pangan rumah tangga didekati dengan jenis dan frekuensi makan

yang dapat mencerminkan kebiasaan makan dalam rumah tangga tersebut.

Jenis pangan yang dikonsumsi dalam rumah tangga akan berpengaruh pada

tingkat konsumsi gizinya. Menurut Sumarwan dan Sukandar (1998), konsumsi

pangan merupakan gambaran dari aspek ketersediaan dan kemampuan rumah

tangga untuk membeli dan memperoleh pangan.

Secara kuantitas, konsumsi energi di Kabupaten Sukoharjo telah

mencapai angka 2026,4 kkal/kap/hari pada tahun 2009. Angka ini telah

memenuhi syarat kecukupan energi yang ditetapkan oleh Widyakarya

Nasional Pangan dan Gizi VIII (WKNPG) Tahun 2004, yaitu sebesar 2000

kkal/kap/hari. Sedangkan secara kualitas, penganekaragaman konsumsi di

Kabupaten Sukoharjo masih perlu ditingkatkan. Kualitas konsumsi pangan

dapat dilihat dari skor Pola Pangan Harapan (PPH) Kabupaten Sukoharjo yang

baru mencapai 80,1 pada tahun 2009 (Badan Ketahanan Pangan Sukoharjo,

(18)

commit to user

Berdasarkan uraian di atas, maka perlu diadakan penelitian mengenai

ketersediaan pangan pokok (beras) dan pola konsumsi rumah tangga petani

sawah tadah hujan di Kecamatan Bulu, Kabupaten Sukoharjo.

B. Rumusan Masalah

Ketahanan pangan merupakan situasi dimana semua rumah tangga

mempunyai akses baik fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi

seluruh anggota keluarganya, dimana rumah tangga tidak beresiko mengalami

kehilangan kedua akses tersebut. Pemantaban ketahanan pangan masih

menghadapi berbagai tantangan dengan masih banyaknya proporsi penduduk

yang mengalami kerawanan pangan, bencana alam, rendahnya tingkat

pengetahuan gizi, serta masih tingginya angka kepetanian penduduk.

Ketahanan pangan dibedakan dalam empat tingkatan, yaitu

(1) ketahanan pangan nasional, (2) regional atau lokal, (3) ketahanan pangan

rumah tangga atau keluarga, serta (4) ketahanan pangan individu. Meskipun

secara nasional mempunyai ketahanan pangan yang baik, namun hal tersebut

tidak menjamin ketahanan pangan tingkat regional, bahkan rumah tangga atau

individu. Hal ini terjadi karena rumah tangga memiliki ketersediaan dan akses

pangan yang berbeda-beda.

Upaya mewujudkan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga bukan

persoalan yang sederhana. Sulitnya menanggulangi sumber-sumber distorsi

akses terhadap pangan mengakibatkan kasus-kasus rawan pangan dalam

bentuk kekurangan energi dan protein (KEP) senantiasa terjadi dan bahkan

menjadi salah satu masalah utama peningkatan kualitas sumberdaya manusia

dari aspek gizi (Soekirman dalam Marwati, 2001). Pengalaman masa lalu

membuktikan, ketersediaan pangan yang tinggi di pasar tidak menjamin

ketahanan pangan di tingkat rumah tangga sehingga terjadi fenomena hunger

paradox. Hal ini terjadi ketika daya beli menurun, sehingga banyak rumah

tangga tidak mampu membeli pangan dan mengalami kelaparan. Pada kondisi

demikian, ketersediaan pangan yang berlimpah menjadi tidak banyak berarti.

Keterbatasan pemenuhan kebutuhan pangan dalam rumah tangga antara

(19)

commit to user

berbagai faktor sosial masyarakat. Besarnya proporsi lahan sawah dengan

jenis pengairan tadah hujan di Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo akan

mempengaruhi produksi padi dan pendapatan petani, yang pada akhirnya akan

berpengaruh pada pola konsumsi, tingkat konsumsi, dan ketahanan pangan

rumah tangga petani. Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah ketersediaan bahan pangan pokok (beras) pada rumah

tangga petani di Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo?

2. Bagaimana pola konsumsi pangan rumah tangga petani di Kecamatan Bulu

Kabupaten Sukoharjo?

3. Bagaimana ketahanan pangan tingkat rumah tangga petani di Kecamatan

Bulu Kabupaten Sukoharjo?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui tingkat ketersediaan bahan pangan pokok (beras) pada rumah

tangga petani di Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo.

2. Mengetahui pola konsumsi pangan rumah tangga petani di Kecamatan Bulu

Kabupaten Sukoharjo.

3. Mengetahui ketahanan pangan tingkat rumah tangga petani di Kecamatan

Bulu Kabupaten Sukoharjo.

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah :

1. Bagi peneliti, menambah wawasan dan pengetahuan terutama yang

berkaitan dengan topik penelitian serta merupakan salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

2. Bagi pemerintah daerah Kabupaten Sukoharjo, penelitian ini berguna

sebagai sumbangan pemikiran dan sumber informasi dalam pengambilan

kebijakan khususnya dalam hal ketahanan pangan di Kecamatan Bulu,

(20)

commit to user

3. Bagi pembaca, penelitian ini berguna sebagai wacana dalam menambah

pengetahuan mengenai ketahanan pangan, khususnya mengenai tingkat

ketersediaan pangan pokok dan pola konsumsi di tingkat rumah tangga.

4. Bagi peneliti lain, sebagai bahan referensi untuk pengembangan penelitian

(21)

commit to user II. LANDASAN TEORI

A. Penelitian Terdahulu

Yuliasih (2007) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis

Ketersediaan Pangan Pokok dan Konsumsi Pangan Keluarga Miskin dan

Tidak Miskin di Kabupaten Karanganyar menjelaskan bahwa ketersediaan

pangan pokok keluarga miskin dan tidak miskin di Kabupaten Karanganyar

tergolong rendah. Ketersediaan pangan pokok keluarga miskin sebesar

878,849 kkal/kap/hari (244,125 gram/kap/hari) sedangkan ketersediaan

pangan pokok keluarga tidak miskin sebesar 1.054,491 kkal/kap/hari (289,296

gram/kap/hari). Kuntitas konsumsi pangan yang dilihat dari Tingkat

Kecukupan Energi (TKE) menunjukkan bahwa keluarga miskin termasuk

dalam kategori sedang sedangkan keluarga tidak miskin termasuk kategori

baik. Secara keseluruhan, keluarga tidak miskin lebih berpotensi tahan pangan

dibandingkan dengan keluarga miskin.

Purwantini dan Ariani (2008) dalam penelitiannya yang berjudul

Pola Konsumsi Pangan Pada Rumah Tangga Petani Padi menyatakan bahwa

pada umumnya pada rumah tangga petani padi, beras merupakan pangan

pokok yang dikonsumsi dalam jumlah yang tinggi. Pola pangan pokok berupa

beras ini sulit untuk diubah walaupun rumah tangga menghadapi musim

paceklik. Petani tidak akan mengganti beras sebagai sumber pangan pokok

meskipun harga beras meningkat. Analisis data menunjukkan bahwa

sumbangan energi terbesar berasal dari kelompok padi-padian, yaitu berkisar

44 - 69 %. Sebagai produsen padi, sebagian besar rumah tangga petani

mengkonsumsi beras dari hasil usahatani sendiri. Selain hasil sendiri, rumah

tangga memperoleh beras dari pembelian, baik melalui raskin atau di pasar.

Hanya sebagian kecil saja yang memperoleh beras dari pemberian.

Berdasarkan penelitian terdahulu, Peneliti mengetahui bahwa rumah

tangga petani memperoleh pangan pokok berupa beras dari hasil usahatani

sendiri, pembelian dan pemberian. Analisis mengenai ketersediaan pangan

pokok ini penting untuk dilakukan karena beras yang termasuk dalam

(22)

commit to user

kelompok padi-padian merupakan makanan pokok sebagian besar penduduk

Indonesia dan memberikan sumbangan energi terbesar bagi rumah tangga

petani. Di samping itu, ketersediaan beras juga dapat dipakai sebagai salah

satu indikator ketahanan pangan rumah tangga.

Selanjutnya, Peneliti ingin mengkaji lebih dalam mengenai pola

konsumsi rumah tangga petani yang mengusahakan sawah dengan sistem

pengairan tadah hujan dan memiliki pola tanam padi-palawija. Hasil

penelitian terdahulu menunjukkan bahwa ketersediaan pangan pokok petani

padi-palawija lebih rendah dibandingkan petani padi-padi. Hal ini akan

berpengaruh pada pola konsumsi pangan rumah tangga, yang pada akhirnya

akan menentukan tingkat ketahanan pangan rumah tangga terkait dengan

kecukupan gizinya.

B. Tinjauan Pustaka

1. Pangan

Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi

sumberdaya manusia suatu bangsa. Untuk mencapai ketahanan pangan

diperlukan ketersediaan pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup,

terdistribusi dengan harga terjangkau dan aman dikonsumsi bagi setiap

warga untuk menopang aktivitasnya sehari-hari sepanjang waktu (Saliem

dkk, 2001). Sedangkan pengertian pangan menurut Undang-Undang No. 7

Tahun 1996 adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air,

baik diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan dan

minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan makanan,

bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan

pengolahan dan atau pembuatan makanan dan minuman.

Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi

sumberdaya manusia suatu bangsa. Untuk mencapai ketahanan pangan

diperlukan ketersediaan pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup,

terdistribusi dengan harga terjangkau dan aman dikonsumsi bagi setiap

warga untuk menopang aktivitasnya sehari-hari sepanjang waktu. Pangan

(23)

commit to user

negara bertanggung jawab memenuhi kebutuhan pangan bagi warganya.

Pemenuhan kebutuhan pangan dalam konteks ketahanan pangan

merupakan pilar bagi pembentukan sumberdaya manusia berkualitas yang

diperlukan untuk meningkatkan daya saing bangsa Indonesia di tataran

global (Ariani dan Purwantini, 2005).

2. Ketersediaan Pangan

Ketersediaan pangan adalah tersedianya pangan dari hasil produksi

dalam negeri dan atau sumber lain. Indikator ini masih bersifat makro,

karena bisa saja pangan tersedia, tapi tidak dapat diakses oleh masyarakat.

Ketersediaan pangan merupakan prasyarat penting bagi keberlanjutan

konsumsi, namun dinilai belum cukup. Untuk itu diperlukan pemahaman

kinerja konsumsi pangan menurut wilayah (kota-desa) dan pendapatan

(tinggi-sedang-rendah). Indikator yang dapat digunakan adalah tingkat

partisipasi dan tingkat konsumsi pangan, keduanya menunjukkan tingkat

aksesibilitas fisik dan ekonomi terhadap pangan (DKP, 2007). Walaupun

pangan tersedia pada suatu wilayah, jika tidak dapat diakses masyarakat

maka kinerjanya rendah. Aksesibilitas tersebut menggambarkan aspek

pemarataan dan keterjangkauan. Karena menurut PP No.68/2002,

pemerataan mengandung makna adanya distribusi pangan ke seluruh

wilayah sampai tingkat rumah tangga sedangkan keterjangkauan adalah

keadaan di mana rumah tangga secara berkelanjutan mampu mengakses

pangan sesuai dengan kebutuhan untuk hidup yang sehat dan produktif.

Ketersediaan pangan berkaitan dengan produksi pertanian, iklim,

akses terhadap sumberdaya alam, praktek pengelolaan lahan,

pengembangan institusi, pasar, konflik regional dari kerusuhan sosial.

Sedang akses pangan meliputi strategi rumah tangga untuk memenuhi

kekurangan pangan. Dalam aspek ketersediaan yang tidak kalah pentingnya

adalah masalah cadangan pangan. Dalam masalah cadangan pangan yang

perlu diperhatikan adalah pengembangan cadangan pangan untuk

mengantisipasi kondisi darurat, mengatasi berfluktuasinya produksi yang

(24)

commit to user

cadangan pangan dalam arti buffer stock juga menghindari fluktuasi harga

yang merugikan, disamping itu pengembangan cadangan pangan hidup

melalui pengembangan pekarangan patut juga dikembangkan

(DKP, 2007).

Persediaan pangan yang cukup secara nasional ternyata tidak

menjamin adanya ketahanan pangan tingkat regional maupun rumah

tangga/individu. Penentu ketahanan pangan di tingkat nasional, regional

dan lokal dapat dilihat dari tingkat produksi, permintaan, persediaan dan

perdagangan pangan. Sementara itu, penentu utama di tingkat rumah

tnagga adalah akses (fisik dan ekonomi) terhadap pangan, ketersediaan

pangan dan risiko yang terkait dengan akses serta ketersediaan pangan

tersebut (Saliem dkk., 2001)

Karena merupakan kebutuhan dasar manusia, maka pangan haruslah

pada setiap waktu dan tempat tersedia dalam kuantitas yang cukup dan

dapat diakses (harganya terjangkau). Secara normatif sumber utama

pasokan pangan harus dapat diproduksi sendiri. Kendala yang dihadapi

dalam peningkatan ketersediaan produksi pangan per kapita terutama

adalah: (1) pertumbuhan luas panen sangat terbatas karena (i) laju

perluasan lahan pertanian baru sangat rendah dan (ii) konversi lahan

pertanian ke non pertanian sulit dikendalikan, (iii) degradasi sumberdaya

air dan kinerja irigasi serta turunnya tingkat kesuburan fisik dan kimia

lahan pertanian; dan (2) adanya gejala kemandegan dalam pertumbuhan

produktivitas yang diduga kuat merupakan akibat dari: (i) over intensifikasi

pertanian yang kurang memperhatikan prinsip-prinsip pertanian

berkelanjutan (intensitas tanam tinggi, monokultur, dosis pupuk anorganik

berlebih, sangat kurang/tanpa menggunakan pupuk organik), (ii) sulitnya

inovasi dan adopsi teknologi dalam pengembangan komoditas pangan

berdaya hasil tinggi akibat dari sangat terbatasnya anggaran dan

infrastruktur pendukung (Sumaryanto, 2009).

Ketersediaan pangan dalam rumah tangga yang dipakai dalam

(25)

commit to user

jumlah yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga.

Penentuan jangka waktu ketersediaan pangan pokok di pedesaan, biasanya

dilihat dengan mempertimbangkan jarak antara musim tanam dengan

musim tanam berikutnya. Perbedaan jenis makanan pokok yang

dikomsumsi antara dua daerah juga membawa implikasi pada penggunaan

ukuran yang berbeda. Ukuran ketersediaan pangan yang mengacu pada

jarak waktu antara satu musim panen dengan musim panen berikutnya

hanya berlaku pada rumah tangga dengan sektor pertanian sebagai sumber

mata pencaharian pokok (Simangunsong, 2010).

3. Pola Konsumsi Pangan

Pola konsumsi pangan adalah susunan jenis dan jumlah pangan

yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Pola

konsumsi pangan merupakan gambaran mengenai jumlah, jenis dan

frekuensi bahan makanan yang dikonsumsi seseorang sehari-hari dan

merupakan ciri khas pada suatu kelompok masyarakat tertentu

(Aritonang, 2004).

Jumlah macam makanan, jenis, serta banyaknya bahan makanan

dalam pola pangan di suatu negara atau daerah tertentu biasanya

berkembang dari pangan setempat atau pangan dari pangan yang telah

ditanam di wilayah tersebut dalam jangka waktu yang panjang. Di samping

itu, kelangkaan pangan dan kebiasaan bekerja keluarga akan berpengaruh

pula terhadap pola pangan. Pangan pokok yang digunakan dalam suatu

negara biasanya juga menjadi pangan pokok di sebagian besar wilayah

negara tersebut (Suhardjo, 2003).

Secara umum menurut Aritonang (2004), faktor-faktor yang

mempengaruhi konsumsi pangan adalah faktor ekonomi dan harga serta

faktor sosio budaya dan religi seperti yang dijelaskan berikut ini.

a. Faktor ekonomi dan harga

Keadaan ekonomi keluarga relatif mudah diukur dan

berpengaruh besar pada konsumsi pangan, terutama pada golongan

(26)

commit to user

menggunakan sebagian besar pendapatannya untuk memenuhi

kebutuhan pangan. Perubahan pendapatan ecara langsung dapat

mempengaruhi perubahan konsumsi pangan keluarga. Meningkatnya

pendapatan berarti memperbesar peluang untuk membeli pangan

keluarga. Meningkatnya pendapatan berarti memperbesar peluang

untuk membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik.

Sebaliknya, penurunan pendapatan akan menyebabkan penurunan

dalam hal kualitas dan kuantitas pangan yang dibeli.

b. Faktor sosio budaya dan religi

Kebudayaan suatu bangsa mempunyai kekuatan yang

berpengaruh terhadap penilaian bahan makanan yang digunakan untuk

dikonsumsi. Aspek sosio budaya pangan adalah fungsi pangan dalam

masyarakat yang berkembang sesuai dengan keadaan lingkungan,

agama, adat kebiasaan, dan pendidikan masyarakat tersebut.

Kebudayaan akan mempengaruhi seseorang dalam konsumsi pangan

yang menyangkut pemilihan jenis pangan, persiapan, serta

penyajiannya.

Kebiasaan makan seseorang atau keluarga merupakan hasil proses

belajar yang berlangsung selama hidupnya. Setiap keluarga atau

masyarakat mempunyai aturan-aturan, rasa suka atau tidak suka,

kepercayaan terhadap jenis makanan yang tersedia, sehingga membatasi

pilihannya terhadap jenis-jenis makanan. Kebiasaan makan juga akan

mempengaruhi pilihan pangan. Apabila kebiasaan ini berlangsung dalam

kurun waktu yang cukup lama, maka akan dapat menggambarkan suatu

pola konsumsi pangan individu, keluarga, atau masyarakat (Pilgrim dalam

Marwati, 2001).

Kebiasaan makan merupakan suatu pola perilaku konsumsi pangan

yang diperoleh karena terjadi berulang-ulang. Menurut Almatsier (2004),

kebiasaan makan suatu masyarakat salah satunya tergantung dari

ketersediaan pangan di daerah tersebut yang pada umumnya berasal dari

(27)

commit to user

masyarakat juga sangat berpengaruh terhadap kebiasaan makan mereka.

Faktor sosial yang mempengaruhi antara lain: 1) keadaan penduduk suatu

masyarakat (jumlah, umur, distribusi jenis kelamin dan geografis); 2)

keadaan keluarga (besar keluarga, hubungan, jarak kelahiran); 3)

pendidikan (tingkat pendidikan ibu/ayah). Faktor ekonomi yang

mempengaruhi antara lain: 1) pekerjaan (pekerjaan utama, pekerjaan

tambahan); 2) Pendapatan keluarga; 3) Pengeluaran; 4) Harga pangan yang

tegantung pada pasar dan variasi musim.

4. Kuantitas Konsumsi Pangan

Penilaian asupan gizi dapat dilakukan secara kualitatif dan

kuantitatif. Secara kuantitif didasarkan pada jumlah setiap zat gizi yang

dikonsumsi dibanding dengan kecukupan gizi yang berlaku sedangkan

kualitas asupan dinilai secara kolektif dari semua zat gizi yang dibutuhkan

agar tersedia secara proporsional. Pada orang sehat penilaian asupan gizi

disesuai dengan angka kecukupan gizi (AKG) (Hardinsyah dan Victor

Tambunan, 2004) .

Penilaian pangan dari sisi kuantitas melihat volume pangan yang

dikonsumsi dan konsumsi zat gizi yang dikandung dalam bahan pangan.

Kedua hal tersebut digunakan untuk melihat apakah konsumsi pangan

sudah dapat memenuhi kebutuhan yang layak untuk hidup sehat yang

dikenal sebagai Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang direkomendasikan

Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. Untuk menilai kuantitas konsumsi

pangan masyarakat digunakan Parameter Tingkat Konsumsi Energi (TKE)

dan Tingkat Konsumsi Protein (TKP). Beberapa kajian menunjukkan

bahwa bila konsumsi energi dan protein terpenuhi sesuai dengan norma

atau angka kecukupan gizi dan konsumsi pangan beragam, maka zat-zat

lain juga akan terpenuhi dari konsumsi pangan (Anonim, 2008).

AKG adalah suatu kecukupan rata-rata zat gizi setiap hari bagi

semua orang menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh,

aktivitas tubuh dan kondisi fisiologis khusus untuk mencapai derajat

(28)

commit to user

di Indonesia, saat ini menjadi acuan untuk menetapkan standar pemenuhan

kebutuhan gizi penduduk Indonesia menurut jenis kelamin, umur dan

kondisi fisiologis. Secara ilmiah penetapan kebutuhan gizi dibedakan

menurut umur, jenis kelamin, pekerjaan dan iklim. Pemanfaatan Angka

Kecukupan gizi adalah untuk menilai kemampuan pemenuhan kebutuhan

dasar atas pangan penduduk. Selanjutnya dapat dijadikan acuan untuk

menduga adanya kondisi rawan pangan penduduk jika parameter

pencapaian asupan gizi dibawah standar normal populasi (BPOM, 2009).

Menurut Supariasa dkk. (2002), jumlah dan komposisi gizi yang

diperoleh seseorang atau kelompok orang dari konsumsi pangannya dapat

dihitung atau dinilai dari jumlah pangan yang dikonsumsi dengan

menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM). Secara umum,

penilaian jumlah zat gizi yang dikonsumsi dihitung sebagai berikut :

Dimana,

KGij : kandungan zat giizi tertentu (i) dari pangan j atau makanan yang

dikonsumsi sesuai dengan satuannya

BPj : berat makanan atau pangan j yang dikonsumsi (gram)

Bddj : bagian yang dapat dimakan (dalam % atau gram dari 100 gram

pangan atau makanan j)

Gij : zat gizi yang dikonsumsi dari pangan atau makanan j

5. Ketahanan Pangan

Undang-undang No. 7 tahun 1996 mendefinisikan ketahanan

pangan (food security) sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah

tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah

maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Ketahanan pangan

berhubungan dengan empat aspek yaitu: 1) ketersediaan (makanan yang

cukup dan siap sedia digunakan); 2) akses (semua anggota dalam rumah

(29)

commit to user

makanan yang sesuai); 3) utilisasi (kemampuan tubuh manusia untuk

mencerna dan melakukan metabolisme terhadap makanan yang dikonsumsi

dan fungsi sosial makanan dalam menjaga keluarga dan masyarakat); dan

4) keberlanjutan (ketersediaan makanan untuk jangka waktu yang lama).

Keempat aspek tersebut saling berhubungan satu dengan yang lainnya

(Usfar dalam Mangkoeto, 2009).

Dengan pengertian tersebut, mewujudkan ketahanan pangan dapat

lebih dipahami sebagai berikut:

a. Terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup,

diartikan ketersediaan pangan dalam arti luas, mencakup pangan yang

berasal dari tanaman, ternak dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas

karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral serta turunannya, yang

bermanfaat bagi pertumbuhan kesehatan manusia.

b. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan bebas dari

cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu,

merugikan dan membahayakan kesehatan manusia serta aman dari

kaidah agama.

c. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, diartikan pangan

yang harus tersedia setiap saat dan merata di seluruh tanah air.

d. Terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan pangan

mudah diperoleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau

(Anonim, 2008)

UU ini sejalan dengan definisi ketahanan pangan menurut

Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) dan Organisasi Kesehatan

Dunia (WHO) tahun 1992, yakni akses setiap rumah tangga atau individu

untuk dapat memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup

yang sehat. Sementara pada World Food Summit tahun 1996, ketahanan

pangan disebut sebagai akses setiap rumah tangga atau individu untuk

dapat memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup yang

sehat dengan persyaratan penerimaan pangan sesuai dengan nilai atau

(30)

commit to user

Secara hirarki, ketahanan pangan dapat pada tingkat global,

regional, nasional, lokal (daerah), rumah tangga dan individu. Tingkat

ketahanan pangan yang lebih tinggi merupakan syarat yang diperlukan

(necessary condition) bagi tingkat ketahanan pangan yang lebih rendah,

tetapi bukan syarat yang mencukupi (sufficient condition). Artinya,

tercapainya ketahanan pangan di tingkat wilayah tidak menjamin

tercapainya ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Hal ini ditunjukkan

dengan adanya fakta bahwa walaupun di tingkat nasional dan wilayah

(provinsi) memiliki status tahan pangan terjamin, namun di wilayah

tersebut masih ditemukan rumah tangga rawan pangan (Rachman dalam

Ilham dan Sinaga, 2008).

Menurut Suhardjo dalam Ilham dan Sinaga (2008), ketahanan

pangan rumah tangga dicerminkan oleh beberapa indikator, antara lain: (1)

tingkat kerusakan tanaman, ternak dan perikanan, (2) penurunan produksi

pangan, (3) tingkat ketersediaan pangan di rumah tangga, (4) proporsi

pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total, (5) fluktuasi harga pangan

utama yang umum dikonsumsi rumah tangga, (6) perubahan kehidupan

sosial, seperti migrasi, menjual/menggadaikan asset, (7) keadaan konsumsi

pangan berupa kebiasaan makan, kuantitas dan kualitas pangan serta (8)

status gizi. Makin besar angka ketersediaan pangan untuk dikonsumsi,

makin tersedia pangan di tingkat nasional. Aksesibilitas pangan dapat

diproksi dari tingkat konsumsi rumah penduduk yang ada dari data

Susenas. Makin tinggi konsumsi penduduk makin tinggi pula akses

penduduk tersebut terhadap pangan.

Ketahanan pangan rumah tangga berhubungan dengan kemampuan

rumahtangga tersebut untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggotanya (Van

Braun et al dalam Mangkoeto, 2009). Hal ini menyiratkan akses fisik dan

ekonomi terhadap pangan yang cukup dalam kuantitas dan kualitas gizi,

aman dan dapat diterima oleh budaya setempat untuk memeuhi kebutuhan

tiap anggota keluarga. Akses rumahtangga terhadap pangan merupakan

(31)

commit to user

Makanan bagi suatu rumah tangga dapat berasal dari beberapa sumber

antara lain: dengan memproduksi sendiri, membeli, atau berasal dari

pemberian.

Ketahanan pangan merupakan salah satu kebutuhan manusia yang

tidak dapat ditunda-tunda karena setiap individu berhak memperoleh

pangan yang cukup, baik dalam jumlah dan mutu untuk hidup sehat dan

produktif. Ketahanan pangan mensyaratkan ketersediaan pangan yang

cukup bagi seluruh masyarakat dan kemampuan memperoleh pangan

sehari-hari. Ketersediaan pangan yang cukup di tingkat wilayah belum

menjamin ketahanan pangan di tingkat rumah tangga sebab kelancaran

distribusi sampai ke pemukiman dan daya jangjau fisik dan ekonomi rumah

tangga terhadap pangan merupakan dua hal yang penting (Lamba, 2006).

C. Kerangka Berpikir Pendekatan Masalah

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan

oleh karenanya merupakan bagian dari hak azasi individu yang wajib

dipenuhi. Ketahanan pangan dipandang sebagai hal yang sangat penting dalam

rangka pembangunan nasional untuk membentuk manusia Indonesia

berkualitas, mandiri dan sejahtera. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu

diwujudkan ketersediaan pangan yang cukup, aman, bermutu, bergizi dan

beragam serta tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia dan terjangkau

oleh daya beli masyarakat.

Pada umumnya, banyak orang berpendapat bahwa ketahanan pangan di

suatu wilayah adalah representasi dari ketahanan pangan tingkat individu dan

rumah tangga. Padahal, rumah tangga dengan berbagai karakteristik dan faktor

sosial ekonomi yang mempengaruhinya memiliki akses yang berbeda-beda

untuk memenuhi kecukupan pangan. Oleh karena itu, di tengah kondisi

ketersediaan pangan yang tinggi, ternyata masih banyak dijumpai orang yang

mengalami defisit energi dan protein, maupun rumah tangga yang berada

dalam kondisi rawan pangan.

Ketersediaan pangan merupakan salah satu indikator ketahanan pangan

(32)

commit to user

pasokan pangan pokok yang cukup tersedia setiap saat. Bahan pangan pokok

yang paling utama mendapat perhatian dari pemerintah adalah beras karena

dikonsumsi oleh sebagian besar penduduk Indonesia.

Beras hingga kini masih merupakan salah satu komoditi pangan pokok

bagi masyarakat Indonesia dan merupakan komoditi strategis bagi

pembangunan nasional. Yuliasih (2007) menyatakan bahwa ketersediaan

pangan pokok (beras) merupakan sejumlah beras yang tersedia dan siap

dikonsumsi oleh keluarga sebagai pangan pokok keluarga. Salah satu syarat

terwujudnya ketahanan pangan keluarga adalah ketersediaan pangan yang

cukup bagi setiap anggota keluarga, dimana ketersediaan pangan dapat

diperoleh dari produksi usahatani dan pembelian baik dengan harga normal

maupun harga raskin, yang dikurangi dengan pangan yang dijual, digunakan

untuk benih, zakat fitrah, serta pangan yang diberikan kepada pihak lain.

Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII pada tahun 2004

merumuskan bahwa Angka Kecukupan Energi (AKE) rata-rata orang

Indonesia pada tingkat konsumsi sebesar 2.000 kkal/kap/hari dan Angka

Kecukupan Protein (AKP) sebesar 52 gram/kap/hari. Sedangkan ketersediaan

pangan pokok rumah tangga menurut Adi dkk. dalam Yuliasih (2007) dapat

dikategorikan menjadi tiga, yaitu :

a. Rendah : KP < 1400 kkal/kap/hari

b. Sedang : 1400 kkal/kap/hari ≤ KP ≤ 1600 kkal/kap/hari

c. Tinggi : KP > 1600 kkal/kap/hari

Konsumsi pangan merupakan gambaran dari aspek ketersediaan dan

kemampuan keluarga untuk membeli dan memperoleh pangan, sehingga

konsumsi pangan dapat digunakan sebagai alat ukur dalam menilai ketahanan

pangan. Konsumsi pangan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu kualitas dan

kuantitas. Secara kualitas, konsumsi pangan dilihat dari ukuran penilaian mutu

konsumsi pangan. Sedangkan secara kuantitas, konsumsi pangan lebih

ditujukan kepada banyaknya zat gizi yang dikonsumsi dibandingkan dengan

(33)

commit to user

Dengan melihat aspek konsumsi pangan, maka dapat diukur ketahanan

pangan pada tingkat rumah tangga. Sumarwan dan Sukandar (1998)

merumuskan ketahanan pangan rumah tangga/keluarga dengan melihat kepada

terpenuhinya kebutuhan energi dan protein.

Berdasarkan teori di atas, maka dapat digambarkan kerangka berpikir

[image:33.595.133.497.228.533.2]

pendekatan masalah sebagai berikut :

Gambar 1. Kerangka Berpikir Pendekatan Masalah

D. Asumsi-Asumsi

Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Konsumen bersifar rasional, artinya konsumen dalam hal ini adalah

petani, menjadikan pendapatannya untuk memenuhi kebutuhannya dan

memaksimalkan kepuasannya dan anggota keluarganya.

2. Distribusi pangan dianggap berjalan normal, tidak ada hambatan dalam

penyaluran pangan.

3. Jenis dan kualitas beras dianggap sama.

4. Tidak ada padi/beras yang tercecer dan hilang saat pendistribusian. Rumah tangga

petani

Ketersediaan pangan

Konsumsi pangan rumah tangga

Ketahanan pangan tingkat rumah tangga

1. Produksi usahatani padi dari sawah tadah hujan

2. Pembelian harga normal

3. Pembelian harga raskin

(1,2,3) dikurangi : a. Dijual

b. Zakat fitrah

c. Diberikan pihak lain

Kuantitas -TKE -TKP

(34)

commit to user E. Pembatasan Masalah

1. Ketersediaan pangan pokok dibatasi pada komoditas beras.

2. Pengukuran ketersediaan pangan pokok dibatasi pada ketersediaan

beras di rumah tangga petani dalam jangka waktu satu tahun.

3. Input pangan pokok dihitung berdasarkan data produksi pada musim

tanam terakhir, yaitu musim tanam I (Okotober 2009 - Januari 2010)

dan musim tanam II (Februari 2010 - Mei 2010).

4. Konsumsi yang dihitung terbatas pada makanan yang dikonsumsi oleh

petani dan anggota keluarganya yang tinggal dalam satu rumah.

5. Penilaian konsumsi pangan dibatasi pada konsumsi energi dan protein.

F. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel

1. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air,

baik diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan

dan minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan

makanan, bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan dalam

proses penyiapan pengolahan dan atau pembuatan makanan dan

minuman (UU No. 7 Tahun 1996).

2. Pangan pokok adalah pangan sumber karbohidrat yang sering

dikonsumsi atau dikonsumsi secara teratur sebagai makanan utama.

Dalam penelitian ini, yang dimaksud sebagai pangan pokok adalah

beras.

3. Ketersediaan pangan pokok yaitu tersedianya beras dalam jumlah yang

cukup aman untuk semua orang dalam suatu rumah tangga, baik yang

berasal dari produksi sendiri atau sumber lain untuk menghadapi

keadaan darurat, yang dinyatakan dalam gram/kap/hari beras dan

dikonversi ke dalam satuan kkal/kap/hari.

4. Konsumsi pangan adalah pemanfaatan pangan untuk memenuhi

kecukupan gizi dalam upaya untuk menjaga kesehatan dan

meningkatkan produktivitas (DKP, 2007).

5. Pola konsumsi pangan adalah susunan makanan yang biasa dimakan

(35)

commit to user

seseorang atau sekelompok penduduk dalam frekuensi dan jangka

waktu tertentu (Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2006-2010).

Dalam penelitian ini, pola konsumsi pangan dinilai dengan jenis dan

frekuensi pangan.

6. Konsumsi energi adalah sejumlah energi pangan, yang dinyatakan

dalam kilokalori (kkal) yang dikonsumsi per orang per hari. Dalam

perhitungan, nilai asupan energi dikonversi berdasarkan Daftar

Konsumsi Bahan Makanan (DKBM) (WKNPG, 2004).

7. Konsumsi protein adalah sejumlah protein pangan, yang dinyatakan

dalam gram yang dikonsumsi per orang per hari. Dalam perhitungan,

nilai asupan protein dikonversi berdasarkan Daftar Konsumsi Bahan

Makanan (DKBM) (WKNPG, 2004).

8. Tingkat Konsumsi Energi (TKE) adalah perbandingan antara jumlah

konsumsi energi dengan Angka Kecukupan Energi (AKE) yang

dianjurkan, yang dinyatakan dalam %.

9. Tingkat Konsumsi Protein (TKP) adalah perbandingan antara jumlah

konsumsi protein dengan Angka Kecukupan Protein (AKP) yang

dianjurkan, yang dinyatakan dalam %.

10.Norma kecukupan gizi adalah sejumlah zat gizi atau energi pangan

yang diperlukan oleh seseorang atau rata-rata kelompok orang untuk

memenuhi kebutuhannya. Dalam penelitian ini, berdasarkan Angka

Kecukupan Gizi (AKG) menurut umur dan jenis kelamin yang

dianjurkan dalam Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi Tahun 2004.

11.Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) adalah daftar yang

menyajikan komposisi bahan makanan untuk menghitung besarnya zat

gizi dari bahan makanan yang dikonsumsi oleh rumah tangga dengan

cara mengkonversikan kebutuhan kalori dan protein yang diperlukan.

12.Rumah tangga petani adalah rumah tangga yang salah satu anggotanya

melakukan kegiatan bertani, berkebun, beternak, atau berusaha dalam

(36)

commit to user

produk pertanian mereka atau memperoleh pendapatan (Kartika dalam

Mangkoeto, 2009).

13.Responden adalah seseorang yang mengambil keputusan dalam rumah

tangga petani.

14.Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah

tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup dalam

jumlah, mutu, aman, merata dan terjangkau (UU No. 7 Tahun 1996).

Dalam penelitian ini, ketahanan pangan tingkat rumah tangga dilihat

dari ketersediaan pangan pokok dan konsumsi pangan, khususnya

kuantitas pangan yang dinilai dengan Tingkat Konsumsi Energi (TKE)

(37)

commit to user III. METODE PENELITIAN

A. Metode Dasar Penelitian

Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

deskriptif analisis. Metode deskriptif analisis menurut Surakhmad (1994)

adalah suatu metode yang memusatkan perhatian pada pemecahan masalah

yang ada pada masa sekarang. Penelitian deskriptif bertujuan untuk

memberikan gambaran tentang suatu masyarakat atau sekelompok orang

tertentu, atau gambaran tentang suatu gejala atau hubungan antara dua gejala

atau lebih.

Metode deskriptif menurut Surakhmad (1994) mempunyai ciri-ciri

sebagai berikut :

a. Memusatkan pemecahan masalah yang ada pada masa sekarang, pada

masalah-masalah yang aktual.

b. Data yang dikumpulkan mula-mula disusun, dijelaskan dan kemudian

dianalisa (karena itu metode ini sering disebut metode analitik).

Adapun teknik pelaksanaan penelitian yang digunakan adalah dengan

cara survey, yaitu pengumpulan data dari sejumlah unit atau individu dari

suatu populasi dalam jangka waktu yang bersamaan dan menggunakan

kuesioner sebagai alat pengumpulan data (Singarimbun dan Effendi, 1995).

B. Metode Penentuan Lokasi

Penentuan daerah penelitian dipilih secara sengaja (purposive), yaitu

dengan mempertimbangkan alasan yang diketahui berdasar tujuan penelitian.

Penelitian dilakukan di Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo, dengan

populasi sasaran adalah rumah tangga petani pemilik penggarap yang

mengerjakan sawah dengan sistem pengairan tadah hujan. Adapun pemilihan

sampel desa dilakukan secara purposive dengan pertimbangan bahwa desa

tersebut memiliki tanah sawah tadah hujan dengan luas yang terbesar. Adapun

perincian luas tanah sawah berdasarkan jenis pengairan di masing-masing

desa di Kecamatan Bulu dapat dilihat pada Tabel 4.

(38)
[image:38.595.111.519.135.535.2]

commit to user

Tabel 4. Luas Tanah Sawah Berdasar Jenis Irigasi di Kecamatan Bulu Dirinci Menurut Desa Tahun 2009

No. Desa Irigasi

teknis

Irigasi ½ teknis

Irigasi sederhana

Tadah hujan

Jumlah

1. Sanggang 2 3 0 5 10

2. Kamal 0 0 0 20 20

3. Gentan 5 24 0 51 80

4. Kedungsono 0 0 0 78 78

5. Tiyaran 0 34 0 95 129

6. Bulu 25 32 0 90 147

7. Kunden 70 20 0 56 146

8. Puron 70 6 0 14 90

9. Malangan 104 0 0 0 104

10. Lengking 82 0 0 0 82

11. Ngasinan 128 0 0 2 130

12. Karangasem 95 6 0 0 101

Jumlah 581 125 0 411 1.117

Sumber : Kecamatan Bulu Dalam Angka, 2009/2010

Berdasar Tabel 4, Desa Tiyaran dipilih sebagai lokasi penelitian karena

luas sawah tanah hujan yang ada di wilayah tersebut paling luas dibandingkan

dengan desa yang lain, yaitu 95 hektar.

C. Metode Pengambilan Sampel

Data yang dianalisis menurut Singarimbun dan Effendi (1995), jumlah

sampelnya harus normal, karena distribusi nilai-nilai yang diperoleh harus

mengikuti sebaran normal. Jumlah sampel minimal adalah 30 sampel dari

seluruh populasi petani. Oleh karena itu, dalam penelitian ini,

sampel/responden yang diamati adalah 30 petani pemilik penggarap yang

melakukan usahatani padi dengan sistem pengairan tadah hujan.

Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini

adalah metode Systematic Sampling. Pengambilan sampel secara sistematis

(systemtic sampling) adalah suatu metode pengambilan sampel dimana hanya

unsur pertama saja dari sampel yang dipilih secara acak, sedangkan

unsur-unsur selanjutnya dipilih secara sistematis menurut suatu pola tertentu yang

disebut interval. Langkah pertama yang dilakukan adalah dengan menyusun

populasi dalam suatu daftar dan memberi nomor urut pada setiap satuan

(39)

commit to user

Pada penelitian ini, jumlah populasi petani pemilik penggarap sawah

tadah hujan di lokasi penelitian adalah 201 orang dan besar sampel yang akan

diambil adalah 30 orang. Interval adalah hasil bagi antara jumlah populasi dan

jumlah sampel sehingga didapatkan nilai 6. Sampel pertama dipilih secara

acak dengan cara mengundi responden yang memiliki nomor urut 1 sampai 6.

Sampel berikutnya ditentukan dengan menambahkan nilai 6 pada nomor urut

sampel pertama. Demikian seterusnya hingga didapatkan sampel ke-30.

D. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

1. Jenis Data

a. Data Primer

Data primer yaitu data penelitian yang berasal dari sumber data

yang langsung memberikan data kepada pengumpul data dan

dilakukan dengan teknik survei menggunakan kuesioner. Kuesioner

merupakan instrumen pengumpulan data dengan cara memberi

seperangkat pertanyaan tertulis kepada responden untuk dijawab. Data

primer meliputi data mengenai produksi padi, jumlah input dan output

beras, jenis dan frekuensi makan, serta jenis dan banyaknya makanan

yang dikonsumsi 24 jam yang lalu.

b. Data Sekunder

Data sekuder merupakan data yang telah tersedia dalam

berbagai bentuk. Biasanya sumber data ini lebih banyak sebagai data

statistik atau data yang sudah dioleh sedemikian rupa sehingga siap

digunakan. Data dalam bentuk statistik biasanya tersedia pada

kantor-kantor pemerintahan, perusahaan swasta, atau badan lain yang

berhubungan dengan penggunaan data (Daniel, 2002).

Data sekunder dalam penelitian ini meliputi data mengenai

kondisi umum Kecamatan Bulu yang terdiri dari keadaan alam,

keadaan penduduk, keadaan perekonomian, keadaan pertanian, dan

kondisi ketahanan pangan wilayah. Data sekunder diperoleh dari Dinas

(40)

commit to user

Sukoharjo, Badan Pusan Statistik (BPS) Kabupaten Sukoharjo, serta

Kecamatan Bulu.

2. Teknik Pengumpulan Data

a. Wawancara

Teknik ini digunakan untuk mendapatkan data primer melalui tanya

jawab langsung kepada responden (petani) dengan bantuan daftar

pertanyaan dan catatan sebagai alat bantu.

b. Observasi

Teknik ini dilakukan dengan cara mengamati secara langsung objek

penelitian yang berupa kondisi wilayah dan responden.

c. Pencatatan

Teknik pengumpulan data dengan cara mencatat data, baik data dari

responden maupun data yang ada pada instansi pemerintah atau lembaga

yang terkait dengan permasalahan dalam penelitian.

d. Recall

Menurut Supariasa (2002), recall merupakan teknik pengumpulan

data yang digunakan dalam memperoleh data konsumsi pangan

individu. Prinsip dari metode recall adalah mencatat jenis dan jumlah

bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu.

E. Metode Analisis Data

1. Ketersediaan Pangan Pokok Rumah Tangga Petani

Ketersediaan pangan pokok rumah tangga petani diukur dengan

cara menginventarisasi pangan pokok (beras) yang tersedia di keluarga,

baik yang diperoleh dari produksi sendiri, pembelian dengan harga pasar

(harga normal), dan pembelian dengan harga raskin dalam satuan gram,

kemudian dikonversikan ke dalam satuan energi, yaitu kkal/kapita/hari.

Secara matematis, besarnya ketersediaan pangan pokok rumah tangga

petani dihitung dengan rumus :

S =

Keterangan :

(41)

commit to user

beras dan dikonversi ke dalam satuan kkal/kap/hari)

I1 : input pangan pokok dari produksi usahatani (gram/kap/hari beras

dan dikonversi ke dalam satuan kkal/kap/hari)

I2 : input pangan pokok dari pembelian harga normal di pasar

(gram/kap/hari beras dan dikonversi ke dalam satuan

kkal/kap/hari)

I3 : input pangan pokok dari pembelian harga raskin (gram/kap/hari

beras dan dikonversi ke dalam satuan kkal/kap/hari)

O1 : output pangan pokok yang dijual (gram/kap/ha

Gambar

Tabel 19. Rata-rata Ketersediaan Pangan Pokok Pada Rumah Tangga Petani di Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo.......................
Gambar 1. Kerangka Berpikir Pendekatan Masalah....................................        20
Tabel 3.  Luas Sawah Tadah Hujan dan Proporsinya Terhadap Luas Total Lahan Sawah di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2009
Gambar 1. Kerangka Berpikir Pendekatan Masalah
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sementara secara tradisional terdapat beberapa jenis alat tangkap yang digunakan menangkap tuna antara lain huhate ( pole and line ), pancing ulur ( hand line ) dan pancing tonda

Sebelum penelitian ini dilakukan maka diselenggarakannya desiminasi dalam bentuk pelatihan kepada guru kimia SMA/MA di wilayah Propinsi Sumatera Utara, tepatnya di

(3) Bentuk dan Tata cara peran serta orang tua peserta didik dan komite sekolah dalam upaya penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud ayat (2) Pasal ini, diatur

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran kepala sekolah sebagai motivator di SMK Muhammadiyah 3 Makassar, untuk mengetahui kinerja guru dan pegawai di SMK Muhammadiyah

• Menganalisis informasi dan data-data yang diperoleh tentang masalah ekonomi dan sistem ekonomi untuk membuat pola hubungan antara masalah ekonomi dengan sistem ekonomi

Sebelumnya, pada tahun 1989, American Library Association (ALA) memaparkan bahwa untuk menjadi seseorang yang literat dalam informasi, seseorang perlu mengetahui

Pada form pelatihan terdapat beberapa tombol buka citra, preprocessing , dan ekstraksi fitur yang merupakan tombol utama untuk menjalankan tahap pelatihan ini. Disamping itu

Manual Prosedur Penggunaan Fasilitas Laboratorium Sains bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme, efisiensi, dan kualitas menejemen administrasi aktivitas layanan